• Tidak ada hasil yang ditemukan

Puncak Sufisme dalam Perspektif Al-Ghazali (Telaah Komparasi antara Ma rifat dengan Ittihad-Hulul) Oleh: Binti Maunah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Puncak Sufisme dalam Perspektif Al-Ghazali (Telaah Komparasi antara Ma rifat dengan Ittihad-Hulul) Oleh: Binti Maunah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Binti Maunah∗

Abstrak

Sufisme atau mistisisme Islam mempunyai tujuan esensial, yaitu untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Allah. Dalam perspektif para sufi terdapat beberapa term yang menunjukkan sebagai puncak sufisme itu sendiri, antara lain ma’rifat, ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud. Dalam pandangan al-Ghazali, ma’rifah (gnosis) merupakan puncak sufisme, yang secara doktrinal-teologis, inheren padanya suatu “jarak” yang membatasi antara dia dengan Tuhan. Sebagai puncak al-qurb, ma’rifah diperoleh melalui metode kasyf (penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian langsung) dengan mata hati.

Kata kunci:Ma’rifat, Ittihad, Hulul, al-Ghazali

A. Pendahuluan

Sufisme (tasawuf) atau yang biasa pula disebut mistisisme Islam, mempunyai tujuan esensial untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Yang Maha Mutlak (Allah). Dengan pijakan sebuah landasan filosofis bahwa karena Tuhan bersifat ruhani (immateri) dan Maha Suci, maka aspek sufi yang dapat mendekati Tuhan adalah dimensi ruhani-jiwanya, bukan tubuh kasarnya, tentu saja setelah melalui proses penyucian diri secara sungguh-sungguh dan intensif. Oleh karena itu, sangat wajar kalau term-term yang kemudian diintrodusir dan populer dalam wacana sufisme, baik yang masuk dalam kategori maqamat atau stations (tingkatan rohani) maupun ahwal (kondisi mental), senantiasa berkonotasi dengan kualitas atau tingkat kematangan jiwa spiritual sufi, sekaligus sebagai realisasi formal atas kehendaknya dengan Tuhan dan upaya penyucian serta peningkatannya.

Meskipun setiap sufi, di dalam keragaman fahamnya, memiliki tujuan yang secara substantif relatif sama, namun tidak jarang mereka itu berbeda dalam hal pemilihan term guna pengartikulasiannya. Term-term populer seperti ma’rifah (gnosis) dari Dzu al-Nun al-Mishri (180-245 H),

ittihad (The Mystical Unior) dari Abu Yazid al-Busthami (w. 364 H/877 M), hulul dari Abu Manshur al-Hallaj (w. 309 H/922 M), dan wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi, adalah bukti nyata atas hal tersebut. Selain menunjukkan fenomena kemajemukan “formulasi” tujuan sufisme, sejumlah term

(2)

tersebut tampaknya juga menggambarkan suatu puncak (ujung) dari sufisme (subyektif), yang masing-masing darinya tentu menunjuk kepada doktrin dan implikasi teologi tertentu.

Dzu al-Nun al-Mishri dilahirkan di Ikhmin, sebuah kota di Hulu sungai Nil sebelah Timur pada tahun 773 M dan wafat tahun 860 M di Gaza.1 Al-Mishri dikenal sebagai bapak ma’rifah. Di antara pandangannya mengenai hal ini adalah sebagai berikut: Pertama, sesungguhnya al-ma’rifah

yang hakiki adalah bukan ilmu tentang keesaan Tuhan sebagaimana yang dipercaya oleh orang-orang mukmin, akan tetapi, dia adalah ma’rifat

terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki oleh para wali Allah. Sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya. Maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hambanya yang lain.2

Kedua, ma’rifah yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hati

hamba-Nya dengan cahaya ma’rifah yang murni seperti matahari tak dapat

dilihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga dirinya terasa hilang lebur dalam kekuasaan-Nya. Mereka merasa bahwa mereka bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah di lidah mereka. Mereka melihat dengan penglihatan

Allah. Mereka berbuat dengan perbuatan Allah.3

Menurut pengalaman al-Misri, sebelum ia sampai kepada maqam

ma’rifah dia melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat dalam alam semesta. Suatu ungkapan puitisnya adalah sebagai berikut: “Ya Rabbi, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-Mu dan tindakan-Mu. Tolonglah daku ya Robbi dalam mencari ridla-Mu dengan ridlaku untuk mengingat Engkau dalam kecintaan-Mu dengan kesentosaan dan niat yang teguh".4

Setelah ia mencapai maqam ma’rifat, maka ketika ia ditanya

bagaimana ia memperoleh ma’rifah, ia menjawab: “Aku mengenal Tuhanku

melalui Tuhanku dan sekiranya tidak karena Tuhanku maka aku tak akan mengenal Tuhanku”. Ini menunjukkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh

begitu saja, tetapi juga merupakan pemberian dari Tuhan.5 Adapun

1Louis Ma`luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A`lam, (Beirut: Dar al-Mashriq, 1986),

p. 279.

2Abd al-Qadir Mahmud, Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arab,

1966), p. 307.

3Renold A. Nicholson, The Mistics of Islam, (London: Roulegde and Kegan Paul,

1975), p. 115.

4A. J Arberry, Sufisme: An Accaunt of the Mistics of Islam, (London: George Allen

Unwin Ltd., 1979), pp. 64-5.

5Ahmad ibn ‘Ata’ Allah, al-Hawas li al- Tahdhib al-Nafs, ( Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),

(3)

tanda seorang arif menurut al-Misri adalah sebagai berikut; cahaya

ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya kewara’annya. Dia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir, dan banyaknya

nikmat Tuhan tidak menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan.6

Sebagaimana dipaparkan di atas, bahwa dalam ma’rifah seorang sufi bisa melihat Tuhan dengan mata hati yang ada dalam hati sanubarinya. Dengan sampainya ke tingkat ini, sufi itu telah dekat dengan Tuhan dan bertambah tinggi tingkatannya dalam ma’rifah, bertambahlah ia dekat kepada Tuhan, sehingga akhirnya ia bersatu dengan Tuhan yang dalam istilah tasawuf disebut dengan ittihad.

