BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Masyarakat modern yang kompleks sebagai produk kemajuan teknologi, komunikasi, industrialisasi dan urbanisasi memunculkan banyak masalah sosial pada masyarakat, mulai dari berubahnya pola hidup masyarakat yang serba instan dan serba ada. Usaha adaptasi atau penyesuaian diri terhadap masyarakat modern itu tidaklah mudah. Kesulitan mengadakan adaptasi terhadap arus globalisasi ini dapat menyebabkan berbagai macam-macam konflik ditengah-tengah masyarakat, mulai dari kesulitan beradaptasi atau menyesuaikan gaya hidup dengan perkembangan jaman yang terus mengalami peningkatan, konflik baik itu konflik internal dalam jiwa atau batin sendiri, maupun konflik eksternal. Sehingga memaksa sebagian orang melakukan berbagai penyimpangan sosial, tindak pidana dami mendapatkan kesenangan semata dengan mengambil hak milik orang lain dengan tanpa hak dengan cara melawan hukum.
melanggar ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan terhadap pelakunya dikenakan sanksi pidana.1
Aliran kriminologi klasik mencoba mencari jawaban tentang sebab musabab seperti faktor ekonomi, biologi dan sebagainya. Aliran ini melihat kejahatan dalam konteks mengkonstruksikan kejahatan sosial yang bertalian Berkaitan dengan masalah mengapa manusia melakukan perbuatan melanggar hukum merupakan hal yang tidak kalah penting, dalam artian sebab-sebab timbulnya kejahatan dan apa perlunya sanksi hukum pidana diterapkan, sehingga saat ini mestipun perubahan dalam arti sifat, bentuk dan tujuan pidana, pidana tetap dianggap sebagai satu-satunya jawaban terakhir dalam memberantas kejahatan, pada pandangan ini tidaklah benar karena persoalannya bukan saja pengaruh pidana yang menakutkan atau membentuk penegak hukum yang profesional akan tetapi ada hal lain yang penting diperhatikan adalah adanya faktor motif timbulnya pelanggaran-pelanggaran hukum. Sampai saat ini belum dapat diberikan jawaban yang memuaskan mengapa orang melakukan kejahatan tertentu dan mengapa masih ada orang melakukan kejahatan yang sama setelah pelakunya dipidana mati.
Berbicara mengapa orang melakukan kejahatan menurut Mordjono Reksodiputro, bahwa keadaan pengetahuan kriminologi dewasa ini belum sampai untuk memungkinkan untuk dengan tegas menentukan sebab-sebab orang melakukan pelanggaran norma (hukum). Tingkat pengetahuan kriminologi dewasa ini masih dalam tarap mencari melalui penelitian dan penyusunan teori.
1
dengan si penjahat, bukan saja dalam hubungan dengan realis pelanggaran terhadap undang-undang, melainkan juga dalam hubungan dengan realis pelanggaran terhadap undang-undang itu sendiri. Ini berarti bahwa perlu dilihat pula bagaimana pengaruh lembaga-lembaga hukum didalam realis kehidupan sosial penjahat sendiri, serta juga pandangan masyarakat terhadap kejahatan itu.
Kriminologi dalam kepustakaan terdapat beberapa faktor yang amat sering dihubungkan dengan kejahatan faktor ini perlu kita periksa dengan hati-hati, karena faktor-faktor ini belum sepenuhnya terbukti mempunyai sebab akibat dengan kejahatan dan lagi pula sebagaimana dikatakan diatas yang diterima sebagai dalam atas kemungkina untuk dicari oleh kriminologi hanya faktor-faktor yang necessary but not sufficient sebagai sebab kejahatan yaitu faktor-faktor yang selalu merupakan sebab dari suatu akibat/kejahatan bersama-sama dengan faktor lain.
Faktor-faktor yang penting untuk diperhatikan adalah.
