IKLAN POLITIK DALAM MEDIA MASA :
Citra Dalam Kampanye Politik Dan Etika Publikasi Pada Media Luar Ruangan (Outdoor)Oleh : Wisnu Kismoro
Abstrak
Politik adalah salah satu hal yang tidak pernah lepas dari kegiatan komunikasi,
khususnya dalam sebuah kegiatan yang sering disebut-sebut sebagai pemilihan umum. seolah
menjadi sebuah peperangan, kampanye dalam pemilihan umum atas sebuah partai yang
mengusung elit politik sebagai calon kandidat terkoar-koar dimana-mana, dalam kampanye
menggunakan media massa lini bawah, berbagai tehnik melalui tehnologi menciptakan citra –
citra positif yang kemudian dilekatkan pada elit politik yang diusung sebagai calon. Dalam hal
tersebut, tidak lepas dari narsisisme dan simplisitas politik, yang mana mampu memberikan
segala aspek yang berkaitan dengan citra secara instan dan sesegera mungkin, dengan harapan
menjadi daya tarik dan mampu merangkul kepercayaan masyarakat. Pemasangan media-media
komunikasi massa kemudian menjadi hal harus dipikirkan. Ketika dalam pemasangan media
sering kali dilakukan secara asal-asalan dan merugikan public kaitannya dengan ruang yang
menjadi hak publik. Apakah hal semacam itu kemudian menjadi hal yang baik dan benar ?
Seperti apa konstruksi citra dalam kampanye politik ?, apakah hal tersebut menjadi sebuah
kesalahan dalam berkomunikasi dalam politik ?, apakah hal tersebut menjadi hal yang baik
ataupun benar dalam komunikasi kepada masyarakat ? siapa saja yang diuntungkan dan
dirugikan kaitannya dalam komunikasi seperti hal tersebut ?, pertanyaan – pertanyaan tersebut
Pendahuluan
Setiap lima tahun sekali, pergantian presiden menjadi hal yang terjadi di negara ini.
Pergantian-pergantian posisi jabatan oleh kalangan tertentu seperti presiden, gubernur, DPR, dan
sebagainya tanpa disadari menjadi budaya politik dalam Negara ini, mengingat hal ini selalu
terjadi dan berulang-ulang, sehingga tanpa disadari pun menjadi sebuah kebiasaan politik.
Demokrasi seolah adalah pelaku yang membentuk terjadinya sistim kepemerintahan yang harus
bergonta-ganti pemeran. Demokrasi tidak jarang dituding-tuding sebagai akar dari adanya
pemerintahan yang bergonta-ganti pemeran yang dalam fenomenanya bukan berdasarkan
keturunan (sistim kekerajaan), melainkan berdasarkan siapa yang dipilih oleh rakyat dalam suatu
Negara. Rakyat kemudian menjadi hakim dalam penentuan siapa yang akan dipantaskan menjadi
pemeran untuk jabatan-jabatan yang ada dalam opera politik Negara. Kemenangan yang didapat
oleh tiap calon pemeran pimpinan dalam politik pun kemudian ditentukan oleh suara rakyat yang
tanpa membedakan status intelektual, dan dalam perhitungannya dilihat berdasarkan presentase
mana suara termayor dan mana suara minor. Kondisi ini kemudian memicu sebuah fenomena
yang jika disebut secara konotatif dapat dikatakan sebagai perang perebutan suara rakyat dalam
politik perebutan kursi kepemimpinan, hal ini kemudian dikonotasikan menjadi sebuah kompetisi
pilitik pemilihan. Kampanye, sebuah nama yang dilekatkan kepada suatu kegiatan yang
didalamnya dilakukan oleh pegiat – pegiat elit politik. Kampanyelah wadah yang mampu
menampung segala aspek yang menjadi output atas hasil berpikir para elit politik, dalam
kampanye inilah para elit politi mencurahkan perhatian, pikiran, dan energinya untuk
mensukseskan tujuan kampanye, yang kemudian pembangunan citra menjadi langkah awal yang
akan dilakukan. Pembangunan citra dalam kampanye politik pada kemudian seringkali
menggunakan tanda-tanda yang mampu menciptakan nilai positif pada figur yang dipresentasikan
dalam kampanye. Tidak hanya itu, penggunaan – penggunaan bahasa pun kemudian dirancang
secara hiperbolis sesuai kebudayaan yang melekat pada lingkup masyarakat yang dijadikan
target. Suatu contoh pada iklan politik Jokowi –JK sebelum menjadi presiden, tagline satrio
piningit dilekatkan pada berbagai bentuk kampanye yang ada diwilayah – wilayah dalam pulau
jawa oleh tim kampanye.
