• Tidak ada hasil yang ditemukan

Publication | INDOHUN INDOHUN News No

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Publication | INDOHUN INDOHUN News No"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

I N D O H U N

N E W S

N U M B E R 1 4 O C T O B E R 2 0 1 7

(2)

Editorial Team

Tim Redaksi

E D I TO R/ P E N Y U N T I N G

Samuel Josafat Olam Alexandra Tatgyana Suatan

Alessa Fahira

E D I TO R / D E S I G N E R

Amita Paramal Dini

CO N T R I B U TO R/ KO N T R I B U TO R

Ayunita Khairunnisa Vania Chrisiawanto

Be the irst to know about our aciviies and iniiaives. Jadilah orang pertama yang mengetahui akivitas dan ide baru kami.

W E B S I T E www.indohun.org

FAC E B O O K

Indonesia One Health University Network

I N S TAG R A M @indohun.id

T W I T T E R @Indohun

I N D O H U N N AT I O N A L CO O R D I N AT I N G O F F I C E Kampus Baru Universitas Indonesia Faculty of Public Health, G Building 3rd Floor, Room 316

Depok, West Java, Indonesia 16424 021-29302084/ 0812-8145-0949

H OW TO CO N T R I B U T E

(3)

Content

Datar Isi

OCTOBER 2017 • NUMBER 14 • INDOHUN NEWS

W E LCO M E

5 | Leter from the Coordinator

AC T I V I T Y

6 | From Life Styles to Life Values

“This is my irst ime going out of my hometown and seing foot on another island,” said Miranda. [...]

11

| Transforming One Health Workforce into Global Health Advocates

That aternoon in a conference room, thirty young people sat around some tables as they [...]

20 | One Health Approaches in Combaing Zoonoic Diseases

Zoonoic disease is currently a major issue in Indonesia, paricularly its high incidence of [...]

S U R G E

16 | Facing the Threat of Bioterrorism

In 1918, over 500,000 Americans were killed during the Spanish lu epidemics, which is [...]

S TO RY

24 | Learning from the Neighbour

“It was a bright sunny day when Putu Cri [...]

28 | Regional Training of Trainers: One Health

Problem Based Book

“The act of collaboraion between mulisectoral health professionals is the essence of [...]

(4)
(5)

Welcome to the latest ediion of the INDOHUN News. As always, this issue and all those that follow, will highlight some great things going on at INDOHUN and its partner organizaions. We also share opportuniies and informaion you need to be a beter One Health workforce.

The newsleter is formed by new ideas and inspiring aricles, telling the stories of INDOHUN programs that involve faculty and students.

While we have tried to organize the content according to themes, we also tried not to place restricions on what people wanted to contribute. With the release of this issue, we are inviing all INDOHUN members to submit your ideas on topics to be covered in the next issue.

We are honored to share the work of so many commited and thoughful people, and we are happy that you enjoy reading this newsleter.

Prof. Wiku Adisasmito INDOHUN Coordinator

Selamat datang di edisi terbaru INDOHUN News. Seperi biasa, edisi ini dan edisi-edisi berikutnya,

akan diisi dengan berbagai hal menarik yang

terjadi di INDOHUN dan lembaga mitra. Kami juga

membagikan kesempatan dan informasi yang Anda perlukan untuk menjadi tenaga kerja One Health

yang lebih baik.

Surat kabar ini diisi dengan ide-ide baru dan arikel inspiraif, membawa cerita dari kegiatan INDOHUN yang melibatkan fakultas dan mahasiswa.

Kami berusaha untuk membuat konten yang sesuai dengan tema, tetapi kami juga berusaha

untuk terbuka terhadap siapapun yang ingin

berkontribusi. Dengan diterbitkannya edisi ini, kami mengundang seluruh anggota INDOHUN untuk mengajukan arikel untuk edisi selanjutnya.

Dengan hormat, kami membawakan hasil kerja keras orang-orang yang sudah begitu berkomitmen untuk surat kabar ini, dan kami senang karena Anda menikmai surat kabar ini.

Prof. Wiku Adisasmito Koordinator INDOHUN

(6)

“This is my irst ime going out of my hometown and seing foot on another island,” said Miranda.

Miranda, currently a public health student at Mulawarman University, East Kalimantan, is one of

From Life Styles to Life Values

Dari Gaya Hidup ke Nilai Hidup

BY/O L E H A L E X A N D R A TATGYA N A S UATA N , SA M U E L J O SA FAT O L A M

“Ini kali pertamaku keluar dari kotaku dan

menginjakkan kaki di pulau yang lain,” ujar Miranda.

(7)

experience that taught her things she had never learned in school. The training consists of four days of in-class sessions and three days of ield work and outdoor aciviies. Topics were delivered in accordance to INDOHUN Global Health True Leaders training module, designed to help students understand the basic principles in facing global threats such as emerging outbreaks and pandemics.

Throughout the training, paricipants learned about global health issues and challenges, infecious disease management, epidemiology, and risk analysis. They were also trained to develop a set sot skills in leadership, communicaion, behaviour modiicaion, collaboraion, advocacy, culture, trust, values, ethics, and many more.

GHTL 2.0 developed the awareness that every human being, including Miranda herself, has a role in facing future global issues and challenges, so we need to take acive paricipaion in shaping naional and global health policies and other aciviies to solve the problems.

Being asked about the in-class sessions, Miranda shared her posiive impressions on the topics delivered by Prof. dr. Adik Wibowo, MPH, DrPH on the pinciples of social communicaion. Miranda gained a valuable experience when she, as a imid introvert, was pushed beyond her boundaries to

gelar dokter atau dokter hewan atau ners dan

sebagainya.

GHTL 2.0 mengajarkan banyak hal yang sebelumnya idak pernah didapai oleh Miranda di bangku pendidikan formalnya. Pelaihan

dimulai dari pelajaran di dalam kelas yang

menghabiskan 4 hari dari total 7 hari pelaihan. Materi yang disampaikan para pelaih di dalam

kelas menggunakan sebuah modul yang mencakup

semua topik mengenai konsep One Health. Modul

ini didesain untuk membantu para peserta yang masih duduk di bangku kuliah untuk memahami berbagai prinsip dasar untuk mengahadapi

ancaman global seperi wabah yang sewaktu-waktu bisa menyerang.

Dalam pelaihan ini, para peserta secara khusus belajar mengenai tantangan kesehatan global, manajemen penyakit infeksi, serta epidemioogi dan analisis risiko. Peserta juga mendapat materi tentang budaya, kepercayaan, nilai, dan eika, nilai kehidupan pemimpin sejai, komunikasi, pengembangan perilaku, kolaborasi, advokasi dan kebijakan, dan lain-lain.

(8)

conidently speak for her team in a role play. “It was a challenging yet interesing experience to work together with a group of new friends in a short ime, to think fast and smart.” Another paricipant named Dylan shared his interesing experience of being trained in advocacy skills, how to speak well, in a systemaic and convincing manner. He explained, “It was so hard to answer unexpected quesions and also so iring to make several scenarios of what we will do when meeing the stakeholder.”

Dylan, currently studying at the Faculty of Pharmacy, Bandung Insitute of Technology, considered the in-class sessions very dynamic. He learned a lot from atending lectures delivered by expert trainers, being challenged with mind provoking quesions, working together in groups to discuss and solve the exercise problems given at the end of every lecture, and having fun in games and ice breakers prepared by the commitee in-between the classes. In this new generaion of Global Health True Leaders training, many topics were delivered using entertaining and engaging visual aids, such as videos. One video made a lasing impression to Dylan. That was on the Ebola outbreak in Africa, which showcased the real-life example of how a complex problem can be solved with the involvement of many sectors. He understood that, “Working in a team

pengambilan kebijakan-kebijakan kesehatan dan berbagai upaya pemecahan masalah di sekitar kita.

