• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efektivitas Program Pemuda Pelopor Terhadap Pengembangan Wilayah Sumatera Utara (Studi Kasus : Pemenang Seleksi Tingkat Provinsi Pemuda Pelopor Asal Sumatera Utara Tahun 2015)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efektivitas Program Pemuda Pelopor Terhadap Pengembangan Wilayah Sumatera Utara (Studi Kasus : Pemenang Seleksi Tingkat Provinsi Pemuda Pelopor Asal Sumatera Utara Tahun 2015)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu bermanfaat untuk memberikan referensi dan

gambaran hasil penelitian orang lain yang masih berkaitan dengan penelitian yang

akan dilakukan. Ramdani (2014), “Pelaksanaan Program Pemuda Sarjana

Penggerak Pembangunan di Pedesaan (PSP-3) dalam Meningkatkan Kemandirian

Wirausaha Pemuda dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Ekonomi Wilayah”

(Studi di Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul D.I Yogyakarta). Mengingat sudah lamanya program ini Kemenpora menyadari bahwa keberadaan program ini belum

terasa cukup signifikan dampaknya bila diukur dalam aspek pengurangan

kemiskinan dan peningkatan asset masyarakat. Pelaksanaan program PSP3 di

wilayah Kecamatan Dlingo menghadapi berbagai kendala seperti kondisi

geografis yang berbukit-bukit dan sebagian wilayah memang sulit untuk

dijangkau, keterbatasan akses/sarana transportasi yang ada, faktor bahasa dan

budaya karena peserta sebagian besar berasal dari luar wilayah Suku Jawa,

kurangnya dukungan dari pemerintah daerah setempat, unsur pendanaan dari

pengelola program.

Setiawati (2011). Dari Penelitian Implementasi program Pemberdayaan

Pemuda Berbasis Tempat Ibadah (PPBTI) Masjid, yang dilaksanakan pada tahun

2008-2011 di Kendal dan Indramayu disimpukan bahwa implementasi program

PPBTI telah berjalan dengan baik dan memenuhi kesesuaian implementasi

program PPBTI. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal yang menunjukkan

(2)

tempat ibadah (Masjid) 2008-2011. Pelaksanaan PPBTI masih komitmen dalam

menjalankan program meskipun respon peseta di Indramayu tidak seoptimal

peserta di Kendal seluruhnya berjalan dengan baik dan tepat. Sedangkan di

Indramayu berjalan tiga tahun namun di tahun pertama digantikan karena yayasan

kurang baik dalam menjalankan program.

Afif (2011), “Efektivitas Program Pertukaran Pemuda Antar Negara

(PPAN) Dalam Upaya Pemberdayaan Pemuda”. Ketidak efektivan program ini

dari segi SDM yaitu kurangnya sumber daya manusia terutama dalam proses

seleksi di daerah-daerah yang tidak memiliki keterwakilan sehingga perlu

dilakukan perbaikan. Dalam program ini dalam hal proses seleksi terutama pada

materi seleksi dan juri yang melakukan penilaian perlu diadakan perbaikan.

Hambatan lainnya yaitu kurangnya koordinasi dengan jajaran pemerintahan

setempat sehingga menyulitkan peserta, terutama pada saat pelaksanaan kegiatan

dan kurangnya tindak lanjut setelah program.Program PPAN perlu direvitalisasi

agar berjalan lebih efektif dan dapat mencapai tujuan dari program PPAN dan

perlu diperbaikinya tingkat koordinasi dengan pelaksana pada jajaran

pemerintahan daerah.

Sarties, (2011). ”Efektivitas Program Pemberdayaan Pemuda Pada

Organisasi Kepemudaan Al Fatih Ibadurrohman Kota Bekasi”.Efektivitas

ketepatan sasaran program yang terdiri dari indikator ditujukan untuk pemuda

belum bekerja dan pemuda putus sekolah diketahui tidak berjalan dengan efektif

karena dalam pelaksanaannya terdapat banyak peserta yang bukan berasal dari

dua sasaran tersebut. Efektivitas tujuan program yang terdiri indikator

(3)

menciptakan kebersamaan menunjukan nilai efektivitas cukup. Dari ketiga

indikator ini, upaya Organisasi Kepemudaan Al Fatih agar para peserta memiliki

semangat kewirausahaan dan menciptakan kebersamaan mendapat nilai

efektivitas yang tinggi dari responden.

2.2 Teori Evaluasi Program

Evaluasi sering diartikan secara sempit dan kurang relevan, masih banyak

memandang evaluasi hanya berdasarkan aktifitasnya yang penting menonjol saja.

Salah satu kesalahan yang sering terjadi, misalnya evaluasi dipandang sebagai

testing, atau sekedar penilaian saja. Secara mendasar evaluasi dipandang oelh para

ahli dari segi ontology, epistimologi dan metodologi. Berikut ini beberapa

evaluasi untuk dapat dijadikan acuan atau perbandingan.

Beberapa definisi evaluasi yang dikenal cukup luas antara lain adalah tiga

definisi yang dikemukakan oleh Departemen Pendidikan Negara Bagian

California, Cronbach dan Suppes serta a Join Committee On Standart Of

Evaluation: “evaluasi adalah proses menentukan nilai atau aktifitas suatu kegiatan

untuk tujuan pembuatan keputusan.” evaluasi adalah suatu proses dimana data

yang relevan dikumpulkan dan ditransformasikan menjadi informasi bagi

pembuatan keputusan”.

Evaluasi sebagai proses menilai sesuatu berdasarkan standar objektif yang

telah ditetapkan kemudian diambil keputusan atas objek yang dievaluasi. Evaluasi

adalah penggunaan metode ilmiah untuk menilai implementasi dan manfaat

(4)

Evaluasi adalah metode penelitian yang sistematis untuk menilai rancangan,

implementasi dan efektivitas suatu program.

Untuk memastikan bahwa pelaksanaan suatu program atau proyek

mencapai sasaran dan tujuan yang direncakan, maka perlu diadakan evaluasi

dalam rangka peningkatan kinerja program atau proyek tersebut seperti yang

diungkapkan oleh (Hikmat, 2004) bahwa evaluasi adalah proses penilaian

pencapaian tujuan dan pengungkapan masalah kinerja proyek untuk memberikan

umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja proyek. Evaluasi program adalah

upaya penelitian yang dilakukan secara sistematis dan objektif dengan tujuan

mengkaji proses dan hasil dari suatu kegiatan/program/kebijakan yang telah

dilaksanakan. Evaluasi dilakukan untuk menentukan sejauh mana hasil atau nilai

yang telah dicapai program.

