A. Pengaturan Hukum Pidana Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online
Dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
Ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana prostitusi melalui media
online meliputi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Perdagangan Manusia dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Dalam KUHP sendiri, kejahatan kesusilaan diatur dalam BAB XIV yaitu
dalam Pasal 281-303, namun Pasal yang mengatur khusus mengenai pelacuran adalah
Pasal 296, Pasal 297, dan Pasal 506.50
Namun keempat pasal ini tidak menekankan
kepada pelacurnya tetapi kepada laki-laki yang melakukan persetubuhan dan pihak
yang mempermudah pelacuran tersebut atau penyedia tempat-tempat pelacuran.
50 R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap
1. Pasal 296 KUHP
Barangsiapa yang pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja
mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain dihukum
penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp15.000,00 (lima belas ribu rupiah).
Apabila rumusan di atas dirinci, terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
Unsur-unsur Objektif:
a. Perbuatannya: 1) menyebabkan dilakukannya perbuatan cabul;
2) mempermudah dilakukannya perbuatan cabul;
b. Objek: oleh orang lain dengan orang lain;
c. Yang dijadikannya: 1) sebagai pencaharian;
2) sebagai kebiasaan;
Unsur Subjektif:
d. Dengan sengaja
Seseorang yang dengan menjadikannya sebagai pencaharian dari kejahatan
inilah yang sebenarnya disebut dengan kopelaar atau germo atau mucikari. Orang
yang berkualitas sebagai mucikari, dipastikan dia menjalankan perbuatan
diketahuinya atau patut dapat diduganya orang yang dipermudah berbuat cabul belum
dewasa, mucikari tersebut masuk dalam kejahatan ini.51
1. Menurut Pasal 295 KUHP (ayat 1), orang yang dipermudah melakukan perbuatan
cabul itu adalah orang-orang yang berkualitas tertentu, yakni anaknya, anak
angkatnya, dan lain-lain yang belum dewasa. Sedangkan menurut Pasal 296
KUHP unsur-unsur itu tidak diperlukan.
Kejahatan menyebabkan dan mempermudah perbuatan cabul menurut pasal
ini, banyak persamaannya dengan kejahatan kesusilaan pada Pasal 295 KUHP,
persamaannya terletak pada sama-sama melakukan perbuatan menyebabkan dan
memudahkan perbuatan cabul pada orang lain dengan orang lain.
Perbedaan yang mencolok dapat dilihat dibawah ini.
2. Unsur dijadikan mata pencaharian dan kebiasaan menurut Pasal 295 KUHP
adalah berupa syarat atau alasan pemberatan pidana. Kejahatan dapat terjadi tanpa
harus dipenuhinya unsur dijadikan mata pencaharian atau kebiasaan. Sebaliknya,
menurut Pasal 296 KUHP ini adalah merupakan unsur esensial kejahatan, yang
artinya kejahtan tidak mungkin terjadi tanpa adanya unsur ini.
3. Objek korban yang perbuatan cabulnya dipermudah itu menurut Pasal 295 KUHP
haruslah orang yang belum dewasa. Sebaliknya, menurut Pasal 296 KUHP syarat
itu tidak diperlukan. Disini boleh dewasa dan boleh tidak.
51 Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Dalam kenyataannya, banyak orang yang menyewakan tempat peristirahatan
(rumah atau kamar) dan menyediakan pelacur-pelacur, yang bisa dipesan oleh setiap
orang (termasuk persetubuhan). Orang-orang yang disebut dengan mucikari atau
germo inilah yang menurut Pasal 296 KUHP ini dapat dipidana. Tetapi sangat jarang
kita mendengar para mucikari itu diusut oleh kepolisian dan diajukan penuntutan ke
pengadilan oleh jaksa penuntut umum. Pasal ini formal masih berlaku, tetapi pada
kenyataannya lebih banyak dianulir oleh aparat penegak hukum. Mungkin sebabnya
ialah adanya izin Pemerintah Daerah dalam suatu lokalisasi pelacuran. Jika demikian,
adanya izin adalah menjadi dasar pertimbangan sebagai alasan hapusnya sifat
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif dari suatu perbuatan. Akan
tetapi, sesungguhnya alasan penghapusan sifat melawan hukum materiil dalam
fungsinya yang negatif itu bukan pada adanya izin pemerintah daerah, tetapi adanya
pembenaran dari seluruh lapisan masyarakat, dan adanya pembenaran ini tidak harus
diwujudkan dalam izin, tetapi lebih tepat melalui putusan-putusan pengadilan,
sehingga menjadi yurisprudensi. Karena putusan pengadilan telah didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan yang cukup atas dasar fakta-fakta kehidupan masyarakat
tempat pelacuran itu telah diterima secara terbuka oleh seluruh lapisan
masyarakatnya, dasar peniadaan pidana yang didasarkan pada hapusnya sifat
melawan hukumnya perbuatan ini tidak berlaku umum, tetapi pada masyarakat
tertentu pada tempat tertentu.
