• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PAKAR DIAGNOSA PENYAKIT MENULAR PADA ANJING DENGAN ALGORITMA BACKWARD CHAINING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SISTEM PAKAR DIAGNOSA PENYAKIT MENULAR PADA ANJING DENGAN ALGORITMA BACKWARD CHAINING"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM PAKAR DIAGNOSA PENYAKIT MENULAR PADA

ANJING DENGAN ALGORITMA BACKWARD CHAINING

Maria Frederika Fresia*, Fajriah Isnaini*, Meidy Hemawatie W.A* School of Computer Science, Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia

INFORMASI ARTIKEL Kata kunci : sistem pakar backward chaining penyakit menular penyakit anjing vaksin ABSTRAK

Kesehatan anjing seringkali kurang diperhatikan oleh pemiliknya karena biaya yang cukup tinggi dan kesulitan menemukan dokter hewan. Tujuan penelitian ini adalah membuat sistem pakar yang dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit menular pada anjing yang disebabkan oleh infeksi bakteri dan virus yang telah memiliki vaksinasi di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah survei terhadap pemilik maupun peminat anjing dan wawancara dengan pakar hewan. Sistem pakar dibuat dengan menggunakan algoritma backward chaining dengan metode pencarian depth – first search berdasarkan gejala penyakit dominan yang telah ditentukan oleh pakar tanpa memerlukan catatan medis anjing. Hasil yang dicapai menunjukkan bahwa sistem pakar menghasilkan tingkat presisi yang cukup baik sebesar 76.7%.

1. Perkenalan

Anjing ialah hewan yang dapat beradaptasi dengan mudah dan menjadi teman baik manusia sehingga banyak yang disayangi (Setyarini, Putra, & Purnawan, 2013). Wells (2007) mengatakan bahwa anjing tidak hanya memfasilitasi aspek tertentu dari kesehatan fisik, namun juga kesehatan psikologis manusia. Potgieter et al. (2013) menyatakan bahwa anjing penjaga atau LGD (Livestock Guarding Dogs) juga merupakan metode populer di kalangan petani dan konservasionis untuk melindungi ternak dari predator.

Namun, banyak pemilik anjing yang tidak memperhatikan kesehatan peliharaan mereka karena membawa anjing ke dokter hewan membutuhkan biaya besar dan keberadaan dokter hewan yang masih jarang (Setyarini, Putra, & Purnawan, 2013). Selain itu, Saurkar dan Watane (2012) juga mengatakan bahwa hewan peliharaan tidak mampu berbicara dan mengekspresikan masalah kesehatan mereka. Hal ini menyebabkan seringkali pemilik hewan peliharaan kesulitan mengambil tindakan berdasarkan observasi terhadap pelihaaran mereka sehingga pemilik mencari bantuan melalui buku ataupun bertanya kepada pemilik lain yang lebih berpengalaman. Padahal, menurut Wells (2007) kematian seekor hewan pendamping dapat menimbulkan masalah, khususnya karena adanya hubungan dekat yang tercipta antara pemilik dan hewan pembantu mereka.

Tingginya minat terhadap anjing menyebabkan para pemilik membutuhkan informasi cara melindungi

dan merawat anjing mereka secara mudah tanpa perlu mengunjungi klinik atau dokter hewan (Setyarini, Putra, & Purnawan, 2013). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, diusulkan menggunakan sistem pakar dalam mencari informasi.

Setyarini, Putra, dan Purnawan (2013) membuat sistem pakar untuk mendeteksi penyakit anjing dengan membandingkan dua algoritma, yaitu metode Certainty Factor (CF) dan metode Dempster

– Shafer. Viswandha (2012) membuat sistem pakar

untuk mentransfer informasi teknis pada bidang pertanian dengan menggunakan metode forward

chaining. Nestorovic (2010) membuat sistem pakar

untuk mendeteksi penyakit pada anjing yang disederhanakan dengan membandingkan dua algoritma yaitu backward chaining dan forward

chaining dan melakukan pengoptimalan berdasarkan

algoritma alpha-beta pruning.

Berdasarkan penelitian yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa sistem pakar dapat dibuat dengan banyak metode. Diharapkan dengan adanya sistem pakar ini, pemilik anjing dapat dengan mudah menemukan informasi yang dibutuhkan berdasarkan kecocokan observasi dengan pengetahuan yang ada di dalam sistem.

2. Tinjauan Pustaka 2.1 Sistem Pakar

Menurut Giarratano & Riley (2005:5) Professor Edward Feigenbaunn dari Universitas Stanford, seorang ahli terdahulu teknologi sistem pakar

(2)

mendefinisikan sebagai program komputer cerdas yang menggunakan pengetahuan dan prosedur pendugaan untuk memecahkan masalah yang cukup sulit dimana membutuhkan seorang pakar untuk mendapatkan solusi yang signifikan.