Ditanya mengenai pengalamannya mengikui kegiatan di kelas, Miranda bercerita bahwa nilai-nilai tentang Komunikasi Sosial yang disampaikan seorang pelaih, Prof. dr. Adik Wibowo, MPH, DrPH, berhasil membuka pemikirannya. Miranda menghargai pengalaman bekerja bersama rekan-rekan yang idak ia kenal

sebelumnya untuk berpikir cepat dan cerdas

dalam waktu terbatas. Sedangkan peserta lain yang bernama Dylan menyatakan bahwa

salah satu hal paling menarik yang ia dapatkan

adalah pengetahuan mengenai advokasi,

bagaimana berbicara dengan baik, sistemais, dan meyakinkan. “Sulit sekali menjawab pertanyaan yang idak terduga dari lawan bicara kita dan

mencoba merancang beberapa skenario saat

bertemu dengan pemangku kepeningan bisa terasa melelahkan.”

(9)

means we cannot go as fast as working alone but we could cover much wider range and slowly tackle the challenges.”

The ight training schedule, as well as the amount of tasks and homework one need to complete during the training set an example to the students on how diicult it is to be future global health leaders, with all the complex challenges within the health system. Paricipants were given individual and group tasks to work on, someimes to the point where they got really exhausted and depleted. However, in those situaions, they learned to apply the strategies of working collaboraively and provide support to each other, so they can complete all the tasks together.

Implemening teaching and learning methods that lead to discussion and collaboraion is one of the most important strategies of GHTL 2.0. This was shown to be very helpful when the paricipants had their two-night stay in Gondosuli village. There, they lived together with the locals and joined them in their daily aciviies. With a majority of people working as farmers, collaboraion and team work are inseparable

berdiskusi mengerjakan laihan-laihan kelompok yang langsung diberikan oleh pelaih di akhir sesi ajar mereka, sampai mengikui ice breaking yang disisipkan paniia di tengah-tengah kegiatan kelas yang cukup menguras otak. Materi pun idak hanya disampaikan dengan slides, tetapi juga menggunakan video. Salah satu yang paling berkesan menurut Dylan adalah video kasus Ebola

di Afrika karena membuka pandangannya bahwa beberapa persoalan baru bisa dipecahkan dengan

keterlibatan banyak orang. “Keika kita bekerja di dalam im memang kita idak bisa secepat saat kita bekerja sendiri, namun kita bisa mengatasi permasalahan yang lebih rumit.”

Beban pelaihan yang cukup berat cukup mereleksikan bagaimana beratnya menjadi

pemimpin masa depan dengan tantangan

kesehatan yang semakin kompleks. Belum lagi ditambah dengan tugas-tugas kelompok yang harus dikerjakan di luar jam pelajaran. Ditambah

pula dengan tugas angkatan yang juga harus

dikerjakan di luar jam pelajaran dan overlap dengan tugas kelompok. Terkadang, beban yang terlalu banyak ini membuat peserta jenuh. Akan tetapi, dengan sungguh-sungguh menerapkan

prinsip kolaborasi dari pendekatan One Health dan

saling memberi dukungan antar anggota kelompok, semua tugas dapat diselesaikan dengan baik.

Metode belajar yang selalu berujung kepada diskusi dan kolaborasi sungguh membantu para

peserta keika melaksanakan kegiatan live-in di desa Gondosuli. Live-in adalah salah satu rangkaian GHTL 2.0, di mana para peserta inggal dan berakivitas bersama dengan warga desa. Kolaborasi dan kerja sama di Desa ini sungguh sangat kental, apalagi dengan mata pencaharian

warganya yang sebagian besar hidup sebagai

petani. Para peserta sungguh mendapatkan manfaat nyata dari hasil kerja sama keika bertani.

Mereka juga melihat secara langsung betapa

disiplinnya para petani yang seiap hari bangun

dini hari untuk merawat sayuran yang selama ini

didapatkan dengan mudah oleh peserta. Tidak berheni sampai di situ, pengalaman inggal di desa ini membuat para peserta

merasakan hidup sederhana yang jauh dari gaya

(10)

kebanyakan sudah dimajakan oleh kemajuan

teknologi. Menggunakan telepon pintar dan laptop adalah hal yang mudah untuk mereka lakukan. Sementara di sini, di desa ini, Miranda, Dylan, dan peserta lainnya sungguh belajar peningnya

berkomunikasi secara langsung dan bekerja

sama. Tanpa melalui telepon, tetapi melalui tatap muka. Sejainya nilai ini sudah hampir musnah

ditelan gaya hidup milenial dan sulit dilakukan

oleh masyarakat urban dan anak-anak “zaman sekarang”.

Banyaknya nilai kehidupan yang diterima oleh para peserta, membuat sisa hari pelaihan semakin berkesan. Suasana kolaborasi yang sangat kental mulai terasa, terutama keika para peserta mengadakan kegiatan sosial. Kolaborasi antar peserta tanpa menyalahi kode eik masing-masing

program studi sungguh memberikan manfaat yang

besar terhadap penggunaan waktu yang efekif dan eisien.

Miranda yang awalnya bertekad agar

dirinya idak akan terkungkung di dalam zona nyaman telah membukikan bahwa keberanian membuahkan hasil yang manis. Tidak hanya berhasil keluar dari kota tempat Ia inggal selama ini, Miranda juga berhasil mendapatkan banyak pelajaran hidup yang berharga. Begitu pula yang dirasakan oleh mahasiswa-mahasiswa lain selama mengikui pelaihan GHTL 2.0.

Metamorfosis sempurna seorang mahasiswa

untuk menjadi pemimpin sejai dimulai dari

mengubah nilai kehidupan yang semu menjadi nilai

kehidupan yang sejai. Dari yang awalnya hanya berfokus untuk meningkatkan gaya hidup, menjadi berfokus untuk meningkatkan nilai kehidupan.

Dari gaya hidup menjadi nilai hidup. Inilah GHTL 2.0.

from the lives of people in Gondosuli. From them, GHTL 2.0 paricipants learned about the beneits of working together and the exemplary discipline required from the farmers to produce our foods that we oten take for granted.

Not only that, the experience of living in a village taught the paricipants about modesty and sustainable living, away from the modern lifestyles and technology. The ease of communicaions using smartphones and laptops was not a common thing in the village. And being there, paricipants like Miranda and Dylan learned to improve face-to-face conversaions, and understand the values of communicaions and togetherness. That kind of experience is exactly what GHTL 2.0 wants to ofer to the younger generaions, many of them are millennials who live in the urban environment.

The many life values taught during the training has made GHTL 2.0 an unforgetable experience. A supporive environment for collaboraion was palpable as the training reached its end, when paricipants conducted their community intervenion aciviies. They successfully worked across disciplines in the area of human, animal, and environmental health with great eiciency.

Miranda, who had promised to herself not to stay in her comfort zone, successfully proved that courage will pay with a good result. Not only she discovered new places and friends, she also found valuable life values for herself.

(11)

That aternoon in a conference room, thirty young people sat around some tables as they discussed thirteen meeing agenda. The tables were placed together to form hollow rectangular without any gaps. Table top microphones, miniature lags, and acrylic name plates of ASEAN Member States were nicely set in front of the paricipants who represented ASEAN Secretariat and Member States.

One of the atendees, named Adelina Kusuma Wardhani, took a seat with a desk name plate “Chair”. There was no lag on her table but within her reach,

Siang hari di ruang konferensi, iga puluh pemuda

duduk mengelilingi meja untuk membahas

iga belas agenda rapat. Meja-meja tersebut

ditempelkan satu sama lain tanpa celah sehingga membentuk persegi panjang yang berlubang di

tengahnya. Mikrofon, miniatur bendera, dan papan nama negara-negara anggota ASEAN diletakkan secara rapi di atas meja, tepat di depan peserta rapat yang mewakili Sekretariat ASEAN dan Negara Anggota.

