• Tidak ada hasil yang ditemukan

IKLAN POLITIK DALAM MEDIA MASA Citra Dal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IKLAN POLITIK DALAM MEDIA MASA Citra Dal"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

IKLAN POLITIK DALAM MEDIA MASA :

Citra Dalam Kampanye Politik Dan Etika Publikasi Pada Media Luar Ruangan (Outdoor)

Oleh : Wisnu Kismoro

Abstrak

Politik adalah salah satu hal yang tidak pernah lepas dari kegiatan komunikasi,

khususnya dalam sebuah kegiatan yang sering disebut-sebut sebagai pemilihan umum. seolah

menjadi sebuah peperangan, kampanye dalam pemilihan umum atas sebuah partai yang

mengusung elit politik sebagai calon kandidat terkoar-koar dimana-mana, dalam kampanye

menggunakan media massa lini bawah, berbagai tehnik melalui tehnologi menciptakan citra –

citra positif yang kemudian dilekatkan pada elit politik yang diusung sebagai calon. Dalam hal

tersebut, tidak lepas dari narsisisme dan simplisitas politik, yang mana mampu memberikan

segala aspek yang berkaitan dengan citra secara instan dan sesegera mungkin, dengan harapan

menjadi daya tarik dan mampu merangkul kepercayaan masyarakat. Pemasangan media-media

komunikasi massa kemudian menjadi hal harus dipikirkan. Ketika dalam pemasangan media

sering kali dilakukan secara asal-asalan dan merugikan public kaitannya dengan ruang yang

menjadi hak publik. Apakah hal semacam itu kemudian menjadi hal yang baik dan benar ?

Seperti apa konstruksi citra dalam kampanye politik ?, apakah hal tersebut menjadi sebuah

kesalahan dalam berkomunikasi dalam politik ?, apakah hal tersebut menjadi hal yang baik

ataupun benar dalam komunikasi kepada masyarakat ? siapa saja yang diuntungkan dan

dirugikan kaitannya dalam komunikasi seperti hal tersebut ?, pertanyaan – pertanyaan tersebut

(2)

Pendahuluan

Setiap lima tahun sekali, pergantian presiden menjadi hal yang terjadi di negara ini.

Pergantian-pergantian posisi jabatan oleh kalangan tertentu seperti presiden, gubernur, DPR, dan

sebagainya tanpa disadari menjadi budaya politik dalam Negara ini, mengingat hal ini selalu

terjadi dan berulang-ulang, sehingga tanpa disadari pun menjadi sebuah kebiasaan politik.

Demokrasi seolah adalah pelaku yang membentuk terjadinya sistim kepemerintahan yang harus

bergonta-ganti pemeran. Demokrasi tidak jarang dituding-tuding sebagai akar dari adanya

pemerintahan yang bergonta-ganti pemeran yang dalam fenomenanya bukan berdasarkan

keturunan (sistim kekerajaan), melainkan berdasarkan siapa yang dipilih oleh rakyat dalam suatu

Negara. Rakyat kemudian menjadi hakim dalam penentuan siapa yang akan dipantaskan menjadi

pemeran untuk jabatan-jabatan yang ada dalam opera politik Negara. Kemenangan yang didapat

oleh tiap calon pemeran pimpinan dalam politik pun kemudian ditentukan oleh suara rakyat yang

tanpa membedakan status intelektual, dan dalam perhitungannya dilihat berdasarkan presentase

mana suara termayor dan mana suara minor. Kondisi ini kemudian memicu sebuah fenomena

yang jika disebut secara konotatif dapat dikatakan sebagai perang perebutan suara rakyat dalam

politik perebutan kursi kepemimpinan, hal ini kemudian dikonotasikan menjadi sebuah kompetisi

pilitik pemilihan. Kampanye, sebuah nama yang dilekatkan kepada suatu kegiatan yang

didalamnya dilakukan oleh pegiat – pegiat elit politik. Kampanyelah wadah yang mampu

menampung segala aspek yang menjadi output atas hasil berpikir para elit politik, dalam

kampanye inilah para elit politi mencurahkan perhatian, pikiran, dan energinya untuk

mensukseskan tujuan kampanye, yang kemudian pembangunan citra menjadi langkah awal yang

akan dilakukan. Pembangunan citra dalam kampanye politik pada kemudian seringkali

menggunakan tanda-tanda yang mampu menciptakan nilai positif pada figur yang dipresentasikan

dalam kampanye. Tidak hanya itu, penggunaan – penggunaan bahasa pun kemudian dirancang

secara hiperbolis sesuai kebudayaan yang melekat pada lingkup masyarakat yang dijadikan

target. Suatu contoh pada iklan politik Jokowi –JK sebelum menjadi presiden, tagline satrio

piningit dilekatkan pada berbagai bentuk kampanye yang ada diwilayah – wilayah dalam pulau

jawa oleh tim kampanye.

