Diterima: April 2020. Disetujui: Mei 2020. Dipublikasikan: Juni 2020. 199
ISSN: 2086-4116(Print), 2685-3760(Online) DOI 10.15575/irsyad.v8i2.1970
Peran Parakonselor dalam Mengatasi Krisis Klien di
Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)
Provinsi Kalimantan Timur
Siti Indah Suryani1, Di Ajeng Laily Hidayati*2, Miftahur Ridho3 *Email: diajenglaily11@gmail.com
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan menjelaskan peran parakonselor pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Kalimantan Timur. Metode penelitian menggunakan paradigma kualitatif dengan pendekatan fenomelogi. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa parakonselor dalam penanganan krisis pada klien, memainkan peran (1) sebagai broker, yaitu parakonselor menjadi penghubung antara klien dengan sumber penyedia layanan yang diperlukan klien. (2) menjalankan fungsi referal, yaitu merujuk klien kepada penyedia layanan. (3) sebagai manager kasus, yaitu mengatur penyelesaian masalah dengan berbagai ketentuan yang ada. Penelitian ini diharapkan berdampak terhadap peran konselor secara ideal dalam semua unit dan tingkatan pada berbagai lembaga.
Kata Kunci : Konseling, Krisis, Parakonselor
ABSTRACT
This paper aims to explain the role of counselors in the Protection Unit for Women and Children (PPA) of East Kalimantan Province. The research method uses a qualitative paradigm with a phenomelogical approach. While data collection is done by in-depth interviews, observation, and documentation. The results showed that parakonselor in handling crisis on the client, played the role (1) as a broker, ie parakonselor became the liaison between the client and the source of service providers needed by the client. (2) carrying out the referral function, i.e. referring clients to service providers. (3) as case manager, i.e. arranging problem solving with various existing provisions. This research is expected to have an impact on the ideal role of counselors in all units and levels of various institutions.
200 Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216
PENDAHULUAN
Konselor menjadi unit paling depat dalam setiap krisis. Di sekolah, saat bencana, unit-unit pelayanan krisis pada lembaga pemerintah, ataupun lembaga lain termasuk juga perguruan tinggi. Saat bencana, mereka menjadi tenaga terdepat
yang mendorong dilakukannya selfhealing pada korban bencana. Kehadiran
parakonselor pada keadaan bencana dapat mengurangi krisis mental yang dialami oleh korban.
Penanganan krisis di lembaga sosial maupun lembaga komunitas masih sangat diperlukan karena banyak permasalahan yang berpotensi menimbulkan krisis di masyarakat. Salah satunya kasus kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak. Dalam hal ini, di Provinsi Kalimantan Timur sendiri sepanjang tahun 2016 dan 2017, terjadi 1.160 kasus kekerasan yang dialami perempuan dan anak (Ghofar, 2018).
Melihat data tersebut, keberadaan lembaga-lembaga yang fokus menangani krisis yang terjadi di masyarakat menjadi penting. Namun, penanganan krisis yang ada saat ini belum bisa dikatakan memadai. Dengan tidak memadainya penanganan yang dilakukan akan berpotensi menimbulkan masalah-masalah baru. Oleh karena itu akan sangat rentan sekali apabila situasi krisis tidak ditangani pihak yang memiliki kapasitas terhadapnya. Berdasarkan hal di atas, maka tenaga professional serta kompetensi yang mumpuni mutlak diperlukan untuk menangani krisis.
Saat ini penanganan yang tersedia di lembaga sosial milik pemerintah maupun swasta masih banyak yang belum memadai. Kondisi ini akan memunculkan permasalahan lain ketika individu mengalami stress dan tidak dapat beradaptasi ataupun menyelesaikan krisis tersebut yang menyebabkan ia mengalami keadaan yang tidak kondusif dan menghambat adaptasi (maladaptive). Keadaan ini dapat menghambat keberlangsungan hidup yang sehat dan nyaman. Masalah baru ini tentunya imbas dari tidak terselesaikan kasus krisis sebelumnya. Sejumlah penelitian penanganan krisis oleh konselor menunjukkan bahwa konseling memberikan hasil yang positif (Amriana, 2015) terhadap terselesaikannya permasalahan klien (Kusmaryani & Fathiyah, n.d.). Seperti penerapan konseling krisis dalam menangani kecemasan korban kekerasan di Lampung yang menunjukkan presentase 66% terhadap perubahan perilaku menjadi lebih baik (Reitanza, 2018). Konseling krisis dibutuhkan untuk mereduksi masalah traumatik pada anak dan remaja.(Rahayu, 2017) Maka tenaga yang mampu memberikan pelayanan konseling krisis sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan yang ada.
Penanganan permasalahan krisis sangat erat dengan proses bimbingan dan konseling. Secara khas proses ini mengacu pada permasalahan individu dalam perkembangannya (Wibowo, 2018: 132). Hal ini karena konsep utama yang
Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216 201
melandasi peran dan fungsi konselor adalah konselor sebagai profesi bantuan (Wibowo, 2018: 151). Maka diharapkan penyelenggaraan layanan konseling sebagai bantuan dapat disediakan untuk penanganan krisis ini.
Krisis diartikan sebagai keadaan yang berbahaya, genting, kemelut dengan suram dalam berbagai hal seperti ekonomi ataupun moral. Karena hal itu, krisis berpengaruh pada kemampuan seseorang dalam berfikir serta bertindak dalam kehidupannya. Sehingga ketidakseimbangan akan terjadi pada individu jika hal tersebut terjadi. Jelaslah sudah jika seseorang berada dalam kondisi krisis akan menghambatnya secara pribadi bahkan bisa mempengaruhi pada hubungan sosialnya. Sehingga dibutuhkannya tenaga ahli yang mampu membantu menanganinya. Dalam hal ini yang dimaksud ialah konselor.
Gangguan terhadap kesehatan psikis berkaitan dengan kesehatan mental yang biasanya akan diselesaikan dengan pemberian layanan konseling. Sejatinya tujuan dari konseling ialah berfokus mengurangi kecemasan klien yang berasal masalah-masalah ketidakpastian, rasa kurang aman, dan rasa kurang percaya diri (Gladding, 2012: 288).