Giarratano & Riley (2005:5) juga mengatakan bahwa yang dapat disebut sebagai pakar adalah seseorang yang memiliki pengetahuan atau keterampilan khusus yang tidak diketahui atau dimiliki oleh kebanyakan orang. Seorang pakar dapat memecahkan masalah yang kebanyakan orang tidak dapat memecahkan atau menyelesaikannya lebih efisien (tetapi tidak dengan mudahnya).

Gambar 1 menggambarkan konsep dasar dari sebuah knowledge-based sistem pakar (Giarratano dan Riley, 2005:6). Pengguna memberikan fakta atau informasi lain untuk sistem pakar dan menerima anjuran pakar atau kepakaran dalam merespon. Secara internal, sistem pakar terdiri dari dua komponen utama. Basis pengetahuan (knowledge-base) yang mengandung pengetahuan yang digunakan mesin inferensi (infence engine) untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan ini merupakan respon dari sistem pakar terhadap masukan dari pengguna untuk jawaban pakar.

Gambar 1

Basic Concepts of Expert System Functions (Giarratano and Riley, 2005:6)

2.2 Backward Chaining

Menurut Giarratano & Riley (2005:167) kumpulan dari serangkaian dugaan yang menghubungkan suatu masalah dengan solusinya disebut rantai. Rantai yang dilalui dari hipotesis kembali ke fakta (facts) yang mendukung hipotesis tersebut disebut backward chaining. Cara lainnya untuk mendeskripsikan backward chaining adalah dalam hal sebuah tujuan yang dapat dicapai dengan

subgoal yang memuaskan.

Giarratano & Riley (2005:168-169) mengatakan bahwa masalah utama dari backward

chaining adalah menemukan rantai yang menghubungkan bukti ke hipotesis. Dalam backward

chaining, penjelasan difasilitasi karena sistem dapat

dengan mudah menjelaskan secara tepat tujuan apa yang ingin dicapai. Berikut adalah beberapa karakteristik umum backward chaining. Sebagai catatan, karakter ini hanya berfungsi sebagai pedoman:

Diagnosa Present to past

Consequent to antecedent

Goal driven, top – down reasoning Work backward to find facts that

support the hypothesis Depth – first search facilitated Consequents determine search Explanation facilitated

Giarratano & Riley (2005:169-170) mengatakan pada dasarnya, konsep yang lebih tinggi yang terdiri atas konsep yang lebih rendah diletakkan di atas. Jadi pemikiran dari konsep yang lebih tinggi seperti hipotesa turun ke fakta yang lebih rendah yang mendukung hipotesa disebut sebagai top – down

reasoning atau backward chaining.

Gambar 2

Backward Chaining (Giarratano and Riley, 2005:171)

Giarratano & Riley (2005:170) menjelaskan konsep di atas bahwa untuk membuktikan atau menyangkal hipotesa H, setidaknya salah satu hipotesa di tengah, H1, H2, atau H3 harus terbukti. Dapat dilihat bahwa diagram di atas digambarkan sebagai AND – OR tree untuk menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, seperti H2, semua hipotesa di bawahnya harus terpenuhi untuk mendukung hipotesa H2. Pada kasus lainnya, seperti hipotesa paling atas, H, hanya membutuhkan satu hipotesa di bawahnya. Dalam backward chaining, sistem pada umumnya akan mendapatkan bukti dari pengguna untuk membantu dalam membuktikan atau menyangkal hipotesa.

Giarratano & Riley (2005:170-171) mengatakan satu aspek penting dalam mendapatkan bukti adalah dengan menanyakan pertanyaan yang tepat. Pertanyaan yang tepat adalah pertanyaan yang meningkatkan efisensi dalam menentukan jawaban yang benar. Satu kebutuhan yang pasti adalah sistem pakar hanya dapat menanyakan pertanyaan yang berhubungan dengan hipotesis yang hendak dibuktikan. Walaupun memungkinkan terdapat ratusan atau ribuan pertanyaan yang dapat ditanyakan sistem, terdapat kerugian waktu dan uang untuk memperoleh bukti untuk menjawab pertanyaan

(3)

tersebut. Selain itu, mengakumulasikan bukti jenis tertentu seperti hasil tes kesehatan dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan mungkin berbahaya bagi pasien.

