• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sindroma Kardiorenal Akibat Gagal Jantung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sindroma Kardiorenal Akibat Gagal Jantung"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

SINDROMA KARDIORENAL AKIBAT GAGAL JANTUNG

Naomi N. Dalimunthe, Sari Harahap, Rahmad Isnanta,

Zainal Safri, Refli Hasan, Jamaluddin

Divisi Kardiologi – Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

RSUP. H. Adam Malik Medan

PENDAHULUAN

Jantung bertanggung jawab untuk menyuplai darah ke jaringan tubuh dan

organ-organ, termasuk ginjal, yang berfungsi dalam menjaga keseimbangan cairan dan homeostasis

garam dalam tubuh. Oleh karena itu, gangguan pada ginjal sering disertai gagal jantung dan

gangguan pada jantung sering disertai gagal ginjal. Hubungan saling bergantungan ini dikenal

sebagai "sindrom kardiorenal". Frase ini telah digunakan sejak tahun 2004, telah

menghasilkan sejumlah berbagai macam teori mengenai ini dan terus diteliti dan

dikembangkan dalam berbagai penelitian. Sindroma kardiorenal (CRS) pertama kali secara

resmi didefinisikan pada konferensi konsensus acute dialysis quality Initiative (ADQI) pada

tahun 2009. Definisi ini dibuat dalam usaha untuk mengelompokkan berbagai hubungan

antara kondisi akut dan kronis pada penyakit jantung dan ginjal.1 Diperkirakan bahwa

tumpang tindih antara penyakit kardio vaskuler dan disfungsi ginjal mewakili proses

patofisiologi umum yang berinteraksi dalam memacu siklus disfungsinya suatu organ.2

Prevalensi gagal jantung diestimasi sekitar 1-2% dari populasi dewasa pada

Negara-negara berkembang, dan angkanya meningkat 10% pada individu dengan usia 70 tahun.3

Gagal jantung itu sendiri dapat disertai oleh beberapa kornorbid utama yang memiliki

dampak pada pengobatan dan prognosis penyakit yaitu salah satunya insufisiensi ginjal

ataupun gagal ginjal.4 Fungsi ginjal yang direfleksikan melalui kadar kreatinin serum ataupun

yang lebih akurat melalui estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR) dipengaruhi pada

kebanyakan pasien dengan gagal jantung terutama bila tingkat keparahannya berat dan hal ini

merupakan prediktor penting dalarn menentukan prognosis pasien.5

Interaksi antar organ tidak hanya terjadi pada kasus-kasus kronis. Suatu penelitian

kohort prospektif yaitu: The Cardiovascular Health Study dilakukan oleh Mittalhenkle dkk

(2)

yang dikenal sebagai penderita Penyakit Kardio Vaskuler (PKV=CVD).6 Chittineni dkk

(2007) melaporkan angka kejadian yang lebih tinggi yaitu 21% kasus GgGA pada penderita

yang dirawat karena gagal jantung. Sebaliknya penelitian United States Renal Data System

(USRDS) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2001 dan 2003 terjadi kematian mendadak

akibat henti jantung (cardiac arrest) sebesar 32 % pada pasien hemodialisis baik diluar

rumah sakit atau selama menjalani dialisis (81%).6 Forman dkk (2004) melaporkan terjadinya

perburukan fungsi ginjal pada pasien yang dirawat oleh karena gagal jantung. Yang menjadi

kriteria perburukan fungsi ginjal adalah kenaikan kadar kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dl bila

dibandingkan dengan kadar awal. Perburukan fungsi ginjal terjadi pada 27% dari pasien yang

dirawat dan berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk pula.6

Smith dkk (2006) mengadakan meta-analisis dan review kepustakaan, mereka

melaporkan bahwa dari 80.098 pasien dirawat karena gagal jantung didapatkan 63%

diantaranya mengalami perburukan fungsi ginjal, Tingkat perburukan fungsi ginjal sebanding

dengan peningkatan angka kematian. Untuk setiap kenaikan kadar kreatinin serum sebesar

0,5 mg/dl terjadi peningkatan angka kematian sebesar 15%.6 Fried dkk menentukan kadar

kreatinin serum < 1.5 mg/dl sebagai batas normal. Interaksi antar organ tidak hanya terjadi

pada angka kematian, tetapi juga pada angka kejadian stroke, transient ischemic attact (TIA),

hipertrofi bilik kiri (LVH), gagal jantung kongestif, infark miokard dan berbagai penyakit

kardiovaskuler lain.6 Patrick dan Foley (2008) melaporkan bahwa peningkatan angka

kejadian LVH berkorelasi dengan penurunan LFG (laju filtrasi glomeruli), yaitu 27 % pada

LFG ≥ 50 cc/menit, 31% pada LFG 25-49 cc/menit, dan 45% pada LFG < 25 cc/menit.6

Telah menjadi jelas bahwa disfungsi ginjal dihubungkan dengan prognosis yang buruk pada

pasien gagal jantung dengan tingginya angka masuk rawatan rumah sakit dan mortalitas

jangka pendek maupun panjang, serta memanjangnya durasi rawatan di rumah sakit.6

DEFINISI SINDROMA KARDIORENAL (CRS)

The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI), di Amerika, membentuk grup kerja ”Cardio-Renal Connections”, mengajukan definisi sederhana tentang sindrom kardiorenal (CRS/Cardiorenal syndrome) pada tahun 2004, CRS adalah penurunan fungsi

ginjal yang disebabkan oleh penurunan fungsi jantung. Mengingat fungsi ginjal antara lain

mengatur garam dan cairan maka penurunan fungsinya akan menyebabkan pengobatan

(3)

antar organ ginjal-jantung. Defenisi yang disepakati, diperlukan untuk menjelaskan

koeksistensi gangguan jantung dan ginjal dan untuk mengidentifikasi perjalanan waktu

interaksi jantung-ginjal.6

Bila ditinjau dari sudut ahli ginjal (nefrologis) kondisi ini adalah bila terjadi penyakit

kardiovaskular atau gagal jantung yang berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal

sebelumnya. Bila ditinjau dari ahli jantung (kardiologis) kondisi ini adalah penurunan fungsi

ginjal yang terjadi akibat penyakit kardiovaskular atau gagal jantung sebelumnya. Atas dasar

itu, Schrier (2007) membedakan istilah antalra “cardiorenal syndrome “, yaitu : penurunan

fungsi ginjal yang terjadi pada pasien gagal jantung dan menimbulkan perburukan prognosis,

sedangkan penurunan fungsi jantung akibat gagal ginjal, disebutnya sebagai “renocardiac

syndrome“.7

Pada tahun 2008, di Venesia, sebuah konferensi konsesus Acute Dialysis Quality

Initiative (ADQI), membahas epidemiologi, kriteria diagnostik, termasuk defenisi dari

sindrom kardiorenal. Berdasarkan konferensi ini, istilah CRS digunakan untuk

mengidentifikasi penyakit jantung dan ginjal baik itu akut maupun kronis, disfungsi salah

satu organ dapat meyebabkan disfungsi akut atau kronik organ lainnya.Tujuan dari definisi

ini akan memfasilitasi penelitian epidemiologi, mengidentifikasi sasaran populasi untuk

intervensi, mengembangkan alat diagnostik, mencegah dan mengelola sindrom yang berbeda.

Konferensi konsesus memilih istilah yang luas, menggunakan bentuk jamak (sindroma

kardiorenal, CRS), untuk menunjukkan adanya sindrom ganda. Istilah ini dipilih untuk

mengenali disfungsi organ utama (jantung vs ginjal) dan akut vs kronis dan

mempertimbangkan struktur dan / atau kelainan fungsional dari kedua organ yang

diperlukan.8 Namun, sampai saat ini definisi sindrom kardiorenal belum sepenuhnya

disepakati, diantaranya adalah9 :

 “Suatu kondisi patofisiologik yang merupakan kombinasi antara disfungsi ginjal dan jantung yang mempercepat kegagalan masing-masing organ dan berakibat pada peningkatan morbiditas dan mortalitas”

 “Suatu sindrom yang ditandai dengan kegagalan ginjal atau jantung dalam mengkompensasi gangguan fungsi masing-masing organ tersebut, menyebabkan lingkaran setan yang berakhir dengan kegagalan seluruh sistem sirkulasi”

Secara praktis Liang dkk, mendefinisikan sindrom kardiorenal sebagai disregulasi

kardiorenal tahap lanjut yang ditandai oleh setidaknya salah satu dari tiga kondisi yaitu9 :

(4)

2. Perburukan fungsi ginjal yang terjadi selama pengobatan pada acute decompensated

heart failure (ADHF), dan

3. Resistensi terhadap terapi diuretik akibat penurunan fungsi ginjal. Dalam konteks gagal

jantung kronik, sindrom kardiorenal seringkali merupakan masa transisi menuju gagal

jantung tahap lanjut (advanced heart failure).

