BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Prostat
2.1.1. Anatomi Prostat
Gambar 2.1. Letak Kelenjar Prostat (Schunke, et al, 2006)
Prostat merupakan kelenjar fibromuskular yang mengelilingi uretra pars
prostatika dan diselubungi oleh kapsul jaringan ikat yang tipis . Kelenjar ini
merupakan kelenjar aksesori terbesar pada sistem reproduksi pria dengan panjang
3 cm dan lebar 4 cm dengan berat 20 g pada orang dewasa. Prostat berbentuk
piramidal dengan bagian basal di superior yang tepat berada dibawah bladder neck
dan bagian apex di inferior yang menyelubungi urethra posterior pars prostatika dan
terdapat pleksus Santorini dan jaringan lemak. Pada bagian ini, banyak terdapat
jaringan fibromuskular daripada jaringan glandular. Bagian posterior prostat
terdapat ampulla rektum yang dibatasi oleh fascia Denonvillier, sehingga prostat
dapat dipalpasi dari rektum melalui DRE (digital rectal examination). (Standring,
et al, 2005)
2.1.2. Histologi Prostat
Prostat terdiri dari jaringan tubuloalveolar yang dikelilingi oleh stroma
fibromuskular padat yang diselubungi kapsul fibroelastik.
Kelenjar ini tersusun berlapis-lapis di sekeliling urethra (Mescher, 2010) :
a. Zona sentral (25% volume prostat) mengelilingi duktus ejakulatorius hingga
ke urethra pre-prostatica dan terdiri dari kelenjar submukosa dengan duktus
yang panjang.
b. Zona transisi (5% volume prostat) terdiri dari kelenjar mukosa yang
menyelubungi uretra bagian atas dan merupakan lokasi dari pembesaran
prostat.
c. Zona perifer (70 % volume prostat) berbentuk mangkuk dan menyelubungi
zona sentral, transisi, dan urethra pre-prostatica kecuali bagian anterior.
Zona ini berisi kelenjar-kelenjar utama dan merupakan zona paling sering
terjadi inflamasi dan kanker.
d. Stroma fibromuskular anterior yang terbentuk di seluruh permukaan
anterior prostat dan menutupi seluruh permukaan anterior dari tiga zona
lainnya.
Kelenjar-kelenjar tubuloalveolar prostat dilapisi oleh epitel simple atau
pseudostratified columnar epithelium. Kelenjar ini memproduksi cairan prostat
yang terdiri dari berbagai glikoprotein dan enzim-enzim yang disimpan untuk
dikeluarkan ketika ejakulasi (Mescher, 2010).
2.1.3. Fisiologi Prostat
Kelenjar prostat memiliki fungsi sebagai berikut :
a. Memproduksi cairan basa sehingga dapat menetralkan sekresi vagina yang
asam. Hal ini mendukung sperma untuk dapat hidup di lingkungan yang
sedikit basa (Sherwood, 2011).
b. Menghasilkan enzim pembekuan dan fibrinolisin. Enzim-enzim pembekuan
seminalis, yang “membekukan” semen sehingga sperma yang
diejakulasikan tetap berada di saluran reproduksi wanita. Segera
sesudahnya, bekuan ini diuraikan oleh fibrinolisin sehingga sperma dapat
bergerak bebas di dalam saluran reproduksi wanita (Sherwood, 2011).
c. Memiliki protein seminalplasmin pada sekresi prostat, suatu protein
antibiotik yang mencegah infeksi saluran kemih pada pria. Sekresi ini
dikeluarkan ke uretra pars prostatica melalui kontraksi peristaltik dari
dinding otot prostat (Martini, et al, 2012)
2.2.
Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH)
BPH secara histologis ialah temuan mikroskopis hiperplasia jaringan stroma
dan sel epitel prostat. Proses proliferasi ini membentuk lesi nodular yang besar di
area periurethral prostat terjadi pada zona transisi dan paling sering dialami pada
usia tua dimulai dari 40 tahun ke atas.
