• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Tinggal Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Sanitasi Lingkungan Rumah Tinggal Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2016"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue

2.1.1 Definisi Demam Berdarah Dengue

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang semakin luas penyebarannya. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 dari genus Flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk tersebut terdapat hampir

di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut dan merupakan vektor utama penyakit DBD (Sembel, 2009).

Masa inkubasi penyakit DBD yaitu periode sejak virus Dengue menginfeksi manusia hingga menimbulkan gejala klinis. Masa inkubasi ekstrinsik berlangsung selama 8-10 hari, sedangkan masa inkubasi intrinsik berlangsung antara 3 – 14 hari, rata-rata 4-7 hari (WHO, 2005).

2.1.2 Epidemiologi dan Distribusi DBD 2.1.2.1 Epidemiologi DBD

(2)

DBD disertai tingkat kematian yang tinggi melanda negara di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia, Myanmar, Thailand, Singapura, Kamboja, Malaysia, dan Vietnam. Selama dua puluh tahun kemudian, terjadi peningkatan kasus dan wilayah penyebaran DBD yang luar biasa hebatnya, dan saat ini KLB muncul setiap tahunnya di beberapa negara di Asia Tenggara (Depkes RI, 2014).

Di Indonesia, penyakit DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 2010 telah menyebar di 33 provinsi dan 440 kota/kabupaten. Sejak ditemukan pertama kali kasus DBD terus meningkat dan bahkan sejak tahun 2004 kasus tersebut meningkat tajam. Kasus DBD terbanyak dilaporkan di daerah–daerah dengan tingkat kepadatan yang tinggi seperti provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera (Depkes RI, 2014).

2.1.2.2 Distribusi DBD

Menurut Soegijanto (2006), distribusi pada penderita DBD dikelompokkan berdasarkan:

1. Distribusi Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Etnik

(3)

Syndrome (DSS) menunjukkan angka kematian yang tinggi dibandingkan

dengan kelompok laki-laki. Sedangkan untuk distribusi berdasarkan etnik, Singapura dan Malaysia pernah mencatat adanya perbedaan angka kejadian infeksi di antara kelompok etnik.

2. Distribusi Berdasarkan Waktu

Penularan DBD biasanya terjadi pada musim hujan yaitu meningkat pada bulan Mei sampai Agustus dan menurun pada bulan Oktober. Hal ini disebabkan karena pada musim hujan vektor penyakit demam berdarah jumlahnya semakin meningkat dengan bertambah banyaknya sarang-sarang nyamuk di luar rumah dan pada musim kemarau Aedes aegypti bersarang di bejana-bejana yang menampung air seperti bak mandi, tempayan, drum dan penampungan air lainnya.

3. Distribusi Berdasarkan tempat

(4)

nyamuk sedang sampai berat, sementara daerah pegunungan memiliki populasi nyamuk yang rendah.

2.1.3 Vektor Penular Penyakit DBD

Menurut Djunaedi (2006), vektor penyakit DBD adalah nyamuk jenis Aedes aegypti dan Aedes albopictus terutama bagi negara di Asia, seperti Filiphina dan Jepang, sedangkan nyamuk jenis Aedes polynesiensis, Aedes scutellaris dan Aedes pseudoscutellaris merupakan vektor di negara-negara kepulauan Pasifik dan New Guinea. Menurut Soegijanto (2006), Vektor DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes scutellaris, tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti.

2.1.4 Ekologi Aedes aegypti

Menurut Achmadi (2014), nyamuk memerlukan seperangkat faktor untuk mendukung kehidupannya, seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, ketersediaan pangan, tempat perindukan dan tempat beristirahat. Keberadaan nyamuk Aedes aegypti di lingkungan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik dan biologis. Adapun dari lingkungan fisik yang mempengaruhi keberadaan nyamuk tersebut antara lain temperatur, curah hujan dan ketinggian tempat.

1. Lingkungan Fisik a. Temperatur

(5)

pertumbuhan nyamuk akan berhenti. Dan pada suhu lingkungan yang hangat akan menyebabkan lebih cepatnya pengaktifan virus Dengue di dalam tubuh nyamuk (Achmadi, 2014).

b. Curah hujan

Curah hujan yang tinggi akan menambah banyaknya genangan air di lingkungan yang digunakan oleh nyamuk sebagai tempat perindukan. Selain itu juga mampu menambah kelembaban udara. Dengan kelembaban udara yang tinggi maka semakin baik untuk tempat nyamuk melakukan siklus hidupnya.

c. Ketinggian tempat

Ketinggian tempat yang berbeda–beda mempengaruhi perkembangan nyamuk. Tempat dengan ketinggian di atas 1000 meter dari permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Aedes aegypti dikarenakan pada ketinggian tersebut temperatur terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk.

