• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADILAH YASMIN HATTA FISIP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ADILAH YASMIN HATTA FISIP"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

AGENDA KONSOLIDASI DEMOKRASI: UPAYA

MOHAMMAD ASHRAF GHANI DALAM MEMBANGUN

GOOD GOVERNANCE

DI AFGHANISTAN TAHUN 2014-2016

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Adilah Yasmin Hatta

1113112000003

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

AGENDA KONSOLIDASI DEMOKRASI: UPAYA MOHAMMAD

ASHRAF GHANI DALAM MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE DI

AFGHANISTAN TAHUN 2014-2016

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Adilah Yasmin Hatta

1113112000003

Pembimbing

Ali Munhanif, Ph.D NIP. 196512121992031004

Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(3)

i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul :

AGENDA KONSOLIDASI DEMOKRASI: UPAYA MOHAMMAD

ASHRAF GHANI DALAM MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE DI

AFGHANISTAN TAHUN 2014-2016

1. Merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 April 2017

(4)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa: Nama : Adilah Yasmin Hatta

NIM : 1113112000003

Program Studi : Ilmu Politik Telah menyelesaikan skripsi dengan judul:

AGENDA KONSOLIDASI DEMOKRASI: UPAYA MOHAMMAD

ASHRAF GHANI DALAM MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE DI

AFGHANISTAN TAHUN 2014-2016 ...

... dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, 10 April 2017

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Program Studi Pembimbing

Dr. Iding Rosyidin Hasan

(5)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

AGENDA KONSOLIDASI DEMOKRASI: UPAYA MOHAMMAD

ASHRAF GHANI DALAM MEMBANGUN GOOD GOVERNANCE DI

AFGHANISTAN TAHUN 2014-2016

Oleh

Adilah Yasmin Hatta 1113112000003

Telah dipertahankan dalam sidang skripsi ini di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 April 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada program Studi Ilmu Politik.

Ketua, Sekretaris,

Dr. Iding Rosyidin Hasan Suryani, M.Si.

NIP. 197010132005011003 NIP. 197704242007102003

Pembimbing

Dr. Ali Munhanif, MA. NIP.1965121211992031004

Penguji I, Penguji II,

(6)

iv ABSTRAKSI

Adilah Yasmin Hatta

Agenda Konsolidasi Demokrasi: Upaya Mohammad Ashraf Ghani dalam Membangun Good Governance di Afghanistan Tahun 2014-2016.

Skripsi ini menganalisa tentang agenda konsolidasi demokrasi di Afghanistan dan upaya Mohammad Ashraf Ghani dalam membangun good governance di Afghanistan, terhitung sejak tahun 2014 sampai dengan tahun 2016. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat apa saja kebijakan Mohammad Ashraf Ghani terhadap penguatan demokrasi dan bagaimana dampak kebijakan tersebut dalam membangun good governance di Afghanistan. Penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara dengan tokoh yang terkait di bidang yang berkaitan dengan judul penelitian. Pasca terselenggaranya tiga kali pemilihan umum presiden di Afghanistan, yakni pada tahun 2004, 2009 dan 2014, menjadi titik akhir masa transisi demokrasi dan diharapkan menjadi titik awal dimulainya konsolidasi demokrasi. Mohammad Ashraf Ghani bersama dengan National Unity Government berupaya untuk membangun demokrasi yang lebih stabil dan pemerintahan yang baik (good governance) di Afghanistan.

Teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teori konsolidasi demokrasi dan teori good governance. Melalui hasil analisa dengan teori ini, peneliti menyimpulkan bahwa sekalipun telah dilaksanakan 3 kali pemilu demokratis secara berkala di Afghanistan, hal tersebut bukan jaminan konsolidasi demokrasi mampu tercapai. Begitupun dengan membangun good governance, dalam pengimplementasiannya Mohammad Ashraf Ghani belum mampu menjangkau secara keseluruhan. Namun, harus diakui bahwa setiap kebijakan yang diterapkan pasti memiliki kelemahan, dan setidaknya Ashraf Ghani sudah memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang ia telah janjikan. Afghanistan masih patut belajar untuk membangun dan mendesain struktur institusi yang lebih efektif, transparan, responsiveness dan accountable untuk membentuk struktur pemerintahan yang baik.

(7)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nyalah, penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul: “Agenda Konsolidasi Demokrasi: Upaya Mohammad Ashraf Ghani dalam Membangun Good Governance di Afghanistan Tahun 2014-2016”. Tidak lupa Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang membawa manusia dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.

Adapun dalam proses pembuatan skripsi ini, penulis mengalami banyak tantangan, namun berkat bantuan, bimbingan dan doa dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini mempu terselesaikan dengan baik, sesuai dengan waktu yang telah penulis targetkan. Pertama-tama, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen FISIP, terutama Prof. Dr. Zulkifli selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Iding Rosyidin, M.Si, dan Suryani, M.Si, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Politik, Dr. Ali Munhanif, MA, sebagai dosen pembimbing penulis yang sejak awal mendukung dan memotivasi penulis untuk melanjutkan karya ilmiah ini sampai penulis mampu menyelesaikannya. Tidak lupa penulis juga berterima kasih kepada penguji 1 dan penguji 2, Dr. Sirojuddin Aly dan Dr. Sya‟ban Muhammad atas koreksi dan bimbingannya, serta untuk seluruh dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis berterima kasih atas segala ilmu yang telah diberikan. Semoga ilmu tersebut bisa bermanfaat bagi penulis di masa mendatang.

Kemudian teruntuk kedua orang tua penulis, I would like to say thank you to my mother and father for everything you have done for me. I could not have asked

(8)

vi

Selanjutnya untuk Kak Bayu Aji Bagus Prasetiyo, terima kasih sudah mengajarkan penulis bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang dilakukan secara instan, karena usaha tidak akan membohongi hasil. Penulis berharap kami bisa bersama-sama membawa hal positif dan bermanfaat dimanapun kami berada and be educated adalah hal prioritas.

Teruntuk sahabat penulis selama tinggal di Jakarta, Tiara Azaria Amanda, Eka Yulianti dan Lisa Septiani, i’ve never being so happy to met someone that is so far away, you mean the world to me and you know it. Terima kasih paling tulus dari penulis untuk kalian, yang selalu menemani, mendukung dan memberi kepercayaan kepada penulis di saat dunia tidak bersahabat. Sukses selalu untuk kalian.

Kepada Ayah dan Ibu Tiara, tidak lupa penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih. Mereka adalah pengganti orang tua penulis selama merantau, yang selalu membuka lebar pintu rumahnya untuk penulis kunjungi. Terima kasih pula kepada teman-teman kelas A dan B Politik UIN Jakarta angkatan 2013, yang selalu menjadi tempat penulis untuk bercerita dan berkonsultasi mengenai hal apapun, terima kasih pula untuk teman-teman kelas A yang lainnya.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, walaupun penulis sudah berusaha dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna penyempurnaan penyusunan dan penulisan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat memperluas serta menambah pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, 8 April 2017

(9)

vii DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Metode Penelitian... 13

F. Teknik Analisis Data ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II KERANGKA TEORETIS A. Konsolidasi Demokrasi ... 17

B. Good Governance... 21

BAB III PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI AFGHANISTAN A. Profil Negara Afghanistan... 27

B. Lahirnya Demokrasi Pasca Jatuhnya Rezim Taliban ... 33

C. Proses Transisi Demokrasi ... 37

(10)

viii

2. Pemilihan Umum 2004 ... 40

3. Pemilihan Umum 2009 ... 44

BAB IV MOHAMMAD ASHRAF GHANI DAN AGENDA KONSOLIDASI DEMOKRASI A. Pembentukan Pemerintahan Persatuan Nasional pada Pemilu 2014 ... 48

B. Kebijakan Pemerintahan Mohammad Ashraf Ghani ... 60

1. Kebijakan Pemberantasan Korupsi ... 61

2. Kebijakan dalam Penegakan Hak-Hak Perempuan... 71

3. Kebijakan Melawan Kelompok Islam Radikal (Taliban) ... 77

C. Implementasi Kebijakan dalam Membangun Good Governance ... 87

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 95

B. Saran ... 98

Daftar Pustaka ... 99

(11)

ix

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Daftar Provinsi di Afghanistan ... 28

