Sosiologi Gender
Kesetaraan Gender: Peran Perempuan dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga
Disusun oleh:
Evi Fadillawati (4815111569)
Pendidikan Sosiologi Reg 2011
Fakultas Ilmu Sosial
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peran dan kedudukan perempuan di masyarakat dahulu masih berkisar di dalam rumah tangga dan berkutat dengan 3M, yaitu Masak (memasak), Macak (bersolek) dan Maranak (melahirkan anak).1 Hal ini berhubungan dengan budaya patriarkhi yang kental pada zaman
kolonial, dimana pendidikan formal untuk kaum laki-laki dianggap lebih penting dibanding kaum perempuan. Bahkan pada zaman itu kaum perempuan dilarang mendapatkan pendidikan, dikarenakan tugas perempuan hanya di ruang privat. Perempuan memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan keutuhan keluarga atau rumah tangga, sedangkan laki-laki memiliki peran dan tanggung jawab dalam hal pemenuhan ekonomi keluarga. Peran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat merupakan akibat dari pembagian pekerjaan secara seksual. Karena perempuan hamil, melahirkan dan meyusui mereka lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan reproduktif. Pekerjaan-pekerjaan yang termasuk jenis pekerjaan ini antara lain pekerjaan tumah tangga dan merawat anak. Sebaliknya, laki-laki lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang berada di luar rumah atau produksi (sektor publik). Dari pembagian peran tersebut timbul anggapan bahwa kekuatan fisik perempuan tidak lebih dari laki-laki, sehingga perempuan adalah makhluk yang lemah.
Namun, dengan adanya pergerakan kaum perempuan mendorong terjadinya perubahan yang membuat perempuan kini mampu mengekpresikan dirinya tidak hanya di ranah domestik tetapi di ruang publik. Pergerakan perempuan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk mengikuti pendidikan formal sebagaimana laki-laki. Tidak hanya kesempatan dalam memperoleh pendidikan tetapi dalam berbagai bidang pun perempuan mendapatkan kedudukan yang setara dengan laki-laki. Berbagai keberhasilan yang dulu hanya milik kaum laki-laki sudah banyak bergeser. Perkembangan dunia perempuan dalam berbagai bidang semakin tidak terelakan, salah satunya di bidang ekonomi. Banyak perempuan bekerja bermunculan dengan adanya kesetaraan gender. Fenomena munculnya perempuan bekerja atau wanita karir di
Indonesia mulai menjamur khususnya di daerah perkotaan sebagai pusat industri. Mereka bekerja di pabrik, restoran, kantor, bahkan di pusat pemerintahan sebagai ruang publik. Tidak sedikit perempuan yang menjadi anggota DPR, walikota, bahkan menjadi presiden. Tidak sedikit pula perempuan yang bekerja dalam profesi yang biasa dilakukan oleh laki-laki, seperti halnya sopir transjakarta, kondektur, buruh angkut, bahkan buruh bangunan.
Pandangan perempuan bekerja pun mulai bergeser. Perempuan bekerja dianggap sebagai gambaran perempuan modern dan perempuan tidak bekerja atau ibu rumah tangga dianggap sebagai perempuan tradisional. Begitupun dengan pandangan bahwa perempuan bekerja merendahkan kaum laki-laki bergeser menjadi perempuan sebagai partner laki-laki untuk menumbuhkan relasi dalam membangun keutuhan rumah tangga. Perempuan bekerja selain sebagai bentuk kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, juga untuk membantu perekonomian keluarga. Hal ini terjadi karena suami dianggap kurang mampu memenuhui perekonomian keluarga. Namun menjadi seorang wanita karir yang telah berkeluarga atau ibu bekerja memiliki beban ganda yang cukup berat. Selain bekerja, perempuan diupayakan tidak mengurangi kewajibannya untuk mengurus keluarga sehingga diperlukan komitmen yang serius antara suami dan isteri agar tidak terjadi pertikaian di dalam keluarga.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kesetaraan gender mampu membuat perempuan mengekspresikan diri di ruang publik?
