• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dampak Program Merauke Integrated Food and Energy Estate pada Hak Adat Marga Mahuze T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dampak Program Merauke Integrated Food and Energy Estate pada Hak Adat Marga Mahuze T1 BAB II"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka

A. 1

Pengertian Hukum Adat

Istilah Hukum adat merupakan terjemahan dari istiah Belanda “Adat

-Recht”, yang pertama kali dikemukakan oleh ; Snouck Hurgronje.1 Hukum Adat

adalah peraturan-peraturan yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis serta tumbuh dan berkembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat, yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Ada beberapa pendapat beberapa tokoh mengenai arti hukum adat diantaranya ;

Menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai hukum kebiasaan. Menurutnya hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Jadi, menurut Van Dijk hukum adat dan hukum kebiasaan memiliki perbedaan.

1 Prof. Iman Sudiyat Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberty, Yogyakarta,

(2)

Menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (das sein das sollen). Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada Rechsvaardige Ordening Der Semenleving.

Menurut Ter Haar yang terkenal dengan teorinya Beslissingenleer ( teori keputusan) mengungkapkan bahwa hukum adaat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta didalam pelaksanaannya berlaku secara serta-merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa pesengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan bahwa Hukum Adat juga dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.2

Syekh Jalaludin menjelaskan bahwa Hukum Adat pertama-tama merupakan persembunyian tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum Adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis dibelakang peristiwa tersebut, sedangkan yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.

2

(3)

A.2 Dasar-Dasar Berlakunya Hukum Adat

3

a. UUDS Tahun 1950

Di dalam Pasal 104 ayat (1), ditentukan : “Segala keputusan pengadilan

harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan aturan undang undang dan aturan aturan hukum adat yang dijadikan dasar

hukuman itu”.

b. I.S. Pasal 131

I.S. (Indische Staatsregeling) adalah singkatan dari undang-undang yang selengkapnya berbunyi : “Wet op de Staats – Inrichting van Nederlands –Indie”.

Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat yang berasal dari jaman kolonial dan yang pada masa sekarang (sampai UU no. 19/1964) masih tetap berlaku adalah :

I.S. Pasal 131 ayat (2) sub b :

Menurut ketentuan tersebut maka bagi golongan hukum (rechts-groep) Indonesia asli dan golongan Timur Asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka Pembuat Ordonansi, (yaitu suatu peraturan hukum yang dibuat oleh Badan Legislatif pusat/Gubernur Jendral bersama-sama dengan Volksraad), dapat menentukan bagi mereka :

1. Hukum Eropa

2. Hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Eropees Recht);

3

(4)

3. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijk recht). Dan apabila kepentingan umum memerlukannya :

4. Hukum baru (Nieuw Recht), yaitu :

Hukum yang merupakan synthese antara hukum adat dan hukum Eropa. c. Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951, Lembaran Negara No.9

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 No.9 menentukan bahwa pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman dihapuskan :

a. Segala Pengadilan Swapraja (Zelfbestuurs Rechtspraak) dalam negara Sumatra Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan Agama, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja.

b. Segala Pengadilan Adat (Inheemse Rechtspraak in Rechtstreeks Bestuurd

Gebied) kecuali peradilan Agama, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Adat. Tetapi menurut pasal 1 ayat 3 UU Darurat tersebut, Dorpsrechter (Hakim Desa) tetap dipertahankan. Peradilan yang dilakukan oleh Hakim Swapraja dan Hakim Adat yang telah dihapuskan itu diteruskan oleh Pengadilan Negeri.

d. Undang-undang No. 14/1970

(5)

a. Pasal 23 (1) yang isinya hampir sama dengan pasal 17 UU No.19 tahun 1964 dan berbunyi sebagai berikut : “Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili”.

b. Pasal 27 (1) yang isinya hampir sama dengan pasal 20 (1) UU No. 19

tahun 1964 dan berbunyi sebagai berikut : “Hakim sebagai penegak

hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai

hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Selain pasal-pasal tersebut di atas, maka penjelasan umum terhadap Undang-Undang No. 14 tahun 1970 bagian 7 memberi petunjuk kepada kita, bahwa yang

dimaksud dengan “hukum tak tertulis” dalam Undang-Undang ini adalah Hukum

Adat.

Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pasal 24 UUD 1945 dan pasal 23 ayat (1) Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No.14 tahun 1970.

(6)

a. Hak Atas Tanah Primer 4

Disebut sebagai hak atas tanah primer apabila perolehannya terjadi untuk yang pertama kali dengan sumber perolehannya/yang memberi adalah dari Negara sehingga tanahnya merupakan tanah Negara, maka hak tersebut akan disebut sebagai hak atas tanah primer yang meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa.

1. Hak Milik5

Hak ini diatur pada Bab II bagian I Pasal 4 dan secara khusus pada Pasal 16 ayat (1) serta Pasal 20 jo Pasal 50 UUPA.

Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas dengan mengingat Pasal 6 UUPA yang dapat beralih dan dialihkan.

Maksud dari sifat turun temurun adalah pemilikannya berlangsung terus menerus baik pemiliknya masih hidup ataupun sudah meninggal dunia (karena diteruskan oleh ahli warisnya). Sebagai hak yang terkuat maksudnya, jangka waktunya tidak terbatas sebagaimana HGU dan HGB yang jangka waktunya terbatas, jika jangka waktu ini berakhir maka harus dilakukan perpanjangan agar tidak kehilangan hak tersebut. Hal ini tidak akan terjadi pada hak milik karena dia turun temurun dan terkuat. Begitu pula sebagai hak yang harus didaftarkan sehingga akan memperoleh bukti hak yang dapat dipertahankan terhadap orang lain.

