HUBUNGAN MAYA INDEX DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KELURAHAN TEGALSARI KOTA TEGAL
Novia Rokhmawanti*), Martini**), Praba Ginandjar **)
*) Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, **) Dosen
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang Email : [email protected]
ABSTRACT
Tegalsari Urban Village was one of the endemic areas with the highest dengue cases in Tegal city. Maya index was an indicator to determine high-risk areas as nurseries for larvae by using hygiene risk indicator (HRI) and breeding risk indicator (BRI). The goal of this research was to know the relationship of maya index with dengue hemorrhagic fever incident in Tegalsari Urban Village. This research used observational analitic with cross sectional design. Samples taken as many as 100 homes using purposive sampling method. Measurement of the maya index variables using observation sheet. Data were analyzed using the chi-square. The results of this study indicated that there was a relationship between the maya index with incidence of DHF. The level of risk a high of maya index to the middle of maya index equal to 9 times (POR 9; 95 % CI 1,846-44,082) and the high of maya index to the low of maya index equal to 8,8 or close to 9 (POR 8,8; 95 % CI 1.046 to 74.042).The low of maya index were 21 (21%) homes, middle of maya index were 43 (43 %) homes, and the high of maya index were 36 (36 %). The density of larvae seen of the entomology index in Tegalsari obtained house index (HI) of 66 %, container index (CI) of 16.3 %, and breteau index (BI) of 101 who showed that Tegalsari was an area of high risk of dengue transmission. The suggestion for the health department to train women larva monitoring (Bumantik) with the inspection techniques larvae material either in a controlled (controllable sites) or uncontrolled (disposable sites).
Keywords : maya index, density of larvae, dhf, container Bibliography : 57 references (1992-2014)
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue
(DBD) adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus
dengue.1 Penyakit DBD hanya dapat
ditularkan oleh gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus
yang terinfeksi.2,3
Penderita DBD sampai saat ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia terutama di Asia
Tenggara dan Amerika Tenggara.4
Indonesia merupakan Negara
dengan kasus DBD tertinggi di Asia.5
Incidence rate DBD di Kota
Tegal pada tahun 2013 sebesar 28,8/100.000 penduduk. Hal ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2011 sebesar 12,2/100.000
penduduk dan 2012 sebesar
5,1/100.000 penduduk. Kelurahan
Tegalsari merupakan kelurahan
endemis yang memiliki kasus DBD
tertinggi sebanyak 15 kasus.6
Penularan DBD yang cepat dapat disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan jumlah vektor yang meningkat. Data populasi vektor DBD seperti container index
(CI), house index (HI), dan breteau
index (BI) yang menjadi parameter
entomologis sangat diperlukan.7
Apabila nilai HI >10 %, CI >10 %,
dan BI ≥50 maka akan berisiko
tinggi.8
Indikator kepadatan jentik
(HI,CI, dan BI) masih belum cukup
untuk mempertimbangkan data
lingkungan terkait segi bionomik vektor. Bionomik yaitu hubungan antara aktivitas dan perilaku nyamuk
dalam kesehariannya dengan
lingkungan. Kondisi lingkungan
adalah kondisi/tingkat kebersihan setiap wilayah yang mencerminkan kemungkinan peningkatan populasi
nyamuk Aedes.9 Penularan DBD
tidak hanya terjadi karena populasi
vektor yang berubah-ubah dan
berkembang, akan tetapi sanitasi
lingkungan juga memberikan
dukungan terhadap kejadian DBD.
Sehingga diperlukan juga data
lingkungan terkait segi bionomik
vektor seperti maya index (MI).8
Maya index adalah indikator
baru untuk mengidentifikasi suatu
area berisiko sebagai tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes. Hal ini didasarkan oleh status kebersihan lingkungan HRI (hygiene
risk indicator) dan ketersediaan
tempat-tempat yang mungkin
berpotensi sebagai tempat
perkembangbiakan nyamuk BRI
(breeding risk indicator).8
Oleh karena itu, diperlukan
penelitian untuk mengetahui
hubungan maya index dengan
kejadian DBD di Kelurahan
Tegalsari.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan
penelitian observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua rumah yang terdapat di Kelurahan Tegalsari sebanyak 6.507 rumah.10 Sampel penelitian terdiri
dari 100 rumah.11 Teknik
pengambilan sampel dimulai dari rumah yang pernah ada kasus DBD dalam periode 2013 sampai 2014 (Januari-Mei) sebanyak 14 rumah. Sehingga rumah yang harus di periksa sebanyak 86 dengan jarak 100 meter ke Utara, Barat, Timur, dan Selatan. Dengan demikian setiap rumah kasus terdapat 7-8
rumah yang harus diperiksa.