Salah satu peserta, yang bernama Adelina

Transforming One Health Workforce

into Global Health Advocates

Mendidik Tenaga One Health Menjadi Advokat Kesehatan Global

(12)

there was a wooden gavel, similar to the one that is used in meeings of a deliberaive assembly. Huge lags were arranged behind the chairwoman’s seat, represening ASEAN and its member states that atended the meeing. Adelina, who occupied the central sit, put on a serious face while listening to a statement from one of the meeing atendees. They were discussing about a health issue when suddenly a breaking news video popped up on huge screens beside Adelina. Ater the video has ended, Head Delegates of Thailand went out of the room to give press conference on the situaion in the news.

The meeing was actually a simulaion of ASEAN Senior Oicials’ Emergency Meeing that was held as a part of Global Health Diplomacy training. This training was designed to improve diplomacy skills of One Health workforce and postgraduate students.

Kusuma Wardhani, menduduki kursi di sebuah

meja panjang dengan papan nama bertuliskan

“Chair”. Di atas mejanya idak ada bendera, tetapi ada palu sidang yang sering terlihat di rapat level inggi. Bendera-bendera besar berdiri rapi di belakangnya, mewakili Sekretariat ASEAN dan Negara Anggota ASEAN yang hadir dalam rapat tersebut. Adelina, yang hari itu ditunjuk sebagai pimpinan rapat, tampak serius saat mendengarkan pernyataan salah satu peserta rapat. Mereka

sedang mendiskusikan masalah kesehatan

saat iba-iba muncul sebuah video pada layar besar di samping Adelina. Setelah video selesai ditayangkan, Ketua Delegasi Thailand keluar ruang

rapat untuk memberikan pernyataan kepada media

terkait situasi dalam video tersebut.

(13)

(INDOHUN).

New health problems such as mulidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) have emerged and become a trigger for INDOHUN to gather young praciioners in this training. Collaboraing with Senior Diplomaic Course of Ministry of Foreign Afairs (Sesparlu Kementerian Luar Negeri), they learned to develop a policy on anibioic, healthcare, public-private partnership, and bioterrorism. During meeing simulaion, paricipants delivered a drat resoluion to solve health and security problems in ASEAN.

Although a lot of paricipants did not have any past experience in diplomacy, it does not mean they conducted the meeing simulaion carelessly. They were not instantly thrown in the meeing. Two days prior to simulaion, they have learned from ten diplomats and lecturers. One of the trainers was Prof. Makarim Wibisono who once became Indonesian Ambassador to the United Naions. He gave an explanaion of the instrument of health diplomacy. His session was equipped with the other sessions, such as a session on how to write a resoluion and make diplomaic speeches with Andhika Chrisnayudhanto, Director of Regional Cooperaion and Mulilateral Deputy III The Naional Agency for Combaing Terrorism. Odo Manuhutu, Director of Sesparlu, also explained how to develop negoiaion

kebijakan kesehatan, idak cukup dengan ilmu kesehatan, tetapi Anda juga harus bisa

bernegosiasi dan membuat keputusan dengan

cepat,” ujar Prof. Wiku Adisasmito, profesor bidang kebijakan kesehatan di Universitas Indonesia yang juga menjabat sebagai Koordinator Indonesia One Health University Network (INDOHUN).

Munculnya masalah kesehatan baru seperi

tuberkulosis resisten obat menjadi pemicu bagi

INDOHUN untuk mengumpulkan prakisi muda dalam pelaihan ini. Bekerja sama dengan Diklat Sesparlu Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, mereka belajar untuk menyusun peraturan terkait penggunaan anibioik, pelayanan kesehatan, kerja sama pemerintah-swasta, dan bioterorisme. Dalam simulasi rapat,

peserta menghasilkan rancangan kesepakatan

untuk menyelesaikan masalah-masalah kesehatan dan keamanan di wilayah ASEAN.

Walaupun mayoritas peserta idak memiliki pengalaman dalam diplomasi, rapat idak

(14)

manner and strategy as well as social inluencing and cultural competence.

But sill, Adelina was quite confused when she was assigned as chairwoman. She was unfamiliar with diplomaic terms as she grew up learning the applicaion of science. Moreover, being a chairwoman means she had to focus on listening and concluding every arguments, while ensuring the meeing was on schedule. Ater she grasped the low of the meeing and received advices from one of the trainers, Artauli Tobing (who was Former Indonesian Ambassador to Vietnam), Adelina could manage the meeing. “Ms. Artauli Tobing once said to me that being a chairwoman was an exercise, a process. We have to sharpen our insinct to be a more decisive person and beter at ime management.”

When Adelina was studying at the Faculty of Medicine Universitas Indonesia, she did not get much exposure to global health issues. She used to think that the issue had no direct implicaions on her life. As ime passed, she realized that global health is a crucial topic and it requires good negoiaion skill to embrace the topic as well as work in that area. Medical school taught her human anatomy, but possibly not diplomacy. That is why she is willing to take 5 days of work to atend the Global Health Diplomacy training.

Bangsa-Bangsa. Ia menjelaskan tentang instrumen yang digunakan dalam diplomasi kesehatan. Sesi lainnya dibawakan oleh Andhika Chrisnayudhanto, Direktur Kerjasama Regional dan Mulilateral Kedepuian III BNPT, mengajarkan peserta untuk menyusun resolusi dan pidato diplomaik. Odo Manuhutu, Direktur Sesparlu, juga menjelaskan

bagaimana cara menyusun strategi dan sikap

negosiasi, serta cara mempengaruhi orang lain. Namun tetap saja, Adelina mengaku bingung

saat pertama kali ditugaskan menjadi pimpinan

rapat. Ia idak familiar dengan isilah diplomasi karena tumbuh dalam lingkungan sains. Selama menjadi pimpinan rapat, ia juga harus fokus mendengarkan dan menyimpulkan seiap argumen, sembari memasikan rapat berjalan tepat waktu sesuai agenda. Setelah mengeri dinamika rapat dan mendapat nasihat dari salah satu pembicara, Artauli Tobing (yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Vietnam), ia mulai bisa mengarahkan rapat. “Bu Artauli Tobing sempat

bilang pada saya bahwa menjadi pimpinan rapat

itu merupakan suatu laihan, sebuah proses. Harus mengasah insing untuk menjadi orang yang bisa mengambil keputusan dan pintar mengatur waktu.”

(15)

terpapar dengan isu kesehatan global. Saat itu ia merasa isu tersebut idak berdampak langsung pada kehidupannya. Namun akhirnya ia sadar bahwa kesehatan global adalah isu pening dan

membutuhkan kemampuan negosiasi untuk

memahami topik tersebut. Sekolah kedokteran

mengajarkan anatomi manusia tetapi mungkin

idak mengajarkan diplomasi. Itulah alasan Adelina rela mengambil 5 hari cui kerja untuk mengikui pelaihan Global Health Diplomacy.

Hal serupa juga disampaikan oleh Ivan Limanjaya, yang baru saja menyelesaikan kuliah pascasarjana Jurusan Psikiatri di Cardif University, “Sebagai seorang tenaga medis, kebanyakan

pendidikan yang saya terima sebelumnya memiliki fokus utama pada keterampilan dan pengetahuan

klinis. Komunikasi dan diplomasi idak jadi topik utama.” Ivan sering merasa canggung saat

memberikan penyuluhan di rumah sakit dan

puskesmas. Saat hari pertama pelaihan pun, ia masih canggung. Namun memasuki hari keiga, ia lebih berani menyampaikan argumennya, bahkan

ia ditunjuk menjadi pimpinan rapat pada hari

terakhir simulasi.

Sementara itu, Meuthika Noor Fitriyana

yang sering bekerja di lapangan dan bertemu

masyarakat, justru kebingungan saat harus bersikap formal selama pelaihan ini. Namun

kemampuan adaptasinya membantu ia untuk bisa

mengikui pelaihan dengan baik. Menurutnya, diskusi-diskusi dalam kegiatan ini sangat seru sehingga mau idak mau ia akif berpendapat. Ilmu dan pengalaman dari pelaihan ini dapat ia terapkan dalam pekerjaannya.