4

Sri Harini Dwiyatmi, Hukum Agraria,Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2016, hlm 20

5

(7)

Makna terpenuh dari sifat hak milik ini adalah memberi wewenang kepada pemiliknya lebih luas dari hak-hak yang lain serta dapat menjadi induk bagi hak lain misalnya HGB, Hak Pakai. Sifat demikian tidak dimiliki oleh HGU ataupun HGB apalagi Hak Pakai. Begitu pula pemanfaatannya untuk pertanian ataupun bangunan dengan mengikat sifat dan kemampuan dari hak ini. Selain itu hak milik dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan dapat digadai serta dapat diwariskan. 2. Hak Guna Usaha6

Pengaturan pada awalnya dalam UUPA Bab II Pasal 16 ayat 1 UUPA, Pasal 28-34, 50 UUPA yang menyatakan peraturan lebih lanjut tentang HGU diatur dengan peraturan perundangan. Yang dimaksud dengan peraturan perundangan pada pasal 50 adalah PP No 40 Tahun 1996.

Adapun pengertian dan isinya adalah (Pasal 29 ayat (1)) hubungan untuk mengusahakan tanah yang dikuasai negara dengan jangka waktu tertentu (25 tahun) untuk perusahaan pertanian, perikanan serta peternakan. Dengan tujuan penggunaannya lebih terbatas dari pada hak milik yaitu hanya untuk usaha pertanian sekalipun dapat mendirikan bangunan tetapi terbatas bangunan yang menunjang usaha pertanian itu.

Jangka waktunya relative lebih lama dari pada HGB dan Hak Pakai tetapi lebih terbatas dari pada Hak Milik dan tidak dapat menjadi induk dari hak-hak lain. HGU termasuk Hak Atas Tanah yang kuat, tidak mudah hapus.

6

(8)

3. Hak Guna Bangunan7

Pengaturan HGB dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40, sedangkan mengenai peraturan perundangan yang mengaturnya secara khusus terdapat pada PP no 40 Tahun 1996.

Adapun pengertian Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka paling lama 30 tahun. Penggunaan tanah hanya terbatas untuk bangunan, bukan berarti yang mempunyai hak tidak diperbolehkan menanam sesuatu, memelihara ternak, atau mempunyai kolam untuk memelihara ikan, asal penggunaan tanahnya secara pokok adalah untuk bangunan.

Ciri-ciri HGB adalah merupakan hak yang kuat artinya tidak mudah hapus dan dapat dipertahankan terhadap gangguan fihak lain, jangka waktunya terbatas artinya pada suatu waktu pasti berakhir dan dapat dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan, dapat dialihkan dengan cara dijual, ditukarkan benda lain, dihibahkan atau diberikan dengan wasiat. Dapat juga dilepaskan oleh empunya hingga tanahnya menjadi tanah negara.

4. Hak Pakai8

Pengaturannya terdapat dalam UUPA Pasal 41 sampai dengan Pasal 43, dan PP No 40 Tahun 1996 merupakan peraturan baru pelaksanaan dari UUPA. Adapun pengertian Hak Pakai adalah hak untuk

7

Ibid

8

(9)

menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian menyewa ataupun bukan perjanjian pengelolahan tanah asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Sifat dan cirinya merupakan hak atas tanah baik untuk bangunan maupun tanah pertanian yang dapat diberikan oleh pemerintah dan pemilik tanah yang bersangkutan.

5. Hak Sewa9

Pengaturannya pada Pasal 44-45 UUPA. Adapun pengertiannya

adalah suatu hak untuk mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. Hak sewa ini khusus merupakan sewa untuk bangunan bukan tanahnya.

b. Hak Atas Tanah Sekunder10

Hak atas tanah sekunder adalah hak atas tanah yang terjadi karena perjanjian antara para pihak yang berkepentingan. Para pihak ini sebagai sesama subjek hukum privat, yang jenisnya meliputi HGB, Hak Pakai, Hak Sewa.

Penggolongan sebagai hak atas tanah sekunder ini untuk membedakan dengan hak atas tanah primer yang perolehan tanahnya dari negara sebagai pihak yang memberikan dan pemohon adalah subjek hukum baik privat maupun publik.

9

Ibid

10

(10)

Karena itu hak atas tanah sekunder ini perolehannya dari perseorangan ke perseorangan lainnya.

Jadi bila seseorang pemegang HGB dapat mengalihkan HGBnya kepada pihak lain atau menyewakan kepada pihak lain maka haruslah dengan perbuatan hukum yang disebut perjanjian yang dibuat oleh PPAT dengan jangka waktu yang disesuaikan dengan jangka waktu HGB yang dimiliki oleh pemilik pertama yang menyewakan tadi. Pihak yang memperoleh HGB karena perjanjian akan memperoleh hak tidak lebih dan tidak kurang dari pemilik HGB yang dialihkan tersebut.

c. Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara11

Hak atas tanah yang besifat sementara ini diatur pada Pasal16 ayat (2) bagian a jo Pasal 56. Hak atas tanah yang bersifat sementara ini meliputi hak-hak yang menyangkut tanah pertanian yang jenisnya meliputi hak bagi hasil tanah

pertanian…, Hak Gadai atas tanah pertanian dan hak menumpang. Hak bagi hasil

dan gadai atas tanah pertanian kemudian diatur kembali oleh UUPA karena dirasa pengaturan yang ada menurut hukum adat bertentangan dengan semangat dan jiwa dari UUPA. Pengaturannya pada UU no 2 Tahun 1960 untuk bagi hasil, UU no 56 PRP Tahun 1960 untuk gadai atas tanah pertanian.