Suara rakyat menjadi hal yang harus didapat oleh tim – tim dari berbagagai partai yang
kepemerintahan negara, merangkul ataupun membujuk kemudian menjadi prioritas oleh tim
sukses dalam proses berkampanye. Menjadi sebuah permasalahan ketika dalam suatu daerah
tertentu masyarakat sebagai calon pemilih tidak mengenal siapa yang sedang mencalonkan diri
dan kemudian akan dipilih, sedangkan pemenang dalam sebuah pemilihan ditentukan oleh suara
pemilih yang bersifat mayor. Menkomunikasikan sosok yang menjadi calon adalah hal yang
kemudian harus dilakukan oleh tim sukses dalam kampanye, yang mana seringkali tim akan
menggunakan segala cara dan media untuk menkomunikasikan personalia yang akan menjadi
calon. Komunikasi satu arah adalah arus besar yang sering diciptakan oleh tim dalam
menkomunikasikan profil calon yang diusung. Melalui media komunikasi massa yang digunakan
sebagai jembatan dalam penyampaian pesan, media ini dipaksa untuk mempresentasikan berbagai
citra personal yang menjadi calon dalam pemilihan. Dalam pemilihan media apa yang digunakan,
tim tentu memiliki prioritas pemakaian yang didasarkan pada target audience, wilayah, dan
kebutuhan akan media yang akan digunakan dalam menkomunikasikan citra atas calon yang
diusung. Dalam pewujudan hal tersebut kemudian elektronik sebagai tehnologi, diperankan
sebagai alat untuk menyihir pesan bercitra, dan pesan yang dihasilkan seringkali bersifat fiktif.
Dalam perkembangan era informasi saat ini, pembentukan citra seorang tokoh dalam politik,
sering kali terlepas dari kecakapan, kepemimpinan, dan prestasi politik yang dimilikinya. Melalui
tehnologi, pesan sering kali dirancang atau dikonstruksi dalam bentuk yang bersifat manipulatif.
Melalui hal ini kemudian politik bergeser menjadi politik pencitraan, yang dalam perilakunya
lebih kepada mengutamakan perayaan citra dari pada kompetensi politik. Kemampuan tehnologi
dalam menciptakan realita semu, saat ini menghanyutkan para elit politik dalam hasrat atau
gairah menkonstruksi citra diri. Narsistik menjadi salah satu citra politik yang sering muncul
dalam realita media massa dalam kampanye khususnya pada media cetak. Sebuah citra pada
media cetak sering kali dikonstruksi melalui disiplin ilmu perancangan komunikasi visual,
didalam media yang dirancang seringkali mempresentasikan sisi positif yang seolah memang
melekat pada kepribadian tokoh yang ada dalam media massa.