Sehingga total sampel 100 rumah.
Pengambilan data dilakukan
melalui observasi survei jentik.
Analisis data dengan analisis
univariat, analisis bivariat dengan uji
Chi-Square.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini sebagai berikut:
Tabel 1. Kepadatan Jentik (HI, CI, dan BI) Tiap RW di Kelurahan Tegalsari
No RW ∑Rumah diperiksa ∑Rumah positif ∑kontainer diperiksa ∑kontainer positif HI (%) CI (%) BI (%) 1 I 30 22 30 32 73,3 15,7 107 2 II 21 17 21 30 81,0 22,6 143 3 III 14 8 1 11 57,1 12,6 79 4 V 7 2 7 2 28,6 5,3 29 5 VII 7 5 7 5 71,4 12,5 71 6 VIII 7 6 7 12 85,7 27,9 171 7 IX 7 4 7 5 57,1 12,8 71 8 X 7 2 7 4 28,6 11,4 57
Berdasarkan tabel 1, menunjukkan bahwa nilai HI di seluruh RW yang disurvei di Kelurahan Tegalsari termasuk dalam kategori risiko tinggi karena nilai HI >10 %. Berdasarkan
Nilai CI dan BI di Kelurahan Tegalsari hanya satu RW yang termasuk risiko rendah terhadap DBD karena CI< 10 % dan BI >50.
Tabel 2. Jenis Kontainer Kategori Controllable Sites di Kelurahan Tegalsari
Jenis Kontainer Jumlah yang diperiksa Positif jentik
f % f % Controllable sites 86 15,7 40 43,5 Bak mandi Ember 173 31,6 9 9.8 Tandon 98 17,9 32 34,8 Pot 36 6,6 2 2,2 Tempat minum/makan hewan 8 1,5 1 1,1 WC 100 18,2 3 3,3
Pembuangan air kulkas 32 5,8 4 4,3
Gentong 13 2,4 1 1,1 Dispenser 2 0,2 0 0 Disposable sites Ember bekas 97 56,1 5 55,6 Pot bekas 21 12,1 1 11,1 Drum bekas 19 11,0 3 33,3 Botol bekas 17 9,8 0 0 Panci bekas 4 2,3 0 0 Gelas bekas 3 1,3 0 0 Gentong bekas 3 1,7 0 0 Gayung bekas 1 0,6 0 0 Lubang pohon 4 2,3 0 0 Aquarium bekas 1 0,6 0 0 Kaleng bekas 2 1,2 0 0 Ban Bekas 1 0,6 0 0
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari jenis kontainer kategori controllable
sites yang paling banyak diperiksa
adalah ember sebanyak 173 (31,6 %) buah, namun kontainer yang paling banyak terdapat jentik adalah bak mandi sebanyak 40 (43,5 %)
buah. Dari sekian banyak jenis kontainer kategori disposable sites yang paling banyak adalah ember bekas sebanyak 97 (56,1 %) buah. Sedangkan yang paling banyak terdapat jentik juga ember bekas
sebanyak 5 (55,6 %) buah.
Tabel 3. Kategori Nilai BRI di Kelurahan Tegalsari
Kategori BRI HRI
Frekuensi % Frekuensi % Rendah Sedang Tinggi 5 84 11 5,0 84,0 11,0 16 55 29 16,0 55,0 29,0 Total 100 100,0 100 100,0
Tabel 3 menunjukkan bahwa
sebanyak 84 rumah di lokasi
penelitian termasuk kategori BRI sedang dengan interval nilai BRI 0,51-1,00. Ini artinya terdapat 84 rumah di Kelurahan Tegalsari yang memiliki banyak kontainer jenis
controllable site dan berisiko sedang
sebagai tempat perindukan nyamuk. Dan sebanyak 55 rumah rumah di
Kelurahan Tegalsari termasuk
kategori HRI sedang dengan interval
nilai HRI 0,08-0,3. Ini artinya
terdapat 55 rumah yang diperiksa memiliki banyak kontainer jenis disposable sites.