A.

4 Hak Atas Tanah Adat

a. Pengertian Hak atas Tanah

Hak atas tanah adat adalah hak yang memberi wewenang kepada yang empunya hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang

11

(11)

dihaknya. Jadi, hak atas tanah adalah suatu hubungan hak yang berisi wewenang dan kewajiban dilihat dari objeknya (tanahnya) merupakan status atau kedudukan hak yang masing-masing mempunyai sifat dan ciri-ciri tertentu yang membedakannya. Misalnya: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, atau dengan hak lainnya. 12

b. Konsepsi Hukum Adat 13

Hukum adat dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.

Selain komunalistik menunjuk pada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, dalam keputusan umum disebut hak ulayat. Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama, yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan Masyarakat Hukum Adat, sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Disinilah tampak sifat religious atau unsur keagamaan dalam hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya itu.

Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat

12

Efendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, CV Rajawali, Jakarta. 1986, hlm 229.

13

(12)

sementara, sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang umum disebut hak milik. Penguasaan dan penggunaan tanah tersebut dapat dilakukan sendiri secara individual atau secara bersama-sama bersama warga kelompok lain. Tidak ada kewajiban untuk memnguasai dan menggunakannya secara kolektif. Karena itu, penguasaan atas tanahnya dirumuskan secara individual.

Hak penguasaan yang individual tersebut merupakan hak yang bersifat pribadi, karena tanah yang dikuasainya diperuntukan bagi pemenuhan pribadi dan keluarganya. Bukan untuk pemenuhan kebutuhan kelompok. Kebutuhan kelompok dipenuhi dengan penggunaan sebagian tanah bersama oleh kelompok dibawah pimpinan Kepala Adat Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan. Misalya, tanah untuk tempat pengembalaan ternak bersama atau tanah untuk pasar dan keperluan bersama lainnya.

Dengan demikian, hak ulayat dari masyarakat adat tersebut ;

a. Selain menggandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para anggota atau warganya, termasuk bidang hukum perdata

b. Juga mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya, yang termasuk bidang hukum publik.

(13)

merupakan hak kepunyaan bersama. Maka dalam rangka hak ulayat, dimungkinkan adanya hak milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

A.5 Pengakuan Negara Terhadap hak atas tanah adat dan

masyarakat adat

a. Berdasarkan UUD 1945

Pasal 18 B ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengamanatkan sebagai berikut : (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

b. Berdasarkan UU no 5 tahun 1960 tentang UU pokok Agraria14

Hukum tanah nasional disusun berdasarkan Hukum Adat tentang tanah, yang dinyatakan dalam konsideran / UUPA. Pernyataan mengenai hukum adat terdapat dalam :

1. Dalam penjelasan umum angka III (1) UUPA dinyatakan bahwa,

“dengan sendirinya Hukum Agraria yang baru itu harus sesuai

dengan kesadaran hukum dari rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum

14

(14)

agraria baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan hubungannya dengan dunia Internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalisnya dan masyarakat swapraja yang feudal.

2. Dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa : Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang-ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersangkutan pada hukum agraria. Dalam penjelasan pasal 5 dinyatakan bahwa : penegasan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari Hukum Agraria yang baru.

(15)

dari hukum adat. Dalam hal itu hak-hak adat yang sifatmya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini (Pasal 7 dan 10) tetapi berhubungan dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat 1 huruf h jo Pasal 5).

4. Pasal 56 dinyatakan bahwa : Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam Pasal 50 ayat (1) belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan Undang-Undang Pokok Agraria.

(16)

c. Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.15

Oleh karena meningkatnya masalah yang berkenaan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat, maka diterbitkan peraturan ini, yang memberikan pengaturan sebagai berikut :

1. Pasal 1 : Bahwa Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya yang mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

2. Pasal 2 : Bahwa Hak Ulayat mengandung 2 Unsur, yaitu :

- Unsur Pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup (lebensraum).

15

(17)

- Unsur Kedua adalah unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan menggatur peruntukan, penggunaan dan penguasaan tanah ulayat tersebut. Peraturan ini menyebutkan tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur, yaitu : a. Unsur masyarakat adat, yaitu terdapat sekelompok orang

yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

b. Unsur Wilayah, yaitu terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

c. Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan tersebut.

d. Berdasarkan Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.16

Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan pengakuan atas masyarakat adat, dalam hubungannya dengan

16

(18)

hak asasi manusia. Pasal 6 UU HAM berbunyi : Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus

diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah (ayat (1)).

Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat

dilindungi selaras dengan perkembangan zaman (ayat (2)). Diijelaskan lebih lanjut bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Selain itu ditegaskan pula keharusan bagi hukum, masyarakat dan pemerintah untuk menghargai kemajemukan identitas dan nilai-nilai budaya yang berlaku pada komunitas adat setempat. Pengingkaran terhadap kemajemukan tersebut, misalnya melakukan penyeragaman (uniformitas) nilai terhadap mereka merupakan suatu pelanggaran HAM, apalagi jika pengingkaran tersebut disertai tindankan-tindakan pelecehan, kekerasan atau paksaan. Sudah tentu tindakan demikian bisa dikategorikan kejahatan serius dan berat, sehingga memungkinkan diselesaikan di pengadilan HAM.