Tabel 3.2. Hasil Perolehan Suara Pilpres 2009 ... 43

Tabel 4.1. Hasil Perolehan Suara Pemilu 2014 Putaran Pertama ... 50

Diagram 4.1. Tugas dan Wewenang HCAC ... 66

(12)

x

DAFTAR GAMBAR

(13)

xi

DAFTAR SINGKATAN

ACC : Anti-Corruption Courts

ACJC : Anti-Corruption Criminal Justice Center AGO : Attorney General’s Office

CEO : Chief Executive Officer

HCAC : High Council Governance, Rule of Law and Anti- Corruption

HOO : High Office of Oversightand Anti-Corruption

IARCSC : Independent Administrative Reform and Civil Services Commission

IEC : The Independent Election Commission KIP : Komisi Independen Pemilu Afghanistan MCTF : Major Crimes Task Force

NATO : North Atlantic Treaty Organization NDS : National Directorate of Security NPA : National Procurement Authority NPC : National Procurement Commission NSP : National Solidarity Programme NUG : National Unity Government

RAWA : The Revolutionary Association of the Woman of Afghanistan

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Tahun 2014 menjadi titik penting dari perjalanan dan dinamika demokratisasi di Afghanistan. Setelah melewati dua kali pemilihan umum yang memberi ruang partisipasi masyarakat Afghanistan pada 2004 dan 2009, pemilihan umum presiden 2014 kembali diselenggarakan di negara itu. Banyak kalangan berharap bahwa, setelah sekian lama dilanda konflik dan ketidakpastian transisi politik pasca perang, penyelenggaraan pemilihan presiden kali ini merupakan batas akhir masa transisi demokrasi dan menjadi titik awal dimulainya konsolidasi demokrasi. Hal ini bukan saja merupakan momentum politik biasa (dalam konteks siklus demokrasi), melainkan momentum sejarah untuk Afghanistan yang meningkat posisinya menjadi negara demokrasi yang stabil.

Perkembangan arus demokratisasi di Afghanistan yang berjalan begitu cepat, terhitung sejak jatuhnya rezim Taliban pada 20011 menandai transisi menuju demokrasi di Afghanistan. Pengalaman Afghanistan yang berada dalam kurungan rezim otoriter sebelumnya tentu saja sedang mencari pola demokratisasi yang tepat untuk dipraktekkan. Hamid Karzai yang terpilih sebagai Presiden Afghanistan pada tahun 2004 melalui pemilihan umum menjadi awal

1

(15)

2

keberangkatan Afghanistan menuju sebuah negara yang oleh sarjana politik sebagai “transisi menuju demokrasi”.

Dilanjutkan dengan terpilihnya kembali Hamid Karzai melalui pemilihan umum pada 2009, menjadi langkah Afghanistan dalam mempersiapkan fase demokratisasi yang berikutnya. Hal ini semakin nampak ketika diselenggarakannya sidang parlemen pertama yang melibatkan 351 anggota parlemen yang dipilih secara demokratis,2 kultur politik tradisional, khususnya yang ditandai dengan kuatnya peran budaya Islam dan ulama, secara perlahan berganti menjadi kultur politik demokratis di mana peran masyarakat Afghanistan semakin besar dalam mempengaruhi keputusan pemerintah. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kepemimpinan Karzai pada periode yang kedua menjadi sebuah landasan yang mempersiapkan Afghanistan untuk melangkah ke fase demokratisasi selanjutnya.

Kemudian pada 2014, pemilihan umum kembali dilaksanakan. Pemilihan ini menjadi harapan terbesar bagi masyarakat Afghanistan untuk menyeleksi pemimpin yang memang benar-benar berkualitas dengan melibatkan seluruh kepentingan masyarakat. Akan tetapi, pelaksanaan pemilu tersebut menjadi proses transfer kekuasaan yang panjang sebab masing-masing dari calon kandidat mengklaim menang dalam pemilihan umum tersebut.

Persoalan mengenai hasil pemilu 2014 diselesaikan dengan jalan damai. Kesepakatan pembagian kekuasaan atau pembentukan Persatuan Nasional (Unity Goverment) dipandang sebagai jalan terbaik bagi penyelesaiaan sengketa pemilu

2 BBC Indonesia, “Parlemen Afghanistan Dibuka”, artikel ini diakses dari

(16)

3

di Afghanistan. Hal ini merupakan saran dari pihak yang sejak awal mengkawal proses demokrasi di Afghanistan, yakni Amerika Serikat. Mohammad Ashraf Ghani terpilih sebagai Presiden Afghanistan dan Abdullah Abdullah sebagai Ketua Dewan Eksekutif yang setara dengan Perdana Menteri.3 Penyelenggaraan pemilihan umum tersebut merupakan wujud dari keberhasilan proses demokratisasi di Afghanistan yang berlangsung selama tiga kali pemilu demokratis.4

Menurut Samuel P. Huntington, perjalanan suatu negara ke arah demokrasi sejatinya melalui 3 tahapan penting, yakni; (1) Berakhirnya Rezim Otoriter, (2) Munculnya pemerintahan demokratis, dan (3) Adanya konsolidasi demokrasi. Era transisi demokrasi mestinya telah berakhir setelah dua kali pemilu berkala secara demokratis, dimana pemilu-pemilu itu mengantarkan ke suatu rezim demokratis, bekerja atas dasar konstitusi yang demokratis pula.5

Pernyataan Samuel P. Huntington kemudian diperkuat lagi oleh Azyumardi Azra. Menurutnya, untuk mengamati demokratisasi suatu negara tidak hanya dinilai pada proses jalannya pemilu karena terdapat kriteria lain yang harus dimiliki oleh suatu negara sehingga dikatakan sukses atau gagal dalam mencapai transisi demokrasi, yaitu dapat dilihat melalui komposisi elit politik, desain institusi politik, kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik di kalangan

3 The Guardian, “Afghan President Mohammad Ashraf Ghani Inaugurated After Bitter Campaign”, artikel ini diakses dari https://www.theguardian.com/world/2014/sep/29/afghan-president-ashraf-ghani-inaugurated pada 27 Oktober 2016.

4Iran Indonesian Radio, “Membangun Demokrasi di Afghanistan”, artikel ini diakses dari

http://indonesian.irib.ir/ranah/telisik/item/78993-Membangun_Demokrasi_di_Afghanistan pada tanggal 16 November 2016.

5

(17)

4

elit dan non elit, serta peran civil society (masyarakat madani) itu sendiri. Keempat faktor tersebut harus berjalan secara sinergis dan sebagai modal untuk mengonsolidasikan keteguhan demokrasi.6

Dari pemaparan kedua tokoh di atas, dipahami bahwa Afghanistan telah berhasil mambangun demokrasi di negaranya melalui era pemerintahan Hamid Karzai. Keberhasilan dapat diraih karena Afghanistan—meskipun sebagai negara yang baru dalam mengimplementasikan demokrasi—mampu melakukan sejumlah langkah dan kebijakan penting yang menjadi landasan untuk memastikan transisi demokrasi itu tercapai. Dalam hal ini, tahapan-tahapan yang dimaksud oleh Samuel P. Huntington ialah yakni; pertama, jatuhnya pemerintahan Taliban, kedua munculnya pemerintahan demokratis Hamid Karzai, dan agenda selanjutnya adalah konsolidasi demokrasi.

Menurut pakar politik Guillermo O‟Donnel7

, konsolidasi demokrasi merupakan fase di mana stabilitas dan ketahanan demokrasi terjadi dalam sebuah rezim. Sedangkan pakar lainnya, Larry Diamond,8 menyebut konsolidasi sebagai legitimasi demokrasi yang secara luas dan kuat diterima sebagai suatu “rezim” yang benar dan tepat bagi masyarakat. Proses konsolidasi tidak selalu bersifat linear. Dalam banyak kasus, setelah transisi dikatakan berakhir, masih terdapat banyak tugas yang harus diselesaikan, kondisi yang harus diciptakan, dan sikap

6 Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 135.

7

Guillermo O‟Donnel, Philippe C. Schmitter dan Laurence Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif, (Jakarta: LP3ES, 1993), h. 6-7.

(18)

5

serta kebiasaan yang harus diperkuat sebelum demokrasi bisa dianggap terkonsolidasi.9

Selain itu, menurut Saiful Mujani, agar demokrasi terkonsolidasikan, warga negara diharapkan menjadi seorang yang setia, yakni yang tertarik pada politik dan percaya pada institusi politik.10 Kepercayaan masyarakat yang lemah terhadap partai politik akan menyebabkan demokrasi juga melemah, dan dari sini partai politik harus memainkan peranan-peranan dan fungsi-fungsinya yang strategis.

