• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Persepsi Pemangku Kepentingan terhadap Pembiayaan HIV AIDS di Kota Pematangsiantar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Persepsi Pemangku Kepentingan terhadap Pembiayaan HIV AIDS di Kota Pematangsiantar"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persepsi

2.1.1. Pengertian Persepsi

Rakhmat (2005) menyatakan persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Rivai (2008) menyatakan persepsi adalah proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman psikologi.

Menurut Gibson et al. (2003), bahwa persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri.

(2)

Pengertian persepsi seperti yang dikemukakan oleh Mar’at (1981), bahwa persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi dan persepsi itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan. Jadi dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses yang dimulai dari diterimanya suatu rangsangan (penginderaan=sensation) yang meliputi objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa; interpretasi terhadap rangsangan-rangsangan tersebut sampai rangsangan itu disadari dan dimengerti. Oleh karena itu persepsi boleh dikatakan sebagai interpretasi/penafsiran dari pengalaman (the interpretation of experience) dan persepsi terjadi sesudah penginderaan.

Pada hakekatnya sikap adalah merupakan suatu interelasi dari berbagai komponen, dimana komponen-komponen tersebut menurut Allport (dalam Mar'at, 1991) ada tiga yaitu:

1.Komponen kognitif

Komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap tersebut.

2.Komponen Afektif

(3)

3.Komponen Konatif

Komponen konatif merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan dengan obyek sikapnya.

Baron dan Byrne, juga Myers (dalam Gerungan, 1996) menyatakan bahwa sikap terbentuk melalui tiga komponen struktur sikap, yaitu:

1) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.

2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.

3) Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap.

2.1.2. Pembentukan Persepsi dan Faktor yang Memengaruhinya

(4)

penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh.

Persepsi tidak hanya sekedar mendengar, melihat dan merasakan sesuatu yang didapatinya tetapi lebih jauh disepakati persepsi melibatkan rangsangan internal dan eksternal. Persepsi adalah proses pengorganisasian dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungannya. Proses tersebut berkaitan dengan kemampuan interpretasi individu, sehingga masing-masing memberikan interpretasi yang bersifat subyektif terhadap obyek yang sedang menjadi stimulus.

Faktor fihak pelaku persepsi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi seperti sikap, motivasi, kepentingan atau minat, pengalaman dan pengharapan . Variabel lain yang ikut menetukan persepsi adalah umur, tingkat pendidikan, latar belakang sosial ekonomi, budaya, lingkungan fisik, pekerjaan, kepribadian dan pengalaman hidup individu. Secara skematis proses persepsi dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini:

Gambar 2.1. Proses Persepsi Sumber: Rakhmat, 2005

Stimulus Lingkungan

Perhatian

& Seleksi Pengorganisasian

Penafsiran

(5)

Kesamaan persepsi akan mendorong terbentuknya motivasi yang mendukung makna dari perubahan yang terjadi, dengan kata lain bahwa kesamaan persepsi akan mendorong terciptanya motivasi yang optimal bagi pelaksanaan pencapaian tujuan dan misi yang dihadapinya. Begitu juga dalam pembuatan keputusan dan kualitas dari keputusan akhirnya sangat ditentukan oleh persepsi mereka masing-masing.

Menurut Asngari (1984) dalam Rakhmat (2005) pada fase interpretasi ini, pengalaman masa silam atau dahulu. memegang peranan yang penting. Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain termasuk yang kita sebut sebagai faktor-faktor personal. Selanjutnya faktor yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli. Menurut Gibson et al. (2003), persepsi meliputi juga kognisi (pengetahuan), yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman yang bersangkutan.

Proses terbentuknya persepsi menurut Veitch dan Arkellin (1995) dalam Handoko (2008) dibedakan menjadi empat tahapan, yakni detection, recognition, discrimination, dan scaling terhadap stimuli yang diterima dari lingkungan. Proses awal terbentuknya persepsi adalah mendeteksi stimulus berupa perubahan energi dalam lingkungan seperti energi elektromagnetik, mekanik, kimia, atau perubahan suhu lingkungan. Proses deteksi ini merupakan proses mengenali jenis stimuli, tingkat stimuli, intensitas atau jumlah stimuli yang dapat diterima oleh individu.