2. Lingkungan Biologis

(6)

2.1.5 Bionomik Nyamuk Aedes aegypti

Menurut WHO (2005), bionomik Aedes aegypti dilihat berdasarkan perilaku mencari makan, istirahat, jarak terbang dan lama hidup. Berikut penjelasannya:

1. Prilaku Makan

Aedes aegypti bersifat antropofilik (menyukai darah manusia), namun nyamuk ini juga bersifat zoofilik dari hewan berdarah panas. Aktivitas menggigit berbeda antara nyamuk betina dan nyamuk jantan. Nyamuk betina menggigit dua kali sehari yaitu di pagi hari selama beberapa jam setelah matahari terbit dan pada sore hari selama beberapa jam sebelum gelap. Puncak aktivitas menggigit yang sebenarnya dapat beragam bergantung lokasi dan musim.

2. Perilaku Istirahat

Aedes aegypti beristirahat di tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan termasuk di kamar tidur, kamar mandi dan di dapur. Tempat istirahat di dalam rumah yang paling disukai yaitu pada pakaian yang tergantung, di dinding dan di bawah perabotan rumah tangga. Nyamuk jenis ini jarang ditemukan di luar rumah, di tumbuhan atau tempat terlindung lainnya.

3. Jarak Terbang

(7)

darah. Namun untuk pencarian tempat bertelur nyamuk ini dapat berpindah sejauh 400 meter.

4. Lama Hidup

Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya delapan hari. Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, risiko penyebaran virus semakin besar.

2.1.6 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti

Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti dibagi menjadi empat stadium, yaitu telur, larva atau jentik, pupa dan nyamuk dewasa sehingga termasuk metamorfosis sempurna atau holometabola (Soegijanto, 2006).

1. Stadium Telur

Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam, berbentuk oval memanjang dengan ukuran 0,5-0,8 mm, dan tidak memiliki alat pelampung. Nyamuk ini meletakkan telur-telurnya satu per satu pada permukaan air jernih dan diletakkan di tepi air pada tempat-tempat penampungan air bersih dan sedikit di atas permukaan air. Nyamuk Aedes aegypti betina mampu menghasilkan hingga 100 telur apabila telah menghisap darah manusia. Telur pada tempat kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan. Telur-telur ini kemudian akan menetas menjadi jentik setelah sekitar 1-2 hari terendam air.

2. Stadium Larva (Jentik)

(8)

sangat lincah, dan pada waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan permukaan air. Larva menuju ke permukaan air dalam waktu kira-kira setiap ½-1 menit untuk mendapatkan oksigen yang digunakan untuk bernapas. Larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 6-8 hari. Tingkat (instar) jentik ada empat yang sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu:

a. Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm b. Instar II : 2,5-3,8 mm

c. Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II d. Instar IV : berukuran paling besar, yaitu 5 mm 3. Stadium Pupa

Pupa nyamuk Aedes aegypti berbentuk seperti koma, dengan bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya. Tahap pupa pada nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung selama 2-4 hari. Saat nyamuk dewasa akan melengkapi perkembangannya dalam cangkang pupa, pupa akan naik ke permukaan dan berbaring sejajar dengan permukaan air untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping dibanding larvanya dan berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain

4. Nyamuk dewasa

(9)

sebelum akhirnya dapat terbang. Nyamuk jantan muncul satu hari sebelum nyamuk betina, menetap dekat tempat perkembangbiakan, makan dari sari buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian. Setelah kemunculan pertama nyamuk betina makan sari buah tumbuhan untuk mengisi tenaga, kemudian melakukan perkawinan dan menghisap darah manusia. Umur nyamuk betinanya dapat mencapai 2-3 bulan (Depkes RI, 2005)

2.1.7 Klasifikasi dan Morfologi Nyamuk Aedes aegypti 2.1.7.1 Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti

Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Seogijanto (2006), klasifikasi nyamuk Aedes aegypti atau biasa disebut black-white mosquito adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Bangsa : Diptera Suku : Culicidae Marga : Aedes

Jenis : Aedes aegypti L. 2.1.7.2 Morfologi Nyamuk Aedes aegypti

(10)

penusuk-pengisap dan lebih menyukai manusia. Sedangkan nyamuk jantan lebih menyukai cairan tumbuhan. Selain itu, dada nyamuk juga tersusun atas tiga ruas yaitu porothorax, mesothorax, dan metathorax. Pada ruas kaki ada gelang-gelang putih, pada bagian dada terdapat sepayang sayap tanpa noda hitam dan pada bagian punggung ada gambaran garis-garis putih yang dapat digunakan untuk membedakan dengan jenis lain.