Respon pemerintah Kalimantan Timur terhadap permasalahan krisis yang terjadi pada perempuan dan anak ialah dengan menyediakan lembaga-lembaga yang berwenang. Salah satu di antaranya ialah unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Unit ini merupakan salah satu bagian dari Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Provinsi Kalimantan Timur (DKP3A Provinsi Kalimantan Timur). Untuk memaksimalkan perannya, maka ditugaskanlah satuan tugas Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA).
PPA DKP3A Provinsi Kalimantan Timur merupakan lembaga pemeritahan yang dibentuk untuk menangani kasus yang menyangkut pada anak dan perempuan. PPA DKP3A Provinsi Kalimantan Timur meyediakan beberapa layanan seperti informasi, pelayanan, pendampingan psikologis, sosial dan advokasi hukum terhadap perempuan dan anak. Terhitung 10 tahun lamanya, PPA DKP3A Provinsi Kalimantan Timur yang dulu bernama Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) “ODAH ETAM” beroperasi dalam merespon permasalahan yang melibatkan perempuan dan anak. Tercatat di periode pertama kepengurusan yaitu tahun 2009 hingga 2013 terdapat 179 kasus yang telah ditangani.
Sebagai lembaga layanan, umumnya lembaga demikian dirancang untuk menyediakan pendengar yang simpatik dan mau membantu, serta memberi informasi yang bisa diandalkan dalam menghadapi permasalahan klien (Gibson & Mitchell, 2016: 169). Selain memberikan layanan langusng, PPA DKP3A Provinsi Kalimantan Timur juga menjalin jejaring dengan berbagai pihak untuk memberikan pelayanan yang lebih komprehensif. Provinsi Kalimantan Timur sendiri tidak memiliki data yang valid mengenai jumlah konselor yang tersebar di lembaga sosial yang ada.
202 Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216
Secara umum, istilah konselor digunakan dalam berbagai bidang di Indonesia diantaranya, psikologi, bimbingan konseling dan pekerjaan sosial. Dalam bidang psikologi, individu yang telah menyelesaikan studi master profesi psikolog dapat menjalankan fungsi konseling. Di sisi lain, lulusan master profesi konselor yang pada umumnya berasal dari lulusan s1 Bimbingan dan Konseling atau Bimbingan Konseling Islam juga disebut sebagai konselor yang biasanya bergerak pada bidang pendidikan. Selain itu, lulusan program studi pekerjaan sosial yang berprofesi sebagai pekerja sosial di lembaga pemerintah juga dapat disebut sebagai konselor dalam bidang sosial karena mereka menjalankan peran sebagai konselor dalam penanganan masalah sosial.
Selain profesi di atas, terdapat pula individu yang tidak berasal dari lulusan program studi yang telah disebutkan yang menjalankan fungsi sebagai konselor. Mereka pada umumnya tergolong dalam kelompok yang melaksanakan proses konseling dalam konteks non-formal (embedded counselling), yaitu sebuah bentuk konseling informal yang disediakan oleh non profesional konselor atau yang biasa disebut dengan parakonselor (Kit & Tang, 2018).
Melihat fenomena yang terjadi di lapangan, peran keberadaan parakonselor tidak bisa disepelekan. Meskipun dalam hal syarat legal formal mereka tidak memenuhi syarat untuk disebut konselor, namun tidak sedikit dari mereka yang memiliki pengalaman di lapangan yang lebih banyak., khususnya dalam melayani krisis yang dialami klien di lembaga tempat mereka bekerja.
Fenomena pemberian pertolongan awal yang dilakukan oleh parakonselor terjadi di unit PPA Provinsi Kalimantan Timur. Melihat tingginya angka kekerasan dan juga permasalahan lain yang menjerat perempuan dan anak menjadi bukti jika diperlukannya profesi konselor untuk menangani kasus yang berpotensi menyebabkan krisis. Akibat minimnya konselor yang tersedia, maka dalam upaya meningkatkan tenaga sebagai respon terhadap permasalahan yang ada, PPA Provinsi Kalimantan Timur melibatkan para konselor dalam pemberian pelayanan. Dengan demikian, tulisan ini mencoba mendeskripsikan peran parakonselor dan proses penanganan permasalahan krisis klien oleh parakonselor di unit PPA pada DKP3A Provinsi Kalimantan Timur.
Penelitian tentang peran konselor pernah dilakukan oleh Wangid (2010) yang melakukan penelitian tentang Peran Konselor Sekolah dalam Pendidikan Karakter. Melalui metode kualitatif dengan penggunaan teori model gabungan, hasil penelitian menunjukan bahwa secara individual, konselor sekolah dapat memberikan layanan individu, perencanaan individu, dan layanan responsif. Bekerja sama dengan pihak lain, konselor sekolah dapat membuat sinergi dalam program pendidikan karakter. Sedangkan Hidayati (2014) melakukan penelitian tentang Peran Konselor Sekolah dalam Meningkatkan Konsentrasi pada Siswa Hiperaktif (ADHD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konselor sangat berperan penting dalam membantu siswa ADHD khususnya dalam meningkatkan
Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216 203
konsentrasi belajarnya supaya siswa tidak menemui permasalahan dalam belajar. Penelitian lain dilakukan oleh Puri, Nurkholipah, dan Putri (2017) tentang Peran Konselor dalam Mengembangkan Budaya Sekolah Berbasis Karakter. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa konselor berperan membantu
mengembangkan budaya sekolah dengan membekali siswanya pengetahuan dan pemahaman melalui layanan informasi. Sedangkan Nursalim (2017) memfokuskan pada peran konselor dalam menangani krisis moral. Berdasarkan hasil penelitian, konselor dapat untuk mengantisipasi munculnya krisis moral pada anak-anak dan remaja adalah; 1) meningkatkan keterampilan dalam memanfaatkan kehadiran "media baru"; 2) bekerja dengan guru dan orang tua dalam memantau penggunaan "media baru", dalam bentuk frekuensi, durasi, dan konten; 3) mendidik penggunaan internet yang positif; 4) mempelajari strategi konseling untuk mengatasi masalah yang muncul, kecanduan game onlie, pornografi, intimidasi dan pidato kebencian.