Hal tersebut seiring dengan pendapat (Moekijat, 1981) bahwa evaluasi

suatu penilaian berarti penentuan nilai. Evaluasi sangat diperlukan dalam rangka

keberlanjutan (sustainability) program tersebut. Evaluasi juga dilakukan sebagai

perhitungan ketepatan terhadap suatu program/kegiatan sehingga program dapat

memberikan nilai investasi yang memadai, seperti yang diungkapkan (Djamin,

1933) sebagai berikut : maksud serta tujuan evaluasi proyek/program adalah untuk

melakukan perhitungan perhitungan agar pilihan kita tepat dalam rangka usaha

kita untuk melakukan suatu investasi modal sebab apabila perhitungan kita salah,

berarti akan gagal usaha kita untuk memperbaiki tingkat hidup, ini berarti pula

pengorbanan/ penghamburan terhadap sumber/faktor produksi yang memang

(5)

Oleh karena itulah sebelum kita mengambil keputusan untuk melakukan

investigasi terhadap suatu proyek atau program perlu dilakukan persiapan yang

matang, perlu diadakan perhitungan percobaan, kemudian mengevaluasi untuk

menentukan hasil dari berbagai alternatif, dengan cara membandingkan aliran

biaya dengan kemanfaatan yang diharapkan dari masing-masing alternative untuk

sekarang dan kemudian hari. Evaluasi adalah proses mengumpulkan dan

menyajikan informasi mengenai objek evaluasi, menilainya dengan standart

evaluasi dan hasilnya dipergunakan untuk mengambil keputusan mengenai objek

evaluasi.

Tuckman (1985) mengartikan evaluasi sebagai suatu proses untuk

mengetahui/menguji apakah suatu kegiatan, proses kegiatan, keluaran suatu

program telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang teah ditentukan. Evaluasi

biasanya ditunjukan untuk menilai sejauh mana keefektifan suatu program agar

dilakukan perbaikan – perbaikan untuk meningkatkan kualitas hasil dari program

tersebut. Sejauh mana tujuan dicapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat

kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Evaluasi adalah kegiatan

membandingkan hasil yang dicapai dengan rencana yang telah ditentukan.

Penilaian merupakan alat penting untuk membantu pengambilan keputusan sejak

tingkat perumusan kebijakan maupun pada tingkat pelaksanaan program (Wijono,

1997). Setiap program tidak hanya sekedar dirancang dan dilaksanakan melainkan

harus diukur pula sejauh mana efektivitas serta efisiensinya. Evaluasi program

yang baik bagi suatu program yang akan dilaksanakan harus disusun secara

bersamaan dengan penyusunan program, maksudnya adalah apabila suatu

(6)

Melihat beberapa pengertian diatas tentang evaluasi, dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah

suatu program dimulai dari implementasi sampai keluaran (output), dan dampak

(impact) dari program tersebut telah sesuai dengan tujuan program bersangkutan.

Defenisi evaluasi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi adalah

penerapan prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai rancangan. Selanjutnya

menyajikan informasi dalam rangka pengambilan keputusan terhadap

implementasi dan efektivitas program. Sasaran evaluasi adalah untuk mengetahui

keberhasilan suatu program. Evaluasi mempunyai tujuan utama yaitu mengetahui

berhasil tidaknya suatu program. Evaluasi ditujukan untuk menilai sejauh mana

keefektifan suatu program agar dilakukan perbaikan-perbaikan untuk

meningkatkan kualitas hasil dari program tersebut dan sejauh mana tujuannya

tercapai. Evaluasi diperlukan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan

kenyataan. Selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup kesenjangan

tersebut. Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang

menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang menyangkut substansi,

implementasi dan dampak (Anderson, 1975). Evaluasi kebijakan dalam hal ini

dipandang sebagai suatu kegiatan yang fungsional.

Evaluasi dilakukan tidak hanya pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan

dalam seluruh kebijakan. Evaluasi meliputi perumusan masalah kebijakan,

implementasi maupun dampak kebijakan. Evaluasi kebijakan dibedakan ke dalam

tiga tugas yang berbeda, yaitu yang pertama menentukan konsekuensi yang

ditimbulkan oleh suatu kebijakan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan

(7)

melihat suatu kebijakan publik telah mencapai tujuan dan dampak yang

diinginkan atau tidak. Tugas kedua dalam evaluasi kebijakan adalah menilai suatu

kebijakan berhasil atau tidak dalam meraih dampak yang diinginkan. Sedangkan

tugas ketiga adalah evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara objektif

program-program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur dampaknya bagi

masyarakat dan sejauh mana tujuan-tujuan yang ditetapkan sebelumnya telah

dicapai. Pengetahuan menyangkut sebab kegagalan suatu kebijakan dalam meraih

dampak yang diharapkan dapat dijadikan pedoman untuk mengubah atau

memperbaiki kebijakan di masa mendatang.

2.2.1. Tes, Pengukuran, Penilaian, Evaluasi Program

Ada tiga istilah yang sering digunakan dalam evaluasi, yaitu tes,

pengukuran dan penilaian. Tes merupakan salah satu alat untuk melakukan

pengukuran, yaitu alat untuk mengumpulkan infomasi karakteristik suatu objek.

Objek ini bisa berupa kemampuan peserta didik, sikap, minat, maupun motivasi.

Respon peserta tes terhadap sejumlah pertanyaan menggambarkan kemampuan

dalam bidang tertentu. Tes merupakan bagian tersempit dari evaluasi.

Mardapi (2000), Pengukuran dapat didefenisikan sebagai penentapan

angka dengan cara sistematik untuk menyatakan keadaan individu. Dengan

demikian. Esensi dari pengukuran adalah kauntifikasi atau penetapan angka

tentang karakteristik atau keadaan individu menurut aturan-aturan tertentu.

Keadaan individu ini bisa berupa kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor.

(8)

karakteristik suatu objek tanpa menggunakan tes, misalnya dengan pengamatan,

atau cara lain untuk memperoleh informasi dalam bentuk kuantitatif.

Penilaian memiliki makna yang berbeda dengan evaluasi. Penilaian

sebagai proses yang menyediakan informasi tentang individu siswa, tentang

kurikulum atau program, tentang institusi atau segala sesuatu yang berkaitan

dengan system institusi. Berdasarkan pendapat diatas disimpuklan bahwa

penilaian merupakan kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran.

Mardapi (2000), mengemukakan dalam pelaksanaan evaluasi terdapat

tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu :

1. Penentuan focus yang akan dievaluasi;

2. Penyusunan design evaluasi

3. Pengumpulan informasi

4. Analisis dan interpretasi informasi

5. Pembuatan laporan

6. Pengelolaan evaluasi

7. Evaluasi untuk evaluasi

Berdasarkan pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam melakukan evaluasi,

evaluator pada tahap awal harus menentukan focus yang akan dievaluasi dan

desain yang akan digunakan.

Hal ini berarti harus ada kejelasan apa yang akan dievaluasi yang secara

implisit menekankan adanya tujuan evaluasi, serta adanya perencanaan bagaimana

melaksanakan evaluasi. Selanjutnya, dilakukan pengumpulan data, menganalisis

(9)

Selain itu, evaluator juga harus melakukan pengaturan terhadap evaluasi dan

mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam melaksanakan evaluasi secara

keseluruhan. Ada empat hal yang ditekankan pada rumusan tersebut, yaitu

1. Menunjuk pada penggunaan metode penelitian;

2. Menekankan pada hasil suatu program;

3. Penggunaan criteria untuk menilai

4. Kontribusi terhadap pengambilan keputusan dan perbaikan program di masa

mendatang.

Berdasarkan pendapat diatas disimpulkan bahwa evaluasi merupakan

proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeksripsikan,

menginterpretasikan dan menyajikan informasi untuk dapat digunakan sebagai

dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program

selanjutnya.