1. Teori ekologis (Shaw dan Mckey); kepadatan penduduk dan mobilitas sosial (horizonal dan vertikal) kota dan pedesaan; urbanisasi dan urbanisme; delinquency areas dan perumahan; distribusi menurut umur dan kelamin;
2. Teori konflik kebudayaan (Selli); masalah suku, agama, kelompok minoritas;
3. Teori ekonomi (Bonger); pengaruh kemiskinan dan kemakmuran;
4. Teori differential association (misalnya Sutherland); pengaruh media massa;
5. Teori Anomie dan subculture; perbedaan nilai dan norma antara
“middleclass” dan “lower class” ketegangan yang timbul karena keterbatasannya kesempatan untuk mencapai tujuan.2
Faktor-faktor terjadinya kejahatan yang telah diuraikan tersebut, salah satunya yaitu faktor kemiskinan, yang mana dengan faktor kemiskinan ini dapat menyebabkan orang memaksa untuk melakukan sesuatu kejahatan pencurian demi untuk menyambug hidup, saat ini kejahatan pencurian sangat marak baik itu dikota maupun dipedesaan dengan cara ataupun modus yang sangat berpariasi.
2
Sebagian negara berkembang, perekonomian akan menjadi salah satu perhatian yang akan terus ditingkatkan. Namun umumnya, masyarakat kita berada digolongan tingkat ekonomi menengah kebawah. Hal ini tentu saja menjadi sebuah pemicu adanya kesenjangan yang tak dapat dihentikan lagi.3
1. Mencoba melakukan kejahatan pidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri;
Pengaturan tentang delik pencurian dalam hukum pidana Indonesia diatur dalam bab tersendiri dalam buku kedua kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang kejahatan, yaitu pada bab XXII tentang pencurian. Pasal 362, menjelaskan secara umum bahwa yang dimaksud dengan pencurian adalah suatu tindakan mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum.
Pencurian yang terjadi tersebut tidak semua bagian dari pencurian itu terselesaikan dengan sempurna, bukan karena kehendak dari pelaku semata, tetapi karerna adanya penghalang yang datang dari luar diri si pelaku sehingga pencurian tidak dapat selesai, yang mana hal itu disebut Percobaan (poging).
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, bab IV pasal 53 dan 54 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga;
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun;
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. Pasal 54
3
Mencoba melakukan pelanggaran tindak pidana.4
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan tindak pidana percobaan pencurian dengan kekerasan yang dilakuan oleh anak dengan judul skripsi “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERCOBAAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN NOMOR. 01/PID.SUS ANAK/2016/PN.PMS)”
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana percobaan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak ?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana percobaan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak dalam Putusan Pengadilan Negeri Pematang Siantar Nomor. 01/Pid.Sus Anak/2016/PN.PMS ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu hukum di Indonesia. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan tentang tindak pidana percobaan
4
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana percobaan pencurian yang dilakukan oleh anak.
Adapun manfaat penulisan skripsi ini terdiri dari manfaat secara teoritis dan secara praktis sebagai berikut:
1. Manfaat secara teoritis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pidana, sekaligus pengetahuan tentang Tindak Pidana Percobaan Pencurian yang dilakukan oleh Anak, selain itu diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Manfaat secara praktis
Memberikan sumbangan pemikiran yang moderat, serta memberikan informasi kepada praktisi, akademisi, aparat penegak hukum, legislator, dan seluruh kalangan masyarakat tentang pengaturan tindak pidana percobaan pencurian dengan kekerasan yang dilakukan oleh anak.
D. Keaslian Penulisan
judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat maka hal tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban dikemudian hari.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pertanggungjawaban Pidana
a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Konsep pertanggungjawaban itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act not makeaperson guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus) dan ada sikaf batin jahat/tercela (mens rea).
pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan suatu perbuatan tertentu.
Sudarto mengatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana, untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam hal untuk memidana seseorang, tanpa adanya itu maka pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Hukum pidana mengenal adanya asas “tiada pidana tanpa adanya kesalahan (green starf zonder schuld). Asas kesalahan ini merupakan hal yang sangat fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana.5
1. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri;
Van Hamel, mengatakan pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam kematangan untuk:
2. Menyadari bahwa perbuatan itu dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat;
5
3. Menentukan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu. Jadi, dapat disimpulkan, bahwa toerekeningsvatbaarheid mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.