Dalam kampanye politik dinegara ini, tim sebagai mengusung elit politik yang
mencalonkan diri sebagai kandidat suatu pemilihan umum berlomba-lomba dalam menyuarakan
citra dan nama elit politik dan partai yang menjunjungnya, sehingga tidak jarang tim kampanye
melakukan promosi seolah – olah elit politik adalah sebuah produk yang harus dipercaya untuk
massa pada lingkup-lingkup keramaian, bahkan seringkali tidak beraturan. Pemasangan bendera
partai, poster, hingga billboard, sering kali dilakukan secara asal asalan yang kemudian jika
dipandang tentu mengurangi estetis yang melekat pada suatu wilayah. Apakah hal semacam itu
kemudian menjadi hal yang baik dan benar ? Seperti apa konstruksi citra dalam kampanye politik
?, apakah hal tersebut menjadi sebuah kesalahan dalam berkomunikasi dalam politik ?, apakah
hal tersebut menjadi hal yang baik ataupun benar dalam komunikasi kepada masyarakat ? siapa
saja yang diuntungkan dan dirugikan kaitannya dalam komunikasi seperti hal tersebut ?,
penulisan ini berangkat dari fakta empirik yang melekat pada media-media massa lini bawah
(berbasis cetak) yang digunakan dalam berkampanye seperti billboard, poster, spanduk, dan lain
Pembahasan
Kampanye adalah sebuah cara dalam berkomuniksai kepada masyarakat. Melalui
kampanyelah masyarakat dikenalkan dengan bergabagai individu yang mencalonkan diri sebagai
pimpinan-pimpinan wilayah ataupun negara. Kampanye menjadi salah satu strategi dalam upaya
berkomunikasi dengan berbagai masyarakat pada setiap golongan tanpa terkecuali, dengan
harapan melalui kampanye elit politik yang mencalonkan diri mendapatkan dukungan untuk
memenangkan perebutan kursi jabatan yang diincar. Untuk mensukseskan hal tersebut, tim
kampanye kemudian menciptakan citra-citra yang selanjutnya dilekatkan kepada elit politik yang
dicalonkan dan selanjutnya dilekatkan pada media massa sabagai bentuk menyuksesan tujuan
dalam menkomunikasikan citra kepada masyarakat.
Gambar 1. Poster Kampanye PAN (Sumber : Internet)
A. Citra Narsisisme Politik
Sebagai salah satu upaya dalam menarik perhatian masyarakat, dalam sebuah kampanye
melalui media massa cetak para pegiat politik tentu akan membangun citra yang secara nilai
sosial dianggap baik didepan masyarakat, dengan harapan dikemudian masyarakat memilih sosok
yang dipresentasikan dalam media massa tersebut. Dalam menkonstruksi citra diri dalam
realita, bahkan bertolak belakang dengan citra yang melekat pada elit politik secara nyata,
sehingga citra benar-benar putus dengan realitas yang dilukiskan. Kesenangan melihat citra diri
ini kemudian mengarah kepada narsisisme politik. Narsisme tidak hanya diartikan sebagai
kecenderungan pencarian kepuasan seksual melalui tubuh sendiri (freud), tetapi juga segala
bentuk penyanjungan diri (self admiration ), pemuasan diri (self-satisfaction), atau pemujaan diri
(self-glorification) (eric fromm), atau segala kecenderungan melihat dunia sebagai cermin atau
proyeksi dari ketakutan dan hasrat seseorang (Tinarbuko, 2009 :10).
Narsisisme politik kemudian adalah kecenderungan pemujaan diri berlebihan para elit
politik yang membangun citra diri, meskpiun citra yang dilekatkat bukanlah citra diri yang
sebenarnya, seperti dekat dengan petani, peduli rakyat kecil, akrab dengan pedagang pasar,
manusia bertakwa, pemelihara kesatuan, pemberantas praktik korupsi, ataupun pembela nurani
bangsa. Narsisisme politik sendiri adalah cermin artifisialisme (buatan) politik. Dapat juga
dikatakan bahwa narsisisme politik cenderung kepada bentuk keseketikaan politik yang
mencurahkan citra-citra instan dan efek yang bersifat segera. Politik seduksi kemudian menjadi
ungkapan yang sering dilekatkan pada kasus – kasus seperti ini, kasus dimana para elit politik
menciptakan citra-citra semu yang lemah akan kredibilitas, untuk menkomunikasikan kepada
masyarakat akan kemampuan dan positif – positif yang dilekatkan pada dirinya, dengan harapan
mampu meyakinkan publik sasaran.