Sebelum mengikui pelaihan, peserta wajib

membaca dan mengeksplorasi informasi terkait

negara yang mereka wakili. Informasi tersebut berguna untuk menyusun argumen, menulis

press release, dan menghadapi media dalam press conference. Setelah mengikui pelaihan Global Health Diplomacy, beberapa peserta mengaku bahwa perspekifnya terhadap diplomat mulai berubah. Mereka mengeri bagaimana diplomat Indonesia memperjuangkan hak-hak kesehatan dalam forum internasional. Mulai dari bahan bacaan, strategi negosiasi, isilah diplomasi, hingga

cara menyusun rancangan resolusi; kini mereka

mengeri.

Ivan Limanjaya, who recently completed a master’s in Psychiatry from Cardif University, agreed on her statement, “As a medical workforce, the majority of educaion that I got only focus on the clinical knowledge and skill. Communicaion and diplomacy were not the main topics.” Ivan oten feel awkward when giving informaion to paients in hospital and community health center (puskesmas). On the irst day of the Global Health Diplomacy training, he was an awkward man but he was more daring to make an argument since the third day. Surprisingly, he was assigned as chairman on the last day of meeing simulaion.

On the other hand, Meuthika Noor Fitriyana who oten works with community in the ield, had some diicult imes iing herself into the training as it had formal ambience with all the aire, seaing, and table manner. Her adaptaion skill helped her to be able to follow the training. She was more than happy that the training successfully engaged her to acively speak because of the good discussions. What she obtained during the training could be applied to her job.

(16)

“Suatu hari nani, bioteroris mampu membunuh

ratusan juta manusia hanya dengan satu serangan

yang lebih memaikan daripada perang nuklir.”

Bill Gates

Bioterorisme: Sebuah Pengenalan

Pada tahun 1918, lebih dari 500.000 orang Amerika meninggal akibat epidemi lu Spanyol, lebih banyak dibandingkan total kemaian orang

Amerika akibat perang yang terjadi di abad

ke-20. Ancaman ini menggeser pemahaman awal mengenai pengamanan nasional untuk idak

hanya membahas mengenai pengamanan nasional

terhadap ancaman isik, tetapi juga ancaman pandemi yang bersifat biologis.

Kegawatdaruratan biologis seperi

bioterorisme dan pandemi menjadi suatu ancaman kompleks tersendiri terhadap industri dan

pemerintah terkait. Isu ini menjadi serius, ditambah

dengan kenyataan bahwa teknologi berkembang pesat dan kapabilitas terbentuknya senjata biologis

di masa depan nani juga inggi.

US Centers for Disease Control and Prevenion (CDC) mendeinisikan bioterorisme sebagai

“Bioterrorists could one day kill hundreds of millions of people in an atack more deadly than nuclear war.” —Bill Gates

Bioterrorism: An Introducion

In 1918, over 500.000 Americans were killed during the Spanish lu epidemics, which is higher than the Americans that were killed in all wars fought in the 20th century. This threat has shited the tradiional deiniion of naional security to not only address the protecion of a state from physical threats, but also modern and sophisicated threats—including pandemic and biological threats.

Biological emergency such as bioterrorism and pandemics pose complex threats to industry and government agencies. This issue is serious, reinforced by the fact of the availability of advanced technology and its capability to be used for producing serious biological weapons in the future.

The US Centers for Disease Control and Prevenion (CDC) deines bioterrorism atack as “the deliberate release of viruses, bacteria, or other germs (agents) used to cause illness or death in people, animal, or plants”. The tendency of such weapon to be

Facing the Threat of Bioterrorism

Menghadapi Ancaman Bioterorisme

(17)

larger urban populaions. For example, if an anthrax atack took place in a crowded place such as an internaional airport, the cases would likely be widely distributed across naion or internaionally. Biological agents may include pathogens and toxin. Yet, diferent from toxin that may require certain amounts to pose signiicant threats to larger populaions, pathogens (viable living organism) are able to reproduce and thereater impact larger populaion even with a small amount. The primary biological agents to be of concern include: anthrax, plague and ricin. It has been esimated that an aerosol distribuion of Plague or Anthrax over Washington, DC, may lead to the death of 1–3 million people.

Facing Bioterrorism: Learning from the United States

The increase use of biological agents as weapons comes with an increase demand for a country to be able to asses, manage and communicate the risks of bioterrorism properly.

Risk assessment includes the necessary steps in monitoring and surveillance. Epidemiological invesigaion following a certain conirmed case of biological exposure must be done to predict future risk of pandemics. Assessment of the locaion and

Major areas of concern related to a bioterrorism threat, as stated by Oliver Grundmann in his aricle “The current state of bioterrorist atack surveillance and preparedness in the US”.

senjata lainnya. Salah satu kejadian bioterorisme

yang tercatat oleh sejarah adalah serangan dalam

bentuk surat berisi spora antraks (anthrax leter atack) yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2001.

Bioterorisme: Awal Mula Terjadinya Pandemi

Penggunaan senjata biologis dapat mengganggu populasi urban yang lebih luas. Sebagai contoh,

apabila serangan antraks terjadi di tempat yang

ramai seperi bandara internasional, agen ini dapat tersebar luas dari satu negara ke lainnya. Sebenarnya, yang termasuk sebagai agen biologi dalam kasus ini adalah patogen (organisme hidup) dan toksin. Namun, berbeda dari toksin yang

membutuhkan kadar tertentu untuk menjadi

ancaman yang berari terhadap populasi, patogen dapat membelah diri sehingga naninya dapat mempengaruhi populasi yang lebih luas, walaupun

pada awalnya hanya muncul dari jumlah yang

lebih sedikit. Agen biologis primer yang dinilai sebagai ancaman termasuk: antraks, pes, dan risin. Telah diesimasikan bahwa distribusi aerosol

dari penyakit pes maupun antraks terhadap

(18)

group of the populaion (poliicians, scienist, or general populaion) targets must also be done. A balance, though, has to be created between invesigaing and informing to prevent public distress. Costs, vaccine and treatment availability, impacts towards economic and casualty risks should also be determined and listed as part of the assessment.

Risk management remains the central focus in facing the threat of bioterrorism. The US has allocated $856 million which include $507 million for research and development and $348 million for procurement to the Department of Defense, following the anthrax leters in 2002 and in the year of 2006, $460 million to establish a naional preparedness and response network among hospitals in collaboraion with the CDC.

Some of the response plan include: (1) the training of hospital staf to be able to recognize and respond for certain potenial biological agent and prevent the disseminaion of the biological agent exposure and contaminaion, (2) building a statewide response to create rapid communicaion between exposed individuals, governor state, federal agencies and medical unit and (3) building a strategic stockpiling of vaccines and other respecive medicaions that can be provided to health assistants and related individuals for a lesser ime to an afected area— which is commonly in the US, will only need less than 24 hours.

Risk communicaion is a crucial area which involves rapid traicking between police, emergency-response force, public health department oicials to achieve opimize response ime and potenial containment of the outbreak. Creaing a system of rapid communicaion would then directly reduce morbidity and mortality caused by bioterrorism.

Given those strategies and issues, naional governments cannot close their eyes towards

Menghadapi Bioterorisme: Belajar dari Amerika Serikat

Kecenderungan peningkatan penggunaan agen biologis sebagai senjata harus diikui dengan

peningkatan tuntutan sebuah negara untuk dapat

menilai, mengelola, dan menyampaikan segala risiko dari bioterorisme secara benar.

Penilaian risiko merupakan tahap yang

mencakup semua hal yang diperlukan untuk

pemantauan dan surveilans. Invesigasi

epidemiologi harus dilakukan setelah ditemukan adanya kasus akibat paparan dari agen biologis untuk melihat adanya risiko terjadinya pandemi

di masa depan. Peninjauan terhadap lokasi dan kelompok dari populasi target (seperi poliisi, ilmuwan, atau populasi umum) juga harus dilakukan. Semua program surveilans ini harus

didampingi dengan adanya komunikasi yang

baik dari pemerintah atau insitusi terkait untuk mencegah terjadinya kepanikan publik. Biaya, ketersediaan dan keterjangkauan vaksin, dampak terhadap kondisi ekonomi, serta risiko adanya korban juga perlu dinilai pada tahap ini.

