• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Risiko Penularan dan Upaya Pengendalian Tuberkulosis Paru Pada Para Tahanan Blok D1 di Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjung Gusta Medan Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Risiko Penularan dan Upaya Pengendalian Tuberkulosis Paru Pada Para Tahanan Blok D1 di Rumah Tahanan Negara Klas I Tanjung Gusta Medan Tahun 2016"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru

2.1.1 Definisi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang bersifat menahun, disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis, yang sering dihinggapi adalah paru-paru (Depkes RI, 2002).

Penyakit Tuberkulosis merupakan jenis penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis, yang masih masuk dalam keluarga besar genus Mycobacterium. Bakteri atau kuman M. tuberculosis ini berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron dan tebal hanya 0,3-0,6 mikron. Bakteri ini juga dikenal dengan Bakteri Tahan Asam (BTA) dikarenakan tahan terhadap pewarnaan yang asam.Asam lemak dan lipid yang membuat kuman ini menjadi lebih tahan asam serta tahan terhadap zat kimia, zat fisik, dan bisa membuatnya bertahan hidup untuk bertahun-tahun. Sifat lain yang juga terdapat pada M. tuberkulosis yaitu bersifat aerob, artinya lebih menyukai jaringan kaya oksigen, terutama bagian apical posterior (Bahar, 2010).

Kuman penyebab TB pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Robert Koch, sedangkan vaksin BCG ditemukan pada tahun 1921. Kemudian pada tahun 1944 ditemukan streptomisin sebagai obat pertama anti TBC, dan disusul INH pada tahun 1949.Penyakit TBC muncul kembali ke permukaan dengan meningkatnya kasus TBC di negara-negara maju atau industri pada tahun 1990.

(2)

juga dapat menyerang organ lain di dalam tubuh. Secara khas kuman membentuk granuloma dalam paru dan menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan (Achmadi, 2008).Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100°C selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60°C selama 30 menit, dan dengan alcohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa berbulan-bulan, tapi tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara (Widoyono, 2008).

Saat ini penyakit TB dan TBC menyerang sepertiga dari 1,9 miliar penduduk dunia dewasa ini. Aditama (2000) selalu menyebut, setiap detik ada 1 orang yang terinfeksi baik itu TB maupun TBC di dunia.Setiap tahun terdapat 8 juta penderita baru, dan aka nada 3 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat penyakit ini. Ini berarti 1% dari penduduk dunia akan terinfeksi TB dan TBC setiap tahun. Tidak hanya itu, satu orang ternyata memiliki potensi menularkan virus 10 hingga 15 orangnya dalam satu tahun saja (Achmadi, 2008).

2.1.2 Etiologi Tuberkulosis Paru

(3)

Sifat lain adalah bersifat aerob, lebih menyukai jaringan kaya oksigen (Achmadi, 2008). Bila dijumpai BTA dalam dahak orang yang sering batuk-batuk maka orang tersebut didiagnosis sebagai penderita TB Paru aktif dan sangat berbahaya karena memiliki potensi yang amat berbahaya (Achmadi, 2011). Secara khas bakteri berbentuk granula dalam paru menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan. Bakteri Mycobacterium tuberculosis akan cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh dapat dormant, tertidur lama selama bertahun tahun (Achmadi, 2008)

2.1.3 Patogenesis Penyakit Tuberkulosis Paru

Patogenesis penyakit tuberkulosis paru berawal dari penderita tuberkulosis paru BTA positif sebagai sumber penularan. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan bakteri dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung bakteri dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari parunya.

Patogenesis penyakit tuberkulosis paru dibedakan berdasarkan proses terjadinya, sebagai berikut:

A. Infeksi Primer

(4)

alveolus terminalis dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat bakteri tuberkulosis paru berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa bakteri tuberkulosis paru ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadi infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu (Depkes RI, 2006).

B. Tuberkulosis Paru Pasca Primer (Post Primary Tuberculosis)

Tuberkulosis paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis paru pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2002).

C. Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis Paru

1) Pneumutoraks spontan terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah terjadi robekan pada kavitas tuberkulosis paru.

2) Cor pulmonale adalah gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat kerusakan paru, dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang amat luas. 3) Aspergilomata dimana kavitas tuberkulosis paru yang sudah diobati

dengan baik dan sudah sembuh kadang-kadang tinggal terbuka dan dapat terinfeksi dengan jamur Aspergillus fumigatus.

(5)

5) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkhial.

6) Bronkhiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan) pada paru.

7) Insufisiensi Cardio Pulmoner.

8) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya (Depkes RI, 2002).

Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat bakteri), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2002).

2.1.4 Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis Paru

Epidemiologi penyakit tuberkulosis paru adalah ilmu yang mengkaji distribusi, frekuensi serta determinan. Kajian tersebut menyangkut interaksi antara Mycobacterium Tuberculosis sebagai bakteri (agent), manusia (host) dan lingkungan (environment). Disamping itu mencakup perkembangan dan penyebarannya, termasuk didalamnya juga mencakup prevalensi dan insidensi penyakit tersebut yang timbul dari populasi yang tertular (Depkes RI, 2006). A. Distribusi Penyakit Tuberkulosis Paru

(6)

konsekuensi timbulnya penyakit setelah terjadi infeksi, sehingga bagi orang dengan uji tuberkulin negatif risiko memperoleh basil tuberkel bergantung pada kontak dengan sumber-sumber bakteri penyebab infeksi terutama dari penderita tuberkulosis paru dengan BTA positif. Konsekuensi ini sebanding dengan angka infeksi aktif penduduk, tingkat kepadatan penduduk, keadaan sosial ekonomi yang merugikan dan perawatan kesehatan yang tidak memadai (Depkes RI, 2006).