2.2.1. Etiologi
Penyebab BPH sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi
faktor resiko yang berpotensi ialah umur, riwayat keluarga, ras, etnis, dan
faktor-faktor hormonal. Faktor-faktor-faktor hormonal ini yang paling berperan ialah androgen
(testosteron) dan estrogen.
Testosteron di plasma, masuk ke sel-sel prostat lalu 90%-nya diubah
menjadi dihidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5-alpha reduktase.
Dihidrotestosteron (DHT), kemungkinan merupakan mediator utama untuk
hiperplasia prostat, yang dibantu estrogen untuk sensitisasi efek pertumbuhan
jaringan prostat oleh DHT (Porth, dan Matfin, 2008).
Cunha (1973) membuktikan bahwa terdapat suatu mediator (growth factor)
tertentu yang mengontrol proliferasi dan diferensiasi sel epitel prostat. Growth
factor ini disintesis oleh sel-sel stroma prostat yang akan mempengaruhi sel stroma
dan sel- sel epitel prostat itu sendiri secara autokrin dan parakrin sehingga
Pembesaran prostat juga disebabkan oleh kematian sel-sel prostat
(apoptosis) yang berkurang. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan sel yang
tumbuh dengan yang mati sehingga menimbulkan penambahan massa prostat.
Diduga hormon androgen menurunkan sintesis protein dan penyusutan jaringan
pada sel-sel prostat karenaterjadi peningkatan aktivitas apoptosis pada sel prostat
setelah withdrawal hormon androgen (McConnell, dan Roehrborn, 2007).
2.2.2. Patogenesis
BPH berawal dari sejumlah mikronodul pada zona transisi yang akan terus
tumbuh dan saling menyatu membentuk makronodul di sepanjang margo inferior
uretra pre-prostatica, tepat diatas verumontanum. Makronodul ini menekan jaringan
sekelilingnya yang kemudian membentuk “false capsule” disekitar jaringan
hiperplastik. Zona transisi yang terus tumbuh membentuk suatu lobus pada setiap
sisi uretra diatasnya yang sewaktu-waktu dapat mengkompresi uretra pars
preprostatika dan prostatika untuk menimbulkan gejala (Standring, et al, 2005).
Patofisiologi BOO pada pria dengan BPH dihubungkan dengan faktor statis
dan dinamis. Obstruksi statis disebabkan oleh pembesaran bagian prostat yang
menghambat uretra pars prostatica dan bladder outlet, sedangkan komponen
dinamis berkaitan dengan tonus pada otot polos prostat. Hal ini menjadi target terapi
BPH untuk menghilangkan BOO dengan menurunkan volume prostat dan relaksasi
tegangan otot polos prostat (Lepor, 2005).
Komponen statis pada BPH disebabkan oleh pembesaran prostat yang
menghambat lumen uretra atau bladder neck menimbulkan resistensi bladder outlet
yang lebih besar sehingga terjadi gangguan aliran urin berupa gejala-gejala
berkemih. (Presti, et al, 2008). Komponen dinamik dari obstruksi prostat ditandai
dengan adanya peningkatan stimulasi saraf simpatis adrenergik pada bladder neck
dan uretra proksimal sehingga meningkatkan resistensi uretra (Grays, et al, 2009).
Storage symptoms pada BPH disebabkan karena respons sekunder kandung
kemih terhadap peningkatan resistensi bladder outlet. BOO menimbulkan
kolagen. Pada akhirnya BOO akan mengurangi compliance kandung kemih,
sehingga kandung kemih akan lebih mudah berkontraksi walaupun kandung kemih
belum penuh. Hal ini disebabkan oleh otot detrusor yang hipersensitif. Pada
pemeriksaan makroskopis, ditemukan adanya penebalan serat-serat otot detrusor
dan juga trabekula-trabekula. Jika tetap dibiarkan, akan terjadi hernia mukosa
diantara otot detrusor sehingga menimbulkan pembentukan diverticulum (Presti, et
al, 2008).