(19)

negara, tanah adat dan tanah-tanah yang dimiliki oleh swasta. Apa yang seratus tahun lalu hanya dilihat sebagai masalah pertanahan biasa, sekarang terangkat sebagai masalah dalam wilayah hak asasi manusia. Disinilah hubungan antara hak ulayat dan hak asasi manusia17. Hak ulayat dapat dimasukan kedalam kategori hak seperti hak atas pembangunan dan hak atas lingkungan yang bersih. Yang menjadi masalah penting disini adalah hak masyarakat adat atas tanah yang menjadi habitat hidupnya. Dibelakang itu adalah kesadaran, bahwa manusia tidak bisa dilepaskan dari habitatnya atau ia menjadi ambruk. Jadi menjaga keutuhan hubungan antara manusia dan habitatnya masuk dalam agenda memajukan dan melindungi hak asasi masusia. Tanah bagi manusia merupakan syarat penting bagi menjaga kelangsungan hidupnya, sebab tanah berarti makan, tinggal, membesarkan keluarga, memelihara warisan budaya. Hidup masyarakat adat sangat bergantung pada tanah yang menjadi tempat tinggal yang merupakan bagian dari hak untuk hidup dan memelihara warisan budaya.

A.6 Hak Ulayat

a. Hak Ulayat Dalam Masyarakat Hukum Adat18

Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya. Wewenang dan kewajiban tersebut ada yang termasuk bidang hukum perdata. Yaitu yang berhubungan dengan hak kepunyaan bersama atas tanah

17

Parlindungan. A. P, Beberapa Pelaksana Kegiatan Dari UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm 48.

18

(20)

tersebut. Ada juga yang termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya.

Hak ulayat meliputi semua tanah yang adat dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihakiki oleh seseorang

maupun yang belum. Dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah sebagai “res

nullius”.

Masyarakat hukum adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya, yang mempunyai hak ulayat, bukan seseorang.

Hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku kedalam dan keluar. Kedalam berhubungan dengan para warganya. Sedangkan kekuatan berlaku keluar dalam hubungannya dengan bukan angota masyarakat hukum adatnya, yang disebut

“orang asing” atau “orang luar”.

b. Hak Ulayat dalam UUPA.19

Hak Ulayat diakui oleh UUPA, tetapi pengakuan ini disertai syarat yaitu

mengenai “eksistensinya” dan mengenai pelaksanaannya, hak ulayat diakui

“sepanjang menurut kenyataannya masih ada”, demikian Pasal 3. Di

daerah dimana hak itu tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Di daerah-daerah dimana tidak pernah ada hak ulayatnya, tidak akan dilahirkan Hak Ulayat baru, pelaksanaan Hak Ulayat diatur juga didalam Pasal 3.

19

(21)

“Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan

kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta

tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang

lebih tinggi”, demikian Pasal 3.

UUPA berpangkal pada pengakuan hak ulayat dalam hukum tanah yang baru, tetapi pelaksanaannya dibatasi. Jika akan memberikan suatu hak atas tanah (umpama hak guna-usaha untuk usaha perkebunan), maka sebagai tanda pengakuan itu masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya sebagai pemegang hak ulayat. Dari contoh ini kita dapat mengetahui pendirian UUPA mengenai Hak Ulayat dengan “tanah Negara”. Menurut Pasal 28 ayat (1) yang dapat diberikan dengan hak guna usaha ialah tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara. Tanah-tanah demikian itu disebut tanah Negara.

(22)

c. Eksistensi Hak Ulayat20

UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu, Namun, kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan keberadaan hak ulayat tersebut adalah :

- Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subjek hak ulayat,

- Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum

(ruang hidup) yang merupakan objek hak ulayat;

- Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan-perbuatan hukum.

Dipenuhi ketiga persyaratan tersebut secara komulatif. Kiranya cukup objektif sebagai penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, sehingga misalnya, walaupun ada masyarakat hukum adat dan ada tanah atau wilayahnya, namun apabila masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan tiga tindakan tersebut, maka hak ulayat dapat dikatakan sudah tidak ada lagi.

Pemenuhan kriteria tersebut sesuai rasa keadilan berdasarkan dua hal. Di satu pihak, bila hak ulayat memang sudah menipis atau sudah tidak ada lagi hendaknya hal ini menjadi kesadaran bersama, bahwa sebetulnya secara sosiologis maysarakat hukum adat telah ditingkatkan menjadi bangsa Indonesia

20

(23)

sejak 17 agustus 1945. Tidaklah pada tempatnya untuk mencoba menghidupkan kembali hal-hal yang justru dapat mengamburkan kesadaran berbangsa dan bertanah air satu. Dipihak lain, bila memang hak ulayat dinilai masih ada maka harus diberikan pengakuan atas hak tersebut disamping pembebanan kewajiban oleh Negara. Pengakuan atas hak itu tampak misalnya, apabila tanah ulayat diberikan untuk pembangunan (sesuai dengan fungsi sosial yang melekat pada hak ulayat) maka pihak yang memerlukan tanah harus meminta izin pada masyarakat hukum tersebut. Dan apabila diperlukan juga memberikan pemulih keseimbangan berupa apapun bagi seluruh anggota masyarakat hukum tersebut maupun masyarakat sekitarnya. Kewajiban yang dibebankan kepada masyarakat hukum tersebut, antara lain berupa pemeliharaan tanah, penambahan kesuburannya, serta pelestarian lingkungannya.