Akan tetapi sebelum seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan, ia harus terlebih dahulu menghancurkan dirinya. Selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, yaitu selama ia masih sadar akan dirinya, ia tidak dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri dalam tasawuf disebut

fana’ artinya hilang atau hancur. Penghancuran diri (al-fana’) senantiasa diiringi oleh al-baqa’ yang berarti tetap, terus hidup. Al-fana’ dan al-baqa’

merupakan kembar dua dan dua tingkatan yang tidak dapat dipisahkan. Begitu al-fana’ dicapai maka secara otomatis sampailah pada al-baqa’.7

Fana’ dapat diartikan dengan kesirnaan manusia dari kehendaknya, dan kekekalan kehendaknya dengan kehendak Allah. Selain itu, fana’ pun mempunyai makna sirna dari perhatian terhadap hal-hal yang menimbulkan rangsangan, atau dengan kata lain, sirna dari keinginan makhluk. Keadaan seperti itu sering dirujukkan kepada ayat al-Qur’an, bahwa wanita-wanita ketika melihat Yusuf kagum akan ketampanan rupanya, dan mereka melukai jari tangan mereka sendiri, mereka tidak merasakan sakitnya jari yang terputus. Betapa lemahnya mereka, dan kata mereka: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya dia ini tidak lain adalah malaikat yang mulia”, (QS Yusuf: 31). Hal ini merupakan kelalaian makhluk terhadap dirinya sendiri sewaktu menemui makhluk lain. Dapat dibayangkan bagaimana kelalaian dan ketidaksadaran seseorang apabila tersingkap baginya penyaksian terhadap Tuhannya Yang Maha Agung.

Dalam sejarah tasawuf, Abu Yazid al-Bustami (w. 874 M.) dipandang sebagai sufi pertama yang mencetuskan al-fana’ dan al-baqa’ ini. Ajaran fana’ yang dibawanya adalah fana’ al-nafs, yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia.8 Dari sini dapat

6Abd Nasr al-Sarraj al-Tusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadithah,1960), p.

61.

7Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1990), p. 79.

(4)

dimengerti, bahwa kesadaran al-Bustami telah hilang di dalam kesadarannya kepada Tuhan. Dan kesadarannya terhadap Tuhan melandasi kesadaran dirinya. Artinya, ia fana’ dari diri dan makhluk lain,

kemudian baqa’ dalam Tuhan. Ia sirna dari kehendaknya dan kehendaknya

itu baqa’ dengan kehendak Tuhan.

Al-Bustami begitu didominasi keadaan fana’, karena itu banyak ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan berasal dari dia, yang dikenal

dengan Shatahat. Menurut dia, makhluk mempunyai berbagai keadaan,

tetapi seorang arif tidak mempunyai keadaan. Seorang arif dalam tidurnya tidak melihat selain Allah, dan dalam jaganya pun tidak melihat selain Allah. Dia tidak seiring dengan selain Allah, dan tidak menelaah selain Allah. Dalam fana’, terkandung fana’nya kehendak, dia ingin “tidak berkeinginan”.9

Demikian juga dengan istilah wujudiyah atau al-Wahdat al-Wujud

yang biasanya dinisbatkan kepada Ibn al-‘Arabi10, yang memiliki nama asli

Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn al’Arabi al-Ta’i al-Hatimi yang

lahir pada 17 Ramadlan 560 (28 Juli 1165) di Murcia Spanyol Tenggara11.

Istilah Wahdat al-Wujud ini merupakan the Belief and/or doctrine that all existence is one; monism of wujud (existence/being)12 (kepercayaan atau doktrin

yang menyatakan bahwa segala yang berwujud satu adanya, monisme wujud). Secara garis besar, konsep ini menyatakan bahwa setiap yang ada

mempunyai dua aspek, yakni aspek luar—yang disebut dengan al-Khalq—

yang mempunyai sifat kemakhlukan dan aspek dalam—disebut dengan

istilah al-Haqq—yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain, setiap yang mewujud ini memiliki sifat ketuhanan dan kemakhlukan sekaligus, namun al-Haq lah yang merupakan hakikat dan substansi wujud (wujud sejati)13 sehingga kebinnekaan yang terdapat di alam pada hakikatnya

adalah satu.

9Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, Ahmad Rafi`i

Usman (Bandung: Pustaka, 1985), p. 115.

10Ia tidak pernah menggunakan istilah tersebut. Istilah ini digunakan oleh Ma’ruf

al-Karkhi, juga oleh Abu Hamid al-Gazali dan juga oleh ‘Ayn al-Qudat al-Hamadani. Periksa Kautsar Azhari Noer, Ibn al-‘Arabi, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta: Paramadina, 1995), pp. 34-35.

11Ibid., p. 17. Ada dua orang yang bernama ibn al-‘Arabi yang sama-sama

kelahiran Spanyol, tetapi yang satunya bernama asli Abu Bakr Muhammad ibn ‘Abd Allah ibn al-‘Arabi al-Mu’afiri, seorang ahli hadits kelahiran Sevilla. Sedangkan satunya adalah tokoh di atas, yang sufi.

12Muhammad Abdul Haq Ansari, Sufism and Shari’ah: A Study of Shaykh Ahmad

Sirhindi’s Effort to Reform Sufism, (Leicester: The Islamic Foundation, 1986), p. 338.

13Konsep ini lahir berdasarkan pemahaman terhadap hadits Nabi yang

(5)

Ibn al-‘Arabi tidak hanya menekankan keesaan wujud, tetapi juga menekankan keanekaan realitas. Dalam pandangannya, alam adalah penampakan diri (al-Tajalli) al-Haq sehingga—dengan demikian—segala sesuatu dan segala peristiwa di alam ini adalah entifikasi Tuhan (Ta’ayyun al-Haq). Oleh karena itu, baik Tuhan maupun alam, keduanya tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis.14 Dalam hal ini, ibn al-‘Arabi memunculkan konsep tanzih dan

tashbih, al-Zahir dan al-Bathin, al-Wahid dan al-Kathir dan lain-lain. Persatuan antara kontradiksi-kontradiksi ini yang menjadi ciri khas pemikiran Ibn al-‘Arabi dalam konsep wahdat al-wujud.