Simon mengatakan, toerekeningsvatbaarheid dapat dipandang sebagai keadaan psikis sedemikian rupa, sehingga si pembuat atau pelaku mampu untuk menginsyafi atau mengetahui, bahwa perbuatannya adalah melanggar hukum dan sesuai keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.6
Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar, dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle). Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu dari H.R. 1916 Nederland, hal itu ditiadakan. Juga bagi delik-delik jenis overtrengen, berlakunya asas tanpa kesalahan, tak mungkin dipidana.7
Roeslan Saleh mengatakan bahwa dalam hal kemampuan bertanggungjawab ada dua faktor, yaitu akal dan kehendak, dengan akal atau daya pikir, orang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Kehendak atau kemauan, atau keinginan orang tersebut dapat menyesuaikan tingkah laku mana yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Lebih lanjut Roeslan Saleh menjelaskan, bahwa adanya kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor. Akal atau pikiran tersebut seseorang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, sedangkan faktor kehendak bukan faktor yang menentukan mampu bertanggungjawab, melainkan salah satu faktor dalam hal untuk menentukan kesalahan, karena faktor kehendak adalah tergantung dan kelanjutan
6
Martiman Prodjohamidjojo, memahami dasar-dasar hukum pidana Indonesia (Jakarta, Pradnya Paramita : 1997) hal. 33
7
dari faktor akal, lagi pula kemampuan bertanggungjawab hanya salah satu dari kesalahan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pendapat para pakar hukum pidana tersebut diatas, yaitu:
1. Pertanggungjawaban atau kesalahan dalam arti luas (schuld in riumezin)
mempunyai tiga bidang, yaitu :
a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan
(toerekeningsvatbaarheid);
b. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya :
1. Perbuatan yang ada kesengajaan, atau
2. Perbuatan yang lalai atau kurang hati-hati atau keapaan (culpa schuld in enge zin)
c. Tidak ada alasan penghapusan pertanggungjawaban pidana pembuat
(anasir toerekenbaarheid).
2. Kelasahan dalam arti sempit (schuld in enge zin) mempunyai bentuk, yaitu:
a. Kesengajaan (dolos)
b. Kealpaan (culpos)8
b. Kemampuan Bertanggung Jawab
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan buruk, atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. Faktor kehendak danakal, yaitu faktor yang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas suatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
8
Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal pembuat. Akal dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan tindak pidana. Pembuat dalam hal dapat dipertanggungjawabkan karena akalnya yang sehat dapat membimbing kehendaknya untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan oleh hukum. Padanya diharapkan untuk selalu berbuat sesuai dengan ketentuan hukum.
Pembuat dapat dipertanggungjawabkan dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat adanya asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan” maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya dapat membeda-bedakan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau mampu bertanggungjawab, merupakan suatu yang berada diluar pengertian kesalahan. Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Terhadap subjek hukum manusia mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus sebagai syarat kesalahan.
bertanggungjawab. Sebagaimana halnya dengan ketentuan pasal 44 KUHP yang berbunyi:
1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya
(gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana;
2. Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.9
Rumusan pasal 44 KUHP tersebut sebagai sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan karena:
a. Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan akal disini ialah kekuatan pikiran, kecerdasan pikiran. Teks bahasa Belandanya memakai kata: verstandelijke. Kalau teks KUHP Negeri Belanda memakai kata: gees vermogens, sempurna akalnya itu misalnya idiot,
imbicil, buta-tuli dan bisu mulai lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai kanak.
b. Sakit berobah akalnya. Ziekelijke storing der verstandelijkevermogens. Yang dapat masuk pengertian ini misalnya: sakit gila, manie, hysterie, epilepsie, melancholie dan bermacam-macam penyakit jiwa lain-lainnya.10
Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi pidana. Berarti ketika ditemukan tanda seseorang tidak mampu bertanggungjawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum
9
Madrus Ali, Op.cit, hal. 171-172 10
pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini. Seseorang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak pula perlu diperiksa apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapusan kesalahan dalam dirinya, sementara itu dalam hal kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya berakibat pengurangan pidana, tetapi tidak dimaksud untuk penghapusan pidana. Persoalan lainnya apakah terhadap orang yang kurang mampu dapat dipertanggungjawabkan itu, proses hukumnya diteruskan sehingga diselidiki mengenai bentuk kesalahan dan ketiadaan alasan penghapusan kesalahan.11
a. Pengertian Percobaan
2. Percobaan Pencurian dengan Kekerasan dalam KUHP
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita telah membuat percobaan untuk melakukan kejahatan atau pogingtot misdrijf itu sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan telah mengancam pelakunya dengan suatu hukuman.12
Pompe mengatakan bahwa mencoba adalah berusaha tanpa hasil. Makna mencoba dapat ditemukan dalam baahsa sehari-hari. Kalau syarat-syarat tersebut ada, timbullah perbuatan pidana baru meskipun dalam bentuk delik tidak selesai, tetapi dapat dipidana. Pemberian nama untuk percobaan oleh Pompe, yaitu bentuk perwujudan dari perbutan pidana sebab deliknya timbul, menampakkan diri, tetapi dalam bentuk yang belum selesai.13
11
Madrus Ali, Op.cit, hal. 173-174 12
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti : 1997) hal. 535
13
Umumnya kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang mana pada akhirnya tidak atau belum tercapai.