Tujuan evaluasi adalah untuk memperoleh informasi yang akurat dan

objektif tentang suatu program. Informasi tersebut dapat berupa proses

pelaksanaan program, dampak/hasil yang dicapai, efisiensi serta pemanfaatan

hasil evaluasi yang difokuskan untuk program itu sendiri, yaitu untuk mengambil

keputusan apakah dilanjutkan, diperbaiki atau dihentikan. Selain itu, juga

dipergunakan untuk kepentingan penyusunan program berikutnya maupun

penyusunan kebijakan yang terkait dengan program. Untuk menjelaskan lebih

detail perlu dipaparkan mengenai berbagai model evaluasi program yang sering

(10)

1. Evaluasi Model Kirkpatrick, Kirkpatrick salah seorang ahli evaluasi

program pelatihan dalam bidang pengembangan sumber daya manusia

(SDM). Model evaluasi yang dikembangkan oleh Kirkpatrick dikenal

denga istilah Kirkpatrick Four Levels Evaluation Model. Evaluasi

terhadap efektivitas program pelatihan (training) mencakup 4 level

evaluasi, yaitu , reaction, learning, behavior dan result.

2. Evaluasi Reaksi (Evaluation Reaction), Mengevaluasi terhadap reaksi

peserta pelatihan berarti mengukur kepuasan peserta. Program pelatihan

dianggap efektif apabila proses pelatihan dirasa menyenangkan dan

memuaskan bagi peserta pelatihan sehingga mereka tertarik termotivasi

untuk belajar dan berlatih. Dengan kata lain peserta pelatihan akan

termotivasi apabila proses pelatihan berjalan secara memuaskan bagi

peserta yang pada akhirnya akan memunculkan reaksi dari peserta yang

menyenangkan. Sebaliknya apabila peserta tidak merasa puas terhadap

proses pelatihan yang diikutinya maka mereka tidak akan termotivasi

untuk mengikuti pelatihan lebih lanjut.

Kepuasan peserta pelatihan dapat dikaji dari beberapa aspek, yaitu materi

yang diberikan, fasilitas yang tersedia, strategi penyampaian materi yang

digunakan oleh instruktur, media pembelajaran yang tersedia, jadwal

kegiatan dan penyajian konsumsi yang disediakan. Mengukur reaksi dapat

dilakukan dengan reaksi dalam bentuk angket sehingga lebih mudah dan

lebih efektif.

3. Evaluasi Belajar (Evaluating Learning), terdapat tiga hal yang dapat

(11)

maupun keterampilan. Peserta pelatihan dikatakan telah belajar apabila

pada dirinya telah mengalami perubahan sikap, perbaikan pengetahuan

maupun peningkatan keterampilan. Oleh karena itu untuk mengukur

efektivitas program pelatihan maka ketiga aspek tersebut perlu untuk

diukur. Tanpa adanya perubahan sikap, peningkatan pengetahuan maupun

perbaikan keterampilan pada peserta pelatihan maka program dapat

dikatakan gagal. Penilaian evaluating learning ini ada yang menyebut

dengan penilaian hasil (output) belajar. Oleh karena itu dalam pengukuran

hasil belajar (learning measurement) berarti penentuan satu atau lebih hal

berikut : 1) pengetahuan yang telah dipelajari, 2) perubahan sikap, dan 3)

keterampilan yang telah dikembangkan atau diperbaiki.

4. Evaluasi Tingkah Laku, Penilaian sikap pada evaluasi difokuskan pada

perubahan sikap yang terjadi pada saat kegiatan pelatihan dilakukan

sehingga lebih bersifat internal, sedangkan penilaian tingkah laku

difokuskan pada perubahan tingkah laku setelah peserta kembali ke tempat

kerja. Apakah perubahan sikap yang telah terjadi setelah mengikuti

pelatihan juga akan diimplementasikan setelah peserta kembali ke tempat

kerja, sehingga penilaian tingkah laku ini lebih bersifat eksternal.

Perubahan perilaku yang terjadi di tempat kerja setelah peserta mengikuti

program pelatihan. Dengan kata lain yang perlu dinilai adalah apakah

peserta merasa senang setelah mengikuti pelatihan dan kembali ke tempat

kerja? Bagaimana peserta dapat mentransfer pengetahuan, sikap dan

keterampilan yang diperoleh selama pelatihan untuk diimplementasikan di

(12)

kembali ke tempat kerja maka evaluasi ini disebut sebagai evaluasi

terhadap outcomes dari kegiatan.

5. Evaluasi Hasil, Evaluasi hasil ini difokuskan pada hasil akhir yang terjadi

karena peserta mengikuti suatu program. Termasuk dalam kategori hasil

akhir dari suatu program pelatihan di antaranya adalah kenaikan produksi,

peningkatan kualitas, penurunan biaya, penurunan kualitas terjadinya

kecelakaan kerja, penurunan pergantian dan kenaikan keuntungan.

Beberapa program mempunyai tujuan meningkatkan moral kerja maupun

membangun tim kerja yang lebih baik. Dengan kata lain adalah evaluasi

terhadap dampak program. Tidak semua pengaruh dari sebuah program

dapat diukur dan juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena

itu evaluasi ini lebih sulit di bandingkan dengan evaluasi pada level

sebelumnya.

2.3 Teori Tentang Efektivitas 2.3.1 Pengertian Efektivitas

Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil

atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer

mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau

menunjang tujuan. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan

atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun

program. Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah

ditentukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Handayaningrat (1994) yang

menyatakan bahwa “Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan

(13)

(1985), mengemukakan: “Efektivitas ditinjau dari sudut pencapaian tujuan,

dimana keberhasilan suatu organisasi harus mempertimbangkan bukan saja

sasaran organisasi tetapi juga mekanisme mempertahankan diri dalam mengejar

sasaran. Dengan kata lain, penilaian efektivitas harus berkaitan dengan mesalah

sasaran maupun tujuan.” Selanjutnya Steers (1985) mengemukakan bahwa:

“Efektivitas adalah jangkauan usaha suatu program sebagai suatu sistem dengan

sumber daya dan sarana tertentu untuk memenuhi tujuan dan sasarannya tanpa

melumpuhkan cara dan sumber daya itu serta tanpa memberi tekanan yang tidak

wajar terhadap pelaksanaannya”. Transformasi Pelayanan Publik mendefinisikan

efektivitas, sebagai berikut: “Efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas,

fungsi (operasi kegiatan program atau misi) dari pada suatu organisasi atau

sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya”

(Kurniawan, 2005).

Dari beberapa pendapat mengenai efektivitas, dapat disimpulkan bahwa

efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas,

kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut

sudah ditentukan terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan pendapat yang

dikemukakan oleh Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa :“Efektivitas adalah

suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan

waktu) telah tercapai. Dimana makin besar persentase target yang dicapai, makin

tinggi efektivitasnya”. Upaya mengevaluasi jalannya suatu organisasi, dapat

dilakukan melalui konsep efektivitas. Konsep ini adalah salah satu faktor untuk

menentukan apakah perlu dilakukan perubahan secara signifikan terhadap bentuk

(14)

pencapaian tujuan organisasi melalui pemanfaatan sumber daya yang dimiliki

secara efisien, ditinjau dari sisi masukan (input), proses, maupun keluaran

(output). Dalam hal ini yang dimaksud sumber daya meliputi ketersediaan

personil, sarana dan prasarana serta metode dan model yang digunakan. Suatu

kegiatan dikatakan efisien apabila dikerjakan dengan benar dan sesuai dengan

prosedur sedangkan dikatakan efektif bila kegiatan tersebut dilaksanakan dengan

benar dan memberikan hasil yang bermanfaat.

