• Tidak ada hasil yang ditemukan

Review Book Hukum dan HAM Rombel 02 Amin (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Review Book Hukum dan HAM Rombel 02 Amin (2)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Aminullah Ibrahim

aminullahibrahim@students.unnes.ac.id

Nama/Judul buku : HAM DAN POLITIK INTERNASIONAL Penulis/Pengarang : Ani W. Soetjipto (ed)

Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Tahun Terbit : 2015

Kota Penerbit : Jakarta

Bahasa Buku : Indonesia

Jumlah Halaman : 231 Halaman

ISBN Buku : 978-979-461-954-4

DISKUSI/PEMBAHASAN REVIEW

(2)

berangkat yang disepakati pada pendekatan ini adalah dari konsepsi natural rights yang bersifat normatif pemaknaan tentang hak dasar fundamental yang bersifat individual, serta menjadi basis dari kajian tentang HAM. Filsuf politik seperti Hugo Gratius, thomas Hobbes, dan Jhon locke yang dalam tulisan masing-masing konsisten menggunakan konsepsi tentang rights dan natural law kemudian memunculkan terminologi yang dikenal sebagai Liberal Positions on Rights. Komponennya terdiri dari: (1) Setiap individu memiliki hak untuk hidup, hak untuk bebas (merdeka) dan memiliki properti. Setiap individu memiliki kebebasan berbicara dan berpendapat yang tidak bisa dipertukarkan, tidak bisa ditransaksikan, dan sifatnya tidak bersyarat, (2) Fungsi utama pemerintah adalah untuk melindungi hak dasar tersebut. Dengan demikian, pendekatan ini tidak semata melihat kondisi empirik dari individu yang tidak memiliki hak atau terlanggar haknya, namun lebih jauh dari itu, pendekatan kritis menyediakan basis pemahaman atas pemaknaan tentang rights yang bersifat universal. Dalam beragam aliran semua teori kritis mempunyai parsamaan asumsi yaitu: (1) Natur manusia tidaklah tetap atau esensial, tapi merupakan bentukan dari kondisi sosial yang ada pada kurun waktu tertentu, (2) Individu (subjek) dapat diidentifikasi secara berkelompok menurut kepentingan konkrit mereka, (3) Disamping perbedaan ras, etnis, gender dan kelas, seluruh manusia memiliki kesamaan kepentingan dan emansipasi, (4) Jika ilmu-ilmu positivistik merujuk pada pengetahuan yang berorientasi pada pemecahan masalah, maka teori kritis mengacu pada pengetahuan yang membuka jalan pada emansipasi.

Bab II menjelaskan tentang Buku Hak Asasi Manusia dan Politik Internasional, yaitu tentang inefektivitas norma HAM internasionlal seperti yang tertuang dalam DUHAM di suatu negara, dan bagaimana institusi HAM internasional bekerja dalam memproses pelanggaran HAM berat yang terjadi di Rwanda ditunjukkan oleh tulisan Katherine Juliani lewat artikelnya yang berjudul Genosida Rwanda dan Peran Institusi HAM Internasional. Yang menunjukkan bahwa kasus genosida di Rwanda memperlihatkan kegagalan pemerintah untuk melindungi dan menjamin HAM warga negaranya. Tulisan ke dua disumbangkan oleh Bathara Ibnu Reza dan Rahmatika Febrianti yang diberi judul Pelanggaran HAM dalam Counterterrorism Amerika Serikat. Yaitu membahas kasus counterterrrorism Amerika Serikat pasca tragedi 9 september 2011 dan kaitannya dengan upaya menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) HAM Universal-seperti yang selalu di promosikan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Tulisan ke tiga disumbangkan oleh Sasya Amanda dan Triya Venisya Refsi Putri yang diberi judul Konflik Identitas dan Pelanggaran HAM di Rwanda. Yaitu dengan menganalisis relasi dan tarik menarik kepentingan antara etnis mayoritas Hutu dan minoritas Tutsi dalam waktu panjang sebelum konflik terbuka pecah di tahun 1994 dan menimbulkan pelanggaran HAM berat berupa tindakan genosida terhadap etnis Tutsi dan sebagian Hutu yang moderat. Tulisan ke empat disumbang oleh Rezti Muthia yang membahas Statelessness Rohingya di Myanmar: Kritik Terahadap Sovereignty. Yaitu membahas HAM Rohingya di Myanmar yang merupakan non-citizen (bukan warga negara). Kelompok non-citizen adalah kelompok yang paling rentan terkena diskriminasi dan pelanggaran HAM karena mereka tidak terlindungi negara. Tulisan ke lima disumbang oleh Romarga Waworuntu yang berjudul Jaringan Advokasi Transnasional dan Perjuangan HAM Falun Gong. Yaitu pendekatan