LANDASAN TEORITIS
Penjelasan tentang krisis juga bisa ditemukan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI, krisi diartikan sebagai sebuah keadaan berbahaya, genting, dan suram yang biasanya diasosiasikan dengan kondisi ekonomi dan moral. Lebih dari itu, di dalam Kamus Psikologi yang disusun Chaplin (1989), krisis dijelaskan sebagai sebuah konsep yang merujuk pada sebuah kondisi yang ditandai oleh adanya kemajuan atau kemunduran secara signifikan yang dialami oleh seseorang. Menurut Chaplin, hal ini berkaitan dengan tuntutan yang dihadapi seseorang untuk membuat sebuah keputusan penting yang akan berdampak serius bagi kehidupan orang yang bersangkutan (Chaplin, 1989: 117). Selain Chaplin, penjelasan tentang krisis juga diajukan oleh James. Menurutnya, krisis berkaitan dengan persepsi atau pengalaman terkait sebuah persitiwa atau situasi sulit yang tidak dapat ditoleransi oleh sesorang yang mengalaminya. Krisis, oleh sebab itu, berhubungan erat dengan kondisi di mana sumberdaya dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menghadapi masalah tidak lebih besar dibandingkan dengan masalah yang dihadapinya. Pada gilirannya, kondisi yang disebut krisis tersebut akan berdampak negatif terhadap kemampuan berfikir seseorang serta kemampuannya untuk merencanakan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya secara efektif. Dengan demikian, krisis tidak merujuk pada pengalaman traumatis tetapi lebih dekat dengan respon seseorang dalam menhadapi situasi bermasalah yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam hidupnya. Dampak yang cukup jelas dari krisis biasanya adalah berupa hilangnya kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah secara temporal yang mana kemampuan tersebut akan kembali lagi ketika seseorang tersebut berhasil mengatasi krisis yang dihadapinya (Roberts & Greene, 2008: 120).
204 Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216
Terdapat setidaknya tiga bentuk krisis, yaitu krisis yang tidak disengaja, krisis perkembangan dan krisis eksistensial. Krisis yang tidak disengaja adalah krisis yang disebabkan oleh kejadian-kejadian yang tidak terduga dan terjadi secara tiba-tiba. Bentuk krisis seperti ini misalnya adalah kematian seseorang yang dicintai, kekerasan seksual berupa pemerkosaan, penganiayaan, kehamilan yang tidak direncanakan, dan lain sebagainya. Berbeda dengan krisis yang tidak disengaja, krisis perkembangan atau developmental adalah krisis yang muncul seiring dengan bertambahnya tuntutan norma yang dihadapi seseorang dalam rentang kehidupannya. Krisis jenis ini dapat terjadi ketika seseorang mengalami perubahan peran seperti dari pelajar menjadi mahasiswa, dari lajang menjadi menikah, dan lain sebagainya.
Dalam contoh-contoh tersebut, seseorang tersebut dituntut untuk beradaptasi dengan peran baru yang dilekatkan norma sosial kepadanya. Dengan demikian, seseorang tersebut memerlukan pendekatan-pendekatan baru untuk menghadapi dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Krisis eksistensial, di sisi lain, mengacu pada sebuah kondisi di mana seseorang menyangkal secara sementara perubahan-perubahan yang terjadi pada diri dan kehidupannya sementara di waktu yang sama dituntut untuk menghadapi realitas jika ingin melanjutkan hidup secara wajar di tengah masyarakat (Coollins, 1988: 64–65).
Krisis terjadi dapat disebabkan atau berkaitan dengan banyak hal yang terjadi pada individu. berdasarkan sumbernya, krisis dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu krisis yang terkait dengan keadaan biologis dan krisis yang berkaitan dengan kondisi lingkungan. Krisis yang disebabkan oleh perubahan kadaan biologis yang berdampak pada perubahan tugas perkembangan yang dimiliki seseorang seperti memasuki masa pubertas, siklus menstruasi, dan menopause. Berbeda dengan krisis yang disebabkan oleh perubahan biologis, krisis yang disebabkan oleh kondisi lingkungan berkaitan dengan keadaan yang dapat diprediksi maupun yang tidak dapat diprediksi kemunculannya seperti kematian orang tua, perceraian, perpindahan, kebakaran, bencana alam dan lain sebagainya.
Konselor sebagai bagian dari masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap kepedulian menghadapi fenomena permasalahan krisis yang ada. Partisipasi konselor tentunya dalam memberikan pelayanan konseling kepada yang tertimpa krisis. Hal ini menjadi sumbangan secara profesional kepada masyarakat sehingga peranan konselor dapat dirasakan masyarakat. Konselor krisis, dengan demikian, melaksanakan beragam pendekatan konseling dengan berpijak pada upaya membantu individu untuk menemukan kekuatan dalam dirinya untukn mengatasi masalah (Rahayu, 2017: 8).
Karena krisis merujuk pada kondisi di mana terjadi ketidakseimbangan antara kemampuan menghadapi masalah dengan besarnya masalah itu sendiri,
Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216 205
maka konselor krisis dituntut untuk fokus pada situasi klien yang menggambarkan kesulitan yang tidak dapat diselesaikan yang disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya yang dimiliki seseorang pada saat masalah tersebut terjadi (Gladding, 2012: 288).
Dalam pelaksanaan konseling krisis, pemberian bantuan secara segera adalah kata kunci penting yang harus diperhatikan oleh konselor karena hal tersebut dapat menentukan apakah krisis tersebut akan menjadi sebuah masalah berkelanjutan ataukah dapat diselesaikan dalan bingkai waktu yang tidak terlalu panjang (Rahmat & Nurmalasari, 2018). Bimbingan dalam konteks konseling krisis, dengan demikian, menitikberatkan pada pengembangan kemampuan klien untuk menhadapi masalah sekaligus mendorong klien untuk menjadi pribadi yang seimbang sesuai dengan karakteristik pribadi dan masalah yang dihadapi oleh klien (Amin, 2010: 64).