KLASIFIKASI SINDROMA KARDIORENAL (CRS)

Ronco dkk, membuat klasifikasi sindrom kardiorenal berdasarkan mekanisme

patofisiologi yang mendasari kegagalan fungsi jantung dan ginjal. Klasifikasi tersebut

menitikberatkan pada dua aspek yaitu durasi (onset akut atau kronik), dan urutan kejadian

(didahului gagal ginjal atau didahului gagal jantung, atau terjadi simultan akibat penyakit

sistemik).6,10

Tabel 1. Klasifikasi sindroma kardiorenal (CRS) menurut Ranco dkk berdasarkan

konferensi konsesus Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI)6,10

Tipe Sindrom Patofisiologi

I Acute Cardio-renal

Penurunan fungsi jantung akut (acute cardiogenic shock atau ADHF-acute coronary syndrome/ACS) yang menyebabkan acute kidney injury (AKI)

II Chronic Cardio-renal

Penurunan fungsi jantung kronis (gagal jantung kongestif) yang menyebabkan penyakit ginjal kronis(PGK)

III Acute Reno-cardiac

Penurunan fungsi ginjal akut (iskemik atau glomerulonefritis) menyebabkan gangguan jantung akut (aritmia,iskemia,infark)

IV Chronic Reno-cardiac

Penurunan fungsi ginjal kronis (iskemik atau glomerulonefritis kronik) menyebabkan gangguan jantung kronis (LVH/ left ventricular hypertrophy, gagal jantung)

V Secondary Cardiorenal Kondisi sitemik (diabetes mellitus, sepsis)

menyebabkan gangguan kedua organ

Dalam suatu World Congress of Nephrology tahun 2008 Ronco dkk. mengajukan

definisi dari sindroma kardiorenal yaitu suatu gangguan patofisiologi dari jantung dan ginjal

dimana disfungsi akut atau kronik pada satu organ tersebut dapat mencetuskan disfungsi akut

atau kronik pada organ yang lain tersebut. Berdasarkan definisi tersebut mereka

(5)

Tipe 1 : Acute Cardiorenal Syndrome

Didefinisikan sebagai suatu perburukan akut fungsi jantung dijumpai pada syok

kardiogenik, gagal jantung kongestif dekompensata, dan sindroma koroner akut yang

mencetuskan secara mendadak perburukan fungsi ginjal ataupun gagal ginjal akut yang

dideskripsikan sebagai peningkatan kadar kreatinin serum sebesar 0,3-0,5 mg/dl, ataupun

penurunan laju filtrasi glomerulus sebesar 9-15 ml/menit saat awal masuk rawatan dengan

gagal jantung akut. Sekitar 27-40% pasien yang dirawat dengan acute decompensated heart

failure (ADHF) tampaknya berkembang menjadi acute kidney injury (AKI). Kebanyakan

pasien dengan kondisi ini mengalami mortalitas dan morbiditas yang tinggi dan meningkatkan

lamanya rawat inap.

Tipe 2 : Chronic Cardiorenal Syndrome

Didefinisikan sebagai gagal jantung kronik yang rnengarah menjadi penyakit ginjal

kronik akibat dari kerusakan mikrovaskular dan makrovaskular ginjal yang semakin

dirumitkan dengan gangguan hemodinamik. Sindroma tipe ini cukup sering terjadi dan telah

dilaporkan pada 63% pasien gagal jantung kongestif rawat inap.

Tipe 3 : Acute Renocardiac Syndrome

Didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal akut seperti dapat dijumpai pada

keadaan kekurangan volume cairan, glomerulonefritis akut ataupun pada stenosis arteri renal

bilateral yang menyebabkan gangguan ataupun penurunan fungsi jantung yang akut

dimanifestasikan dengan gagal jantung akut, aritmia, ataupun iskemia. Subtipe ini mengacu

pada kelainan pada fungsi jantung sekunder terhadap AKI.

Tipe 4 : Chronic Renocardiac Syndrome

Didefinisikan sebagai penyakit ginjal kronik yang berkontribusi pada penurunan

berkelanjutan terhadap fungsi jantung atau gagal jantung, hipertrofi jatung, dan predisposisi

terhadap kejadian kardiovaskular lainnya yang merugikan. Berbagai efek disfungsi ginjal

kronik menyebabkan gangguan fungsi jantung meliputi ketidakseimbangan hemodinamik,

inflamasi kronik, dan proses aterosklerosis yang progresif. Subtipe ini mengacu pada penyakit

atau disfungsi jantung yang terjadi sekunder akibat penyakit ginjal kronis.

Tipe 5 : Secondary Cardiorenal Syndrome

(6)

maupun ginjal yang dipengaruhi atau disebabkan oleh obat-obatan maupun gangguan

sistemik seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit autoimun, sepsis, amiloidosis, ataupun

disseminated intravascular coagulation (DIC). Gangguan ini dapat bersifat akut (seperti pada

kondisi toksisitas obat ataupun keadaan sepsis) maupun kronik (contohnya bila diakibatkan

oleh diabetes melitus).

Liang dkk (2008) membuat definisi CRS berdasarkan gambaran kliniknya. Menurut

mereka apakah penyebab awalnya organ ginjal atau jantung, gambaran kliniknya dapat

berupa gagal jantung yang disertai dengan penurunan fungsi ginjal, memburuknya fungsi

ginjal saat dilakukan pengobatan pada acute decompensated heart failure (ADHF) atau

resistensi terhadap terapi diuretik akibat penurunan fungsi ginjal. Mereka membuat

klasifikasi definisi seperti tercantum pada tabel berikut6,9 :

Tabel. 2 Defenisi dan klasifikasi sindroma kardio renal (CRS menurut Liang dkk)

tahun 2008.6

Cardiorenal Failure (ADHF) Ringan : Gagal jantung + eGFR 30-59 cc/menit/ 1.73 m2 Sedang : Gagal jantung + eGFR 15-29 cc/menit/ 1.73 m2 Berat : Gagal jantung + eGFR <15 cc/menit/ 1.73 m2 Perburukan fungsi ginjal

saat pengobatan untuk ADHF

Kenaikan kadar kreatinin serum > 0,3 mg/dl atau> 25 % dari kadar asalnya

Resistensi Diuretik Resistensi terhadap terapi diuretik, walaupun telah diberikan :

- > 80 mg furosemid / 6 jam - > 240 mg furosemid / hari - Infus furosemid secara kontinu - Kombinasi terapi diuretik

(loop diuretic + tiazide + aldosterone antagonist)

INSIDENSI

Belum ada laporan yang khusus yang mempelajari insidensi CRS, tetapi dari hasil

penelitian Candesartan in Heart Failure Assessment in Mortality and Morbidity (CHARM)

yang dilaporkan oleh Hillege dkk terbukti bahwa penurunan laju filtrasi glomeruli terhitung

(eGFR) merupakan penanda meningkatnya angka kejadian dan kematian akibat gagal jantung

(heart failure). The Acute Decompensated Heart Failure National Registry (ADHERE) suatu

penelitian populasi besar yang menyangkut 105.388 pasien gagal jantung yang dirawat di

Amerika, melaporkan terdapat 30% kasus diantaranya menderita juga PGK. Dari hasil review

kepustakaan yang dilakukan oleh Liang dkk dilaporkan bahwa lebih dari 70% kasus

(7)

Tingkat penurunan fungsi ginjal selama perawatan gagal jantung berkorelasi dengan angka

kematian, komplikasi dan lamanya perawatan. Penelitian VALIANT (Valsartan in Acute

Myocardial Infarction Trial) yang dilaporkan oleh Anavekar dkk membuktikan bahwa

penurunan LFG merupakan faktor risiko bebas untuk terjadinya infark miokard akut atau

PKV lainnya. Setiap penurunan LFG sebesar 10 cc/menit berasosiasi dengan hazard ratio

sebesar 1.10 untuk angka kematian dan komplikasi lainnya.6

Pada pasien dengan ADHF selalu terjadi kelebihan volume tubuh (volume overload)

dan biasanya diberikan pengobatan diuretik. Penurunan fungsi ginjal mengganggu efektifitas

diuretik atau disebut sebagai diuretic resistant. Belum ada suatu penelitianpun dilakukan

terhadap insidensi diuretic resistant pada ADHF walaupun kejadian ini jelas meningkatkan

angka kematian (Golikorsky).6

PATOFISIOLOGI SINDROMA KARDIORENAL PADA TIPE 1 & 2

Mekanisme dasar penyebab sindroma kardiorenal bersifat multifaktorial yang

meliputi kerusakan struktur oleh karena proses aterosclerosis, perubahan hemodinamik, efek

neurohormonal, dan peranan komponen inflamasi 12

Pada kondisi fisiologis GFR dipertahankan tetap konstan dalam rentang tekanan darah

yang tinggi oleh mekanisme autoregulasi yang terutama berada dalam pembuluh darah

afferent dan efferent glumerulus. Bila terjadi penurunan cardiac output, tekanan darah dapat

turun dibawah rentang yang dapat dikompensasi oleh mekanisme autoregulasi tersebut.

Kondisi ini akan diikuti oleh hipoperfusi, hipofiltrasi dan kemudian iskemia ginjal.