B. Simplisitas Politik Dalam Media
Era saat ini, wacana komunikasi politik tampak bergantung kepada perkembangan
tehnologi, yang mana mampu menciptakan citra visual secara instan. Melalui tehnologi, logika
yang menyampaikan citra berbau popularitas, bujuk rayu, pengelabuhan, kesenangan, adalah hal
yang menjadi output. Terlepas dari realita yang nyata, citra-citra dalam hal ini menjadi hal yang
disahkan dan dianggap memiliki kredibilitas. Berakar kepada pemahaman mengenai postmodern
oleh Aginta Hidayat dalam bukunya “ menggugat modernism”, yang menjelaskan bahwa era post
modern adalah era dimana telah lahir sebuah ruang realita yang semu, ruang yang terkonstruksi
oleh sengkarut tanda melalui media-media, ruang dimana realita semu dapat tercipta, simplisitas
persoalan, melainkan mengejar hal instan yang mengarah kepada jalan-jalan pintas, kedangkalan,
pernyataan tanpa argument, pernyataan – pernyataan yang tanpa memperdulikan krdibilitas.
Begitulah yang kemudian disebut-sebut sebagai simplisitas politik. Dalam hal ini media dalam
politik kemudian berkembang secara dangkal, dengan mengedepankan gaya dari pada substansi
(watak yang sebenarnya), citra dari pada realita, retorika dari pada realita, efek dari pada proses.
Dalam menkomunikasikan citra yang dibentuk, media adalah alat penunjang yang berperan
dalam menjembatani pemahaman audience atas gagasan atau pesan (dalam hal ini berupa citra),
dan melalui media massa lah kampanye berbicara kepada masyarakat layaknya diktator dan tanpa
timbal balik komunikasi, komunikan dipaksa untuk menerima dan menyepakati pengertian –
pengertian atas tanda dan gagasan yang disampaikan. Komunikasi satu arah ini kemudian
menjadi arus yang ditempuh oleh pelaku politik dalam menkampanyekan citra-citra yang
dibentuk secara sengaja. Beberapa media dianggap sebagai media massa ketia mampu
menyampaikan sebuah pesan secara serentak dengan cakupan yang luas (Morissan, 2013 :1).
Kemampuan yang melekat pada media ini kemudian menjadi senjata ampuh oleh elit politik
dalam menciptakan arus informasi yang kental dengan tema-tema kampanye politik. Media
massa sendiri telah dikelompokkan menjadi dua, yaitu lini atas dan lini bawah. Pengkastaan
media massa dalam hal ini dilihat dari kemampuan tiap media dalam cakupan menyebaran
informasi (Suryadi, 2011:64). Pada media lini atas terdiri TV, radio, majalah, dan Koran.
Kemudian pada media lini bawah adalah media – media dengan cakupan yang tidak seluas lini
atas, yaitu poster, billboard, sepanduk, x-banner, merchandise, dan spaduk. Penggunaan media
dalam kampanye tentu menjadi salah satu strategi dalam komunikasi pada lingkup politik.
Prioritas dalam pemilihan media apa yang akan digunakan tentu telah melalu beberapa
pertimbangan yang telah dipikirkan, dari segi keefektifan, cost, dan target audiencenya.
C. Iklan Politik Dalam Komunikasi Media Massa
Kecenderungan narsisisme, dan simplitas politik kemudian menjadi implikasi pada iklan
politik khususnya pada media cetak. Sengkarut pesan yang menyuarakan citra-citra semu
kemudian bermunculan ketika kampanye telah dimulai dalam politik pemilihan umum. Koar
tentang segala citra positif antar partai kemudian bertebaran di berbagai tempat, diberbagai sudut,
desa, kota, hingga tiap rumah. Hal ini tanpa disadari berujung pada perilaku yang bersifat
langsung dan tanpa disadari merusak nilai estetis secara visual. Hal ini terbukti pada
pemasangan-pemasangan bendera partai di berbagai wilayah. Seperti halnya yang ada pada
gambar dibawah ini.