2. Pasal 297 KUHP
Memperniagakan perempuan atau memperniagakan laki-laki yang belum dewasa,
dihukum penjara selama-lamanya enam tahun.
Kejahatan perdagangan perempuan dan anak laki-laki belum dewasa ini
ditambahkan ke dalam WvS Belanda dengan Stb. 1910 No. 289 yang bersumber pada
Traktat Paris 1910, dan ditempatkan menjadi Pasal 250 terr di WvS Belanda.
Kemudian ketika (1-1-1918) WvS itu diberlakukan dengan penyesuaian di Hindia
Belanda, ketentuan Pasal 250 terr tersebut dimasukkan menjadi Pasal 297 Wetboek
van Strafrecht voor Nederlandsch Indie kini KUHP.
Rumusan di atas jika dirinci terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Perbuatannya: memperdagangkan;
b. Objeknya: 1) perempuan;
2) anak laki-laki belum dewasa.
Kejahatan kesusilaan ini disebut atau diberi kualifikasi perdagangan
perempuan atau perdagangan anak laki-laki. Jadi, istilah perdagangan itu bukanlah
rumusan perbuatan, tetapi nama atau kualifikasi kejahatan, sama dengan
penganiayaan (Pasal 351). Sebenarnya di dalam istilah perdagangan telah terkandung
suatu perbuatan memperdagangkan, yang mengandung arti suatu transaksi yang satu
menyerahkan dan di pihak lain menerimanya dengan suatu imbalan atau pembayaran
Dalam kejahatan ini objek yang diperdagangkan adalah perempuan dan anak
laki-laki yang belum dewasa, yang ditujukan untuk maksud-maksud pencabulan,
termasuk arti khusus menjadikannya perempuan pelacur (untuk objek perempuan).
Walaupun dalam rumusan pasal ini tidak terkandung maksud demikian, tetapi melihat
latar belakang dibentuknya kejahatan ini adalah ditujukan untuk melindungi
kepentingan hukum perempuan dan anak laki-laki dari perbuatan yang menjadikan
seorang perempuan dan anak laki-laki sebagai pemuas nafsu seksual, kehendak
diperdagangkannya perempuan dan anak laki-laki akan digunakan untuk pemuas
seksual yang demikian harus ada. Sebab jika tidak ada kehendak yang demikian,
memperdagangkan perempuan dan anak laki-laki tidak masuk dalam Pasal 297, akan
tetapi dapat masuk ke dalam Pasal 324 mengenai kejahatan menjalankan perdagangan
budak.52
Dalam Pasal 297 KUHP memberikan ancaman pidana maksimal 6 tahun
penjara bagi pelakunya dirasakan terlalu ringan dan tidak memenuhi rasa keadilan.
Selain itu, dalam ketentuan tersebut tidak diatur ancaman pidana minimalnya.
Ancaman pidana tersebut dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan, mengingat
penderitaan yang dialami oleh para korban, harga diri dan martabatnya sebagai
manusia yang telah dirampas dan diinjak sedemikian rupa. Pada umumnya para
korban yang berasal dari golongan tidak mampu untuk memperoleh pekerjaan yang
dijanjikan tersebut, telah mengeluarkan materi dalam jumlah yang tidak sedikit. Hal
ini memungkinkan pelaku bebas. Unsur-unsur di dalam Pasal 297 tersebut
52
menunjukkan bahwa laki-laki dewasa tidak terlindungi oleh hukum apabila dia
menjadi korban perdagangan.53
3. Pasal 506 KUHP
Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan
menjadikan sebagai pencarian diancam dengan pidana kurungan paling lama satu
tahun.