Menurunnya perfusi ginjal akan mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA)

dengan dilepaskannya renin yang akan meningkatkan perubahan angiotensin I oleh

angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II yang kemudian akan

menyebabkan vasokonstriksi sistemik dan retensi natrium di ginjal, sehingga terjadi

peningkatan volume sirkulasi efektif.13,14

Pada gagal jantung, respons fisiologik tersebut tidak hanya mengaktivasi sistem RAA,

tetapi juga meyebabkan efek spiral negatif berupa aktivasi sistem saraf simpatik, disfungsi

endotel, inflamasi, dan gangguan keseimbangan reactive oxygen/nitric oxide. Berbagai sistem

yang teraktivasi tersebut akan berinteraksi membentuk lingkaran setan yang akan

(8)

Mekanisme disfungsi ginjal pada penderita gagal jantung sangat kompleks dan sangat

mungkin beberapa faktor bekerja pada penderita yang sama. Mengenal faktor-faktor yang

terlibat pada masing-masing penderita dan mengeliminasinya bila mungkin merupakan

komponen yang penting dalam tatalaksana sindrom kardiorenal.13

1. Sindroma Kardiorenal Akut (Tipe I)

Sindrom kardiorenal tipe I ditandai oleh perburukan akut fungsi jantung yang

menyebabkan jejas ginjal akut (acute kidney injury=AKI). Sindrom kardiorenal tipe I

sering terjadi. Sebagian besar penderita gagal jantung yang dirawat di rumah sakit akibat

gagal jantung akut de novo atau dekompensasi akut gagal jantung kronik seringkali

mempunyai kondisi pre-morbid disfungsi ginjal yang menjadi predisposisi terjadinya

AKI.13

Kepentingan klinik dari masing-masing mekanisme tampaknya berbeda untuk

masing-masing penderita (misalnya pada penderita syok kardiogenik dan edema paru

akut), dan berbeda pula untuk masing-masing keadaan (misalnya pada gagal jantung akut

akibat regurgitasi mitral akut dan dekompensasi akut akibat ketidakpatuhan berobat).10,13

AKI yang terjadi pada gagal jantung akut tampak lebih berat pada penderita

dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang terganggu, dan penurunan fungsi ginjal tersebut

secara konsisten menjadi faktor risiko independen mortalitas penderita gagal jantung

akut. Pengaruh independen tersebut menunjukkan bahwa penurunan akut fungsi ginjal

pada gagal jantung akut bukan semata-mata karena dari beratnya penyakit tetapi juga

berhubungan dengan percepatan jejas kardiovaskular melalui aktivasi jaras-jaras

neurohormonal, imunologis, dan inflamasi.13

Pada sindrom kardiorenal tipe I terjadinya AKI berhubungan dengan penurunan

perfusi ginjal. Disamping itu terjadi pula penurunan respons terhadap diuretik akibat

fenomena fisiologik yang disebut diuretic braking (semakin menghilangnya efek diuretik

yang terjadi sekunder akibat retensi natrium pasca pemberian diuretik).10,13

Diagnosis dini AKI pada sindrom kardiorenal tipe I maupun tipe III sangatlah

penting. Pada kedua kondisi tersebut penanda klasik seperti peningkatan kadar kreatinin

sudah menunjukkan kondisi yang terlambat, dan hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk

mencegah dan melindungi ginjal dari kerusakan lebih lanjut. Penemuan berbagai

(9)

2. Sindroma Kardiorenal Kronik (Tipe II)

Sindroma kardiorenal tipe II ditandai oleh abnormalitas kronik fungsi jantung

(misalnya pada gagal jantung kronik) yang menyebabkan penyakit ginjal kronik

progresif. Perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung kronik berhubungan

dengan outcome yang buruk dan bertambahnya lama perawatan di rumah sakit.13

Mekanisme yang mendasari perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung kronik

berbeda dibandingkan pada gagal jantung akut. Pada gagal jantung kronik telah terjadi

penurunan perfusi ginjal dalam jangka panjang, dan seringkali disertai predisposisi

penyakit mikrovaskular dan makrovaskular. Walaupun sebagian besar penderita dengan

GFR yang rendah juga berada pada kelas fungsional NYHA yang rendah, tidak terdapat

bukti konsisten yang menghubungkan fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan GFR. Estimasi

GFR pada penderita gagal jantung kronik dengan fungsi ventrikel kiri yang baik dapat

tidak berbeda dibanding penderita dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang terganggu.13

Patofisiologi disfungsi ginjal pada gagal jantung kronik belum sepenuhnya

dipahami. Kondisi tersebut tidak dapat diterangkan semata-mata akibat hipoperfusi.

Sebuah penelitian hemodinamik invasif pada gagal jantung kronik tidak menemukan

hubungan antara berbagai variabel hemodinamik pada pemeriksaan kateter arteri

pulmonal dengan kadar kreatinin serum. Satu-satunya variabel yang berhubungan adalah

peningkatan tekanan atrium kanan, menunjukkan kemungkinan peran kongesti ginjal

dalam perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung kronik.13

Pada sindrom kardiorenal kronik terdapat abnormalitas neurohormonal dengan

produksi berlebih mediator-mediator vasokonstriktif (epinefrin, angiotensin, endotelin)

dan perubahan sensitivitas dan/atau pelepasan faktor-faktor vasodilator endogen (peptida

natriuretik, oksida nitrat). Farmakoterapi yang digunakan dalam pengelolaan gagal

jantung dapat turut memperburuk fungsi ginjal.10,13

Peran patogenik defisiensi absolut atau relatif eritropoietin terhadap terjadinya

anemia pada penderita gagal jantung tahap lanjut mungkin bukan semata-mata

disebabkan oleh gagal ginjal. Terdapat bukti bahwa aktivasi reseptor eritropoietin di

jantung dapat mencegah terjadinya apoptosis, fibrosis, dan inflamasi.13

(10)

Low-Flow State Hypotesis15

Pemikiran konvensional selama beberapa dekade menempatkan perburukan fungsi

ginjal yang progresif bersumber dari penurunan aliran darah atau hipoperfusi ginjal yang

disebabkan oleh penurunan curah jantung / cardiac output. Hipoperfusi yang persisten

kemungkinan akan menyebabkan proses iskemia pada parenkim ginjal yang pada akhirnya

menjadi infark.

Peningkatan Tekanan Vena Central Intra abdomen 15,16

Hubungan antara tekanan darah, cardiac output, dan resistensi pembuluh darah

sistemik diringkas oleh Hukum Poiseuille: aliran jantung tergantung pada tekanan yang

cukup gradien melalui jaringan kapiler tubuh. Gagal jantung ditandai oleh tingginya tekanan

vena sentral, yang melemahkan gradien seluruh jaringan kapiler glomerulus. Memang, ada

peningkatan bukti yang mendukung peran untuk tingginya tekanan vena renal dan tekanan

intra abdomen (IAP) dalam pengembangan disfungsi ginjal progresif pada pasien dengan HF.

Peningkatan tekanan vena ginjal mengakibatkan pembentukan urin terbatas dan aliran darah

ginjal berkurang pada tekanan arteri. Peningkatan tekanan vena ginjal dari kompresi

ekstrinsik dari pembuluh darah akan merusak fungsi ginjal. Lebih dari 60 tahun yang lalu,

Bradley dan Bradley menunjukkan bahwa kompresi abdomen yang menghasilkan tekanan

intraabdomen (IAP) 20 mmHg pada orang normal, nyata mengurangi GFR dan aliran plasma

ginjal. Hubungan ini didukung oleh penelitian in vivo model hewan modern. Dalam beberapa

(11)

menyertai sindrom kompartemen abdomen pada pasien bedah dan trauma. Perubahan ini

segera diatasi dengan dekompresi abdomen dan dapat dihubungkan dengan poliuria

berikutnya.

Gagal jantung ditandai dengan peningkatan central venous pressure (CVP) yang

mengakibatkan penurunan aliran perfusi yang melintasi kapiler ginjal. Studi-studi

menunjukkan peningkatan tekanan vena ginjal dapat menurunkan ataupun meniadakan

produksi urin, dan peningkatan tekanan vena ginjal ini lebih penting dibandingkan penurunan

tekanan arteri / perfusi pada kondisi ini. Sebelumnya telah dipaparkan bahwa kompresi

sementara terhadap vena ginjal menghasilkan penurunan ekskresi sodium, peningkatan

tekanan intertisial ginjal, dan akhimya mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus.

IAP dikatakan meningkat bila IAP > 8 mmHg, dan hipertensi intarabdominal

didefinisikan sebagai IAP > 12 mmHg. Studi yang dilakukan terhadap pasien ADHF yang

memiliki IAP > 8 mmHg didapati derajat penurunan IAP dengan pengobatan diuretik

berkorelasi dengan perbaikan fungsi ginjal. Pada studi-studi lain juga didapati disfungsi ginjal

ataupun perburukan fungsi ginjal sesudah awal ravvatan pada pasien-pasien dengan

peningkatan CVP yang signifikan, dan sebagai tambahan peningkatan tekanan vena jugularis

(JVP) pada pemeriksaan fisik berhubungan dengan tingginya kadar serum kreatinin awal

masuk rawatan.

Aktifasi Renin - Angiotensin - Aldosterone System (RAAS) 15,17,18

Aliran perfusi ginjal yang inadekuat menimbulkan mekanisme protektif tubuh dengan

mengaktifasi RAAS. Namun, bila kondisi ini terstimulasi secara kronis maka konsekuensi

patofisiologinya cukup berat dan memiliki pengaruh yang merusak pada sistem organ jantung

maupun ginjal.

Proses ini dimulai dengan renin yang diproduksi oleh juxtaglomerular apparatus

ginjal dan mengkatalisasi konversi angiotensinogen menjadi angiotensin I, dan akhirnya

menjadi angiotensin II oleh angiotensin-coverting enzyme (ACE). Angiotensin II (Ang II)

memiliki beberapa efek negatif terhadap sistem kardiovaskular pada pasien gagal jantung

yaitu menyebabkan peningkatan preload dan afterload, serta peningkatan myocard oxygen

demand.