Manajemen risiko merupakan fokus utama

dalam menghadapi ancaman bioterorisme. Setelah terjadinya perisiwa anthrax leter atack di tahun

2002, Amerika Serikat telah mengalokasikan dana sebesar $856 juta yang mencakup $507 juta untuk studi dan riset, serta $348 juta untuk Departemen Pertahanan, dan pada tahun 2006, $460 juta

untuk mendirikan jaringan komunikasi nasional untuk kesiapsiagaan terjadinya bioterorisme

dengan bekerjasama dengan CDC.

Beberapa rancangan yang termasuk dalam program tersebut adalah: (1) pelaihan staf rumah

sakit untuk dapat mendeteksi dan merespon terhadap adanya potensi agen biologis dan

(19)

the Global Health Security Agenda (GHSA). GHSA acknowledges the essenial need for a mulilateral and muli-sectoral approach to strengthen both the global and naional capaciies to prevent, detect, and respond to infecious disease threats whether it is naturally occurring, deliberate, or accidental— capaciies that are once established would relieve the devastaing efects of bioterrorism events.

References:

1. Chrisian M. Biowarfare and Bioterrorism. Criical Care Clinics. 2013;29(3):717-756.

2. McKinley, W., Wesley, G.C., Sprang, M. V. and Troutman, A. (2017). Educaing Health Professionals to Respond to Bioterrorism. [online] NCBI. Available at: htps://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pmc/aricles/PMC2569986/ [Accessed 11 Jul. 2017]

3. Middlebury Insitute of Internaional Studies at Monterey. (2017). Terrorism, Bioterrorism, and Pandemics | Middlebury Insitute of Internaional Studies at Monterey. [online] Available at: htp:// www.miis.edu/academics/short/execuive-educaion/opions/terrorism [Accessed 11 Jul. 2017]

4. Farmer, B. (2017). Bioterrorism could kill more people than nuclear war, Bill Gates to warn world leaders. [online] The Telegraph. Available at: htp://www.telegraph.co.uk/news/2017/02/17/ biological-terrorism-could-kill-people-nuclear-atacks-bill/ [Accessed 11 Jul. 2017]

5. Rebmann, T. (n.d.). Infecious Disease Disasters: Bioterrorism, Emerging Infecions, and Pandemics. APIC Text of Infecion Control and Epidemiology. Available at: htps://apic.org/Resource_/ TinyMceFileManager/Topic-speciic/47901_ CH120_R1.pdf

6. Chrisian MD. Biowarfare and bioterrorism. Criical care clinics. 2013 Jul 1;29(3):717-56. 7. Grundmann O. The current state of bioterrorist

atack surveillance and preparedness in the US. Risk Management and Healthcare Policy. 2014:177.

yang krusial dalam penanganan bioterorisme.

Jalur komunikasi yang dimaksud mencakup

pemberitahuan yang cepat antara polisi, petugas tanggap darurat, dan ahli dari departemen

kesehatan masyarakat untuk mencapai waktu yang

opimal dalam merespon wabah. Pembentukan sistem yang mempercepat komunikasi

antar-petugas yang berwenang akan secara langsung berdampak pada penurunan angka kesakitan dan

kemaian yang disebabkan oleh bioterorisme. Maka dari itu, pemerintah idak dapat

mengesampingkan isu mengenai bioterorisme

karena komponen terpening dalam penanganan

bioterorisme mencakup kerjasama yang kuat

dari berbagai unit dan komponen masyarakat. Koordinasi internasional dalam pencegahan

pandemi dan bioterorisme merupakan bagian dari

Global Health Security Agenda (GHSA). GHSA menyadari peningnya pendekatan mulilateral dan mulisektoral untuk memperkuat kemampuan global dan nasional untuk mencegah, mendeteksi,

dan menanggapi ancaman penyakit menular yang

(20)

Zoonoic disease is currently a major issue in Indonesia, paricularly its high incidence of zoonoic

Penyakit zoonoik merupakan sebuah masalah besar di Indonesia, terutama karena ingginya

One Health Approaches in

Combaing Zoonoic Diseases

Pendekatan One Health dalam Menangani Penyakit Zoonoik

(21)

implemented by all departments in naional, province, and district level.

Zoonosis is a wicked problem that needs to be solved by involving several sectors. Not only the Department of Health, but other departments, such as Department of Environment and Forestry as well as Department of Agriculture, are responsible for tackling the problem. For that reason, uilizaion of One Health approach in the collaboraion with other insituions is an important factor in solving zoonoic disease problems in Indonesia.

Holding a training on Zoonoic Disease Management Using One Health Approach, is one way to answer this problem. The training was held by Indonesia One Health University Network (INDOHUN) and was kindly supported by USAID One Health Workforce Project. It was held on September 11-15, 2017 in Noormans Hotel, Semarang.

This training was focused in hard skills to manage zoonoic disease by using One Health approach. The materials given were; overview of zoonosis in Indonesia, policies regarding control and prevenion of zoonoic disease, collaboraion in controlling zoonosis, One Health concept, analysis and interpretaion of surveillance data, and outbreak invesigaion. Aside from lectures, there are also exercises to improve comprehensive thinking,

ditangani, Indonesia telah memiliki program pencegahan dan kontrol penyakit zoonoik yang diimplementasikan pada ingkat nasional, provinsi, serta kota dan kabupaten.

Penanganan penyakit zoonoik memerlukan kerja sama berbagai sektor. Tidak hanya Kementerian Kesehatan, tetapi kementerian lain seperi Kementerian Lingkungan dan Kehutanan serta Kementerian Pertanian, bersama-sama

bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah

zoonosis. Maka dari itu, kolaborasi antar-insitusi

dengan penerapan konsep One Health menjadi

pening untuk menyelesaikan masalah zoonosis di Indonesia.

Indonesia One Health University Network (INDOHUN) telah mengadakan pelaihan mengenai manajemen penyakit zoonoik

menggunakan pendekatan One Health sebagai upaya untuk membantu menyelesaikan masalah

tersebut. Pelaihan ini didukung oleh USAID melalui One Health Workforce Project dan telah dilaksanakan dari tanggal 11 hingga 15 September 2017 di Hotel Noormans, Semarang.

Pelaihan berfokus untuk meningkatkan

kemampuan peserta dalam melakukan manajemen

penyakit zoonoik. Materi yang diberikan

(22)

including exercise of muli-sectoral collaboraion which involve systemaic thinking and collaboraive efort.

One of the paricipants, Ms. Eva, was barely interested in atending the training. She originated from the Health Oice of Sragen District, Central Java, where there are no zoonosis division in her oice. Through the training, she was inally convinced that the management of zoonoic diseases is a crucial mater. Thus, by atending the training, she hopes she can bring improvement in the health condiion of Sragen, especially in zoonoic diseases.

According to Ms. Eva, she was able to recognize important stakeholders that are willing to improve aciviies related to zoonoic disease. In addiion, she was not saisied with her past atempts in managing this issue. However, now that she knows the importance of involving the environmental health oicials in the mater of zoonoic diseases, she hopes her future plans will be more successful if she collaborates with more insituions. “Ater this training, I will propose to establish the working group to tackle zoonoic diseases in my oice (Health Oice of Sragen District). At the moment we only have working groups focusing on HIV and tuberculosis,” she promised.

