• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH pH AIR TERHADAP SINTASAN LARVA KEPITING BAKAU (Scylla serrato)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH pH AIR TERHADAP SINTASAN LARVA KEPITING BAKAU (Scylla serrato)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Pcn.clitittn Perihanan Indonesia Vol.Iil No.4 Tahun 1997

KOMUNIKASI

R/NG/i

S

PENGARUH pH

AIR

TERHADAP SINTASAN

LARVA KEPITING BAKAU (Scylla

serrato)

Yunus*),

Irwan

Setyadi*).

Kasprijo*) dan

Des Roza*) ABSTRAK

Ilenrlahnya sintasan larva dalarn usaha pembenihan kepiting bakau dapat disebabkan oleh

terjatlinyn serangan jarnur. Infeksi jamur dapat clicegah dengan adanya pH tinggi pada air media.

Penelitian

ini

bertujuan untuk mengetahui pengaruh peningkatan pH

air

media terhadap

sintasan larva kepiting bakau pada masa-stadia zo+,o. Perneliharaan larva kepiting bakau

dilaku-kan dengan menggunadilaku-kan bak beton yang diisi air laut bersih sebanyak 2 m3 dan diaerasi. Larva

kepiting bakau yang baru menetas dan mempunyai gerakan yang aktif ditebar pada bak dengan

kepadatan 50 ind./liter. Rotifer dan klorela laut sebagai pakan diberikan kepada larva mulai stadiurn :oeo aw:rl, sedangkan nauplius artemia yang baru menetas diberikan setelah larva mencapai st:rdiunr 2.. Penelitian dirancang dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulnngan pada setiap perlakuan. Perlakuannya terdiri atas tiga tingkat pH air media,

yaitu

pll

8. l-8.1-r: 8,6-9,0 dan 9,1-9.5. Peningkatan pH air dilakukan dengan penambahan larutan NaOll.

Peningl<rrt.ar.r pH air media berpengartth nyata (P<0,05) terhadap sintasan larva. Perlakuan

pH 9. l-9.ir nrenglrasilkan sintasan larva pada stadium Zt(31,33%) yang lebih baik dibanding deng:rn pct'laktran pH yang lain. Sintasan tinggi ternyata disebabkan oleh jamur yang tidak dapat

tunrbtrlr p:rrln

pll

tinggi.

ABSTRACT:

Effect of .aater

pH

on the euruioal of mongroue crab (Scylla serrata) laruae. By: Yunus, Irwan Setyadi" Kasprijo, and Des Rozo.

Lout sttr'rriual oct'urred in crab larual rearing rculcl be attributed kt lhe occurrence of fungal diseasc. F-utryal infection coukl be preuented by h.igh pH of rtaring water. The stud.y was utnd,u,cted to exantint the cffect of inoeasing pH of the uater media on the suruiual of mangroue crab at zoeal

stc,gcs.

Inruil

rcaring of thc mangrow crab was t:arricd, out ttsittg 2 nts concrete tanhs, fitlecl with

natural, lilk,n'd sca watcr and prouided uith gentle aeration. The aetiuely swimnting, newly hatched lart,ae were stochetl in the tanhs at a rate of 50 ind./liter. Rotifers and marine chlorella wcre fi'd kt urrly ax'a, uthik' ncruly hatched arkmia nattplii were giuen to later zoeal stages (Zg) of

the laruae. The lanhs wer.' set up in a randomized bloch design to facilitate the treatrnents with three replicates each. Threc k,uels of pH of the uater nrcdia were, used as treatments, i.e., pH 8.1-8.5; 8.6-9.0; ancl 9.1-9.5.

Increasing pH of the water media had a significant effect (P<0.05) on the suruiual rate of crab

laruoe, with much ktwer suruiual rate (2.33%) reutrdetl at the lowest pH (8.1-5.5). Rearing the laruat'at h.ighest pII (9.1-9.5) gauc a better srtruiual rate of Zo laruac (31.33 %) than rcaring at the othar pHs, strggesli.np that pH>9.1 tttuld suppresscd thr gntuth popu,lation of fu.ngus.

KEYWORDS: larual rearing, pH, mangroue crab. PENDAHULUAN

Kepiting bakau (Scylla serrala) termasuk satu

di

antara komoditas laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di pasaran dunia (Motoh, I977).