Konseling dalam konteks ini juga bertujuan untuk mendorong klien untuk melakukan perubahan. Oleh sebab itu, konselor perlu memberikan pemahaman yang utuh kepada klien terkait dengan mengapa klien tersebut memerlukan perubahan dan mendorong klien untuk mencapai target perubahan yang disepakati (Mc. Leon & Anwar, 2010: 378). Artinya bimbingan dan konseling dikatakan berhasil jika terdapat perubahan yang menjadikan pribadi klien seimbang terhadap permasalahannya dan hal tersebut disesuaikan dengan karakteristik kekuatan klien itu sendiri.
Konseling Krisis sangat penting untuk di berikan kepada orang-orang yang sedang berada pada kondisis krisis. Hal ini dikarenakan pada umumnya orang yang sedang berada pada kondisi krisis merasa tertekan perasannya dengan pristiwa yang terjadi: keadaan krisis sering kali menggangu perasaan, presepsi, motivasi, sikap dan cara berfikir orang. Maka menjadi penting untuk menyediakan pelayanan konseling sebagai respon akan keadaan krisis seseorang.
Dalam melaksanakan konseling krisis setidaknya terdapat empat tahapan yang harus dikerjakan. Mengutip Brammer, Rahmat dan Nurmalasari mengemukakan bahwa setidaknya terdapat empat tahap dalam konseling krisis yang mencakup: (1) penilaian dan penentuan kondisi klien dan tingkat keparahan dari masalahnya, (2) keputusan terkait jenis layanan konseling yang diperlukan klien untuk mengatasi masalahnya secara efektif, (3) tindakan atau pelaksanaan konseling tersebut, dan (4) monitoring tindakan klien dalam kehidupannya sehari-hari berkaitan dengan kesepakatan antara klien dan konselor (Rahmat & Nurmalasari, 2018).
Terlaksananya suatu proses pelayanan tidak terlepas dari peranan komponen pelaksana itu sendiri. Peranan selalu dikaitkan dengan fungsi kinerja (function performer) atau tugas-fungsi. Artinya tugas dan fungsi merupakan kesatuan yang menjadi indikasi dari suatu peranan. Alamsyah mendefinisikan beberapa peran pekerja sosial selaku penyedia layanan:
206 Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216
Pertama, berperan sebagai penghubung. Parakonselor sebagai penghubung
artinya profesi pertolongan mewujudkan relasi antar individu maupun kolektif didalam lingkungan sosial mereka. Secara sederhana yaitu menghubungkan klien yang membutuhkan bantuan pelayanan sosial, tetapi mereka tidak mengetahui bagaimana mendapatkan bantuan tersebut. Maka terhadap peran tersebut dianjurkan untuk mampu mengetahui tentang ketepatan ragam suber, jenis pelayanan, dan program-programnya. Menentukannya parakonselor di haruskan mengetahui keterbatasan dan kelebihan klien dan juga penyedia layanan sehingga bisa menentukan yang terbaik. Didalamnya parakonselor menjalankan fungsi asesmen, rujukan, dan mengembangkan jejaring sistem pelayanan.
Kedua, berperan sebagai Advokat. Konselor berperan sebagaiadvokat yaitu
bertugas membela kepentingan klien melalui perbaikan kebijakan sosial. Mengupayakan klien menerima hak-hak dasar mereka. Tindakan ini juga sebagai upaya parakonselor untuk mewakili, membela, mencegah, atau mengahalangi mendukung, serta rekomendasiaksi tertentu atas diri klien.
Ketiga, berperan sebagai pendidik. Parakonselor sebagai pendidik yaitu
melaksanakan fungsi dan tugas pembimbingan sosial dalam rangka membantu mencegah masalah sosial dan mengentaskan keberfungsian sosial. Secara mendasar membantu klien merubah perilaku disfungsional dan mempelajari pola-pola interaksi sosial yang efektif.
Keempat, berperan sebagai konselor klinis. Konselor klinisi yaitu membantu
meningkatkan pemahaman tentang perasaan-perasaan, modifikasi perilaku, mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi. Parakonselor berperan memberikan pelayanan perlakuan (treatment) meggunakan pendekatan-pendekatan terapi konseling terhadap klien. Sehingga klien memahami perasaanya dan belajar mengatasi permasalahan mereka
Kelima, berperan sebagai manajer kasus. Parakonselor memanajer kasus
yaitu melaksanakan fungsi tugas mengkoordinasikan sistem pelayanan yang ada. Maka dengan itu sebagai manajer kasus, parakonselor bertugas secarakolaboratif
untuk melakukanasesmen, konsultasi, konseling, pengajaran, modelling, dan
advokasi yang bertujuan untukmengentaskan keberfungsian sosial klien. Itu semua harus dilaksanakan dengan semaksimal mungkin.
Keenam, berperan sebagai administrator, yaitu merencananakan,
mengembangkan, dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan, pelayanan-pelayanan, dan program (Alamsyah, 2015: 70–85).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemberian pelayanan pada unit PPA, secara umum bisa dikatakan sebagai proses manajemen kasus. Manajemen kasus yaitu proses kreatif dan kolaboratif mencakup keterampilan dalam asesmen, konsultasi, konseling, pengajaran,
Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216 207
modeling, advokasi yang bertujuan pada keberfungsian sosial klien yang dilayani secara maksimal (Alamsyah, 2015).
Secara umum proses penanganan krisis terdiri dari intake, asesmen,
intervensi, dan terminasi. Pelayanan yang dilakukan parakonselor unit PPA DKP3A
juga diawali dengan intake, intervensi, dan terminasi. Proses dimulai dengan
datangnya klien yang membutuhkan pelayanan. Kemudian asesmen kasus, perencanaan, dan juga implementasi. Lebih gamblang akan digambarkan pada tabel berikut;
Asesmen
Perencanaan Intervensi
Implementasi
Sumber: Hasil Observasi
Gambar 1 : Proses Manajemen Kasus(Alamsyah, 2015: 81)
Begitupun unit PPA, setelah rangkaian pelayanan tersebut dilaksanakan dan dievaluasi maka akan dipertimbangkan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Jika memang hasil evaluasi diangap sudah cukup maka akan dilakukan terminasi atau pengakhiran penanganan kasus.