Dalam praktiknya, teori wahdat al-wujud ini telah melahirkan praktik tasawuf ekstatis, suatu tipe tasawuf dalam keadaan mabuk (sukr, intoxcition)

di mana seorang sufi dikuasai oleh perasaan kehadiran Tuhan15. Dalam aktualisasinya, para sufi penganut versi ini melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan kemampuan untuk membedakan makhluk-makhluk, disertai kondisi keintiman, kedekatan bahkan “perasaan” menyatu dengan Tuhan. Sampai batas tertentu, keintiman tersebut cenderung mewujudkan sikap kurang mementingkan syari’at dan secara

terang-terangan menyatakan persatuannya dengan Tuhan. 16

Lain halnya dengan al-Ghazali, corak sufisme al-Ghazali adalah berusaha memadukan antara aspek syari’at dengan tasawuf itu sendiri yang selama ini oleh para ulama dianggap saling bertentangan dan tidak bisa dikompromikan. Di antara ajaran al-Ghazali tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abd. al-Baqi Surur, bahwa di samping menghubungkan tasawuf dengan syari’at yang begitu erat hingga tak terputuskan, al-Ghazali

oleh karenanya Dia menciptakan alam. Di saat Dia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat alam. Alam adalah cermin, tanda atau alamat bagi Tuhan. Pada alam dan segala yang ada didalamnya terdapat sifat ketuhanan.

14Dalam hal ini, konsep wahdat al-wujud berbeda dengan konsep kesatuan ala

Pantheism. Wahdat al-wujud tidaklah bermaksud menghilangkan perbedaan antara Tuhan dengan makhluk tetapi untuk menunjukkan keintiman dalam arti betapa dekatnya Tuhan dengan makhluk-Nya. Meski intim bahkan “bersatu”, tetapi kesatuan tersebut bukan dalam kesatuan asasi, tetapi kesatuan majazi. Sedangkan Panteism, menghilangkan perbedaan keduanya, antara Tuhan dan alam, dalam arti tidak memberikan tempat pada transendensi Tuhan. Periksa Titus Burckhardt, An Introduction to Sufism, Trans. DM. Matheson (Wellingborough: Crucable, 1990), p. 28. Bandingkan Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perennial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, (Jakarta: Serambi, 2002), pp. 24-25.

15Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, (Chapel Hill: The University

of North Caroline Press, 1990), pp. 58-59.

16Contoh tipikal sikap ini adalah apa yang dikenal dengan istilah sathahat, yang

sedemikian tercermin secara kental dalam ungkapan-ungkapan Hallaj, Abu Yazid al-Bustami, dan tokoh-tokoh tasawuf falsafi lainnya, yang jika ditinjau dari kacamata shari’at sudah sedemikian membahayakan dan tidak ada bedanya, identik dengan pantheism.

(6)

juga menjadikan sikap berpegang teguh kepada kaidah-kaidah syara’ sebagai awal bagi seorang yang merambah jalan menuju Allah (al-Salik). Jika al-Salik menyalahi syara’ walaupun bisa berjalan di atas air, maka ia

adalah setan.17 Selanjutnya dalam pembahasan berikut hanya akan

diuraikan tentang puncak sufisme dalam perspektif al-Ghazali yang mencoba mengkomparasikan antara ma’rifat dengan ittihad-hulul.

B. Konsep Ma’rifah Menurut Al-Ghazali

Agak berlainan dengan term-term yang telah disebutkan di atas, al-Ghazali memilih “al-qurb” sebagai istilah untuk mengartikulasikan ujung atau puncak sufisme.18 Bagi Ghazali term itu diturunkan dari ayat al-Qur’an surat al-Baqarah [2] ayat 186: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada-Ku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku sangat dekat (qarib)”.

Dengan term al-qurb itu, al-Ghazali setidaknya memiliki dua maksud utama. Pertama, melakukan penolakan terhadap ittishal yakni suatu faham yang mengakui kemungkinan tercapainya pertemuan atau hubungan langsung antara ruh sufi dengan Dzat Tuhan. Kedua, menunjuk suatu tingkatan pengetahuan yang bersifat meyakinkan (al-‘irfan al-yaqiniyyah), atau yang populer dengan sebutan ma’rifah (gnosis), tentu sekaligus dipandangnya sebagai ujung atau puncak dari sufisme.19

Berpijak dari penjelasan tersebut di atas, maka istilah al-qurb yang diapresiasikan al-Ghazali sebagai ujung sufisme menjadi penting untuk diperjelas secara lebih detail lagi. Dengan menolak ittishal, sebenarnya al-Ghazali bermaksud menegaskan doktrin tentang tetap adanya “jarak” pemisah yang mengantarai diri sufi dengan Tuhan, meski saat itu ia telah mencapai puncak kedekatan dengan-Nya. Ini berarti, al-Ghazali selain memustahilkan kemungkinan terjadinya ittishal, dia ingin menunjukkan bahwa ma’rifah (gnosis) merupakan puncak sufisme, yang secara doktrinal-teologis, inheren padanya suatu “jarak” yang membatasi antara dia dengan Tuhan. Sebagai puncak al-qurb, ma’rifah diperoleh melalui metode kasyf

(penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian langsung) dengan mata hati. Jika memang demikian, maka sungguh beralasan kalau kemudian

17Taha Abd al-Baqi’ Surur , al-Ghazali, terj. LPMI, (Jakarta: Pustaka Mantiq,

1983), p. 64.

18Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal,

(Istambul: Hakikat Kitabevi, 1983), p. 33.