Tabel 4. Proporsi Maya Index (MI) di Kelurahan Tegalsari
Kategori HRI 1 (Rendah) HRI2 (Sedang) HRI3 (Tinggi)
BRI 1 (Rendah) 0 (0,0 %) 5 (5,0 %) 0 (0,0 %)
BRI 2 (Sedang) 16 (16,0 %) 43 (43,0 %) 25 (25,0 %)
BRI 3 (Tinggi) 0 (0,0 %) 7 (7,0 %) 4 (4,0 %)
Keterangan:
Maya Index Rendah Maya Index sedang Maya Index Tinggi
Tabel 4 menunjukkan sebuah
proporsi rumah dengan maya index rendah, sedang, dan tinggi. Dari 100 rumah yang diperiksa, terdapat sebanyak 21 (21,0 %) rumah yang memiliki status maya index rendah karena memenuhi kriteria; BRI1 dan HRI1, BRI1 dan HRI2, BRI2 dan HRI1. Sebanyak 43 (43,0 %) rumah
memiliki status maya index sedang karena rumah tersebut mempunyai kriteria; BRI2 dan HRI2. Kemudian sebanyak 36 (36,0 %) rumah yang memiliki status maya index tinggi karena memenuhi kriteria; BRI2 dan HRI3, BRI3 dan HRI2, BRI3 dan HRI3.
Tabel 5. Hubungan Maya Index dengan Kejadian DBD di Kelurahan Tegalsari
Maya Index Kejadian DBD POR 95%Cl DBD Tidak DBD Total f % f % f % Tinggi 11 30,6 25 69,4 36 100,0 Pembanding Sedang 2 4,7 41 95,3 43 100,0 9 1,846-44,082 Rendah 1 4,8 20 95,2 21 100,0 8,8 1,046-74,042
Tabel 5 menunjukkan bahwa
berdasarkan hasil uji statistik
menggunakan uji Chi-Square
diperoleh bahwa rumah yang
memiliki status maya index tinggi
terhadap maya index sedang
mempunyai risiko untuk terkena DBD sebesar 9 kali (POR 9; 95 % CI 1,846-44,082). Sedangkan apabila rumah yang memiliki status maya
index tinggi terhadap maya index
rendah mempunyai risiko sebesar 8,8 kali atau mendekati angka 9 untuk terkena DBD (POR 8,8; 95 % CI 1,046-74,042). Hal ini dapat dikatakan bahwa nilai prevalence
odds ratio (POR) maya index
sedang dan maya index rendah tidak berbeda. Sehingga rumah yang memiliki status maya index sedang dan maya index rendah memiliki risiko yang sama untuk terjadinya DBD.
PEMBAHASAN
1. Tingginya Kepadatan Larva di Kelurahan Tegalsari
Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan nilai HI sebesar 66,0 % yang artinya dari 100 rumah yang diperiksa terdapat 66,0 % rumah yang mengandung jentik. Apabila
dilihat berdasarkan parameter
entomologis, nilai tersebut
menunjukkan bahwa sebanyak 66,0 % rumah di wilayah Kelurahan Tegalsari memiliki kriteria daerah risiko tinggi terhadap penularan DBD. Hasil yang sama dengan penelitian Zulkarnaini, dkk di Kota Dumai dengan nilai HI=86,27 % yang menunjukkan daerah risiko tinggi.12 Berbeda dengan penelitian
Laksmono Widagdo, dkk di
Kelurahan Srondol Wetan yang berdasarkan density figure termasuk dalam transmisi dengue sedang
karena berada pada skala 4.13
Perbedaan ini dapat disebabkan
oleh padat penduduk yang
menyebabkan banyaknya rumah di
wilayah tersebut. Hal ini dapat menimbulkan jarak antar rumah semakin dekat satu sama lain.
Sehingga dapat mempercepat
peningkatan populasi nyamuk
sebagai vektor DBD di wilayah tersebut.
Berdasarkan parameter CI di Kelurahan Tegalsari didapatkan nilai
CI sebesar 16,3 %. Hal ini
menunjukkan bahwa di wilayah Kelurahan Tegalsari memiliki 16,3 % kontainer ditemukan jentik. Apabila
dilihat berdasarkan parameter
entomologis, nilai tersebut
menunjukkan bahwa di wilayah Kelurahan Tegalsari memiliki kriteria daerah risiko tinggi terhadap DBD karena lebih dari 10 %.