Sementara itu, pandangan yang berbeda disampaikan Frans Beker dan Rene Cuperus, menurutnya meluasnya konsolidasi demokrasi tidak senantiasa berjalan secara linear dengan menguatnya peran partai politik sebagai lembaga intermediasi kepentingan antara rakyat dan pemerintah. Karena melihat realita yang ada di sejumlah negara, partai politik bahkan mulai digantikan perannya oleh organisasi-organisasi mediasi yang menjadikan dirinya sebagai perantara opini antara masyarakat dan negara.11 Semakin banyaknya individu atau lembaga yang ikut berpartisipasi dalam mengawal demokratisasi, maka semakin terkonsolidasi demokrasi.

Pemilu 2014 menjadi titik penentu bagi proses konsolidasi demokrasi di Afghanistan. Ketua Dewan Pers Nasional Afghanistan, Abdul Hamid Mubariz menilai peran pemuda dan perempuan sangat dominan dalam pilpres 2014. Dia mengatakan bahwa 65 persen populasi rakyat Afghanistan dibentuk oleh pemuda

9 Mun‟im A. Sirry,

Dilema Islam Dilema Demokrasi: Pengalaman Baru Muslim Dalam Transisi Indonesia, (Bekasi: Gugus Press, 2002), h. 93.

10

Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, h. 323.

(19)

6

di bawah 30 tahun, dan sekarang perempuan terlibat aktif di banyak ranah politik dan sosial. Para pengamat politik juga mengatakan, terlepas dari siapa yang akan memenangi kontes demokrasi itu, pelaksanaan sukses pilpres Afghanistan mengirim sejumlah pesan pada tingkat nasional, regional, dan internasional. Mengenai pesan-pesan tersebut, rakyat Afghanistan dengan partisipasi luasnya dalam pemilu menunjukkan bahwa mereka mulai memahami bahwa suara dan peran mereka sangat menentukan masa depan negara.12

Namun, tidak semua proses tersebut bisa selalu berlangsung mulus. Ada negara yang berhasil menjalani transisi, tetapi gagal menjalani konsolidasi demokrasi. Proses demokratisasi merupakan sesuatu yang memang tidak mudah dan butuh kesungguhan, konsistensi, kesabaran, serta penyediaan infrastruktur yang memadai. Begitupula dengan perjalanan demokrasi di Afghanistan, bukan tidak mungkin jika seorang pemimpin mempunyai kelemahan dalam menyelesaikan segala persoalan pemerintahan, seperti yang terjadi di Afghanistan di era kepemimpinan Hamid Karzai.

Tingkat pengangguran di Afghanistan yang semakin meningkat, tidak adanya kebijakan anggaran yang transparan, serta para pejabat menjadi lebih kaya dari hari ke hari, telah membuat perekonomian di Afghanistan saat itu menjadi tidak stabil. Transparency International (TI) yang merupakan organisasi non-pemerintah telah mempublikasikan bahwa rezim Hamid Karzai berada dalam daftar tertinggi sistem pemerintahan yang paling korup. Informasi ini cukup

(20)

7

kredibel mengingat definisi korupsi sebagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi.13

Selain itu, kegagalan Hamid Karzai dalam mempertahankan keamanan nasional juga menjadi hal yang cukup diperbincangkan oleh para pengamat politik. Padahal pemerintah Afghanistan saat itu bersama dengan pasukan koalisi pimpinan NATO (North Atlantic Treaty Organization) telah bersusah payah menata kehidupan sosial politik dan keamanan agar bebas dari gangguan serangan milisi Taliban.14 Seluruh pelaksanaan NATO menyebabkan penderitaan besar bagi masyarakat Afghanistan.15

Tentu hal itu menjadi kewajiban kepemimpinan selanjutnya dalam membangun Afghanistan yang lebih progresif. Terpilihnya Mohammad Ashraf Ghani pada September 2014 diharapkan mampu menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) bagi Afghanistan. Tata pemerintahan yang baik dalam hal ini adalah pelayanan publik yang efisien, sistem pengadilan yang dapat diandalkan dan pemerintahan yang bertanggung jawab.

Harapan dan keinginan mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance) juga merupakan tekad yang pernah diucapkan oleh Mohammad Ashraf Ghani saat beliau dilantik sebagai Presiden Afghanistan yang secara

13 New York Times, “Corruption Remains Intractable in Afghanistan Under Karzai Government”, artikel ini diakses dari http://www.nytimes.com/2012/03/08/world/asia/corruption-remains-intractable-in-afghanistan-under-karzai-government.html pada 17 November 2016.

14BBC Indonesia, “NATO Dianggap Gagal oleh Presiden Karzai”, artikel ini diakses dari

http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/10/131008_afghanistan_nato pada 17 November 2016. 15 Presiden Afghanistan Hamid Karzai mengkritik NATO gagal menciptakan stabilitas di negaranya selama satu dekade misinya di negeri itu. Dalam bidang keamanan, seluruh pelaksanaan NATO menyebabkan penderitaan besar bagi warga Afghanistan. Dilihat dari Kompas, “Hamid Karzai: NATO Gagal Di Afghanistan”, artikel ini diakses dari http://tekno.kompas.com/read/2013/10/08/1816472/Hamid.Karzai.NATO.Gagal.di.Afghanistan

(21)

8

langsung dipilih oleh rakyat.16 Harapan dan keinginannya ini diimplementasikan ke dalam kebijakan-kebijakannya selama menjabat, terhitung sejak tahun 2014 sampai dengan 2016, setelah melewati masa transisi demokrasi.

Tahun 2014 diharapkan menjadi momentum tegaknya pemerintahan yang bersih serta bebas korupsi, dan berakhirnya krisis berkepanjangan yang dialami masyarakat Afghanistan. Untuk itu, skripsi ini akan lebih memfokuskan pada upaya-upaya yang dilakukan oleh Mohammad Ashraf Ghani dalam membangun good governance di Afghanistan, terhitung sejak tahun 2014 sampai dengan 2016.

B. Rumusan Masalah

Melihat permasalahan yang tertulis dalam pernyataan masalah di atas, penulis merumuskan beberapa masalah untuk dijawab dalam skripsi ini, yaitu:

1. Apa saja kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mohammad Ashraf Ghani yang mengarah pada penguatan demokrasi?

2. Bagaimana dampak kebijakan-kebijakan tersebut dalam membangun good governance di Afghanistan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang sudah dipaparkan di atas, maka terdapat beberapa tujuan yang dimaksud dalam penelitian ini:

a. Untuk menjelaskan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Mohammad Ashraf Ghani yang mengarah pada penguatan demokrasi.

16 CNN Indonesia, “Presiden Baru Afghanistan Dilantik”, artikel ini diakses dari

(22)

9

b. Untuk mendeskripsikan dampak kebijakan-kebijakan Mohammad Ashraf Ghani dalam membangun good governance di Afghanistan.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang terdapat dalam penelitian ini adalah:

a. Mengetahui perkembangan demokrasi di Afghanistan di masa sekarang.

b. Sebagai pengembangan ilmu politik tentang kajian demokrasi di Asia Selatan, khususnya Afghanistan.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka di skripsi ini dimengerti sebagai kajian atau tinjauan terhadap literatur, buku dan artikel ilmiah yang dianggap relevan untuk diteliti dan menjadi landasan penulis untuk memposisikan penelitian tentang Afghanistan ini.17 Penggunaan tinjauan pustaka ini merupakan sesuatu yang kami anggap penting, karena diperlukan untuk menyusun peta konsep. Karenanya, dibutuhkan beberapa buku acuan, tulisan ataupun teori untuk membahas dan menganalisis agenda konsolidasi demokrasi di Afghanistan. Berikut beberapa literatur yang penulis gunakan dalam memetakan penelitian ini, baik dari segi perdebatan akademik, perbandingan kasus maupun kerangka teoritis.

Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Proses Demokrasi di Myanmar: Analisa Terhadap Dinamika Politik Myanmar Tahun 2011-2012, ditulis oleh Ikhwan

(23)

10

Efendi18. Skripsi ini menganalisa tentang proses demokrasi yang terjadi di Myanmar sejak tahun 2011-2012. Adanya perubahan dari negara otoritarian menjadi negara yang demokratis dialami oleh Myanmar yang sedang berusaha mereformasi politiknya dengan serius di bawah pemerintahan sipil yang baru Thein Sein. Skripsi ini memaparkan mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses perubahan demokrasi Myanmar dan apa saja perubahan demokrasi Myanmar yang telah terjadi sampai saat ini.

