BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis (Djojodibroto, 2009). Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia. Hingga saat ini belum ada satu negara pun yang bebas TB. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis ini pun tinggi. Di dunia pada tahun 2009, 1.7 juta orang meninggal karena TB (600.000 diantaranya perempuan) sementara ada 9.4 juta kasus baru TB (3.3 juta diantaranya perempuan). Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular TB dimana sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55 tahun) (Depkes, 2011). Sementara total estimasi insidensi (kasus baru) TB di Indonesia yang dilaporkan oleh WHO dalam Global Report 2011 adalah 450.00 pertahun dengan prevalensi sekitar 690.000 pertahun (Depkes, 2012).
Menurut Yoga, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan tingginya kasus TB di Indonesia. Waktu pengobatan TB yang relatif lama (6-8 bulan) menjadi penyebab penderita TB sulit sembuh karena pasien TB berhenti berobat (drop) setelah merasa sehat meski proses pengobatan belum selesai. Selain itu, masalah TB diperberat dengan adanya peningkatan infeksi HIV/AIDS yang berkembang cepat dan munculnya permasalahan TB-MDR (Multi Drug Resistant = kebal terhadap bermacam obat). Masalah lain adalah adanya penderita TB laten, dimana penderita tidak sakit namun akibat daya tahan tubuh menurun, penyakit TB akan muncul (Depkes, 2011).
Beberapa jenis obat yang digunakan untuk mengobati TB dari golongan aminoglikosida – sekelompok antibiotik yang digunakan untuk melawan beberapa jenis bakteri (Katijah et al., 2009). Antibiotik ini paling terkenal menyebabkan ototoksik, terutama mengenai sistem ginjal dan vestibulo-koklear (Katijah et al., 2009). Namun, sejumlah besar pasien TB yang diobati dengan streptomisin ditemukan mengalami gangguan fungsi koklea dan vestibular yang menetap (Katijah et al., 2009). Aminoglikosida menghasilkan radikal bebas di telinga
dalam dengan merusak sel sensorik dan neuronnya sehingga menyebabkan gangguan pendengaran yang permanen (Duggal dan Sarkar, 2007). Gejala audiologi dari toksisitas streptomisin meliputi: hilangnya sel-sel rambut di daerah basal diikuti degenerasi saraf pada koklea menyebabkan gangguan pendengaran frekuensi tinggi, tinnitus, serta gelaja vestibular disebabkan oleh hilangnya sel-sel rambut di krista kanalis semisirkularis dan makula. Pasien mungkin juga hadir dengan keadaan tidak tenang, ataksia, mual dan atau muntah (Katijah et al., 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Katijah et al. (2009) melaporkan sekitar 75% pasien TB yang dievaluasi dalam penelitian mereka mengalami gangguan pendengaran sensorineural frekuensi tinggi. Insidensi ototoksisitas pada penderita TB yang diobati dengan aminoglikosida tergantung pada durasi dan dosisnya (Xie et al., 2011). Penelitian yang dilakukan di India oleh Duggal dan Sarkar (2007) juga melaporkan 18.75% pasien yang menggunakan second line aminoglikosida karena resisten terhadap pengobatan TB mengalami gangguan pendengaran frekuensi tinggi (4000-8000 Hz) dan secara progresif mempengaruhi frekuensi rendah (500, 1000, 2000 dan 3000 Hz) pada 6.25% pasien sehingga mempengaruhi kemampuan berbahasanya.
Masalah pendengaran karena ototoksisitas obat mungkin terjadi dari beberapa menit sampai beberapa hari setelah pemberian obat. Untuk itu, harus dicurigai pasien dengan gangguan pendengaran setelah selesai menggunakan terapi aminoglikosida selama beberapa bulan (Katijah et al., 2009). Sebagai hasil diketahuinya efek ototoksik pada beberapa penggunaan obat anti tuberkulosis, menjadi hal yang penting untuk menyadarkan pasien yang menerima pengobatan TB terhadap tanda-tanda ototoksisitas dan kapan harus berkonsultasi pada
audiolog dan atau otolaringologis untuk mengidentifikasi awal terjadinya efek ototoksik (Katijah et al., 2009). Gangguan dengar atau keseimbangan yang permanen akibat penggunaan obat ototoksik dapat menimbulkan akibat yang serius pada aspek komunikasi, pendidikan dan sosial dari kehidupan pasien sehingga penggunaan obat ototoksik harus dipertimbangkan dengan baik manfaat dan resikonya dan penggunaan obat alternatif dapat dipertimbangkan (Santosa, 2010). Sejauh ini, belum didapatkan data yang tersedia dan akurat mengenai
penderita TB yang menderita gangguan pendengaran di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
Berdasarkan beberapa data di atas dapat dilihat bahwa hubungan pemakaian obat anti tuberkulosis dengan gangguan pendengaran menjadi suatu masalah yang harus diperhatikan. Oleh karena itu penulis tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan gangguan pendengaran pada penderita tuberkulosis paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2013.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah hubungan pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan gangguan pendengaran pada penderita tuberkulosis (TB) paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2013?
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pemakaian obat anti tuberkulosis (OAT) dengan gangguan pendengaran pada penderita tuberkulosis (TB) paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2013.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi penderita TB paru berdasarkan umur.
2. Mengetahui distribusi penderita TB paru berdasarkan jenis kelamin. 3. Mengetahui distribusi penderita TB paru berdasarkan jenis OAT. 4. Mengetahui distribusi penderita TB paru berdasarkan durasi
penggunaan OAT.
5. Mengetahui distribusi penderita TB paru berdasarkan fungsi pendengaran.
6. Mengetahui distribusi penderita TB berdasarkan keluhan yang berhubungan dengan pendengaran dan vestibular.
7. Mengetahui prevalensi gangguan pendengaran pada pasien TB yang mendapatkan OAT.
8. Mengetahui hubungan pemakaian OAT dengan gangguan pendengaran.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Masyarakat
Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran kepada pengguna obat anti tuberkulosis agar memperhatikan hubungan pemakaian obat anti tuberkulosis dengan gangguan pendengaran.
2. Subjek penelitian
Sebagai bahan masukan bahwa penggunaan OAT dapat menyebabkan gangguan pendengaran sehingga dapat dilakukan pencegahan gangguan pendengaran sedini mungkin.
3. Peneliti
Untuk menambah wawasan bagi penulis tentang hubungan pemakaian obat anti tuberkulosis dengan gangguan pendengaran serta melatih keterampilan penulis dalam memeriksa fungsi pendengaran.
4. Penelitian selanjutnya
Sebagai bahan masukan bagi penelitian selanjutnya.