2.2.3. Gejala Klinis
Kompleks gejala-gejala yang disebut LUTS tidaklah spesifik terhadap BPH,
melainkan timbul sebagai efek terjadinya BPH. LUTS terbagi menjadi gejala-gejala
berkemih (voiding symptoms) dan gejala-gejala penyimpanan urin (storage
symptoms).
Voiding symptoms disebabkan penekanan pada uretra pars prostatica yang
diakibatkan oleh prostat yang membesar sehingga aliran urin terhambat dan otot
detrusor menjadi tidak stabildan kontraktilitasnya menurun dikarenakan kontraksi
yang terus menerus . Berikut ialah voiding symptoms (Abrams, 2006) :
a. Mengedan untuk memulai miksi (straining)
b. Miksi yang terputus-putus (intermittency)
c. Pancaran urin lemah ketika miksi (slow stream)
d. Terdapat urin yang tersisa ketika selesai miksi (incomplete bladder
emptying).
Storage Symptoms terjadi pada kandung kemih yang dipicu oleh gejala
berkemih Adanya obstruksi pada bladder outlet menimbulkan hipertrofi sel otot
polos sebagai respon kompensasi untuk meningkatkan tekanan intravesikal. Hal ini
juga mengubah lingkungan intra dan ekstraseluler pada sel otot polos yang
menyebabkan gangguan stabilitas dan kontraktilitas otot detrusor (Lepor, 2005).
Oleh karena itu, obstruksi ini dapat memodulasi respon antara neural dengan otot
detrusor sehingga timbul storage symptoms seperti berikut (Abrams, 2006) :
b. Terbangun pada saat tidur malam untuk miksi (nocturia)
c. Miksi yang mendesak (urgency)
2.2.4. Diagnosis
Riwayat lengkap pada anamnesa harus dilakukan untuk identifikasi
penyebab lain dari gangguan berkemih. Skoring untuk penilaian gejala berdasarkan
American Urological Association (AUA)/International Prostate Symptom Score
(IPSS)dengan interpretasi keluhan ringan (skor <7), sedang (8-19), dan berat
(20-35) (Tabel 2.1.).
Pada pemeriksaan fisik kemungkinan ditemukan massa kistik di daerah
simfisis pubis jika sudah terjadi retensi urin. Pemeriksaan pada genitalia eksterna
diindikasikan untuk menyingkirkan stenosis ataupun massa yang teraba pada
urethra. Pemeriksaan DRE dan neurologis diperlukan untuk mendeteksi apakah
terdapat malignansi prostat atau rektum, evaluasi tonus sfingter ani, dan
menyinkgirkan kelainan-kelainan neurologis yang menimbulkan gejala (Kirby, dan
Lepor, 2007).
DRE dapat dilakukan untuk mengukur perkiraan ukuran dari kelenjar
prostat. Ukuran prostat diperlukan untuk menentukan terapi farmakologis atau
pembedahan yang sesuai. Akan tetapi, ukuran prostat tidak bisa menjadi acuan
untuk menentukan derajat keparahan dan obstruksi (Kirby, dan Lepor, 2007). DRE
pada BPH teraba konsistensi yang kenyal, simetris, dan tidak didapatkan nodul;
sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi yang keras, teraba nodul, dan
Tabel 2.1. International Prostate Symptom Score (AUA, 2006)
Pemeriksaan urinalisis seharusnya dilakukan baik dengan dipstick test
maupun mikroskopik dari urin untuk mencari apakah terdapat infeksi atau
hematuria. Urinalisis membantu dalam membedakan Infeksi Saluran Kemih (ISK)
dan BPH dikarenakan terdapat LUTS yang mirip dengan BPH. Pemeriksaan kadar
kreatinin serum tidak terlalu diperlukan. Akan tetapi, peningkatan kadar serum
kreatinin diindikasikan untuk pencitraan (USG) sebagai evaluasi saluran kemih
bagian atas. Pemeriksaan kadar PSA (Prostate-Specific-Antigen) diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan kanker prostat dapat menyebabkan BOO sama seperti
Foto polos pada pelvis dapat dilakukan untuk mencari apakah terdapat batu
opak di saluran kemih, dan dapat melihat bayangan urin di dalam kandung kemih
sebagai tanda retensi urin. Untuk melihat besar atau volume prostat dan deteksi
adanya malignansi pada prostat dapat dilakukan TRUS (Trans-Rectal
Ultrasonography). Disamping itu, pemeriksaan ini juga mampu untuk mendeteksi
kelainan pada ginjal dan kandung kemih (Purnomo, 2003).