(3)

non-negara, utamanya para aktivis dan kalangan LSM dalam memperjuangkan HAM kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan. Artikel terakhir adalah tulisan Kurniasari Novita Dewi tentang praktek HAM di Indonesia Paska Reformasi: Tinjauan dari Hak Sipil dan Politik. Yaitu dengan membahas naik-turunnya capaian salah satu indikator demokrasi Indonesia, adalah penghormatan hak asasi manusia.

Genosida Rwanda dan Peran institusi HAM Internasional secara rinci dijelaskan di dalam Bab III. Yaitu menjelaskan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (genosida) di Rwanda, yang diawali oleh adanya perang antaretnis yang disebabkan oleh segregasi etnis yang sudah berlangsung sejak masa kolonialisme. Masyarakat Rwanda tersegregasi atas etnis Hutu, Tutsi, dan Twa.1

Latar belakang etnis menentukan mudah atau sulitnya akses-akses menuju kekuasaan politik dan ekonomi yang pada akhirnya membagi masyarakat ke dalam strata-strata sosial. Etnis Tutsi menempati starat sosial dan politik yang paling tinggi dari Hutu. Tensi antar kelas sosial semakin meningkat seiring dengan dekolonialisasi yang terjadi di Rwanda. Proses peralihan kekuasaan menjadi momentum bagi Hutu untuk dapat masuk ke dalam politik, sedangkan Tutsi yang ingin mempertahankan privilege ingin tetap mempertahankan strata yang ada. Pada tahun 1959 menjadi awal “peasant Revolution” oleh Hutu yang mengakhiri dominasi Tutsi sekaligus memaksa Tutsi untuk mencari suaka ke negara lain. Serangan terhadap Tutsi oleh Hutu terus berlanjut sejak tahun 1962-1967 yang semakin meningkatkan jumlah pengungsi Rwanda. Pada tahun 1962 diperkirakan ada 120.000 jiwa, sedangkan pada tahun 1980 terdapat kurang lebih 480.000 orang yang tersebar di Burundi, Uganda, Zaire, dan Tazania.2 Menanggapi konflik tersebut, pada tahun 1993 Dewan Keamanan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) terlebih dahulu membentuk United Nations Observer Mission Uganda-Rwanda (UNOMUR) untuk memastikan tidak ada bantuan militer kepada Rwanda. Setelah UNOMUR, DK PBB membentuk

United Nations Assistance Mission for Rwanda (UNAMIR) yang memiliki mandat untuk memonitori implementasi keepakatan damai Arusha. Setelah Perang Sipil yang terjadi pada tahun 1994, DK PBB mengeluarkan resolusi untuk membentuk International Crime Tribunal for Rwanda (ICTR). ICTR memiliki mandat untuk “mengadili orang yang bertanggung jawab atas genosida dan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional lainnya yang dilakukan di teritori Rwanda dan negara tetangga antara 1 Januari 1994-31 Desember 1994).”3 Sedangkan dalam bidang Institusi HAM Internasional, institusi global

melalui terbentuk dengan lahirnya kerangka legal yang universal mengenai UDHR pada tahun 1948. Pengalaman Perang Dunia Kedua menjadi momentum yang membentuk permintaan sekaligus kesediaan negara untuk pmbentukan rezim HAM global. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, UDHR menjadi dokumen HAM pertama yang diciptakan pada 10 Desember 1948 dan diratifikasi oleh setiap negara anggota PBB pada 16 desember 1949. UDHR, dalam pembukuannya menyatakan bahwa “Mengingat bahwa pengakuan atas harga diri kesetaraan, dan hak-hak yang tidak bisa dilepaskan dari anggota 1 Robert O. Keohane. “Neoliberal Institutionalism: A Perspective on World Politics,” International Institutions and State Power: Essays in International Relations Theory”, ed. Robert O.Keohane (Boulder. CO: Westview Press, 1989),3.