Rumusan tersebut dapat dirinci sebagai syarat seseorang dapat diminta
pertanggungjawaban pidana harus memuat unsur sebagai berikut:
a. Unsur-unsur objektif:
1. Adanya usaha memudahkan atau memperlancar orang lain dalam
2. Tujuan dari perbuatan memudahkan atau memperlancar adalah untuk
perbuatan cabul
3. Menjadikannya sebagai mata pencaharian dan kebiasaan
b. Unsur –unsur subjektif:
1. Pelaku dalam keadaan jiwa yang sehat
2. Kesalahan berupa dengan sengaja
Pasal 506 ini hampir memiliki kesamaan dengan isi Pasal 296 KUHP dimana
ketentuan dalam kedua pasal ini lebih untuk menjerat kepada mucikarinya. Seseorang
yang mempermudah atau memperlancar tindakan pencabulan dan menjadikannya
sebagai pencaharian sehari-hari dari kejahatan inilah yang sebenarnya disebut dengan
53 Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.
kopelaar atau germo atau mucikari. Namun Pasal-Pasal dalam KUHP ini sebenarnya
hanya untuk menjerat tindak pidana prostitusi secara konvensional saja, dan
khususnya dalam beberapa pasal di atas hanya lebih menekankan kepada mucikari
atau germo atau kopelaar untuk dapat dijerat sebagai subjek hukum dan dikenai
hukuman.
2 Tindak Pidana Prostitusi Online di Luar KUHP
Selain diatur dalam KUHP, prostitusi online sebagai salah satu tindak pidana
juga diatur dalam perundang-undangan lainnya di luar KUHP, yaitu dalam UU RI
No. 11 Tahun 2008, UU RI No. 21 Tahun 2007, UU RI No. 44 Tahun 2008 dan UU
RI No. 23 Tahun 2002.
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Secara sosiologis, masyarakat memang memerlukan Undang-undang Nomor
11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk mengatur berbagai
aktivitas yang mereka lakukan selama berinteraksi di cyber space. Dinamika
globalisasi informasi telah menuntut adanya suatu aturan untuk melindungi
kepentingan para netter dalam mengakses pelbagai informasi.
Mengenai ketentuan pidana yang diatur oleh Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (Undang-Undang No.11 Tahun 2008) diatur dalam Pasal 27
Pasal 27 UU No.11 Tahun 2008
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Pelaku baru dapat diminta pertanggungjawaban apabila pelaku telah
melakukan perbuatan dan telah tercapainya tujuan dari perbuatan yang memenuhi:
a. Unsur-unsur objektif:
1. Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya
2. Sebuah informasi dan/atau dokumen yang bersifat elektronik
3. Informasi dan/atau dokumen yang bersifat elektronik melanggar
pelanggaran kesusilaan
b. Unsur-unsur subyektif:
1. Dengan adanya kesalahan
2. Dilakukan dengan sengaja, sadar akan ada aturan yang melarangnya
3. Keadaan jiwa yang sehat
Pertimbangan berkaitan dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 jika dilihat dari bagian menimbang salah satunya bahwa perkembangan
perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung
telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru dan bahwa
pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi informasi melalui
infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan teknologi informasi
dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan
nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimaksud dengan Informasi Elektronik
adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda,
angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan yang dimaksud
dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/ atau
didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu memahaminya (Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 11
Adapun perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat
(1) adalah “Perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan.” Dimana jika dikaitkan dengan tindak pidana
prostitusi online yang ruang lingkup pelaksanaan aktivitasnya dilakukan di internet
atau dunia cyber (maya) dengan menggunakan data-data atau dokumen elektronik
yang jelas berbeda pengaturan hukumnya dengan delik kesusilaan yang dikemukakan
dalam kejahatan konvensional seperti yang tertuang dalam KUHP. Sehingga untuk
menanggulangi masalah cyber crime di bidang kesusilaan khususnya tindak pidana
prostitusi online diberlakukanlah Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan menjamin kepastian hukum.
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Perdagangan orang (human trafficking) sangat mungkin terjadi dalam
prostitusi cyber. Larangan mengenai eksploitasi seksual di Indonesia diatur dalam
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang diatur dalam Pasal 1 angka 8, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No.21 Tahun 2007
Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau
organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak
terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
Pasal 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2007
1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (limabelas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5 Undang-Undang No.21 Tahun 2007
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau
memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 12 Undang-Undang No.21 Tahun 2007
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal-Pasal di atas adalah:
a. Unsur-unsur objektif:
1. menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk
dieksploitasi
2. menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan
orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul
KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya tersebut tidak merumuskan
pengertian perdagangan orang yang tegas dan lengkap secara hukum. Oleh karena itu,
lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Perdagangan Orang untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan
orang dan melindungi korban perdagangan orang.