Literatur berikutnya ialah sebuah artikel yang dimuat dalam sebuah jurnal ilmiah yang berjudul “Pembangunan Perdamaian Pasca-Konflik di Indonesia: Kaitan Perdamaian, Pembangunan dan Demokrasi dalam Pengembangan Kelembagaan Pasca-Konflik”. Artikel ini ditulis oleh Lambang Trijono.19 Artikel tersebut secara khusus membahas masalah-masalah dan tantangan yang dihadapi daerah-daerah pasca-konflik di Indonesia seperti Maluku, Maluku Utara, Poso, Kalimantan Barat, dan lainnya, dan dalam tingkat tertentu mengalami konflik jauh sebelum transisi demokrasi berlangsung. Fokus utama pembahasan ditujukan pada bagaimana kemudian demokrasi hadir sebagai harapan penanganan damai yang diharapkan membawa perbaikan pada kondisi sosial ekonomi dan keamanan di masyarakat.

18 Ikhwan Efendi, “Proses Demokrasi di Myanmar: Analisa terhadap Dinamika Politik Myanmar Tahun 2011-2012, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013).

(24)

11

Kemudian artikel yang berjudul “Konsolidasi Demokrasi” yang ditulis oleh Kris Nugroho.20 Artikel ini secara khusus mengamati tentang proses demokratisasi di Indonesia yang relatif dilanda berbagai gejolak. Diwarnai konflik elite politik, konflik primordial dan ancaman-ancaman pemisahan diri dari beberapa provinsi meyakinkan pembaca bahwa rezim Abdurrahman Wahid saat itu tidak mampu mengantarkan Indonesia mencapai transisi demokrasi. Jurnal ini memaparkan mengenai fase-fase demokratisasi yang harus ditempuh guna mencapai demokrasi yang terkonsolidasi.

Selanjutnya ialah buku yang berjudul Gelombang Demokratisasi Ketiga yang ditulis oleh Samuel P. Huntington.21 Buku ini membahas perkembangan politik global pada akhir abad ke-20, yakni transisi yang dialami sekitar 30 negara dari sistem politik non-demokratis ke sistem politik demokratis. Dalam buku ini penulis menjelaskan mengapa dan bagaimana gelombang demokratisasi tersebut terjadi dengan menganalisis faktor-faktor politik, ekonomi dan budaya yang akan menentukan masa depannya.

Adapun artikel yang berjudul Implementasi Prinsip-prinsip Good Governance dalam Meningkatkan Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, ditulis oleh Sondil E. Nubatonis, Sugeng Rusmiwari dan Son Suwasono.22 Artikel ini menjelaskan untuk menciptakan pemerintahan yang baik salah satunya harus melalui sistem pelayanan publik yang akuntabel. Pelayanan publik saat ini

20Kris Nugroho, “Konsolidasi Demokrasi”, Jurnal Masyara kat, Kebudayaan dan Politik, Vol. XIV No. 2 (April 2001: 25-34).

21 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga , (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2001).

(25)

12

memiliki berbagai kelemahan, yaitu kurang koordinasi, kurang bikrokratis, kurang mau mendengar keluhan, dan kurang inefisien. Artikel ini secara khusus menelaah upaya apa saja yang dilakukan guna mendorong terciptanya good governance dalam pelayanan publik.

Selanjutnya adalah buku yang berjudul Analisis Masalah Good Governance dan Pemerintahan Strategis, ditulis oleh Roby Arya Brata.23 Buku ini merupakan hasil kontemplasi mendalam penulis atas permasalahan tata kelola pemerintahan (good governance), anti-korupsi, hukum, dan kebijakan kontroversial kontemporer yang diperdebatkan baik di masyarakat maupun komunitas kebijakan (policy community). Berbagai isu kebijakan dibahas dalam buku ini, mulai dari strategi dan paradigma baru KPK, reformasi konstitusi, Perang Suriah, terorisme, penyadapan intelijen, hingga permasalahan yang berhubungan dengan tata pemerintahan yang baik.

Kemudian untuk melengkapi informasi mengenai situasi dan kondisi politik Negara Afghanistan, penulis menggunakan skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin yang berjudul Penyelesaian Konflik Afghanistan-Pakistan Sebuah Pendekatan Rekonsiliasi, ditulis oleh Umiyati Haris.24 Skripsi ini menggambarkan tentang konflik Afghanistan dan Pakistan hingga upaya penyelesaian konflik kedua negara melalui proses rekonsiliasi. Pembahasan difokuskan pada bagaimana penyelesaian konflik antara kedua negara tersebut.

23

Roby Arya Brata, Analisis Masalah Good Governance dan Pemerintahan Strategis, (Jakarta: Pustaka Kemang, 2016).

(26)

13

Berdasarkan ketujuh literatur yang penulis telah paparkan di atas, adapun yang membedakan skripsi ini dibandingkan dengan penulis di atas adalah pembahasan tentang agenda konsolidasi demokrasi yang terjadi di Afghanistan. Beberapa tulisan di atas akan mengantarkan penulis untuk menerima informasi tentang penjelasan mengenai topik skripsi ini.

E. Metode Penelitian

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Metode kualitatif ini telah banyak digunakan dalam studi Ilmu Politik, karena para partisipan dalam dunia politik ada kecenderungan bersedia berbicara tentang keterlibatan dan peran mereka dalam jabatan kekuasaan formal.25 Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Contohnya, dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, di samping juga tentang peranan organisasi, pergerakan sosial, atau hubungan timbal balik, dan lain-lain.26 Dengan begitu penulis berharap dapat mengetahui serta memahami apa yang terjadi di balik fenomena yang kadang sulit dipahami.

2. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis data berupa data primer. Adapun data primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

25

David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik, (Bandung: Nusamedia, 2002), h. 242.

(27)

14

wawancara dan literatur bacaan. Wawancara adalah interaksi bahasa yang berlangsung antara dua orang dalam situasi yang berhadapan, salah seorang yaitu yang melakukan wawancara meminta informasi atau ungkapan kepada orang yang diteliti yang berputar di sekitar pendapat dan keyakinannya.

Penulis melakukan wawancara dengan orang yang terkait dengan penelitian yang sedang penulis teliti. Maka dalam hal ini wawancara dilakukan dengan masyarakat Afghanistan asli, yaitu Mohammad Salim adalah seorang profesor di bidang hukum, Ahmad Nadeem Kakar adalah seorang Office Administrator Legal Education Support Program Afghanistan, kemudian S. Hamidullah Husaini yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Luar negeri Kabul. Penulis juga melakukan wawancara dengan Patrice Lumumba. Beliau merupakan Dosen Hubungan Internasional di Universitas Hasanuddin.

Sedangkan data primer lainnya ialah penulis menggunakan berupa bahan bacaan mulai dari buku-buku, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, artikel-artikel, internet, serta yang berkaitan dengan penelitian ini. Untuk mendapatkan hal itu, maka penulis berkunjung ke perpustakaan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Universitas Hasanuddin, perpustakaan Universitas Indonesia, serta Perpustakaan Nasional.

F. Teknik Analisis Data

(28)

15

dari berbagai sumber, kemudian direduksi dengan membuat abstraksi penyederhanaan sebagai usaha membuat rangkuman inti dan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Secara umum, teknik penulisan studi ini bersandar pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” yang diterbitkan oleh

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi ke dalam lima bab. Berikut adalah sistematika penulisan dalam penelitian ini:

Bab I, penulis memaparkan mengenai pernyataan masalah yakni berisi

substansi permasalahan yang dikaji dalam penelitian, dalam hal ini ialah agenda konsolidasi demokrasi di Afghanistan, upaya Mohammad Ashraf Ghani dalam membangun good governance. Kemudian dipaparkan pula pertanyaan penelitian, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan yang berkaitan dengan topik penelitian.

Bab II, penulis mengeksplorasi kerangka teori yang digunakan sebagai

rancangan konseptual guna menjawab pertanyaan penelitian ini. Teori yang digunakan adalah teori konsolidasi demokrasi dan good governance.

Bab III, penulis memfokuskan pembahasan pada gambaran umum

(29)

16

Bab IV, penulis melakukan analisa untuk mengetahui kebijakan-kebijakan

yang telah dibuat oleh Mohammad Ashraf Ghani yang mengarah pada penguatan demokrasi, serta menjelaskan secara rinci mengenai dampak kebijakan tersebut dalam membangun good governance di Afghanistan.