Menurut Subagyo (2000) efektivitas adalah kesesuaian antara output

dengan tujuan yang ditetapkan. Efektivitas adalah suatu keadaan yang terjadi

karena dikehendaki. Kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud

tertentu dan memang dikehendaki, maka pekerjaan orang itu dikatakan efektif bila

menimbulkan akibat atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki

sebelumnya (Gie, 1997). Adapun pengertian efektivitas menurut Hadayaningrat

sebagai berikut: “ Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran

atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya” (Handayaningrat, 1995).

Efektivitas merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai

sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

Menurut Gibson (1994), efektivitas dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :

a) Efektivitas individu, merupakan tingkatan efektivitas yang paling dasar yang

menekankan pada hasil karya individu atau anggota tertentu dari organisasi.

b) Efektivitas kelompok yang lebih menekankan jumlah kontribusi dari semua

(15)

c) Efektivitas organisasi, yang merupakan gabungan dari efektivitas individu

dan efektivitas kelompok yang secara sinergis mampu mendapatkan hasil

karya yang lebih tinggi tingkatnya.

Sementara itu Robbins (1994) menyatakan bahwa efektivitas dapat diukur dengan

tiga pendekatan, yaitu :

a) Pendekatan tujuan, dengan anggapan bahwa tujuan merupakan ukuran

efektivitas organisasi.

b) Pendekatan sistem, dengan anggapan bahwa kelangsungan hidup dan

perkembangan organisasi bergantung pada kemampuannya menghasilkan

produksi barang dan jasa yang dibutuhkan lingkungannya. Pendekatan sistem

ini lebih bersifat makro karena efektivitas mencakup baik aspek organisasi

maupun aspek lingkungannya.

c) Pendekatan konstituasi-strategis, yang didasari pada berbagai pihak yang

berkepentingan dalam kinerja.

Menurut Gibson (1994) ukuran efektivitas organisasi dapat dilihat dari

perspektif waktu yang dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu :

a) Jangka pendek, yaitu ukuran kegiatan kurang atau sama dengan satu tahun

yang mencakup kuantitas dan kualitas produksi yang dikonsumsi pelanggan,

efisiensi penggunaan sumber organisasi, serta kepuasan karyawan organisasi.

b) Jangka menengah, yaitu ukuran kegiatan organisasi selama 5 (lima) tahun

yang meliputi kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan internal

(16)

c) Jangka panjang, yaitu memiliki jangka waktu yang tidak terbatas dalam hal

bertahan hidup dan berkembang.

2.3.2 Konsep Efektivitas Program

Penilaian terhadap tingkat kesesuaian program merupakan salah satu cara

untuk mengukur efektivitas program. Pendapat peserta program dapat dijadikan

sebagai ukuran untuk menentukan efektivitas program. Hal tersebut dinyatakan

oleh Cascio (1995) bahwa evaluasi terhadap efektivitas program pelatihan dapat

dilakukan, diantaranya melalui reaksi peserta terhadap program yang diikuti.

Bermanfaatkah dan puaskah peserta pelatihan terhadap program pelatihan

merupakan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijadikan sebagai alat untuk

mengukur reaksi peserta terhadap program pelatihan (Tulus,1996).

Budiani (2007) menyatakan bahwa untuk mengukur efektivitas suatu

program dapat dilakukan dengan menggunakan variabel-variabel sebagai berikut :

a) Ketepatan sasaran program, yaitu sejauhmana peserta program tepat dengan

sasaran yang sudah ditentukan sebelumnya.

b) Sosialisasi program, yaitu kemampuan penyelenggara program dalam

melakukan sosialisasi program sehingga informasi mengenai pelaksanaan

program dapat tersampaikan kepada masyarakat pada umumnya dan sasaran

peserta program pada khususnya.

c) Tujuan program, yaitu sejauhmana kesesuaian antara hasil pelaksanaan

program dengan tujuan program yang telah ditetapkan sebelumnya.

d) Pemantauan program, yaitu kegiatan yang dilakukan setelah dilaksanakannya

(17)

Sementara Kurniawan (2005) mengatakan mengenai ukuran efektivitas,

sebagai berikut: 1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai; 2. Kejelasan strategi

pencapaian tujuan; 3. Proses analisis dan perumusan kebijaksanaan yang mantap;

4. Perencanaan yang matang; 5. Penyusunan program yang tepat; 6. Tersedianya

sarana dan prasarana; 7. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat

mendidik.

2.3.3. Ukuran Efektivitas

Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat

sederhana, karena efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan

tergantung pada siapa yang menilai serta menginterpretasikannya. Bila dipandang

dari sudut produktivitas, maka seorang manajer produksi memberikan

pemahaman bahwa efektivitas berarti kualitas dan kuantitas (output) barang dan

jasa. Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana

yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan (Siagian, 2001).

Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat

sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka

hal itu dikatakan tidak efektif.

Adapun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau

tidak, sebagaimana dikemukakan oleh Siagian (1978), yaitu: a) Kejelasan tujuan

yang hendak dicapai, hal ini dimaksudkan supaya karyawan dalam pelaksanaan

tugas mencapai sasaran yang terarah dan tujuan organisasi dapat tercapai. b)

Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa strategi adalah “pada

(18)

sasaran-sasaran yang ditentukan agar para implementer tidak tersesat dalam pencapaian

tujuan organisasi. c) Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap,

berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dan strategi yang telah ditetapkan

artinya kebijakan harus mampu menjembatani tujuantujuan dengan usaha-usaha

pelaksanaan kegiatan operasional. d) Perencanaan yang matang, pada hakekatnya

berarti memutuskan sekarang apa yang dikerjakan oleh organisasi dimasa depan.

e) Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih perlu

dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat sebab apabila tidak,

para pelaksana akan kurang memiliki pedoman bertindak dan bekerja. f)

Tersedianya sarana dan prasarana kerja, salah satu indikator efektivitas organisasi

adalah kemamapuan bekerja secara produktif. Dengan sarana dan prasarana yang

tersedia dan mungkin disediakan oleh organisasi. g) Pelaksanaan yang efektif dan

efisien, bagaimanapun baiknya suatu program apabila tidak dilaksanakan secara

efektif dan efisien maka organisasi tersebut tidak akan mencapai sasarannya,

karena dengan pelaksanaan organisasi semakin didekatkan pada tujuannya. h)

Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik mengingat sifat

manusia yang tidak sempurna maka efektivitas organisasi menuntut terdapatnya

sistem pengawasan dan pengendalian.