Ang II juga dapat mengaktifasi enzim NADPH oksidase pada sel endotelial, otot

polos pembuluh darah, sel tubular ginjal, dan otot jantung; hal ini mengarah kepada

(12)

berkembang banyak bukti menyatakan bahwa ROS bertanggung jawab terhadap proses

aging, inflamasi, dan disfungsi organ yang progresif. Pada kondisi lain telah diketahui bahwa

Nitric Oxide (NO) bertanggung jawab terhadap proses vasodilatasi dan natriuresis, serta

inembantu ginjal dalam mengatur volume cairan ekstraseluler (ECF). Dalam hal ini

superoksida melawan efek NO tersebut dan mengurangi bioavailabilitas NO tersebut.

Keadaan stress oksidatif itu sendiri dapat merusak DNA, protein, karbohidrat, dan lemak,

juga mengakibatkan produksi sitokin menjadi mediator-mediator proinflamasi seperti : IL-1,

IL-6, dan TNF-a. Produksi sitokin-sitokin proinflamasi tersebut dapat menstimulasi proses

fibroblas yang akhirnya menyebabkan peningkatan fibrosis organ jantung dan ginjal.

Cardiorenal Anemia Syndrome (CRAS) 15

Anemia sering terjadi pada individu dengan penyakit ginjal kronis dan gagal jantung

dan dapat berkontribusi untuk keadaan abnormal oksidatif ginjal ; hemoglobin adalah

antioksidan. Anemia akan menginduksi peningkatan erythropoietin, ada bukti bahwa

penurunan konsentrasi pada pasien dengan kardiorenal mungkin langsung memperburuk

kelainan ginjal. Oleh karena itu, kombinasi dari anemia dan penurunan erythropoietin dapat

memperburuk faktor yang mendasari menyebabkan sindroma kardiorenal. Tingginya

frekuensi anemia pada sindroma kardiorenal telah berulang kali dibuktikan. Dalam the

Organized Program to Initiate Lifesaving Treatment in Hospitalized Patients With Heart

Failure (OPTIMIZE-HF), 51% dari hampir 50.000 pasien dengan gagal jantung memiliki

hemoglobin ≤12g/dL dan 25% memiliki hemoglobin antara 5 dan 10,7g/dL. Pasien dengan

gagal jantung dengan anemia meningkatkan kematian, lamanya tinggal di rumah sakit, dan

biaya pengobatan yang tinggi dibandingkan dengan pasien non anemia dengan gagal jantung.

Baik pasien dengan gagal jantung dan penyakit ginjal, bagaimanapun, memiliki konsentrasi

erythropoietin yang rendah.

Hipotesa ini pertama sekali dideskripsikan hampir beberapa dekade yang lalu oleh

Silverberg dkk. sebagai suatu siklus perburukan penyakit yang mengarah pada prognosis

yang kurang baik meliputi progresi yang cepat menjadi end-stage renal failure (ESRF)

ataupun progresi yang lebih jauh pada gagal jantung kongestif.27 Mereka memaparkan bahwa

anemia tidak hanya sebagai kondisi yang memicu disfungsi salah satu organ tapi juga dapat

mengeksaserbasi disfungsi salah satu organ. Studi The Candesartan inHeart Failure :

Assessment of Reduction in Morbidity and Mortality (CHARM) menyatakan bahwa anemia

(13)

DIAGNOSIS SINDROMA KARDIORENAL PADA TIPE 1 & 2

Terdapat banyak indikator diagnostik yang dapat menentukan kerusakan akut maupun

kronik pada sindroma kardiorenal yang meliputi analisa fungsi dan struktur kedua organ

dengan cara pemeriksaan biomarker kerusakan jantung, biomarker kerusakan ginjal, dan

pemeriksaan imejing. Kelompok konsensus IQDI membahas tentang peran biomarker dalam

diagnosis dari CRS. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan biomarker ke dalam diagnosis

berbagai tipe CRS, terutama yang berhubungan dengan AKI daripada penyakit jantung akut.

Berikut biomarker jantung dan ginjal serta pemeriksaan yang menunjang CRS8 :

1. Peptida natriuretik dan gagal jantung

Brain-type natriaretic peptide (BNP) dan N - terminal pro BNP (NT-pro BNP) disekresi dari miokard ventrikular sebagai respon jantung terhadap peningkatan tekanan

dan volume. ditetapkan sebagai alat diagnostik dalam ADHF dan merupakan prediktor

independen terhadap kejadian kardiovaskular dan mortalitas secara keseluruhan dalam

penyakit kritis, ACS, dan HF stabil. Peptida natriuretik (NP) meningkat pada pasien

dengan CRS (tipe I) di mana AKI terjadi sebagai konsekuensi dari ADHF. Selain itu,

mereka telah menunjukkan utilitas prognostik pada pasien dengan berbagai tahap

insufisiensi ginjal, menunjukkan aplikasi potensial dalam jenis CRS tipe II dan IV.

Menurut kebanyakan pedoman gagal jantung saat ini, pada keadaan akut kadar BNP >

100pg/ml atau kadar NT-pro BNP 300 pg/ml konsisten mengarah pada gagal jantung,

sedangkan pada keadaan kronik kadar yang direkomendasikan adalah BNP >35 pg/ml

atau kadar NT-pro BNP >125 pg/m1.3,8

2. Biomarker cedera ginjal

Kemampuan filtrasi ginjal diekspresikan sebagai laju filtrasi glomerulus (GFR)

yang secara klasik diestimasi menggunakan parameter kreatinin serum. Namun, GFR

tidak secara keseluruhan mewakili fungsi ginjal yang juga meliputi permeabilitas

glomerulus dan fungsi tubular, serta sebagai tambahan termasuk metabolisme vitamin D

dan produksi eritropoetin. Oleh sebab itu, beberapa biomarker selain kadar kreatinin

(14)

a. Neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL)

NGAL merupakan salah satu penanda awal iskemik ginjal ataupun kerusakan

karena nefrotoksik dan dapat dideteksi kadarnya melalui darah dan urin sesaat sesudah

terjadi acute kidney injury (AKI). Dalam penelitian terbaru, pengukuran tunggal dari

NGAL dari urin bisa mendeteksi AKI, dengan sensitivitas dan spesifisitas 90% dan 99%.

NGAL dapat digunakan sebagai penanda awal ARF selama pengobatan ADHF.8,19

b. Cystatin C

Kadar Cystatin C dalam sirkulasi telah muncul menjadi prediktor yang superior dibandingkan kadar kreatinin serum dalam mengestimasi laju filtrasi glomerulus.

Biomarker ini memiliki dampak yang kuat terhadap prognosis sindroma kardiorenal dan

berpotensi dalam menilai efek disfungsi ginjal yang ringan pada prognosis penyakit

kardiovaskular, serta menunjukkan sebagai prediktor progresi penyakit gagal jantung dan

insufisiensi ginjal pada pasien usia tua.8,19

c. Pemeriksaan kadar albuminuria

Selain sebagai target terapi yang penting pada pasien insufisiensi ginjal kronik,

juga awalnya telah dipaparkan sebagai penanda kerusakan permeabilitas glomerulus.

Pada pasien-pasien dengan diabetes, hipertensi, dan disfungsi ginjal kronik pemeriksaan

kadar albuminuria hams selalu diperiksa karena parameter ini dapat menjadi penanda

ataupun prediktor progresi penyakit kardiovaskular. Hasil perneriksaan

mikroalbuminuria didefinisikan dengan kadar albumin dalam urin 30-300 mg/24 jam,

sedangkan makroalbuminuria bila kadarnya dalam urin > 300 mg/24 jam.

d. Kidney injury molecule-1 (KIM-1)

KIM-1 merupakan protein yang dapat dideteksi dalam urin sesudah terjadi proses

(15)

urin tampaknya sangat spesifik untuk AKI iskemik dan bukan untuk pra-ginjal azotemia,

CKD, atau nefropati.8,19

e. N-asetil-β-(D) glucosaminidase

N-asetil-β-(D) glucosaminidase adalah enzim lisosomal ditemukan di sel-sel tubulus proksimal. N-asetil-β-(D) glucosaminidase telah terbukti berfungsi sebagai

penanda cedera ginjal, mencerminkan khususnya kerusakan tubular. Hal ini tidak hanya

ditemukan dalam konsentrasi kemih yang meningkat pada AKI dan CKD, tetapi juga

pada pasien diabetes, pasien dengan hipertensi esensial, dan gagal jantung.8,19

f. Interleukin-18

Interleukin-18 (IL-18) merupakan sitokin proinflamasi yang dapat dideteksi pada

urin setelah proses kerusakan iskemik akut pada tubulus proksimal dengan tingkat

sensitifitas dan spesifitas > 90%, dan juga kadarnya dapat meningkat 48 jam sebelum

didapati peningkatan kadar kreatinin serum.8,19

g. Bioimpedance vector analysis

Ada suatu kesepakatan bahwa Bioimpedance vector analysis (BIVA) dapat

berkontribusi untuk menjelaskan definisi yang lebih baik dari status hidrasi pasien.

Kombinasi NGAL dan BNP dapat digunakan untuk merencanakan strategi pemberian

cairan. Dengan cara ini, pasien dapat dijaga dengan ketat hidrasi yang adekuat dalam

pencegahan perburukan fungsi ginjal dan jantung. 8

Dari biomarker yang disajikan di atas, NGAL (urin dan plasma) dan C Cystatin

yang paling mungkin untuk diintegrasikan ke dalam praktek klinis dalam waktu dekat.