Intake secara bahasa berarti pengambilan. Proses intake merupakan bagian awal dari sebuah proses pelayanan konseling yang lazim terjadi di lembaga sosial. Pada kasus klien yang tidak langsung datang ke kantor pelayana, maka akan dicross check dan dilakukan penjangkauan klien. Selanjutnya, dilakukan home visit ke tempat tinggal klien untuk melakukan interview sebagai asesmen awal. Namun bagi klien yang datang langsung melakukan pengaduan, maka langsung dilakukan wawancara awal atau intake interview (Gunarsa, 2007: 91). Hasil dari wawancara awal inilah yang menjadi gambaran untuk melanjutkan ke proses selanjutnya.
Penciptaan kontak Pendahuluan
Identifikasi
masalah Penghimpunan dan Penilaian Informasi Deskripsi Lengkap Tentang Klien Penyusunan Rencana Intervensi Pengaturan Pelayanan Pemecahan
Masalah Monitoring Pelaksanaan Pelayanan Menyediakan
208 Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216
Selanjutnya adalah Asesmen. Asesmen merupakan proses penjajagan atau investigasi, atau penggalian informasi terhadap klien. Asesmen dilakukan untuk memahami sebab dan dinamika masalah. Pada tahap ini tingkat keberfungsian sosial, psikologis, dan fisik klien diklarifikasi (Roberts & Greene, 2008: 284). Dengan melaksanakan asesmen permasalahan serta kebutuhan klien akan diketahui.
Parakonselor harus memperhatikan klien secara holistik meliputi kondisi biologis, psikologis, dan spiritual (Alamsyah, 2015: 97). Selain itu ada dua hal yang harus difokuskan ketika melakukan asesmen yaitu permasalahan klien, dan kekuatan-kekuatannya. Pada tahapan in parakonselor menjalankan fungsi asesor yaitu mengumpulkan Informasi dan merumuskan hasil asesmen terhadap klien menyangkut kebutuhan-kebutuhan, situasi, dan sumber kehidupannya (Alamsyah, 2015: 82).
Pemberian layanan didasarkan pada kebutuhan klien. Parakonselor di Unit tidak menerima secara mentah informasi yang disampaikan klien pada proses asesmen. Parakonselor biasanya menggunakan keterampilan komunikasi dalam konseling, salah satu diantaranya klarifikasi dengan konfrontasi. Pernyataan klien yang tidak sesuai atau terkesan mengada-ngada akan di klarifikasi secara jelas. Satgas PPA mengungkapkan:
“Tak jarang kami dapati klien yang berbohong dalam pernyataanya. Makanya disini pelatihan yang pernah kami dapatkan sangat berguna. Seperti pernah kami menikuti pelatihan untuk mengetahui kejujuran seseorang. Karena beberapa kali yang datang membuat pengaduan ternyata adalah pelaku, dan korbannya adalah yang ia adukan”.
Maka keikutsertaan dalam berbagai pelatihan menjadi penting untuk meningkatkan kemampuan para konselor di unit PPA dan menunjang kesuksesan pemberian layanan terhadap klien. Pelatihan sangat penting terutama terkait proses asesmen yang menjadi tahapan pelayanan dimana parakonselor banyak berperan didalamnya.
Selanjutnya adalah intervensi. Intervensi merupakan sebuah proses perubahan terencana. Perubahan ini artinya bergerak dari individu atau kelompok yang berkurang atau tidak memilki fungsi sosial. Sebelum melakukan intervensi hendaknya parakonselor memilki informasi mengenai; (1) kebutuhan-kebutuhan klien, (2) menentukan sasaran apa yang akan diubah, (3) memutuskan langkah yang akan dikerjakan untuk mencapai perubahan yang terencana tersebut. Informasi-informasi tersebut didapatkan melalui proses assesmen yang sebelumnya dilakukan.
Intervensi di unit PPA terdiri dari 5 jenis dan semuanya dilakukan dengan kolaborasi dengan lembaga maupun individu yang telah bermitra. Sebelum
Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216 209
pengimplementasian intervensi yang diputuskan bersama klien, parakonselor terlebih dahulu membuat perjanjian intervensi Bersama dengan klien meliputi apa yang akan dikerjakan dan juga waktu pelaksanaan. Berikut pemaparan intervensi yang bisa diberikan dari unit PPA;
Pelayanan konsultasi hukum. Pelayanan ini merupakan kerjasama dengan POLDA KALIMANTAN TIMUR dan POLRES Kota Samarinda. Dalam hal pembelaan di pengadilan, unit PPA bekerja sama dengan mitra di beberapa Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Selain itu, unit PPA Kaltim juga pernah bekerjasama secara resmi dengan LBH di IAIN Samarinda dan Universitas Tujuh Belas Agustus. Namun karena masih dalam tansformasi Lembaga, saat Kerjasama hanya dilakukan dengan LBH APIK yang beralamatkan di Jl. Gunung Kinibalu, Kota Samarinda.
Pelayanan Kesehatan. Pelayanan ini menyangkut pemulihan keadaan fisik klien. Pemberian pelayanan ini bekerja sama dengan Dinas Kesehatan melalui Rumah sakit yang ada di Samarinda. Salah satu rumah sakit yang biasa bermitra yaitu Rumah Sakit Abdul Wahab syahrani yang memiliki unit khusus yaitu unit tindak pidana kekerasan (TIPIKER), sehingga klien yang menjadi korban kekerasan diberikan prioritas dalam pemeberian pelayanan di RS tersebut.
Pelayanan psikososial, yaitu pemberian pelayanan pendampingan terhadap kondisi psikis dan/sosial klien. Pemberian pelayanan ini bekerja sama dengan beberapa biro psikologi. Selama ini, beberapa lemabaga yang bekerjasama adalah lembaga praktek psikologi independen Klinik Permata Hati dan Mata Hati dan juga psikolog klinis perorangan.