Suara rakyat menjadi hal yang harus didapat oleh tim – tim dari berbagagai partai yang

(3)

kepemerintahan negara, merangkul ataupun membujuk kemudian menjadi prioritas oleh tim

sukses dalam proses berkampanye. Menjadi sebuah permasalahan ketika dalam suatu daerah

tertentu masyarakat sebagai calon pemilih tidak mengenal siapa yang sedang mencalonkan diri

dan kemudian akan dipilih, sedangkan pemenang dalam sebuah pemilihan ditentukan oleh suara

pemilih yang bersifat mayor. Menkomunikasikan sosok yang menjadi calon adalah hal yang

kemudian harus dilakukan oleh tim sukses dalam kampanye, yang mana seringkali tim akan

menggunakan segala cara dan media untuk menkomunikasikan personalia yang akan menjadi

calon. Komunikasi satu arah adalah arus besar yang sering diciptakan oleh tim dalam

menkomunikasikan profil calon yang diusung. Melalui media komunikasi massa yang digunakan

sebagai jembatan dalam penyampaian pesan, media ini dipaksa untuk mempresentasikan berbagai

citra personal yang menjadi calon dalam pemilihan. Dalam pemilihan media apa yang digunakan,

tim tentu memiliki prioritas pemakaian yang didasarkan pada target audience, wilayah, dan

kebutuhan akan media yang akan digunakan dalam menkomunikasikan citra atas calon yang

diusung. Dalam pewujudan hal tersebut kemudian elektronik sebagai tehnologi, diperankan

sebagai alat untuk menyihir pesan bercitra, dan pesan yang dihasilkan seringkali bersifat fiktif.

Dalam perkembangan era informasi saat ini, pembentukan citra seorang tokoh dalam politik,

sering kali terlepas dari kecakapan, kepemimpinan, dan prestasi politik yang dimilikinya. Melalui

tehnologi, pesan sering kali dirancang atau dikonstruksi dalam bentuk yang bersifat manipulatif.

Melalui hal ini kemudian politik bergeser menjadi politik pencitraan, yang dalam perilakunya

lebih kepada mengutamakan perayaan citra dari pada kompetensi politik. Kemampuan tehnologi

dalam menciptakan realita semu, saat ini menghanyutkan para elit politik dalam hasrat atau

gairah menkonstruksi citra diri. Narsistik menjadi salah satu citra politik yang sering muncul

dalam realita media massa dalam kampanye khususnya pada media cetak. Sebuah citra pada

media cetak sering kali dikonstruksi melalui disiplin ilmu perancangan komunikasi visual,

didalam media yang dirancang seringkali mempresentasikan sisi positif yang seolah memang

melekat pada kepribadian tokoh yang ada dalam media massa.

Dalam kampanye politik dinegara ini, tim sebagai mengusung elit politik yang

mencalonkan diri sebagai kandidat suatu pemilihan umum berlomba-lomba dalam menyuarakan

citra dan nama elit politik dan partai yang menjunjungnya, sehingga tidak jarang tim kampanye

melakukan promosi seolah – olah elit politik adalah sebuah produk yang harus dipercaya untuk

(4)

massa pada lingkup-lingkup keramaian, bahkan seringkali tidak beraturan. Pemasangan bendera

partai, poster, hingga billboard, sering kali dilakukan secara asal asalan yang kemudian jika

dipandang tentu mengurangi estetis yang melekat pada suatu wilayah. Apakah hal semacam itu

kemudian menjadi hal yang baik dan benar ? Seperti apa konstruksi citra dalam kampanye politik

?, apakah hal tersebut menjadi sebuah kesalahan dalam berkomunikasi dalam politik ?, apakah

hal tersebut menjadi hal yang baik ataupun benar dalam komunikasi kepada masyarakat ? siapa

saja yang diuntungkan dan dirugikan kaitannya dalam komunikasi seperti hal tersebut ?,

penulisan ini berangkat dari fakta empirik yang melekat pada media-media massa lini bawah

(berbasis cetak) yang digunakan dalam berkampanye seperti billboard, poster, spanduk, dan lain