Ms. Eva also said that it was necessary for health-related oicials to be trained in this issue. Another paricipant, Mr. Ilham who came from the Provincial Health Oice of Central Java, also thought that it was necessary for health-related oicials to be trained with zoonosis knowledge and its management. This training was proved to help them collaborate beter and to be more open-minded. Besides, in this training there was also a ield trip showing them the reality that zoonoic diseases are sill being neglected. In the end of the training, there was a presentaion from representaives of each

terkait pencegahan dan kontrol penyakit zoonoik, kolaborasi untuk mengontrol penyakit zoonoik, konsep One Health, analisis dan interpretasi dari data hasil surveilans, dan invesigasi wabah. Di luar dari pemberian materi, peserta juga

belajar langsung di lapangan untuk memperoleh

pandangan yang holisik terhadap keadaan asli dan mengasah kemampuan berpikir sistemaik melalui kerjasama dengan sesama peserta.

Salah satu peserta, yaitu Ibu Eva yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, pada awalnya idak terlalu tertarik untuk mengikui pelaihan ini. Di kantornya, idak terdapat divisi yang membahas mengenai penyakit zoonoik. Namun pelaihan ini menyadarkan Ibu Eva bahwa penyakit zoonoik adalah salah satu masalah yang krusial yang harus ditangani. Dengan itu, Ibu Eva berharap dapatmeningkatkan kondisi kesehatan di Kabupaten Sragen, terutama terkait penyakit zoonoik.

Melalui pelaihan ini, Ibu Eva akhirnya

mengetahui sektor mana saja yang bisa ia ajak

kerjasama untuk menangani penyakit zoonoik. Ia juga menyebutkan bahwa dirinya terkadang idak puas dengan usaha-usaha yang telah dilakukannya untuk menanggulangi masalah zoonois. Namun Ibu Eva paham bahwa keterlibatan tenaga

kesehatan lingkungan merupakan komponen

pening untuk menanggulangi penyakit zoonoik. “Saya setelah pelaihan ini akan mengajukan pembentukan pokja (kelompok kerja) im penanggulangan zoonosis di tempat saya (Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen). Karena selama ini hanya ada pokja HIV dan tuberkulosis.”

(23)

Di akhir pelaihan, peserta perwakilan dari seiap

dinas kesehatan menjelaskan situasi kesehatan di

daerahnya masing-masing.

Dengan prevalensi penyakit zoonoik yang inggi di Indonesia, menjadi hal yang pening

bagi kita untuk meningkatkan pengetahuan dan

kapasitas dalam manajemen masalah tersebut. Salah satu pelaih, drh. Pudjianto, Ph.D. dari Kementerian Pertanian, mengatakan, “Merupakan ide yang sangat baik untuk memasukkan zoonosis sebagai bagian dari manajemen krisis kesehatan. Saya harap ke depannya, zoonosis dapat dilihat sebagai suatu masalah pening dan dianggap serius idak hanya dari segi kesehatan, tetapi juga dari segi manajemen krisis (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

Secara keseluruhan, seluruh peserta

mendapatkan manfaat dari pelaihan ini. Peserta

juga memberikan beberapa masukan agar

kualitas pelaihan ini dapat diingkatkan. Mereka

menyarankan agar alokasi waktu untuk kegiatan lapangan dapat ditambah karena kegiatan sesi tersebut sangat membantu peserta dalam

menganalisis dan membandingkan situasi yang ada

di area kerjanya masing-masing.

future, zoonosis will be seen as a crisis and it would be considered serious not only from health aspects, but also from disaster crisis management (known as Badan Nasional Penanggulangan Bencana)”.

(24)

Learning from the Neighbour

Belajar dari Tetangga

BY/O L E H A M I TA PA R A M A L D I N I

(25)

(THOHUN).

Atending a short course in Thailand brought many beneits for her and the other paricipants from Malaysia, Vietnam, Myanmar, Laos, Bangladesh, and Thailand itself. Although the course was only three weeks, Putu said that she learned a lot with quite ight schedule.

The short course was not conducted in a campus but a resort in Kanchanaburi. Near the venue, there was a village named Mao Tao that was called “One Health Village”. The village had some health problems, such as malaria, thus this village would be a place for ieldwork session. Mao Tao Village located near a forest, the habitat of wild elephants. The inhabitants of the village oten go animal huning and ind herbs in the forest. During summer, the elephants approach inhabitants’ gardens to devour fruits and drink water from a village tank. As a result, there were fatal consequences because of misunderstanding between human and elephant.

Even though Putu is a veterinarian, that case was a whole new thing for her. Fortunately,

oleh Thailand One Health University Network (THOHUN).

Mengikui kuliah di Thailand memberi banyak manfaat bagi Putu dan peserta lain yang berasal dari Malaysia, Vietnam, Myanmar, Laos, Bangladesh, dan Thailand itu sendiri. Meskipun hanya iga minggu, Putu mengaku ia belajar banyak dengan jadwal yang cukup padat.

Kuliah ini idak dilaksanakan di kampus, melainkan di sebuah penginapan di Kanchanaburi. Di dekat penginapan, terdapat sebuah desa bernama Mao Tao yang disebut “Desa One Health”. Desa tersebut memiliki beberapa masalah kesehatan, salah satunya adalah malaria. Oleh karena itu, desa ini dijadikan lokasi untuk sesi turun ke lapangan. Desa Mao Tao berbatasan

dengan hutan yang merupakan habitat gajah

liar. Warga sering berburu dan mencari tanaman obat di dalam hutan tersebut. Saat musim kering,

gajah sering memasuki perkebunan warga untuk

memakan buah-buahan milik warga. Mereka juga meminum air dari tangki persediaan warga.

(26)

the short course was sistemaically designed to help them understand, from in-class lecture and pracical training to ieldwork training. Ong-orn Prasarnphanich from University of Minnesota started the course with a lecture on One Health. The other topics were conlicts between humans and animals, epidemiology, infecious diseases, and community approach, delivered by the mentors from university members of THOHUN.

Once a week, paricipants of the short course went to Mao Tao Village to work on the knowledge they gained in the class. They ideniied health problem on the irst week. Following that, they learned about geographic informaion system (GIS), mosquito ideniicaion, water quality assessment, parasite ideniicaion, as well as stool and blood examinaion. They also learned how to develop tools and analysis methods that would be used to collect data and specimen in Mao Tao Village. On the second week, Putu and her group conducted interviews with the inhabitants and collected human feces, water, and plants. Ater geing the result, the paricipants developed a soluion to solve health problems in Mao Tao Village.

They learned about entrepreneurship to ind a way that was not precisely related to health. Putu said, “Entrepreneurship and innovaion were the most diicult topics for us because we are health students and workers, no experience and background in economy.” However, that brought out an insight for them; everyone who are creaive enough could earn money to make their projects more sustainable. Entrepreneurship-based innovaive soluion should be considered as an approach of tackling health problems.

For Putu, joining a course abroad is an

opportunity to experience not only a diferent culture but a diferent educaion system. As she study

Akibatnya, selama lima tahun berturut-turut selalu ada kasus kecelakaan gajah dan manusia.

Walaupun Putu adalah dokter hewan, kasus ini merupakan hal baru baginya. Beruntung, kuliah ini disusun secara sistemais, mulai dari sesi kuliah dan prakikum di dalam kelas, hingga turun ke lapangan. Sesi di dalam kelas diawali

dengan materi tentang One Health yang dibawakan

oleh Ong-orn Prasamphanich dari University of Minnesota. Materi lainnya, seperi konlik antara manusia dan hewan, epidemiologi, penyakit infeksi, dan pendekatan komunitas, dibawakan oleh pengajar dari universitas-universitas anggota THOHUN.

Seiap sekali seminggu, peserta kuliah datang ke Desa Mao Tao untuk memprakikkan materi yang telah didapatkan di kelas. Mereka mengideniikasi masalah kesehatan pada minggu pertama. Setelah itu, mereka mempelajari

geographic informaion system (GIS), menangkap dan mengideniikasi nyamuk, menilai kualitas air, mengideniikasi parasit, serta uji feses dan darah. Mereka juga belajar untuk menyusun alat

uji dan metode analisa yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dan spesimen dari

Desa Mao Tao. Pada minggu kedua, Putu dan teman kelompoknya berpencar ke rumah-rumah

untuk mewawancarai warga serta mengambil

sampel feses manusia, air, dan tanaman. Setelah mendapatkan hasil uji dan analisa, para peserta

mencari cara untuk menyelesaikan masalah

kesehatan di Desa Mao Tao.