2 Ibid.

(4)

keluarga umat manusia adalah dasar dari kebebasan, keadilan, dan kedamaian, di dunia.” Selain UDHR, terdapat pula International Convenant on Civil and political Rights (ICCPR) serta International Convenant on Social, Economic, and Cultural Rights (ICSECR). Yang diadopsi pada 19 Desember 1966. Sejalan dengan UDHR, ICCPR melihat kebebasan sipil dan politik sebagai kondisi ideal individu untuk mencapai aspirasi ‘kebebasan dari rasa takut’.4

ICCPR membahas mengenai hak-hak sipil dan politik yang kemudian dikategorikan sebagai HAM generasi pertama. Sedangkan ICSECR menambahkan hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sejalan dengan hak sipil politik untuk mencapai empat aspirasi tertinggi manusia. Ketiga perjanjian internasional ini kemudian dikenal sebagai Bill of Rights yang menjadi landasan dalam perlindungan HAM di level global.

Bab IV menjelaskan tentang Pelanggaran HAM dalam Counterterrorism Amerika Serikat, yaitu tentang serangan teroris 11 September 2001, atau dikenal sebagai peristiwa 9/11, oleh Al-Qaeda pada negara adidaya Ameika Serikat yang mengejutkan dunia atas korban jiwa serta kerusakan yang ditimbulkannya. Serangan terorisme tidak hanya dilakukan di Al-Qaeda, melainkan juga oleh sekelompok-sekelompok lain yang berafilasi dengan mereka, seperti contohnya Jamaah Islamiyah di Indonesia. Besarnya ancaman yang ditimbulkan terorisme mendorong Amerika serikat mencanangkan “global war on terror”, yang secara terang-terangan mendikotomi dunia menjadi “with us”, bersama Amerika Serikat melawan terorisme, atau “againt us”, bersama kelompok teroris. Karena itu, Amerika Serikat beserta negara-negara lainnya melakukan counterterrorism untuk mensukseskan “global war on terror” tersebut. Cunterterrorism adalah aktivitas dan operasi yang bertujuan untuk menetralisir teroris, organisasi, serta jaringan mereka supaya tidak bisa lagi menggunakan kekerasan untuk menyebarkan ketakutan dan mengganggu kehidupan pemerintah maupun masyarakat.5 Akan tetapi, usaha

cunterterrorism kerap mendapat sorotan, terutama dengan kaitannya dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Dalam usaha untuk mengumpulkan informasi dan mencegah aksi terorisme, pihak berwenang dapat menggeledah, menginterogasi, dan menahan terduga teroris bahkan tanpa didasari bukti yang cukup. Kekerasan verbal, penyiksaan fisik (torture), serta tekanan psikologis dapat dilakukan untuk melemahkan moral terduga teroris, dengan harapan mereka akan mengaku atau memberikan informasi. Hal tersebut menjadi masalah ketika mereka yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi itu sejatinya tidak bersalah. Ada pula kesan bahwa pihak berwenang seakan-akan menargetkan kelompok tertentu, misalnya umat muslim, sehingga mereka lebih dicurigai dan diawasi tindak-tanduknya. Counterterrorism

akhirnya terlihat sebagai tindakan yang tidaak adil dan sewenang-wenang. Konflik Identitas dan Pelanggaran HAM di Rwanda secara rinci dijelaskan di dalam Bab V. Yaitu menjelaskan kasus genosida di Rwanda pada tahun 1994 dimana perkiraan death toll dalam genosida tersebut yaitu kurang lebih 800.000 jiwa. Pada tahun 1994 tersebut, populasi Rwanda mencapai tujuh juta jiwa yang terbagi menjadi tiga kelompok etnis yaitu Hutu, (hampir 85% dari

4 “The European Human Rights System,” Human Rights Education Associates,

diakses 28 Januari 2015, http://www.hrea.org./index.php?base_id=143.