19‘Abd Qadir Mahmud, Falsafah Shufiyyah fi Islam, (Kairo: Dar Fikr

(7)

Ghazali dikatakan hanya menghalalkan keberadan sufisme sampai pada tingkat ma’rifah.20

Dalam wacana sufisme, sebenarnya ma’rifah bukanlah merupakan hal yang baru. Konsep ma’rifah telah diperkenalkan pertama kali oleh Dzu al-Nun al-Mishri pada sekitar parohan pertama abad ke-3 H. Sunguh pun demikian harus diakui, bahwa pembahasan secara lebih sistematis dan komprehensif tentang ma’rifah itu baru dilakukan oleh para sufi generasi sesudah al-Mishri. Dalam kaitan ini, al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) biasa disebut-sebut sebagai salah seorang yang merepresentasikan bahasan tersebut. Mengenai penjelasan al-Ghazali tentang ma’rifah (ujung sufisme) dapat ditangkap dari keterangan dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulum al-Din tentang

tawhid al-shiddiqin, yang dia apresiasikan sebagai kualitas tauhid tertinggi sebagai berikut: “Bahwa dia tidak melihat dalam wujud kecuali Esa. Yaitu

musyahadah (pandangan batin) orang-orang shiddiqin. Para sufi menamakannya dengan fana’ fi al-tawhid, karena dia tidak lagi melihat kecuali pada Yang Esa, dan bahkan dia juga tidak melihat dirinya. Bila dia sudah tidak lagi melihat dirinya karena tenggelam dalam pandangan tauhid, maka dia fana’ dari dirinya dan seluruh makhluk”.21

Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa puncak ma’rifah, yang

oleh al-Ghazali diidentikkan dengan tawhid al-shiddiqin, mengambil bentuk penyaksian batin (syuhud) terhadap wujud Tuhan, dengan tauhid sebagai esensinya. Ketika itu, mata hati (‘ayn al-bashirah) sufi hanya menyaksikan wujud tunggal, yakni Tuhan semata; sedangkan seluruh wujud yang selain-Nya (makhluk) termasuk diri sufi itu sendiri, telah lenyap (fana’) dari pandangannya. Dengan perkataan lain, karena pandangan batin shiddiqin

(‘arifun) telah terfokus secara total kepada wujud Tuhan Yang Maha Tunggal semata, maka mereka menjadi tidak lagi menyadari keberadaan seluruh wujud makhluk, termasuk terhadap dirinya sendiri.

Penjelasan serupa tentang puncak ma’rifah dari al-Ghazali dapat ditemukan dalam kitabnya yang lain, yakni Misykat al-Anwar. Dijelaskan dalam kitab ini, ketika golongan ‘arifin (orang-orang yang telah mencapai

ma’rifah)-nya, mereka musyahadah bahwa “tiada wujud (hakiki) apapun terkecuali wujud Allah, dan yang selain-Nya mesti binasa” (laisa li al-wujud anna kull syai’ khalik illa wajhah). Bagi al-Ghazali, puncak ma’rifah ini tentu

tidak sampai menunjuk pada pengertian terjadinya pertemuan langsung ruh

sufi “Dzat” Tuhan sebagai yang dikehendaki oleh ittishal, tetapi lebih

20Harun Nasution, “Tasawuf”, dalam Budhy Munawar-Rahman, Kontekstualisasi

Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), p. 348.

(8)

menunjuk pada puncak kedekatan sufi dengan Tuhannya, yang antara keduanya masih dibatasi oleh adanya “jarak” pemisah.22

Ungkapan al-Ghazali, “al-nazhar ila wajh Allah”, yang sepintas mengesankan kemungkinan terjangkaunya Dzat Tuhan, ternyata tidaklah demikian makna yang dimaksudkan. Al-Zubaidi, penulis kitab Ittihaf al-Sadah al-Zabidi dan Ittihaf al-Sadah al-Muttaqin bi Syarh Ihya’ Ulum al-Din, telah memastikan bahwa pengertian wajh itu adalah al-husn, sama sekali tidak menunjuk pada Dzat Tuhan.23 Bahkan, kemungkinan ittishal itu,

dalam kitab Kimiya al-Sa’adah, tampaknya memang merupakan hal yang sangat mustahil.24 Dengan demikian, secara teologis al-Ghazali sangat menekankan transendensi Tuhan, sebagai konsekuensi logis dari konsepsinya tentang al-qurb di atas.

Ungkapan al-Ghazali bahwa “tidak ada sesuatu dalam wujud selain Allah” tersebut, lebih jauh dapat dijelaskan bahwa lewat teori ontologisnya tentang mumkin al-wujud dan wajib al-wujud. Dalam konteks ini, al-Ghazali membedakan keberadaan sesuatu atas dua kategori yang memiliki kemaujudan dari sesuatu lainnya. Kategori pertama yang biasa diistilahkan dengan mumkin al-wujud, kemaujudan hanyalah merupakan pinjaman dan karenanya bersifat nisbi, dan bahkan kalau ditinjau dari arah dirinya sendiri, sesungguhnya ia adalah ketiadaan murni (‘adam). Kategori pertama ini jelas berlainan dengan kategori kedua, yaitu yang biasa disebut dengan istilah

wajib al-wujud. Dengan semikian, sesuatu yang benar-benar maujud, sedangkan yang selain-Nya bersifat binasa.25

Di bawah tauhid kualitas tertinggi, tauhid al-shiddiqin, yang diposisikan sebagai puncak ma’rifah, sebelumnya telah dijelaskan pula oleh al-Ghazali kualitas tauhid di bawahnya, yakni tauhid al-muqarrabin, yang menurutnya juga termasuk kasuf. Ini berarti, ma’rifah itu tidak hanya terjadi ada kualitas tauhid al-shiddiqin semata, melainkan juga pada tauhid al-shiddiqin pada tingkat al-muqarrabin, hanya saja keduanya berbeda kualitas karena berlainan obyeknya. Pada tauhid al-muqarrabin, obyek syuhud

(pandangan batin) berupa af’al (karya-karya) Tuhan, sehingga semua yang

ada (al-mawjudat, beings) hanya tampak muncul dari-Nya, sekalipun secara

kasat mata tampak beragam. Sedangkan yang menjadi obyek syuhud dalam

22al-Ghazali, Misykat al-Anwar, dalam Mushthafa Abu al-Ala (ed.), Qushur

al-Awali, (Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970), p. 196.

23Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Husain al-Zubaidi, Ittihaf al-Sadah

Muttaqin bi Syarh Ihya’ Ulum al-Din, juz 9, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), p. 573.

24al-Ghazali, al-Maqshad al-Asma fi Syarh Asma’ Allah al-Husna, penj. Ilyas Hasan,

(Bandung: Mizan, 1994), p. 113.

(9)

tauhid tingkat al-shiddiqin adakah wujud Tuhan, sehingga wujud selain-Nya sudah tidak terlihat lagi oleh sufi.

Dalam Jawahir al-Qur’an, al-Ghazali menganalogikan dua obyek

ma’rifah tersebut dengan permata safir. Seperti keragaman jenis dan kualitas permata safir ada yang lebih berharga dari jenis lainnya maka demikian pula keberadaan dari ma’rifah (gnosis). Ma’rifah terhadap wujud Tuhan yang dianalogikan dengan permata safir merah lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan ma’rifah atas af’al-Nya yang diibaratkan sebagai permata safir kuning. Sebagaimana permata safir merah yang hanya dimiliki oleh kalangan elit yang amat terbatas jumlahnya, maka demikian pula ma’rifah terhadap wujud Tuhan.26 Melalui analogi ini, dia

bermaksud menunjukkan betapa ma’rifah terhadap wujud Tuhan sebagai puncak ma’rifah, ternyata sulit pencapaiannya terkecuali oleh kalangan tertentu (khash) yang jumlahnya sangat terbatas, dan itu pun tidak akan

sampai pada derajat kesempurnaan ma’rifah. Karena bagaimana pun

manusia tetap sebagai manusia yang eksistensinya bersifat terbatas (finit), sedangkan Tuhan bersifat tak terbatas (infinitif). Dikatakan oleh al-Junaid: “Cangkir teh tidak akan bisa menampung seluruh air yang ada di laut”.27 Dan itu pula sebabnya, menurut al-Ghazali, kenapa al-Qur’an hanya

sekedar memberikan catatan dan isyarat mengenai ma’rifah terhadap wujud

Tuhan ini, berlainan dengan ma’rifah kategori yang lain cenderung lebih terperinci penjelasannya.

Konsepsi ma’rifah al-Ghazali, sebagaimana telah terlihat dalam uraian di atas, cenderung mengambil bentuk syuhud (penyaksian batin). Baik menyangkut ma’rifah terhadap af’al-Nya, tauhid al-muqarrabin, ternyata sama-sama mengambil bentuk syuhud, tentu keduanya berbeda kualitas karena berlainan obyeknya. Berpijak dari sini, ada benarnya meskipun tak sepenuhnya kalau kemudian al-Ghazali dijustifikasi sebagai penganut faham wahdah al-syuhud. Secara doktrinal, faham ini tentu tidak identik dengan wahdah al-wujud Ibn ‘Arabi, karena yang disebut terakhir cenderung menempatkan alam semesta yang serba majemuk ini sebagai penampakan lahir (tajalli) Tuhan Yang Maha Esa. Dua kualitas ma’rifah tersebut menjadi semakin jelas kalau dirujukkan kepada dimensi epistemologi sistem tasawuf al-Ghazali berikut ini.

Al-Qalb, instrumen ma’rifah menurut al-Ghazali memiliki dua buah pintu, yaitu satu terbuka ke alam malakut (ruhani) lawh mahfuzh dan kemalaikatan, dan satunya lagi ke alam empiris (syahadah). Bagi al-Ghazali,

26al-Ghazali, Jawahir al-Qur’an, disadur oleh Syaifullah Muhyidin, (Jakarta: Rajawali

Pers, 1997).

27Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

(10)

qalbu itu bagaikan cermin yang bila selalu dibersihkan, keberadaannya akan menjadi semakin bening dan mengkilap, sehingga darinya terpantul sejumlah pengetahuan (ma’rifah) melalui nur (cahaya) yang dipancarkan oleh Tuhan; kualitas ma’rifah ekuivalen dengan tingkat kebeningan suatu cermin (qalbu); semakin jernih cermin semakin tinggi pula kualitas ma’rifah

yang terpantul darinya. Ketika baru terjadi kasuf, dengan pandangan batinnya sufi menyaksikan af’al Tuhan pada alam malakut (ruhani), baik yang berupa hakikat makrokosmos yang telah terdesain di lawh mahfuzh

maupun alam kemalaikatan, yang terpantulkan lewat qalbu; dan inilah yang diistilahkan sebagai kualitas tawhid al-muwarrabin. Kemudian setelah terjadi peningkatan, sang sufi itu dengan kekuatan pandangan batinnya dapat menyaksikan sifat-sifat dan wujud Tuhan, yang bayangan-Nya terpantulkan ke dalam qalbu; dan yang terakhir inilah yang dikualifikasikan sebagai tawhid al-shiddiqin, puncak ma’rifah yang sekaligus menjadi ujung sufisme (al-qurb).

Dari uraian seputar ma’rifah di atas, kiranya dapat dipahami bahwa

konsep ma’rifah yang dikemukakan oleh al-Ghazali secara umum tidak jauh

berbeda dengan ma’rifah yang dikemukakan oleh tokoh sufi sebelumnya,

yakni sebagai bentuk pengenalan langsung terhadap Tuhan melalui syuhud

(pandangan batin), dengan tauhid sebagai esensi terdalamnya. Sungguh pun demikian, apa yang dinamakan ma’rifah dalam konsep al-Ghazali tampaknya memiliki jangkauan lebih kompleks dan batasan yang lebih jelas. Dari segi jangkauan, al-Ghazali tidak hanya membatasi ma’rifah

sebagai bentuk pengenalan langsung terhadap wujud Tuhan, melainkan juga seluruh pengetahuan langsung dari-Nya tentang hakikat alam semesta, alam empiris dan alam malakut yang terpantul ke qalbu dari lawh mahfuzh, melalui nur yang dipancarkan oleh Tuhan. Sedangkan dari segi batasan, al-Ghazali menetapkan al-qurb sebagai ujung ma’rifah, dengan pengertian tetap dibatasi oleh adanya “jarak” pemisah antara (ruh) Sufi dengan Tuhan, sekalipun keduanya dalam kadar tertentu ada sisi-sisi “kemiripan”. Dengan demikian cukup tepat kalau Harun Nasution

membedakan ma’rifah al-Ghazali mejadi dua macam, yaitu pengenalan

langsung terhadap wajh Tuhan melalui syuhud atau pandangan batin, al-nazhar ila wajh Allah; dan pengetahuan langsung tentang rahasia-rahasia Tuhan dan Hakikat alam semesta yang telah terdesainkan di lawh mahfuzh.28 C. Komparasi Antara Ma’rifah Dengan Ittihad-Hulul