(5)

Pembahasan

Kampanye adalah sebuah cara dalam berkomuniksai kepada masyarakat. Melalui

kampanyelah masyarakat dikenalkan dengan bergabagai individu yang mencalonkan diri sebagai

pimpinan-pimpinan wilayah ataupun negara. Kampanye menjadi salah satu strategi dalam upaya

berkomunikasi dengan berbagai masyarakat pada setiap golongan tanpa terkecuali, dengan

harapan melalui kampanye elit politik yang mencalonkan diri mendapatkan dukungan untuk

memenangkan perebutan kursi jabatan yang diincar. Untuk mensukseskan hal tersebut, tim

kampanye kemudian menciptakan citra-citra yang selanjutnya dilekatkan kepada elit politik yang

dicalonkan dan selanjutnya dilekatkan pada media massa sabagai bentuk menyuksesan tujuan

dalam menkomunikasikan citra kepada masyarakat.

Gambar 1. Poster Kampanye PAN (Sumber : Internet)

A. Citra Narsisisme Politik

Sebagai salah satu upaya dalam menarik perhatian masyarakat, dalam sebuah kampanye

melalui media massa cetak para pegiat politik tentu akan membangun citra yang secara nilai

sosial dianggap baik didepan masyarakat, dengan harapan dikemudian masyarakat memilih sosok

yang dipresentasikan dalam media massa tersebut. Dalam menkonstruksi citra diri dalam

(6)

realita, bahkan bertolak belakang dengan citra yang melekat pada elit politik secara nyata,

sehingga citra benar-benar putus dengan realitas yang dilukiskan. Kesenangan melihat citra diri

ini kemudian mengarah kepada narsisisme politik. Narsisme tidak hanya diartikan sebagai

kecenderungan pencarian kepuasan seksual melalui tubuh sendiri (freud), tetapi juga segala

bentuk penyanjungan diri (self admiration ), pemuasan diri (self-satisfaction), atau pemujaan diri

(self-glorification) (eric fromm), atau segala kecenderungan melihat dunia sebagai cermin atau

proyeksi dari ketakutan dan hasrat seseorang (Tinarbuko, 2009 :10).

Narsisisme politik kemudian adalah kecenderungan pemujaan diri berlebihan para elit

politik yang membangun citra diri, meskpiun citra yang dilekatkat bukanlah citra diri yang

sebenarnya, seperti dekat dengan petani, peduli rakyat kecil, akrab dengan pedagang pasar,

manusia bertakwa, pemelihara kesatuan, pemberantas praktik korupsi, ataupun pembela nurani

bangsa. Narsisisme politik sendiri adalah cermin artifisialisme (buatan) politik. Dapat juga

dikatakan bahwa narsisisme politik cenderung kepada bentuk keseketikaan politik yang

mencurahkan citra-citra instan dan efek yang bersifat segera. Politik seduksi kemudian menjadi

ungkapan yang sering dilekatkan pada kasus – kasus seperti ini, kasus dimana para elit politik

menciptakan citra-citra semu yang lemah akan kredibilitas, untuk menkomunikasikan kepada

masyarakat akan kemampuan dan positif – positif yang dilekatkan pada dirinya, dengan harapan

mampu meyakinkan publik sasaran.

B. Simplisitas Politik Dalam Media

Era saat ini, wacana komunikasi politik tampak bergantung kepada perkembangan

tehnologi, yang mana mampu menciptakan citra visual secara instan. Melalui tehnologi, logika

yang menyampaikan citra berbau popularitas, bujuk rayu, pengelabuhan, kesenangan, adalah hal

yang menjadi output. Terlepas dari realita yang nyata, citra-citra dalam hal ini menjadi hal yang

disahkan dan dianggap memiliki kredibilitas. Berakar kepada pemahaman mengenai postmodern

oleh Aginta Hidayat dalam bukunya “ menggugat modernism”, yang menjelaskan bahwa era post

modern adalah era dimana telah lahir sebuah ruang realita yang semu, ruang yang terkonstruksi

oleh sengkarut tanda melalui media-media, ruang dimana realita semu dapat tercipta, simplisitas

(7)

persoalan, melainkan mengejar hal instan yang mengarah kepada jalan-jalan pintas, kedangkalan,

pernyataan tanpa argument, pernyataan – pernyataan yang tanpa memperdulikan krdibilitas.