Mereka pun belajar tentang kewirausahaan

agar solusi yang ditawarkan idak terbatas di bidang kesehatan. Putu mengatakan, “Sesi kelas kewirausahaan dan inovasi adalah sesi paling susah

untuk semua peserta karena kami mahasiswa

(27)

Doc. Album of Thailand One Health University Network (www.facebook.com/NCOTHOHUN)

abroad was a unique opportunity to connect with new colleagues and mentors she didn’t have access to in Indonesia. She even found a mentor in a ield that her own school doesn’t have an expert in. In the future, it is possible that she can contribute in a research project with her colleagues and mentors from this short course.

sistem pendidikan yang berbeda. Keika belajar di luar negeri, Putu idak hanya berkesempatan untuk mempelajari topik baru, seperi GIS dan kewirausahaan, tetapi juga melihat perbedaan sistem pendidikan, penilaian, dan parisipasi di seluruh dunia. Kegiatan dalam perkuliahan ini idak hanya membekalinya dengan keahlian baru, tetapi juga memberinya moivasi untuk transfer ilmu di

Indonesia dan memunculkan apresiasi yang lebih

besar terhadap Thailand dan negara-negara lain.

Selain mengubah sudut pandangnya terhadap

berbagai hal, belajar di luar negeri memberinya

kesempatan langka untuk bertemu mentor dan

kolega baru yang idak ia temukan di Indonesia. Putu bahkan mendapatkan mentor di bidang yang idak ada di kampusnya. Naninya, mungkin saja ia dapat berkontribusi di proyek peneliian

bersama dengan mentor dan kolega dari program

(28)

Regional Training of Trainers:

One Health Problem Based Book

BY/O L E H A L E S SA FA H I R A

“Too oten we give children answers to remember rather than problems to solve.” —Roger Lewin

“Terlalu sering kita memberi jawaban untuk diingat

daripada memberi masalah untuk diselesaikan

anak kita.” —Roger Lewin

(29)

untuk penyampaian topik One Health kepada

murid.

Kita harus dapat menjelaskan konsep One Health secara holisik, di mana murid dapat secara mandiri memahami peningnya konsep

One Health dan implementasinya di kehidupan

sehari-hari. Problem Based Learning (PBL),

sebuah metode belajar yang mengharuskan murid untuk secara mandiri memecahkan pemicu

dalam sebuah kelompok, telah terbuki untuk dapat meningkatkan ketertarikan, kerjasama dan kemandirian murid terhadap kasus yang dipelajari.

Metode ini juga dapat memberikan suatu

gambaran holisik kepada murid agar mereka dapat memecahkan masalah tersebut di kehidupan asli.

Menyadari betapa peningnya proses penyampaian konsep One Health, Southeast Asia One Health University Network (SEAOHUN) telah mengadakan Regional Training of Trainers (ToT) dengan membawakan topik Proses Pembelajaran Konsep One Health melalui metode PBL. Pelaihan ini telah dilaksanakan di Hotel Hilton, KotaKinabalu, Sabah, Malaysia dari tanggal 9 hingga 12 Agustus 2017 dan dihadiri oleh ahli-ahli kesehatan dari Malaysia, Indonesia, Thailand dan Vietnam.

Terdapat empat peserta perwakilan yang berasal dari Indonesia, yaitu: Ansariadi, MSc, PhD (Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin), drh. Meity Marviana Laut, MSc (Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Nusa Cendana), dr. Kuswandewi Mutyara, MKes, MSc (Fakultas Kedokteran, Univeritas Padjajaran), dan drh. Dordia Anindita Roinsulu, MSi (Fakultas Kedokteran Hewan, Insitut Pertanian Bogor). Pelaih dan fasilitator yang telah secara baik berperan di pelaihan ini adalah: Prof. Dr. Greg Sales (University of Minnesota), Dr. Hellen Amuguni (Tuts University), Assoc. Prof. Dr. Sii Suri Arsha (Universitas Putra Malaysia), and Assoc. Prof. Dr. Jalila Abu (UniversitasPutra Malaysia).

Di pelaihan ini, peserta dapat belajar banyak

mengenai One Health dan proses pengajarannya

melalui penggunaan metode PBL; dengan mengulas topik-topik yang mencakup elemen-elemen kunci, kepeningan, persiapan dan implementasi dari PBL. Dalam pelaihan, peserta

students.

We need to deliver One Health concept through a holisic approach, where students can discover the importance of One Health and its implementaion— by themselves. Problem Based Learning (PBL), a teaching method which require students to solve problems given in groups, has been proven to increase student’s interest, teamwork, and independence towards the issue learned. This method will also give them a throughout view on how to face the problem in a real-life situaion.

Understanding the importance of the delivery of One Health concept, Southeast Asia One Health University Network (SEAOHUN) had deliver this year’s Regional Training of Trainers (ToT) by focusing on the delivery of One Health concept using PBL method in a student-centered learning environment. The training was held in Hilton Hotel, Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia on August 9-12, 2017 and was paricipated by health professionals from Malaysia, Indonesia, Thailand, and Vietnam.

There were four paricipants from Indonesia: Ansariadi, MSc, PhD (Faculty of Public Health, University of Hasanuddin), drh. Meity Marviana Laut, MSc (Faculty of Veterinary Medicine, Nusa Cendana University), dr. Kuswandewi Mutyara, MKes, MSc (Faculty of Medicine, Padjajaran University), and drh. Dordia Anindita Roinsulu, MSi (Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University). The trainers and facilitators were: Prof. Dr. Greg Sales (University of Minnesota), Dr. Hellen Amuguni (Tuts University), Assoc. Prof. Dr. Sii Suri Arsha (University Putra Malaysia), and Assoc. Prof. Dr. Jalila Abu (University Putra Malaysia), who are all regarded excellent in providing mentorship to the paricipants.

(30)

Doc. Paricipant Report of Regional Training of Trainers One Health Problem Based Book

telah dikenalkan cara dan tahap pembuatan

pemicu untuk PBL, di mana materi yang dijelaskan

mengacu kepada buku yang telah diselesaikan oleh

pelaih yang berjudul—A Problem Based Learning Approach: One Health Cases. Lebih lagi, peserta dari seiap negaranya mendapat kesempatan

untuk memberikan presentasi mengenai rancangan

kerja implementasi metode PBL di Indonesia dalam

proses pengajaran One Health di Indonesia yang

telah dibuat oleh peserta sebelumnya. Rancangan

kerja yang dibuat oleh peserta dari Indonesia dinilai sangat baik dan telah disarankan oleh

pelaih untuk disampaikan kepada Indonesia One Health University Network Naional Coordinaing Oice (INDOHUN NCO) dan SEAOHUN untuk dicarikan pendanaan lanjutan.

Secara keseluruhan, kegiatan Regional ToT:

plan to implement PBL method for the teaching of one health—thoroughly into student’s curriculum. Acion plan made by the Indonesian paricipants was considered excellent and was suggested, by the facilitators, to be shared to the Indonesia One Health University Network Naional Coordinaing Oice (INDOHUN NCO) and SEAOHUN in order to ind potenial funding.

(31)

IREX is currently acceping applicaions for the 2018–2019 Community Soluions Program (CSP). It is a professional development program for people who are working to improve their communiies by addressing issues related to the environment, tolerance and conlict resoluion, transparency and accountability, and women and gender. Community Soluions Fellows complete a four-month fellowship from August to December with a US nonproit organizaion or local government agency.

E L I G I B I L I T Y R EQ U I R E M E N T S

• You are between the ages of 25 and 38 as of

January 1, 2018.

• You are a ciizen of one of the eligible countries. • You are living and working in your home country. • You have at least two years of experience working

on community development, either as a full-ime or part-ime employee or volunteer.