Pelayanan rumah aman, yaitu pemberian tempat sementara bagi klien untuk menunjang keamanan klien. Penampungan ini ada yang bersifat sementara ataupun permanen. Pelayanan rumah aman ini disediakan oleh unit PPA sendiri juga dan lembaga lain. Seperti Panti Sosial milik Pemerintah; Panti Sosial Bina Remaja, Panti Sosial Dharma Perlindungan Anak, dan Panti Sosial Tresna Werdha. Beberapa Lembaga non pemerintah juga turut membantu dalam pemberian rumah aman seperti perumahan milik independen perorangan dan juga panti asuhan swasta seperti Uswatun Hasanah dan Walidatul Rahman.
Pelayanan Pemulangan dan Reintegrasi Sosial, Layanan ini diberikan jika memulangkan klien keluar kota Samarinda. Unit PPA berkordinasi dengan pemerintah daerah melaluiui Dinas Sosial setempat untuk pemulangan dan pemantauan lebih lanjut oleh Dinas Sosial dimana klien tersbut berasal untuk memastikan klien bisa kembali ke lingkungan sosialnya.
Langkah intervensi yang telah dijelaskan diatas diambil berdaasarkan kesepakatan unit PPA dengan klien. Sejak awal kasus ditangani, Unit PPA melakukan pencatatan untuk rekam kasus. Hal ini dilakukan agar Unit PPA memilki pencatatan administrasi yang baik. Selanjutnya jika kasus sudah menemui penyelesaian maka pengakhiran penanganan akan dilakukan (terminasi). Terminasi
210 Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216
merupakan sebuah proses akhir dari sebuah pelayanan. Terminasi dilakukan jika pelayanan sudah tidak perlu dilakukan lagi.
Ketika proses penerimaan awal sebelumnya, untuk mendapatkan pelayanan, klien telah melakukan kontrak pelayanan dengan lembaga yang disepakati dan ditandatangani oleh klien dan pihak lembaga. Oleh karena itu, klien harus mengikuti prosedur-prosedur yang akan diberikan oleh lembaga. Begitupun ketika tujuan pelayanan telah tercapai, artinya tidak ada pelayanan lebih lanjut yang diperlukan klien. Bisa juga ketika permintaan klien untuk berhenti dan juga pelayanan referal dengan lembaga lain telah selesai dan tidak akan bekerjasama lagi (Husna, 2018: 7).
Pelayanan akan dihentikan ketika klien memutuskan sendiri atau karena proses layanan telah berakhir (Departemen Sosial Republik Indonesia, 2009: 26). Selain itu, terminasi juga dapat dilakukan jika parakonselor tidak bisa melakukan kontak dengan klien. Beberapa kasus yang pernah ditangani di unit PPA diterminasi karena alasan klien yang tidak bisa di hubungi.
Peranan Parakonselor dalam Pelaksanaan Penanganan Krisis
Secara umum peranan parakonselor yang berada di Unit PPA DKP3A Provinsi Kalimantan Timur adalah untuk mengembangkan, implementasi, dan memantau rencana aksi koordinatif pelayanan sehingga mampu memenuhi kebutuhan klien dan keluarga. Berdasarkan papara sebelumnya, secara teoritis parakonselor dapat mengambil beberapa peran. Dalam penelitian ini, parakonselor pada DKP3A Provinsi Kalimantan Timur secara khusus unit PPA menjalankan beberapa peranan:
Pertama, Parakonselor berperan sebagai broker (penghubung), artinya konselor menjadi penghubung antara klien yang memiliki keperluan kepada suatu lembaga penyedia layanan yang dibutuhkan klien. Pada awalnya klien tidak memiliki cukup informasi mengenai penyedia layanan bahkan layanan yang diperlukan. Dengan penanganan kasus di unit PPA ini, bantuan untuk memperoleh layanan tersebut menjadi lebih mudah untuk dijangkau klien. Maka keberfungsian parakonselor sebagai broker berkaitan erat dengan hubungan komunikasi antara Unit PPS DKP3A Provinsi Kalimantan Timur dengan penyedia layanan dalam bentuk kerjasama.
Maka jelas ketersediaan lembaga penyedia layanan yang selama ini membantu tidak hanya lembaga yang telah melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan DKP3A Provinsi Kalimantan Timur. Melainkan juga melalui relasi-relasi yang dilakukan parakonselor selaku personil satgas PPA. Parakonselor juga harus memiliki pengetahuan terhadap layanan yang disediakan lembaga atau personal tersebut.
Sebelum menghubungkan klien dengan mitra penyedia layanan parakonselor akan melaksanakan tugas asesmen, yaitu penilaian terhadap situasi
Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216 211
sosial-psikologis klien dan memahami kebutuhan dan kesanggupannya. Dengan itu parakonselor bisa mengidentifikasi cara-cara terbaik yang akan diambil untuk membantu klien dengan sebaik-baiknya.
Salah satu penanganan dilakukan parakonselor kepada klien anak balita di bulan Juli 2019. Kasus yang dialami anak tersebut adalah kekerasan yang dilakukan oleh pengasuhnya. Ketika menerima laporan parakonselor segera mendatangi klien untuk melakukan asesment awal. Hasil menunjukkan bahwa anak tersebut mengalami patah tulang kaki akibat kekerasan yang dialaminya. Untuk itu, parakonselor menghubungi Rumah Sakit Daerah Abdul Wahab Syahrani (RSUD AWS) yang memiliki unit tindak pidana kekerasan (TIPIKER) untuk bisa membantu perawatan dan visum. Hasil visum ini lah yang kemudian digunakan sebagai barang bukti dalam proses hukum yang menjerat pelaku kekerasan tersebut.