Berkembangnya penyakit secara klinik setelah infeksi dimungkinkan adanya faktor komponen genetik yang terbukti pada hewan dan diduga terjadi pada manusia, hal ini dipengaruhi oleh umur, kekurangan gizi dan kenyataan status immunologik serta penyakit yang menyertainya.

B. Frekuensi Penyakit Tuberkulosis Paru

(7)

WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC (global health emergency) pada tahun 1993, karena disebagian besar negara didunia, penyakit TBC tidak terkendali. Hal ini karena banyaknya penderita TBC yang tidak berhasil disembuhkan. Di negara-negara miskin kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Daerah Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat dari beban TBC global yakni sekitar 38% dari kasus TBC dunia. (Depkes RI, 2005)

C. Determinan Penyakit Tuberkulosis Paru

Menurut teori Gordon dalam Soemirat (2000), mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), penjamu (host), dan lingkungan (environment). Ketiga faktor penting ini disebut segi tiga epidemiologi (epidemiologi triangle), hubungan ketiga faktor tersebut digambarkan secara sederhana sebagai timbangan yaitu agent penyebab penyakit pada satu sisi dan penjamu pada sisi yang lain dengan lingkungan sebagai penumpunya.

(8)

Apabila faktor lingkungan berubah menjadi cenderung menguntungkan agent penyebab penyakit, maka orang akan sakit, pada prakteknya seseorang menjadi sakit akibat pengaruh berbagai faktor berikut :

A. Agent

Mycobacterium Tuberculosis adalah suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan penyakit pada manusia dan sering menyebabkan infeksi. Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya Mycobacterium Leprae, Mycobacterium paratuberkulosis paru dan Mycobacterium yang dianggap sebagai Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan (Depkes RI, 2006).

Agent adalah penyebab yang essensial yang harus ada, apabila penyakit timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi syarat untuk menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu agar penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi (Soewasti, 2000).

B. Host

(9)

penularan tuberkulosis paru di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam rumahnya. Beberapa faktor host yang mempengaruhi penularan penyakit Tb paru adalah : Umur, Jenis Kelamin,Status Gizi.

1) Umur

Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB Paru. Dari hasil penelitian di New York menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi TB Paru aktif meningkat secara bermakna sesuai umur. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TBC adalah usia produktif, yakni 15 hingga 50 tahun (Achmadi, 2010).

Berdasarkan Profil kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan presentase penderita TB adalah usia 25-34 tahun (23,67%), diikuti 35-44 tahun (20,46%), 15-24 tahun (18,08%), 45-54 tahun (17,48%), 56-64 tahun (12,32%), lebih dari 65 tahun (6,68%), dan yang terendah adalah 0-14 tahun (1,31%). Risiko penularan TB paru tertinggi yaitu pada usia di bawah 3 tahun, rendah pada masa kanak-kanak dan meningkat lagi pada masa remaja dan dewasa muda berusia 15-50 tahun (usia produktif) dan pada usia lanjut (Widoyono, 2008).

2) Jenis Kelamin

(10)

melaporkan bahwa laki-laki 0,5 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada wanita pada penderita TB Paru.

3) Status Gizi

Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan timbal balik, yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang buruk dapat mempermudah terkena penyakit infeksi (Supariasa, 2001). Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya kasus penyakit tuberkulosis karena daya tahan tubuh yang rendah (Girsang, 2000). Penelitian Firdaus (2005) dengan desain prospektif observasional analitik di RS Persahabatan tahun 2005 melaporkan bahwa status gizi buruk 9,59 kali lebih sulit untuk sembuh dari pada status gizi baik pada penderita TB Paru.

C. Environment

(11)

2.1.5 Pencegahan Penyakit Tuberkulosis Paru

Dalam program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan pencegahan tertier, sebagai berikut:

A. Pencegahan Primer

(12)

B. Pencegahan Sekunder

Upaya pencegahan sekunder pada penyakit tuberkulosis paru perlu dilakukan dengan skrining (screaning), yaitu pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5–10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai (Depkes, 2006).

Upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium terhadap penderita tuberkulosis paru. Laboratorium tuberkulosis paru merupakan bagian dari pelayanan laboratorium kesehatan mempunyai peran penting dalam Penanggulangan Tuberkulosis paru berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien tuberkulosis paru, pemantauan keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir pengobatan (Depkes RI, 2007).

Diagnosis tuberkulosis paru melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak merupakan metode baku emas (gold standard). Namun, pemeriksaan kultur memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan. Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan dapat dilaksanakan di semua unit laboratorium (Depkes RI, 2007).