Uji klinis akan diperlukan untuk melihat apakah identifikasi awal AKI dan penggunaan

algoritma pengobatan khusus berdasarkan tanda tersebut akan memperbaiki prognosis.8

3. Pencitraan

Teknik pencitraan memiliki peran tambahan sehubungan dengan biomarker

laboratorium pada CRS. Pencitraan mungkin meningkatkan, memperluas, dan memperbaiki

kemampuan kita untuk menghitung kerusakan ginjal dan menilai fungsinya. Pada pasien

yang dicurigai CRS, sebaiknya menghindari penggunaan media kontras iodinasi jika tidak

benar-benar diperlukan. Kedepannya, diharapkan penelitian harus diarahkan studi

eksperimental yang menerapkan teknik pencitraan molekular (seperti MRI/magnetic

resonance imaging, MRS/magnetic resonance spectroscopy, PET/positron emission

(16)

keparahan berbagai jenis CRS. Juga di masa depan, teknik non-invasif pencitraan perlu

diperbaiki untuk mengukur aliran darah ginjal. Data tersebut kemudian dapat dikorelasikan

dengan biomarker jantung dan ginjal dan yang paling penting untuk merencanakan terapi

berkelanjutan yang dirancang dalam pengoptimalan aliran darah ginjal dan akhirnya menjaga

fungsi ginjal. Adapun tipe 1 CRS, kongesti vena dan CVP (central vein pressure) yang tinggi

tampaknya dikaitkan dengan gangguan fungsi ginjal dan independen terkait dengan semua

penyebab kematian dalam spektrum yang luas dari pasien dengan penyakit kardiovaskular.

Pemeriksaan ekokardiografi dapat menyediakan informasi mengenai anatomi dan

fungsi jantung. Penilaian terhadap fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri danai juga

dilakukan dan pasien dapat dikategorikan ke dalam gagal jantung dengan ejection

fraction yang rendah ataupun dengan ejection fraction yang normal.12

Ultrasonografi yang meliputi ultrasound ginjal dan ultrasoncgrafi vena cava

inferior dapat sangat membantu dalam menentukan diagnosis dan secara tepat

mengklasifikasikan sindroma kardiorenal. Ultrasound ginjal itu sendiri dapat membantu

klinisi dalam membedakan antara gagal ginjal akut maupun kronik, serta mampu

mengeksklusi adanya tidaknya obstruksi pada saluran kemih, menilai arteri ginjal dengan

menggunakan doppler, dan juga mampu memberikan informasi mengenai ukuran ginjal

ataupun ekogenisitas parenkim ginja1.12

TATALAKSANA SINDROMA KARDIORENAL PADA TIPE 1 & 2

Penderita dengan gangguan fungsi ginjal tidak secara adekuat terwakili dalam

penelitian-penelitian klinik acak berskala besar pada gagal jantung, sehingga sebagian besar

rekomendasi terapi lebih bersifat empirik.13

Pengelolaan penderita gagal jantung dengan gangguan fungsi ginjal dapat menjadi

sulit disebabkan fungsi kedua organ tersebut sangat bergantung pada volume sirkulasi. Secara

garis besar sasaran pengobatan adalah mencapai status volume yang normal tanpa

memperberat disfungsi ginjal, dan menerapkan seoptimal mungkin terapi yang secara

evidence-based bermanfaat pada gagal jantung maupun disfungsi ginjal. Sampai saat ini tidak

ada strategi yang secara konsisten efektif. Langkah-langkah berikut dapat digunakan dalam

(17)

Sindroma Kardiorenal Tipe 1

Abnormalitas fungsi renal dan juga perburukan pada awal rencana pengobatan ADHF

meningkatkan mortalitas. Oleh sebab itu, pengobatan terhadap gagal jantung seharusnya

memiliki efek yang diharapkan untuk memperbaiki fungsi ginjal dan menghindari pemakaian

zat ataupun obat yang bersifat nefrotoksik yang justru akan semakin memperburuk fungsi

ginja1.3

Manajemen gagal jantung akut seperti yang telah dipaparkan dalam pedoman yang

disusun oleh European Society of Cardiology (ESC) bahwa penggunaan obat vasodilator dan

loop diuretik sangat direkomendasikan pada kasus gagal jantung akut dan sindroma

kardiorenal tipe 1 selain pemberian oksigenasi yang adekuat dan opiat sebagai penenang serta

pereda kesulitan dalam bernafas.3

Penggunaan loop diuretik secara infus kontinu dengan estimasi total dosis harian

dapat memberikan efek diuresis yang lebih efektif dan aman bila dibandingkan dengan

pemberian injeksi bolus. Kombinasi diuretik dapat diberikan untuk lebih memberikan efek

diuresis yang efektif terutama dalam mengatasi kondisi resistensi diuretik.5

Obat vasodilator seperti nitrogliserin intravena ataupun nesiritide (recombinant

human B-type atrial natriuretic peptide) telah menunjukkan dapat secara cepat rnenurunkan

tekanan pengisian ventrikel dan CVP, serta mengurangi konsumsi oksigen miokard. Obat ini

juga dapat menurunkan resistensi vaskular sistemik, mengurangi beban kerja ventrikular,

meningkatkan stroke volume dan memperbaiki cardiac output. Nitrogliserin intravena

merupakan vasodilator yang sering digunakan untuk mengurangi kongesti pulmonal pada

pasien pasien dengan gagal jantung dekompensata. Penurunan tekanan vena dapat

memberikan keuntungan dalam menurunkan tekanan perfusi ginjal.5

Pada kasus syok kardiogenik maka terapi yang diberikan bertujuan untuk

meningkatkan cardiac output dan mengembalikan aliran darah ginjal melalui optimalisasi

tekanan darah sistolik. Untuk tujuan tersebut dapat diberikan dopamin dosis rendah (renal

dose), dobutamin, atupun milrinone. Bila kondisi hipotensi sistemik masih menetap ataupun

refrakter maka dapat dipertimbangkan pemberian vasopresor seperti norepinefrin, dan

tindakan ventilasi elektif ataupun intraaortic balloon pump dengan target yang ingin dicapai

yaitu cardiac index>2 L/menit/m2 dan mean arterial pressure (MAP) > 60 mmHg.3,5

Pada pasien dengan perburukan fungsi ginjal yang menetap, tindakan continous

venovenous ultrafiltration telah dipaparkan sebagai alternatif untuk mengurangi volume

(18)

diindikasikan pada kondisi resistensi diuretik pada pasien gagal jantung berat.5

Sindroma Kardiorenal Tipe 2

Pendekatan terapeutik pada pasien-pasien dengan gagal jantung kronik (CHF) sangat

kompleks dan berbasis pada skor NYHA, restriksi cairan dan garam, perubahan pola hidup

(aktifitas fisik, berhenti merokok), juga meliputi pengobatan dan penyebab dasar dan / atau

penyakit yang menyebabkan kerusakan pada sistem kardiovaskular dan progresi terhadap

gagal jantung kronik (yang utamanya seperti : hipertensi, diabetes melitus, hiperlipidemia,

aritmia).3

Seperti dalam pedoman penanganan gagal jantung oleh ESC, penggunaan angiotensin

converting enzyme inhibitor (ACE-I) / angiotensin receptor blocker (ARB), beta blocker,

antagonis aldosteron secara signifikan menurunkan tingkat morbiditas (perburukan fungsi

ginjal) dan mortalitas pada CHF. Pendekatan yang optimal yaitu mengkombinasi ACE-I /

ARB dan beta blocker dengan dosis dititrasi, kemudian ditambahkan antagonis aldosteron

tergantung pada kondisi klinis dan karakteristik pasien. Digoxin dan diuretik juga dapat

diberikan untuk membantu memperbaiki gejala pada CHF. Secara tipikal pasien-pasien CHF

dalam kondisi hipervolemik sehingga pemberian terapi diuretik intensif diperlukan terutama

loop diuretik infus kontinu yang lebih poten. Pada kasus overload refrakter ataupun resistensi

(19)
(20)

KESIMPULAN

Sindroma kardiorenal memiliki patofisiologi yang unik dan kompleks. Diagnosis

lebih awal pada kondisi ini (dengan pemeriksaan biomarker dan/ ataupun pemeriksaan

pencitraan) serta manajemen yang efektif (optimalisasi pengobatan gagal jantung seperti :

penggunaan vasodilator, diuretik, inotropik, ACE-I / ARB, beta blocker, antagonis

aldosteron, digoksin, maupun tindakan ultrafiltrasi), serta menghindari pemakaian zat

ataupun obat-obatan yang bersifat nefrotoksik dapat menurunkan insidensi perburukan fungsi

ginjal pada pasien-pasien gagal jantung dekompensata sehingga dapat memperbaiki

prognosis pasien.