Kedua, Parakonselor melakukan referal yaitu memberikan penanganan atas suatu pelayanan yang dibutuhkan klien kepada lembaga penyedia diluar diri parakonselor dan lembaga yang menaunginya. Referal merupakan kelanjutan dari hubungan kerjasama yang dibangun lembaga sebelumnya. Parakonselor memberikan penanganan akan kebutuhan klien yang mana tidak bisa dipenuhi secara mandiri dari lembaga dan sehingga merujuknya.
Jaringan kerjasama antar lembaga, program, dan tenaga layanan profesional yang telah dibangun sebelumnya sangat membantu. Dengan telah terjalinnya hubungan kemitraan untuk melayani klien, akan memudahkan parakonselor untuk merujuk penanganan kasus lebih mendalam kepada lembaga yang cocok. Maka hal ini diperlukan sehingga bisa menempakan atau merujuk klien ke lembaga yang tepat.
Parakonselor melakukan referal terhadap penanganan kasus kekerasan anak balita oleh pengasuhnya. Setelah sebelumnya menghubungkan pelayanan dengan TIPIKER di RSUD AWS dan merujuk untuk diberikan pelayanan kesehatan dan juga visum untuk keperluan perkara kasus hukum. Selanjutnya, parakonselor melihat keadaan klien lebih dalam lagi. Jika kemudian klien memerlukan pemulihan intensif mengenai patah kakinya maka parakonselor akan melihat apakah klien membutuhkan dana untuk bisa mengcover biaya pemulihan. Isna, salah satu parakonselor menjelaskan bahwa “si anak ini diasuh sama orang lain ini karena orang tuanya masuk penjara, sedangkan sekarang pengasuhnya yang melakukan kekerasan pada anak ini. Maka sudah pasti si anak kesulitan untuk mengcover biaya Rumah Sakit”.
Melihat hal tersebut, maka upaya mencari bantuan pendanaan diperlukan. Ibu Isnawati mengaku selain bertanya dengan kolega dan teman sejawatnya, ia mencoba mencari di Google. Lalu ia menemukan informasi mengenai Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bisa membantu dalam pemenuhan kebutuhan anak selaku korban. Dari hasil pencarian, ibu Isna mengambil
212 Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216
kesimpulan bahwa klien bisa dibantu LPSK karena kasus kekerasannya sedang dalam proses hukum.
Segera setelah mendapatkan kontak LPSK ibu Isnawati mengubungi untuk melakukan koordinasi meminta bantuan pelayanan. Setelah disetujui maka parakonselor menyediakan berkas dan informasi yang diperlukan LPSK mengenai anak tersebut untuk selanjutnya dikirim. Setelah parakonselor merujuk klien ke LPSK dan mendapat konfirmasi bahwa klien akan dibantu dalam penanganan pemulihan fisik yang diperlukan korban, maka tanggungjawab atas intervensi klien diserahkan kepada LPSK.
Pada kasus kekerasan anak tersebut korban tidak hanya menderita secara fisik tetapi juga keadaan psikis korban. Maka selain memenuhi kebutuhan untuk mengobati fisik dengan pelayanan kesehatan parakonselor juga mengupayakan kontrol terhadap keadaan psikis dengan mengarahkannya pada psikolog. Parakonselor dengan ini merujuk klien untuk mendapatkan penanganan psikis sehingga nantinya tidak menghambat kemampuannya dalam kehidupan sosial.
Kekhawatiran terhadap keadaan psikis anak juga dirasakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Mardiani “Anak-anak tentunya mendapatkan trauma dengan kejadian yang ada maka kami rujuk mereka ke psikolog yang sudah bermitra”. Oleh karenanya parakonselor melakukan rujukan pelayanan pada klinik psikolog yang telah bermitra. Sehingga, pemberian layanan oleh psikolog ini tidak lagi memerlukan biaya khusus karena mitra telah berkomitmen untuk membantu dalam proses pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak.
Salah satu satgas mengatakan;
“kami memiliki banyak mitra dalam hal pelayanan psikologis, kalau klinik ada dua klinik psikologis yaitu Klinik Permata Hati dan Mata Hati. Ada juga beberapa yang kami berhubungan secara personal dengan yang memiliki kemampuan sebagai psikolog. Ia tidak membawa nama lembaga tapi pribadi dan mau membantu penanganan disini”
Pemberian motivasi juga dilakukan oleh parakonselor terhadap klien di lembaga ini. Komariah menjelaskan bahwa pemberian motivasi dilakukan untuk mengembangkan keadaan psikososial klien. Artinya perbaikan terhadap keadaan psikis klien untuk menjadi sehat. Sehingga dengan sehatnya keadaan psikis klien menjadikannya mampu berfungsi dengan baik di lingkungan masyarakat sosialnya. Parakonselor mengungkapkan “Anak-anak tentunya mendapatkan trauma dengan kejadian yang ada maka kami rujuk mereka ke psikolog yang sudah bermitra”, jelas Mardiani. Atas dasar tersebut rujukan kepada psikolog dilakukan oleh parakonselor.
Selanjutnya, pelaksanaan administrasi dan manajer kasus menjadi tugas parakonselor. Tugas ini melaksanakan fungsi tugas mengkoordinasikan sistem pelayanan yang ada. Maka dengan itu sebagai manajer kasus, parakonselor
Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216 213
bertugas secara kolaboratif untuk melakukan asesmen, konsultasi, konseling, modelling, dan advokasi yang bertujuan untuk mengentaskan keberfungsian sosial klien. Itu semua harus dilaksanakan dengan semaksimal mungkin. Maka manajer kasus secara luas yang mengatur jalannya peranan dan fungsi parakonselor yang telah disebutkan sebelumnya.
Parakonselor melakukan tugas ini dengan adanya standar operasional pelayanan (SOP) yang ditetapkan untuk dijalankan. Maka parakonselor menjalankan pelayanan dengan tertib dan rapi secara administratif. Parakonselor unit PPA juga bertugas monitoring terhadap proses jalannya kasus pidana pelaku kejahatan terhadap korban. Setelah intervensi dijalankan maka akan dilakukan monitoring terhadap implementasi layanan tersebut.