Menurut Giarratano & Riley (2005: 171-172), berikut ini adalah struktur yang baik dari backward

chaining. Backward chaining memfasilitasi depth – first search. Pohon (tree) yang baik untuk depth – first search adalah sempit dan dalam.

Gambar 3

Penerapan Struktur Yang baik Dari Backward Chaining (Giarratano dan Riley, 2005: 172)

Giarratano & Riley (2005:171-172) mengatakan struktur dari rules menentukan pencarian untuk solusi. Aktifasi suatu rule bergantung pada pola

rule yang dirancang agar sesuai. Pola pada LHS (Left Hand Side) menentukan apakah rule dapat diaktivasi

oleh fakta (facts). Aksi pada RHS (Right Hand Side) menentukan fakta yang ditegaskan dan dihapus sehingga mempengaruhi rules lainnya. Sebuah situasi sejalan terdapat pada backward chaining kecuali dalam hal hipotesa lebih digunakan dibandingkan

rules. Tentu saja, hipotesa pada tingkat tengah bisa

jadi merupakan rule yang disesuaikan dengan tujuannya dan bukan pendahulunya. Contoh sederhana dari IF…THEN rules pada backward

chaining (Giarratano & Riley, 2005: 173) :

IF D THEN C IF C THEN B IF B THEN A

C dan B merupakan subgoal atau hipotesa tingkat tengah yang harus dipenuhi untuk dapat membuktikan hipotesa D. Bukti A merupakan fakta yang mengindikasikan akhir generasi subgoal. Jika ada fakta A, maka D terpenuhi dan dianggap benar di dalam rantai dugaan terbalik (backward inference) ini. Jika tidak terdapat A, maka hipotesa D tidak terpenuhi dan dianggap salah.

3. Metodologi

3.1 Menentukan Data Untuk Knowledge Base

Data untuk knowledge – base berupa penyakit menular pada anjing yang memiliki vaksinasi. Data masing – masing penyakit terdiri atas nama penyakit, penyebabnya, gejala yang dialami dan dapat dilihat, proses penularan, pengobatan yang perlu dilakukan,

proses pencegahan, dan peringatan bagi lingkungan dan manusia bila ada. Penyakit menular pada anjing yang ada di dalam knowledge – base antara lain :

Brodetella bronchiseptica, Kennel Cough, Parainfluenza, Distemper, Parvovirus, Leptospirosis, Hepatitis, Rabies dan Coronavirus.

3.2 Menentukan Rule

Data yang akan digunakan untuk sistem terdiri atas gejala dan nama penyakit. Data lainnya (penyebab, pengobatan, penularan, pencegahan, dan peringatan terhadap manusia dan lingkungan tempat tinggal) digunakan sebagai informasi pelengkap sehingga pengguna dapat mengetahui penyakit secara lebih mendalam. Gejala yang akan diberikan rule adalah gejala dominan (gejala yang pasti terlihat).

3.2.1 Rule Kombinasi Gejala

Beberapa penyakit memiliki gejela yang tidak dimiliki oleh penyakit lainnya. Apabila gejala khusus tersebut berjumlah lebih dari 1, maka diberikan rule : kombinasi bernilai benar apabila minimal setengah dari jumlah gejala dijawab “Ya”. Bila gejala khusus berjumlah genap, maka minimal setengahnya dijawab “Ya”, sedangkan bila berjumlah ganjil, maka minimal lebih dari setengahnya dijawab “Ya”. Khusus untuk kombinasi gejala 1 dan 2, apabila keduanya dijawab “Tidak”, maka hasil diagnosa adalah kemungkinan anjing tidak terinfeksi penyakit menular.

3.3 Membuat Representasi Pengetahuan

Karena algoritma yang digunakan adalah

backward chaining dengan metode pencarian depth – first search, maka dilakukan pencarian mulai dari

hipotesis paling kiri. Backward chaining merupakan pencarian terbalik, dimana untuk memenuhi hipotesis, sistem akan meminta pembuktian semua hipotesis tingkat tengah (Hipotesis Sementara atau HS) dan fakta (gejala) di bawahnya. Hipotesis Sementara (HS) bernilai awal kosong dan hanya dianggap benar apabila dibuktikan oleh fakta yang ada di bawahnya.

Apabila suatu hipotesis tengah (HS) tidak terbukti, maka hipotesis tersebut dan semua hipotesis yang terhubung di atasnya tidak lagi dapat dibuktikan (mati) tanpa mematikan fakta atau HS lain yang ada di bawahnya. Selama masih ada hipotesis penyakit yang aktif (belum ada HS maupun gejala dibawahnya yang mati), pencarian akan terus dilanjutkan. Apabila suatu hipotesis berisi penyakit telah terbukti, maka pencarian akan berhenti. Apabila tidak ada hipotesis yang dapat dibuktikan, maka dianggap penyakit tidak terdeteksi.