Begitulah yang kemudian disebut-sebut sebagai simplisitas politik. Dalam hal ini media dalam

politik kemudian berkembang secara dangkal, dengan mengedepankan gaya dari pada substansi

(watak yang sebenarnya), citra dari pada realita, retorika dari pada realita, efek dari pada proses.

Dalam menkomunikasikan citra yang dibentuk, media adalah alat penunjang yang berperan

dalam menjembatani pemahaman audience atas gagasan atau pesan (dalam hal ini berupa citra),

dan melalui media massa lah kampanye berbicara kepada masyarakat layaknya diktator dan tanpa

timbal balik komunikasi, komunikan dipaksa untuk menerima dan menyepakati pengertian –

pengertian atas tanda dan gagasan yang disampaikan. Komunikasi satu arah ini kemudian

menjadi arus yang ditempuh oleh pelaku politik dalam menkampanyekan citra-citra yang

dibentuk secara sengaja. Beberapa media dianggap sebagai media massa ketia mampu

menyampaikan sebuah pesan secara serentak dengan cakupan yang luas (Morissan, 2013 :1).

Kemampuan yang melekat pada media ini kemudian menjadi senjata ampuh oleh elit politik

dalam menciptakan arus informasi yang kental dengan tema-tema kampanye politik. Media

massa sendiri telah dikelompokkan menjadi dua, yaitu lini atas dan lini bawah. Pengkastaan

media massa dalam hal ini dilihat dari kemampuan tiap media dalam cakupan menyebaran

informasi (Suryadi, 2011:64). Pada media lini atas terdiri TV, radio, majalah, dan Koran.

Kemudian pada media lini bawah adalah media – media dengan cakupan yang tidak seluas lini

atas, yaitu poster, billboard, sepanduk, x-banner, merchandise, dan spaduk. Penggunaan media

dalam kampanye tentu menjadi salah satu strategi dalam komunikasi pada lingkup politik.

Prioritas dalam pemilihan media apa yang akan digunakan tentu telah melalu beberapa

pertimbangan yang telah dipikirkan, dari segi keefektifan, cost, dan target audiencenya.

C. Iklan Politik Dalam Komunikasi Media Massa

Kecenderungan narsisisme, dan simplitas politik kemudian menjadi implikasi pada iklan

politik khususnya pada media cetak. Sengkarut pesan yang menyuarakan citra-citra semu

kemudian bermunculan ketika kampanye telah dimulai dalam politik pemilihan umum. Koar

tentang segala citra positif antar partai kemudian bertebaran di berbagai tempat, diberbagai sudut,

desa, kota, hingga tiap rumah. Hal ini tanpa disadari berujung pada perilaku yang bersifat

(8)

langsung dan tanpa disadari merusak nilai estetis secara visual. Hal ini terbukti pada

pemasangan-pemasangan bendera partai di berbagai wilayah. Seperti halnya yang ada pada

gambar dibawah ini.

Gambar 2. Pemasangan Bendera Partai Dalam Kampanye (Sumber : Internet)

Tidak hanya pada pada bendera partai yang memang di pasang pada berbagai wilayah saja,

namun juga pada media – media komunikasi yang berbasis cetak seperti poster, dan media luar

ruangan lainnya.

Gambar 3. Pemasangan Poster, Dan Baliho Partai Dalam Kampanye (Sumber : Internet)

Fenomena – fenomena tersebut kemudian disebut-sebut sebagai grafis kota, yang mana grafis

politik semacam itu hidup dan terus berkembang dalam kota yang kemudian seolah membabi

buta saat memasuki jadwal dimana kampanye menjadi tema. Dalam sudut pandang mengenai

iklan, grafis kota dianggap sebagai media luar ruangan.

Grafis kota dalam perannya pada kampanye seolah mengutarakan atau mempresentasikan

citra elit politik layaknya sebuah produk, yang mana dirancang secara menarik dan estetis, secara

tematis, dan komunikatif, dengan maksud secara pragmatis mempromosikan sebuah layanan jasa

kepada audiencenya dalam suatu wilayah. Berbagai tehnik digunakan agar mampu menciptakan

tanda-tanda yang mampu menkontruksi citra-citra yang dapat diserap dan diterima oleh

(9)

kota dalam kampanye politik mengakulturasikan berbagai isu yang menjadi kearifan lokal pada

daerah-daerah tertentu.