Di

Indonesia

kepiting bakau

merupakan jenis yang dominan dan diperkirakan sekitar 80% dari

hasil penangkapan kepiting setiap tahun

terdiri

atas

jenis

tersebut (Cholik

&

Hanafi,

1992).

Ilzrgian

tubrrh kepiting

yang

dapat

dimakan @di.bla portion.) mempunyai rasa yang lezat dan nilai gizi yang tinggi dengan kandungan protein 65,72%, lemak 0,837o, abu 7,lto/o dan kadar

air

9,9% (Sulaeman, 1992).

*)

(2)

Yrmrts:

L

Salyodi; Kospri.io; tlon I). Roza

f)i

[,oka Penelitian Perikanan Pantai (l,olit-kanta) Gondol,

Ilali

telah dilakukan usaha per-benihan kepiting bakau sejak tahun 1991, namun masih menghadapi kendala antara

lain

masih sangat rendahn.va sintasan

larva

stadia zoeo,

terutama pada hnri-hari pertama pemeliharaan (Boer el o/., 199i]; ll,usdi et aL,1993). Hal

ini

di-duga karena

mutu

telur

kurang baik,

penge-lolaan pakan

dan

lingkungan

kurang

optimal sehingga rnenciptakan kondisi larva mudah tcr-serang jamur rlan bakteri.

Dari

beberapa

penelitian

dapat

diketahui

bahwa dalam pemeliharaan larva kepiting bakrru,

kematian

tertinggi terjadi

;racla stadium zoee

tingkat

awal dan al<hir serta starlium mergalopa

(Moosa et

al.,

19815). Satu

di

antara

penvebab kematian larva arlalal-r serangan janrtrr, terutama

dari jenis Lagen.kliunt spp. (Zaf'ran el.

al.,

1993).

Jamur

banyak dilaporkan

sebagai organisme

patogen bagi krustase, antara lain Haliphlhoros philippinen.sis

vang

menginfeksi

larva

udang windu (Pcnrrcus nnrx>cl.on) dan Logenitlilmt s<'ylla

yang nrenginfehsi tclur dan larva kepiting bakau

(S.

scrrolo).

Jamur

berbahaya

bagi

krustase

ktrrena mtrmpu nrcngkonsurnsi

jaringan

tubuh sehingga

yang

tersisa hanya cangkang, yaitu rangka luar vang rrrernbungkus tubuhnva (Zal'ran cl o/.. 1993).

Infeksi

jamur

pada

kepiting

sudah banyak dilaporkan (Bian cl <r/., 1979: Sindermann. 19U8)

dan

dari

hasil peng:rmatln socaro mikroskopis

unrLrnrn.ya

infeksi

tcrsr:btrt strdah berriadi serjak larvtr baru mcnetas. Zafran &'l'au{'il< (l!)fXi)

me-ngenrukakan bahwa karena pengeraman tel'.rr kepiting bakau terjacli di luar induk betina maka

massa

telur

yang

menempel

pada

bagian

abdomen induk tcrsebut sangat muclah terinf'eksi

oleh jamur. Pacla saat telur mcnetas, spora jamur

akan

menempel

dan

berkembang

pada

larva

kepiting

bakau vang

baru

menetas sehirrgga

dapat

meninrbull<an

banyak kematian

larva.

Menurut

Hamersaki

&

Hatai

(1993) larva pada

s[aditrm

zoeo

awal paling

mudah

terserang

jamur, kemuclian dengan semakin berkembang-nya stadia larva serangan

janrur

akatr sr:ntirl<it.r berkurarrg.

Nakamura et

al.

(1995) mernyatakan bahwtr

jenis jamur

yang

menyerang

telur dan

larva

kepiting bakau di panti benih Lolitkanta Gontlol. Bali ada lah Lag e nidh mt tlrc r ntop hiltt nl. Menu ru t.

Zafran et aI. (1993) jamur dari jenis I'agenirliunr

spp. yang menyerang larva kepiting bakau dapat mcnyebabkan sintasan larva menjadi rendah.

Untuk

keberhasilan

pemeliharafln

larva

kepiting

bakau, maka

pengendalian populasi

jamur

sangat penting. Satu

di

antara cara

pe-ngendalian

jamur

adalah dengan mengutur pH

air

me<lia pemeliharaan

tetap tinggi.

tlal

ini

terbukti dari

hasil penelitian

Yasunobu

el

ol. (1997)

yanfl

menvatnkan bahwa

jamur

(IIab-cru.sticido olzirurruqertsi.s)

dapat

Lrrnrbuh pada meclia de,ngan

pII

5-9,

tetapi

pert.umbuhannya menjadi terhambat, pada

pll

9,21-r. Selain

itu

hasil

penefitian

lt.rtza

et o/.