PENUTUP
Berdasarkan penelitian dan juga analisi mendalam terhadap data di lapangan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa layanan yang disediakan oleh Unit PPA di DKP3A Provinsi Kalimantan Timur adalah layanan konsultasi hukum, layanan Kesehatan, layanan pendampingan psikososial, layanan rumah aman, dan layanan reintegrasi sosial. Dalam pemberian layanan parakonselor memberikan layanan berupa asesmen, perencanaan intervensi, dan pemantauan implementasi layanan. Dalam hal peran, Unit PPA di DKP3A Provinsi Kalimantan Timur memiliki beberapa peran dalam penanganan krisis klien. Beberapa peran yang dilaksanakan parakonselor ialah sebagai; (1) manager kasus, yaitu menangani jalannya penanganan kasus klien. (2) sebagai broker (penghubung) yaitu menghubungkan klien dengan berbagai sumber palayanan yang menunjang kebutuhan penanganan kasus klien. (3) rujukan (referal), yaitu klien di berikan kepada lembaga mitra yang mempunyai layanan yang dibutuhkan klien, tentu dengan pengawan parakonselor.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, C. Y. (2015). Praktik Pekerjaan Sosial Generalis suatu tuntunan intervensi.
Puspel Pustaka Pelajar.
Amin, S. M. (2010). Bimbingan dan konseling Islam. Amzah.
Amriana, A. (2015). Konseling Krisis Dengan Pendekatan Konseling Realitas Untuk Menurunkan Kecemasan Anak Korban Kekerasan Seksual (Penelitian Single Subject di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa
Timur). Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 5(1), https://doi.org/
10.29080/jbki.v5i1.27
Chaplin, C. P. (1989). Kamus Lengkap Psikologi (K. Kartono, Trans.). Rajawali Press.
Coollins, G. R. (1988). Christian Counseling: A Comprehensive Guide. Word Publishing.
214 Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216
Pusat Pelayanan dan Perlindungan Sosial Anak Rumah Sejahtera Darussa’adah
Provinsi Aceh. Departemen Sosial RI.
Ghofar, M. (2018). Kasus kekerasan perempuan di Kaltim tergolong tinggi. Antara News.
https://Kalimantan
Timur.antaranews.com/berita/47363/kasus-kekerasan-perempuan-di-Kalimantan Timur-tergolong-tinggi
Gibson, R. L., & Mitchell, M. H. (2016). Bimbingan dan konseling. Pustaka Pelajar.
Gladding, S. T. (2012). Konseling: Profesi yang Menyeluruh (6th ed.). Indeks.
Gunarsa, S. B. (2007). Konseling dan Psikoterapi. PT. BPK Gunung Mulia.
Husna, N. (2018). Aplikasi Tahapan Pertolongan Dalam Pekerjaan Sosial Di Rumah Perlindungan Sosial Anak (Studi di Panti Sosial Asuhan Anak
Darussa’adah Aceh Besar). Jurnal AL-IJTIMAIYYAH: Media Kajian
Pengembangan Masyarakat Islam, 3(2), Article 2.
https://doi.org/10.22373/al-ijtimaiyyah.v3i2.3270
Kit, P. L., & Tang, P. (2018). Strengthening support for children and youth in Singapore: A personal therapy approach to training paraprofessional
counsellors. Asia Pacific Journal of Counselling and Psychotherapy, 9(1), 107–122.
https://doi.org/10.1080/21507686.2017.1397035
Kusmaryani, R. E., & Fathiyah, K. N. (n.d.). Konseling krisis sebagai upaya penanganan masalah psikologis remaja di yogyakarta. 12.
Mc. Leon, J., & Anwar, A. K. (2010). Pengantar Konseling: Teori & Studi Kasus.
Kencana.
Nursalim, M. (2017). Peran Konselor dalam Mengantisipasi Krisis Moral Anak
dan Remaja Melalui Pemanfaatan Media “Baru”. Bikotetik (Bimbingan dan
Konseling: Teori dan Praktik), 1(2), 59-65. http://dx.doi.org/10.26740/
bikotetik.v1n2.p59-65
Puri, L. W., Nurkholipah, S., & Putri, R. N. A. W. (2017). Peran Konselor Dalam
Mengembangkan Budaya Sekolah Berbasis Karakter. Jurnal Pendidikan: Teori,
Penelitian, dan Pengembangan, 2(5), 599-603. http://journal.um.ac.id/
index.php/jptpp/article/view/9040/4327
Rahayu, S. M. (2017). Konseling Krisis: Sebuah Pendekatan dalam Mereduksi
Masalah Traumatik pada Anak dan Remaja. JP (Jurnal Pendidikan) : Teori Dan
Praktik, 2(1), 65–69. https://doi.org/10.26740/jp.v2n1.p65-69
Rahmat, H. K., & Nurmalasari, E. (2018). Implementasi Konseling Krisis Terintegrasi
Sufi Healing Untuk Menangani Trauma Anak Usia Dini Pada Situasi Krisis Pasca Bencana. 9.
Reitanza, M. A. (2018). Penerapan Konseling Krisis Dengan Pendekatan Terapi Realitas
Dalam Menangani Kecemasan Pada Mahasiswa Korban Kekerasan Dalam Pacaran (Kdp) (Studi Kasus Di Universitas Islam Negeri (Uin) Raden Intan Lampung) Tahun
Akademik 2017/2018 [Undergraduate, UIN Raden Intan Lampung].
http://repository.radenintan.ac.id/4236/
Irsyad : Jurnal Bimbingan, Penyuluhan, Konseling, dan Psikoterapi Islam 08(2) (2020) 199-216 215
Pada Siswa Hiperaktif (ADHD). Refleksi Edukatika: Jurnal Ilmiah
Kependidikan, 4(1). DOI: https://doi.org/10.24176/re.v5i1.431
Roberts, A. R., & Greene, G. J. (Eds.). (2008). Buku Pintar Pekerja Sosial. BPK
Gunung Mulia.
Wangid, M. N. (2010). Peran konselor sekolah dalam pendidikan karakter. Jurnal
Cakrawala Pendidikan, 1(3). https://core.ac.uk/reader/11061688