2.1.8 Tempat Perkembangbiakan

Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti menurut Departemen Kesehatan RI (2005) dikelompokkan sebagai berikut:

1. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti drum, tanki reservoir, bak mandi/WC, tempayan, ember, gentong, dan lain-lain. 2. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti

tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut, bak kontrol, pembuangan air, kulkas/dispenser, dan barang-barang bekas seperti kaleng, botol, ban bekas dan plastik bekas.

3. Tempat penampungan air alamiah, seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang, pohon bambu dan tempurung coklat/karen, dan lain-lain.

2.1.9 Gejala

(11)

1. Gejala awal

Gejala awal ditandai dengan demam, sakit kepala, gatal-gatal pada otot dan persendian, malaise, kehilangan nafsu makan, dan muntah-muntah. 2. Gejala fase akut

Gejala fase akut seperti terguncang, berkeringat banyak dan keringat basah. Selain itu, terlihat tidak tenang yang diikuti dengan gejala yang lebih parah, bintik-bintik darah pada permukaan dan bawah kulit, serta terdapat ruam. Apabila dilihat dari pemeriksaan secara fisik, pasien menunjukkan tekanan darah rendah, lemah, denyut jantung lemah, mata merah, kerongkongan merah, kelenjar membengkak, dan hati membengkak (hepatomegaly).

2.1.10 Diagnosis

Untuk keakuratan hasil diagnosis, maka dilakukan pemeriksaan DBD di laboratorium. Ada beberapa jenis pemeriksaan laboratorium pada penderita DBD antara lain:

1. Hematologi a.Leukosit

Jumlah leukosit biasanya berkurang dengan dominasi sel neutrofil, disertai dengan peningkatan jumlah sel limfosit plasma biru (LPB) > 4% yang dijumpai pada saat sakit hari ketiga sampai ketujuh.

b.Trombosit

(12)

c.Hematokrit

Hematokrit meningkat ≥ 20 %. Peningkatan nilai hematokrit

menggambarkan adanya kebocoran pembuluh darah. 2. Radiologi

Pada fototoraks posisi “Right Lateral Decubitus” dapat mendeteksi adanya efusi pleura minimal pada bagian kanan. Asitesis, penebalan dinding kandung empedu dan efusi pleura dapat dideteksi dengan pemeriksaan USG yang menunjang terjadinya kebocoran plasma.

3. Serologis

Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada penderita yang terinfeksi virus Dengue. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu uji serologis hemaglutinasi inhibisi, ELISA dan pemeriksaan Dengue rapid test (Depkes RI, 2014).

WHO membagi menjadi empat kategori penderita menurut berat ringannya manifestasi klinis penderita sebagai berikut:

1. Derajat I, yang ditandai dengan adanya demam tanpa pendarahan spontan, manifestasi pendarahan hanya berupa torniquet test positive

2. Derajat II, yang ditandai dengan adanya gejala demam yang diikuti oleh perdarahan spontan, biasanya berupa perdarahan di bawah kulit atau perdarahan lainnya

(13)

4. Derajat IV, yang ditandai dengan adanya renjatan berat dan nadi tidak teraba dan juga tekanan darah yang tidak terukur (Soegijanto, 2006). 2.1.11 Penularan Demam Berdarah Dengue

Menurut Departemen Kesehatan RI (2005), penyakit DBD ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti betina yang mendapatkan virus Dengue sewaktu menghisap darah penderita lain. Selanjutnya virus Dengue yang terhisap akan berkembang biak dan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk, termasuk kelenjar liurnya. Dan apabila nyamuk tersebut menggigit atau menghisap darah orang lain maka virus tersebut akan berpindah bersamaan dengan air liurnya. Jika orang yang ditularkan tidak memiliki kekebalan tubuh maka virus itu akan menyerang sel pembeku darah dan merusak dinding pembuluh darah kecil yang dapat mengakibatkan terjadinya pendarahan dan kekurangan cairan yang ada dalam pembuluh darah orang tersebut.

2.1.12 Pencegahan

Menurut Rahayu (2010), pencegahan utama demam berdarah yaitu dilakukan dengan cara modifikasi dan manipulasi lingkungan, serta menghilangkan tempat perindukan nyamuk. Hal – hal yang perlu dilakukan untuk menjaga kesehatan agar terhindar dari penyakit demam berdarah di antaranya dalah :

1. Melakukan kebiasaan hidup yang sehat yaitu dengan cara mengonsumsi makanan bergizi, olahraga secara teratur, dan istirahat yang cukup.

(14)

barang-barang bekas yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk

3. Fogging atau pengasapan apabila telah diketahui ada penderita demam berdarah di suatu daerah dan penggunaan bubuk abate untuk membasmi jentik nyamuk pada tempat penampungan air dan juga untuk memutus rantai perkembangbiakan nyamuk

4. Apabila penderita mengalami demam atau panas tinggi maka segera berikan obat penurun panas. Dan jika penderita mengalami syok segera bawa ke rumah sakit.