BAB V, penulis menjabarkan temuan-temuan yang diperoleh dalam

(30)

17 BAB II

KERANGKA TEORETIS

Pada bab ini, penulis akan mengambil dua teori sebagai rancangan konseptual guna menjawab pertanyaan penelitian dalam studi ini, yakni: Pertama, penulis menggunakan teori konsolidasi demokrasi sebagai tahapan akhir dalam proses demokratisasi sebuah negara. Teori ini digunakan sebagai landasan untuk menelaah bagaimana kriteria sebuah negara dikatakan berhasil dalam mencapai tahapan konsolidasi demokrasi dalam proses demokratisasi suatu negara.

Kedua, penelitian ini juga akan memakai teori good governance untuk melihat seberapa jauh komitmen Mohammad Ashraf Ghani dalam membangun good governance di Afghanistan. Dalam hal ini, agenda politik dan kebijakan-kebijakan Mohammad Ashraf Ghani, terhitung sejak tahun 2014 (saat ia terpilih) hingga saat ini dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dan politik di Afghanistan.

1. Konsolidasi Demokrasi

(31)

18

politik, baik partai politik, elite, kelompok-kelompok kepentingan maupun masyarakat politik.27

Sedangkan menurut Larry Diamond28 konsolidasi demokrasi adalah:

“Proses dengan apa demokrasi mendapatkan legitimasi yang luas dan kuat dari warga negara, sehingga sangat kecil kemungkinannya ia akan ambruk. Proses itu melibatkan perubahan perilaku dan institusi yang menormalkan politik yang demokratis dan mengurangi tingkat ketidakpastiannya. Normalisasi tersebut menuntut perluasan akses yang dimiliki oleh warga negara, tumbuhnya budaya dan kewarganegaraan yang demokratis, pelebaran ruang rekruitmen dan pelatihan kepemimpinan, dan fungsi-fungsi lain yang dimainkan oleh civil society.”

Alasan mengapa konsolidasi demokrasi perlu dilakukan adalah untuk membangun rezim demokratis yang kuat dan melembaga setelah runtuhnya rezim otoriter. Setelah rezim otoriter berakhir, situasi politik tidak menentu (chaos), fragmentasi sipil, militer frustasi dan merasa terpojokan atas perannya mendukung rezim masa lalu dan norma, aturan dan prosedur (rule of the game) baru yang mewakili sistem demokrasi belum terbentuk. Itulah sebabnya konflik-konflik menjadi terbuka dan sulit dikendalikan mengingat penguasa baru belum punya pijakan politik yang bisa absah diterima semua kelompok politik guna menyelesaikan konflik-konflik politik yang muncul.29

Untuk itu, menurut Larry Diamond, paling tidak harus dipenuhi tiga syarat utama untuk menuju konsolidasi demokrasi, yakni dilihat pada elit, organisasi dan masyarakatnya. Sebagian besar elit atau tokoh dalam penggalangan opini publik,

27 Guillermo O‟Donnel, Philippe C. Schmitter dan Laurence Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif, h. 5.

28 Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, h. 84-85. Dapat dilihat pula dalam Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 221-222.

(32)

19

budaya, bisnis, organisasi sosial, pemerintahan dan politisi harus percaya bahwa demokrasi adalah format politik terbaik bagi pemerintahan. Keyakinan mereka terhadap demokrasi harus ditunjukkan dengan beberapa aksi nyata, seperti publikasi tulisan dan aksi simbolik lainnya di ruang publik. Militer harus ditempatkan sebagai entitas yang netral dalam artian berdiri di semua golongan dan tidak memihak.30

Berdasarkan pernyataan di atas, esensi dari konsolidasi demokrasi adalah legitimasi. Dalam hal ini, semakin tinggi keyakinan semua pihak bahwa demokrasi adalah satu-satunya jembatan untuk menggapai kesejahteraan di Afghanistan, semakin terkonsolidasi demokrasi suatu negara. Sebaliknya, demokrasi berada dalam ancaman ketika semakin banyak aktor yang luntur kepercayaannya terhadap demokrasi dan kemudian memiliki skenario lain yang berlawanan dengan arus demokratisasi.

Hal serupa disampaikan oleh Juan J. Linz, menurutnya demokrasi menjadi “the only game in town” (satu-satunya aturan yang berlaku). Keyakinan akan

demokrasi tersebut bahkan tetap terpelihara dalam situasi politik dan ekonomi yang sangat buruk sekalipun, sehingga mayoritas rakyat tetap meyakini perubahan politik harus tetap dilakukan berdasarkan parameter-parameter yang terdapat dalam prosedur demokratis. Jadi, konsolidasi demokrasi membutuhkan lebih dari sekedar pemilu.31

Sementara itu, Juan Linz menyebutkan ada lima kondisi yang saling berkaitan dan saling menguatkan satu sama lain yang diperlukan agar demokrasi

30 Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, h. 87.

(33)

20

terkonsolidasi, yakni: (1) Kondisi yang memungkinkan pengembangan masyarakat sipil yang bebas; (2) Adanya masyarakat politik yang otonom; (3) Kepatuhan dari seluruh pelaku politik utama, terutama dari para pejabat pemerintahan pada rule of law; (4) Harus terdapat birokrasi negara yang dapat dipergunakan oleh pemerintahan demokratis baru (usable bureaucracy); (5) Keharusan akan adanya masyarakat ekonomi yang terlembagakan.32

Kemudian masih dalam agenda konsolidasi demokrasi, Larry Diamond mengajukan beberapa hal agar konsolidasi demokrasi dapat tercapai33, yaitu:

1. Memperluas akses warga negara terhadap sistem peradilan dan membangun suatu rule of law yang sesungguhnya;

2. Mengendalikan perkembangbiakan korupsi politik yang dapat meningkatkan sinisme dan pengasingan dari proses politik;

3. Penguatan pembuatan hukum dan kekuasaan investigatif badan legistalif sehingga menjadi badan yang profesional dan independen;

4. Desentralisasi kewenangan negara dan penguatan pemerintahan daerah, sehingga demokrasi dapat lebih responsif dan bermakna bagi seluruh warga negara di seluruh wilayah suatu negara;

5. Menciptakan partai-partai politik yang mampu memobilisasi dan merepresentasikan kepentingan yang berkembang di masyarakat, bukan hanya kepentingan personal para pemimpin dan lingkungan para politisi belaka;

32 Juan J. Linz, Defining Crafting Democratic Transition, Constitutions, and Consolidation, h. 28-34.

(34)

21

6. Membangun kekuatan masyarakat sipil dan media yang independen yang dapat memelihara modal sosial, partisipasi warga, membatasi tetapi memperkuat kewenangan konstitusional dari negara;

7. Memperkenalkan, baik di dalam maupun di luar sistem persekolahan. Program pendidikan warga baru yang dapat menumbuhkan kemampuan untuk berpartisipasi dan meningkatkan toleransi, nalar, moderasi dan kompromi, yang merupakan tanda dari kewargaan yang demokratis.

2. Good Governance

Secara konseptual, good dalam Bahasa Indonesia adalah “baik” dan “governance” adalah “pemerintahan”. Menurut LAN (Lembaga Administrasi

Negara), good governance mengandung dua pengertian, yakni34:

a. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial.

b. Aspek-aspek fungsional dan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Berbagai pendapat yang dikemukakan para ahli dalam memahami arti good governance, salah satunya menurut Robert Charlick. Ia mendefinisikan good governance sebagai pengelolaan segala macam urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan/atau kebijakan yang baik demi untuk

(35)

22

mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan.35 Sedangkan good governance menurut Mardiasmo adalah suatu konsep pendekatan yang berorientasi kepada pembangunan sektor publik oleh pemerintahan yang baik.36

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo, good governance dianggap sebagai suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut sebagai adminstrasi pembangunan, yakni menempatkan peran pemerintah sentral yang menjadi Agent of change dari suatu masyarakat berkembang/developing di dalam Negara berkembang. Dikatakan Agent of change karena perubahan yang dikehendakinya, menjadi planned change (perubahan yang berencana), maka disebut juga Agent of Development. Agent of Development diartikan sebagai pendorong proses pembangunan dan perubahan masyarakat bangsa. Pemerintah mendorong melalui kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-program, proyek-proyek, dan peran perencanaan dalam anggaran.37

Selanjutnya, Bank Dunia mengartikan good governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem peradilan yang dapat diandalkan, pemerintahan yang bertanggung jawab pada publiknya, pengelolaan kebijakan sosial ekonomi yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi pemerintahan dan pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan lingkungan yang bersahabat dengan pasar bagi pembangunan, langkah untuk memerangi korupsi,

35 Pandji Santosa, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance, (Bandung: Refika Aditama, 2008), h. 130.

(36)

23

penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi.38

Berdasarkan uraian pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa good governance adalah suatu konsep tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan penggunaan otoritas politik dan kekuasaan demi pembangunan masyarakat yang solid dan bertanggung jawab secara efektif melalui pembuatan peraturan dan kebijakan yang absah dan yang merujuk pada kesejahteraan rakyat, pengambilan keputusan, serta tata laksana pelaksanaan kebijakan.

