1.1Latar Belakang
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pembangunan kesehatan dilaksanakan secara terarah, berkesinambungan dan realistis sesuai pentahapan (Depkes RI, 2009).
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan mutu, cakupan dan efisiensi pelayanan kesehatan. Untuk meningkatkan mutu, cakupan efisiensi pelayanan kesehatan perlu diupayakan pemantapan dan peningkatan manajemen pelayanan kesehatan yang ada (Depkes, 2003).
Salah satu institusi yang melakukan pembangunan kesehatan adalah rumah sakit. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, menyebutkan rumah sakit umum merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat serta memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.
perawatan keluar dari rumah sakit dikategorikan hidup dan mati. Pasien dikatakan hidup jika pasien yang dipulangkan seizin dokter yang merawatnya (Gunawan, 2013). Ada beberapa cara pasien keluar hidup yaitu pasien pulang dengan keadaan sembuh, kontrol, dirujuk, pasien dipindahkan kerumah sakit lain, melarikan diri dan pulang atas permintaan sendiri. Pasien keluar dengan keadaan mati dikategorikan pasien mati < 48 jam dan ≥ 48 jam. Bila mengacu pada ketentuan dalam keputusan
Menteri Kesehatan nomor : 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Minimal Pelayanan Rumah Sakit, dipersyaratkan bahwa standar kejadian pulang paksa di rumah sakit adalah ≤ 5%.
Kasus pasien pulang atas permintaan sendiri (PAPS) atau pulang paksa merupakan kasus yang umum terjadi di rumah sakit dan seolah-olah merupakan hal yang biasa terjadi, dan itu menjadi hak dari setiap pasien sehingga kasus ini jarang dipermasalahkan oleh rumah sakit. Kasus PAPS juga dapat menunjukkan adanya ketidakpercayaan pasien terhadap pelayanan yang diberikan rumah sakit bahkan menunjukkan ketidakpuasan pasien terhadap pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan (Gunawan, 2013).
Kekhawatiran akan hilangnya kepercayaan pelanggan dengan berbagai konsekuensinya, tidak dapat dipungkiri karena rumah sakit pada hakekatnya merupakan suatu organisasi bisnis kepercayaan. Pertambahan jumlah rumah sakit dan semakin tingginya tuntutan masyarakat, mengharuskan rumah sakit saat ini harus berkompetisi dalam meraih kepercayaan. Isu tentang pasien pulang paksa atau Discharge Against Medical Advice (DAMA) banyak menghiasi media massa.
sakit banyak ditinggal oleh pelanggan, padahal tidak ada pasien yang tidak menaruh harapan untuk menjadi sehat kembali setelah dirawat di rumah sakit. Tetapi pada kenyataanya banyak pasien PAPS sebelum dinyatakan sembuh (Menap, 2006).
Kepercayaan masyarakat pada suatu rumah sakit berkurang, salah satunya dapat dilihat dari menurunnya angka pemanfaatan tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) yang disebabkan oleh karena visite rate yang rendah. Penurunan BOR tersebut dimungkinkan juga karena jumlah pasien yang keluar rumah sakit dengan kasus PAPS. Disamping itu akan mempengaruhi efisiensi pelayanan yang ditandai oleh pendeknya Lenght Of Stay (LOS). Adapun stándar indikator kinerja RS di Indonesia adalah BOR di atas 60% dan rata-rata LOS 5 - 7 hari, TOI 4,10 hari, BTO 45,8 kali, GDR 3,48%, dan NDR 1,85% (Depkes RI, 2003)
PAPS terjadi di negara berkembang maupun di negara maju. Angka PAPS di Philadhelphia–USA mencapai 5,3% dengan beberapa alasan antara lain: kurang percaya pada kemampuan rumah sakit, tidak puas, kurang merasa aman dan nyaman, cemas akan keselamatannya serta tidak mampu membayar biaya pelayanan dan obat. Shirani F, dkk (2010) melakukan penelitian disebuah rumah sakit rujukan di Iran dengan studi cross-sectional mendapatkan hasil bahwa dari 880 pasien yang menjalani perawatan, sebesar 20,2% pasien memilih PAPS. Alasan PAPS yang paling umum dinyatakan oleh pasien adalah ketidakpuasan dengan perawatan atau prosedur diagnostik dan terapi sebesar 38,2%, juga karena kurangnya asuransi kesehatan (masalah biaya) sebesar 34,8%.