A.7 Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)

(24)

yang berdasarkan rekomendasi Badan Pertanahan Ruang Nasional (BKPRN) layak dikembangkan menjadi kawasan pertanian pangan dan bahan bakar hayati dalam skala luas.

Dalam rangka mendukung program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), pemerintah membuat payung hukum agar proyek tersebut dapat berjalan, produk hukum tersebut diantaranya, Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan di Luar Kegiatan Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukandan Fungsi Kawasan Hutan, Impres No.5 tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi tahun 2008-2009.21

Pada fakta dilapangan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang melakukan pengambilan tanah ialah pihak pengelola dalam hal ini perusahaan-perusahaan yang telah ditunjuk dan dibagi wilayah kerjanya melalui SK Bupati No. 6 tahun 2013. Dalam beberapa pengambilan tanah yang dilakukan oleh pihak perusahaan ada beberapa tata cara yang bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Hal ini dikarenakan yang melakukan pengambilan tanah adalah dari pihak perusahaan bukan dari pemerintah sendiri.

21

(25)

Pada beberapa kasus ketika terjadi sengketa atas tanah adat atau hutan adatpun pemerintah pada satu sisi berpihak pada pihak pengelola tetapi pada sisi lain tidak jarang pemerintah berpihak pada masyarakat adat yang tanahnya masuk dalam perluasan wulayah program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

B. Hasil Penelitian

B.1 Masyarakat Adat Marga Mahuze a. Marga Mahuze22

Marga Mahuze adalah salah satu dari enam sub-marga suku marind. Marga Marind adalah masyarakat adat asli yang tinggal dan menetap di Kabupaten Merauke sejak lama. Masyarakat Marind terbagi menjadi dua yakni Marind Pantai dan Marind Kali/Deq. Marind Pantai adalah masyarakat adat suku Marind yang tempat tinggalnya di pesisir pantai sedangkan Marind Kali/Deq adalah masyarakat Marind yang tempat tinggalnya jauh dari pantai dan hanya memanfaatkan kali. Marga Mahuzepun terbagi menjadi dua yakni Mahuze Pantai dan Mahuze Kali/Deq. Maraga Mahuze mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari :

- Ketua Marga - Wakil Ketua Marga - Sekertaris

22

(26)

- Bendahara - Penasehat

Tatacara pengangkatan seluruh struktur organisasi marga Mahuze adalah secara adat dan dilakukan oleh orang-orang yang dituakan dalam marga. Sedangkan tatacara pemberhentiannya adalah apabila anggota marga merasa bahwa pengurus marga mulai menyimpang dari anggota marga, maka pengurus marga langsung diberhentikan oleh seluruh anggota marga melalui rapat marga dengan kesepakatan bersama seluruh marga Mahuze.

Wilayah-wilayah adat Marga Mahuze terdiri dari :

Permukiman : Marga Mahuze memiliki permukiman yang tertata dengan sangat baik. Bahkan marga mahuze sendiri telah menyediakan daerah permukiman yang disiapkan untuk warga transmigran.

Dusun Sagu : Dusun Sagu adalah daerah yang disiapkan oleh marga Mahuze untuk persediaan makanan mereka. Dimana sagu adalah makanan pokok masyarakat Papua, sehingga marga Mahuze tidak mau nantinya sagu punah sehingga mereka menyediahkan daerah khusus.

(27)

sebagai salahsatu sarana mereka berkomunikasi dengan leluhur mereka. Tanah keramat ini juga dianggap tanah suci bagi marga Mahuze.

Kali : Kali merupakan jalur transportasi dan juga tempat marga Mahuze mencari ikan, udang, dll guna mencari nafkah dan untuk makan sehari-hari.

Hutan Adat : Hutan adat yang dimiliki marga mahuze adalah tempat mereka mengambil bahan untuk keberlangsungan hidup mereka, mulai dari mengambil kayu untuk membuat rumah atau tempat tinggal mereka, sampai berburu agar mendapatkan hasil buruan untuk dimakan dan dijual supaya menghasilkan uang.

Pada program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) penulis mengambil contoh marga Mahuze Kali yang berkedudukan di salah satu Distrik/Kecamatan di Kabupaten Merauke yaitu Distrik Muting. Kebiasaan-kebiasaan yang dimiliki oleh marga Mahuze sama dengan masyarakat Marind lainnya mereka berkebun, mencari ikan di kali serta berburu.

b. Tatacara Penyerahan Tanah menurut Adat Suku Marind23

Selama program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) upacara yang dilakukan dalam pengadaan tanah adalah menanam kepala babi.