Gambar 3. Poster Perubahan Citra (Sumber : Internet)

Dilekatkannya kearifan lokal pada suatu kampanye politik pada perancangan pesan media, tentu

secara semiotis bermaksud menciptakan citra sang elit politik yang mana “agar tampak

berbudaya” menjadi salah satu gagasan yang ingin dicurahkan. Jika berbicara komunikasi, hal ini

tentu menerapkan teori kultivasi dengan tujuan menciptakan efek pada ingatan publik sasaran.

D. Etika Komunikasi

Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu sistem atau nilai yang mengatur tentang

tata cara manusia bergaul. Tata cara pergaulan untuk saling menghormati biasa kita kenal dengan

sebutan sopan santun, tata krama, dan lain-lain. Tata cara pergaulan bertujuan untuk menjaga

kepentingan komunikator dengan komunikan agar merasa senang, tentram, terlindungi tanpa ada

pihak yang dirugikan kepentingannya dan perbuatan yang dilakukan sesuai dengan adat

kebiasaan yang berlaku serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia secara umum. Tata

cara pergaulan, aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam bermasyarakat dan menentukan

nilai baik dan nilai tidak baik, dinamakan etika. Istilah etika berasal dari kata ethikus (latin) dan

dalam bahasa Yunani disebut ethicos yang berarti kebiasaan norma-norma, nilai-nilai,

kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran baik dan buruk tingkah laku manusia. Jadi, etika komunikasi adalah

norma, nilai, atau ukuran tingkah laku baik dalam kegiatan komunikasi di suatu masyarakat.

Etika pada akhirnya adalah bagaimana seharusnya seseorang menentukan sikap dalam

berperilaku. Etika kemudian menciptakan sekat pada ruang kehidupan, yang kemudian

memisahkan ruang-ruang kebebasan berperilaku secara berbeda-beda. Melalui etika profesi etika

membatasi ruang prilaku, tidak mungkin perilaku dirumah kemudian diterapkan dalam lingkup

(10)

aturan – aturan yang mengatur manusia dalam berperilaku. Etika agama, maka nilai-nilai

agamalah yang kemudian mengatur manusia sebagai pengikut agama. Etika ekonomi, tentu

didalamnya ada etiket ekonomi yang mengatur perilaku ekonomi. Begitu pula etika politik dan

juga sosial. Terlepas dari cara berfikir post modern, etika kemudian secara tidak langsung mempu

dijadikan hakim dalam keputusan baik buruk dan benar salah pada sebuah perilaku dalam

konteks apapun yang tentu berdasarkan etiket dalam konteks tersebut. Etika kemudian

dikelompokkan sebagai berikut :

1) Etika Deskriptif

Merupakan usaha menilai tindakan atau perilaku berdasarkan pada ketentuan atau norma

baik buruk yang tumbuh dalam kehidupan bersama di dalam masyarakat. Kerangka etika ini pada

hakikatnya menempatkan kebiasaan yang sudah ada di dalam masyarakat sebagai acuan etis.

Suatu tindakan seseorang disebut etis atau tidak, tergantung pada kesesuaiannya dengan yang

dilakukan kebanyakan orang.

2) Etika Normatif

Etika yang didalamnya mempelajari dan memberikan penilaian suatu tindakan etis atau

tidak, tergantung dengan kesesuaiannya terhadap norma-norma yang sudah dibakukan dan

disepakati dalam suatu masyarakat. Norma rujukan yang digunakan untuk menilai tindakan

wujudnya bisa berupa tata tertib, dan juga kode etik profesi.

Menurut John C. Merill Dalam Triyanto (2006:26) menguraikan adanya berbagai aliran

etika yang dapat digunakan sebagai standar menilai tindakan etis, antara lain sebagai berikut:

a) Aliran Deontologis

Deon berasal dari bahasa Yunani yaitu “yang harus atau wajib” melakukan penilaian atas

tindakan dengan melihat tindakan itu sendiri, artinya suatu tindakan secara hakiki mengandung

nilai sendiri apakah baik atau buruk. Kriteria etis ditetapkan langsung pada jenis tindakan itu

sendiri ada tindakan atau perilaku yang langsung dikategorikan baik, tetapi juga ada perilaku

yang langsung dinilai buruk. Misalnya perbuatan mencuri, memfitnah, mengingkari janji.

Adapun alasannya perbuatan itu tetap dinilai sebagai perbuatan yang tidak etis dengan demikian

ukuran dari tindakan ada didalam tindakan itu sendiri.