Selain itu, untuk pencegahan penularan perlu diarahkan pada pemberantasan nyamuk yang menjadi vektor penular Dengue. Tindakan pencegahan harus dilakukan sebelum terjadinya masa penularan (yaitu selama dan sesudah musim hujan) dan pada saat terjadi epidemi. Untuk menghindari gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan mengenakan pakaian yang menutupi seluruh bagian dan anggota badan dan mengoleskan pengusir nyamuk (repellent).

2.1.13 Pengendalian

(15)

Menurut Depkes RI (2014), metode pengendalian vektor yaitu secara kimiawi, biologis, manajemen lingkungan, pemberantasan sarang nyamuk/PSN, pengendalian vektor terpadu (Integrated Vector Management/IVM).

1. Kimiawi

Pengendalian vektor secara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun, maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran. Di samping itu penentuan jenis insektisida, dosis dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang di satuan ekosistem akan menimbulkan resistensi serangga sasaran.

2. Biologi

(16)

stadium pra-dewasa yang diaplikasikan ke dalam habitat perkembangbiakan vektor.

3. Manajemen Lingkungan

Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana dan prasarana penyediaan air, vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat perkembangbiakan dan petumbuhan vektor DBD. Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus dan mengelola atau menghambat

pertumbuhan vektor.

4. Pemberantasan Sarang Nyamuk / PSN-DBD

Pengendalian vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya dalam bentuk 3M plus yang harus dilakukan secara serempak dan terus menerus.

5. Pengendalian Vektor Terpadu

(17)

2.1.14 Pengobatan

Bagian terpenting dari pengobatan adalah terapi suportif. Pasien atau penderita disarankan untuk menjaga penyerapan makanan terutama dalam bentuk cairan, selain itu dengan penambahan cairan infus untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan, pengobatan alternatif dengan mengkonsumsi jus jambu biji (Psidium guajava L) dan sari kurma untuk mengembalikan jumlah trombosit (Rahayu, 2010).

Berdasarkan penelitian Soegijanto dan Nasiruddin (2005), ekstrak jambu biji dapat mempercepat pencapaian jumlah trobosit lebih dari 100.000/µl dan dapat meningkatkan jumlah trombosit bagi penderita DBD pada anak. Pengaruh ini terutama pada anak yang tidak mengalami syok.

2.2 Sanitasi Lingkungan Rumah 2.2.1 Definisi Sanitasi Lingkungan

Menurut Depkes (2002) sanitasi adalah pencegahan penyakit dengan mengurangi atau mengendalikan faktor-faktor lingkungan fisik yang berhubungan dengan rantai penularan penyakit. Menurut Chandra (2007), lingkungan hidup manusia terdiri dari dua bagian yaitu lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan hidup internal merupakan suatu keadaan yang dinamis dan seimbang yang disebut dengan homeostasis, sedangkan lingkungan hidup eksternal merupakan lingkungan di luar tubuh manusia yang terdiri atas:

1. Lingkungan fisik

(18)

radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan masa serta memegang peran penting dalam proses terjadinya penyakit pada masyarakat.

2. Lingkungan biologis

Adapun yang termasuk ke dalam lingkungan biologis yang bersifat biotik atau benda hidup seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga, dan lain-lain yang dapat berperan sebagai agen penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes intermediat. Hubungan manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat dinamis dan pada keadaan tertentu saat terjadi ketidakseimbangan di antara hubungan tersebut, manusia akan menjadi sakit.

3. Lingkungan sosial

Adapun yang termasuk ke dalam lingkungan sosial yaitu kultur, adat-istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik (Chandra, 2007)

2.2.2 Definisi Rumah

(19)

Perumahan yang baik terdiri dari kumpulan rumah yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung seperti sarana jalan, saluran air kotor, tempat sampah, sumber air bersih, tempat ibadah, pusat kesehatan, bebas dari banjir, dan lain sebagainya. Standar bangunan untuk penyediaan rumah tinggal yang baik dilihat dari desain, letak dan luas ruangan serta fasilitas lain agar kebutuhan keluarga akan rumah tinggal yang sehat dan menyenangkan dapat terpenuhi (Chandra, 2007).

2.2.3 Persyaratan Rumah Sehat

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.829/Menkes/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, rumah tinggal dikatakan sehat apabila:

1. Bahan bangunan

a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan, antara lain : debu total kurang dari 150 μg/m2, asbestos kurang dari 0,5 serat/m3 per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg bahan

b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme patogen.

2. Komponen dan penataan ruangan

a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan;

b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan

(20)

d. Bubungan rumah 10 m dan ada penangkal petir e. Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya f. Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap. 3. Pencahayaan

Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.