2. Bagaimana bentuk partisipasi perempuan dalam membantu perekonomian keluarga?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perempuan mengekspresikan diri melalui kesetaraan gender
2. Mengetahui bentuk partisipasi perempuan dalam membantu perekonomian keluarga
1.4. Manfaat Penulisan
1. Kegunaan praktis. Dapat mengetahui dan memahami peran perempuan dalam membantu perekonomian keluarga
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
Konsep Keluarga
Kata keluarga berasal dari bahasa Latin, yaitu Famulus yang artinya pembantu rumah tangga. Sedangkan kata familia berarti budak yang menjadi milik seorang laki-laki. Menurut asal kata tersebut, dapat dikatakan bahwa perempuan merupakan milik suami dan laki-laki memiliki kebebasan atas perempuan yang dinikahinya. Sehingga, tindak kekerasan terhadap perempuan dilembagakan melalui sistem keluarga.2
Menurut Bailon dan Maglaya, keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi yang saling berinteraksi satu sama lain. Ada beberapa fungsi keluarga, yang pertama adalah untuk mengatur penyaluran dorongan seks. Fungsi kedua yaitu, reproduksi berupa pengembangan keturunan, hal ini pun diatur dalam system keluarga. Ketiga, keluarga berfungsi mensosialisasikan anggota baru di masyarakat sehingga dapat memerankan peranan yang harus dilakukan individu. Keempat, keluarga memiliki fungsi afeksi yaitu memberikan kasih sayang kepada anggota keluarganya. Kelima, keluarga memberikan status kepada anaknya. Keenam, keluarga memberikan perlindungan kepada masing-masing anggota keluarganyanya. 3
Di dalam keluarga, masing-masing keluarga memiliki peranan masing-masing. Ayah memiliki peranan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, dan sebagai anggota dari masyarakat/kelompok sosial. Peranan ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya berperan mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh, pendidik dan pelindung dari anak-anaknya. Selain itu, istri dapat memiliki peran sebagai pencari nafkah untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarganya. Kemudian, anak memiliki peranan sebagai pelaksana peran psiko-sosial sesuai dengan lingkungan yang berdasarkan pada tingkatan perkembangan baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
2 Kalyanamedia, Gender dalam Keluarga, Jakarta: Kalyanamitra, 2006,hal.6.
Perempuan Bekerja
Fenomena perempuan bekerja sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru di tengah masyarakat kita. Secara ekonomi, bekerja dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan barang atau jasa untuk digunakan sendiri maupun untuk mendapatkan suatu imbalan. Menurut Moore, definisi tentang kerja sering kali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut.4
Keterlibatan perempuan dalam bekerja, dapat dipengaruhi oleh beberapa sebab, yaitu:tekanan ekonomi, lingkungan keluarga yang mendukung, untuk kepuasan batin dan sebagian lagi bekerja untuk kepentingan mereka sendiri. Adanya peningkatan atau kenaikan jumlah perempuan bekerja di Indonesia, selain karena dorongan untuk mempertahankan ketahanan ekonomi keluarga juga karena terbukanya kesempatan kerja di berbagai sektor yang banyak menampung tenaga kerja perempuan, seperti pertanian, perdagangan dan jasa.5 Adanya
tuntutan untuk menopang perempuan keluarga menyebabkan sebagian besar suami dan istri secara bersama-sama harus mencari nafkah. Sehingga, banyak perempuan justru memasuki masa-masa dan dunia yang jauh lebih sulit dari sebelum menikah. Beban ekonomi keluarga dan segala urusan rumah tangga kemudian lebih banyak jatuh ke pundak perempuan.
Konsep Gender
Gender adalah perbedaan sifat, peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan oleh masyarakat (budaya). Menurut Sadli, konsep gender mengacu pada konsep sosial yang menempatkan seorang sebagai maskulin dan feminin berdasarkan karakteristik psikologis dan perilaku tertentu yang secara kompleks telah dipelajari melalui pengalaman sosialisasi.6 Dalam budaya partiakhi, konsep gender yang membedakan perempuan dan laki-laki
berdasarkan konstruksi sosial membuat perempuan terkonsep sebagai perempuan yang lemah, tidak berdaya dan tidak tegas membuat laki-laki menjadi pihak yang dominan. Laki-laki dikondisikan selalu benar, logis, tegas, tidak boleh lemah atau cengeng dan harus siap
4 Ratna Saptari dan Brigette Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti,1997,hal 14
5http://bps.jakarta.go.id/, diakses pada tanggal 17 Maret 2014
melindungi perempuan. Sehingga yang terjadi adalah penempatan kekuasaan menjadi milik laki-laki.