Percobaan menurut Hukum Pidana adalah suatu pengertian teknik yang agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya ialah, bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal percobaan maka sudah tetap, bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak tercapai. Unsur belum tercapai tidak ada, dan maka dari itu tidak menjadi persoalan.14
1. Mencoba melakukan kejahatan pidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri;
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku I tentang Aturan Umum, bab IV pasal 53 dan 54 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga;
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun;
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tindak pidana.15
1. Adanya niat (voornemen);
Syarat dipidananya pembuat percobaan kejahatan telah diterangkan diatas bahwa apa yang dirumuskan pada pasal 53 (1) bukanlah defenisi atau arti yuridis dari percobaan kejahatan, tetapi rumusan yang memuat tentang syarat-syarat kapankah melakukan percobaan kejahatan dapat dipidana, syarat-syarat itu ialah:
14
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, Eresco : 1986) hal. 97
15
2. Adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering);
3. Pelaksanaanya tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Undang-undang sendiri tidak menjelaskan secara sempurna perihal tiga syarat tersebut. Pembentuk undang-undang menyerahkan pada praktik hukum. Oleh sebab itu, tidak heran memudian tentang 3 syarat itu telah menimbulkan banyak pendapat, sebagaimana nanti terlihat seperti yang akan diutarakan dibelakang.16
1. Adanya niat
Percobaan tindak pidana yang diancam pidana hanyalah percobaan melakukan kejahatan saja. Dalam pasal 53 ayat (1) KUHP dikatakan bahwa, mencoba melakukan kejahatan (misdrijf) dipidana. Dalam pasal 54 KUHP juga ditegaskan bahwa mencoba melakukan pelanggaran (Belanda: overtrending) tidak dipidana.
Mengenai cakupan dari niat (Belanda: voornemen) pada umumnya para ahli hukum pidana sependapat bahwa hal ini mencakup semua bentuk kesengajaan, yaitu meliputi:
1. Sengaja sebagai maksud (Belanda: opzet als oogmerk);
2. Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian/keharusan; dan
3. Sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan atau dolus eventualis.
Adanya permulaan pelaksanaan yang menyatakan niat
16
Tidak seorang pun dapat dipidana hanya semata-mata karena adanya niat saja. Hukum pidana tidak mengenal adanya cogitationis poenam nemo patitur, yaitu tidak seorang pun dapat dipidananya atas apa yang semata-mata hanya ada dalam pikirannya.
Wujud suatu sikap fisik tertentu harus diwujudkan keluar, karenanya salah satu syarat dari percobaan tindak pidana adalah bahwa telah adanya permulaan pelaksanaan.
2. Adanya permulaan pelaksanaan
Sebagaimana diketahui dalam hal percobaaan kejahatan, terdapat dua ajaran yang saling berhadapan, yaitu ajaran subjektif dan objektif yang berbeda pokok pangkal dalam memandang hal permulaan pelaksanaan. Perbedaan ini disebabkan karena ukuran yang digunakan adalah berbeda. Ajaran subjektif bertitik tolak dari ukuran batin si pembuat, sedangkan ajaran objektif bertitik tolak dari sudut wujud perbuatannya. Patutnya dipidana terhadap pencoba kejahatan menurut pandangan subjektif, adalah terletak pada niat jahat orang itu yang dinilai telah mengancam kepentingan hukum yang dilindungi. Sebaliknya menurut ajaran objektif, patutnya dipidana pencoba kejahatan karena wujud permulaan pelaksanaan itu telah dinilai mengancam kepentingan hukum yang dilindungi undang-undang.17
Pengertian permulaan pelaksanaan jika dilihat dari sudut proses atau tata urutan adalah berada diantara perbuatan persiapan dengan perbuatan pelaksanaan,
17
atau dengan kata lain perbuatan pelaksanaan itu harus dimulai dengan permulaan pelaksanaan.