(1997) memperrlihathan

bahwa perkembangan

janrur

Lagenidil.rn spp. clapat terhambat p:rda media dengan

pll

tinggi, yakni pada kisaran .9,0-9,5.

I)enelitiirn ini clilal<ukan dengan tujuan rrntuk mengevaluasi

pengaruh peningkatan

pI{

air meclia terhadap sintasarr

larva kepiting

hakau pada mzrsa sta<lia eor'rr.

BAI{AN

DAN

MIITODE

Penelitian

dilakukan

di

lnlitkanta

Condol,

Bali.

Wadah yang digunakan dalam penelitian

berupa bak beton berjumlah sembilan huah yang

diberi atap

serat gelas

untuk

menghin,lari

masuknya cahaya mat.ahari secara langsun6l ke

dalam bak. Setiap bak

diisi

air

laut

sebanynk 2 rn'' ynng telah disaring dengan kantong

filter

rlan dilcrrgkapi dengan tre:rasi.

Air

media disesuaikan pll -n.va rncntrrut pcrlal<uan.

Larva hepiting <liperoleh dari hasil penetasan

telur

in<lrrk vang clipclilrara dalanr kondisi ter-kontrol. Larva vang b:rru menetzrs dan meml.u-nvai gertrkan yang akti{'ditebar pada bak cleng.rn

keJradatan l-r0 ind./liter. Larva pada stadiunr awal

(21)

diberi

pakan berupa

rotifer

(llrachktuts

plicatilis) dan klorela

laut

(Nonrrcchloropsis ouilata). Pakan diberikan sefiap hari dan setelah

larva

mencapai

stndium Zs, nauplius

artemia

yang baru menetas clitambahkan s<:bagai pakan. Itancangan percohaun vang digunakan aclalah ran(:angan acak kelompok

(RAI{)

dengan tiga perl:rhtrat'r dan tiga ulangan. ltancangan tersebut

<li grr nr kn n denga rr pcrtimbangtrn bahwa bak-bak

pcnclitian berada di dtrlam tiga btrah bangunan

berirtap

yang

lebaknva

terpisah

antara

satu

dengan vang lain dan masing-masing bangunan bcrisi tigrr brrah bak.

(3)

Jtt.rnal Pt'nelitian Perihanan Indonesia

VtLIil

No.4 Tahun

tgg|

Perlakuan

terdiri

atas

tiga tingkat pH

air

media, yaitu pH 8,1-8,5;8,6-9,0 dan 9,1-9,5. Pada perlakuan pH 8,1-8,5 digunakan media

air

laut

biasa tanpa dilakukan pengaturan pH, sedangkan pada perlakuan pH 8.6-9,0 dan 9,1-9.5 digunakan media

air laut

yang ditingkatkan pH-nya. Cara meningkatkan

pH

ialah dengan menambahkan

NaOH ke

dalam

air

media

dan

selanjutnya

penambahan

NaOH

diatur

sedemikian rupa sehingga dapat dijaga agar pH air media selama penelitian senantiasa berada pada kisaran seperti yang suclah ditetapkan clalam perlakuan.

Pergantian

air

dilakukan setelah larva men-capai stadium'2.1 sebanyak 25o/n clari volume air

total dengan menggunakan saringan berdiameter 250 pm untuk rnencegah lolosnya larva dari bak pemeliharaan.

Air

baru yang

dirnasukkan ke dalanr bak pemeliharaan larva

terdiri

atas 30%

air

tawar dan 7O%, air larut. Pembuatan air baru

dilakukan

di

dalam bak-bak

penampungan

dengan pH sesuai ;rerlakuan.

Parameter

vang diamati

adalah

sintasan,

statlium larva dan kualitas

air

yang

meliputi

suhu, salinitas, pH. oksigen

terlarut,

dan

nitrit.

Sampling larva clilakukan dengan menggunnkan

wadah

plastik

dan

sampel

diambil

dari

linra

tempat pada masing-masing bak. Setelah selesai

dihitung, larva dikembalikan lagi ke dalam bal<. f)ata hasil penghitungan larva digunakan unt,uk

menentukan sintasan (Effendie,

lg79)

dan se-belum dianalisis, data sintasan terlebih dahulu ditransformasikan ke dalam bentuk arcsin.