5 “Joint Publication 3-26: Counterterrorism,” Defense Technical Information

Center, diakses pada 31 Maret 2015,

(5)

populasi), Tutsi (14% dari populasi), dan Twa (1% dari populasi).6 Perpetrators

dalam kasus ini yaitu kelompok radikal Hutu yang diorganisir oleh pemerintah Rwanda. Sedangkan yang menjadi kelompok target dalam genosida ini yaitu kelompok Tutsi dan sebagian kelompok Hutu yang moderat. Pada awalnya, kebencian antara Hutu kepada Tutsi terjadi sejak masa kolonial Belgia dimana tutsi diberikan posisi sebagai kelompok superior meskipun Tutsi merupakan kelompok minoritas. Pada masa ini, Tutsi yang memiliki posisi kelas yang lebih tinggi dari kelompok Hutu menjalankan berbagai aturan yang opresif kepada Hutu. Kelpompok Hutu yang pada saat itu merasa teropresif dengan posisi kelasnya melakukan perlawanan yang berujung pada pemberian kemerdekaan oleh Belgia. Pasca kemerdekaannya, pemerintah Rwanda dikuasai oleh Hutu. Berbagai operasi dan diskriminasi dilakukan oleh pemerintah Hutu kepad Tutsi, hingga banyak Tutsi yang mengungsi ke negara lain. Di awal genosida ini, Tutsi, moderat Hutu, dan orang-orang yang dicurigai sebagai kelpompok Tutsi dibantai dimana pembantaian ini dilakukan pada seluruh keluarga secara bersamaan. Perempuan-perempuan Tutsi diperkosa secara brutal dan sistematis sebelum dibunuh. Jalan-jalan ditutup oleh Hutu untuk mencegah Tutsi untuk mencari perlindungan ke negara lain. Sebanyak 200.000 orang dicurigai ikut berpartisipasi sebagai perpetrators dari genosida di Rwanda.7

Genosida ini secara resmi berhenti dengan kedatangan dan kemenangan RPF/RPA (Rwandan Ptriotic Front/Army) di bawah kepemimpinan Paul Kagame. Namun kemenangan RPF pada awal juli tersebut berdampak pada muncul lebih dari 2 juta pengungsi yang mayoritas merupakan kelompok Hutu di kamp pengungsian di Kongo (Zaire) dan negara tetangga lainnya. Terlepas dari sudah adanya pennghentian permusuahan antara Hutu dan Tutsi secara resmi, namun luka fisik dan emosional yang dirasakan survivors genosida ini terus memerankan peran penting dalam politik negara dan upaya untuk melakukan rekonsiliasi.

Bab VI menjelaskan tentang Statelessness Rohingnya di Myanmar: Kritik Terhadap Sovereignty, yaitu menjelaskan tentang kasus Rohingya yang memperlihatkan adanya konflik antara kelompok yang mendominasi dengan kelompok minoritas. Kelompok mayoritas yang diwakili oleh masyarakat

Burmese dengan kelompok minoritas muslim Rohingya telah mengalami konflik yang berkepanjangan. Hal ini dapat dilihat dari pertentangan antara biksu Buddha yang ekstrem, pemerintah yang berkuasa, serta militan dengan masyarakat Rohingya semenjak berkuasanya kekuatan kolonial di tanah Myanmar. Seiring dengan memuncaknya konflik yang terjadi pada tahun 2012, pemerintah Myanmar mendapatkan tekanan dari berbagai pihak untuk mengakui status Rohingya sebagai salah satu etnis di Myanmar. Dalam mengatasi isu statelessness, telah terdapat kerangka untuk melindungi hak-hak orang-orang tanpa kewarganegaraan yang dibentuk oleh UNHCR. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya konvensi tentang stateless person tahun 1954 yang ditujukan untuk meningkatkan standar hidup setiap individu yang tidak memiliki kewarganegaraan. Hak-hak bagi stateless person secara singkat dapat dipaparkan ke dalam beberapa bagian:8 (1) Hak untuk hidup, (2) Hak

untuk tidak disiksa, mendapatkan perlakuan maupun hukuman yang kejam 6 “Genocide in Rwanda,” United Human Rights Council, diakses pada 25 April 2015, http://www.unitedhumanrighs.org/genocide/genocide_in_rwanda.htm. 7 UHRC, 1.

(6)

atau tidak manusiawi, (3) Hak untuk tidak diperbudak atau bekerja dibawah paksaan, (4) Hak untuk mendapatkan kebebasan dan keamanan, (5) Hak untuk mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar seperti air, makanan, dan sanitasi, (6) Hak untuk diperlakukan dengan hormat dan manusiawi ketika dalam proses pengasingan, (7) Hak untuk tidak ditahan hanya karena tidak dapat memenuhi kewajiban yang disepakati.