Sampai saat ini tidak ada panduan tatalaksana gagal jantung pada penderita dengan

disfungsi ginjal yang berdasarkan bukti-bukti kuat (evidence-based). Langkah-langkah berikut

dapat digunakan dalam pendekatan pengelolaan penderita yaitu identifikasi dan antisipasi

gangguan dan perburukan fungsi ginjal, optimalisasi terapi gagal jantung, evaluasi struktur ginjal,

optimalisasi terapi diuretik, dan terapi lain. Walaupun demikian penderita tampaknya akan

memperoleh manfaat yang sama bila dikelola dengan panduan tatalaksana gagal jantung untuk

populasi umum, asalkan dengan pemantauan lebih ketat. Tatalaksana sindrom kardiorenal

menjadi sulit disebabkan terbatasnya pengetahuan tentang mekanisme yang mendasarinya, dan

terbatasnya pilihan terapi yang tersedia. Sampai saat ini tidak ada terapi efektif yang telah

(21)

DAFTAR PUSTAKA

1. Shah BN, Greaves K. The Cardiorenal Syndrome: A Review. International Journal of

Nephrology. 2011; 920195: 1-11.

2. Rosner MH, Rastogi A, Ronco C. The Cardiorenal Syndrome. International Journal of

Nephrology.2011; 982092:1-2.

3. McMurray JJV, Adamopoulos S, Anker SD, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and

treatment of acute and chronic heart failure 2012. Eur Heart J2012; 33:1787-1847

4. Owan TE, Hodge DO, Herges RM, Jacobsen SJ, Roger VL, Redfield MM. Secular

trends in renal dysfunction and outcomes in hospitalized heart failure patients. J Card

Fail 2006;12:257-62

5. PP Liu. Cardiorenal syndrome in heart failure: A cardiologist's perspective. Can J

Cardiol 2008;24(Suppl B):25B-29B

6. Roesli RM, Martakusumah AH. Sindroma Kardio Renal. FK UNPAD/ RS dr Hasan

Sadikin Bandung : Subbag Ginjal Hipertensi, Bag. Ilmu Penyakit Dalam. Available

from: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/sindroma_kardio_renal.pdf

7. Schrier W R. Cardiorenal versus renocardiac syndrome: is there a difference? Nat Clin

Prac Nephrol 2007; 3; 12; 637

8. Ronco C, et al. Cardio-renal syndromes: report from the consensus conference of the

Acute Dialysis Quality Initiative. European Heart Journal. 2010;31, 703-7011.

9. Liang KV, Williams AW, Greene EL, Redfield MM. Acute decompensated heart failure

and the cardiorenal syndrome. Crit Care Med 2008;36(Suppl 1):S75-88.

10. Ronco C, Haapio M, House AA, Anavekar N, Bellomo R. Cardiorenal syndrome. J Am

Coll Cardiol 2008;52:1527-39.

11. Ronco C, House AA, Haapio M. Cardiorenal syndrome: refining the definition of a

complex symbiosis gone wrong. Intensive Care Med 2008; 34 (5): 957-62

12. Manolis AS, Papadimitriou P, Manolis TA, Apostolou T. Cardiorenal Syndrome: A

(22)

13. Hidayat S. Interaksi Kardiorenal : Implikasi Terapi. Dep Cardiology & Vascular

Medicine. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010. Available from:

http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=354.

14.Bongartz LG, Cramer MJ, Doevendans PA, Joles JA, Braam B. The severe cardiorenal

syndrome: Guyton revisited. Eur Heart J 2005;26:1115-40

15. Jeremy S. Bock, Stephen S. Gottlieb. Contemporary Reviews in Cardiovascular

Medicine. Cardiorenal Syndrome. 2010. Available from:

http://circ.ahajournals.org/content/121/23/2592.full.pdf

16. Malbrain ML, Cheatham ML, Kirkpatrick, Sugrue M, Parr M, De Waele J, Balogh Z,

Leppäniemi A, Olvera C, Ivatury R, D'Amours S, Wendon J, Hillman K, Johansson K,

Kolkman K, Wilmer A. Results from the International Conference of Experts on

Intra-abdominal Hypertension and Abdominal Compartment Syndrome. Intensive Care Med.

2006; 32: 1722–1732

17. Remuzzi G, Perico N, Macia M, Ruggenenti P. The role of the

renin-angiotensin-aldosterone system in the progression of chronic kidney disease. Kidney Int. 2005; suppl:

S57–S65.

18. Vaziri ND, Dicus M, Ho ND, Boroujerdi-Rad L, Sindhu RK. Oxidative stress and

dysregulation of superoxide dismutase and NADPH oxidase in renal insufficiency.

Kidney Int. 2003; 63: 179–185.

19. Pam R Taub; Kelly C Borden; Arrash Fard; Alan Maisel. Role of Biomarkers in the

Diagnosis and Prognosis of Acute Kidney Injury in Patients With Cardiorenal Syndrome.

Expert Rev Cardiovasc.Ther. 2012;10(5):657-667. Available from:

(23)

Sampai saat ini tidak ada strategi yang secara konsisten efektif. Langkah-langkah berikut

dapat digunakan dalam pendekatan pengelolaan penderita. Pendekatan pengelolaan sindroma

kardiorenal8 :

1. Identifikasi dan antisipasi gangguan dan perburukan fungsi ginjal

2. Optimalisasi terapi gagal jantung

3. Evaluasi struktur ginjal

4. Optimalisasi terapi diuretik

5. Terapi lain

1. Identifikasi dan antisipasi gangguan dan perburukan fungsi ginjal

Gangguan fungsi ginjal yang ditandai oleh penurunan GFR kurang dari 60

mL/menit merupakan prediktor yang kuat untuk terjadinya dampak yang buruk pada

penderita gagal jantung, bahkan nilai prognosis tersebut relatif lebih kuat dibanding

penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Penurunan GFR tidak selalu disertai peningkatan

kadar kreatinin serum, bahkan sebagian besar penderita dengan gangguan fungsi ginjal

mempunyai kadar kreatinin serum dalam rentang relatif normal. Penilaian fungsi ginjal

yang didasarkan pada pemeriksaan kadar kreatinin serum menyebabkan sebagian besar

gangguan fungsi ginjal pada penderita gagal jantung tidak terdeteksi secara klinis.

Mengingat perannya yang penting, penilaian GFR sebaiknya secara rutin dilakukan

sebagai bagian dalam evaluasi dan tatalaksana penderita gagal jantung.13

Secara akurat GFR dapat ditentukan dengan pemeriksaan klirens inulin atau

marka radionuklida, tetapi mengingat pemeriksaan tersebut tidak praktis, nilai GFR dapat

diperkirakan dengan menggunakan formula Cockfoft-Gault atau Modified Diet in Renal

Disease (MDRD). Berlainan dengan penilaian disfungsi ginjal yang lebih akurat

ditentukan dengan pemeriksaan GFR, terjadinya perburukan fungsi ginjal pada penderita

gagal jantung yang dirawat di rumah sakit ditandai oleh peningkatan kadar kreatinin

serum lebih dari 0,3 mg/dl atau lebih dari 25% kadar awal. Walaupun setiap peningkatan

(24)

tersebut baru bermakna pada peningkatan lebih dari 0,3 mg/dl. Faktor-faktor risiko yang

secara konsisten mempengaruhi terjadinya perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal

jantung adalah usia lanjut, hipertensi, diabetes dan terdapat gangguan fungsi ginjal

sebelumnya. Faktor-faktor lain yang potensial adalah penggunaan dosis besar diuretik

loop, dan penggunaan diuretik thiazide. Perburukan fungsi ginjal tidak berhubungan

bermakna dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri, cardiac index, resistensi vaskular sistemik,

dan kondisi low-output (hipotensi). Perburukan fungsi ginjal lebih sering ditemukan pada

penderita-penderita dengan presentasi klinik retensi cairan (edema paru, peningkatan

tekanan vena jugular). Dalam menghadapi penderita dengan disfungsi kardiorenal adalah

penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang potensial reversibel seperti hipotensi,

dehidrasi, penggunaan inhibitor ACE atau penyekat reseptor angiotensin (angiotensin

receptor blocker/ARB), penggunaan non-steroid anti inflamasi drugs (NSAID), dan

stenosis arteri renalis. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah penilaian status

volume, cardiac output dan kemungkinan terdapatnya penyakit ginjal intrinsik. Kondisi

hipovolemia harus diatasi sebelum terjadi kerusakan ginjal lebih lanjut. Perfusi ginjal

harus dijaga dengan mempertahankan tekanan darah sistolik > 80 mmHg dan tekanan

arterial rata-rata > 50 mmHg. Fungsi ginjal akan membaik sejalan dengan perbaikan

cardiac output dan perfusi ginjal. Bila disfungsi ginjal menetap walaupun telah

dilakukan perbaikan status volume, cardiac output dan resistensi vaskular sistemik, perlu

dipertimbangkan adanya penyakit ginjal intrinsik yang mendasari. Terapi yang dipandu

dengan pemantauan tekanan pembuluh darah kapiler pulmonal tidak terbukti lebih

unggul dibanding pemantauan secara klinis dalam memperbaiki outcome penderita gagal

jantung tahap lanjut. Penggunaan kateter arteri pulmonal mungkin diperlukan pada

penderita sindrom kardiorenal yang berat untuk mengoptimalkan hemodinamik,

memandu terapi gagal jantung lebih agresif, memfasilitasi keputusan untuk memulai

terapi ginjal pengganti, atau dalam membuat keputusan untuk memulai terapi paliatif

gagal jantung kronik.13

Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa perburukan fungsi ginjal pada

penderita gagal jantung lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi hipervolemik dibanding

hipoperfusi ginjal akibat penurunan cardiac output atau penurunan volume intravaskuler

akibat penggunaan diuretik berlebih. Bendungan vena yang ditandai oleh peningkatan

tekanan vena sentral merupakan penyebab yang paling kuat untuk terjadinya perburukan