Pokok pangkal yang menjadi persoalan yang banyak dibicarakan oleh para ahli hukum adalah hal tentang persoalan apakah permulaan pelaksanaan dari niat (subjektif) ataukah permulaan pelaksanaan dari kejahatan (objektif). Menurut Moeljatno untuk membedakan antara perbuatan persiapan dengan permulaan biasanya dihubungkan dengan alasan dapat dipidananya percobaan melakukan kejahatan, menurut pandangan subjektif adalah terletak pada sikap batin yang jahat dari orang itu yang dinilai telah mengancam atau membahayakan kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang sedangkan menurut pandangan yang objektif adalah letak pada sifat perbuatan orang itu yang dinilai telah mengancam atau membahayakan kepentingan hukum yang dilindungi.18
Penganut teori percobaan objektif dan teori percobaan subjektif berbeda pendapat tentang apakah pelaksanaan niat atau pelaksanaan kejahatan. Menurut penganut teori percobaan objektif, pelaksanaan yang dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) KUHP adalah pelaksanaan kejahatan, sedangkan penganut teori percobaan subjektif, pelaksanaan yang dimaksudkan disitu adalah pelaksanaan niat.19
3. Pelaksanaannya tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri
Pelaksanaan tidak selesai bukan disebabkan kehendaknya pelaku adalah ketika melaksaksanaan itu tidak terselesaikan dengan sempura bukan karena
18
Ibid, hal. 21 19
kehendak pelaku namun adanya faktor-faktor lain yang menyebabkan tindak pidana tersebut tidak selesai dilaksanakan.20
Keadaan diluar kehendak pelaku maksudnya adalah, setiap keadaan baik badaniah (fisik) maupun rohaniah (psikis) yang datangnya dari luar yang menghalangi atau menyebabkan tidak sempurna terselesaikan kejahatan itu.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menyebutkan bahwa, yang tidak selesai itu adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari kejahatan menurut rumusannya. Niat petindak atau pelaku untuk melaksanakan kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan dengan tindakannya terhenti sebelum sempurna tejadi kejahatan itu. Melakukan tindakan untuk merugikan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana itu terhenti sebelum terjadi kerugian yang sesuai dengan perumusan undang-undang.
21
Tidak selesainya pelaksanaan itu dapat terjadi karena berbagai sebab, baik oleh sebab yang diluar kehendak si pelaku maupun oleh kehendak dari pelaku sendiri.
Tidak selesainya pelaksanaan menyebabkan perbuatan merupakan suatu percobaan, tidak selesainya pelaksanaan sehingga perbuatan itu diklasifikasi sebagai percobaan.
22
20
Muhammad Ekaputra, Abul Khair, Op.cit, hal. 25 21
Ibid, hal. 26 22
Pelaku Percobaan kejahatan dibebankan tanggung jawab pidana yang lebih ringan dari pada pelaku kejahatan selesai. Dasar pertimbangan pidana ini sudah barang tentu bukan berdasarkan ajaran subjektif, tetapi oleh ajaran objektif.
Menurut ajaran objektif, patutlah diperingan atau diringankan pidana pidana bagi pelaku percobaan kejahatan, karena kejahatan itu tidak terjadi, pembuatnya dan atau apa yang diinginkannya tidaklah terjadi, yang artinya secara objektif belumlah ada kepentingan hukum yang benar-benar terlanggar, sekedar baru mengancam kepentingan hukum tertentu. Menurut ketentuan pasal 53 ayat (2) KUHP menyatakan bahwa maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiganya.
b. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit).23 Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit didalam KUHP maupun diluar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung didalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tindak.24
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan defenisi terhadap istilah tindak pidana atau strafbaar feit. Karenanya, para penulis hukum
23
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Medan, USU Press : 2014) hal : 76
24
pidana telah memberikan pendapat mereka masing-masing untuk menjelaskan tentang arti dari istilah tersebut.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang pelakunya seharusnya dipidana.25
a. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
Beberapa defenisi lainnya tentang tindak pidana, antara lain
b. Menurut D. Simons, tindak pidana (strafbaar feit) adalah kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (eene strafbaar gestelde onrechtmatige, met schduld in verband staaande handeling van een toerekeningsvatbaar
person).
c. Menurut G.A. van Hamel, sebagaimana yang diterjemahkan oleh Moeljatno, strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwarding) dan dilakukan dengan kesalahan.