Selain menguraikan ma’rifah dan keberadaannya sebagai ujung

sufisme, al-Ghazali juga memberikan penjelasan tentang seputar proses

(11)

pencapaian ma’rifah itu. Di dalam sebuah karya otobiografis intelektualnya,

al-Munqidz min al-Dhalal, al-Ghazali memberikan penjelasan tentang perjalanan ruhaninya dalam mencapai ma’rifah (al-qurb) sebagai berikut:

Ringkasnya apa yang dikatakan mengenai jalan kesucian (thariqah), yang awalnya adalah penyucian hati dari apa saja yang selain Allah. Sedangkan kunci pembukanya, yang posisinya bagaikan takbiratul ihram

dalam shalat adalah menenggelamkan hati secara total dengan dzikir kepada Allah. Dan akhirnya adalah fana’ sepenuhnya dalam penghayatan kepada Allah (al-fana’ bi al-kulliyyat fi Allah), yang kalau hal ini dihubungkan dengan apa yang sebelumnya, yang masih didasarkan pada ikhtiyar dan

kasab, sebenarnya baru merupakan permulaan thariqah yang sesungguhnya. Sejak awal penghayatan fana’ ini mulailah terjadi kasyf dan penyaksian alam ghaib, hingga dalam kesadaran mereka dapat menyaksiakan malaikat dan arwah para Nabi, serta mendengarkan suara-suara mereka dan mengambil pelajaran darinya. Kemudian keadaannya meningkat, dari sekedar penyaksian tamsil dan bentuk-bentuk ke arah penghayatan yang tidak bisa diungkapkan dengan formulasi kata-kata, setiap upaya untuk salah dan menyesatkan. Pendeknya, sampai pada tingkat penghayatan yang sangat dekat.29

Dalam konteks ma’rifah, setidaknya ada dua hal yang penting untuk ditegaskan dari kutipan tersebut. Pertama, sebagaimaan fana’ menjadi prakondisi bagi terjadinya ittihad al-Busthami dan hulul al-Hallaj, al-Ghazali pun juga menetapkannya sebagai prakondisi bagi ma’rifah. Kedua, ujung sufisme yang diformulasikan dengan istilah al-qurb, yang dipadankan

dengan ma’rifah, bukanlah bentuk penghayatan spiritual yang dapat

dilukiskan dengan kata-kata (bahasa), termasuk bahasa-bahasa syathahat. Karena itu, al-Ghazali cenderung merahasiakannya, berbeda dengan Abu Yazid al-Busthami dan Abu Manshur al-Hallaj yang ternyata lebih suka mengungkapkan pengalaman spiritualnya dengan sarana bahasa syathahat. Kalau ditelusuri secara seksama, terjadinya perbedaan pandangan ini sesungguhnya berawal pada berbedanya dasar pemikiran yang inheren dalam sistem tasawuf (sufisme) masing-masing. Al-Ghazali, seperti juga al-Junaid, ternyata lebih memberikan apresiasi dan prioritas terhadap al-shahw

(ketidakmabukan) daripada al-sukr (kemabukan); sedangkan al-Busthami dan al-Hallaj justru berpandangan sebaliknya.30 Dijelaskan oleh al-Hujwiri,

al-shahw dalam wacana sufisme dipergunakan untuk mengungkapkan

29al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dhalal, p. 33.

30al-Hujwiri, al-Munqidz min al-Dhalal ibn Utsman, Kasyf al-Mahjub, penj. Suwardjo

Muthari dan Abdul Hadi WM., (Bandung: Mizan, 1993), p. 173; Muhammad Ahmad ‘Abd al-Qadir, Fikr Islami bain Ibtida’ wa Ibda’, Iskandariyah: Dar Ma’arif al-Jam’iyyah, 1988), p. 61.

(12)

pencapaian suatu yang diinginkan, sedangakn al-sukr lebih menunjukkan pada kegairahan Sufi terhadap Tuhan.

Disebabkan oleh perbedaan pemikiran tersebut, kemudian muncul perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan ahli, terutama ketika al-shahw dan al-sakr difungsikan sebagai parameter untuk menentukan posisi

ma’rifah di satu pihak dan ittihad-hulul pada pihak lain. Al-Busthami dan al-Hallaj misalnya, dua eksponen utama al-sukr, dengan tak ragu sedikit pun

menempatkan al-shahw. Menurutnya, ketidakmabukan melibatkan

keseimbangan sifat-sifat kemanusiaan, yang padahal menjadi tabir terbesar antara (ruh) sufi dengan Tuhan; sementara itu kemabukan melibatkan kefanaan sifat-sifat kemanusiaan.31 Sebaliknya, al-Junaid dan para

pengikutnya, termasuk di dalamnya al-Ghazali, memposisikan al-shahw

lebih utama daripada al-sukr. Baginya kemabukan adalah buruk karena hal

itu melibatkan terganggunya keadaan normal seseorang dan hilangnya akal sehat dan kendali diri, padahal prinsip kebenaran itu baru dapat dicapai kalau sang pencarinya dalam kondisi normal.32 Dan bahkan kemabukan

lanjut al-Junaid, adalah tempat bermain anak-anak, sedangkan ketidakmabukan merupakan laga bagi orang dewasa. Sebagai implikasinya, bila sejumlah pernyataan itu dikaitkan dengan keberadaan ma’rifah di satu sisi dan ittihad-hulul di sisi lain, maka secara implisit mengindikasikan adanya klaim-klaim keunggulan dari masing-masing pihak. Maksudnya,

sejumlah tokoh dan pendukung al-sakr tentu bermaksud menyatakan

bahwa keberadaan ittihad dan hulul menempati posisi di atas ma’rifah; begitu pula sebaliknya, tokoh-tokoh dan pendukung al-shahw bermaksud menunjukkan kalau ma’rifah itu posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan

ittihad dan hulul.