Sadu Wasistiono mengemukakan bahwa tuntutan akan good governance timbul karena adanya penyimpangan dalam penyelenggaraan negara dari nilai demokratis sehingga mendorong kesadaran warga negara untuk menciptakan sistem atau paradigma baru untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tidak melenceng dari tujuan semula.39

Dalam hal ini, penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti.40 Tentu saja good governance di Afghanistan akan berkembang sehat di bawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.

38 Suto Eko, Mengkaji Ulang Good Governance, (Yogyakarta: IRE, 2008), h. 13. 39

Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Bandung: Fokus Media, 2003), h. 23.

(37)

24

Maka dari itu, membangun good governance adalah mengubah cara kerja state, membuat pemerintah accountable, dan membangun pelaku-pelaku di luar negara cakap untuk ikut berperan membuat sistem baru yang bermanfaat secara umum. Dalam konteks ini, tidak ada satu tujuan pembangunan yang dapat diwujudkan dengan baik hanya dengan mengubah karakteristik dan cara kerja institusi negara dan pemerintah. Dalam hal ini, untuk mengakomodasi keragaman, good governance juga harus menjangkau berbagai tingkat wilayah politik.41 Oleh karena itu, membangun good governance di Afghanistan adalah proyek sosial yang besar dan agar menjadi realistis, usaha tersebut harus dilakukan secara bertahap.

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya, dan bertolak dari prinsip-prinsip-prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik. United Nations Development Programme pada paper pertamanya mengidentifikasi karakteristik sistem kepemerintahan yang baik (the characteristics of good system of governance) yaitu:42

“Legitimacy, freedom of association and participation and freedom of the

media, fair and established legal frameworks that are enforced impartially, bureaucratic accountability and transparency, freely available and valid information, effective and efficient public sector management, and

cooperation between governments civil society organizations”.

41 Loina Lalolo, Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi, (Jakarta: Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2003), h. 6.

(38)

25

Namun, dalam perkembangan berikutnya, United Nations Development Programme (UNDP) sebagaimana yang dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara mengajukan karakteristik good governance, sebagai berikut:43

1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk Hak Asasi Manusia.

3. Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.

4. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap “stakeholders”.

5. Consensus Orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan-pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.

(39)

26

6. Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.

7. Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.

8. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung-jawab kepada publik dan lembaga-lembaga “stakeholders”. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.

9. Strategic version. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini. Berdasarkan beberapa karakteristik good governance menurut UNDP yang dikemukakan di atas, Mardiasmo mengemukakan bahwa terdapat tiga pilar yang saling berkaitan untuk mewujudkan good governance, yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas, serta terdapat satu elemen lagi yang dapat mewujudkan good governance yaitu value for money (ekonomi, efisiensi, dan efektifitas).44

(40)

27 BAB III

PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI AFGHANISTAN

A. Profil Negara Afghanistan

Afghanistan merupakan sebuah negara yang terletak di kawasan Asia Selatan. Negara ini berbatasan dengan Turkmenistan, Uzbekistan, dan Tajikistan di sebelah utara, dengan Pakistan di sebelah timur dan selatan, serta dengan Iran di sebelah barat. Ibukota negara ini ialah Kabul. Afghanistan memiliki nama nasional Daulah Islamiyah, atau Emirat Islam Afghanistan, dan mendapat kemerdekaannya dari Inggris pada 19 Agustus 1949.45 Luas wilayah Afghanistan yaitu 652.864 km2 (251.827 sq miles)46 dengan populasi sebanyak 32.564.342 juta jiwa47 pada bulan Juli 2015.

Gambar III.1. Peta Negara Afghanistan

Sumber: www.worldatlas.com

45 Verinder Grover, “Afghanistan: An Introduction,” dalam Verinder Grover (ed)., Government and Politics of Asian Countries 1: Afghanistan, (New Delhi: Deep&Deep Publication PVT.LTD, 2002), h. 1.

46 BBC.com, “Afghanistan Country Profile”, artikel ini diakses dari

http://www.bbc.com/news/world-south-asia-12011352 pada 2 Februari 2017.

47 Maps of World, “Afghanistan Map”, artikel ini diakses dari

(41)

28

Afghanistan memiliki 34 provinsi, namun tabel di bawah hanya menujukkan 29 provinsi dengan tidak mencantumkan 5 provinsi lainnya, yaitu Daykundi; Khost; Nuristan; Panjhsir dan Sar-e Pul. Kemudian provinsi Kabul menempati jumlah populasi terbanyak yakni sebanyak 1.373.572 jiwa. Namun, hal itu tidak sebanding dengan luas wilayahnya yang hanya 4,585 km2. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kabul merupakan kota atau wilayah terpadat di Afghanistan. Sedangkan provinsi Helmand dengan ibukota Lashgar Gah merupakan yang terluas, dengan jumlah penduduk sebanyak 517.645 jiwa.

Tabel III.1. Daftar Provinsi di Afghanistan

Provinsi Ibu Kota Luas Populasi

Badakhshan Feyzabad 47,403 497,758

Badghis Qal‟eh-ye Now 21,858 233,613

Baghlan Baghlan 17,109 533,782

Balkh Mazar-e Sharif 12,593 580,146

Bamian Bamian 17,414 268,517

Farah Farah 47,788 234,621

Faryab Meymaneh 22,279 582,705

Ghazni Ghazni 23,378 646,623

Ghowr Chaghcharan 38,666 337,492

Helmand Lashgar Gah 61,829 517,645

Herat Heart 61,315 769,111

Jowzjan Sheberghan 25,553 588,609

Kabul Kabul 4,585 1,373,572

Kandahar Kandahar 47,676 567,204

Kapisa Mahmud-e-Eraqi 1,871 250,553

Konar Asadabad 10,479 250,122

(42)

29

Laghman Mehtar Lam 7,210 310,650

Lowgar Baraki Barak 4,652 216,241

Nangarhar Jalalabad 7,616 745,986

Nimruz Zaranj 41,356 103,634

Oruzgan Tarin Kowt 29,295 444,168

Paktia Gardez 9,581 482,158

Paktika Orgun 19,336 245,229

Parvan Charikar 9,399 504,750

Samangan Aybak 15,465 261,693

Takhar Taloqan 12,376 519,752

Vardak Kowt-e-Ashrow 9,023 285,557

Zabol Qalat 17,293 179,362

Sumber: Central Statistics Office Website, Maps of World

Kelompok-kelompok suku utama di Afghanistan adalah Pashtun48 (35-40%), Tajik (25-30%), Uzbek (10%), Hazara (10-15%), Turkman (5%) dan lain-lain (2%). Bahasa yang paling banyak digunakan adalah Afghan Persian atau Dari, yaitu 50% dan merupakan bahasa resmi Afghanistan. Selain itu, bahasa Dari juga digunakan sebagai bahasa penghubung antar-suku di Afghanistan. Selanjutnya, terdapat bahasa Pashto yang merupakan bahasa resmi kedua dengan presentasi sebesar 30%.49 Agama mayoritas di Afghanistan adalah Islam, yang terdiri dari 84% Islam Sunni dan 15% Islam Syi‟ah.50

48 Pashtun adalah kelompok etnis dominan di Afghanistan. Mereka merupakan penganut muslim Sunni dan menyebut diri mereka Afghan (suku bangsa dari Afghanistan). Dilihat dari About Afghanistan, “A General Summary The Pashtun People”, artikel ini diakses dari http://www.about-afghanistan.com/pashtun-people.html pada 31 Januari 2016.