(6)

individu harus mengetahui stimulus atau objek apa yang dideteksi tersebut. Tahap ketiga adalah diskriminasi terhadap stimuli. Individu harus mampu mendiskriminasikan atau membedakan antara stimulus yang satu dengan stimulus yang lain. Proses diskriminasi ini juga berkaitan dengan keadaan serba seimbang antara individu dengan lingkungannya, artinya ketika individu mampu mendiskriminasikan bahwa stimulus tertentu dapat diterima maka hubungan antara stimulus dengan individu cenderung dipertahankan. Hal ini yang kemudian disebut sebagai kondisi serba seimbang. Namun bila individu telah mendiskriminasikan bahwa stimulus tertentu telah berada di luar batas kemampuan individu untuk menerimanya, maka cenderung akan dilakukan proses adaptasi atau adjustment.

Tahap keempat adalah scaling atau kemampuan mengukur dari individu terhadap stimuli di lingkungannya merupakan proses dimana individu mampu mengukur seberapa besar stimuli yang dapat diterima oleh individu tersebut atau bias juga seberapa besar stimuli yang ada dibutuhkan oleh individu tersebut.

Selanjutnya Robbins (2002) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi selain juga memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi antar individu terhadap objek yang sama. Faktor-faktor tersebut adalah :

(7)

fungsional yang dapat menyebabkan perbedaan persepsi pada setiap orang terhadap suatu objek yang sama.

2. Karakteristik target yang dipersepsi, karena target tidak dilihat sebagai suatu yang terisolasi, maka hubungan antar target dan latar belakang serta kedekatan/kemiripan dan hal- hal yang dipersepsi dapat mempengaruhi persepsi seseorang.

3. Konteks situasi terjadinya persepsi, waktu dipersepsinya suatu kejadian juga dapat mempengaruhi persepsi, demikian pula dengan lokasi, cahaya, panas, atau faktor situasional lainnya.

2.2. Pemangku Kepentingan (Stakeholder)

Pemangku kepentingan didefinisikan sebagai perorangan, organisasi, dan

sejenisnya yang memiliki andil atau perhatian dalam bisnis atau industri. Dalam

konteks sektor kesehatan secara organisasi pemangku kepentingan dapat

dikategorikan dalam lingkup yang lebih luas, yakni pemerintah, lembaga swadaya

masyarakat (LSM), sektor swasta, dan komunitas. Secara perorangan atau kelompok,

pemangku kepentingan mencakup aparat pemerintah (lingkup nasional hingga lokal),

organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya (Diana dan

Ida, 2009)

Implementasi program pembangunan termasuk bidang kesehatan, pemangku

kepentingan memiliki definisi dan pengertian yang beraneka ragam. Istilah pemangku

(8)

permanen menerima dampak dari aktivitas atau kebijakan, di mana mereka

berkepentingan terhadap hasil aktivitas atau kebijakan tersebut. Hal ini perlu disadari,

mengingat masyarakat tidak selalu menerima dampak secara adil. Sebagian

masyarakat mungkin menanggung biaya dan sebagian masyarakat lainnya justru

memperoleh manfaat dari suatu kegiatan atau kebijakan (Johnson, 2003)

Secara garis besar, pemangku kepentingan dapat dibedakan atas tiga

kelompok (Crosby, 1992) dalam Niluh (2007), yaitu:

1) Pemangku kepentingan utama, yakni yang menerima dampak positif atau negatif

(di luar kerelaan) dari suatu kegiatan.

2) Pemangku kepentingan penunjang adalah yang menjadi perantara dalam

membantu proses penyampaian kegiatan. Mereka dapat digolongkan atas pihak

penyandang dana, pelaksana, pengawas, dan organisasi advokasi seperti

organisasi pemerintahan, LSM, dan pihak swasta. Dalam beberapa kegiatan,

pemangku kepentingan penunjang dapat merupakan perorangan atau kelompok

kunci yang memiliki kepentingan baik formal maupun informal.

3) Pemangku kepentingan kunci, yakni yang berpengaruh kuat atau penting terkait

dengan masalah, kebutuhan,dan perhatian terhadap kelancaran kegiatan.

2.3. Penanggulangan HIV AIDS 2.3.1. Pengertian HIV AIDS

(9)

tubuh itu sendiri disebabkan virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). Pada dasarnya HIV adalah jenis parasit obligate yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Virus ini ”senang” hidup dan berkembang biak pada sel darah putih manusia. HIV akan ada pada cairan tubuh yang mengandung sel darah putih, seperti darah, cairan plasenta, air mani atau cairan sperma, cairan sumsum tulang, cairan vagina, air susu ibu dan cairan otak. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut”sel T – 4” atau disebut pula ”sel CD-4”.

Menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), sejak ditemukannya kasus AIDS pertama kali di Indonesia pada tahun 1987, perkembangan kasus HIV/AIDS dilaporkan di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Seluruh provinsi yang ada di Indonesia sebagian penduduknya telah terjangkit HIV/AIDS. Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia secara umum masih rendah tetapi Indonesia telah digolongkan sebagai negara dengan tingkat epdemi yang terkonsentrasi (concentrated level epidemic) yaitu adanya prevalensi lebih 5% pada sub pupulasi tertentu (misalnya pada penjaja seks atau penyalah guna napza).

2.3.2. Manifestasi Klinis HIV/ AIDS

(10)

fotofobia, depresi), maupun gangguan saluran cerna (anoreksia, nausea, diare, jamur di mulut). Gejala ini dapat berlangsung 2-6 minggu gejala menghilang disertai serokonversi. Selanjutnya merupakan fase asimtomatik, tidak ada gejala, selama rata-rata 8 tahun (5-10 tahun, di negara berkembang lebih cepat). Sebagian besar pengidap HIV saat ini berada pada fase ini. Penderita tampak sehat, dapat melakukan akfivitas normal tetapi dapat menularkan kepada orang lain. Setelah masa tanpa gejala, memasuki fase simtomatik, akan timbul gejala-gejala pendahuluan seperti demam, pembesaran kelenjar limfa, yang kemudian diikuti oleh infeksi oportunistik. Dengan adanya infeksi oportunistik maka perjalanan penyakit telah memasuki stadium AIDS. Fase simptomatik berlangsung rata-rata 1,3 tahun yang berakhir dengan kematian. Setelah terjadi infeksi HIV ada masa dimana pemeriksaan serologis antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif, sementara virus sebenarnya telah ada dalam jumlah banyak. Pada masa ini, yang disebut window period (periode jendela), orang yang telah terinfeksi ini sudah dapat menularkan kepada orang lain walaupun pemeriksaan antibodi HIV hasilnya negatif.

Periode ini berlangsung 3-12 minggu. Terdapat beberapa klasifikasi klinis HIV/AIDS antara lain menurut CDC dan WHO. Klasifikasi dari CDC berdasarkan gejala klinis dan jumlah CD4 sebagai berikut :

(11)

b) Katagori Klinis B, terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) pada remaja atau dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam katagori C dan memenuhi paling sedikit satu dari beberapa criteria berikut (1)Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan, (2) Kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV, misalnya Kandidiasis Osofaringeal, Orall Hairy Leukoplakia, Herpes Zoster,dan lain-lain. c) Katagori Klinis C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS misalnya

Sarkoma Kaposi, Pneumonia Pneumocystis carinii, Kandidiasis Esofagus, dan lain-lain.

2.3.3. Upaya Penanggulangan

Penanggulangan merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan, meliputi kegiatan pencegahan, penanganan , dan rehabilitasi. Infeksi HIV/AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang dan hingga saat ini belum ditemukan obat yang efektif, maka pencegahan dan penularan menjadi sangat penting terutama melalui pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan yang benar mengenai patofisiologi HIV dan cara penularannya. Seperti diketahui, penyebaran virus HIV melalui hubungan seks, jarum suntik yang tercemar, transfusi darah, penularan dari ibu ke anak maupun donor darah atau donor organ tubuh, maka upaya pencegahannya sebagai berikut :

(12)

metode paling aman untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, tidak berganti-ganti pasangan (be faithful), dan penggunaan alat kontrasepsi (use condom).

b) Mencegah perluasan epidemi HIV dari kelompok IDU ke masyarakat luas (general population), terutama pada pasangan seksual para IDU dan pada bayi-bayi yang dikandungnya. Untuk mencegah dampak buruk narkotika (harm reduction) maka Strategi yang ditempuh adalah membantu penyalahguna NAPZA untuk berhenti menggunakan NAPZA (abstinent), mengusahakan agar selalu memakai jarum suntik yang steril dan tidak independent.

c) Pemahanan dan Penerapan kewaspadaan universal (universal precaution) di sarana pelayanan kesehatan untuk mengurangi risiko infeksi yang ditularkan melalui darah. Kewaspadaan universal, meliputi : a) cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan/perawatan, b) penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, c) pengelolaan dan pembuangan alat-alat tajam dengan hati-hati, d) pengelolaan limbah yang tercemar darah/cairan tubuh dengan aman, e) pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi yang benar. d) Melakukan skrining adanya antibodi HIV untuk mencegah penyebaran melalui

darah, produk darah, dan donor darah.