(13)

manajemen laboratorium tuberkulosis paru adalah untuk meningkatkan penerapan manajemen laboratorium tuberkulosis paru yang baik di setiap jenjang laboratorium dalam upaya melaksanakan pelayanan laboratorium yang bermutu dan mudah dijangkau oleh masyarakat (Depkes RI, 2007).

Ruang lingkup manajemen laboratorium tuberkulosis paru meliputi beberapa aspek yaitu; organisasi pelayanan laboratorium tuberkulosis paru, sumber daya laboratorium, kegiatan laboratorium, pemantapan mutu laboratorium tuberkulosis paru, keamanan dan kebersihan laboratorium, dan monitoring (pemantauan) dan evaluasi (Depkes RI, 2007).

Selanjutnya upaya pencegahan sekunder dilakukan dengan kegiatan diagnosis penderita tuberkulosis paru dengan mengkaji :

(1) Gejala-gejala Tuberkulosis Paru

Menurut Mason et al (2005) dalam textbook of respiratory medicine, disebutkan bahwa batuk adalah gejala yang paling umum dari TB paru. Peradangan pada parenkim paru yang berdekatan dengan permukaan pleura dapat menyebabkan nyeri pleuritik tanpa penyakit pleura jelas. Pneumotoraks spontan juga dapat terjadi, sering dengan nyeri dada dan mungkin dyspnea bahwa hasil dari keterlibatan parenkim tidak biasa kecuali ada penyakit yang lain.

(2) Penemuan Penderita Tuberkulosis Paru Pada Orang Dewasa

(14)

masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Selain itu semua kontak penderita tuberkulosis paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka penderita diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-berturut, yaitu Sewaktu–Pagi–Sewaktu /SPS (Depkes RI, 2002).

Berdasarkan penemuan penderita tuberkulosis paru, maka dilakukan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis paru sebagai berikut:

1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis paru yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, tuberkulosis paru dibagi dalam :

a. Tuberkulosis paru BTA Positif. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis paru aktif.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif. Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan tuberkulosis paru aktif. Tuberkulosis paru negatif tetapi rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan.

(15)

paru ekstra paru ringan dan tuberkulosis paru ekstra paru berat (Depkes RI, 2002).

Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita dibagi ke dalam beberapa tipe, yaitu kasus baru; kambuh (relaps); pindahan (transfer in); setelah lalai (drop-out); gagal dan kasus kronik.

C. Pencegahan Tertier

Sasaran dari pencegahan tertier dilakukan pada penderita yang telah parah, misalnya penderita tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, yang terjadi karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (WHO, 2003).

Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase: intensif dan lanjutan. Fase intensif ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih sedikit obat karena sebagian besar bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil (WHO, 2003).

(16)

menyebabkan defisiensi vitamin B6 (pyridoxine) pada kondisi tertentu sehingga suplemen vitamin B6 direkomendasikan pada anak yang kurang gizi, anak yang terinfeksi HIV, bayi yang masih menyusu ASI, dan remaja yang hamil (WHO, 2006).

2.2 Perilaku

Perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari manusia itu sendiri yang mencakup berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, bahkan kegiatan internal seperti berpikir, persepsi dan emosi (Notoatmodjo, 2003).

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practice) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan.

Lawrence Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni :

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal yang berkaita dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidika, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pemungkin (enambling factors) mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

(17)

perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan juga undang-undang dan peraturan.

2.2.1 Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil tahu setelah adanya penginderaan terhadap suatu objek dan sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Tanpa pengetahuan seseorng tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi. Ada empat macam pengetahuan (Widodo, 2006), yaitu :

1. Pengetahuan Faktual (Factual knowledge)

Pengetahuan yang berupa potongan - potongan informasi yang terpisah-pisah atau unsur dasar yang ada dalam suatu disiplin ilmu tertentu. Pengetahuan faktual pada umumnya merupakan abstraksi tingkat rendah. Ada dua macam pengetahuanfakt ual yaitu pengetahuan tentang terminologi (knowledge of terminology) mencakup pengetahuan tentang label atau simbol tertentu baik yang bersifat verbal maupun non verbal dan pengetahuan tentang bagian detail dan unsur-unsur (knowledge of specific details and element) mencakup pengetahuan tentang kejadian, orang, waktu dan informasi lain yang sifatnya sangat spesifik. 2. Pengetahuan Konseptual

(18)

pengetahaun tentang kelasifikasi dan kategori, pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi, dan pengetahuan tentang teori, model, dan sruktur.

3. Pengetahuan Prosedural

Pengetahuan tentang bagaimana mengerjakan sesuatu, baik yang bersifat rutin maupun yang baru. Seringkali pengetahuan prosedural berisi langkah-langkah atau tahapan yang harus diikuti dalam mengerjakan suatu hal tertentu. 4. Pengetahuan Metakognitif

Mencakup pengetahuan tentang kognisi secara umum dan pengetahuan tentang diri sendiri. Penelitian-penelitian tentang metakognitif menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangannya siswa menjadi semakin sadar akan pikirannya dan semakin banyak tahu tentang kognisi, dan apabila siswa bisa mencapai hal ini maka mereka akan lebih baik lagi dalam belajar.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoadmojo, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain ;

1. Pendidikan

(19)

2. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

3. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis (mental), dimana pada aspek psikologi ini taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa.