Adapun kriteria untuk mengukur efektivitas suatu organisasi ada tiga

pendekatan yang dapat digunakan, seperti yang dikemukakan oleh Martani dan

Lubis (1987), yakni: 1). Pendekatan Sumber (resource approach) yakni mengukur

efektivitas dari input. Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi

untuk memperoleh sumber daya, baik fisik maupun nonfisik yang sesuai dengan

(19)

melihat sejauh mana efektivitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses

internal atau mekanisme organisasi. 3). Pendekatan sasaran (goals approach)

dimana pusat perhatian pada output, mengukur keberhasilan organisasi untuk

mencapai hasil (output) yang sesuai dengan rencana. Selanjutnya Strees dalam

Tangkilisan (2005) mengemukakan 5 (lima) kriteria dalam pengukuran

efektivitas, yaitu: 1). Produktivitas; 2). Kemampuan adaptasi kerja; 3). Kepuasan

kerja; 4). Kemampuan berlaba; 5). Pencarian sumber daya. Sedangkan Steers

(1985) dalam bukunya “Efektrivitas Organisasi” mengatakan mengenai ukuran

efektivitas, sebagai berikut: 1). Pencapaian Tujuan adalah keseluruhan upaya

pencapaian tujuan harus dipandang sebagai suatu proses. Oleh karena itu, agar

pencapaian tujuan akhir semakin terjamin, diperlukan pentahapan, baik dalam arti

pentahapan pencapaian bagian-bagiannya maupun pentahapan dalam arti

periodisasinya. Pencapaian tujuan terdiri dari beberapa faktor, yaitu: Kurun waktu

dan sasaran yang merupakan target kongkrit. 2). Integrasi yaitu pengukuran

terhadap tingkat kemampuan suatu organisasi untuk mengadakan sosialisasi,

pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai macam organisasi

lainnya. Integrasi menyangkut proses sosialisasi. 3. Adaptasi adalah kemampuan

organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk itu digunakan

tolak ukur proses pengadaan dan pengisian tenaga kerja.

2.4. Definisi Kepeloporan

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyamakan pelopor dengan

kata“pionir”, artinya “yang berjalan di depan/ terdahulu”, atau “perintis” dan

pembuka jalan. Pelopor berarti bahwa mereka mesti berjalan di depan atau

(20)

untuk mencapai model kepemimpinan yang diinginkan. Sikap kepeloporan

seseorang dapat dirujuk pada pengertian leksikal bahwa pelopor adalah “pasukan

perintis (yang terdepan) gerak pembaharuan (tanpa memperhitungkan resiko yang

mungkin dialami” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005).

Dalam UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan tertulis dalam pasal

1 ayat 9 bahwa dalam pengembangan kepeloporan pemuda adalah kegiatan yang

mengembangkan potensi dalam merintis jalan, melakukan terobosan, menjawab

tantangan, dan memberikan jalan keluar atas berbagai masalah dan dalam pasal 29

ayat 1 tertulis bahwa pengembangan kepeloporan pemuda dilaksanakan untuk

mendorong kreativitas, inovasi, keberanian melakukan terobosan, dan kecepatan

mengambil keputusan sesuai dengan arah pembangunan nasional. Selanjutnya

dalam pasal 29 ayat 4 tertulis bahwa pengembangan kepeloporan pemuda

dilaksanakan sesuai dengan karakteristik/ ciri khas daerah. Dalam buku panduan

program pemilihan pemuda pelopor, kepeloporan adalah akumuasi semangat,

sikap dan kesukarelawanan yang dilandasi kesadaran diri atas tanggung jawab

sosial untuk menciptakan sesuatu dan atau mengubah gagasan menjadi suatu

karya nyata yang dilaksanakan secara konsisiten, gigih dan diakui oleh

masyarakat luas karena mampu memberikan nilai tambah pada sendi sendi

kehidupan masyarakat. Kepeloporan dalam perspektif kepemimpinan

merefleksikan suatu kekuatan (power) yang memiliki kontribusi signifikan

terhadap terbentuknya kualitas dan akuntabilitas pemimpin itu sendiri.

Kepeloporan dapat digolongkan menjadi beberapa bidang, yaitu sebagai berikut:

1. Pendidikan

(21)

3. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

4. Pangan

5. Teknologi Tepat Guna, Komunikasi dan Informasi.

2.4.1 Dasar Hukum Kepeloporan

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang

Sistem Pendidikan Nasional;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang

Kepemudaan;

3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010,

tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta

Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I;

4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2010, tentang

Rencana Jangka Menengah Nasional ( RPJMN ) 2010 -2015;

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2011,

tentang Pengembangan Kewirausahaan dan Kepeloporan Pemuda serta

Penyediaan Prasarana dan Sarana Kepemudaan;

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 84/P Tahun 2009,

tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II;

7. Peraturan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Nomor : 193 Tahun

2010, tentang Organisasidan Tata Kerja Kementerian Pemuda dan

(22)

2.4.2 Bidang – Bidang Kepeloporan

Adapun bidang dalam kepeloporan adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan

Kepeloporan bidang pendidikan merupakan upaya nyata pemuda yang

secara nyata menghasilkan karya-karya kepeloporan pendidikan

meliputi: inovasi, metodologi dan model pembelajaran, media dan alat

bantu pembelajaran, teknologi pembelajaran, pengembangan dan

pengelolaan pendidikan secara swadaya baik formal maupun non

formal. Sub-sub bidang pendidikan tersebut merupakan fenomena atas

tindakan kepeloporan pemuda yang secara langsung dirasakan

manfaatnya oleh masyarakat dan diapresiasi oleh berbagai pihak dan

pemerintah daerah setempat sebagai kepeloporan di bidang pendidikan.

2. Sosial, Budaya, Pariwisata dan Bela Negara

Kepeloporan bidang sosial, budaya, pariwisata dan bela negara

merupakan prakarsa pemuda yang secara riil menghasilkan karya nyata

rumpun-rumpun bidang yang mencakup: (1) Sosial: Penanggulangan

bencana, pelayanan kesejahteraan sosial, tindakan kesukarelawanan dan

prakarsa kemanusiaan lainnya, (2) Budaya : berupa pemusik, penari

perupa dan pemeranan dengan mengutamajan karakteristik dan kearifan

lokal untuk memelihara kebhinekaan dan mengharumkan budaya

bangsa; (3) Pariwisata: Potensi suatu wilayah atau daerah yang

dimanfaatkan oleh masyarakat dengan mengutamakan potensi

sumberdaya alam sebagai daya tarik pariwisata tingkat nasional maupun

(23)

pada peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat; dan (4)

Bela Negara : Karya kepeloporan pemuda yang berkonsentrasi pada

upaya menumbuhkan rasa cinta tanah air dan kesadaran bernegara

melalui kegiatan memelihara kerukunan masyarakat, penanganan

konflik dalam rangka menjaga keselamatan, keutuhan, perdamaian

didalam negara dan bangsa yang berdaulat.

3. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Kepeloporan bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

merupakan prakarsa kepeloporan pemuda dalam mengkonservasi potensi

sumberdaya alam dan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan penataan,

pengolahan, pelestarian, produksi dan pemasaran terkait dengan sub-sub

bidang: air bersih, pertanian, peternakan, kehutanan, perkebunan,

perikanan, kelautan dan kemaritiman untuk meningkatkan perekonomian

dan kesejahteraan masyarakat yang keberlanjutan sumber daya alam dan

lingkungan.

4. Pangan

Kepeloporan bidang pangan adalah upaya mengembangan potensi

sumber daya alam dalam bidang pangan dan mengutamakan peningkatan

nilai guna, produksi, pengolahan, pemanfaatan, pengelolaan dan

pemasaran produksi pangan untuk meningkatkan kesehatan pangan dan

kecukupan gizi, menuju pada tercapainya ketahanan pangan nasional,

yang akan berdampak pada meningkatnya nilai tambah perekonomian

dan kesejahteraan masyarakat.