Selain

itu

dari

setiap perlakuan diambil

be-berapa contoh

larva

kepiting

yang

hidup

dan yang mati. Contoh larva tersebut

dikultur

pada media PYGSA (pepton 1,25 g; yeast-extracL 1,25

g; glucose 3 g; dan agar 12 g dalam 1.000 mL

air

laut), kemudian diinkubasikan pada suhu 29.,C selama

24-72

jam.

Untuk

menghambat per-tumbuhan bakteri, ke dalam media PYGSA di-tambahkan ampicillin dan streptomycin masing-masing 500 pglml,. Apabila

jamur

tumbuh pada media PYGSA, dibuat irisan koloni seluas x 0,Zs

"-2

berisi + 25 mL

,lun

dimasukkan

air laut steril

ke

dalam petridish dan diinkubasikanyang

pada suhu 29"C selama G-12

jam.

Pengamatan mikroskopik dilakukan

untuk

melihat aktivitns dan perkembangan jamur.

HASIL

DAN PEMBAHASAN

Sintasan

larva kepiting

bakau selama per-cobaan

terlihat

semakin menurun dengan se-makin lamanya pemeliharaan. Selanjutnya ter-lihat bahwa pada akhir percobaan, perlakuan pH 9, 1-9,5 menghasilkan sintasan

larva

yang ter-tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan perlakuan

lainnya

diikuti

dengan

perlakuan

pH

9,6-9.0

(Tabel 1, Gambar 1). 'l20

too

80 60 40 20 o Hari (Duy)

Gambar

1.

Sintaszrn larva kepiting bakau (5. serratal yang dipelihara dengan tingkat pH yang berbe6a selam:l

l0

hari.

Figure

L

Suruiuctl rate of nrongroue crab (5. serrata) rearerl for 10 days at clifferent leuels of pH

of

rlte Lutter nrcdia .

Tirrgkat sintasan (Survival rotc) (%)

(4)

l'untts; L &'llrrdi; Kaspri.jo; rl.ttn I). Ilozo

Tabel

1.

Sintasan larva kepiting bakau (S. serrnlo) clengan perlakuan pH pada

akhir

penelitian (Za) dan keberadaan infeksi jamur.

|'able

1.

Suruiual rote of ntangroue crob (S. serrata) uith pH treatnrcnls at the end of tlrc extrterirnttnt

(Z)

an.d the occurrence of ftmgal r/iscosr'.

Tingkat

pH

Leuel of

pH

Sintasan

rata-rata

Auerage of

Suruiual rate

(%l

Infeksi jamur

Fungal

disease

ZP

TVF

8.1-8,5 8.6-9,0 9,1-9,1-r 2,:Jit 1l 16,67 I' 31.33'

Angf<a lrrta-r'lta p:rda l<olorn valrg rliikuti olch hrrrtrf ynrrg sntna tidak bcrbcda nytrt:r (Meort.s i.rt toltttrtrts

rt,illr llrt i^on(, s.rp('r's(,'ipl an, rutl significatr.llt' djffurenl.\ (P>O.OJ-r)

'ZP = pc.lepasan z(x)sporil (zoostrxtre pn>dttr:lunt.)

l'VP = lrcnrbenttrkan lt,rntirtal ttsit'b (tt'rntinal uisir:le fitrnnljon) (+) = lda ft'risl)

( ) = lidrtk itrlit lttortr')

.Janrur Lagenirl.ium sl)l). vang cliisolasi tlari larva kepiting btrkau yarrg clipelihartr <lalanr air

laut

biasa

(pH

8.1-8,5),

pada

konclisi tanpa nutriea setelah 6-12 jam terangs:rng untuk ntem'

bentuk lerntinal uesi.cle dan melepaskan zoospora untuk sintasannya. Demikian juga halnya yang

terjadi

pada perlakuan

pH

8,6-9,0 yang masih

terlihat

aclanya pelepasan zoospora (Tabel 1). Zafran clan Taufik (1996) menyatakan bahwa

ciri

spesifik

dari jamur Logenidiun

spp.

adalah

mampu membentuk dan melepas zoospora dalam waktu 210 menit bila hifa jamur

ini

dimasukkan ke dalam air laut steril.