(25)

dengan terapi medik intensif selama perawatan hanya sedikit berpengaruh terhadap

fungsi ginjal. Sampai saat ini masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa terapi yang

spesifik bertujuan menurunkan tekanan vena sentral akan memperbaiki disfungsi ginjal

dan outcome penderita gagal jantung, walaupun demikian hal tersebut perlu

dipertimbangkan dalam strategi tatalaksana gagal jantung.13

2. Optimalisasi terapi gagal jantung

Inhibisi pada sistem renin-angiotensin-aldosteron telah diketahui merupakan

bagian penting dalam tatalaksana gagal jantung. Berbagai penelitian acak terkontrol

berskala besar menunjukkan bahwa obat-obat tersebut secara bermakna meningkatkan

harapan hidup penderita. Akan tetapi evidence-based manfaatnya pada penderita gagal

jantung dengan gangguan fungsi ginjal sangat terbatas. Penggunaan inhibitor ACE atau

ARB biasanya berhubungan dengan penurunan ringan fungsi ginjal yang ditandai oleh

peningkatan kadar kreatinin dan penurunan GFR. Penurunan fungsi ginjal tersebut

semakin nyata pada penderita disfungsi ginjal. Kekhawatiran akan semakin

memburuknya fungsi ginjal disertai risiko hipotensi dan hiperkalemia menyebabkan

banyak klinisi menghindari atau menghentikan penggunaan inhibitor ACE atau ARB

pada penderita disfungsi ginjal. Akan tetapi sebuah meta-analisis tentang penggunaan

inhibitor ACE dalam hubungannya dengan peningkatan kadar kreatinin menunjukkan

bahwa penderita yang mengalami peningkatan kadar kreatinin setelah pemberian

inhibitor ACE adalah kelompok penderita yang justru mendapat manfaat paling besar

dari penggunaan obat tersebut.13

Untuk mengurangi risiko perburukan fungsi ginjal, penggunaan inhibitor ACE

sebaiknya dimulai dengan dosis rendah. Bila terjadi perburukan fungsi ginjal perlu

dinilai kemungkinan penyebab lain seperti diuresis yang berlebihan, hipotensi persisten,

atau penggunaan obat lain yang nefrotoksik termasuk NSAID. Bila kadar kreatinin

meningkat tajam dan penderita menunjukkan intoleransi ekstrim terhadap inhibitor ACE,

perlu dipertimbangkan kemungkinan stenosis arteri renalis bilateral. Pada kondisi ini

penggunaan inhibitor ACE atau ARB harus dihentikan. Beberapa penelitian

menunjukkan penggunaan inhibitor ACE pada penderita disfungsi ginjal dapat

menghambat perburukan fungsi ginjal dan memperbaiki outcome kardiovaskular. Oleh

karena itu obat ini sebaiknya tetap diberikan walaupun terjadi peningkatan kadar

kreatinin, asalkan fungsi ginjal tidak terus memburuk dan tidak terjadi hiperkalemia.

(26)

dengan efek renoprotektif jangka panjang. Perburukan fungsi ginjal pada penderita gagal

jantung yang terjadi selama perawatan di rumah sakit sebagian besar tidak disebabkan

oleh inhibitor ACE. Pada penderita yang mengalami vasodilatasi berlebih, mungkin

diperlukan penurunan dosis atau penghentian sementara penggunaannya, tetapi

mengingat efek jangka panjang yang menguntungkan baik pada gagal jantung maupun

disfungsi ginjal, penggunaan inhibitor ACE atau ARB sebaiknya tidak dihentikan atau

segera diberikan kembali.13

Tidak ada patokan kadar kretinin yang mutlak untuk menghentikan penggunaan

inhibitor ACE atau ARB, tetapi pada kadar kreatinin diatas 2,5 mg/dl penggunaannya

harus dengan pemantauan ketat. Pada penderita dengan kadar kreatinin diatas 5 mg/dl

mungkin dibutuhkan hemofiltrasi atau dialisis untuk mengontrol retensi cairan dan

mengatasi uremia. Proporsi penderita disfungsi ginjal yang mendapat terapi modifikasi

risiko kardiovaskular yang memadai jauh lebih rendah dibanding populasi umum.

Kurang dari 50% penderita disfungsi ginjal mendapat kombinasi aspirin, penyekat beta,

inhibitor ACE, dan statin setelah suatu serangan infark miokard. Sebuah penelitian

kohort prospektif menunjukkan penggunaan inhibitor ACE dan penyekat beta pada

penderita gagal jantung yang disertai disfungsi ginjal berhubungan dengan penurunan

mortalitas yang sebanding dengan penderita tanpa gangguan fungsi ginjal. Penggunaan

antagonis aldosteron pada penderita gagal jantung dengan disfungsi ginjal harus

dilakukan dengan hati-hati. Bila indikasinya telah terpenuhi, yaitu pada penderita gagal

jantung simptomatik berat dengan fraksi ejeksi yang rendah, penambahan antagonis

aldosteron pada regimen inhibitor ACE/ARB dan penyekat beta berhubungan dengan

peningkatan kesintasan penderita gagal jantung. Untuk menghindari kejadian

hiperkalemia yang mengancam jiwa, obat ini sebaiknya tidak diberikan bila kadar

kreatinin > 2,5 mg/dl atau kadar kalium > 5,0 mmol/l. Walaupun sampai saat ini tidak

ada panduan dengan evidence-based yang kuat untuk terapi gagal jantung pada penderita

disfungsi ginjal, tampaknya penderita dalam populasi tersebut akan memperoleh manfaat

yang sama bila dikelola dengan panduan tatalaksana gagal jantung untuk populasi umum,

walaupun diperlukan pemantauan yang lebih ketat.13

3. Evaluasi struktur ginjal

Pemeriksaan ultrasonografi ginjal dapat digunakan untuk mengevaluasi ukuran

ginjal, adanya obstruksi atau penyakit ginjal struktural. Pemeriksaan ini bermanfaat

(27)

reversibel. Pencitraan Doppler digunakan bila terdapat kecurigaan stenosis arteri renalis.

Bila diperlukan pemeriksaan angiografi atau pencitraan resonansi magnetik yang

menggunakan kontras, rasio risiko–manfaatnya harus dipertimbangkan dengan seksama

mengingat kemungkinan perburukan fungsi ginjal.13

4. Optimalisasi terapi diuretik

Diuretik memegang peran penting dalam tatalaksana gagal jantung yang disertai

disfungsi ginjal. Manfaatnya dalam memperbaiki simptom telah disepakati secara luas,

walaupun tidak pernah dievaluasi melalui penelitian-penelitian acak klinik berskala

besar. Pada kondisi gagal jantung dan disfungsi ginjal kurva respons-dosis diuretik akan

terpengaruh. Selain diperlukan penambahan dosis untuk menghasilkan respons diuresis

yang memadai, juga akan terjadi penurunan respons maksimum yang dapat dicapai, menciptakan keadaan resistensi diuretik relatif yang dikenal sebagai “braking phenomenon”, yaitu kondisi toleransi jangka pendek terhadap pemberian diuretik.13

Peningkatan dosis dan penurunan respons diuretik akan bertambah sejalan

dengan progresifitas gagal jantung. Sesuai beratnya penyakit, dosis maksimum diuretik

untuk masing-masing penderita berbeda, dan penambahan dosis diatas dosis maksimum

tidak akan menambah respons diuresis lebih lanjut. Penggunaan diuretik memerlukan

kecermatan. Dosis yang digunakan harus memadai untuk mengatasi kelebihan cairan dan

memperbaiki simptom tanpa menyebabkan efek yang kurang menguntungkan.

Penggunaan diuretik, terutama dosis besar diuretik loop diketahui berhubungan dengan

perburukan fungsi ginjal, meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan mortalitas

penderita gagal jantung. Hal ini diantaranya disebabkan efek diuretik dalam

menstimulasi sistem RAA. Stimulasi sistem RAA tersebut merupakan salah satu faktor

utama penyebab terjadinya resistensi diuretik. Resistensi diuretik merupakan salah satu

ciri sindrom kardiorenal, dan menjadi indikator prognosis yang buruk penderita gagal

jantung kronik. Kombinasi antara perburukan fungsi ginjal, volume overload, dan

resistensi diuretik, menyebabkan tatalaksana sindrom kardiorenal menjadi sulit, dan

sampai saat ini terapi yang efektif sangat terbatas. Definisi resistensi diuretik telah

disebutkan sebelumnya. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi diuretik

diantaranya adalah dosis yang tidak adekuat, asupan garam berlebih, gangguan absorbsi

intestinal, menurunnya ekskresi diuretik dalam urine, peningkatan reabsorbsi natrium

(28)

respons-dosis diuretik tidak linier, sehingga natriuresis tidak akan terjadi sampai ambang

ekskresi obat tercapai. Dengan demikian bila respons diuresis tidak terjadi dengan

pemberian furosemide 20 mg, menaikkan dosisnya menjadi 40 mg akan lebih efektif

dibanding meningkatkan frekuensinya.13

Diuretik thiazide akan menghambat reabsorbsi natrium di tubulus distal, sehingga

bila dikombinasi dengan diuretik loop diharapkan akan memberi respons diuresis lebih

baik. Kombinasi ini perlu pemantauan ketat karena dapat menyebabkan hiponatremia

dan hipokalemia berat. Diuretik thiazide tidak efektif bila klirens kreatinin < 30

ml/menit. Pada penderita gagal jantung yang berat sering terjadi gangguan perfusi

intestinal, penurunan motilitas intestinal, dan edema mukosa yang akan menyebabkan

absorbsi obat terganggu. Absorbsi furosemid oral pada keadaan edema hanya sekitar