(13)

mencegah seluruh wanita jangan sampai terinfeksi HIV, b) bila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan yang tidak diinginkan, c) bila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya, d) bila ibu dan anak sudah terinfeksi perlu diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarganya. f) Layanan VCT (Voluntary Counseling & Testing) , yakni merupakan program

pencegahan sekaligus jembatan untuk mengakses layanan manajemen kasus (MK) dan CST (Care, Support, Trade) atau perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi ODHA. Layanan VCT meliputi pre test konseling, testing HIV, dan post-test konseling. Kegiatan tes dan hasil test dijalankan atas dasar prinsip kerahasiaan.

Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 mengamanatkan perlunya peningkatan upaya pengendalian HIV dan AIDS di seluruh Indonesia. Respon harus ditujukan untuk mengurangi semaksimal mungkin peningkatan kasus baru dan kematian. Salah satu langkah strategis yang akan ditempuh adalah memperkuat Komisi

(14)

2.3.4. Tujuan Program Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan a. Tujuan Umum:

Mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat.

b. Tujuan Khusus

1) Menyediakan dan menyebar luaskan informasi dan menciptakan suasana kondusif untuk mendukung upaya pengendalian HIV dan AIDS, dengan menitik beratkan pencegahan pada sub-populasi berperilaku risiko tinggi dan lingkungannya dengan tetap memperhatikan sub-populasi lainnya.

2) Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah, LSM, sektor swasta dan dunia usaha, organisasi profesi, dan mitra internasional di pusat dan di daerah untuk meningkatkan respon nasional terhadap HIV dan AIDS.

3) Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan daerah serta inisiatif dalam pengendalian HIV dan AIDS.

2.3.5. Kebijakan Umum Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan

(15)

2) Upaya pengendalian HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA. 3) Upaya pengendalian HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat,

pemerintah, dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian HIV dan AIDS.

4) Upaya pengendalian HIV dan AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat yang rentan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marjinal terhadap penularan HIV and AIDS.

2.3.6. Kebijakan Operasional Pengendalian HIV dan AIDS Sektor Kesehatan 1) Pemerintah pusat bertugas melakukan regulasi dan standarisasi secara

nasional kegiatan program AIDS dan pelayanan bagi ODHA.

2) Penyelenggaran dan pelaksanaan program dilakukan sesuai azas desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program.

(16)

Sesuai dengan kewenangannya, pengembangan layanan ditentukan oleh Dinas Kesehatan.

4) Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosa HIV dan AIDS harus didahului dengan penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed consent). Konseling yang memadai harus diberikan sebelum dan sesudah pemeriksaan dan hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan tetapi wajib dirahasiakan kepada pihak lain.

5) Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tanpa diskriminasi kepada ODHA dan menerapkan prinsip:

a) Keberpihakan kepada ODHA dan masyarakat (patient and community centered).

b) Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna Narkotika Alkohol Psikotropika Zat Adiktif (NAPZA) suntik melalui kegiatan pengurangan dampak buruk (harm reduction) dilaksanakan secara komprehensif dengan juga mengupayakan penyembuhan dari ketergantungan pada NAPZA.

c) Penguatan dan pengembangan program diprioritaskan bagi peningkatan mutu pelayanan, dan kemudahan akses terhadap pencegahan, pelayanan dan pengobatan bagi ODHA.

(17)

Untuk mencapai tujuan program, ditetapkan strategi sebagai berikut:

1) Meningkatkan dan memperkuat kebijakan dan kepemilikan program melalui regulasi, standarisasi layanan program, mobilisasi dan harmonisasi sumber daya dan alokasi pembiayaan.

2) Meningkatkan dan memperkuat sistem kesehatan dan manajemen program, melalui peningkatan kapasitas program, pengembangan SDM program yang profesional, manajemen logistik, kegiatan Monitoring dan Evaluasi (ME) program dan promosi program.

3) Meningkatkan dan menguatkan sistem informasi strategis melalui pengembangan kegiatan surveilans generasi kedua, penelitian operasional untuk memperoleh data dan informasi bagi pengembangan program pengendalian HIV dan AIDS.

4) Memberdayakan ODHA dan masyarakat dalam upaya pencegahan, perawatan, dukungan, pengobatan dan upaya kegiatan program lainnya.

2.4. Pembiayaan Bidang Kesehatan

(18)

Pemerintah Daerah untuk pengelolaan kesehatan dilakukan melalui penyusunan anggaran pendapatan dan belanja, baik pusat maupun daerah, terus diupayakan peningkatan dan kecukupannya sesuai kebutuhan menuju besaran persentase sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan yang berlaku.

Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang

peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka

mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara

diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality). Oleh karena itu

reformasi kebijakan kesehatan di suatu wilayah seyogyanya memberikan fokus

penting kepada kebijakan pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya

kecukupan (adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas

(effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri (SKN, 2012).