4. Kualitas udara

a. Suhu udara nyaman antara 18 – 300C b. Kelembaban udara 40 – 70%

c. Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam; d. Pertukaran udara 5 kaki/menit/penghuni; e. Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam; f. Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3. 5. Ventilasi

Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. 6. Vektor penyakit

Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah. 7. Penyediaan air

(21)

b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun 2002.

8. Sarana penyimpanan makanan

Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman. 9. Pembuangan Limbah

a. Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan tanah;

b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah.

10.Kepadatan hunian

Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur.

Menurut Chandra (2007), kriteria untuk rumah sehat sederhana (RSS) di Indonesia, yaitu:

1. Luas tanah antara 60-90 meter persegi 2. Luas bangunan antara 21-36 meter persegi

3. Memiliki fasilitas kamar tidur, kamar mandi (WC), dan dapur 4. Berdinding batu bata dan diplester

5. Memiliki lantai dari ubin keramik dan langit-langit dari triplek 6. Memiliki sumur atau air PAM

(22)

Selain kriteria di atas terdapat faktor-faktor kebutuhan yang perlu diperhatikan dan dipenuhi, yaitu kebutuhan fisiologi, psikologis, bebas dari bahaya kecelakaan atau kebakaran, dan kebutuhan lingkungan.

1. Kebutuhan Fisiologis a. Suhu ruangan

Suhu ruangan harus dijaga dan berkisar antara 18-20o C b. Penerangan

Rumah harus mendapatkan penerangan baik pada siang maupun malam hari dengan bantuan listrik. Dan diupayakan mendapat sinar matahari terutama di pagi hari.

c. Ventilasi udara

Setiap rumah harus memiliki jendela yang memadai. Luas jendela secara keseluruhan kurang lebih 15% dari luas lantai. Susunan ruangan sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas jika jendela dan pintu dibuka.

d. Jumlah ruangan atau kamar

Ruang atau kamar diperhitungkan berdasarkan jumlah penghuni atau jumlah orang yang tinggal bersama di dalam satu rumah atau sekitar 5 m2 per orang.

Tabel 2.1 Perbandingan jumlah kamar dengan penghuni rumah

(23)

2. Kebutuhan Psikologis

a. Keadaan rumah dan sekitarnya, cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga yang sehat

b. Adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi setiap anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut

c. Untuk setiap anggota keluarga, terutama yang mendekati dewasa harus memiliki ruangan sendiri sehingga privasinya tidak terganggu dan ada ruangan untuk bermasyarakat.

3. Kebutuhan Terhindar dari Bahaya Kecelakaan dan Kebakaran a. Konstruksi rumah dan bahan bangunan harus kuat

b. Adanya sarana pencegahan kecelakaan terutama untuk anak-anak c. Bahan bangunan terbuat dari bahan yang tidak mudah terbakar d. Memiliki alat pemadam kebakaran

e. Lantai tidak licin dan tidak boleh tergenang air 4. Kebutuhan lingkungan

a. Memiliki sumber air bersih dan sehat dan tersedia terus menerus b. Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah

yang baik

c. Dapat mencegah terjadi perkembangbiakan vektor penyakit

(24)

2.2.4 Fasilitas Sanitasi

2.2.4.1 Penyediaan Air Bersih

Menurut Permenkes RI Nomor 416 Tahun 1990, air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak terlebih dahulu. Kebutuhan manusia terhadap air antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci dan sebagainya.

Persyaratan sistem penyedian air bersih harus memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut meliputi persyaratan kuantitas, kualitas dan kontinuitas.

1. Persyaratan Kuantitas

Persyaratan kuantitas atau debit dalam penyediaan air bersih dilihat dari banyaknya air baku yang tersedia. Menurut Slamet (2002), kuantitas air yang dibutuhkan tergantung kepada aktivitas dan tingkat kebutuhan setiap hari. Semakin banyak aktivitas yang dilakukan maka kebutuhan air akan semakin besar pula. Di Indonesia diperkirakan dibutuhkan air sebanyak 138,5 l/orang/hari dengan perincian yaitu untuk mandi dan cuci kakus 12 l, minum 2 l, cuci pakaian 10,7 l, kebersihan rumah 31,4 l.