Pemeriksaan uroflowmetri dapat dilakukan untuk mengevaluasi
pasien-pasien dengan BOO khususnya pasien-pasien BPH. Pemeriksaan ini menggunakan suatu
alat penampungan urin khusus yang dapat mengukur kuatnya aliran urin yang
dikeluarkan ketika sedang miksi (flow rate). Akan tetapi, hasil pemeriksaan
uroflowmetri tidaklah spesifik, misalnya flow rate yang menurun dapat disebabkan
oleh obstruksi atau kurangnya kontraktilitas kandung kemih. Pemeriksaan
uroflowmetri ketika dikombinasikan dengan skoring LUTS dapat menentukan
pasien yang mengalami keadaan BOO (Kirby, dan Lepor, 2007).
2.3. Batu Kandung Kemih (
Vesicolithiasis)
2.3.1. Teori Pembentukan Batu
Batu merupakan hasil dari suatu keadaan dimana zat-zat terlarut mengalami
kondensasi ke wujud padat yang disebut keadaan supersaturasi. Jika konsentrasi
zat-zat terlarut lebih kecil dari zat pelarut, maka kristal - kristal terlarut akan tetap
larut di dalam urin. Sebaliknya, jika konsentrasi zat-zat terlarut lebih besar dari
konsentrasi zat pelarut, maka kristal – kristal terlarut akan terbentuk. Sesuai dengan
jenis batu, konsentrasi kalsium dan oksalat pada urin menjadi penentu utama
supersaturasi kalsium oksalat; konsentrasi kalsium dan pH pada urin menjadi
penentu utama supersaturasi kalsium fosfat; dan pH urin menjadi penentu utama
supersaturasi asam urat (Coe, et al, 2005).
Kristal batu akan terbentuk pertama kali dari proses nukleasi, yaitu proses
perubahan wujud cair ke padat dalam larutan jenuh atau larutan yang mengalami
supersaturasi. Proses ini dimulai dengan kombinasi kristal batu dengan
batu membentuk kristal pertama yang tidak akan larut yang biasanya terbentuk di
suatu permukaan seperti sel epitel, urinary casts, sel darah merah, ataupun kristal
lain, proses ini disebut nukleasi heterogen. Kejenuhan yang diperlukan untuk
nukleasi heterogen lebih sedikit dibandingkan nukleasi homogen sehingga inti batu
lebih mudah terbentuk (Aggarwal, et al, 2013).
Kristal yang telah terbentuk akan mengalami proses pertumbuhan
(crystalline growth). Proses ini membutuhkan keadaan supersaturasi urin yang
cukup dan tetap untuk membentuk presipitasi hingga kristal tumbuh. Kristal akan
terus bertambah ukurannya dengan proses pembentukan suatu pola geometris dari
molekul-molekul kristal tersebut (lattice) yang akan menggulung menjadi bentuk
spiral. Selain itu, pertumbuhan ini juga bisa terjadi ketika kristal saling bertubrukan,
suatu proses yang dinamakan agregasi. Pertumbuhan dengan cara pembentukan
lattice akan menghasilkan batu yang padat, sedangkan pertumbuhan dengan cara
agregasi akan menghasilkan batu yang mudah dipecah oleh shockwavelithotripsy
(Gray, et al, 2009).
Batu pada sistem saluran kemih memiliki komponen kristal dan komponen
non-kristal yaitu matriks. Matriks pada batu ialah substansi dari protein yang
berasal dari material-material organik di saluran kemih, seperti membran sel.