(11)

Aliran ini melihat nilai etis bukan pada tindakan itu sendiri, tetapi dilihat dari tujuan atas

tindakan itu. Jika tujuannya baik, dalam arti sesuai dengan norma moral, maka tindakan itu

digolongkan sebagai tindakan etis.

c) Aliran Etika Egoisme

Aliran ini menetapkan norma moral pada akibat yang diperoleh oleh pelakunya sendiri.

Artinya, tindakan diketegorikan etis atau baik, apabila menghasilkan yang terbaik bagi diri

sendiri.

d) Aliran Etika Utilitarisme

Aliran yang memandang suatu tindakan itu baik jika akibatnya baik bagi orang banyak.

Dengan demikian, tindakan itu tidak diukur berdasarkan kepentingan subyektif individu,

melainkan secara obyektif pada masyarakat umum. Semakin universal akibat baik dari tindakan

itu, maka dipandang semakin etis.

E. Kampanye Politik Dalam Etika Komunikasi

Kampanye sebagai salah satu bentuk perilaku dalam kegiatan politik, menjadi salah satu

sorotan dalam politik pemilihan calon pemeran untuk jabatan dalam kepemerintahan. Sengkarut

koar – koar bujukan bertema kampanye kemudian dianggap sebagai perang perebutan

kepercayaan, agar kemudian masyarakat sebagai audience atau publik sasaran memberikan

suaranya dalam sebuah pemilihan. Melakukan berbagai cara dalam berkomunikasi dengan rakyat

kemudian dipilih dan dianggap sebagai salah satu solusi, mulai dari pendekatan secara personal,

melalui media massa, ataupun melalui media sosial (new media). Berkomunikasi dengan

masyarakat sebagai publik sasaran oleh elit politik kemudian menjadi hal yang utama, demi

mendapatkan suara sebagai dukungan agar memenangkan kompetisi politik. Tidak heran jika

kemudian terdapat pemasangan – pemasangan media luar ruangan pada tempat – tempat yang

memiliki kapasitas keramaian tinggi. Pesan yang dilekatkan pun tentu memuat citra-citra positif

yang dikonstruksi seolah melekat kepada kepribadian tokoh elit politik yang diusung dalam

sebuah kampanye politik, dan dengan cara menyerap nilai-nilai narsisisme kemudian secara

visual citra personal elit politik dikemas dan kemudian dilekatkan dalam pesan pada media luar

ruangan. Gairah kampanye demi merangkul banyak suara oleh pegiat politik kemudian

menstimuli adanya perilaku unik kaitannya dalam proses publikasi. Pemasangan media secara

(12)

dituding sebagai yang sering merasakan rugi. Kecenderungan para pengiklan untuk melakukan

pelanggaran atas peraturan yang melegalkan secara formal mengenai pemasangan media

publikasi pada titik – titik tertentu sering kali terjadi. Ruang publik yang pada dasarnya menjadi

hak publik tidak jarang kemudian dikuasai oleh media – media massa yang digunakan dalam

berkomunikasi, mulai dar billboard, umbul-umbul, sepanduk, poster,dan banner. Berkurangnya

nilai estetik pada wilayah tertentu, atau turunnya velue pada tempat-tempat terntu seringkali

menjadi dampak visual yang tanpa disadari merugikan.

Gambar 4. Pemasangan Bendera PDI di Salatiga (Sumber : Internet)

Contoh, pemasangan media kampanye secara hiperbolis pada wilayah monument –

monument yang memiliki nilai atau velue sejarah dan menjadi ikon sebuah wilayah misalnya,

tentu tanpa disadari mengurangi citra (wibawa) yang melekat pada monument tersebut. Tidak

jarang ruang publik menjadi korban atas adanya pemasangan – pemasangan media kampanye

politik yang secara tidar teratur, dan selanjutnya citra semrawut kemudian timbul sebagai dampak

oleh perilaku kampanye politik dalam suatu daerah. Seolah menjadi buta akan nilai setetika,

pemasangan-pemasangan media kampanye politik kemudian terjadi begitu saja, dengan dasar

mementingkan tujuan utama dalam politik pemilihan, yaitu mendapatkan dukungan suara

sebanyak-banyaknya untuk memenangkan kompetisi politik.

Jika dipandang dari sudut etika normatif, hal ini tentu menjadi hal yang dapat dinilai

benar atau salah, bahkan baik atau pun buruk. Etika normatif membentuk ruang yang

(13)

secara sadar, kaitanya dengan profesi misalnya, perancang pesan menkonstruksi citra-citra semu

yang tanpa bisa diketahui kesesuaiannya dengan citra nyata pada sebuah pesan dalam iklan

kampanye politik, bukan menjadi hal yang salah. Hal ini disebabkan karena perancang sebagai

profesi memang harus bekerja secara professional dan sesuai standar operasional yang ada.