2. Persyaratan Kualitas

(25)

416/Menkes/Per/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air. Syarat-syarat kualitas air bersih adalah sebagai berikut:

a. Syarat fisik

Secara fisik air bersih harus jernih, tidak berbau dan tidak berasa. Selain itu juga suhu air bersih sebaiknya sama dengan suhu udara atau kurang lebih 25oC, dan apabila terjadi perbedaan maka batas yang diperbolehkan adalah 25oC ± 3oC.

b. Syarat Kimia

Air bersih tidak boleh mengandung bahan-bahan kimia dalam jumlah yang melampaui batas. Beberapa persyaratan kimia antara lain adalah pH, total solid, zat organik, CO2, kesadahan, kalsium (Ca), besi (Fe), mangan (Mn), tembaga (Cu), seng (Zn), chlorida (Cl), nitrit, flourida (F), serta logam berat.

c. Syarat Mikrobiologi

Air bersih tidak boleh mengandung kuman patogen dan parasitik yang mengganggu kesehatan. Persyaratan bakteriologis ini ditandai dengan tidak adanya bakteri E. coli atau Fecal coli dalam air.

d. Syarat Radiologis

(26)

3. Persyaratan Kontinuitas

Air baku untuk air bersih harus dapat diambil terus menerus dengan fluktuasi debit yang relatif tetap, baik pada saat musim kemarau maupun musim hujan. Kontinuitas juga dapat diartikan bahwa air bersih harus tersedia 24 jam per hari atau setiap saat diperlukan.

Air yang berada di permukaan bumi berasal dari berbagai sumber. Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi air angkasa (hujan), air permukaan, air tanah, air sumur dan air mata air.

1. Air Angkasa (Hujan)

Air angkasa atau air hujan merupakan sumber utama air di bumi. Walaupun pada saat presipitasi merupakan air yang paling bersih, air tersebut cenderung mengalami pencemaran ketika berada di atmosfer, pencemaran yang berlangsung di atmosfer itu dapat disebabkan oleh partikel debu, mikroorganisme, dan gas, misalnya, karbon dioksida, nitrogen dan ammonia (Chandra, 2006).

2. Air Permukaan

Air permukaan yang meliputi badan-badan air semacam sungai, danau, telaga, waduk, rawa, terjun, dan sumur permukaan, sebagian besar berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi (Chandra, 2007).

3. Air Tanah

(27)

pergerakan yang sangat lambat dan waktu tinggal yang lama tersebut, air tanah akan sulit untuk pulih kembali jika mengalami pencemaran (Effendi, 2003).

4. Air Sumur

Air sumur merupakan sumber utama air bersih bagi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Untuk memperoleh sumber air tersebut umumnya manusia membuat sumur gali atau sumur bor. Sumur gali adalah satu konstruksi sumur yang paling umum dan meluas dipergunakan untuk mengambil air tanah bagi masyarakat kecil dan rumah-rumah perorangan sebagai air minum dengan kedalaman 7-10 meter dari permukaan tanah. Sumur bor adalah jenis sumur dengan cara pengeboran lapisan air tanah yang lebih dalam ataupun lapisan tanah yang jauh dari tanah permukaan dapat dicapai sehingga sedikit dipengaruhi kontaminasi, yang mempunyai kedalaman 12-40 meter (Effendi, 2003). Menurut Chandra (2007), secara teknis sumur dibagi menjadi dua jenis, yaitu sumur dangkal dan sumur dalam.

Tabel 2.2 Perbedaan antara sumur dangkal dan sumur dalam Sumur Dangkal Sumur Dalam Sumber Air Air permukaan Air tanah

Kualitas Air Kurang baik Baik

Kualitas Bakteriologis Kontaminasi Tidak terkontaminasi Persediaan Kering pada musim

kemarau

Tetap ada sepanjang tahun

(28)

2.2.5.2 Pembuangan Kotoran/Jamban

Pembuangan kotoran (tinja) manusia merupakan bagian yang penting dalam kesehatan lingkungan. Di sebagian besar negara-negara, pembuangan tinja yang layak merupakan kebutuhan kesehatan masyarakat yang mendesak. Pembuangan yang tidak saniter dari tinja manusia dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi terhadap air tanah dan sumber-sumber air bersih. Kondisi ini mengakibatkan agen penyakit dapat berkembang biak dan menyebarkan infeksi terhadap manusia (Chandra, 2007).

Menurut Depkes RI (2002), jamban keluarga sehat adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Tidak mencemari sumber air minum, dengan letak lubang penampung berjarak 10-15 m dari sumber air minum.

2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus. 3. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak

mencemari tanah di sekitarnya.

4. Mudah dibersihkan dan aman penggunaannya.

5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna. 6. Cukup penerangan, lantai kedap air, ventilasi cukup, tersedia air dan alat

pembersih.

2.2.5.3 Pengelolaan Sampah

(29)

Menurut Chandra (2007), sampah erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, merupakan tempat hidup berbagai mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen), oleh sebab itu sampah harus dikelola dengan baik.