Moeljatno merupakan ahli hukum pidana yang memiliki pandangan yang berbeda dengan penulis-penulis lain tentang defenisi tindak pidana. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja, sebagaimana dikatakannya bahwa perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu dilarang dengan
25
ancaman dengan pidana kalau dilanggar. Menurut pandang Moeljatno, unsur pelaku dan hal-hal yang berkenaan dengannya seperti kesalahan dan mampu bertanggungjawab, tidak boleh dimasukkan kedalam defenisi perbuatan pidana, melainkan merupakan bagian dari unsur yang lain, yaitu unsur pertanggungjawaban pidana.26
Barda Nawawi Arief menyebutkan, bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas (pasal 1 KUHP) yang merupakan landasan yuridis untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana
(strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan strafbaar feit tidak dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana.
Sudarto mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. Van Hattun dalam Sudarto, tidak menyetujui untuk memberikan defenisi tentang gedraging, sebab defenisi harus dapat meliputi pengertian berbuat dan tidak berbuat, sehingga defenisi itu tetap akan kurang lengkap atau berbelit-belit dan tidak jelas.
27
1. Menurut W.P.J. Pompe, suatu strafbaar feit (defenisi menurut hukum positif) itu sebenarnya adalah tidak lain dari pada suatu tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian dari tindak pidana
(strafbaarfeit), menurut para ahli yang dapat digolongkan menganut pandangan (aliran) dualistis:
26
Ibid, hal. 58-89 27
yang dapat dihukum. Pompe mengatakan, bahwa menurut teori (defenisi menurut teori) strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum, yang dilakukan dengan kesalahan dan ancaman pidana. Dalam hukum positif, sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dan kesalahan
(schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana (strafbaar feit).
Untuk menjatuhkan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, akan tetapi selain itu harus ada orang yang daapat dipidana.
2. Menurut H.B. Vos, strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh undang-undang.
3. Menurut R. Tresna, peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Tidak ada persamaan pendapat dikalangan para ahli tentang syarat-syarat yang menjadikan perbuatan manusia itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu R. Tresna menyatakan, dapat diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi syarat-syarat berikut ini:
a. Harus ada suatu perbuatan manusia;
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan didalam ketentuan hukum;
c. Harus terbukti adanya dosa pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan;
d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;
e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam undang-undang.28
Selain aliran dualistis tersebut ada pandangan lain yang disebut dengan aliran monistis (monisme) yaitu pandangan yang tidak memisahkan antara perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya (pertanggungjawaban). Berikut ini akan dikemukakan pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli hukum yang digolongkan menganut pandangan monistis, yaitu:
1. Simon dalam P.A.F. Lamintang, merumuskan strafbaar feit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.29
2. Wirjono Projodikoro, menyatakan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
28
Ibid, hal. 84-85 29
3. J.E Jonkers dalam Bambang Poernomo telah memberikan defenisi
strafbaar feit menjadi dua pengertian:
a. Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang;
b. Defenisi panjang atau yang lebih mendalam memberikan pengertian
strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan (wederrechttelijk)
berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Jonkers sifat melawan hukum dipandang sebagia unsur yang tersembunyi dari tiap peristiwa pidana, namun tidak adanya kemampuan untuk dapat dipertanggungjawabkan menurut alasan umum untuk dibebaskan dari pidana. Kesengajaan atau kesalahan selalu merupakan unsur dari kejahatan. Berdasarkan hal ini ternyata defenisi tindak pidana yang panjang itu terlalu luas dan selain menyebutkan mengenai peristiwa pidana juga menyebutkan tentang pribadi si pembuat. Menurut Jonkers hal ini tidaklah merupakan keberatan yang terlampau besar, karena kita selalu meninjau peristiwa pidana dalam hubungannya dengan si pembuat.