49 Central Intelligence Agency Government, “World Factbook”, artikel ini diakses dari

(43)

30

Bentuk Negara Afghanistan adalah republik dengan menganut sistem hukum campuran antara hukum sipil, adat dan hukum. Jenis pemerintahan di Afghanistan adalah unitary presidential republic yang dipimpin oleh presiden, wakil presiden dan perdana menteri. Sedangkan sumber lain menyebutkan jenis pemerintahan Afghanistan adalah Islamic Republic.51

Badan Eksekutif dalam sistem pemerintahan Afghanistan yang terdiri dari chief of state, head of government dan cabinet. Badan Legislatif di Afghanistan menganut sistem dua kamar atau bicameral National Assembly yang terdiri dari Meshrano Jirga atau House of Elders dan diisi oleh 102 kursi. Selanjutnya Wolesi Jirga atau House of People yang diisi dengan tidak lebih dari 250 kursi.52

Partai-partai yang ada di Afghanistan dipengaruhi oleh etnis yang membuat etnis merupakan faktor dominan dalam mempengaruhi aliansi politik. Presentasi partai politik dan posisi untuk duduk dalam pemerintahan berdasarkan kelompok etnis, yaitu Pashtun sebanyak 39%; Hazara 24%; Tajik 21%; Uzbek 6%; lain-lain 10% (termasuk Aimak, Arab, Baloch, Nuristan, Turkmen).53

Masyarakat Afghanistan hidup dengan berpedoman pada prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang disesuaikan dengan norma-norma suku Pashtun dan adat istiadat lokal lainnya. Meski demikian, terdapat perbedaan pandangan terhadap implementasi syari‟ah Islam di antara mereka. Ada yang liberal, konservatif,

maupun ortodoks.54 Namun, secara keseluruhan kehidupan sosial budaya

51 Afghan Web, “Politics Government”, artikel ini diakses dari

http://www.afghan-web.com/politics/government.html pada 31 Januari 2016. 52Afghan Web, “Politics Government”.

53Afghan Web, “Politics Government”.

(44)

31

masyarakat Afghanistan sangat kental dengan unsur agama Islam. Hal ini dikarenakan hampir seluruh masyarakat Afghanistan, terutama etnis Pashtun, merupakan muslim taat bahkan cenderung fanatik.

Hampir sepanjang sejarah Afghanistan, terutama dalam kurun waktu 20-30 tahun terkhir, kehidupan masyarakat Afghanistan diwarnai dengan kegiatan pengungsian ke negara-negara tetangga terdekatnya, terutama Pakistan dan Iran. Pada masa perang internal misalnya, yaitu sekitar tahun 1992 hingga 1994, jumlah pengungsi Afghanistan di Pakistan adalah sekitar 3.2 juta penduduk dan di Iran sebanyak 2.9 juta penduduk. Para pengungsi Afghanistan telah mengalami gangguan-gangguan yang radikal dalam kebudayaan, organisasi sosial, serta kehidupan perekonomian mereka, terutama sejak mereka diharuskan mengungsi akibat perang yang berkepanjangan.55

Peperangan yang berlangsung selama bertahun-tahun dan ketidakstabilan politik saat itu telah meninggalkan Negara Afghanistan dalam reruntuhan dan bergantung pada bantuan asing.56 Pada tahun 2011, Afghanistan mempunyai utang sebesar $2.300.000.000 dimana utang tersebut antara lain berasal dari Rusia $987.000.000, Bank Pembangunan Asia $596.000.000, Bank Dunia $435.000.000, Dana Moneter Internasional $114.000.000, Jerman $18.000.000,

55Zaenal Arifin, “Pengaruh Invasi Militer Amerika Serikat Terhadap Proses Demokrasi di Afghanistan”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 24.

(45)

32

Saudi Development Fund $47.000.000, Bank Pembangunan Islam $11.000.000, Bulgaria $51.000.000, Iran $10.000.000, dan Opec $1.800.000.57

Sementara dalam kehidupan politik, sebelumnya pergolakan selalu terjadi di Afghanistan. Kudeta pemerintahan telah terjadi sejak sejarah politik kontemporer Afghanistan dimulai pada tahun 1919, hingga Afghanistan mengalami invasi eksternal oleh Uni Soviet. Pada tahun 1979 pun perebutan kekuasaan politik terus berlangsung. Pada Desember 1979, pasukan Uni Soviet menginvasi Afghanistan berkaitan dengan perjanjian persahabatan 1978. Dewan Revolusi kemudian memilih Sayid Mohammad Najibullah sebagai Presiden Afghanistan pada September 1987.58

Setelah melakukan perundingan pada November 1991 dengan gerakan oposisi Afghanistan (Mujahidin), pemerintah Uni Soviet setuju untuk mentransfer dukungannya dari rezim Najibullah ke rezim Islamic Interim Government atau Pemerintahan Islam Interim. Ketika pasukan Mujahidin mulai menguasai Kabul, Presiden Najibullah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden pada 16 April 1992.59

Setelah kepergian Presiden Najibullah, power di Afghanistan dipegang dan dikuasai penuh oleh dewan pemimpin yang beranggotakan 10 orang, dipimpin oleh Burhanuddin Rabbani yang dinobatkan menjadi presiden Interim Afghanistan pada 28 Juni 1992. Pada Desember 1992, pertemuan dewan yang

57 Index Mundi, “Afghanistan Private Debt”, artikel ini diakses dari

http://www.indexmundi.com/facts/afghanistan/private-debt pada 1 Februari 2017.

58Zaenal Arifin, “Pengaruh Invasi Militer Amerika Serikat Terhadap Proses Demokrasi di Afghanistan”, h. 28.

(46)

33

terdiri dari 1.335 delegasi nasional mengikuti konvensi dan memilih kembali Burhanuddin Rabbani sebagai Presiden Afghanistan.60

Mandat Presiden Rabbani seharusnya berakhir pada Juni 1994, namun ia tetap memegang jabatannya, sehingga kembali terpilih menjadi Presiden Afghanistan secara resmi pada 30 Januari 1995. Setahun berikutnya, Taliban telah berhasil mengendalikan dua pertiga Afghanistan, termasuk Kabul. Sejak saat itu, Afghanistan terpecah antara wilayah selatan yang dikuasai oleh kelompok fundamentalis Taliban dan wilayah utara yang dikuasai oleh faksi liberal.61

B. Lahirnya Demokrasi Pasca Jatuhnya Rezim Taliban

Sejak dahulu, masyarakat Afghanistan dikenal sangat gigih dan bersemangat dalam membela Islam. Mereka melawan musuh-musuh Islam dan berhasil melumpuhkannya, termasuk Uni Soviet.62 Perlawanan ini pada akhirnya melahirkan sejumlah kelompok dan organisasi Islam yang seringkali justru saling bertikai demi untuk merebut kekuasaan. Di antara organisasi dan kelompok paling masyhur yang terlahir kala itu adalah Jami’iyyah Islamiyyah (Jemaat Islamiyah), Partai Islam (al-Hizb al-Islami), kelompok Mujahidin dan kelompok Taliban.

Konflik sektarian yang melanda Afghanistan tidak lepas dari realitas masyarakat Afghanistan yang beragam dan keinginan yang sangat tinggi dari para kelompok islamis dalam memimpin Afghanistan. Terbukti, lengsernya suatu rezim menandai kelahiran sebuah rezim baru. Hal ini semakin terasa ketika

60 Ibid., h. 29.

61 Ibid.

(47)

34

kelompok Taliban mampu menapaki kekuasaan Afghanistan setelah memporak-porandakan pemerintahan fragmentatif Burhanuddin Rabbani, salah seorang pemimpin Jami‟at Islam, salah satu faksi Mujahidin Afghan.

Sejak Taliban menguasai Afghanistan, kelompok ekstrimis ini langsung mengubah hukum-hukum yang ada dan membuat hukum-hukum yang baru dengan menggunakan syari‟at Islam sebagai landasan utamanya. Di bawah

pemerintahan tangan besi Taliban, kehidupan sehari-hari menjadi mimpi buruk bagi masyarakat Afghanistan. Diberlakukannya hukum rajam bagi para pezina, hukum cambuk bagi para pemabuk, hukum potong tangan bagi para pencuri dan hukuman mati bagi orang-orang dianggap kafir.

Taliban juga melarang keras adanya musik, bioskop dan seluruh tempat dan kegiatan yang berhubungan dengan Barat. Kaum pria diwajibkan memelihara jenggot dan sepatu berwarna putih63 serta mengumpulkan mereka pada siang hari untuk melaksanakan ibadah. Sementara kaum perempuan diwajibkan memakai pakaian burqa dan dilarang bepergian seorang diri.64 Rezim Taliban sangat merepresi dan melarang perempuan berkiprah di ranah domestik. Perempuan yang dulunya bisa bekerja, bersekolah dan menentukan pilihan hidupnya saat itu tidak dirasakan lagi oleh mereka.