Menurut Azwar (1995), ada 6 jenis pembagian sampah yang dikenal dalam ilmu kesehatan lingkungan yaitu:

1. Garbage, ialah sisa pengelolaan ataupun sisa makanan yang mudah membusuk. Misalnya, kotoran dapur rumah tangga

2. Rubbish, ialah bahan atau sisa pengelolaan yan tidak mudah membusuk, seperti kayu, kertas, kaleng dan kaca

3. Ashes, ialah segala jenis abu, seperti sisa pembakaran kayu dan batu bara

4. Dead animal, ialah segala jenis bangkai hewan misalnya bangkai kuda, kucing, tikus, lipas, dan lain sebagainya

5. Street sweeping, ialah segala jenis sampah atau kotoran yang berserakan di jalan karena dibuang oleh pengendara mobil ataupun oleh masyarakat yang tidak bertanggung jawab

6. Industrial waste, ialah benda padat sisa yang merupakan sampah sisa industri.

Untuk mencegah penularan penyakit melalui sampah yang tidak dikelola maka perlu disediakan tempat sampah yang memenuhi syarat kesehatan. Adapun syarat-syarat tempat sampah antara lain :

(30)

1. Konstruksinya kuat agar tidak mudah bocor, untuk mencegah berseraknya sampah.

2. Mempunyai tutup, mudah dibuka, dikosongkan isinya serta dibersihkan, sangat dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori tangan.

3. Ukuran tempat sampah sedemikian rupa, sehingga mudah diangkut oleh satu orang.

2.2.5.4 Pembuangan Air Limbah

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001, air limbah adalah sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair. Air limbah atau air kotoran adalah air yang tidak bersih dan mengandung berbagai zat yang bersifat membahayakan kehidupan manusia atau hewan dan lazimnya muncul karena hasil perbuatan manusia termasuk industrialisasi (Azwar, 1995).

Air limbah rumah tangga (sullage) adalah air limbah yang berasal dari buangan kamar mandi, dapur, air cuci pakaian, dan lain-lain yang mungkin mengandung mikroorganisme patogen. Ada beberapa cara pembuangan air limbah rumah tangga yaitu pembuangan umum, digunakan untuk menyiram tanaman kebun, dibuang ke lahan peresapan, dialirkan ke saluran terbuka, dan dialirkan ke saluran tertutup atau selokan (Chandra, 2007).

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian DBD

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian Demam Berdarah Dengue, antara lain:

(31)

1. Faktor Sanitasi Lingkungan Rumah

Faktor fisik lingkungan rumah yang berkaitan dengan kejadian DBD adalah:

a. Pemasangan kawat kasa pada ventilasi

Ventilasi yang dipasang kawat kasa akan mengurangi jalan masuk bagi nyamuk Aedes aegypti ke dalam rumah sehingga akan mengurangi kontak langsung dengan penghuni rumah. Berdasarakan penelitian Maria (2013) di Kota Makassar diketahui bahwa ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat yaitu tidak berkasa menjadi faktor risiko terhadap kejadian DBD dengan nilai OR = 9,048. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Tamza, Suhartono dan Darminto (2013) di Kelurahan Perumnas Way Halim Kota Bandar Lampung menyimpulkan bahwa pemasangan kawat kasa pada ventilasi mempunyai hubungan dengan kejadian DBD (p=0,038) nilai OR = 4,753.

b. Kerapatan dinding

(32)

(2015), diketahui bahwa terdapat hubungan antara kerapatan dinding rumah dengan kejadian DBD di Kecamatan Medan Perjuangan dengan OR = 0,196.

c. Langit-langit/Plafon

Langit-langit/Plafon rumah adalah area yang membatasi antara lantai dan atap. Pemasangan langit-langit yang baik berguna untuk menahan debu dan kotoran lain yang jatuh dari atap, dan harus menutup rata kerangka atap serta mudah dibersihkan. Syarat yang baik untuk langit-langit adalah dengan tinggi dari lantai minimal 2,5 meter. Jika terlalu pendek dapat mengakibatkan ruangan menjadi pengap dan terasa panas sehingga mengurangi kenyamanan di dalam ruangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tanjung (2015), diketahui bahwa terdapat hubungan antara langit-langit/plafon rumah dengan kejadian DBD di Kecamatan Medan Perjuangan dengan OR = 0,036. d. Pencahayaan

(33)

bahwa terdapat hubungan pencahayaan ruangan dengan kejadian DBD (p=0,013) dengan OR=1,460. Demikian pula dengan penelitian Sholihah (2014) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan kejadian DBD (p=0,021). e. Kelembaban

Nyamuk Aedes aegypti menyukai tempat hinggap dan beristirahat di dalam ruang relatif lembab dengan intensitas cahaya yang rendah (agak gelap). Pengaruh buruk akibat kurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruang naik dan kelembaban udara ruang bertambah. Menurut Mardihusodo (1988) disebutkan bahwa kelembaban udara yang berkisar 81,5 - 89,5% merupakan kelembaban yang optimal untuk proses embriosasi dan ketahanan hidup embrio nyamuk. Berdasarakan penelitian Maria (2013) di Kota Makassar diketahui bahwa kelembaban berisiko terhadap kejadian DBD (Odds ratio = 3,364). Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Yudhastuti dan Vidiyani (2005) di Kota Surabaya menunjukkan bahwa kelembaban berhubungan dengan keberadaan jentik Aedes aegypti.