Adanya konsep gender juga mengakibatkan terjadinya pembagian peran antara perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Perempuan memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pemeliharaan keutuhan keluarga atau rumah tangga, sedangkan laki-laki memiliki peran dan tanggung jawab dalam hal pemenuhan ekonomi keluarga. Peran yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat merupakan akibat dari pembagian pekerjaan secara seksual. Karena perempuan hamil, melahirkan dan meyusui mereka lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan reproduktif. Pekerjaan-pekerjaan yang termasuk jenis pekerjaan ini antara lain pekerjaan tumah tangga dan merawat anak. Sebaliknya, laki-laki lebih dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang berada di luar rumah atau produksi (sektor publik). Dari pembagian peran tersebut timbul anggapan bahwa kekuatan fisik perempuan tidak lebih dari laki-laki, sehingga perempuan adalah makhluk yang lemah. Anggapan itu melahirkan nilai-nilai yang menempatkan perempuan sebagai makhluk “kelas dua” lengkap dengan pencitraan-pencitraan yang tidak semuanya menguntungkan perempuan, bahkan sebaliknya. Nilai-niali itulah yang dianut, disosialisasikan, dan dipraktekkan secara keseharian,sekaligus mempengaruhi ketidakseimbangan relasi gender yang merugikan perempuan.7
Konsep gender yang berlaku di masyarakat disebabkan oleh adanya budaya partriarkhi. Patriarkhi berasal dari bahasa Yunani; patria berarti bapak dan arche berarti aturan, merupakan istilah antopologis yang digunakan untuk merumuskan kondisi sosiologis anggota laki-laki suatu masyarakat yang cenderung menguasai posisi kekuasaan; semakin berkuasa mereka semakin kuat dorongan seorang laki-laki untuk memegang posisi tersebut.8 Budaya patriarkhi dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki. Dalam keluarga, kedudukan isteri tergantung suami, kedudukan anak perempuan tergantung pada ayah atau saudara laki-laki.
7 Noordjanah Djhantini, Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi
Keadilan, Jakarta: Komnas Perempuan,2006, hal.65
Teori Feminisme Liberal
Feminisme Liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Pandangan dasar dari kaum feminis liberal ialah bahwa setiap laki-laki ataupun perempuan mempunyai hak mengembangakn kemampuan dan rasionalitasnya secara optimal.9
Feminis liberal memandang bahwa subordinasi perempuan berakar pada seperangkat kendala dan kebiasaan budaya yang mkenghambat akses perempouan terhadap peremupan untuk berkompetisi secara adil dengqan laki-laki. Begitu pula dengan kedudukan perempuan yang relatif rendah pada pasar tenaga kerja tidak dapat dipisahkann dari struktur sosial yang menempatkan perempuan pada kedudukan yang lebih rendah dari pada laki-laki. Perempuan disosialisikan pada kegiatan-kegiatan domesitik, dimana perbedaan antara perempuan dan laki-laki disosialisasikan dalam keluarga kemudian terefleksi dalam kecenduerungan pekerjaan menerima pemrintah bagai perempuan dan memberi perintah bagi laki-laki.
Menurut Berger dan Luckmann, ada dua penyebab terbentuknya dua perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki yang menyebabkan adanya pemisahan wilayah kekuasaan perempuan di dalam dan laki-laki di luar, yaitu kontruksi sosial dan reproduksi sosial. Kontruksi sosial yaitu menerangakn bagaimana proses awal bidang domestik dan bidang publik itu terbentuk. Kontruksi sosial terbentuk dari tiga proses, yaitu proses eksternalisasi, proses objektifikasi, dan proses internalisasai. Sedangakan reproduksi sosial yaitu bagaimana seharusnya perbedaan bidang domestik dan publik itu dikuatkan. Hal itu dilakukan dengan simbol-simbol, reproduksi status biologis perempuan dan reproduksi status kultural perempuan.
Menurut faham ini, kunci dari penghapusan diksrimnasi dan ketimpangan sosial atas gender terletak teruatam pada pendidikan (formal dan non formal) dan pembukaan kesempatan kerja. Feminisme liberal juga mengusahakan untuk menyadarkan perempuan bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan perempuan di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan memposisikan perempuan pada posisi subordinat. Akar dari teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan
adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki sehingga harus diberi hal yang sama juga dengan laki-laki.10
Industrialisasi dalam Perubahan Ekonomi Keluarga
Salah satu cara berfikir mengenai alasan mengapa terjadi perubahan sosial dan transformasi sosial adalah menyatakan bahwa suatu masyarakat dan masing-masing bagiannya mempunyai kebutuhan untuk menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik mereka, atau lebih tepatnya menyesuaikan dengan perubahan yang relevan di dalam lingkungan keluarga.11 Perubahan yang terjadi dalam keluarga, terutama perubahan ekonomi, sejalan dengan
perubahan zaman. Perubahan yang diinginkan biasanya diharapkan bermuara pada kesejahteraan dan kebahagiaan, namun kenyataannya sering menjadi lain. Sejahtera dan bahagia tidak hanya sebagai tujuan keluarga, tetapi lebih luas dari itu, yaitu tujuan hidup.