Pada etika yang berlandaskan aliran Aliran Deontologis yang mana berpengertian bahwa

suatu tindakan secara hakiki mengandung nilai sendiri apakah baik atau buruk. Kriteria etis

ditetapkan langsung pada jenis tindakan itu sendiri ada tindakan atau perilaku yang langsung

dikategorikan baik, tetapi juga ada perilaku yang langsung dinilai buruk. Misalnya perbuatan

mencuri, memfitnah, menging kari janji. Adapun alasannya perbuatan itu tetap dinilai sebagai

perbuatan yang tidak etis dengan demikian ukuran dari tindakan ada didalam tindakan itu sendiri,

maka perilaku komunikasi politik ini bukan menjadi hal yang buruk jika dibenturkan dengan

adanya kepentingan politik,. namun menjadi hal yang buruk jika dipandang melalui sudut

pandang sosial, dan yang dipandang adalah sebatas sebatas pada peningkatan citra yang belum

jelas kesuaiannya dengan citra nyata, yang kemudian hal ini mampu dianggap sebagai sebuah

kebohongan. Berbeda halnya ketika fenomena komunikasi melalui perilaku kampanye dipandang

berlandaskan etika aliran teologis, yang mana menjelaskan bahwa etis atau tidak sebuah tindakan

berdasarkan tujuan dari tindakan itu sendiri. Kampanye pada dasarnya adalah upaya yang

dilakukan dalam rangka membujuk masyarakat agar kemudian percaya dan memberikan suara

sebagai dukungan. Tujuan terpuncak dari kampanye adalah memenangkan kompetisi politik,

yaitu perebutan sebuah jabatan oleh elit politik dan partai. Ketika politik adalah satu-satunya

ruang dalam penilaian mengenai perilaku kampanye ini, maka bukan menjadi hal yang tidak etis.

Ruang dan lingkup sebatas kepada kandang politik. tidak berhenti sampai disitu, aliran Etika

Egoisme pun menjadi sudut pandang dalam menilai perilaku kampanye politik. dalam aliran yang

menjelaskan bahwa tindakan diketegorikan etis atau baik, apabila menghasilkan yang terbaik

bagi diri sendiri. Fenomena komunikasi diatas tentu menjadi hal yang sesuai dengan etika aliran

ini. Kemenangan adalah tujuan dari sebuah kampanye politik dalam lingkup politik. dan hal

tersebut kemudian dianggap baik tentunya oleh pribadi yang memenangkan kompetisi politik

tersebut. Fenomena komunikasi diatas kemudian menjadi hal yang buruk ketika dibenturkan

dengan sudut pandang yang ada pada aliran etika utilitarisme, yang mana didalamnya

menjelaskan bahwa suatu tindakan itu baik jika akibatnya baik bagi orang banyak. Dengan

(14)

secara obyektif pada masyarakat umum. Semakin universal akibat baik dari tindakan itu, maka

dipandang semakin etis. Mengingat efek dari perilaku komunikasi yang telah dijelaskan diatas

pada akhirnya tanpa disadari merugikan publik kaitannya dengan ruang publik.

Jika menjadi sebuah aturan mengenai prilaku publikasi atas media-media komunikasi

yang dirancang kaitannya dalam pemasangan pada tempat-tempat terntu haruslah menggunakan

ijin kepada pihak yang terkait, tentu hal tersebut menjadi hal yang mengatur sebagai kode etik.

Penutup

Komunikasi adalah hal yang pasti terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Politik sebagai hal

yang ada dalam kehidupan tidak akan pernah mampu berdiri dan tumbuh tanpa komunikasi.

Komunikasi dalam hal ini tentu mengendepankan citra yang kesesuaiannya dengan citra nyata

tidak memiliki kejelasan. Pembangunan citra – citra positif berdasarkan pemahaman mengenai

narsisisme politik dan simplisitas dalam pewujudan pesan yang kemudian dilekatkan pada media

komunikasi massa tentu menjadi salah satu strategi dalam komunikasi politik dalam bentuk

kampanye. Konstruksi tanda pada pesan dalam media kemudian menjadi hal yang sangat

diperhatikan. Ruang publik adalah sebuah celah yang memang dapat digunakan dalam

pemasangan media-media komunikasi massa, khususnya kampanye. Dalam komunikasi politik

khususnya kampanye politik pemilihan umum melalui media luar ruangan, konflik terbesar

adalah ruang publik. Ruang publik yang seharusnya menjadi hak warga setempat menjadi

dikuasai oleh tonggak – tonggak pohon pesan yang berbentuk billboard, baliho, poster, spanduk,

dan lain-lain. Seolah hak atas ruang public terampas oleh prilaku kampanye.