Gambar 2. Pemasangan Bendera Partai Dalam Kampanye (Sumber : Internet)
Tidak hanya pada pada bendera partai yang memang di pasang pada berbagai wilayah saja,
namun juga pada media – media komunikasi yang berbasis cetak seperti poster, dan media luar
ruangan lainnya.
Gambar 3. Pemasangan Poster, Dan Baliho Partai Dalam Kampanye (Sumber : Internet)
Fenomena – fenomena tersebut kemudian disebut-sebut sebagai grafis kota, yang mana grafis
politik semacam itu hidup dan terus berkembang dalam kota yang kemudian seolah membabi
buta saat memasuki jadwal dimana kampanye menjadi tema. Dalam sudut pandang mengenai
iklan, grafis kota dianggap sebagai media luar ruangan.
Grafis kota dalam perannya pada kampanye seolah mengutarakan atau mempresentasikan
citra elit politik layaknya sebuah produk, yang mana dirancang secara menarik dan estetis, secara
tematis, dan komunikatif, dengan maksud secara pragmatis mempromosikan sebuah layanan jasa
kepada audiencenya dalam suatu wilayah. Berbagai tehnik digunakan agar mampu menciptakan
tanda-tanda yang mampu menkontruksi citra-citra yang dapat diserap dan diterima oleh
kota dalam kampanye politik mengakulturasikan berbagai isu yang menjadi kearifan lokal pada
daerah-daerah tertentu.
Gambar 3. Poster Perubahan Citra (Sumber : Internet)
Dilekatkannya kearifan lokal pada suatu kampanye politik pada perancangan pesan media, tentu
secara semiotis bermaksud menciptakan citra sang elit politik yang mana “agar tampak
berbudaya” menjadi salah satu gagasan yang ingin dicurahkan. Jika berbicara komunikasi, hal ini
tentu menerapkan teori kultivasi dengan tujuan menciptakan efek pada ingatan publik sasaran.
D. Etika Komunikasi
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu sistem atau nilai yang mengatur tentang
tata cara manusia bergaul. Tata cara pergaulan untuk saling menghormati biasa kita kenal dengan
sebutan sopan santun, tata krama, dan lain-lain. Tata cara pergaulan bertujuan untuk menjaga
kepentingan komunikator dengan komunikan agar merasa senang, tentram, terlindungi tanpa ada
pihak yang dirugikan kepentingannya dan perbuatan yang dilakukan sesuai dengan adat
kebiasaan yang berlaku serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia secara umum. Tata
cara pergaulan, aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam bermasyarakat dan menentukan
nilai baik dan nilai tidak baik, dinamakan etika. Istilah etika berasal dari kata ethikus (latin) dan
dalam bahasa Yunani disebut ethicos yang berarti kebiasaan norma-norma, nilai-nilai,
kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran baik dan buruk tingkah laku manusia. Jadi, etika komunikasi adalah
norma, nilai, atau ukuran tingkah laku baik dalam kegiatan komunikasi di suatu masyarakat.
Etika pada akhirnya adalah bagaimana seharusnya seseorang menentukan sikap dalam
berperilaku. Etika kemudian menciptakan sekat pada ruang kehidupan, yang kemudian
memisahkan ruang-ruang kebebasan berperilaku secara berbeda-beda. Melalui etika profesi etika
membatasi ruang prilaku, tidak mungkin perilaku dirumah kemudian diterapkan dalam lingkup
aturan – aturan yang mengatur manusia dalam berperilaku. Etika agama, maka nilai-nilai
agamalah yang kemudian mengatur manusia sebagai pengikut agama. Etika ekonomi, tentu
didalamnya ada etiket ekonomi yang mengatur perilaku ekonomi. Begitu pula etika politik dan
juga sosial. Terlepas dari cara berfikir post modern, etika kemudian secara tidak langsung mempu
dijadikan hakim dalam keputusan baik buruk dan benar salah pada sebuah perilaku dalam
konteks apapun yang tentu berdasarkan etiket dalam konteks tersebut. Etika kemudian
dikelompokkan sebagai berikut :
1) Etika Deskriptif
Merupakan usaha menilai tindakan atau perilaku berdasarkan pada ketentuan atau norma
baik buruk yang tumbuh dalam kehidupan bersama di dalam masyarakat. Kerangka etika ini pada
hakikatnya menempatkan kebiasaan yang sudah ada di dalam masyarakat sebagai acuan etis.