Hasil

pengamatan secara mikroskopis

ter-hadap irisan koloni/hifa jamur vang diisolasi dari larva kepiting bakau yang dipelihara pada

per-lakuan

pH

9,1-9,5, setelah masa inkubasi 6-12 jam tidak terlihat adanya zoospora bahkan tidak terjadi pembentukan terrninal uesicle (Tabel 1)'

I)engan demikian terbukti bahwa pH air laut 9,1-9.1-r

dapat

menghambat pembentukan dan pelcpasan zoospora yang akan menginfeksi larva.

Dengan

tidak

terbentuknya

zoospora maka

infeksi jamur terhadap larva kepiting bakau yang sehab dapat dihindarkan.

Hal

tersebut diduga mertrpakan

salah

satu faktor

penyebab dari

mcningkatnl'a sintasan

larva

kepiting

bakau

vang tliyrrlihara patla air laut dengan

pll

9.1-9,11.

Dari

hasil

penelitian

Roza

et al.

(1997) mengenai pengaruh

pH

terhadap Lagenicliu.nt spp. pacla

larva

kepiting bakau

terlihat

bahwa

setelah

masa

inkubasi

24 dan

48

jam

pada

perlakuan pH

tinggi

(9,0-9.5) sama sekali tidak

ditujukkkan

adanya pertumbuhan

hifa

jamur

Laglnidiurtl

spp. Dari kenyataan tersebut dapat

diketahui bahwa

jamur

Lagertidiu.nr spp. dapat dicegah dengan menaikkan

pH

sampai 9,5 di

mana

pacla

kondisi

basa,

jamur tidak

dapat

tumbuh

optimal

sehingga

tidak terjadi

pem-bentukan terntinal uesicle maupun zoospora yang sangat penting untuk perkembangbiakan jamur tersebut.

Pada penelitian ini pengaturan pH tinggi(9,1-9,5) dimulai dari stadium

Zt

sampai stadium Z,o

sehingga

dapat

menghasilkan

sintasan

larva kepiting bakau vang lebih baik. Hasil penelitian Yasunobu et

al.

(1997) mengenai pemeliharaan

larva

rajungan pada

pH tinggi

(9.18-!1.23)

me-nunjukkan bahwa dengan pengaturan pFl tinggi

yang dimulai

dari

stadium larva

7,

sampai

dengan stadium Zo ternyata serangan penyakit jamur dapat dicegah sehingga dapat menitrgkat-kan sintasan juvenil rajungan.

Hasil pengamatan kualitas

air

menunjukkan bahwa suhu 25-34oC, salinitas 33-35 ppt, oksigen

terlarut

8,11-9,44 mg/L,

pH

8,1-9,5

dan

nitrit

0,023-1,216

mg/L

masih

berada

dalam

batas toleransi bagi kehidupan larva kepiting bakau.
(5)

KESIMPULAN

pH

air

rnedia

yang

tinggi

(9,1.9,5) mampu meningkatkan

sintasan

kepiting

bakau

pada

masa stadia zoeo karena

tidak

adanya jamur yang tumbuh pada tingkat pH tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Bian. 8.2., K. Hatai. (]. Lio-Po, and S. Egusa. 1979. Stuclies

on the

fungal diseases

in

crustacea Logenidiu.m sry//n sp. isolated from cultivated ova and larvae of the mangrove crab. Scylla serrata. Trans. Mycol. Soc. Jnpan 2O:115-124.

Boer, D.R., Zakan, A. Parenrengi, dan T. Ahmad. 1993. Studi pendahuluan penyakit kunang-kunang pada larva kepiting bakau. Scylla serrato. .f . Penelitian Budidaya Par-rtai 9(3): I l9- I 24.

Cholik, F. and A. I'Ianafi. 1992. A review of the status

of the mud crab (Sr.1'llo sp.) fishery and culture in lndonesia.

In

C.A. Angell (ed.), The rnud crab. A

report on the senrinar convened

in

Surat Thani, Thailand, Novenrber 5-8, 1991. Bay

of

Bengal Prograrnme. Madras, lndia. p. I 3-27.

Effendie, M.I. 1979. Metode biologi perikanan. Cetakan

I. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hal.

Hamasaki,

K.

and

K.

Hatai.

1993. Experimental infection in the eggs and larvae of the swimming crab Portunu,s trituberculatus and the mud crab Scylla serrato with seven fungal strains belonging

to Lagenidiales. Nippon Suisan Gakkaishi 59(6):

r 059.1 066.

Moosa, IVI.K., l. Aswandv, dan A. Kasry. 1985. Kepiting bakau, Scylla serrota (Forskal, 1775) dari perairan Indonesia. l,ernbaga Oseanologi Nasional, LIPI. Jakarta. l8 hal.