4. Minat

Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang mendalam.

5. Pengalaman

Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu baik dari dalam dirinya ataupun lingkungannya. Pada dasarnya pengalaman mungkin saja menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi individu yang melekat menjadi pengetahuan pada individu secara subjektif.

6. Informasi

Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Wahid, 2007).

2.2.2 Sikap (Attitude)

(20)

terbentuk sebelum mendapat informasi, melihat atau mengalami sendiri suatu objek.

Allport (1954), menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).

Ketiga komponen ini membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni ;

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek. 2. Merespons (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti menerima ide tersebut.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

(21)

Menurut Ahmadi (2003), sikap dibedakan menjadi:

a. Sikap positif, yaitu : sikap yang menunjukkan menerima terhadap norma yang berlaku dimana individu itu berada.

b. Sikap negatif, yaitu : sikap yang menunjukkan penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma yang berlaku dimana individu itu berada.

Sikap tidaklah sama dengan perilaku serta kadang-kadang sikap tersebut baru diketahui setelah seseorang itu berperilaku. Tetapi sikap selalu tercermin dari perilaku seseorang (Ahmadi, 2003).

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, melalui pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek secara tidak langsung dilakukan dengan pertanyaan hipotesis, kemudian dinyatakan pendapat responden.

2.2.3 Tindakan

Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap suatu perbuatan nyata. Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimilus dalam bentuk nyata atau terbuka (Notoatmodjo, 2003).

(22)

menjadi suatu tindakan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi fasilitas yang memungkinkan (Ahmadi, 2003).

Menurut Notoatmodjo (2005), tindakan adalah gerakan atau perbuatan dari tubuh setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam maupun luar tubuh suatu lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut. Secara biologis, sikap dapat dicerminkan dalam suatu bentuk tindakan, namun tidak pula dapat dikatakan bahwa sikap tindakan memiliki hubungan yang sistematis.Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh karena itu disebut juga over behavior.

Menurut Notoatmodjo (2005), empat tingkatan tindakan adalah :

1. Persepsi (Perception), memiliki berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang diambil.

2. Respon terpimpin (Guided Response), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.

3. Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.

4. Adaptasi (Adaptation), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

(23)

faktor predisposisi seperti pengetahuan, sikap keyakinan, dan nilai, berkanaan dengan motivasi seseorang bertindak. Faktor pemungkin atau faktor pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Terakhir faktor penguat seperti keluarga, petugas kesehatan dan lain-lain.Jadi, dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

2.3 Kepadatan Hunian

2.3.1 Definisi Kepadatan Hunian

Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan berbagai penyakit. Semakin padat hunian, maka perpindahan penyakit, terkhusus penyakit melalui udara, akan semakin cepat. Oleh sebab itu, kepadatan dalam rumah atau kediaman tempat tinggal juga merupakan variabel yang amat berperan dalam kejadian penyakit Tuberkulosis Paru (Achmadi, 2008).

(24)

kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan dari penghuni hunian tersebut, salah satunya adalah kebiasaan merokok dan didukung oleh keterbatasan pengetahuan akan bahaya dari kebiasaan tersebut mempengaruhi peningkatan penularan penyakit di dalam suatu hunian.

Secara umum penilaian kepadatan hunian menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan yang diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥10 m²/orang

dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni <10 m²/orang (Lubis, 1989). 2.3.2 Kepadatan Hunian di Rutan

Rumah Tahanan Negara menurut Dirjen Pemasyarakatan Depkeh RI (1986) adalah unit pelaksana teknis dibidang penahanan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman.

Struktur organisasi Rumah Tahanan Negara (Rutan) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04.0PR.07.03 Tahun 1985 diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) klas, yaitu: (a) Rumah Tahanan Negara Klas I, (b) Rumah Tahanan Negara Klas IIA dan (c) Rumah Tahanan Negara Klas IIB serta didukung oleh Cabang Rutan. Klasifikasi tersebut didasarkan atas kapasitas dan lokasi.

(25)

baik, dan didukung dengan peralatan tidur yang memadai serta memenuhi rasa aman bagi tahanan.Bangunan Rutan pun semestinya dilengkapi pula dengan sarana-sarana lain yang memenuhi kebutuhan proses pelayanan tahanan. Ruang untuk konsultasi hukum, penyediaan ruang khusus untuk konseling, ruang untuk kegiatan, ruang untuk pendidikan, dan ruang perawatan kesehatan.

Konsep Departemen Kesehatan RI yang menggunakan luas lantai kamar minimal sebesar 4,5 m² dan anak-anak usia usia 1-10 tahun memerlukan 1,5 m², sedangkan ketentuan luas ruangan untuk setiap orang di Rutan dan Lapas menurut Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan tahun 2005 adalah 1,80 x 3,00 meter/orang.Kepadatan penghuni dalam masing-masing kamar di suatu Rutan akan memberi pengaruh bagi para penghuninya, yaitu para narapidana. Luas kamar yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubelan (overcrowded).