Terlepas dari sejumlah klaim tersebut, dalam kajian ini digunakan tipologi fana’ sebagai parameter untuk menentukan posisi ma’rifah al-Ghazali, dan sekaligus komparasinya dengan ittihad al-Busthami dan hulul

al-Hallaj. Dijelaskan dalam kitab Risalah Qusyairiyah, bahwa fana’ dapat dibagi atas tiga tingkatan yaitu lenyapnya kesadaran Sufi atas diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat-sifat-sifat Tuhan; lenyapnya kesadaran lantaran telah menghayati sifat-sifat Tuhan lantaran mulai menyaksikan wujud Tuhan; dan lenyapnya kesadaran sufi atas kefanaan yang dialaminya (fana’ al-fana’) lantaran terasa lebur menyatu dengan wujud Tuhan.33

31‘Abd al-Qadir, al-Fikr al-Islami, p. 61. 32al-Hujwiri, al-Munqidz, pp. 173-174.

33Abu al-Qasim al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah, juz 1, Abdul Qadir Mahmud

(13)

Lebih jauh dijelaskan oleh Simuh (1996: 107), ketika tercapai fana’

tingkat pertama, maka sufi baka (baqa’) dala penyaksian alam ghaib, kasyf al-hijab, sehingga dia mampu menyaksikan rahasia-rahasia alam ghaib dan aturan-aturan Tuhan yang telah didesainkan di lawh mahfuzh; lalu ketika sufi mencapai fana’ tingkat kedua, maka dia baka (baqa’) dalam penyaksiannya terhadap wujud Tuhan atau ma’rifatullah; dan ketika pada puncak ma’rifah itu tercapai fana’ tingkat ketiga (tertinggi), fana’ al-fana’,

maka kesadaran serba Tuhan dan menyatu dengan-Nya disebut ittihad

dalam konsepsi al-Busthami dan atau hulul dalam konsepsi al-Hallaj. Dari uraian tersebut di atas, dapat diambil suatu pemahaman bahwa

ma’rifah al-Ghazali hanya pada fana’ tingkatan kedua; sedangkan ittihad dan

hulul, keduanya sudah berada pada kategori fana’ tingkatan ketiga atau tertinggi (fana’ al-fana’). Jika demikian, maka dari perspektif tingkatan fana’

sesungguhnya keberadaan ma’rifah al-Ghazali terlepas dari apakah hal itu sebagai puncak pengalaman spiritualnya atau hanya sebatas konsepsi teoritis guna menunjuk puncak sufisme semata posisinya masih berada di bawah ittihad dan hulul. Dengan perkataan lain, pengalaman spiritualnya al-Busthami yang dikenal sebagai ittihad dan al-Hallaj yang kemudian diistilahkan sebagai hulul lebih tinggi tingkatannya dibandingkan ma’rifah

(padanan puncak al-qurb) al-Ghazali, yang olehnya diposisikan sebagai ujung sufisme. R.A. Nicholson menunjukkan bagaimana proses berkangsungnya peralihan dari ma’rifah ke tingkat persatuan dengan Tuhan-ittihad dan hulul. “… Kemudian meningkat terus ke arah kesadaran yang lebih tinggi lagi yang oleh para sufi dinamakan ma’rifah atau ‘arif, dan setelah itu tercapailah penghayatan di mana antara ‘ilm (pengetahuan), alim

(sufi yang mengetahui) dan ma’lum (Tuhan yang diketahui) adalah satu. Konklusi semacam itu yang menempatkan ma’rifah di bawah ittihad

-hulul tampaknya memang telah disadari (diakui) oleh al-Ghazali sendiri. Setidaknya, kesan seperti itu dapat ditangkap dari eksplanasi al-Ghazali tentang keadaan ma’rifah di satu pihak, dan ittihad-hulul di lain pihak, sekalipun ia mengkualifikasikan dua yang tersebut terakhir itu hanya bersifat majazi (figuratif) semata,34 dan bukan bersifat hakiki.35 Di dalam

Misykat al-Anwar, ketika al-Ghazali menjelaskan keberadaan ma’rifah,36 ternyata ia hanya mengkaitkannya dengan fana’ tingkat kedua fana’ al-nafs; tetapi saat menjelaskan keberadaan ittihad dan hulul (baca: majazi) dalam karyanya yang lain yakni Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali tidak hanya mengaitkannya dengan fana’ tingkat kedua, melainkan fana’ tingkat ketiga

34al-Ghazali, Misykat al-Anwar, p. 197. 35al-Ghazali, al-Maqshad al-Asma, pp. 187-188. 36al-Ghazali, Misykat al-Anwar, p. 198.

(14)

fana’ al-fana’, yang dalam wacana sufisme diapresiasikan sebagai jenis fana’

yang paling tinggi kualitasnya.37 Informasi ini jelas tidak saja menunjukkan keberadaan ma’rifah itu memang lebih rendah dibandingkan ittihad-hulul, tetapi sekaligus dapat dipahami sebagai bukti pengakuan al-Ghazali sendiri bahwa ittihad dan hulul merupakan bentuk pengalaman spiritual yang kualitasnya di atas ma’rifah.