4. J. Baumaan dalam Sudarto merumuskan, bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.30
c. Unsur-unsur Tindak Pidana
Sudarto menyebutkan, bahwa unsur-unsur delik yang sudah tetap adalah sifat melawan hukum dan kesalahan, namun menurutnya belum lengkap. Virj menambahkan satu unsur lagi untuk dapat dikatakan sebagai delik, yaitu unsur het subsiciele yang merupakan semacam kerusakan dalam ketertiban hukum (deuk in derechtsorde).Pidana pada setiap peristiwa menimbulkan kegoncangan (kegelisahan) didalam masyarakat yang mana dengan kegoncangan itu akan menimbulkan bahaya. Menurut Virj kegelisahan masyarakat itu ditimbulkan oleh:
1. Hasrat pelaku tindak pidana untuk melakukan kembali perbuatan tersebut; 2. Keinginan membalas dari pihak korban;
3. Adanya keinginan orang-orang yang dekat dengan si pelaku untuk meniru berbuat jahat;
4. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah untuk menjamin keamanan, jika semua hal diatas tidak ada, maka ada alasan untuk mengenyampingkan hukum.31
30
H.B. Vos, sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Poernomo, mengemukakan bahwa dalam suatu tindak pidana dimungkinkan ada beberapa unsur (elemen), yaitu:
1. Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat (een doen of nalaten);
2. Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delict selesai. Elemen akibat ini dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan. Rumusan undang-undang kadang-kadang elemen akibat tidak dipentingkan didalam delict formil, akan tetapi kadang-kadang elemen akibat dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari perbuatannya seperti didalam delict materiel;
3. Elemen subjektif yaitu kesalahan, yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa);
4. Elemen melawan hukum (wederrechtelijkheid);
5. dan sederetan elemen-elemen lain menurut rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi objektif misalnya didalam pasal 160 diperlukan elemen dimuka umum (in het openbaar) dan segi subjektif misalnya pasal 340 diperlukan unsur direncanakan lebih dahulu (voorbedachtedaad).32
d. Pengertian Pencurian
Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi:
“Barang siapa mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 900,00”
Lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsur-unsur yakni sebagai berikut:
1. Unsur-unsur objektif, terdiri dari: a. Perbuatan mengambil.
31
Ibid, hal. 107 32
b. Objeknya suatu benda.
c. Unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
2. Unsur-unsur subjektif, terdiri dari: a. Adanya maksud.
b. Yang ditujukan untuk memiliki. c. Dengan melawan hukum.
Suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat semua unsur tersebut diatas sebagaimana akan dijelaskan berikut ini;
1. Unsur-unsur objektif
a. Unsur perbuatan mengambil (wegnemen)
aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. 33
b. Suatu barang
Segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang (manusia tidak masuk manusia), misalnya uang, baju, kalung dsb. Pengertian barang dalam hal ini masuk pula daya listrik dan gas, meskipun tidak berwujud, akan tetapi dialirkan dikawat ataau pipa. Barang ini tidak perlu bernilai ekonomis. Perbuatan mengambil beberapa helai rambut wanita (untuk kenang-kenangan) tidak dengan izin wanita itu, masuk pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya.
c. Barang itu seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain.34
Sebagai unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya. Maksud memiliki melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum.35
33
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda (Malang, Bayumedia : 2003) hal. 5-6
34
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentar lengkap pasal demi pasal, (Bandung, Karya Nusantara : 1988) hal. 250
e. Pencurian dengan kekerasan
Pencurian dengan kekerasan dalam istilah awamadalah pencurian dengan kekerasan yang sering disebut perampokan. Pencurian dengan kekerasan yang ada dalam pasal 365 KUHP, yaitu menggunakan upaya kekerasan dan atau ancaman kekerasan, maksudnya adalah untuk mempersiapkan, memudahkan pelaksanaan pencurian dan seterusnya. Artinya kekerasan atau ancaman kekerasan itu mempunyai peranan atau hubungan terhadap kejahatan pokok (pencurian).
Arti melakukan kekerasan adalah menggunakan tenaga atau kekeuatan jasmani sekuat mungkin secara tidak sah, misalnya dengan cara memukul dengan tangan, atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan lain-lain yang menyebabkan orang yang terkena tindakan kekerasan itu merasa sakit.
Pencurian dengan kekerasan diatur dalam KUHP pasal 365 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahunpencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
Kasus pencurian bisa di sebut pencurian dengan kekerasan bila sudah
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Memaksa orang lain dengan ancaman atau dengan kekerasan
2. Supaya orang itu memberikan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian milik orang itu atau milik orang lain
4. Dengan maksud agar menguntungkan dirinya sendiri atau diri orang lain dengan melawan hukum
Arti memaksa adalah melakukan tekanan pada barang yang sedemikian
rupa, sehingga orang itu mau melakukan sesuatu yang berlawanan dengan
kehendaknya sendiri.
Arti barang adalah sesuatu benda yang berwujud seperti uang, pakaian,
perhiasan dan sebagainya termasuk juga binatang dan benda-benda yang tidak
berwujud misalnya alitan listrik dll.