Hal ini tidaklah sehat apalagi jika terjadi di Rutan, disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga akan menyebabkan semua penghuni rentan terkena penyakit infeksi menular, terkhusus penyakit tuberkulosis paru akan dengan mudah menular antara satu penghuni dengan penghuni lainnya, dimana rata-rata seorang penderita tuberkulosis paru dapat menularkan kepada 2-3 orang dalam suatu ruangan.

(26)

seluruh Lapas dan Rutan di Indonesia tahun 2011 juga menunjukkan dari 7.972 suspek TB, ditemukan 911 kasus TB yang diantaranya 757 kasus BTA positif dan sebanyak 66 orang diantaranya meninggal dunia.

Hal ini semakin jelas menunjukkan bahwa penyakit TB masih menjadi masalah kesehatan yang urgen di Rutan.Kondisi ini diperparah dengan situasi yang ada pada Rutan-Rutan di Indonesia dimana sebagian besar menampung WBP atau Tahanan melebihi kapasitas. Hingga bulan Juli 2012 diperoleh data dari 431 Lapas dan Rutan yang mempunyai kapasitas menampung 99.748 orang, saat ini justru dihuni oleh 151.723 orang, yang berarti menampung kelebihan kapasitas sebanyak 51.975 orang atau 52% (Ditjen PAS, 2012). Kelebihan ini tidaklah merata pada semua Rutan dan Lapas, ada yang kelebihan kapasitas mencapai 100% bahkan ada yang kelebihan hingga 400%.

Tabel 2.1 Gambaran Kondisi Lapas dan Rutan di Indonesia (2009-2011)

2009 2010 2011

Lapas dan Rutan 434 434 434

Bapas 72 72 72

Kapasitas Normal 90.855 95.908 97.219

Jumlah Penghuni 131.116 127.082 140.217

Over Kapasitas 44% 32% 44%

Sumber: Dirjen PAS, 2012 Keterangan :

(27)

2. Jumlah Lapas dan Rutan tahun 2010 adalah 434 dengan kapasitas normal 95.908 orang yang kemudian diisi oleh narapidana dan tahanan sejumlah 127.082orang yang dengan demikian mengalami overkapasitas sekitar 32 % 3. Jumlah Lapas dan Rutan tahun 2011 adalah 434 dengan kapasitas normal 97.219 orang yang kemudian diisi oleh narapidana dan tahanan sejumlah 140.217orang yang dengan demikian mengalami overkapasitas sekitar 44 %

Pemerintah sejatinya mempunyai kewajiban untuk membina para narapidana/tahanan/anak didik supaya menjadi lebih baik kehidupannya, salah satunya dengan kewajiban menyediakan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar pelayanan minimal dalam hal ini akses terhadap pelayanan diagnosis yang bermutu serta pengobatan tuberkulosis paru yang efektif. Walaupun perhatian terhadap pasien tuberkulosis paru di Rutan dan Lapas di Indonesia sudah mulai berjalan dan diperkuat dengan Nota Kesepahaman antara Ditjen Pemasyarakatan dengan Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan tentang penanggulangan tuberkulosis paru di Rutan dan Lapas, namun strategi yang efektif yang dapat digunakan dalam hal mengefektifkan yaitu Strategi DOTS sangatlah dibutuhkan. Kebijakan sistem pelayanan kesehatan di Rutan dan Lapas sangat diperlukan untuk menjamin kesinambungan dan peningkatan kepedulian terhadap kualitas pelayanan kesehatan dalam Rutan dan Lapas (Ditjen Pemasyarakatan RI, 2007).

(28)

kemitraan dengan Rutan dimulai secara bertahap pada tahun 2007.Pada tahun 2011, jumlah seluruh Lapas dan Rutan di seluruh Indonesia adalah 434 dan dari jumlah keseluruhan tersebut Lapas dan Rutan yang memiliki fasilitas pelayanan kesehatan untuk TB DOTS berjumlah sebanyak 217 Rutan di 15 propinsi, yang notabene melakukan pencatatan laporan TB berjumlah 150 Lapas dan Rutan. Adapun kegiatan yang telah dilaksanakan dalam kesepakatan itu seperti sosialisasi program TB DOTS kepada Kanwil, Kepala Rutan, Kepala Lapas dan Kepala Bapas serta petugas kesehatan.

Kepadatan hunian merupakan faktor awal yang sangat berperan ( pre-requisite) dalam proses penularan penyakit, semakin padat hunian tersebut maka perpindahan penyakit khususnya penyebaran penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itulah kepadatan hunian dalam suatu ruangan, dalam hal ini rumah tahanan, merupakan variabel yang berperan dalam kejadian tuberkulosis paru.

2.4 Kualitas Lingkungan Fisik

2.4.1 Definisi Kualitas Lingkungan Fisik

(29)

sehat tidak dapat terlepas dari keadaan lingkungan sekitarnya. Bilamana seseorang berada di lingkungan kotor , orang tersebut akan merasa tidak nyaman dan sangat rentan terserang penyakit. Oleh karena itu pengelolaan lingkungan menjadi sangat penting dan menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan agar dapat hidup dengan sehat.Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimal juga (Notoatmodjo, 2000).