Dengan menggunakan data knowledge – base yang telah diberikan rule, maka dibuat representasi pengetahuan dalam backward chaining tree yang dapat dilihat pada gambar 4.

(4)

Gambar 4

Backward Chaining Tree

Tabel 1

Daftar Gejala Dominan No Code Gejala

1 1 Hilang nafsu makan 2 2 Lesu (tidak fit)

3 3 Demam

4 4 Cairan dari hidung

5 5 Batuk

6 6

Cairan dari hidung kental, kuning, dan lengket

7 7

Cairan dari mata kental, kuning, lengket

8 8 Bisul bernanah di daerah perut 9 9 Kejang / epilepsi

10 10

Pengerasan kulit hidung dan telapak kaki

11 11

Batuk kering menyerupai dengkuran keras (terus – menerus dan sudah berlangsung lama)

12 12

Batuk mendalam, kering, dan kasar (semakin parah dgn olahraga / excited)

13 13 Diare

14 14 Ada darah ketika buang air besar

15 15 Muntah

16 16 Muntah darah

17 17

Feses berbau busuk, berwarna kuning - oranye, lunak - encer

(5)

18 18 Lemah (tidak sanggup menopang diri) 19 19 Perut melengkung ke atas

20 20 Putih mata menjadi kuning (jaundice) 21 21 Darah pada urin

22 22 Radang dalam mulut (stomatitis) 23 23 Tidak mau dipegang

24 24 Menjadi agresif, menyerang siapa saja 25 25 Liur berlebih

26 26 Bersembunyi di tempat gelap

Tabel 2

Daftar Penyakit

No Code Nama Penyakit

1 R1 Bordetella bronchiseptica 2 R2 Kennel Cough 3 R3 Parainfluenza 4 R4 Distemper 5 R5 Leptospirosis 6 R6 Hepatitis 7 R7 Parvovirus 8 R8 Rabies 9 R9 Coronavirus

Contoh diagnosa dapat dilihat pada pembuktian hipotesis penyakit parainfluenza. Karena pencarian adalah depth – first search, maka pembuktian hipotesis dimulai dari R1. Hipotesis Bordetella

bronchiseptica (R1) meminta pembuktian HS 4.

Karena HS 4 belum terbukti, maka HS 4 mengecek HS 3 dan gejala 11. Karena HS 3 belum terbukti, maka HS 3 mengecek HS 2 dan gejala 5. Karena HS 2 belum terbukti, maka HS 2 mengecek HS 1 dan gejala 4. Karena HS 1 belum terbukti, maka HS 1 mengecek kombinasi gejala (1,2) dan gejala 3.

Bila kombinasi gejala (1,2) dan gejala 3 bernilai benar, maka HS 1 terbukti. Bila gejala 4 bernilai benar, maka HS 2 terbukti. Bila gejala 5 bernilai benar, maka HS 3 terbukti. Untuk dapat berpindah pencarian, maka pada pembuktian HS 4 gejala 11 harus bernilai salah. Bila gejala 11 bernilai

salah (dijawab “Tidak”), maka HS 4 tidak lagi dapat dibuktikan, sehingga pencarian berpindah ke R2.

R2 meminta pembuktian HS 5. Semua subgoal HS 5 telah terbukti, kecuali gejala 12. Untuk dapat berpindah pencarian ke R3, maka gejala 12 harus bernilai salah. Bila gejala 12 bernilai salah, maka HS 5 tidak lagi dapat dibuktikan. Pencarian kemudian berpindah ke R3 (hipotesis parainfluenza). R3 meminta pembuktian HS 3, dan karena HS 3 telah terbukti, maka hipotesis parainfluenza terbukti. Dengan demikian, hasil diagnosa adalah

parainfluenza. 4 Hasil 4.1 Tampilan Aplikasi Gambar 5 Halaman Diagnosa Gambar 6 Hasil Diagnosa 4.2 Evaluasi Pakar

Pengujian dilakukan dengan cara memasukkan serangkaian gejala dan mencocokkan hasil diagnosa sistem pakar dengan pengetahuan pakar. Pengujian dilakukan sebanyak 30 kali dan didapatkan hasil benar sejumlah 23 kali. Dengan demikian tingkat presisi sistem pakar mencapai

(23/30)*100% = 76.7%. Hasil percobaan dapat dilihat pada tabel 1.