(24)

Kepeloporan bidang teknologi tepat guna dan komunikasi informasi

adalah upaya nyata pemuda dalam menciptakan, menginovasi,

mengembangkan dan merekayasa teknologi berbagai bidang yang

mengahasilkan karya nyata, yang memberikan manfaat bagi peningkatan

ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan bidang

komunikasi dan informasi, karya-karya pemuda merupakan

pengembangan system, jaringan dan model aplikasi berbasis informasi

teknologi , yang mencakup perangkat keras (hardware) dan perangkat

lunak (software) guna meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan

interaksi dan komunikasi jaringan sosial yang ada di masyarakat.

2.5 Pengertian Pemuda

Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik sedang mengalami

perkembangan dan secara psikis sedang mengalami perkembangan emosional,

sehingga pemuda merupakan sumber daya manusia pembangunan baik saat ini

maupun masa datang. Sebagai calon generasi penerus yang akan menggantikan

generasi sebelumnya. Secara internasional, World Human Organization menyebut

sebagai ”young people” dengan batas usia 10-24 tahun, sedangkan usia 10-19

tahun disebut ”adolescenea” atau remaja. Definisi yang kedua, pemuda adalah

individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun

belum memiliki pengendalian emosi yang stabil. (Mulyana, 2011) Pemuda

menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural. Sedangkan menurut draft

Rancangan Undang - Undang Kepemudaan, Pemuda adalah mereka yang berusia

antara 18 hingga 35 tahun. Menilik dari sisi usia maka pemuda merupakan masa

(25)

memiliki aspirasi yang berbeda dengan aspirasi masyarakat secara umum. Dalam

makna yang positif aspirasi yang berbeda ini disebut dengan semangat

pembaharu. Dalam kosakata bahasa Indonesia, pemuda juga dikenal dengan

sebutan generasi muda dan kaum muda. Seringkali terminologi pemuda, generasi

muda, atau kaum muda memiliki definisi beragam. Definisi tentang pemuda di

atas lebih pada definisi teknis berdasarkan kategori usia sedangkan definisi

lainnya lebih fleksibel. Dimana pemuda/ generasi muda/ kaum muda adalah

mereka yang memiliki semangat pembaharu dan progresif. Mulyana (2011)

mengemukakan bahwa pemuda lebih dilihat pada jiwa yang dimiliki oleh

seseorang. Jika orang tersebut memiliki jika yang suka memberontak, penuh

inisiatif, kreatif, antikemapanan, serta ada tujuan lebih membangun kepribadian,

maka orang tersebut dapat dikatakan sebagai pemuda. Acuan yang kedua inilah

yang pada masa lalu digunakan, sehingga pada saat itu terlihat bahwa organisasi

pemuda itu lebih banyak dikendalikan oleh orang-orang yang secara usia sudah

tidak muda lagi, tetapi mereka mempunyai jiwa pemuda. Oleh sebab itu

kelemahan dari pemikiran yang kedua itu organisasi kepemudaan yang

seharusnya digunakan sebagai wadah untuk berkreasi dan mematangkan para

pemuda dijadikan kendaraan politik, ekonomi, dan sosial untuk kepentingan

perorangan dan kelompok.

Mulyana (2011) mengemukakan bahwa selain didasarkan pada usia

pemuda juga dapat dilihat dari sifat/jiwa yang mengiringinya. Jika didasarkan

pada sifat maka pemuda mempunyai ciri-ciri : 1) Selalu ingin memberontak

terhadap kemapanan. Hal ini lebih disebabkan karena pada usia ini seorang

(26)

mendapatkan perhatian mendorong pemuda untuk berbuat sesuatu yang ”tidak

biasa-biasa saja dan sama dengan yang lain”. Ditinjau dari 3 sisi positif

perilakunya akan memunculkan kreatifitas, akan tetapi disisi lain akan muncul

penentangan dari pihak lain khususnya pihak orang dewasa yang sudah mapan. 2)

Bekerja keras dan pantang menyerah. Sifat kedua ini berhubungan erat dengan

sifat pertama. Kerja keras dan pantang menyerah inilah yang mendorong pemuda

berlaku revolusioner. Perilaku revolusioner inilah yang memunculkan anggapan

bahwa pemuda itu tidak berpikir panjang sehingga akan berpotensi untuk

menimbulkan konflik baik itu dengan sesama pemuda maupun dengan orang tua.

3) Selalu optimis. Sifat ini sangat menunjang sifat kerja keras dan pantang

menyerah. Sifat optimis ini akan mendorong pemuda selalu bersemangat berusaha

untuk mencapai cita-citanya. Berdasarkan dua tinjauan tersebut, mendefinisikan

pemuda itu tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena tidak hanya dari sisi usia

bahwa seorang individu dikatakan muda, akan tetapi juga harus ditunjang oleh

sifat/jiwa yang berbeda dengan golongan usia lainnya. Seseorang yang berusia

muda belum tentu dapat dikatakan pemuda jika sifat/jiwanya tidak mencerminkan

seorang pemuda. Demikian juga sebaliknya seseorang yang sudah tidak masuk

kategori muda secara usia belum tentu tidak mempunyai sifat/jiwa seperti pemuda

pada umumnya. Untuk lebih mudahnya definsi pemuda haruslah didasarkan pada

usia yaitu usia antara 13 sampai 35 tahun dan harus mempunyai sifat/jiwa

pemberontak, pekerja keras, pantang menyerah, serta selalu optimis.

Ditinjau secara etimologis, pemberdayaan (empowering) berasal dari kata

dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian

(27)

berdaya, atau proses untuk memperoleh daya, kekuatan, kemampuan, dan atau

suatu proses pemberian daya, kekuatan, kemampuan dari pihak yang memiliki

daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Teguh, 2004). Memperoleh

dan memberi daya/kekuatan dari pihak yang telah lebih dulu memiliki daya

kepada pihak yang kurang atau belum berdaya sering menggunakan istilah

memberdayakan. Pihak yang belum berdaya bukan semata-mata diberdayai

namun dalam konteks pemberdayaan, pihak tersebut memperoleh serangkaian

proses belajar menuju berdaya. Pembangunan berbasis pemberdayaan merujuk

pada tindakan positif yang memiliki tujuan dalam segala aspek kehidupan.

Pemberdayaan sebagai proses pemberian kekuatan atau daya dalam bentuk

pendidikan yang bertujuan membangkitkan kesadaran, pengertian, dan kepekaan

warga belajar terhadap perkembangan sosial, ekonomi dan politik sehingga pada

akhirnya ia memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan meningkatkan

kedudukannya dalam masyarakat (Anwar, 2007). Suparjan dan Hempri (2003)

pemberdayaan memiliki makna membangkitkan sumber daya, kesempatan,

pengetahuan dan ketrampilan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dalam

menentukan masa depan mereka. Usaha-usaha perbaikan kedudukan sosial,

pemenuhan kebutuhan yang diinginkan oleh individu, kelompok, dan masyarakat

dalam berbagai bidang melalui bermacam-macam kegiatan, salah satunya dalam

bentuk pendidikan. Pemberdayaan dalam bentuk pendidikan merupakan

perwujudan proses belajar masyarakat untuk memperoleh keberdayaan,

pengertian dan kepekaan/kesadaran sosial sehingga memiliki kemampuan atau

(28)

Pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat, menurut pendapat Ambar

(2004) mengungkapkan bahwa inti dari pemberdayaan adalah meliputi tiga hal,

yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering),

terciptanya kemandirian. Beberapa pernyataan tentang pemberdayaan, dapat

disimpulkan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses aktualisasi dirimelalui

kegiatan pemberian, pengembangan, penguatan kemampuan, daya, potensi diri

sehingga tercipta kemandirian. Dengan demikian, kegiatan yang berkaitan dengan

pemberdayaan masyarakat dirasakan cukup penting dalam pembangunan salah

satunya melalui kegiatan karang taruna yaitu pemberdayaan yang melibatkan

masyarakat terutama pemuda.