2.4.2 Kelembaban

Kelembaban udara ialah presentase jumlah kandungan air dalam udara (Depkes RI, 1989). Kelembaban udara dalam rumah minimal 40%-70% dan suhu ruangan yang ideal antara 18°C - 30°C (Keman, 2005). Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas, akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocok juga untuk beristirahat. Sebaliknya, bila kondisi kelembaban udara terlalu dingin akan tidak menyenangkan, pada orang-orang tertentu malah dapat menimbulkan alergi (Atmosukarto, 2000). Hal ini sangat perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah atau sebuah ruangan tentu akan semakin mempermudah perkembangbiakan mikroorganisme yang antara lain bakteri spiroket, ricketsia, dan virus.

(30)

merupakan media yang sangat bagus bagi banyak bakteri termasuk bakteri tuberkulosis (Atmosukarto, 2000).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mulyadi (2003) di Kota Bogor, penghuni rumah yang mempunyai kelembapan ruang keluarga lebih besar dari 60% sangat berisiko terkena TBC 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembapan udara lebih kecil atau sama dengan 60%.

Secara normal, proporsi udara lebih kurang 79% nitrogen, 20% oksigen, serta sisanya tidak melebihi 1% yang ditempati bahan-bahan seperti argon, karbondioksida, karbonmonoksida, ozon, SO2, dan sebagainya. Apabila menyimpang dari kondisi normal tersebut, atau ada jenis komponen yang berubah konsentrasinya pada waktu dan tempat tertentu, akibatnya akan timbul dampak yang disebut pencemaran udara (Achmadi, 2008).

Komponen yang harus dipenuhi setiap ruangan yang sehat adalah memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki pengaruh terhadap proses kejadian tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi para penghuninya (Azwar, 1996). Hal ini didukung oleh penelitian Mahfudin (2006) bahwa kondisi ruangan yang berlantaikan tanah memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian tuberkulosis paru dengan OR (Odds Ratio) 2,2(1,135;4,269).

(31)

menyebabkan potensi penularan Tuberkulosis paru menjadi lebih besar (Achmadi, 2008).

2.4.3 Intensitas Cahaya

Setiap ruangan, tak terkecuali rumah tahanan dan lapas, memerlukan intensitas cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak.Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan, terutama cahaya matahari, di samping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang sangat baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya yang masuk ke dalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya bisa merusak penglihatan mata. Notoatmodjo, (2007) membedakan cahaya menjadi 2 jenis, yaitu:

1. Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen dalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh karena itu, ruangan yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogianya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15-20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan. Perlu diperhatikan juga agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain.

2. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, dan sebagainya.

(32)

suatu ruangan pada jarak 85 cm di atas lantai maka intensitas penerangan minimal tidak boleh kurang dari 5 foot-candle (Mukono, 2006).

Kuman TB sangat sensitif terhadap cahaya ultraviolet. Cahaya matahari yang berisikan antara lain sinar ultraviolet sangat berperan besar dalam membunuh kuman-kuman tersebut. Sinar matahari langsung dapat membunuh baksil tuberkulosis paru hanya dalam waktu singkat 5 menit, namun kuman-kuman dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun di tempat yang gelap atau kurang mendapat sinar matahari.Cahaya matahari yang ideal untuk suatu ruangan minimal masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan (Menkes RI, 1999).

Pencahayaan ruangan yang tidak memenuhi syarat akan berisiko 2,5 kali terkena TB daripada yang penghuni yang memenuhi syarat. Semua cahaya pada dasarnya dapat mematikan segala jenis kuman penyakit, namun tentu itu tergantung dari jenis dan lamanya intensitas cahaya itu sendiri (Achmadi, 2008).

2.4.4 Suhu

Suhu merupakan salah satu unsur atau bagian yang sangat mempengaruhi dari suatu iklim, selain pola angin dan curah hujan.Pengertian iklim sendiri yaitu rata-rata cuaca pada suatu wilayah tertentu.Oleh sebab itu suhu juga sangat erat kaitannya dengan cuaca.“Weather refers to the day-to-day state of the

atmosphere, characterized by meteorological faktors such as temperature, humidity, precipitation, and winds” (National Research Council US, 2001).

(33)

mendung, panas atau hujan. Akan tetapi hal ini dikecualikan untuk pengatur suhu buatan, semisal Air Conditioner (AC) (Achmadi, 2008).

Suhu ruangan yang ideal yaitu berkisar antara 18-30°C, dan suhu tersebut dipengaruhi oleh; suhu udara luar, pergerakan udara, dan kelembaban udara ruangan (Mukono, 2006).Senada dengan Mukono, Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan juga mengatakan suhu udara yang nyaman dalam sebuah rumah berada pada kisaran 18°C - 30°C. Sebaiknya juga suhu/temperatur udara dalam ruangan harus lebih rendah paling sedikit 4°C dari temperatur udara luar untuk daerah tropis. Umumnya temperatur ruangan 22°C-30°C sudah cukup segar yang memungkinkan aman dari penularan penyakit infeksi menular seperti TB.

2.5 Pemeriksaan Kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan

Hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan merupakan standar internasional hak asasi manusia yang penting. Hak ini tidak hilang meskipun seseorang menjadi narapidana. Tanggung jawab untuk menjamin penghormatan atas hak ini pindah ke Rutan atau Lapas karena narapidana tidak bisa melakukan semua ini secara mandiri (Nemberini, 2007).