(19)

tersebut terlihat bahwa pembiayaan kesehatan sesungguhnya merupakan sebuah investasi untuk mencapai keuntungan dimasa mendatang yaitu peningkatan kualitas kesehatan masyarakat yang lebih baik (Ascobat dan Ilyas, 2002). Alokasi dana yang berasal dari pemerintah untuk Upaya Kesehatan Masyarakat dan Upaya Kesehatan Perorangan dilakukan melalui penyusunan anggaran pendapatan belanja baik pusat maupun daerah sekurang-kurangnya 5% dari PDB dan 15% dari total anggaran pendapatan belanja setiap tahunnya.

Pemenuhan kebutuhan anggaran penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia selama ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan beberapa sumber lain. Sumber lain yang dimaksud adalah mencakup dana dari swasta, masyarakat dan bantuan internasional sebagaimana yang ditetapkan dalam agenda STRANAS HIV/AIDS dan sesuai dengan amanat Perpers No 75 tahun 2006 (Sucipto, 2009).

(20)

masing-masing daerah, mengingat jumlah penderita setiap tahunnya selalu meningkat.

Berdasarkan hasil penelusuran anggaran dan analisis dokumen di semua kementerian/lembaga, ternyata alokasi anggaran untuk penanganan AIDS hanya sebesar Rp 348,2 milyar di tahun 2007, Rp 407,3 milyar tahun 2008, dan Rp 366,6 milyar tahun 2009. Bahkan tahun 2010 anggaran tersebut turun menjadi Rp278,1 milyar dan hanya tersebar di 6 (enam) kementerian/lembaga (Depdiknas, Depkes, Depsos, BKKBN, Kementerian Pemuda dan Olah Raga dan Badan Narkotika Nasional). Padahal jika mengacu pada struktur kelembagaan KPAN seharusnya anggaran tersebut tersebar di 13 (tiga belas) kementerian/lembaga sesuai dengan jumlah kementerian/lembaga yang masuk dalam keanggotaan KPAN.

(21)

2.5. Landasan Teori

Menurut Robbins (2002) persepsi merupakan suatu proses individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera untuk memberi makna lingkungan mereka, dan objek yang dipersepsikan dapat berasal dari luar maupun dari dalam individu itu sendiri, artinya bahwa persepsi merupakan suatu proses penilaian, pengorganisasian dan penafsiran terhadap objek persepsi sehingga individu menyadari dan mengerti objek persepsi tersebut. Persepsi terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS oleh pemangku kepentingan berkaitan dengan pandangan yang objektif terhadap upaya penanggulangan HIV/AIDS yang diawali dari penyusunan rencana kebutuhan anggaran dan pentingnya keberhasilan program HIV/AIDS.

2.6. Kerangka Pikir Penelitian

Adapun kerangka pikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian

Gambar 2.2. di atas menjelaskan bahwa persepsi pemangku kepentingan terhadap pembiayaan HIV/AIDS didasari oleh adanya persepsi pemangku kepentingan terhadap kasus HIV/AIDS, kencenderungan kejadian HIV/AIDS, peran

Persepsi Pemangku Kepentingan

1.Persepsi terhadap HIV/AIDS dan Penularannya 2.Persepsi terhadap Trend Kasus HIV/AIDS 3.Persepsi terhadap Kebutuhan Biaya

Penanggulangan HIV/AIDS

(22)

Gambar

Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hasil identifikasi Bactrocera spp yang menyerang berbagai buah dan parasitoidnya dari lima jenis buah yakni: jambu air, belimbing, jambu biji, melinjo dan mangga tersaji

- Menimbang, bahwa selanjutnya dalam mempertimbangkan suatu perbuatan pidana, sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri Para Terdakwa, maka dalam hukum pidana terdapat dua hal

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa kelas XI SMA N 9 Pekanbaru melalui penerapan model

[r]

mengembalikan fungsi kesehatan yang optimal adalah merupakan lingkup dalam keperawatan anak. Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada

Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana kritis Fairclough yang memadukan kombinasi tradisi analisis tekstual bahasa dalam ruang tertutup, dengan konteks masyarakat

Pada bagian pendahuluan telah diungkapkan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh manfaat hubungan relasional, yang diwakili oleh konstruk manfaat kepercayaan,

Selain itu, Investor masih akan terus mencermati pertumbuhan ekonomi global, pasar Asia diperkirakan akan terus melanjutkan penguatannya didorong oleh optimisme akan