kai kuadrat menunjukkan karakteristik responden yaitu pekerjaan, pendapatan, kelas perawatan dan kepuasan mempunyai hubungan dengan keputusan pasien PAPS. Penelitian yang dilakukan Menap (2006) dengan analisis tes chiquare didapatkan hasil bahwa jumlah pasien pada RSUD Praya Kabupaten Lombok Tengah tahun 2006 tercatat 469 kasus (5,37%) dari 8.733 pasien keluar RS. Alasan pasien PAPS yang ditemukan terdiri atas alasan biaya sebesar 9,2%, ingin pindah rawat ketempat lain sebesar 12,5%, kecewa dengan pelayanan yang diberikan sebesar 18,3%, tidak ada keluarga yang menunggu di RS sebesar 20,8%, tidak ada harapan untuk sembuh sebesar 17,5%, takut dan tidak setuju dengan tindakan sebesar 6,7% dan konflik dengan perlakuan petugas sebesar 15%. Berdasarkan Penelitian yang dilakukan Risdiyanti (2003) di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga adanya hubungan antara pendidikan, pekerjaan, pendapatan,lama perawatan, pengetahuan tentang sakit dan penyakit dengan pasien untuk PAPS.
Menurut Dwiprahasta yang dikutip oleh Menap (2006) bahwa angka PAPS pada suatu rumah sakit juga dapat menjadi indikator adanya kegagalan dalam membentuk customers yang loyal. Oleh karena itu, rumah sakit harus berupaya dapat menghasilkan produk layanan jasa yang dapat membuat retensi klien dan menjadi loyal dengan menciptakan budaya keselamatan, budaya mutu dengan good clinical governance. Rumah sakit perlu mengambil langkah menuju rumah sakit terpercaya
mengupayakan agar dilakukan peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya manusia secara berkesinambungan.
Menurut Rahardjo, dampak pasien PAPS terhadap rumah sakit antara lain adalah penurunan pendapatan rumah sakit, dalam jangka lama dapat menurunkan kinerja rumah sakit dan juga berpengaruh terhadap pengembangan dan kelangsungan hidup rumah sakit. Pasien PAPS juga dapat menyebabkan citra yang kurang bagus terhadap rumah sakit. Untuk pasien sendiri karena belum sembuh dapat bertambah berat. Penyebab pasien PAPS belum diketahui secara pasti, mungkin saja disebabkan karena faktor keuangan, kurangnya komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien atau faktor sosial dan ketidakpuasan terhadap pelayanan yang didapat (Soedipo R, 2004).
RSUD Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan merupakan rumah sakit kelas C sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 470/MENKES/SK/V/1997. Jumlah tenaga medis dan paramedis di RSUD Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan yaitu : Dokter Spesialis 9 orang (PNS), Dokter Umum 16 orang (13 orang PNS dan 3 orang Kontrak), Dokter Gigi 3 orang (PNS), Paramedis Perawatan 263 orang (131 PNS dan 132 Honor/Bakti/Kontrak), Paramedis Non Perawatan 77 orang (54 PNS dan 23 Honor/Bakti/Kontrak).
fisiotherapi dan endoscopy), Pelayanan Gizi, Pelayanan Imunisasi dan KB, Pelayanan Pemulasan Jenazah, Pelayanan Rujukan, Pelayanan Unit Transfusi Darah Rumah Sakit (UTDRS).
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilihat melalui observasi terhadap dokumen rekam medis yang terdapat pada data pasien rawat inap di RSUD Dr. H.Yuliddin Away Tapaktuan pada tahun 2013 yaitu 5,26% pasien PAPS dari 7410 pasien yang keluar (390 kasus) dengan rincian yaitu: Kelas I/PIV 164 orang, Kelas II 83 orang dan Kelas III 143 orang. BOR mengalami penurunan yaitu dari 74% ditahun 2012 menjadi 60,1% pada tahun 2013 (Profil Kesehatan RSUD Dr. Yuliddin Away 2013).
dibutuhkan pasien untuk pemeriksaan lebih lanjut kuramg lengkap sehingga pasien memutuskan untuk dirujuk kerumah sakit luar daerah atau memutuskan untuk pulang sebelum diizinkan oleh dokter yang merawatnya/belum dinyatakan sembuh.
Pasien yang di rawat di rumah sakit biasanya pulang setelah diizinkan oleh dokter yang merawat, tetapi pada kenyataanya di RSUD. Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan masih dijumpai adanya pasien PAPS. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Faktor Predisposing, Enabling dan Needs Terhadap Keputusan Pasien Untuk Pulang Atas Permintaan Sendiri (PAPS) Di RSUD Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan Kabupaten Aceh Selatan.
1.2Perumusan Masalah
Perumusan masalah penelitian ini adalah : Apakah ada pengaruh faktor presdiposing, enabling dan needs terhadap keputusan pasien untuk PAPS di RSUD
Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan Kabupaten Aceh Selatan.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor presdiposing, enabling dan needs terhadap keputusan pasien untuk PAPS di RSUD Dr. H.
1.4Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1 . Sebagai bahan masukan dan informasi bagi RSUD Dr.H. Yuliddin Away Tapaktuan.
2 . Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai faktor predisposing, enabling dan needs terhadap keputusan PAPS.