Motoh, H. 1977 . Biological synopsis of alimango, genus Seylla.

In

Readings

on

aquaculture J;racticcs.

Jurnal Pcnelitian Perihanan Indonesia Vol.III No.4 Tahun I9g7

SEAFDEC, Aquacult. Depr., Iloilo. philippines.

p.136.153.

Nakamura, K., M. Nakamura, K. Hatai, and Zafran.

1995. Lagenidium infection in eggs and larvae of mangrove

crab

(Scylla

serrata) produced in

Indonesia. Mycoscience 36:3g9-404.

Roza, D., F. Johnny, Zaftan, Yunus. dan K. yuasa. 1997. Studi pendahuluan tentang pengaruh pII terhadap Lagenidiu.m spp. pada larva kepiting bakau (Scylla serrdta Forsskal). Makalah pada Simposium Perikanan

II.

Ujune Pandang, 2-3 Desember 1997.

Rusdi,

I.,

A.

Parenrengi, dan

D.

Makatutu. 1993. Pengaruh perbedaan salinitas terhadap penetasan dan kelangsungan hidup zoea awal kepiting bakau. Scylla serrata. J. Penel. Budidaya Pantai 9( I ): l4l

-146.

Sindermann, C.J. 1988. Fungus (Lagenidium) diseases of blue crab eggs and larvae. In C.J. Sindermann and D.V. Lightner (eds.), Disease diagnosis and

control

in

North American. Marine Aquacultrrre: 2r5-2r9.

Sulaeman. 1992. Nilai ekonomis kepiting bakau Scy//o serrata. Warta Balitdita 4e\:27 -BO.

Yasunobu, H.,

I{.

Nagayama. K. Nakamura, and K.

Hatai. 1997. Prevention of a fungal infection in the

swimming crab Portunus lrituberculalas larvae by high pH of rearing water. Nippon Suisan Gakkaishi

63(1):56-63

Zaftan, D.R. Boer, dan A. Parenrengi. 1998. Karakte-ristik dan penanggulangan penyakit jamur

Lageni-diunr sp. pada larva kepiting bakau. J. penelitian Budidaya Pantai 9(4):29-39.

Zafuan dan L Taufik. 1996. Efektivitas berbagai fungi-sida dalam menghindarkan infeksi Lagenidium spp. pada larva kepiting bakau (scylla serrata). Jurnal Penelitian Perikanan lndonesia 2(Il:15-2I.

Gambar

Gambar  1.  Sintaszrn  larva kepiting bakau  (5.  serratal  yang dipelihara  dengan  tingkat  pH  yang  berbe6a selam:l  l0  hari.
Tabel  1.  Sintasan  larva  kepiting  bakau  (S.  serrnlo)  clengan  perlakuan  pH pada  akhir  penelitian  (Za) dan  keberadaan  infeksi jamur.

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak etanol biji petai dengan dosis 250 mg/kg BB hanya menunjukan kemampuan inhibisi radang menyerupai Na-diklofenak pada menit ke 300 dan 330, sedangkan ekstrak etanol biji

5 ± 8 Saat ini, penanganan metanol dilakukan dengan cara pemberian sparing agent yaitu etanol tetapi pada penelitian sebelumnya disebutkan bahwa pemberian etanol dan metanol

Praktek jual beli sistem online yang dilakukan mahasiswa Universitas Al Asyariah Mandar, Kabupaten Polewali Mandar, sudah sesuai dengan hukum Islam terlihat pada praktek

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa petugas pelayanan, prasarana fisik, dan proses pelayanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pelanggan,

Saya mengesahkan bahawa satu Jawatankuasa Peperiksaan Tesis telah berjumpa pada untuk menjalankan peperiksaan akhir bagi Farah Hanan binti Aminallah bagi menilai tesis beliau

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 601 Tahun 2020 tentang Penetapan Kebutuhan Pegawai Pemerintah dengan

Mean Frekuensi Penerapan Metode Pengendalian pada Risiko Tangan Pekerja Terkena Paku Pada Tahapan Pekerjaan Pembuatan Bekisting.. Mean Frekuensi Penerapan Metode

Kalibrasi model kebutuhan air dilakukan dengan data aktual tahun 1998-2000 (3 tahun), untuk mencari nilai koefisien kebutuhan air penduduk (Cp) dan juga koefisien