Dalam usaha untuk mengkaji masalah keluarga pada masa kini, maka suatu hal yang sangat relevan untuk dipikirkan adalah masalah industrialisasi dan keluarga. Dimana terjadi suatu perubahan struktur dari masyarakat yang agraris menjadi industrialis. Goode mengemukakan pada masa kini bersamaan dengan proses industrialisasi dapat diamati suatu perubahan ke arah bentuk yang disebut keluarga konjugal. Secara singkat, keluarga konjugal menurut Goode adalah keluarga dimana keluarga batih menjadi semakin mandiri melakukan peran-perannya lebih terlepas dari kerabat-kerabat luas pihak suami istri.12 Secara ekonomi
keluarga konjugal itu berdiri sendiri, tempat tinggal juga secara sendiri, tidak bersatu dengan kerabat luas. Secara psikologis, satuan yang kecil ini menjadi semakin berdikari. Ini berarti juga bahwa hubungan emosional di antara suami istri lebih sentral dalam kehidupan keluarga yang memang menyebabkan hubungan mereka menjadi akarab. Akan tetapi kemungkinan keluarga pecah juga lebih besar karena yang mengikatnya adalah terutama suami istri itu saja. Sedangkan dalam keluarga tradisional masih ada anggota keluarga luas yang mengikat keluarga kecil.
Sistem ekonomi yang bertopang pada industri, sistem keluarga juga telah berubah dari yang tradisional menjadi modern. Keluarga modern diamsusikan memiliki ciri-ciri tipe keluarga
10Ibid.,51
konjugal. Seperti yang telah disebutkan diatas, keluarga konjugal suami istri terlibat dalam hubungan yang setaraf, mempunayi hubungan personal yang akrab, antara anak dan orang tua terdapat hubungan yang tidak otoriter atau berciri demokratis, para remaja kawin dalam umur yang tidak terlalu muda. Perubahan yang berlangsung terhadap keluarga hanya dapat dipahami sepenuhnya bila kita berangkat dari pengetahuan baseline mengenai keluarga dan hal itu harus dilandaskan pada pengenalan sejarah dari keluarga sebagai pranata sosial.
BAB III
ANALISIS
Di dalam keluarga, masing-masing keluarga memiliki peranan masing-masing. Ayah memiliki peranan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, dan sebagai anggota dari masyarakat/kelompok sosial. Peranan ibu sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya berperan mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh, pendidik dan pelindung dari anak-anaknya. Selain itu, istri dapat memiliki peran sebagai pencari nafkah untuk membantu kebutuhan ekonomi keluarganya. Pada saat ini tugas mencari nafkah tidak lagi menjadi tugas kepala keluarga atau suami, tetapi sudah menjadi tugas siapa saja yang menjadi anggota keluarga. Dalam kasus yang kami ambil, yaitu tentang seorang pengemudi Bus TransJakarta perempuan, Henny Prichatiningsih. Sebelum menjadi seorang supir TransJakarta, Henny sudah menjajal berbagai macam profesi. Mulai dari instruktur aerobik, pelatih tari, hingga guru taman kanak-kanak. Wanita 40 tahun asal Cilacap itu, sama sekali tak menyangka akan menekuni profesi pengemudi Bus TransJakarta. Dalam artikel tentangnya tersebut, ia bertutur bahwa awal menjalani karirnya sebagai seorang pengemudi Bus TransJakarta karena ia merasa tertantang menjalani sebuah profesi yang pada umumnya di dominasi oleh kaum pria ini. Selain itu, ia juga mengatakan, dengan menjadi pengemudi Bus TransJakarta, dapat membantu perekonomian keluarganya karena penghasilannya yang lumayan.
Perempuan Bekerja Dalam Konstruksi Gender
Mulai maraknya fenomena perempuan bekerja di masyarakat kita merupakan tanda bahwa sudah adanya transformasi sosial di dalam peran antara laki-laki dan perempuan. Terjadinya transformasi sosial tersebut dikarenakan masyarakat dan masing-masing bagiannya mempunyai kebutuhan untuk menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik mereka, atau lebih tepatnya menyesuaikan dengan perubahan yang relevan di dalam lingkungan keluarga.13 Artinya maraknya perempuan bekerja merupakan sebuah bentuk adaptasi dari
berbagai kebutuhan yang semakin meningkat. Dapat di katakan juga bahwa hampir semua keluarga menginginkan adanya kesejahteraan serta kebahagiaan keluarga.