Hasil penelitian terkait indikator CI di Kelurahan Tegalsari serupa dengan Victor Imanuel Sambuaga di Kelurahan Perkamil dengan nilai CI sebesar 23,33 % yang menunjukkan daerah risiko tinggi.14 Serupa juga
dengan penelitian Adrial di
Kecamatan Padang Barat bahwa nilai CI yang didapat sebesar 43,0 % yang termasuk dalam kategori risiko tinggi terhadap penularan DBD karena CI > 10 %.15 Berbeda dengan hasil CI pada penelitian yang dilakukan oleh Sulina Parida S di Kelurahan Binjai yaitu sebesar 4 % (CI <10 %) yang artinya mempunyai risiko rendah.16 Perbedaan nilai CI ini disebabkan oleh proporsi kontainer yang positif jentik di Kelurahan
Tegalsari lebih besar bila
dibandingkan dengan proporsi
kontainer positif jentik di Kelurahan Binjai yang lebih rendah sehingga tidak berisiko tinggi.
Dari hasil penelitian diperoleh nilai BI di Kelurahan Tegalsari sebesar 101. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 101 kontainer di wilayah tersebut ditemukan jentik
tiap 100 rumah. Berdasarkan
menunjukkan bahwa Kelurahan Tegalsari berisiko tinggi terhadap penyebaran penyakit DBD karena nilai BI melebihi nilai 50. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Sang Gede Purnama dan Tri Baskoro di Provinsi Bali diperoleh nilai BI sebesar 55 yang menunjukkan risiko tinggi terhadap DBD karena BI>50.17 Selain itu, hasil tersebut serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Tri Mulyowati di Kecamatan Pati. Nilai BI yang
diperoleh pada penelitian di
Kecamatan Pati sebesar 88,3 % yang menunjukkan daerah risiko tinggi terhadap DBD.18
Dari ketiga nilai BI penelitian di
atas dapat disimpulkan bahwa
besarnya nilai BI karena jumlah
kontainer yang positif larva
cenderung hampir sama atau
bahkan lebih banyak daripada
jumlah rumah yang diperiksa. Jadi,
semakin lebih besar jumlah
kontainer yang positif larva
dibandingkan dengan jumlah rumah yang diperiksa maka semakin tinggi pula nilai BI yang diperoleh.
2. Maya Index Berhubungan
dengan Kejadian DBD di
Kelurahan Tegalsari
Berdasarkan uji statistik
menggunakan Chi-Square diperoleh bahwa rumah yang memiliki status maya index tinggi terhadap maya
index sedang mempunyai risiko
untuk terkena DBD sebesar 9 kali (POR 9; 95 % CI 1,846-44,082). Sedangkan apabila rumah yang memiliki status maya index tinggi
terhadap maya index rendah
mempunyai risiko sebesar 8,8 kali atau mendekati angka 9 untuk terkena DBD (POR 8,8; 95 % CI
1,046-74,042). Hal ini dapat
dikatakan bahwa nilai prevalence
odds ratio (POR) maya index
sedang dan maya index rendah tidak berbeda. Sehingga rumah yang
memiliki status maya index sedang dan maya index rendah memiliki risiko yang sama untuk terjadinya
DBD. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa terdapat
hubungan maya index dengan
kejadian DBD di Kelurahan
Tegalsari.
Hasil penelitian ini serupa
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sang Gedhe Purnama dan Tri Baskoro di Kecamatan Denpasar Selatan. Hasil menunjukkan bahwa adanya hubungan status maya index tinggi dengan kejadian DBD dengan besar tingkat risiko 3,088 kali dibandingkan dengan yang memiliki
maya index rendah untuk terkena
DBD.17 Namun hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Misti Rahayu, dkk di
Kecamatan Sawahan bahwa tidak ada hubungan antara status maya
index tinggi dengan kejadian penyakit DBD, dengan nilai RR= 1,028 (CI 95 %= 1,023–1,033).
Perbedaan hasil penelitian ini
dengan penelitian Misti Rahayu, dkk dapat disebabkan oleh mayoritas rumah penduduk di Kecamatan Sawahan berstatus maya index rendah.19
Berdasarkan teori Miller et al, apabila di suatu rumah termasuk dalam kategori maya index tinggi, ini artinya rumah tersebut memiliki jumlah CS dan DS yang tinggi yang menunjukkan rumah tersebut tidak bersih dan berisiko tinggi sebagai tempat perindukan nyamuk. Jumlah
controllable sites (CS) dan
disposable sites (DS) pada tiap
rumah tersebut sebanding dengan nilai BRI dan HRI, sehingga semakin tinggi nilai BRI, semakin tinggi
risiko sebagai tempat
perkembangbiakan nyamuk dan
semakin tinggi nilai HRI, semakin kotor status daerah tersebut.20 Maka dari itu, maya index yang tinggi
mempunyai risiko yang lebih besar untuk terjadi DBD.