50%. Untuk menghasilkan respons diuresis yang adekuat mungkin diperlukan

penambahan dosis atau menggantinya dengan obat yang diabsorbsi lebih baik yaitu

bumetanide atau torsemide. Untuk memperbaiki respons diuresis dapat pula diberikan

diuretik intravena dalam jangka pendek. Respons inadekuat dengan pemberian diuretik

oral seringkali reversibel setelah kelebihan cairan diatasi.13

Pemberian diuretik loop dengan infus intravena kontinyu dapat mempertahankan

kecepatan penghantaran obat ke tubulus renal dan mencegah reabsorbsi natrium lebih

konsisten. Pemberian diuretik loop dengan infus kontinyu pada penderita gagal jantung

menghasilkan respons diuresis lebih adekuat dengan efek samping yang lebih rendah

dibanding pemberian bolus intravena. Apabila berbagai upaya tersebut tidak berhasil

mengatasi resistensi diuretik, perlu dipertimbangkan untuk melakukan ultrafiltrasi. 12

5. Terapi lain

Terdapat berbagai terapi lain untuk mengatasi sindrom kardiorenal, beberapa

diantaranya telah ditinggalkan dan beberapa masih dalam penelitian.13 Dopamin dosis rendah13

Dopamin dosis rendah pernah digunakan secara luas di seluruh dunia untuk

mencegah atau mengobati AKI dan dipakai untuk meningkatkan produksi urine pada

penderita gagal jantung yang refrakter terhadap diuretik loop. Dopamin terutama akan

menstimulasi reseptor-reseptor dopaminergik yang menyebabkan vasodilatasi renal dan

peningkatan aliran darah ginjal. Dopamin juga menyebabkan natriuresis melalui efek

(29)

Terdapat 2 meta-analisis, tinjauan sistematik dan penelitian klinik acak yang

mengevaluasi peran dopamin dosis rendah dalam mencegah perburukan fungsi ginjal.

Semua penelitian tersebut sampai pada kesimpulan yang sama yaitu dopamin dosis

rendah tidak mencegah terjadinya AKI, kebutuhan untuk dialisis, atau kematian. Efek

protektif dopamin pada ginjal tidak terbukti, bahkan dapat menginduksi AKI pada

penderita normo dan hipovolemik. Dopamin juga dapat menurunkan aliran darah mukosa

gaster, menekan sekresi dan fungsi hormon-hormon pituitari anterior termasuk

menginduksi hipotiroid, dan dapat menumpulkan ventilatory drive.

Dengan berbagai bukti yang kuat tersebut, penggunaan dopamin dosis rendah

untuk proteksi ginjal pada berbagai keadaan termasuk pada gagal jantung tidak lagi

dianjurkan.

Kombinasi furosemide manitol13

Manitol bila diberikan secara intravena akan segera difiltrasi oleh glomerulus

kedalam cairan tubulus menyebabkan efek diuresis osmotik. Manitol dapat

meningkatkan aliran darah intrarenal melalui efeknya terhadap produksi prostaglandin

dan bertindak sebagai penangkap radikal bebas selama reperfusi ginjal. Sebuah

penelitian terhadap 100 penderita AKI pasca operasi jantung menunjukkan pemberian

larutan mengandung 500 cc manitol 20% dan 1000 mg furosemide yang diberikan dalam

waktu 30 – 60 menit, dengan disertai pemberian dopamin dosis rendah dapat mendorong

terjadinya diuresis pada AKI fase oligurik atau anurik pasca operasi. Bila diberikan dini

yaitu dalam 6 jam setelah onset AKI, kombinasi ini dapat memperbaiki fungsi ginjal dan

menurunkan kebutuhan dialisis. Beberapa penelitian berskala kecil yang mengevaluasi

pemberian manitol untuk mencegah atau mengatasi AKI menunjukkan hasil yang

bertentangan. Dapat terjadi efek samping berupa gangguan elektrolit, hipovolemia, dan

perburukan fungsi ginjal. Sampai saat ini tidak ada bukti kuat tentang manfaat manitol

dalam tatalaksana AKI sehingga penggunaannya harus dibatasi.  Kombinasi furosemide albumin13

Penderita dengan kadar albumin yang rendah dapat resisten terhadap pemberian

diuretik. Pemberian kombinasi albumin dan furosemide pada kondisi tersebut diharapkan

dapat meningkatkan konsentrasi diuretik yang mencapai nefron proksimal dan

memperbaiki diuresis. Penelitian pada penderita sindrom nefrotik maupun pada sirosis

(30)

respons diuresis, sehingga penggunaannya untuk tujuan memperbaiki resistensi diuretik

pada kondisi hipoalbuminemik tidak dianjurkan.  Kombinasi furosemide natrium hipertonik13

Pemberian infus larutan natrium hipertonik (hypertonic saline solution=HSS)

akan menyebabkan kenaikan konsentrasi NaCl ekstraseluler dengan cepat sehingga

terjadi kenaikan tekanan osmotik, ekspansi volume plasma, mobilisasi cairan

ekstravaskular ke intravaskular, dan bertambahnya aliran darah ginjal. Pemberian secara

simultan furosemide dosis tinggi akan mengoptimalkan efek diuresis dan mengatasi

resistensi diuretik. Penelitian acak tersamar ganda pada 94 penderita gagal jantung tahap

lanjut mendapatkan bahwa pemberian dua kali per hari infus furosemide 500–1000 mg

yang dilarutkan dalam 150 cc NaCl hipertonik (1,4% – 4,6%) dan diberikan dalam 30

menit selama 4 – 6 hari, disertai diet normosodium (2,8 gr natrium/hari), secara

signifikan berhubungan dengan pencapaian berat kering yang lebih cepat, penurunan

konsentrasi plasma B-type natriuretic peptide (BNP) lebih cepat, perawatan di rumah

sakit yang lebih singkat, dan menurunkan insiden perawatan kembali dalam 30 hari. Pada

follow-up selama hampir 3 tahun, insiden perawatan kembali penderita yang mendapat

HSS sebesar 47% (25 dari 53 penderita), sedangkan penderita yang mendapat perawatan

biasa sebesar 80% (43 dari 54 penderita). Mortalitas penderita yang mendapat HSS juga

lebih rendah. Efek langsung intratubuler pemberian natrium hipertonik akan melampaui

pengaruh retensi natrium pasca diuretik sehingga akan mengurangi “braking

phenomenon”. Disamping itu peningkatan volume intravaskular dan kadar natrium yang

lebih tinggi pada tubulus distal akan menghambat sistem RAA. Walaupun tampaknya

memberi harapan, pemberian natrium hipertonik atau asupan garam yang lebih bebas

pada penderita gagal jantung masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Terapi ini dapat

dipertimbangkan pada penderita sindrom kardiorenal yang tidak berhasil diatasi dengan

terapi lain. Nesiritide12 Nesiritide adalah rekombinan peptida natriuretik tipe B manusia.

Mekanisme kerjanya terutama sebagai vasodilator sistemik dan pulmonal yang kuat.

Obat ini dengan cepat dan konsisten menurunkan tekanan pengisian jantung dan

mengurangi tekanan kapiler pulmonal. Disamping itu obat ini mempunyai efek

natriuresis dan diuresis, serta menghambat norepinefrin, endotelin-1, dan aldosteron.

Sebuah meta-analisis dari 5 penelitian acak terkontrol berskala besar menunjukkan

penggunaan nesiritide pada dekompensasi akut gagal jantung secara signifikan

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi sindroma kardiorenal (CRS) menurut Ranco dkk berdasarkan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian terdahulu yang dilakukan Rahayu kariadinata, 2007 dalam Desain dan pengembangan perangkat lunak (software) pembelajaran matematika berbasis

Metode kualitatif yang dimaksud adalah analisis regresi sederhana dengan variabel bebas (X) yaitu persepsi masyarakat pesisir tentang KKLD dan variabel terikat (Y) yaitu

Kegiatan produksi obat steril yang dilakukan Sub Instalasi Produksi Farmasi adalah pembuatan nutrisi parenteral, IV admixture atau pencampuran obat-obat suntik, dan

REKAPITUTASI LAPORAN PENGENDALIAN DAN RENCANAAKSI SAMPAI DENGAN BUTAN MEI 2019 Realisasi Fisik RENCANA AKSI Nominal |(euangan % KET... IAPORAN PENGENDALIAN DAN RENCANA

Persentase penerimaan responden terhadap rasa makanan yang diolah menggunakan minyak goreng curah yang difortifikasi Vitamin A lebih tinggi dibandingkan dengan

 banyak persamaan persamaan ciri ciri akan akan di di kelompokan kelompokan dalam dalam satu satu kelompok kelompok yang yang sama. Sehingga ingga dari

Contoh sistem distribusi instalasi listrik pada fasilitas pelayanan kesehatan.. Tegangan #urge ini da$at men'e+a+kan keru#akan $ada jaringan dan $eralatan li#trik* karena

Hasil penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi bauran pemasaran terdiri dari Distribution, Price, Sales Volume secara signifikansi berpengaruh terhadap