23

(28)

Namun, nyatanya upacara adat menanam kepala babi hanya proses untuk meminta ijin kepada nenek-moyang atau leluhur masyarakat Marind bahwa tanah mereka mau digunakan untuk suatu hal dan bukanlah proses penyerahan tanah kepada pihak lain. Upacara pelepasan tanah menurut suku marind yang sebenarnya bukanlah hal yang mudah. Semua kepala marga beserta rombongannya harus diundang untuk mengadakan upacara dan pesta dengan menyembelih babi. Pesta ini bisa berlangsung selama seminggu, dengan seluruh biaya ditanggung oleh orang yang hendak membeli tanah dengan Pelepasan Adat. Dalam upacara tersebut mereka melakukan sumpah bersama, sumpah dengan darah ataupun sumpah atas nama tanah air untuk tidak akan mengganggu kepemilikan tanah yang telah dilepas ini. Hukuman atau istilahnya karma bagi yang melanggar tidak tanggung-tanggung, yaitu kematian bagi seluruh anggota keluarganya, termasuk anak, istri, bapak, ibu, kakek, nenek.

c. Hak-Hak Marga Mahuze 1. Hak Milik

Marga Mahuze mempunyai hak milik atas tanah dan wilayah adat mereka baik hak milik secara bersama dan juga hak yang dimiliki orang perseorangan yang diberikan oleh hak atas tanah bersama kepada masing-masing individu agar menggunakan tanah tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup individu tersebut dan keluarganya. 2. Hak Mengelola Tanah

(29)

tertentu sejak lama, bahkan sebelum Negara Indonesia merdeka nenek moyang dan leluhur marga Mahuze telah menempati lebih dulu tanah adat yang mereka tempati sekarang ini. Tanah adat yang marga Mahuze miliki ini adalah tanah yang dimiiki secara bersama dan dimiliki oleh orang perseorangan secara individu, mereka mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus tanah adat mereka baik secara bersama maupun secara individu.

3. Hak Memungut Hasil

Marga Mahuze mempunyai hak untuk memungut hasil atas tanah dan wilayah adat yang mereka miliki mulai dari tumbuh-tumbuhan yang tumbuh diatas tanah adat mereka dan juga hewan-hewan yang juga terdapat didalam tanah atau wilayah adat marga Mahuze.

B.2 Kegiatan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Wilayah Adat Marga Mahuze

a. Cara Pengambilan Tanah yang Dilakukan oleh Pihak Pengelola24

Dalam program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) hutan adat marga Mahuze yang termasuk dalam perencanaan pengadaan tanahnya adalah seluas 200 Km2 . Pemerintah melalui mantan Bupati Kabupaten Merauke Drs. Romanus Mbaraka, MT memberikan ijin lokasi kepada PT. Agriprima Citra Persada dengan mengeluarkan SK Bupati No. 6 tahun 2013, tanggal 17 Januari 2013. Sehingga yang melakukan pengadaan tanah adalah PT. Agriprima Citra Persada dan bukanlah Pemerintah. Awalnya pihak PT. Agriprima Citra Persada

24

(30)

melakukan sosialisasi, setelah itu pihak perusahaan memberikan uang senilai Rp. 300.000.000 kepada marga Mahuze. Namun, menurut marga Mahuze sosisalisasi yang dilakukan oleh PT. Agriprima Citra Persada tidaklah jelas. Dalam sosialisasi yang dilakukan oleh PT. Agriprima Citra Persada hanya membahas janji-janji yang diberikan oleh PT. Agriprima Citra Persada kepada marga Mahuze. Janji-janji perusahaan meliputi :

- Memberikan pekerjaan yang layak kepada anggota marga Mahuze - Pengadaan Listrik agar listrik di wilayah marga Mahuze bisa

menyala 24 jam/hari. Dikarenakan Listrik di Distrik Muting hanyalah menyala mulai jam 18.00 WIT – 00.00 WIT

- Pengadaan Air Bersih. Mayarakat muting menggantungkan hidupnya dikali, mulai dari mandi sampai mencuci pakaian. Namun, kali dimana masyarakat Marga Mahuze menggantungkan hidupnya telah tercemar, disebabkan oleh limbah pabrik.

- Membangun rumah untuk marga Mahuze secara gratis, dikarenakan permukiman marga Mahuze masih sangatlah sederhana, rumah-rumahnya hanyalah beralaskan tanah dan papan. Kemudian pihak Perusahaan memberikan uang sebesar Rp. 300.000.000 kepada marga disertai dengan memberikan surat perjanjian. Setelah itu marga Mahuze menolak dan berniat menggembalikan uang yang diberikan oleh Perusahaan.

b. Alasan Marga Mahuze Menolak Penggusuran Hutan Adat Mereka25

25

(31)

Marga Mahuze menolak adanya penggusuran atas hutan adat mereka dikarenakan, sejak kecil mereka ditanamkan pikiran oleh orang-orang tua dan leluhur mereka kalau Hutan Adat mereka itu harus dianggap sebagi rahim seorang ibu, dan mereka adalah bayi didalamnya. Dimana hutan telah menyediakan semua keperluan mereka secara gratis mulai dari bahan makanan dan bahan untuk bertahan hidup lainnya. Contohnya jika mereka mau makan mereka bisa berburu untuk mendapatkan lauk sedangkan makanan pokok mereka adalah sagu, satu pohon sagu bila mereka pangkur satu hari bisa untuk persediaan satu keluarga selama enam bulan. Jika mereka mau membuat rumah, dinding dan atapnya bisa dibuat dari pohon yang diambil dari hutan adat mereka.