Pada kategori CS, kontainer
yang paling banyak ditemukan
adalah ember sebanyak 173 (31,6 %) dan WC sebanyak 100 (18,2 %). Kontainer CS yang paling banyak ditemukan jentik adalah bak mandi sebanyak 40 buah. Bak mandi menjadi kontainer yang paling bak mandi dan kebiasaan masyarakat yang selalu mengisi air sehingga memungkinkan untuk air selalu terisi dalam waktu yang cukup lama. Kemudian cara masyarakat dalam membersihkan air pada bak mandi
tidak disikat, hal itu dapat
menjadikan bak mandi sebagai tempat tinggal telur nyamuk. Sesuai dengan teori Miller yang menyatakan bahwa nyamuk Aedes sp menyukai tempat penampungan yang berair jernih seperti bak mandi terutama yang berada di dalam rumah atau disekitar rumah.18,20
Pada kontainer DS yang paling banyak ditemukan adalah ember bekas sebanyak 97 (56,1 %) dan pot bekas (33,3 %). Dan kontainer jenis DS yang paling banyak ditemukan jentik pada penelitian ini adalah ember bekas sebanyak 5 (55,6 %).
Adanya larva yang banyak
ditemukan pada ember bekas
karena ember bekas yang
ditemukan dalam posisi terbuka lebar atau tanpa penutup dan mayoritas diletakkan di tempat yang
teduh. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Departemen Kesehatan Republik Indonesia bahwa nyamuk Aedes lebih tertarik dan menyukai untuk meletakkan telurnya pada kontainer berair yang terbuka lebar, berwarna gelap, dan terletak di tempat-tempat yang terlindung dari sinar matahari.
SIMPULAN
1. Nilai HI di Kelurahan Tegalsari sebesar 66,0 % yang tergolong
risiko tinggi terhadap DBD
kecuali RW V sebesar 5,3 %. 2. Nilai CI di Kelurahan Tegalsari
sebesar 16,3 % yang tergolong risiko tinggi terhadap kejadian DBD kecuali RW V sebesar 29. 3. Nilai BI di Kelurahan Tegalsari
sebesar 101 yang termasuk risiko tinggi terhadap DBD.
4. Jumlah CS di Kelurahan
Tegalsari sebanyak 548 buah dan paling banyak ditemukan
larva adalah bak mandi
sebanyak 40 (43,5 %).
Sedangkan DS diperoleh
sebanyak 173 buah dan paling banyak ditemukan larva adalah ember bekas sebanyak 5 (55,6 %).
5. Jumlah rumah kategori BRI rendah sebanyak 5 (5,0 %), kategori BRI sedang sebanyak 84 (84,0 %), dan kategori BRI tinggi sebanyak 11 (11,0 %).
Sedangkan HRI rendah
sebanyak 16 (16,0 %), kategori HRI sedang sebanyak 55 (55,0 %), dan kategori HRI tinggi sebanyak 29 (29,0 %).
6. Rumah dengan status maya
index rendah sebanyak 21 (21,0
%), maya index sedang sebanyak 43 (43,0 %), maya
index tinggi sebanyak 36 (36,0
%).
7. Ada hubungan maya index
dengan kejadian DBD di
Kelurahan Tegalsari. Besar risiko
antara maya index tinggi
terhadap maya index rendah 9 kali.
SARAN
1. Dinas Kesehatan
Melatih ibu-ibu pemantau
jentik tentang teknik
pemeriksaan jentik baik di
tempat yang terkontrol
(controllable sites) maupun di tempat yang tidak terkontrol (disposable sites).
2. Masyarakat
Melakukan usaha secara
menyeluruh untuk melakukan
pemberantasan nyamuk
misalnya dengan gerakan 3M (menguras, menutup, mengubur) serta tidak membiasakan untuk menampung air pada kontainer dalam jumlah banyak.
3. Peneliti Lain
Melakukan penelitian yang
serupa untuk memantau
perkembangan dan penyebaran nyamuk vektor penyakit. Selain itu melakukan penelitian terkait hubungan maya index dengan
kejadian DBD dengan
menambahkan variabel-variabel yang lain seperti faktor risiko.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sukohar A. Demam Berdarah
Dengue (DBD). Medula.