Permasalahan mengenai perdagangan wanita yang terjadi saat ini semakin
canggih, hal ini disebabkan adanya peranan teknologi internet yang digunakan pelaku
tindak pidana perdagangan wanita (trafficking) didalam menjaring korban-korban
perdagangan wanita. Perkembangan internet membuka cakrawala baru dalam kajian
kriminologi terutama dalam kaitannya dengan kejahatan yang dilakukan dengan
menggunakan teknologi atau kejahatan berteknologi.54
54
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Mengenai ketentuan pidana yang diatur oleh Undang-Undang Pornografi
(Undang-Undang No.44 Tahun 2008) diatur dalam Pasal 30 juncto Pasal 4 (ayat 1),
secara singkat sebagai berikut:
Pasal 4 Undang-Undang No.44 Tahun 2008:
1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit, memuat:
a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang
b. Kekerasan seksual
c. Masturbasi atau onani
d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan
e. Alat kelamin atau
f. Pornografi anak
Pasal 30 Undang-Undang No.44 Tahun 2008:
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00(dua
ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar
rupiah).
Pada Pasal 30 jo Pasal 4 (ayat 1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
lebih mengkhususkan kembali unsur-unsur pidana yang harus dipenuhi supaya
perbuatan seseorang dapat dikenai pertanggungjawaban pidana. Berikut unsur-unsur
a. Unsur-Unsur Objektif:
1. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan dan tampilan eksplisit yang
mengesankan ketelanjangan
2. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin
3. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual
4. Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung
layanan seksual
b. Unsur-Unsur Subyektif:
1. Unsur kesalahan berupa “menyediakan”
2. Perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan jiwa yang sehat, normal
dan tidak cacat
Berkaitan dengan pornografi di internet, Roy Suryo mengemukakan:
Bahwa akses situs pornografi di internet umumnya dilakukan oleh pengguna internet pemula dan jumlahnya relatif sedikit. Hasil riset yang sudah dilakukan di Indonesia, menunjukkan bahwa persentase akses internet adalah untuk membaca e-mail (42%), membaca berita (39%), dan sisanya untuk mencari informasi produk, riset, chatting, dan surfing, dan 20% diantaranya dapat mengarah ke situs porno. Bahkan artikel tentang chatting (http:// mengarah ke pornografi, meskipun pada awalnya pemuatan artikel tersebut
memiliki tujuan sebagai program pengembangan kepribadian.55
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi terdapat
pada Pasal 30 Juncto Pasal 4 Ayat (1), pasal ini sudah dapat digunakan dalam
pembebanan pertanggungjawaban pidana karena unsur tindak pidana yang melekat
55Roy Suryo, “Hanya 20% Akses Situs Porno di Internet”,
pada tindak pidana prostitusi secara online telah diatur secara keseluruhan dalam
ketentuan Pasal 30 Juncto Pasal 4 Ayat (1).
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Eksploitasi seksual terhadap anak dan wanita, dewasa ini menunjukkan angka
yang sangat memprihatinkan. Dari sudut pandang manapun eksploitasi seksual
tersebut sangat tidak dibenarkan. Eksploitasi seksual pada anak tersebut semakin hari
berkembang semakin banyak dan memprihatinkan. Anak dalam kondisi kurang
matang jiwanya, sangatlah membutuhkan perlindungan dari berbagai pihak. Negara
Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya
termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia. Pada
tataran legislasi nasional, Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang dalam dasar pertimbangannya meletakkan dasar
perlindungan dan kesejahteraan bagi anak harus dijamin oleh negara dan harus
didukung oleh seluruh lapisan masyarakat.
Adapun ketentuan yang ada di dalam UU No.23 Tahun 2002 tersebut yang
berkaitan dengan perlindungan terhadap tindak pidana prostitusi pada anak yaitu:
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002:
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002:
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002:
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :
a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.
(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 78 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002:
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002:
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002:
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah)
Kasus eksploitasi seksual pada anak sangat berkaitan dengan prostitusi cyber
seksual. Kecenderungan ini disebabkan karena bisnis prostitusi dengan melibatkan
anak akan memberikan keuntungan yang lebih tinggi. Semakin muda usia pekerja
seks maka harga untuk jasa pelayanan seksual yang diberikan pun akan semakin
mahal. Di sisi lain anak-anak dengan kepolosannya akan lebih mudah untuk direkrut
menjadi pekerja seksual.
Pasal-pasal tersebut hanya terbatas pada anak yang dalam undang-undang
tersebut, bahwa anak adalah berumur sebelum berusia 18 tahun termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak memberikan ancaman hukuman yang cukup berat kepada pelaku
perdagangan orang. Ancaman hukuman untuk pelaku perdagangan anak lebih berat
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Perdagangan Orang