Dalam upaya pengadaan tanah yang dilakukan oleh pihak Perusahaan marga Mahuze beranggapan bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh perusahaan tidak jelas karena isi dari sosialisasi hanyalah janji-janji yang akan diberikan oleh pihak perusahaan kepada marga Mahuze saja tidak memberikan jalan keluar yang baik kepada marga Mahuze, Marga Mahuze lebih memilih untuk mempertahankan tanah adat mereka. Dengan berbagai alasan antaranya adalah :

(32)

- Karena menurut Marga Mahuze tanah yang memberikan mereka maan untuk hidup dari tumbuhan yang ada didalamnya dan juga hewan-hewan yang berada didalam hutan adat mereka.

- Karena jika hutan adat digusur dan sagu hilang maka marga Mahuze takut tradisi dan budaya mereka seperti pangkur sagu hilang. Marga Mahuze ingin mempertahankan tradisi dan budaya adat mereka agar anak dan cucu mereka juga harus tetap mempertahankan tradisi-tradisi adat marga Mahuze.

Marga Mahuze juga merasa Pihak Perusahaan mengintimidasi mereka melalui TNI dan POLRI. Bukan tidak beralasan marga mahuze berpikiran begitu, karena dari pihak Koramil dan Polsek yang berada di distrik Muting. Danramil dan Kapolsek keduanya melakukan rapat dengan Marga Mahuze meskipun diwaktu yang berbeda namun pembahasannya sama yakni membujuk marga Mahuze untuk menandatangani perjajanjian yang diberikan oleh perusahaan. Marga merasa kecewa dengan sikap TNI/POLRI yang bersangkutan, menurut mereka tugas dari TNI/POLRI adalah menjaga keamanan, dan apabila TNI/POLRI mau menjadi mediator antara pihak perusahaan dan Marga Mahuze, TNI/POLRI harus bersifat adil bukan malah ikut membujuk dan mengintimidasi anggota marga Mahuze.

(33)

sampai menimbulkan kontak fisik, mereka sendiri bisa ditahan dan setelah itu tidak ada lagi yang bisa membela dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh marga Mahuze adalah :

- Melakukan rapat Marga, dalam rapat Marga Mahuze mereka saling menguatkan tekat dan persatuan antar anggota marga agar dalam melakukan pemalangan mereka semua kompak dan tidak terpecah belah dan berpaling ke pihak perusahaan.

- Dengan jalan damai meminta perusahaan untuk membatalkan penggusuran atas hutan adat mereka. Perusahaan meminta mereka menggembalikan uang yang terlebih dahulu diberikan oleh perusahaan sebesar Rp. 300.000.000 dan juga mengumpulkan surat perjanjian yang diberikan oleh perusahaan. Marga Mahuze kemudian melakukan semua yang diminta oleh perusahaan. Namun, perusahaan selanjutnya menolak menerima kembali itu semua. Pihak perusahaan juga memalsukan tanda tangan anggota-anggota Marga Mahuze, banyak dari anggota-anggota marga tidak menandatangani perjanjian tersebut tetapi faktanya semua anggota marga menandatangani perjanjian tersebut. Dan perusahaan menggunakan itu sebagai dasar untuk terus menggusur hutan adat marga mahuze.

(34)

mereka pulang, namun mereka tetap saja datang lagi. Hal tersebut membuat marga mahuze mulai emosi namun mereka tetap menyuruh pekerja-pekerja dilapangan itu pulang dengan baik tanpa melakukan tindak kekerasan.

- Melaporkan tindakan TNI/POLRI ke komnas HAM dan Bupati Kabupaten Merauke. Karena mereka merasa terintimidasi oleh TNI/POLRI. Setelah marga Mahuze melaporkan ke Bupati, Danramil dan Kapolsek distrik muting itu kemudian dimutasikan. - Marga Mahuse menanam patok-patok penolakan yang telah

dilakukan adat “sasi”. Tetapi, perusahaan tetap menyuruh security

-security untuk mencabut patok-patok tersebut. Marga Mahuze merasa adat mereka tidak dihargai oleh orang-orang yang berasal dari luar daerah. Dan menurut adat istiadat mereka barang siapa

yang melanggar adat “sasi” hukumannya adalah mati. Marga

Mahuze kembali ke perusahaan dan menyampaikan rasa kekecewaan mereka. Para security yang mencabut patok-patok yang telah di sasi tersebut ketakutan. Mereka meminta maaf kepada Marga Mahuze, tetapi dalam adat Marga Mahuze haruslah dilakukan upacara adat dan membayar denda adat untuk menghindari adanya korban karena adat mereka telah dilanggar. c. Alasan Marga-Marga lain yang telah Memberikan Hutan Adat Mereka

Kepada Perusahaan26

26

(35)

Pada dasarnya tidak ada dari keenam marga masyarakat Adat suku Marind yang setuju hutan adat mereka diambil oleh perusahaan. Namun ada beberapa alasan yang membuat mereka menyerahkan hutan adat mereka :

- Termakan janji-janji Perusahaan

Adanya janji-janji yang diberikan oleh perusahaan sangatlah mempengaruhi marga-marga yang telah melepaskan hutan adat mereka. Karena mereka menginginkan rumah yang layak dan pekerjaan yang jelas.

- Persatuan Marga yang kurang kuat

Persatuan marga sangatlah penting. Agar antar sesama anggota marga bisa satu hati dan satu pikiran. Namun marga-marga yang telah melepaskan tanah mereka memiliki persatuan marga yang kurang baik. Mereka lebih mementingkan kepentingan mereka pribadi dibandingkan kepentingan bersama.