Ketidakadilan terhadap perempuan di bawah beragam versi fundamentalisme Islam, baik itu para penguasa Afghanistan sebelumnya,

63 Warna putih adalah warna resmi pemerintahan Taliban, ia dianggap suci karena bendera Taliban berwarna putih polos. Taliban melarang keras kaum perempuan mengenakan sepatu putih, sebab putih dianggap adalah warna milik kaum laki-laki. Dilihat dari Anton Kurnia, Dari Penjara Taliban Menuju Iman, (Jakarta: PT Mizan Pustaka, 2007), h. 59.

(48)

35

Mujahidin ataupun Taliban, adalah satu hal yang tragis. Hal itu terjadi semenjak pecahnya perang sipil di Afghanistan. Perempuan secara resmi menjadi urusan nomor dua di bawah kekuasaan Mujahidin, dan ditambah kekuasaan Taliban, kondisi tersebut menjadi semakin buruk.65 Melihat fenomena di atas, memberikan kita pemahaman bahwa Taliban hanyalah sebuah contoh paling akhir dari versi pemerintahan otoriter di Afghanistan.

Hingga tahun 1998, Taliban memang telah berhasil menguasai Afghanistan. Namun, keberhasilan ini justru menambah kompleks suasana. Konflik bersenjata terus bergulir. Munculnya Aliansi Utara (Northern Alliance)66 pada tahun 1998 yang dipelopori oleh Ahmad Shah Massoud dan pengikutnya menandai babak baru terhadap konflik di Afghanistan. Keinginan yang tinggi dari Massoud untuk melengserkan rezim Taliban terlihat lewat aksi-aksi gerilyanya dalam melawan kelompok Taliban di pegunungan Hindu Kush, Afghanistan Utara.

Tahun 1998 juga ditandai dengan menegangnya hubungan antara Iran dan Afghanistan. Pasukan Taliban membunuh puluhan diplomat di gedung kesultanan Iran tidak lama setelah melakukan serangan ke kota Mazar.67 Insiden tersebut langsung mengundang kemarahan Iran yang sempat mengancam akan menginvasi Afghanistan. Terbukti, selama Afghanistan di bawah kendali Taliban, hanya ada 3

65 Ibid., h. 4.

66

Aliansi Utara diusir oleh Taliban pada tahun 1996, dan dibentuk kembali sebagai suatu kelompok gerakan bawah tanah. Kelompok ini menguasai beberapa provinsi di bagian uatara Afghanistan pada tahun 1996 hingga 2001. Setelah peristiwa 11 September, angkatan bersenjata Amerika Serikat bersekutu dengan Aliansi Utara, yang memungkinkan dilakukannya pengepungan kembali kota Kabul. Dilihat dari Buku Omar Nasiri, Inside The Jihad: Teroris atau Tentara Tuhan?, (Jakarta: Zahira, 2007), h. 559.

67 CNN, “Taliban Threatens Retaliation If Iran Strikes”, artikel ini diakses dari

(49)

36

negara di dunia yang mengakui kedaulatan pemerintahan Taliban, yakni: Pakistan, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.68

Namun, pasca rezim Taliban berhasil dijatuhkan69 dan kemudian terpilihnya Hamid Karzai sebagai Presiden Afghanistan pada tahun 2004 dan 2009 melalui pemilihan umum, telah mengantarkan Afghanistan menuju transisi demokrasi. Kemudian pada September 2014, pelantikan Presiden baru Afghanistan menandai lembaran baru pemerintahan. Mohammad Ashraf Ghani secara resmi terpilih menjadi Presiden Afghanistan menggantikan Hamid Karzai melalui pemilihan umum langsung. Hal ini sekaligus menjadi momentum masyarakat Afghanistan menuntaskan transisi menuju demokrasi.70

Keberhasilan Afghanistan dalam melahirkan sebuah pemerintahan demokratis terlihat dari keikutsertaan masyarakat Afghanistan dalam menyelenggarakan pemilihan umum itu sendiri, meskipun dibayang-bayangi oleh teror kelompok Taliban yang mengancam akan mensabotase proses pemilihan umum presiden 2014. Ancaman ini rupanya tidak mempengaruhi mindset masyarakat Afghanistan, mereka ingin dilibatkan dalam menentukan masa depan negara. Mereka yakin bahwa demokrasi merupakan satu-satunya jalan keluar

68 Muslimedia News, “Taliban Lahir dari Perang Afghanistan”, artikel ini diakses dari

http://www.muslimedianews.com/2016/04/taliban-lahir-dari-perang-afghanistan.html pada 2 Februari 2017.

69 Rezim Taliban dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan dibantu oleh pasukan Aliansi Utara melalui penyerangan darat dari tiga arah (masing-masing menuju Kabul, Qandahar dan Jalalabad). Gempuran ini memang telah melumpuhkan Taliban pada Desember 2001. Kurang dari seminggu setelah Kabul Jatuh, meski Taliban tidak pernah memberi konfirmasi tentang kemundurannya, Amerika mengumumkan jatuhnya Taliban dan menyerahkan kekuasaan pada Hamid Karzai, seorang yang loyal kepada Amerika Serikat. Dilihat dari Buku Iwan Hadibroto, Perang Afghanistan: Di Balik Perseteruan Amerika Serikat vs. Taliban, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), h. 121.

70Iran Indonesian Radio, “Membangun Demokrasi di Afghanistan”, artikel ini diakses dari

(50)

37

untuk menjauhkan Afghanistan dari konflik yang berkepanjangan, dan partisipasi politik merupakan solusi untuk kehidupan berpolitik di Afghanistan, bukan kekerasan ataupun terorisme.

C. Proses Transisi Demokrasi

Proses transisi demokrasi di Afghanistan berlangsung melalui tiga tahapan penting: Pertama, ditandai dengan terbentuknya pemerintahan transisional Afghanistan sebagai awal dibukanya keran demokrasi di Afghanistan, terpilihnya Hamid Karzai sebagai Kepala Pemerintahan Transisi dan sebagai momentum jatuhnya rezim Taliban. Kedua, Pemilihan Umum 2004 yang merupakan pemilihan umum pertama yang melibatkan masyarakat Afghanistan. Kemudian yang ketiga adalah Pemilihan Umum 2009 yang berhasil mengantarkan Hamid Karzai terpilih kembali menjadi Presiden Afghanistan.

C.1. Terbentuknya Pemerintahan Transisional Afghanistan

Demokratisasi di Afghanistan dapat dikatakan dimulai pada saat rezim Taliban berhasil dijatuhkan, yaitu pada November 2001. Sebulan setelah peristiwa tersebut, para pemimpin Afghanistan, baik tokoh masyarakat maupun pemuka agama, bertemu dengan perwakilan PBB di Bonn, Jerman, untuk menyusun pedoman pembentukan pemerintahan baru Afghanistan.71 Para tokoh mewakili empat faksi dari Afghanistan, yaitu Aliansi Utara, kelompok utara yang mewakili mantan Raja Afghanistan Mohammad Zahir Shah, kelompok Peshawar yang

Gambar

Tabel 3.2. Hasil Perolehan Suara Pilpres 2009 ...............................................
Gambar 3.1. Peta Negara Afghanistan ............................................................
Gambar III.1. Peta Negara Afghanistan
Tabel III.1. Daftar Provinsi di Afghanistan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Jumlahkan setiap penerimaan dan pengeluaran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan pada kartu stok dan memberi dengan warna merah dibawah jumlah penerimaan dan

Siklus refrigerasi kompresi mengambil keuntungan dari kenyataan bahwa uida yang bertekanan tinggi pada suhu tertentu cenderung menjadi lebih dingin jika dibiarkan mengembang.

Pada diagramdi atas, terlihat bahwa siswa kelas eksperimen dan kontrol memiliki kemampuan yang hampir sama sebelum diberikan perlakuan, namun keduanya memiliki rata-rata

Pada pasien ini didiagnosis tuberkulosis paru BTA positif dengan sklofuloderma berdasarkan data yang merujuk kepada literatur dimana pasien mengeluh batuk

Sehingga akan diterangkan bahwa daun sirih yang temu ruas adalah daun sirih yang dapat digunakan untuk pengobatan, diantaranya untuk mengobati keputihan pada wanita,

Pada form konsultasi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menekan tombol tambah agar semua yang akan di input bisa berfungsi selanjutnya klik no registrasi

Sementara penjualan Perseroan mencapai Rp6,44 triliun pada 2013 atau naik 28% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp5,02 triliun.. Penjualan segmen distribusi memberikan

Mengenai faktor penghambat dalam pelaksanaan sistem among di di Sekolah Dasar Negeri Timbulharjo antara adanya beban kerja selain mengajar, lingkungan sekitar