Fungsinya masih belum diketahui apakah merupakan suatu nidus (pusat
pertumbuhan) atau dapat menambah perumbuhan batu yang terbentuk dari proses
kristalisasi (Gray, et al, 2009).
Kristal dan sel-sel epitel di saluran kemih akan saling berinteraksi dan
menstimulasi kompleks sitokin pada respon seluler. Batu yang memiliki kompleks
ini akan tumbuh melalui proses aglomerasi, menghasilkan kompleks benda padat
yang terdiri dari kristal-kristal mineral dan komponen-komponen protein. (Gray, et
al, 2009).
Kristal-kristal yang telah terbentuk dapat melewati saluran kemih tanpa
membentuk batu yang obstruktif. Terbentuknya batu yang dapat meretensi aliran
terjadi di lumen saluran kemih dan retensi terjadi ketika batu cukup besar untuk
terjebak di saluran kemih sebelum masuk ke lumen yang lebih besar pada saluran
kemih bawah (free particle growth). Kedua, pertumbuhan kristal akan terjadi hanya
ketika kristal yang telah tebentuk dari presipitasi urin di lumen lengket di epitel
sistem saluran kemih (fixed particle) (Gray, et al, 2009).
Pada konsentrasi komponen-komponen batu seperti kalsium, oksalat, dan
fosfat, pada urin mengalami supersaturasi, maka pembentukan kristal akan terjadi.
Akan tetapi, pembentukan ini dapat dicegah dengan adanya molekul-molekul
inhibitor yang meningkatkan ambang batas kejenuhan untuk membentuk nukleus
kristal ataupun menekan pertumbuhan atau agregasi kristal pembentuk batu. Begitu
juga sebaliknya dengan promoter batu yang menstabilkan nukleus batu dengan
menyediakan tempat pengikatan molekul-molekul nukleus batu sehingga batu lebih
mudah terbentuk. Jadi, pembentukan batu dipengaruhi oleh molekul-molekul
inhibitor dan promoter batu (Khai-Linh, dan Segura, 2007).
2.3.2. Klasifikasi
Batu di kandung kemih dapat diklasifikasikan menjadi batu migrant, batu
primer (idiopatik), dan batu sekunder yang termasuk batu yang berhubungan
dengan stasis urin, infeksi, dan benda asing.
Batu Migrant atau batu yang berpndahialah batu yang sudah terbentuk dari
saluran kemih atas, kemudian mengalir masuk dan tertinggal di kandung kemih.
Kebanyakan batu yang bermigrasi dari ureter ke kandung kemih berukuran lebih
kecil dari 1 cm, dan mudah terlewatkan di urethra pada orang dewasa. Batu yang
tertinggal berkaitan dengan ukuran bladder outlet yang kecil (pada anak-anak) atau
BOO (Khai-Linh, dan Segura, 2007).
Batu primer (idiopatik) merupakan batu endemik yang terbentuk pada
anak-anak tanpa adanya obstruksi, penyakit lokal, lesi neurologik, atau infeksi primer.
Batu ini sering timbul pada bayi dan anak-anak dari keadaan sosioekonomi yang
protein atau oksalat yang berlebih, dan defisiensi vitamin A, B1, B6 dan mineral
Mg berkaitan dengan pembentukan batu (Khai-Linh, dan Segura, 2007).
Batu sekunder ialah batu yang berkaitan dengan adanya penyakit lokal yang
memicu terbentuknya batu. Batu sekunder ini paling sering dihubungkan dengan
stasis urin atau infeksi saluran kemih berulang karena BOO dan neurogenik. Pasien
dengan benda asing di saluran kemih juga beresiko terjadinya pembentukan batu
(Khai-Linh, dan Segura, 2007).
2.3.3. Gejala dan Diagnosis
Sebagian besar batu pada kandung kemih tidak menimbulkan gejala
(asymptomatic) dan ditemukan secara kebetulan. Gejala-gejala khas pada pasien
batu kandung kemih ialah intermittency, nyeri ketika miksi, dan hematuria.