Menurut Undang Undang No.40 tahun 2009 tentang kepemudaan pasal

24 dan 25, pemberdayaan pemuda adalah kegiatan membangkitkan potensi dan

peran aktif pemuda. Pemberdayaan pemuda difasilitasi oleh pemerintah,

pemerintah daerah, masyarakat dan organisasi kepemudaan yang dilakukan

melalui peningkatan iman dan takwa, peningkatan ilmu pengetahuan dan

teknologi, penyelenggaraan pendidikan bela negara dan ketahanan nasional,

peneguhan kemandirian ekonomi pemuda, peningkatan kualitas jasmani, seni

dan budaya pemuda, peningkatan kemampuan hubungan internasional,

peningkatan kemampuan pengelolaan lembaga kepemudaan, dan penyelenggaraan

penelitian serta pendampingan kegitan kepemudaan. Pemberdayaan pemuda

dilaksanakan secara terencana, sistematis dan berkelanjutan untuk meningkatkan

potensi dan kualitas jasmani, mental spiritual, pengetahuan, serta keterampilan

(29)

difasilitasi oleh pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat dan organiasi

kepemudaan.

2.5.1 Tujuan Pemberdayaan Pemuda

Konsep pemberdayaan masyarakat tidak semata-mata muncul tanpa

tujuan. Pemberdayaan erat kaitannya dengan pembangunan, dan pembangunan

merujuk pada tujuan dan perbaikan. Menurut Ambar (2004), tujuan

pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi

mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan

mengendalikan apa yang mereka lakukan telah disinggung sejak awal, konsep

pemberdayaan merupakan aplikasi program alternatif yang digunakan untuk

tujuan tertentu. Pemberdayaan merupakan pembangunan berbasis masyarakat

berarti sasaran pemberdayaan itu sendiri adalah masyarakat dan pelaku utama

dalam kegiatan tersebut juga masyarakat. Tujuan utama dalam pemberdayaan

masyarakat adalah terciptanya kemandirian. Kemandirian masyarakat adalah

suatu kondisi yang ditandai oleh kemampuan untuk berpikir, memutuskan suatu

hal yang dipandang tepat demi pemecahan masalah dengan menggunakan

kemampuan atau daya yang dimiliki. Pada intinya kemandirian dalam hal

berpikir, bertindak dan pengendalian diri. Hal serupa juga diungkapkan World

Bank dalam Totok dan Poerwoko (2013) menyebutkan bahwa pemberdayaan

sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok

masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) atau menyuarakan

pendapat, ide, atau gagasan-gagasannya, serta kemampuandan keberanian untuk

(30)

terbaik bagi pribadi, keluarga, dan masyarakatnya. Pada dasarnya pemberdayaan

bertujuan untuk memberikan kesempatan membentuk individu maupun kelompok

menjadi lebih berdaya, mandiri dan berani melalui proses belajar sehingga terjadi

perbaikan keadaan.

2.6Pegembangan Wilayah

Pengembangan wilayah mempunyai arti peningkatan nilai manfaat

wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu, mampu menampung lebih

banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata

membaik, disamping menunjukkan lebih banyak sarana dan prasarana, barang dan

jasa yang tersedia dan kegiatan usaha – usaha masyarakat yang meningkatkan,

baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya (Sirojuzilam dan

Mahalli, 2011).

Pengembangan wilayah (Regional Development ) adalah upaya untuk

memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan wilayah dan

menjaga kelestarian lingkungan hidup. Secara luas, pengembangan wilayah

diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori

ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya

mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan

lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan

(Nugroho dan Dahuri, 2004).

Sedangkan teori tahapan perkembangan dikemukakan oleh Rostow,

Fisher, Hoover, Thompson, dan lainnya. Teori ini lebih dianggap mengadopsi

(31)

perkembangan wilayah dapat digambarkan melalui lima tahapan, yaitu: 1)

Wilayah dicirikan oleh adanya industri yang dominan. Pertumbuhan wilayah

sangat bergantung dari hasil industri tersebut, antara lain seperti minyak, hasil

perkebunan dan pertanian, dan produk-produk primer lainnya. Industri yang

demikian dimiliki oleh seluruh negara pada masa awal pertumbuhannya. 2)

Tahapan ekspor kompleks. Tahapan ini menggambarkan bahwa wilayah telah

mempu mengekspor selain komoditas dominan juga komoditas lainnya. Misalnya

dalam komoditas dominan yang diekspor sebelunya berupa minyak bumi mentah,

maka dalam tahapan kedua wilayah juga mengekspor metode teknologi

penambangan dan produk turunan dari minyak bumi mentah tersebut. 3) Tahapan

kematangan ekonomi. Pada tahapan ini menujukkan bahwa aktivitas ekonomi

telah terdiversifikasi dengan munculnya industri subsitusi impor, yakni sebuah

industri yang menghasilkan bahan yang sebelumnya harus di impor dari luar

wilayah. Pada tahapan ini pula mencerminkan wilayah tersebut telah mandiri di

bandingkan dengan wilayah lainnya. 4) Tahapan pembentukan metropolis. Pada

tahan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah mampu menjadi pusat kegiatan

ekonomi serta mampu melayani kebutuhan barang dan jasa wilayah pinggiran.

Selain itu, volume aktivitas ekonomi ekspor sangat besar yang diiringi dengan

kenaikan impor yang sangat signifikan. 5) Tahapan kemajuan teknis dan

profesional. Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah mampu meberikan

peran yang sangat nyata terhadap perekonomian nasional. Dalam perkembangan

wilayah, produk dan proses produksinya yang relatif canggih, baru, efisien, dan

(32)

dan imitasi yang mengarah pada pemenuhan kepuasan individual dibanding

kepentingan masyarakat.

Pengembangan wilayah merupakan strategi memanfaatkan dan

mengkombinasikan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal

(peluang dan tantangan) yang ada sebagai potensi dan peluang yang dapat

dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi wilayah akan barang dan jasa yang

merupakan fungsi dari kebutuhan baik secara internal maupun eksternal wilayah.

Faktor internal ini berupa sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber

daya teknologi, sedangkan faktor eksternal dapat berupa peluang dan ancaman

yang muncul seiring dengan interaksinya dengan wilayah lain. Lebih jelas Alkadri

(2001) menggambarkan tentang pengembangan wilayah sebagai hubungan yang

harmonis antara sumber daya alam, manusia, dan teknologi dengan

memperhitungkan daya tamping lingkungan dalam memberdayakan masyarakat.

Pada umumnya pengembangan wilayah mengacu pada perubahan

produktivitas wilayah, yang diukur dengan peningkatan populasi penduduk,

kesempatan kerja, tingkat pendapatan, dan nilai tambah industri pengolahan.