(34)

Lapas, maka dokter tersebut yang akan mengunjungi narapidana. Hal tersebut berlaku juga untuk dokter gigi, dan untuk ahli kesehatan jiwa (Nemberini, 2007).

Paramedis harus memberikan perawatan kesehatan di lapas. Dokter dan perawat yang berkualitas harus tersedia. Petugas lapas juga harus membantu mengidentifikasi narapidana yang mungkin sakit, dan memberikan pertolongan pertama kepada narapidana yang cedera. Petugas lapas tidak boleh menghalangi warga binaan pemasyarakatan yang membutuhkan perawatan kesehatan, justru mereka harus membantu narapidana untuk menemui petugas medis. Ini juga berlaku untuk semua warga binaan pemasyarakatan baik itu yang sangat jahat sekalipun. Semua tergantung petugas medis untuk memutuskan apa yang perlu dilakukan terhadap warga binaan pemasyarakatan, dan bukan petugas Rutan atau Lapas (Nemberini, 2007).

(35)

setiap cairan tubuh yang tertumpah seakan-akan itu menular, dan karenanya, desinfeksi harus dilakukan secepatnya, menggunakan desinfektan yang telah disetujui dan efektif (Nemberini, 2007).

2.6 Upaya Pengendalian Tuberkulosis Paru di Rutan dan Lapas

Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) TB sangatlah penting peranannya untuk mencegah tersebarnya Mycobacterium tuberculosis ini. Hal ini penting dilaksanakan bukan saja untuk mencegah penularan dari WBP dan Tahanan juga ke petugas. Situasi Lapas dan Rutan yang melebihi kapasitas, sanitasi lingkungan kurang memadai, pengendalian infeksi yang belum dilaksanakan secara maksimal, dan tidak tersedianya sarana penunjang lainnya, dapat mengakibatkan peningkatan jumlah kasus TB dan tidak menutup kemungkinan timbul kasus TB MDR. Sesuai dengan karakteristik penularan kuman TB melalui udara, maka kewaspadaan transmisi airborne menjadi fokus utama upaya PPI TB di Lapas dan Rutan (Petunjuk Teknis Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB di Lapas dan Rutan, 2012)

2.6.1 Kebijakan PPI TB di Lapas dan Rutan

PPI TB di Lapas dan Rutan dimulai dengan adanya komitmen dari pimpinan dan seluruh petugas di Lapas dan Rutan untuk melaksanakan empat pilar pengendalian, yaitu :

1. Pilar Manajerial

(36)

Upaya penguatan bagi PPI TB ini meliputi penetapan secara tertulis: a. Penanggung jawab PPI TB adalah Kepala Lapas dan Rutan

b. Struktur PPI TB disesuaikan dengan Tim TB DOTS yang telah terbentuk, dengan penunjukan koordinator PPI di Lapas dan Rutan. c. Rencana Kegiatan PPI TB tidak hanya diterapkan di Poliklinik tetapi

juga di blok/kamar hunian di Lapas dan Rutan (Kemenkumham, 2012).

Rencana PPI TB ini perlu disusun oleh kelompok PPI TB sebagai bagian dari dan terintegrasi dengan program PPI untuk setiap fasilitas pelayanan kesehatan.

Rencana kegiatan PPI TB ini meliputi : 1. Skrining gejala TB dilaksanakan :

a. Segera (kurang dari 24 jam) setelah WBP dan Tahanan yang baru masuk Lapas dan Rutan

b. Skrining massal dilakukan minimal 1 kali dalam setahun bagi semua WBP dan Tahanan.

c. Kunjungan Pasien ke Poliklinik pada pasien dengan keluhan

“Batuk” dan pada pasien ODHA.

d. Pelacakan kontak yang sekamar dengan pasien TB

(37)

3. WBP dan Tahanan yang merupakan suspek TB dan pasien TB harus dipisahkan dari pasien penyakit lainnya, dan ditempatkan pada ruang perawatan khusus atau ruang isolasi kesehatan

4. Pelaksanaan Triase (pemilahan) pada poliklinik yaitu dengan melakukan pemisahan pasien yang berkunjung ke Poliklinik dengan keluhan batuk dari pasien yang lain.

5. Menempatkan semua suspek dan pasien TB di ruang tunggu yang mempunyai ventilasi baik (berada di tempat terbuka).

6. Mempercepat proses pelayanan kesehatan bagi WBP dengan keluhan batuk, sehingga waktu mereka berada di klinik dapat dipercepat.

7. Penyuluhan WBP dan Tahanan mengenai Etika batuk. Penyediaan tisu atau masker, serta tempat pembuangan tisu maupun pembuangan dahak yang benar (ditempat yang sudah ditentukan).

8. Pengambilan dahak pada pasien suspek TB dan pasien TB dilakukan di tempat terbuka yang terkena sinar matahari didampingi oleh petugas. Tujuan Pengumpulan dahak pagi hari diharapkan suspek TB dan pasien TB ditempatkan pada ruang perawatan atau di ruang yang sudah ditentukan.