Dengan demikian, sungguhpun al-Ghazali telah menetapkan

ma’rifah sebagai ujung atau puncak sufisme, namun dia masih mengakui kemungkinan adanya tingkatan lain yang lebih tinggi lagi darinya, yakni

ittihad dan hulul. Dan tepatlah apa yang dikatakan oleh Harun Nasution bahwa sekalipun al-Ghazali hanya menghalalkan sufisme sampai pada tingkat ma’rifah, namun dia tidak mengharamkan adanya tingkatan yang lebih tinggi lagi daripada ma’rifah itu.38

D. Penutup

Menurut al-Ghazali, ujung atau puncak sufisme adalah ma’rifah, yang diidentikkan dengan al-qurb dan juga dengan kualitas tawhid al-shiddiqin

Tuhannya. Ma’rifah memiliki karakter dasar yang tetap mempertahankan adanya “jarak” pemisah yang menjadi pembatas antara (ruh) sufi dengan Dzat Tuhan, sekalipun ketika itu sufi sedang berada pada puncak pengalaman spiritualnya atau puncak kedekatannya dengan Tuhan. Implikasinya, al-Ghazali dengan tegas menolak ittishal dan ittihad-hulul

kategori hakiki, namun dua yang disebut terkahir diapresiasi sebagai tauhid berkualitas tinggi sepanjang yang dimaksudkannya adalah yang kategori majazi.

Ditinjau dari teori tingkatan fana’, keberadaan ma’rifah al-Ghazali sekali lagi terlepas dari apakah ia itu merupakan puncak pengalaman spiritualnya atau hanya konsepsi teoritisnya menunjuk ujung sufisme yang dihalalkan peringkatnya berada di bawah ittihad Abu Yazid al-Busthami dan hulul Abu Manshur al-Hallaj.

37al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, p. 210. 38Harun Nasution, “Tasawuf”, p. 175.

(15)

Daftar Pustaka

‘Abd al-Qadir, Muhammad Ahmad, Fikr Islami bain Ibtida’ wa al-Ibda’, Iskandariyah: Dar al-Ma’arif al-Jam’iyyah, 1988.

Ansari, Muhammad Abdul Haq, Sufism and Shari’ah: A Study of Shaykh Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism, Leicester: The Islamic Foundation, 1986.

Arberry, A. J., Sufisme: An Accaunt of the Mistics of Islam, London: George Allen Unwin Ltd., 1979.

Burckhardt, Titus, An Introduction to Sufism, trans. DM. Matheson, Wellingborough: Crucable, 1990.

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad, Jawahir al-Qur’an,

disadur oleh Syaifullah Muhyidin, Jakarta: Rajawali Pers, 1997. ________, al-Maqshad al-Asma fi Syarh Asma’ Allah al-Husna, penj. Ilyas

Hasan, Bandung: Mizan, 1994.

________, al-Munqidz min al-Dhalal, Istambul: Hakikat Kitabevi, 1983. ________, Ihya’ Ulum al-Din, juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

________, Misykat al-Anwar, dalam Mushthafa Abu al-Ala (ed.), al-Qushur al-Awali, Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970.

al-Hujwiri, al-Munqidz min al-Dhalal ibn Utsman, Kasyf al-Mahjub, penj. Suwardjo Muthari dan Abdul Hadi WM., Bandung: Mizan, 1993. ibn ‘Ata’ Allah, Ahmad, al-Hawas li al- Tahdhib al-Nafs, Beirut: Dar al-Fikr,

t.t.

Ma`luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A`lam, Beirut: Dar al-Mashriq, 1986.

Mahmud, ‘Abd al-Qadir, al-Falsafah al-Shufiyyah fi al-Islam, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1967.

________, Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arab, 1966. Nasution, Harun, “Tasawuf”, dalam Budhy Munawar-Rahman,

Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.

________, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

(16)

________, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Nicholson, Renold A., The Mistics of Islam, London: Roulegde and Kegan

Paul, 1975.

Noer, Kautsar Azhari, Ibn al-‘Arabi, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan,

Jakarta: Paramadina, 1995.

________, Tasawuf Perennial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, Jakarta: Serambi, 2002.

al-Qusyairi, Abu al-Qasim, al-Risalah al-Qusyairiyyah, juz 1, Abdul Qadir Mahmud (ed.), Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1974.

Schimmel, Annemarie, Mystical Dimensions of Islam, Chapel Hill: The University of North Caroline Press, 1990.

Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.

Surur, Taha Abd al-Baqi’, al-Ghazali, terj. LPMI, Jakarta: Pustaka Mantiq, 1983.

al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi, Sufi Dari Zaman ke Zaman, Ahmad

Rafi`i Usman Bandung: Pustaka,1985.

al-Tusi, Abd Nasr al-Sarraj, al-Luma’, Mesir: Dar Kutub

al-Hadithah,1960.

al-Zubaidi, Sayyid Muhammad bin Muhammad al-Husain, Ittihaf al-Sadah Muttaqin bi Syarh Ihya’ Ulum al-Din, juz 9, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Referensi

Dokumen terkait

signifikan antara penerapan nilai- nilai keagamaan dengan kualitas pelayanan masyarakat di Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Kota Pekanbaru.. METODE PENELITIAN Lokasi

Kunjungan ulang adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang kedua dan seterusnya, untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai dengan standar selama satu

Selain itu, penelitian juga bertujuan untuk menunjukkan bagaimana klaim dapat menciptakan suatu nilai sendiri yang pada akhirnya memberikan kontribusi dalam terciptanya ruang

merkusii strain Tapanuli yang akan diduga kandungan biomassa karbonnya dilakukan di dalam dan di luar kawasan hutan lindung Dolok Tusam – Tapanuli Utara. Adapun untuk

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 47 unit transformator yang mengalami ketidakseimbangan beban yang melebih batas maksimum dari 25%, terdapat 5 unit transformator

Penelitian ini menyimpulkan bahwa switch therapy berdasarkan pedoman perubahan terapi antibiotik intravena ke oral/ Intravenous Antibiotic – Oral Switch Therapy (IAOST)

Selanjutnya penelitian terdahulu yang dilakukan Kurniasih dan Sari (2013) tentang tax avoidance menemukan bahwa kompensasi rugi fiskal dan ukuran perusahaan berpengaruh

Untuk gedung-gedung yang dibangun di daerah yang tidak tersedia fasilitas penyediaan air minum untuk umum, air baku haruslah diolah dalam gedung atau dalam instalasi