Selain definisi ekonomi, pengembangan wilayah mengacu pada pengembangan

sosial, berupa aktivitas kesehatan, pendidikan, kualitas lingkungan, kesejahteraan

dan lainnya. Pengembangan wilayah lebih menekankan pada adanya perbaikan

wilayah secara bertahap dari kondisi yang kurang berkembang menjadi

berkembang, dalam hal ini pengembangan wilayah tidak berkaitan dengan

eksploitasi wilayah. Pengembangan wilayah dalam jangka panjang lebih

ditekankan pada pengenalan potensi sumber daya alam dan potensi

(33)

pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat, termasuk

pengentasan kemiskinan, serta upaya mengatasi kendala pembangunan yang ada

di daerah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Berkaitan dengan hal

tersebut, maka dalam rencana pembangunan nasional, pengembangan wilayah

lebih ditekankan pada penyusunan paket pengembangan wilayah terpadu dengan

mengenali sektor strategis (potensial) yang perlu dikembangkan di suatu wilayah

(Friedmann dan Allonso, 2008). Sedangkan pengembangan wilayah sangat

dipengaruhi oleh komponen-komponen tertentu seperti (Friedman dan Allonso,

2008):

1. Sumber daya lokal

Merupakan kekuatan alam yang dimiliki wilayah tersebut seperti lahan

pertanian, hutan, bahan galian, tambang dan sebagainya. Sumberdaya

lokal harus dikembangkan untuk dapat meningkatkan daya saing wilayah

tersebut.

2. Pasar

Merupakan tempat memasarkan produk yang dihasilkan suatu wilayah

sehingga wilayah dapat berkembang.

3. Kinerja

Tenaga kerja berperan dalam pengembangan wilayah sebagai pengolah

sumber daya yang ada.

4. Intervensi

Semua kegiatan dalam pengembangan wilayah tidak terlepas

dari adanya investasi modal. Investasi akan masuk ke dalam suatu

(34)

5. Kemampuan Pemerintah

Pemerintah merupakan elemen pengarah pengembangan wilayah.

Pemerintah yang berkapasitas akan dapat mewujudkan pengembangan

wilayah yang efisien karena sifatnya sebagai kata lisator pembangunan.

6. Transportasi dan Komunikasi

Transportasi dan komunikasi berperan sebagai media pendukung yang

menghubungkan wilayah satu dengan wilayah lainnya. Interaksi antara

wilayah seperti aliran barang, jasa dan informasi akan sangat berpengaruh

bagi tumbuh kembangnya suatu wilayah.

7. Teknologi

Kemampuan teknologi berpengaruh terhadap pemanfaatan sumber daya

wilayah melalui peningkatan output produksi dan keefektifan kinerja

sector - sektor perekonomian wilayah. Pengembangan wilayah adalah

upaya pembangunan dalam suatu wilayah administrative atau kawasan

tertentu agar tercapai kesejahteraaan melalui pemanfaatan

peluang-peluang dan pemanfaatan sumber dayasecara optimal, efisien, sinergi dan

berkelanjutan dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan ekonomi,

penciptaan iklim kondusif, perlindungan lingkungan dan penyediaan

prasarana dan sarana. Pada dasarnya komponen utama untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat dalam suatu wilayah adalah kemajuan ekonomi

wilayah bersangkutan.

Menurut Budi Harsono (2005), pengembangan wilayah ditopang

oleh 6 aspek yaitu:

(35)

2. Aspek Ekonomi

3. Aspek Sosial

4. Aspek Kelembagaan

5. Aspek Lokasi

6. Aspek Lingkungan

Analisis yang dapat dilakukan terhadap pengembangan wilayah yaitu

aspek biogeofisik melindungi kandungan sumber daya hayati, sumber daya hayati,

jasa-jasa maupun sarana dan prasarana yang ada di wilayah tersebut. Sedangkan

aspek ekonomi meliputi Pengembangan Wilayah kegiatan ekonomi yang terjadi di

sekitar wilayah. Aspek sosial meliputi budaya, polotik dan hankam yang

merupakan pembinaan kualitas sumber daya manusia, budaya masyarakat serta

pertahanan dan keamanan. Aspek lokasi menunjukkan keterkaitan antar wilayah

yang satu dengan yang lainnya yang berhubungan dengan sarana produksi,

pengelolaan maupun pemasaran. Aspek lingkungan meliputi kajian mengenai

bagaimana proses produksi mengambil input apakah merusak atau tidak. Aspek

kelembagaan meliputi kelembagaan masyarakat yang ada dalam pengelolaan

suatu wilayah apakah kondusif atau tidak. Aspek pengembangan wilayah yang

dilakukan dalam penelitian ini adalah melihat dari aspek sosial, aspek ekonomi

dan lingkungan.

2.7Kerangka Berfikir

Kerangka berfikir adalah dasar pemikiran dari penelitian yang

disintesiskan dari fakta-fakta obeservasi dan kajian kepustakaan.Uraian dalam

(36)

penelitian.Variabel relevan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga dapat

dijadikan dasar untuk menjawab permasalahan penelitian.

Kepeloporan Pemuda harus dilakukan secara bertahap, terpadu, terukur,

sinergi dan terencana yang dilandasi oleh kemitraan dan keterlibatan berbagai

pihak dan dikelola sebagai suatu gerakan bersama untuk mewujudkan

kebermanfaatan bagi masyarakat dan daerah. Tanpa koordinasi dan sinergi, tidak

akan diperoleh efektivitas pelaksanaan program Kepeloporan pemuda.

Keberhasilan Pemuda Pelopor dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat

di wilayah Pemuda Pelopor berada. Keberhasilan pelaksanaan program Pemuda

Pelopor Sumatera Utara agar sesuai tujuan yang diinginkan dapat dilihat dari

efektivitas pelaksanaan program. Efektivitas program akan terwujud apabila

adanya partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam program Pemuda Pelopor

Sumatera Utara. Efektivitas program yang diharapkan memberikan dampak

positif meliputi adanya peningkatan pendapatan masyarakat, dan kesempatan

kerja dan adanya pembangunan dari kepeloporannya. Untuk memperjelas

kerangka pemikiran tersebut, maka dapat dilihat dari bagan alur pemikiran sebagai

berikut :

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Pemuda Pelopor Tahun 2015

Pengembangan Wilayah

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir

Referensi

Dokumen terkait

dengan arus yang sedikit besar pada raspi:. Selanjutnya menginstall program

atau nilai probabilitas yang diperoleh lebih kecil dari 0.05 (0.000 < 0.05) maka Ho ditolak dan Hi diterima, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara tes awal

Peraturan Daerah Kabupaten Majalengka merupakan payung hukum bagi terwujudnya ketertiban masyarakat, dalam proses penyusunannnya harus mengacu kepada norma-norma umum

CCTV adalah Closed Circuit Television yang artinya sebuah kamera pengintai yang dapat merekam gambar dan suara, kedalam sebuah monitor yang rekamannya bisa tersimpan dengan

Jika lintasan berawal dan berakhir pada satu simpul (vertex) yang sama, maka graph dengan lintasan tersebut disebut dengan graph tertutup, dan sebaliknya, jika.. lintasan

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata‟ala yang telah melimpahka n rahmat, hidayah dan petunjukNya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul

vi burnout mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap engagement pada perawat di ruang rawat inap RSUD Kota Bekasi.. Kata Kunci: Psychological Capital , Komitmen

Suatu alternatif memiliki nilai preferensi yang sama penting selama selisih atau nilai P(x) dari masing-masing alternatif tidak melebihi nilai threshold.