(38)

10. Menjalankan dan mempertahankan upaya pengendalian lingkungan (baca Pilar Pengendalian Lingkungan)

11. Menjamin dilaksanakannya upaya perlindungan diri yang adekuat bagi petugas dan mereka yang bertugas ditempat pelayanan, maupun di kamar hunian WBP dan Tahanan

12. Melaksanakan pelatihan dan pendidikan mengenai PPI TB dan sosialisasi rencana kegiatan PPI TB bagi semua petugas.

13. Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala bagi petugas minimal 1(satu) tahun sekali untuk penyaringan kemungkinan terkena TB, serta menyediakan pelayanan VCT (Voluntary Counseling and Testing) bagi petugas bila diperlukan.

14. Melakukan pemantauan akan pelaksanaan rencana kegiatan PPI TB, dan melakukan koreksi terhadap pelaksanaan yang tidak berjalan atau kegagalan menerapkan kebijakan dan prosedur PPI TB (Kemenkumham, 2012).

2. Pilar Pengendalian Administratif

(39)

Upaya ini mencakup:

1. Melaksanakan skrining gejala TB menggunakan form skrining

2.WBP dan Tahanan yang sudah terdiagnosis TB segera diberikan pengobatan sesuai standar nasional (Strategi DOTS)

3. Melaksanakan triase dan pemisahan kasus batuk dan non batuk

4. Pemisahan blok/kamar antara WBP dan Tahanan yang terinfeksi penyakit TB dengan non TB.

5. WBP dan Tahanan dengan TB ditempatkan pada Lantai dasar dengan ventilasi yang sesuai dengan kaidah PPI TB.

6. Menerapkan Etika batuk dan menyediakan media KIE

7. Mengurangi waktu pasien dengan keluhan batuk berada di klinik Lapas dan Rutan dengan mendahulukannya.

8. Menyediakan ruangan perawatan khusus dengan ventilasi cukup bagi pasien yang sudah terdiagnosis TB untuk diisolasi selama 2 (dua) minggu pertama fase intensif pengobatan WBP yang positif terinfeksi TB.

9. Menyiapkan suatu sistem rujukan yang jelas, sehingga pelayanan lebih efisien dan efektif (Kemenkumham, 2012).

3. Pilar Pengendalian Lingkungan

(40)

(Bila tidak memungkinkan pengaturan ventilasi tersebut bisa ditambah dengan penggunaan radiasi ultraviolet sebagai Germisida). Dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyebaran Kuman TB di Lapas dan Rutan perlu dilakukan pembagian area / zonifikasi (Area Zoning) dimana area untuk perawatan TB di Lapas dan Rutan sebaiknya diletakkan pada suatu area yang tidak dapat secara langsung menularkan kuman TB pada WBP dan tahanan serta petugas maupun pengunjung secara langsung (Kemenkumham, 2012).

4. Pilar Alat Pelindung Diri

Adalah upaya untuk melindungi petugas Lapas dan Rutan yang bekerja di lingkungan dengan kontaminasi percik renik (Kuman TB) di udara yang tidak dapat dihilangkan seluruhnya dengan pengendalian administrasi dan lingkungan

Alat Pelindung Diri Pernafasan melindungi petugas kesehatan di tempat mana konsentrasi percik renik (Kuman TB) tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan. Petugas perlu menggunakan respirator partikulat pada saat melakukan prosedur yang berisiko tinggi, misalnya bronkoskopi, intubasi, induksi sputum, aspirasi sekret saluran napas,dan pembedahan paru. Selain itu, respirator partikulat ini juga perlu digunakan saat merawat pasien atau tersangka pasien TB MDR dan TB XDR (Kemenkumham, 2012).

(41)

2.7 Kerangka Konsep

Gambar 2.1 Kerangka Konsep II. Kepadatan Hunian

III. Lingkungan Fisik : 1. Kelembaban

2. Intensitas Cahaya 3. Suhu

I. Faktor Perilaku : 1. Pengetahuan 2. Sikap

3. Tindakan

Tingkat Risiko Penularan Tb Paru di Rutan :

- Tinggi

Gambar

Tabel 2.1 Gambaran Kondisi Lapas dan Rutan di Indonesia (2009-2011) 2009 2010 2011
Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar Berbasis Web pada Materi Karbohidrat Yang

Sistem pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri antara lain kelas yang tertutup di sekolah yang juga tertutup dari lingkungan sekitarnya; setting ruangan yang statis dan

[r]

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Tugas Akhir (TA) dengan judul

Posyandu (Pos Layanan Terpadu) Joko Tingkir VIII merupakan pelayanan masyarakat yang bergerak pada bidang kesehatan balita. Pencatatan posyandu menggunakan media

Berdasarkan kesimpulan dan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, beberapa saran yang dapat sampaikan antara lain (1) perlunya dilakukan penelitian lebih

berbasis web menggunakan framework CodeIgniter dan Materialize CSS sesuai perancangan proses pada tahap kedua. 4) Tahap keempat: Pengujian sistem dan Analisis

proses enkripsi dimana hasil dari proses ke-2 dan ke-3 ditransformasi menggunakan tabel substitusi S-Box sehingga menghasilkan Ciphertext yang lebih acak pada pengujian