Akan menjadi baik jika ada sistim yang kemudian mengatur kaitannya dengan

penggunaan ruang publik dalam kampanye. Jika sudah ada, menjadi lebih baik ketika

pemasangan atribut kampanye kemudian ditata sehingga tidak lagi menimbulkan kesemrawutan

pesan, dan media yang digunakan dalam berkomunikasi dalam kampanye yang kemudian mampu

menciptakan efek estetik pada tata kota sebagaimana seharusnya. Bukan menjadi sebuah hal yang

(15)

Daftar Pustaka

Edi Sugiarto. 2010. Macam-macam media grafis.

http://educationtechnologica.blogspot.com. Selasa, 24 mei 2011.

Firth, R.: Symbols, Public and Private. Cornell University press, 1973.

Fitri, R.: Symbol, Public and Private. Cornell University Press,: Oxford 1985

Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta :Erlangga.

Kusrianto, Adi. 2007. Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta : ANDI.

Kennedy, John. E. 2008. Simple, Clear, Economic ‘Seri Marketing Comunication’.

Jakarta:PT.Bhuana Ilmu Populer.

Klimchuk, Marianne Rosner & Krasovec, Sandra A. 2007. Desain Kemasan :

Perencanaan Merk Produk yang Berhasil Mulai dari Konsep sampai Penjualan.

Translated by Bob Sabran, MM. 2006. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Tinarbuko, S. 2009 Iklan Politik Dapalm Realita Media. Jogjakarta : Jalasutra

Kotler, Philip and Keller, Kevin Lene.2009 .Manajemen Pemasaran. Transleted Bob

Sabran, MM. 2006. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kotler dan amstrong, (terjemahan Alexender Sindoro), 2000, Dasar-dasar Pemasaran ,

Prehalindo, Jakarta.

Masry, Andry. 2010. Strategi Visual. Yogyakarta: Jalasutra

Permana, 2011. Sekilas tentang Desain Grafis. Http:// V –mundi .blogspot. com .

(16)

Rangkuti, Freddy. 2009. Strategi Promosi yang Kreatif dan Analisis Kasus Integrated

Marketing. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gambar

Gambar 1. Poster Kampanye PAN (Sumber : Internet)
gambar dibawah ini.
Gambar 3. Poster Perubahan Citra (Sumber : Internet)
Gambar 4. Pemasangan Bendera PDI di Salatiga (Sumber : Internet)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal ini dihasilkan kesimpulan bahwa deteksi tepi dengan metode Canny menghasilkan tepian citra yang lebih optimal dibandingkan Robert dan Sobel .Penelitian lain

The purpose of teaching of writing comparison and contrast essay using ICT Graphic Organizer is to help students better understand a subject we are studying

berbagai cara; (5) melibatkan berbagai pihak yang dipandang perlu dan berkepentingan secara proaktif (partisipatif); (6) pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan

Mani beye yewemoi impa aye dobe ae impa waodani keweñomo impa, Omakaweno, dobe yewemoi impa ébano neente kiwiginani ante ñanonte mongi beye, godomenke odomo ate wadepo

1 1 Gambar ilustrasi yang terdapat dalam komik menarik 4 2 Saya merasa lebih menarik belajar menggunakan media komik 3 3 Dengan membaca media komik dapat menambah pengetahuan

Sistem yang berlaku adalah sistem borongan, dalam hal ini upah dihitung berdasarkan banyaknya pekerjaan penyusunan kayu yang bisa dilakukan oleh karyawan selama jam kerja (1

9.1 Ringkasan Sebut Harga hendaklah menjadi sebahagian daripada Borang Sebut Harga ini dan hendaklah menjadi asas Jumlah Harga Sebut Harga. 9.2 Harga-harga dalam Ringkasan Sebut

Sesudah tiang uji dipersiapkan ( dipancang atau dicor ), perlu ditunggu terlerbih dahulu selama 7 hingga 30 hari sebelum tiang dapat diuji. Hal ini penting untuk memungkinkan