2014;2(2).
2. Supartha IW. Pengendalian
Terpadu Vektor Virus Demam Berdarah Dengue, Aedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus
(Skuse) (Diptera:Culicidae).
Pertemuan Ilmiah. Udayana:
Fakultas Pertanian Universitas Udayana Denpasar. 2008.
3. World Health Organization.
Dengue: Guidlines for Diagnosis,
Treatment, Prevention and
Control. New Edition. Geneva: WHO 2009.
4. Kementerian Kesehatan RI.
Demam Berdarah Dengue.
Buletin Jendela Epidemiologi. 2010;2.
5. Kementrian Kesehatan RI. Profil
Kesehatan Indonesia 2010.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011.
6. Seksi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Laporan Hasil Kegiatan Program
Penanggulangan Demam
Berdarah Dengue (DBD)/
Penyemprotan Fogging sarang Nyamuk Tahun 2013. Tegal. Dinas Kesehatan Kota Tegal. 2014.
7. Depkes RI. Perilaku dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sangat Penting Diketahui dalam
Melakukan Kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk Termasuk Pemantauan Jentik Berkala. Buletin Harian Tim Penanggulangan DBD. 2004: edisi Rabu.
8. Ma'mun K. Survei Entomologi
Penyakit Demam Berdarah
Dengue dan Perhitungan Maya
index di Dusun Kalangan Kelurahan Baturetno Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul (Skripsi). Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2007.
9. Sukesi TW. Monitoring Populasi Nyamuk Aedes aegypti L. Vektor
Penyakit Demam Berdarah
Dengue di Kelurahan
Gedongkiwo Kecamatan
Mantrijeron. KES MAS.
2012;6(1):1-74.
10. Pemerintahan Kota Tegal.
Laporan Bulanan Kelurahan
Tegalsari: Keadaan Bulan
Pebruari 2014. Tegal. 2014. 11. Kementerian Republik Indonesia.
Modul Pengendalian Demam
Berdarah Dengue. Jakarta:
Direktorat jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan
12. Zulkarnaini, Siregar YI, dan
Dameria. Hubungan Kondisi
Sanitasi Lingkungan Rumah
Tangga Dengan Keberadaan
Jentik Vektor Dengue di Daerah
Rawan Demam Berdarah
Dengue Kota Dumai Tahun 2008. J Enviromental Science. 2009;2(3).
13. Widagdo L, Husodo BT, Bhinuri. Kepadatan Jentik Aedes aegypti Sebagai Indikator Keberhasilan Pemberantasan Sarang Nyamuk (3M Plus): Di Kelurahan Srondol
Wetan Semarang. Makara
Kesehatan. 2008;12(1):13-19.
14. Sambuaga JVI. Status
Entomologi Vektor Demam
Berdarah Dengue di Kelurahan Perkamil Kecamatan Tikala Kota
Manado Tahun 2011. JKL.
2011;1(1):54-61.
15. Adrial. Beberapa Aspek Indikator Entomologi Nyamuk Aedes Spp.
Dalam Rangka Perencanaan
Pengendalian Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Padang Barat,
Kodya Padang. Majalah
Kedokteran Andalas.
2006;30(2).60-68.
16. Parida SS. Hubungan
Keberadaan Jentik Aedes
aegypti dan Pelaksanaan 3M
plus dengan Kejadian penyakit
DBD di Lingkungan XVIII
Kelurahan Binjai Kota Medan Tahun 2012. (Skripsi) Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara. 2012. 17. Purnama SG, Baskoro T. Maya
Index dan Kepadatan Larva Aedes aegypti Terhadap Infeksi Dengue. Makara Kesehatan. 2012;16(2):57-64.
18. Mulyowati T. Kepadatan
Populasi Nyamuk Aedes Sp di Daerah Endemis, Sporadis dan Non Endemis di Kecamatan Pati. Biomedika. 2012;5(2).
19. Rahayu M, Baskoro T, Wahyudi
B. Studi Kohort Kejadian
Penyakit Demam Berdarah
Dengue. Berita Kedokteran
Masyarakat. 2010;26(4):163-170. 20. Miller JE, Balanzar A and Gazga D. Where Aedes aegypti Live In Guerrero, Using The Maya Index
To Measure Breeding Risk
Dalam Halstead SB And Gomez H. Dengue A World Wide
Problem, Common Strategy.