Arti melakukan kekerasan adalah menggunakan tenaga atau kekuatan
jasmani sekuat mungkin secara tidak sah, misalnya dengan cara memukul dengan
tangan, atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dll yang
menyebabkan orang yang terkena tindakan kekerasan itu merasa sakit.
Pencurian dengan kekerasan di atur dalam Undang-Undang Hukun Pidana
(KUHP) dalam pasal 365 yang menyebutkan di antaranya:
1. Diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya;
1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
2. Jika peruatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; 3. Jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau
memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;
4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat;
3. Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun;
4. Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh tahun) tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.
3. Tinjauan Umum tentang Anak a. Pengertian Anak
Menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.36
36
Pasal 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
usia 6 tahun disini masih bersifat umum, yang belum mempunyai makna yang dapat dikaitkan dengan tanggung jawab yuridis.37
Pengertian anak dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring/personunder age), orang yang dibawah umur/keadaan dibawah umur (minderjaringheid/inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige) ondervoordij). Bertitik tolak pada aspek tersebut diatas ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum/iusoperatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk ketentuan kriteria batasan umur bagi seorang anak.38
b. Pengertian perlindungan anak
Sebagai negara yang pancasilais, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan, Indonesia banyak memiliki banyak peraturan yang secara tegas memberikan upaya perlindungan anak.39
Terkait dengan anak yang bermasalah dengan hukum, lahirlah Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dengan segala kelemahannya telah banyak mengundang perhatian publik, sehingga sehingga pada tahun 2011-2012 ini dibahas RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang disahkan di DPR pada 3 Juli 2012, yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012.40
37
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak dibawah Umur, (Bandung, P.T Alumni : 2010) hal. 55
38
Lilik Mulyadi, Peradilan Anak di Indonesia (Teori, Praktek dan Permasalahannya), (Bandung, Mandar Maju : 2005) hal. 3
39
M. Nasir Djamil, Anak bukan untuk dihukum, (Jakarta, Sinar Grafika : 2015) hal. 27 40
Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak , karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.41
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolak ukur peradapan bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan dengan sesuai kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat hukum. Perlunya ada jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak. Kepastian perlindungan hukum perlu diusahan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.42
a. Non Diskriminasi;
Pasal 2 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan telah dirubah menjadi Undang-Undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, bahwa menyebutkan penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak-hak anak meliputi:
41
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, (Jakarta, Rajagrafindo Persada : 2013) hal. 1
42
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak adalah dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua;
d. Penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupan.43
F. Metode Penelitian
Adapun metode penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Jenis Penulisan
Penulisan skripsi ini dilakukan dengan melalui penelitian hukum yuridis normatif. Dimana metode pendekaan yuridis dalam penelitian ini yaitu dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum yang berkaitang dengan permasalahan yang dibahas.
2. Sumber Data
43
Sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek penelitian. Data tersebut digolongkan menjadi:
a. Bahan hukum primer
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Peraturan-peraturan dibidang hukum yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
b. Bahan hukum sekunder
Yaitu semua bahan hukum yang berkaitan dengan penjelasan bahan primer, terdiri dari buku-buku, jurnal, internet dan yang berkaitang dengan permasalahan skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier
Yitu semua dokumen yang dapat mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia.
3. Metode Pengumpulan Data
4. Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitalif, yaitu data sekunder yang berupa teori, defenisi dan subtansi yang berasal dari literatur terkait dalam penelitian ini serta yang berasal dari berbagai literatur terkait dalam penelitian ini serta yang berasal dari peraturan perundang-undangan terkait melalui kalimat-kalimat yang merupakan penjelasan atas hal-hal yang berkaitan dalam penulisan skripsi ini
5. Sistematika Penulisan
Dalam pembuatan skripsi ini dibuat secara sistematis dan terperinci sehingga memberikan kemudahan bagi pembaca untuk memahami isi dari skripsi ini sehingga bermanfaat bagi pembacanya. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan Pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yang terdiri dari Petanggungjawaban Pidana, Pencurian, Tindak Pidana Percobaan, Anak, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA
PERCOBAAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pengaturan Percobaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Bagaimana Perlindungan Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM
TINDAK PIDANA PERCOBAAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NOMOR.01/PID.SUS ANAK/2016/PN.PMS)
Bab ini berisikan: Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Fakta-Fakta Hukum, Amar Putusan Hakim dan Analisis Putusan Hakim No. 01/Pid.Sus Anak/2016/PN.PMS
BAB IV PENUTUP