Suatu tindakan seseorang disebut etis atau tidak, tergantung pada kesesuaiannya dengan yang
dilakukan kebanyakan orang.
2) Etika Normatif
Etika yang didalamnya mempelajari dan memberikan penilaian suatu tindakan etis atau
tidak, tergantung dengan kesesuaiannya terhadap norma-norma yang sudah dibakukan dan
disepakati dalam suatu masyarakat. Norma rujukan yang digunakan untuk menilai tindakan
wujudnya bisa berupa tata tertib, dan juga kode etik profesi.
Menurut John C. Merill Dalam Triyanto (2006:26) menguraikan adanya berbagai aliran
etika yang dapat digunakan sebagai standar menilai tindakan etis, antara lain sebagai berikut:
a) Aliran Deontologis
Deon berasal dari bahasa Yunani yaitu “yang harus atau wajib” melakukan penilaian atas
tindakan dengan melihat tindakan itu sendiri, artinya suatu tindakan secara hakiki mengandung
nilai sendiri apakah baik atau buruk. Kriteria etis ditetapkan langsung pada jenis tindakan itu
sendiri ada tindakan atau perilaku yang langsung dikategorikan baik, tetapi juga ada perilaku
yang langsung dinilai buruk. Misalnya perbuatan mencuri, memfitnah, mengingkari janji.
Adapun alasannya perbuatan itu tetap dinilai sebagai perbuatan yang tidak etis dengan demikian
ukuran dari tindakan ada didalam tindakan itu sendiri.
Aliran ini melihat nilai etis bukan pada tindakan itu sendiri, tetapi dilihat dari tujuan atas
tindakan itu. Jika tujuannya baik, dalam arti sesuai dengan norma moral, maka tindakan itu
digolongkan sebagai tindakan etis.
c) Aliran Etika Egoisme
Aliran ini menetapkan norma moral pada akibat yang diperoleh oleh pelakunya sendiri.
Artinya, tindakan diketegorikan etis atau baik, apabila menghasilkan yang terbaik bagi diri
sendiri.
d) Aliran Etika Utilitarisme
Aliran yang memandang suatu tindakan itu baik jika akibatnya baik bagi orang banyak.
Dengan demikian, tindakan itu tidak diukur berdasarkan kepentingan subyektif individu,
melainkan secara obyektif pada masyarakat umum. Semakin universal akibat baik dari tindakan
itu, maka dipandang semakin etis.