- Mendapatkan bayaran yang besar

Masyarakat adat sanagtlah jarang bisa mendapatkan pekerjaan sehingga mereka hanya mencari nafkah melalui penjualan hasil buruan, hasil berkebun, dan memancing. Ketika perusahaan menawarkan bayaran yang besar bagi mereka, mereka sangatlah senang. Namun, mereka tidak memikirkan bagaimana nasib anak-cucu mereka nanti.

Pada kenyataannya janji-janji perusahaan ini tidaklah ditepati. Mereka tidak mendapatkan pekerjaan dan rumah yang layak, dan hutan adat mereka telah digusur sehingga mereka tidak bisa lagi berburu untuk mencari nafkah. Perusahaan dalam menggurus hutan adat mereka juga melakukan kecurangan

(36)

menanam patok-patok batas hutan yang digusur. Namun jika penggusuran hampir sampai dipatok yang telah ditanam, perusahaan menggeser lagi patok tersebut. Hal ini diakukan secara terus menerus sehingga masyarakat adat sangatlah dirugikan.

C.

Analisis

C.1 Hak Masyarakat Adat Marga Mahuze

(37)

mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya, artinya instansi pemerintah dalam hal pelepasan hak ulayat harus menghargai hak-hak masyarakat adat dan mengikuti ketentuan-ketentuan dan tatacara adat yang berlaku.

Salah satu alasan marga Mahuze menolak program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) adalah karena marga Mahuze takut kehilangan tradisi dan budaya mereka. Seperti mereka takut jika hutan adat mereka hilang maka dusun sagu mereka juga hilang. Dalam adat Marga Mahuze ada diatur tentang sagu dimana sagu harus betul-betul dimanfaatkan jika sagu tidak dihargai maka ada hukuman bagi yang tidak menghargai sagu. Sagu adalah raja bagi marga Mahuze karena menurut mereka sagu berasal dari alam, begitu alam ini ada maka sagu pun ada. Orang papua harus tetap mempertahankan budaya-budaya adat.

Marga Mahuze juga mempunyai hak atas perlindungan, seperti yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

“bahwa setiap orang berhak atas pelindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan hak miliknya ( Pasal 29 ayat (1))”, “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu ( Pasal 30)”.

C.2 Hak Masyarakat Adat Marga Mahuze yang Dilanggar

(38)

1. Pihak pengelola pada kasus ini melakukan pendekatan pada salah seorang dari anggota marga Mahuze, salah satu anggota marga yang didekati oleh pihak pengelola tersebut diberi fasilitas-fasilitas oleh pihak pengelola, dimana salah satu anggota marga tersebut dibiayai oleh pihak pengelola untuk berlibur dan diberi sejumlah uang. Anggota marga tersebut menandatangani surat perjanjian dengan pihak pengelola dan juga membantu pihak pengelola untuk memalsukan tanda tangan anggota marga Mahuze lainnya.

2. Pihak Pengelola mulai melakukan penggusuran atas hutan adat marga Mahuze sedangkan, marga Mahuze belum memberikan ijin kepada pihak pengelola.

3. Pihak pengelola dianggap tidak menghargai adat istiadat dan budaya marga Mahuze. Salah satu contohnya ialah ketika marga Mahuze melakukan pemalangan dan pemasangan patok ”Sasi” pihak pengelola tidak memperdulikan patok adat tersebut tetapi pihak pengelola langsung mencabut patok-patok yang telah dipasang sasi adat oleh marga Mahuze.

4. Pihak Pengelola menggunakan TNI/POLRI untuk membujuk marga Mahuze agar menyerahkan tanah adat mereka kepada pihak pengelola. Marga Mahuze merasa bahwa TNI/POLRI mengintimidasi mereka.

(39)

oleh pihak pengelola itu menghilangkan hak-hak yang dimiliki oleh marga Mahuze, diantaranya :

1. Hak milik, hak mengelola tanah, hak memungut hasil, masyarakat Mahuze secara tidak langsung kehilangan hak-hak atas tanah adat mereka. Karena pihak pengelola dengan sendirinya mulai menggusur hutan adat marga Mahuze sedangkan marga Mahuze tidak menyetujui perjanjian yang diberikan oleh pihak pengelola.

2. Hak adat marga Mahuze secara tidak langsung tidak dihargai oleh pihak pengelola. Karena, hukum adat dan larangan-larangan adat marga Mahuze tidak dihiraukan oleh pihak pegelola.

3. Hak atas rasa aman dan tentram seperti telah diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berisi

“Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan

terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

Referensi

Dokumen terkait

755 Yohanes SMP Bunda Hati Kudus DKI Jakarta srt baptis 756 Giovanie Anggasta Yogg SMP Katolik RICCI II Banten lengkap 757 Agustinus Dimas Riyandi SMP YPPK Santu

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax. Prodi Asal : Pendidikan

Hasil dari korelasi kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.. SMP Islam Sunan Gunung Jati Ngunut Tulungagung menunjukkan nilai

Dari eksperiment juga diketahui bahwa untuk motor listrik dengan daya kecil seperti yang dipakai di laboratorium, perhitungan daya mekanis yang biasanya dilakukan

Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan dengan menggunakan mean dan standart deviasi dapat diketahui bahwa siswa kelas VIII SMP Islam Sunan Gunung Jati Ngunut

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

[r]

Totalindo merupakan salah satu dari sedikit kontraktor swasta nasional yang telah memperoleh Sertifikat Badan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi dengan kualifikasi Besar 2