f. Pengelolaan Sampah

(34)

g. Saluran Pembuangan Air Limbah

Berdasarkan Penelitian Wahyuni (2013) di Gorontalo diperoleh kesimpulan bahwa saluran pembuangan air limbah menjadi faktor risiko kejadian DBD dengan nilai OR=1,42.

h. Tempat penampungan air sebagai tempat perindukan

Keadaan tempat penampungan air bersih yang tidak memenuhi syarat mendukung terjadinya penyakit DBD, dimana tempat-tempat penampungan air bersih yang tidak menutup rapat, merupakan tempat yang potensial untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Agar tidak menjadi media pertumbuhan nyamuk, maka tempat penyimpanan air hendaknya berupa wadah yang tertutup, mudah dibersihkan minimal seminggu sekali dan diberikan bubuk abate minimal 2-3 bulan. Untuk wadah-wadah penyimpanan air yang biasa digunakan seperti tong, bak mandi, dan pada tempat cadangan air harus diberi penutup yang rapat untuk mencegah tempat tersebut agar tidak menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes. Berdasarkan penelitian Hanike, dkk (2015) di Kecamatan Manggala Kota Makassar diketahui bahwa terdapat hubungan tempat perindukan nyamuk dengan kejadian DBD (p=0,001).

2. Karakteristik Individu a. Umur

(35)

Dengue, meskipun baru berumur beberapa hari setelah lahir. Berdasarkan penelitian Hasyimi (2011) diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara umur dengan kejadian DBD (p=0,014). b. Jenis Kelamin

Sejauh ini tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan DBD dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin. Berdasarkan penelitian Darjito (2008) di Banyumas menyatakan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD dengan OR sebesar 4,896.

c. Pendidikan

Kelompok masyarakat yang berpendidikan tinggi cenderung lebih mengetahui cara-cara mencegah penyakit Demam Berdarah Dengue, misalnya dengan melakukan PSN, program 3M, dan pemberian bubuk abate. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Roose (2008) di Bukit Raya diketahui bahwa terdapat hubungan antara pendidikan dengan kejadian DBD (p<0,05).

d. Pekerjaan

Jenis pekerjaan dapat berperan di dalam timbulnya penyakit diantaranya pekerjaan yang banyak terdapat di sekitar rumah pada pagi maupun sore hari akan beresiko terkena gigitan nyamuk Aedes aegypti. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Roose (2008) di

(36)

e. Perilaku

Upaya pencegahan penyakit DBD salah satunya adalah melalui pendidikan kesehatan masyarakat dengan tujuan akhirnya adalah perubahan perilaku yang belum sehat menjadi perilaku sehat.

(37)

2.4 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1 Kerangka Konsep 2.5 Hipotesis

1. Hipotesis Mayor

Ada hubungan sanitasi lingkungan rumah tinggal dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2016.

Karakteristik Responden 1. Umur

2. Jenis Kelamin 3. Pendidikan 4. Pekerjaan

Tempat perindukan nyamuk

Kejadian DBD Sanitasi lingkungan rumah

1. Kawat kasa pada ventilasi 2. Kerapatan Dinding 3. Langit-langit/plafon 4. Pencahayaan

5. Kelembaban

(38)

2. Hipotesis Minor

a. Ada hubungan antara karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan) dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2016.

b. Ada hubungan antara tempat perindukan nyamuk dengan kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2016.

Gambar

Tabel 2.1 Perbandingan jumlah kamar dengan penghuni rumah Jumlah Kamar Jumlah Orang
Tabel 2.2 Perbedaan antara sumur dangkal dan sumur dalam
Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Hasil sampel menunjukkan bahwa tidak ada indikasi manajemen laba sebelum merger dan akuisisi yang dilakukan dengan income increasing accruals.. Selanjutnya kinerja keuangan

[r]

[r]

Kepada seluruh calon peserta lelang yang masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut tentang dokumen diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan melalui website

Pelelangan Sederhana di Lingkungan Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung dinyatakan GAGAL , dengan alasan peserta yang memasukan Dokumen Penawaran tidak ada yang lulus

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) Nomor: BA-151/ULPD/WI.2/2016 Tanggal 23 September 2016 dan Penetapan Pemenang oleh Kelompok Kerja (Pokja) ULPD Kementerian

Map showing the toilet student ratio in school The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLI-B2, 2016.. XXIII

In (Pasquet et al., 2016) a framework is proposed to automatically detect man- hole covers in high resolution aerial images by combining the method based on the geometrical filter