E. Kampanye Politik Dalam Etika Komunikasi
Kampanye sebagai salah satu bentuk perilaku dalam kegiatan politik, menjadi salah satu
sorotan dalam politik pemilihan calon pemeran untuk jabatan dalam kepemerintahan. Sengkarut
koar – koar bujukan bertema kampanye kemudian dianggap sebagai perang perebutan
kepercayaan, agar kemudian masyarakat sebagai audience atau publik sasaran memberikan
suaranya dalam sebuah pemilihan. Melakukan berbagai cara dalam berkomunikasi dengan rakyat
kemudian dipilih dan dianggap sebagai salah satu solusi, mulai dari pendekatan secara personal,
melalui media massa, ataupun melalui media sosial (new media). Berkomunikasi dengan
masyarakat sebagai publik sasaran oleh elit politik kemudian menjadi hal yang utama, demi
mendapatkan suara sebagai dukungan agar memenangkan kompetisi politik. Tidak heran jika
kemudian terdapat pemasangan – pemasangan media luar ruangan pada tempat – tempat yang
memiliki kapasitas keramaian tinggi. Pesan yang dilekatkan pun tentu memuat citra-citra positif
yang dikonstruksi seolah melekat kepada kepribadian tokoh elit politik yang diusung dalam
sebuah kampanye politik, dan dengan cara menyerap nilai-nilai narsisisme kemudian secara
visual citra personal elit politik dikemas dan kemudian dilekatkan dalam pesan pada media luar
ruangan. Gairah kampanye demi merangkul banyak suara oleh pegiat politik kemudian
menstimuli adanya perilaku unik kaitannya dalam proses publikasi. Pemasangan media secara
dituding sebagai yang sering merasakan rugi. Kecenderungan para pengiklan untuk melakukan
pelanggaran atas peraturan yang melegalkan secara formal mengenai pemasangan media
publikasi pada titik – titik tertentu sering kali terjadi. Ruang publik yang pada dasarnya menjadi
hak publik tidak jarang kemudian dikuasai oleh media – media massa yang digunakan dalam
berkomunikasi, mulai dar billboard, umbul-umbul, sepanduk, poster,dan banner. Berkurangnya
nilai estetik pada wilayah tertentu, atau turunnya velue pada tempat-tempat terntu seringkali
menjadi dampak visual yang tanpa disadari merugikan.
Gambar 4. Pemasangan Bendera PDI di Salatiga (Sumber : Internet)
Contoh, pemasangan media kampanye secara hiperbolis pada wilayah monument –
monument yang memiliki nilai atau velue sejarah dan menjadi ikon sebuah wilayah misalnya,
tentu tanpa disadari mengurangi citra (wibawa) yang melekat pada monument tersebut. Tidak
jarang ruang publik menjadi korban atas adanya pemasangan – pemasangan media kampanye
politik yang secara tidar teratur, dan selanjutnya citra semrawut kemudian timbul sebagai dampak
oleh perilaku kampanye politik dalam suatu daerah. Seolah menjadi buta akan nilai setetika,
pemasangan-pemasangan media kampanye politik kemudian terjadi begitu saja, dengan dasar
mementingkan tujuan utama dalam politik pemilihan, yaitu mendapatkan dukungan suara
sebanyak-banyaknya untuk memenangkan kompetisi politik.
Jika dipandang dari sudut etika normatif, hal ini tentu menjadi hal yang dapat dinilai
benar atau salah, bahkan baik atau pun buruk. Etika normatif membentuk ruang yang
secara sadar, kaitanya dengan profesi misalnya, perancang pesan menkonstruksi citra-citra semu
yang tanpa bisa diketahui kesesuaiannya dengan citra nyata pada sebuah pesan dalam iklan
kampanye politik, bukan menjadi hal yang salah. Hal ini disebabkan karena perancang sebagai
profesi memang harus bekerja secara professional dan sesuai standar operasional yang ada.
Pada etika yang berlandaskan aliran Aliran Deontologis yang mana berpengertian bahwa
suatu tindakan secara hakiki mengandung nilai sendiri apakah baik atau buruk. Kriteria etis
ditetapkan langsung pada jenis tindakan itu sendiri ada tindakan atau perilaku yang langsung
dikategorikan baik, tetapi juga ada perilaku yang langsung dinilai buruk. Misalnya perbuatan
mencuri, memfitnah, menging kari janji. Adapun alasannya perbuatan itu tetap dinilai sebagai
perbuatan yang tidak etis dengan demikian ukuran dari tindakan ada didalam tindakan itu sendiri,
maka perilaku komunikasi politik ini bukan menjadi hal yang buruk jika dibenturkan dengan
adanya kepentingan politik,. namun menjadi hal yang buruk jika dipandang melalui sudut
pandang sosial, dan yang dipandang adalah sebatas sebatas pada peningkatan citra yang belum
jelas kesuaiannya dengan citra nyata, yang kemudian hal ini mampu dianggap sebagai sebuah
kebohongan. Berbeda halnya ketika fenomena komunikasi melalui perilaku kampanye dipandang
berlandaskan etika aliran teologis, yang mana menjelaskan bahwa etis atau tidak sebuah tindakan
berdasarkan tujuan dari tindakan itu sendiri. Kampanye pada dasarnya adalah upaya yang
dilakukan dalam rangka membujuk masyarakat agar kemudian percaya dan memberikan suara
sebagai dukungan. Tujuan terpuncak dari kampanye adalah memenangkan kompetisi politik,
yaitu perebutan sebuah jabatan oleh elit politik dan partai. Ketika politik adalah satu-satunya
ruang dalam penilaian mengenai perilaku kampanye ini, maka bukan menjadi hal yang tidak etis.