Dalam kasus yang kami ambil, Henny bisa dipandang sebagai seorang perempuan bekerja. Seperti yang dijelaskan tadi, bahwa perempuan bekerja merupakan fenomena yang sudah lazim di masyarakat kita. Secara ekonomi, bekerja dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan barang atau jasa untuk digunakan sendiri maupun untuk mendapatkan suatu imbalan. Dalam fenomena Henny sebagai pengemudi Bus TransJakarta, keterlibatan perempuan dalam bekerja, dapat dipengaruhi oleh beberapa sebab yaitu: tekanan ekonomi, lingkungan keluarga yang mendukung, untuk kepuasan batin dan sebagian lagi bekerja untuk kepentingan mereka sendiri.
Namun dalam pandangan konstruksi gender di masyarakat kita yang sebagian masih menganut patriarki, Henny sebagai seorang perempuan yang bekerja bisa dianggap ssebagai sesuatu yang tidak lazim, karena dalam pandangan gender patriarki perempuan dianggap lemah dan hanya berada pada ranah domestik, tidak seperti laki-laki yang berada di ranah pubik. Akan tetapi dalam kasus Henny sebagai pengemudi Bus TransJakarta pada dewasa ini, budaya atau konstruksi patriarki sudah tidak lagi berpengaruh signifikan dalam pandangan masyarakat kita. Henny yang bekerja sebagai pengemudi Bus TransJakarta merupakan contoh dari perempuan yang sudah mulai memasuki pekerjaan yang biasanya didominasi oleh pria. Dalam pandangan feminisme liberal, Henny bisa di katakan sebagai seorang perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.
BAB IV
PENUTUP Kesimpulan
Daftar Pustaka
Bhasin, Kamla. 2000. Menggugat Patriarki, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Djhantini, Noordjanah. 2006. Memecah Kebisuan, Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. Jakarta: Komnas Perempuan,
Irianto, Sulistyowati. 2003. Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
J. Goode, William. 2006. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara
K. Garna, Judistira. 1992. Teori-Teori Perubahan Sosial. Bandung: Universitas Padjajaran
Kalyanamedia. 2006. Gender dalam Keluarga, Jakarta: Kalyanamitra
Saptari, Ratna dan Brigette Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sumber Internet
LAMPIRAN
Kisah Wanita Pengemudi Bus TransJakarta
Di tengah cibiran, menjalani profesi pengemudi bus kota tak membuatnya
merasa malu.
VIVAnews - Henny Prichatiningsih sudah menjajal berbagai macam profesi. Mulai dari
instruktur aerobik, pelatih tari, hingga guru taman kanak-kanak. Wanita 40 tahun asal Cilacap itu, sama sekali tak menyangka akan menekuni profesi pengemudi Bus TransJakarta.
Dalam perjalanan dari halte Blok M sampai Kota, Henny bercerita tentang perjalanan kariernya di sejumlah negara. "Sebelum disini saya pernah ke Selandia baru, Australia, dan kemudian usaha restoran di Korea," katanya.
Ia merasa tertantang menjalani profesi yang menjadi dominasi pria. "Awalnya kan penasaran, Sepertinya asyik ya bawa bus, keliling Jakarta, lihat orang dengan berbagai macam karakter, keliling- keliling," ujarnya. "Penghasilannya juga lumayan, bisa untuk bantu suami."
Sudah hampir enam tahun wanita yang sempat bercita-cita menjadi Polwan ini menjadi Pramudi Bus TransJakarta. Masa-masa sulit dan adaptasi sudah lewat. Ia sudah sangat lihai
memberhentikan bus dengan posisi pintu pas dengan pintu halte.
Meski mengemudikan di jalur khusus yang lurus, ia tetap harus waspada. Pekerjaannya tetap berisiko tinggi. Taruhannya adalah nyawa penumpang dan pengendara di sekitar. "Apalagi sering sekali motor tiba-tiba menyerobot jalur," ujarnya.
Lulusan Diploma 3 Seni Tari ini bersyukur sampai saat ini belum mengalami insiden buruk. Baginya, kuncinya adalah konsentrasi.
Menjalani profesi pengemudi bus kota tak membuatnya merasa malu. Di tengah cibiran lingkungan sekitar, ia sama sekali tak terpikir alih profesi. "Orangtua saya justru bangga anak perempuannya jadi sopir bus. Suami saya juga selalu support," ujarnya.
Sebagai wanita pengemudi bus, ia berharap hari Kartini menjadi momentum bagi pemerintah untuk lebih memberikan perlindungan terhadap perempuan, khususnya di ruang publik.
"Perlindungan terhadap perempuan harus lebih ditingkatkan, ada kasus pemerkosaan, pelecehan di angkot, itu nggak akan terjadi kalau pemerintah lebih serius," katanya.