• You are not currently paricipaing in an academic,

training, or research program in the US.

• You are available to travel to the US for four

months from August to December 2018.

F I N A N C I A L S U P P O RT

• J-1 visa support

• Round-trip travel from paricipants’ home city to

the US

• Monthly allowance to cover housing, meals, and

other living expenses while in the US

• Accident and sickness insurance

A P P L I C AT I O N D E A D L I N E

October 31, 2017, at 11:59 p.m. EDT

I N F O R M AT I O N

www.irex.org/program

Become a Community Soluions

Program Fellow!

IREX membuka pendataran untuk Community Soluions Program (CSP) tahun 2018-2019. CSP merupakan program pengembangan diri

profesional bagi seseorang yang fokus dalam peningkatan kapasitas masyarakat dengan mengangkat isu yang berhubungan dengan

lingkungan, penyelesaian konlik dan toleransi, transparansi dan tanggung jawab, serta gender dan perempuan. Community Soluions Fellows akan mengikui empat bulan pelaihan bersama

organisasi nirlaba atau badan pemerintah lokal

Amerika Serika.

P E R SYA R ATA N

• Berusia antara 25 dan 38 tahun pada 1 Januari

2018.

• Warga negara salah satu negara yang terdatar. • Tinggal dan bekerja di negara asal.

• Memiliki pengalaman kerja minimal dua tahun

di bidang pengembangan masyarakat, baik

purnawaktu maupun part-ime atau relawan. • Tidak sedang mengikui kegiatan akademik,

pelaihan, atau riset di Amerika Serikat.

• Bersedia inggal di Amerika Serikat sejak

Agustus hingga Desember 2018.

D U K U N GA N F I N A N S I A L • Visa J-1

• Tiket dua arah, dari kota asal peserta ke Amerika Serikat dan sebaliknya

• Uang saku bulanan untuk membiayai tempat

inggal, makan, dan keperluan lainnya selama di

Amerika Serikat

• Asuransi jiwa dan kesehatan

BATA S P E N DA F TA R A N

31 Oktober 2017, pukul 23:59 EDT

I N F O R M A S I

(32)

The Internaional Society for Infecious Diseases (ISID) is commited to recognizing excellence in research and global paricipaion in the ight against infecious diseases. The following four award categories are available to delegates submiing abstracts to ensure that the very best in recent research from around the world is presented at the Congress:

• Sanoi Pasteur Awards for Communicable Disease

Epidemiology

• ProMED Awards in Emerging Infecious Diseases • ISID New Invesigator Award

• Professional Development Travel Grants for Early

Career Invesigators supported by a grant from the Bill and Melinda Gates Foundaion

ISID also announces its irst ever photo contest for the 18th ICID. The contest, “Global Infecious Diseases: Macro to Micro” focuses on the diverse nature of infecious diseases, the innovaive pracices designed to improve health, and the professionals working to make a diference on a global scale. Whether it be Petri dish discoveries in a lab or vaccine campaigns in the ield; submit the image that captures your work and the people you serve. Prizes for winners will be announced in the coming months. Submissions for photo contest will close on December 31, 2017.

18th Internaional Congress

on Infecious Diseases (ICID)

The Internaional Society for Infecious Diseases (ISID) berkomitmen untuk mengapresiasi riset dan parisipasi global dalam melawan penyakit infeksi. Empat kategori penghargaan berikut tersedia

untuk delegasi yang mengirimkan abstrak untuk

memasikan riset terbaik dari seluruh dunia akan muncul di Kongres:

• Sanoi Pasteur Awards for Communicable Disease

Epidemiology

• ProMED Awards in Emerging Infecious Diseases • ISID New Invesigator Award

• Professional Development Travel Grants for Early

Career Invesigators supported by a grant from the Bill and Melinda Gates Foundaion

Dalam rangka Kongres, ISID juga mengadakan lomba foto. Kontes bertema “Global Infecious Diseases: Macro to Micro” ini fokus pada penyakit infeksi, prakik inovaif untuk meningkatkan status kesehatan, dan tenaga profesional yang menciptakan perubahan dalam skala global. Baik itu penemuan cawan Petri di lab atau kampanye vaksin di lapangan; Anda dapat mengirimkan

foto yang menggambarkan pekerjaan Anda

dan masyarakat yang Anda layani. Hadiah akan diumumkan selanjutnya. Pengumpulan foto akan ditutup pada 31 Desember 2017.

TA N G GA L KO N G R E S

(33)

The 5th Internaional One Health Congress ofers early career scienists a unique opportunity to present their latest work, and to meet and foster collaboraions with the internaional One Health community in a four days high-level congress. One Health Fellows will receive inancial support to cover the registraion fee, accommodaion for the duraion of the conference, and travel (economy class).

E L I G I B I L I T Y R EQ U I R E M E N T S

• Senior PhD students or must hold a PhD or a

clinical qualiicaion for no longer than 3 years.

• Submit the completed One Health Fellowship Fund

Applicaion Form, a proof of status, and a research abstract.

I M P O RTA N T N OT I C E

To qualify for an oral or poster presentaion during the congress, you need to also submit your abstract via the online submission system as of November 2, 2017.

December 1, 2017 (23:59 Central European Time)

I N F O R M AT I O N

www.onehealthplaform.com

Open Call for One Health Congress

Fellowship Applicaions

Internaional One Health Congress Ke-5

menawarkan kesempatan menarik bagi ilmuwan

muda untuk mempresentasikan karyanya, serta

bertemu dan berkolaborasi dengan komunitas One

Health internasional dalam kongres ingkat inggi yang dilaksanakan selama empat hari. Peserta akan mendapatkan bantuan dana yang melipui biaya pendataran, akomodasi, dan perjalanan (kelas ekonomi).

P E R SYA R ATA N P E S E RTA

• Mahasiswa PhD senior atau telah meraih PhD

atau kualiikasi klinis kurang dari 3 tahun yang lalu.

• Mengumpulkan Formulir Pendataran One

Health Fellowship Fund yang telah dilengkapi, surat keterangan insitusi, dan abstrak peneliian.

P E N G U M U M A N P E N T I N G

Untuk dapat mengikui presentasi oral atau poster selama kongres, Anda wajib mengumpulkan

abstrak melalui sistem pengumpulan online

sebelum 2 November 2017.

TA N G GA L

22-25 Juni 2018

LO K A S I

Saskatoon, Kanada

BATA S P E N G U M P U L A N A B S T R A K

1 Desember 2017 (23:59 Waktu Eropa Tengah)

I N F O R M A S I

(34)

Gambar

Table top microphones, miniature lags, and acrylic

Referensi

Dokumen terkait

MODÉL PANGAJARAN COOPERATIVE SCRIPT DINA NINGKATKEUN KAMAMPUH NYARITA Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Karena umumnya alat tersebut menggunakan tekanan, tekanan harus diarahkan searah dengan sumbu panjang gigi untuk menghindari fraktur gigi preparasi, dan harus

•  Oleh yang demikian, apabila pembaca membaca teks, maksud dan jangkaan pembaca dapat membantu menghuraikan anggapan maklumat yang dibaca sama ada dalam

mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan untuk setiap kelas sesuai dengan struktur kurikulum yang berlaku pada

Berdasarkan Hasil Evaluasi Administrasi, Teknis, Kewajaran Harga serta Evaluasi Kualifikasi dan Pembuktian Kualifikasi maka Pokja V Kantor Layanan Pengadaan (KLP) Kabupaten

Pengetahuan merupakan arti dari kata knowledge yang mempunyai arti, “Kenyataan atau keadaan mengetahui sesuatu yang diperoleh secara umum melalui

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa Rencana Pelaksanaan

Pada Kelompok I (Kontrol) setelah semen ionomer kaca yang telah dimasukkan dalam cetakan pertama dietsa selama 30 detik, ducuci dan dikeringkan, cetakan ke- 2 dipasang