Jaringan advokasi Transnasional dan Perjuangan HAM Falun Gong, secara rinci dijelaskan di dalam Bab VII. Yaitu menjelaskan tentang transnasional advocacy network (TAN) sebagai suatu organisasi yang memiliki sifat komunikasi sukarela, timbal balik, dan horizontal.9 Jaringan ini muncul dengan

tujuan untuk mengubah perilaku negara serta organisasi internasional. Kamunculan TAN dipicu karena akses masyarakat sipil terhadap pemerintahan tertutup. Jaringan pergerakan transnasional juga dapat dipahami sebagai gabungan pergerakan yang berada di dua negara berbeda atau lebih, yang melakukan pertukaran informasi dan pengalaman, membangun hubungan saling mendukung, memiliki suatu basis pengaturan, dan terlibat dalam suatu kampanye perjuangan strategis. Jaringan pergerakan Falun Gong memiliki misi utama untuk mengubah sikap dan kebijakan pemerintah RRT terhadap penganut Falun gong, terutama untuk mendapatkan pengakuan pemerintah atas komunitas ini. Falun Gong menggunakan pembingkaian (framing) isu HAM untuk menarik perhatian masyarakat yang luas. Falun gong juga menggunakan sejumlah taktik jaringan seperti politik informasi, politik simbolik, serta politik pengaruh moral.

Bab VIII menjelaskan tentang HAM di Indonesia Paska Reformasi: Tinjauan dari Hak Sipil dan Politik, yaitu menjelaskan Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang baru disahkan Majlis umum PBB pada 16 desember 1966, dan berlaku dari tanggal 23 Maret 1976 yang merupakan produk kompromi dari Perang Dingin antara blok Sosialis melawan blok Kapitalis pada masa tersebut. Secara garis besar, hak-hak dan kebebasan dalam Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: Non-derogable (hak-hak yang bersifat absolut, yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara Pihak, meskipun dalam keadaan darurat) meliputi (1) Hak hidup, (2) Hak untuk bebas dari penyiksaan, (3) Hak untuk bebas dari perbudakan, (4) Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian, (5) Hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut, (6) hak sebagai subjek hukum, (7) Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Dan yang derogable

(hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara Pihak)10 meliputi (1) Hak atas kebebasan berkumpul secara damai, (2) Hak

aatas kebebasan berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh, (3) Hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi. Dengan demikian, Negara, yakni pemerintah terikat utuk menjalnkan kewajiban-kewajibannya sebagai Negara Pihak dari Konvenan. Penghormatan dan perlindungan ini wajib diberikan oleh Negara, tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, ataupun yang lainnya.

9 Keck dan Sikkink, “Transnational Advocacy Networks in International and Regional Politics”, 91.

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Metode analisis yang dapat digunakan untuk penentuan kadar hidrokuinon yang nantinya sekaligus dapat digunakan untuk pengawasan mutu krim pemutih wajah yang mengandung hidrokuinon

Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil analisis didapatkan nilai OR dari variabel Ruang Dinas Melati Bawah adalah 24,2 artinya perawat yang berada di Ruang Dinas Melati Bawah

Ada pengaruh bermakna penyuluhan kesehat- an langsung dan melalui media massa dengan perawatan hipertensi pada usia dewasa di sebuah kelurahan di kota Depok dan

Status Desa Menjadi Kelurahan yang telah ditetapkan oleh Bupati. sebagaimana dimaksud pada huruf k,

Pembatasan identifikasi masalah dalam penelitian ini dititikberatkan pada penggunaan media kertas bergelombang untuk meningkatkan kemampuan motorik halus anak

Tari Piring atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang adalah salah satu seni tari tradisonal di Minangkabau yang berasal dari kota Solok, provinsi Sumatera Barat..

However, Danareksa Syariah Berimbang had an average techni- cal efficiency change growth higher than the average of conventional mutual funds, while the average of technical

Maka dari permasalahan ini, perlu dibangun suatu e-commerce untuk mengatasi permasalahan dengan menerapkan sistem penjualan yang lebih cepat, luas dan efisien dengan