Ruang dan lingkup sebatas kepada kandang politik. tidak berhenti sampai disitu, aliran Etika
Egoisme pun menjadi sudut pandang dalam menilai perilaku kampanye politik. dalam aliran yang
menjelaskan bahwa tindakan diketegorikan etis atau baik, apabila menghasilkan yang terbaik
bagi diri sendiri. Fenomena komunikasi diatas tentu menjadi hal yang sesuai dengan etika aliran
ini. Kemenangan adalah tujuan dari sebuah kampanye politik dalam lingkup politik. dan hal
tersebut kemudian dianggap baik tentunya oleh pribadi yang memenangkan kompetisi politik
tersebut. Fenomena komunikasi diatas kemudian menjadi hal yang buruk ketika dibenturkan
dengan sudut pandang yang ada pada aliran etika utilitarisme, yang mana didalamnya
menjelaskan bahwa suatu tindakan itu baik jika akibatnya baik bagi orang banyak. Dengan
secara obyektif pada masyarakat umum. Semakin universal akibat baik dari tindakan itu, maka
dipandang semakin etis. Mengingat efek dari perilaku komunikasi yang telah dijelaskan diatas
pada akhirnya tanpa disadari merugikan publik kaitannya dengan ruang publik.
Jika menjadi sebuah aturan mengenai prilaku publikasi atas media-media komunikasi
yang dirancang kaitannya dalam pemasangan pada tempat-tempat terntu haruslah menggunakan
ijin kepada pihak yang terkait, tentu hal tersebut menjadi hal yang mengatur sebagai kode etik.
Penutup
Komunikasi adalah hal yang pasti terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Politik sebagai hal
yang ada dalam kehidupan tidak akan pernah mampu berdiri dan tumbuh tanpa komunikasi.
Komunikasi dalam hal ini tentu mengendepankan citra yang kesesuaiannya dengan citra nyata
tidak memiliki kejelasan. Pembangunan citra – citra positif berdasarkan pemahaman mengenai
narsisisme politik dan simplisitas dalam pewujudan pesan yang kemudian dilekatkan pada media
komunikasi massa tentu menjadi salah satu strategi dalam komunikasi politik dalam bentuk
kampanye. Konstruksi tanda pada pesan dalam media kemudian menjadi hal yang sangat
diperhatikan. Ruang publik adalah sebuah celah yang memang dapat digunakan dalam
pemasangan media-media komunikasi massa, khususnya kampanye. Dalam komunikasi politik
khususnya kampanye politik pemilihan umum melalui media luar ruangan, konflik terbesar
adalah ruang publik. Ruang publik yang seharusnya menjadi hak warga setempat menjadi
dikuasai oleh tonggak – tonggak pohon pesan yang berbentuk billboard, baliho, poster, spanduk,
dan lain-lain. Seolah hak atas ruang public terampas oleh prilaku kampanye.
Akan menjadi baik jika ada sistim yang kemudian mengatur kaitannya dengan
penggunaan ruang publik dalam kampanye. Jika sudah ada, menjadi lebih baik ketika
pemasangan atribut kampanye kemudian ditata sehingga tidak lagi menimbulkan kesemrawutan
pesan, dan media yang digunakan dalam berkomunikasi dalam kampanye yang kemudian mampu
menciptakan efek estetik pada tata kota sebagaimana seharusnya. Bukan menjadi sebuah hal yang
Daftar Pustaka