Tingkatan rasa nyeri dapat bervariasi dan dapat diperburuk dengan adanya olahraga
dan gerakan tiba-tiba. Rasa nyeri biasanya timbul di perut bagian bawah tetapi dapat
menjalar hingga ke ujung penis, skrotum, atau perineum dan kadang-kadang bisa
ke pinggang atau panggul. Aliran urin menjadi terganggu secara intermiten disertai
dengan nyeri pada akhir miksi disebabkan oleh batu yang tersangkut di bladder
neck. Rasa nyeri akan mereda dengan posisi telentang. Jika batu berukuran kecil,
maka akan lewat spontan melalui uretra, sedangkan jika batu berukuran besar, akan
menyebabkan retensi urin akut (Khai-Linh, dan Segura, 2007).
Pemeriksaan batu kandung kemih tidak dapat dilakukan dengan
pemeriksaan foto polos. Hal ini dikarenakan adanya bowel gas, bayangan jaringan
lunak, dan karakteristik beberapa batu yang radiolucent. USG dapat dilakukan
untuk mendeteksi batu radiolucent tetapi tidak untuk pasien dengan rekonstruksi
saluran kemih. Cystoscopy merupakan pemeriksaan yang paling akurat untuk
melihat apakah ada batu di dalam kandung kemih dan dapat digunakan untuk
membantu pembedahan dengan identifikasi adanya pembesaran prostat, bladder
diverticulum, ataupun striktur uretra untuk dikoreksi terlebih dahulu (Khai-Linh,
2.4. Batu Kandung Kemih dan Pembesaran Prostat
Pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna telah diidentifikasi
sebagai faktor utama dalam pembentukan batu kandung kemih, dan BPH
merupakan kondisi tersering yang menyebabkan kondisi tersebut (Khai-Linh, dan
Segura, 2007). Prostat yang membesar ketika sudah menonjol ke dalam kandung
kemih (intravesical prostatic protrusion) akan menyumbat uretra pas prostatika
sehingga mengurangi aliran urin yang dapat dikeluarkan. Hal ini dapat diketahui
dengan penurunan flow rate maksimum (Qmax) pada pemeriksaan uroflowmetri
(Kim, et al, 2014). Sebagian urin yang tidak dikeluarkan akan tersisa di dalam
kandung kemih dan menjadi residual urin. Urin di kandung kemih akan
menggenang atau mengalami stasis sehingga memudahkan kristal-kristal
pembentuk batu untuk mengalami proses nukleasi dan agregasi di lumen kandung
kemih, maupun di sel epitel pelapis kandung kemih.
Batu kandung kemih yang disebabkan oleh obstruksi bladder outlet sering
terjadi pada pria usia diatas 50 tahun. Batu yang berakibat dari obstruksi dapat
terdiri dari asam urat, kalsium oksalat, atau magnesium ammonium fosfat jika
terinfeksi (Khai-Linh, dan Segura, 2007). Jenis batu yang paling sering ditemukan
dan berkaitan dengan BPH ialah batu asam urat (Shah, 2013).
Batu kandung kemih tidak hanya disebabkan oleh faktor obstruksi. Terdapat
faktor-faktor metabolik yang mempengaruhi terbentuknya batu di kandung kemih.
Hal ini ditandai dengan penderita batu kandung kemih lebih didominasi oleh
riwayat gangguan ginjal sebelumnya yang menyebabkan keadaan supersaturasi
menjadi lebih tinggi (Childs, et al, 2012). Keadaan ini sewaktu-waktu dapat
membentuk batu ginjal di saluran kemih atas yang dapat berpindah ke kandung
kemih. Akan tetapi, penderita BPH secara radiologis tidak memungkinkan memiliki
batu yang berasal dari saluran kemih atas. Hal ini dikarenakan terdapat perubahan
lengkungan ureter yang melengkung ke atas sehingga membentuk gambaran seperti
kail/ mata pancing (fish-hook appearance) pada pemeriksaan IVP (Mamoulakis, et