(6)

Tabel 1

Hasil Pengujian

No Code Gejala Diagnosa Sistem Pakar Diagnosa Pakar 1 1, 2, 3, 4, 5, 11 Bordetella bronchiseptica Benar 2 1, 3, 4, 6, 7, 9 Distemper Benar 3 2, 14, 17 Coronavirus Benar 4 1 Tidak Terdeteksi Benar 5 1, 2, 3, 19, 20 Tidak Terdeteksi Leptospiro sis 6 1, 2 Tidak Terdeteksi Benar 7 1, 2, 3, 4, 5 Parainfluenza Benar 8 2, 3, 4, 5, 12 Kennel Cough Benar 9 1, 3, 18, 19, 22 Hepatitis Benar 10 1, 2, 3, 18, 15, 14 Parvovirus Benar 11 1, 2, 3, 18, 23, 25 Rabies Tidak terdeteksi 12 1, 13, 26, 17 Coronavirus Benar 13 1, 2, 3, 4, 8, 9, 10 Distemper Benar 14 1, 2, 3, 4, 8, 7, 9 Distemper Benar 15 2, 3, 4, 6, 8, 9 Distemper Benar 16

1, 2, 3, 4 Terdeteksi Tidak Parainfluenza 17 1, 2, 13, 14, 17 Coronavirus Benar 18 2 Tidak Terdeteksi Benar 19 2, 3, 18, 19, 22 Hepatitis Benar 20 1, 2, 3, 4, 5,

12 Kennel Cough Benar

21 1, 2, 3, 18, 14, 15 Parvovirus Leptospiro sis 22 1, 2, 3, 9, 24, 25 Rabies Benar 23 1, 3, 14, 15 14 Parvovirus Benar 24 1, 2, 3, 18, 20, 21 Leptospirosis Benar 25 2, 3, 4, 6, 8, 9 Distemper Benar 26 1, 2, 5, 6 Tidak Terdeteksi Distemper 27 1, 2, 3, 5, 7 Tidak Terdeteksi Distemper 28 1, 2, 3 Tidak Terdeteksi Parainfluen za 29 1, 3, 18, 13, 15 Parvovirus Benar 30 2, 3, 18, 20, 21 Leptospirosis Benar

5. Diskusi dan Konklusi (Discussion and Conclusions)

Persentase hasil pengujian sistem pakar mencapai 76,7% yang berarti sistem pakar menggunakan metode yang baik dan dapat digunakan untuk mendiagnosa penyakit menular pada anjing,. Untuk meningkatkan tingkat presisi sistem pakar, dapat ditambahkan faktor- faktor pendukung seperti : usia anjing, cuaca, tempat asal anjing, lingkungan tempat tinggal anjing, dan epidemiologi (diagnosa dengan melihat wabah yang sedang melanda suatu tempat saat itu).

Acknowledgement (?) Referensi (References)

Eldredge, D. M., Carlson L. D., Carlson D. G., Griffin, J. M.. (2007). Dog Owner’s Home

Veterinary Handbook 4th. Edition. New

Jersey: Wiley Publishing.

Gail C. Potgieter, Laurie L. Marker, Nico L. Avenant & Graham I. H. Kerley. (2013). Why Namibian Farmers Are SatisfiedWith the.

Human Dimensions of Wildlife, 403-415.

Giarratano J., Riley G. (2005). Expert Systems

Principles and Programming (Fourth Edition). Canada: Thomson.

Hainess, S. (2003). Java Reference Guide(First

Edition). New Jersey: Pearson Education.

Hill, E. F. (2003). Jess in Action. Greenwich : Manning Publications.

Nestorovic, T. (2010). Dog Disease Expert System.

Annals of DAAAM for 2010 & Proceedings of the 21st International DAAAM

Symposium, Volume 21, No. 1, ISSN 1726-9679.

Rich E. , Knight K.. (2009). Artificial Intelligence. India: McGraw Hill.

Sarma, C. V. (2012). Rule Based Expert System for Rose Plant. International Journal of

Engineering Research & Technology (IJERT), 1-9.

Saurkar A.V., Watane H.N.. (2012). An Expert System For Diseases Diagnosis In Pet.

Advances in Medical Informatics ISSN: 2249-9466 & E-ISSN: 2249-9474, Volume 2, Issue 1, 2012, pp.-18-21., 18-21.

(7)

Setyarini E., Putra D., Purnawan A.. (2013). The Analysis of Comparison of Expert System of Diagnosing Dog. IJCSI International Journal

of Computer Science Issues, Vol. 10, Issue 1, No 2, January 2013, 576-584.

Russel S., Norvig P.. (2010). Artificial Intelligence A

Modern Approach Third Edition. New

Jersey: Pearson Prentice Hall. Wells, D. L. (2007). Domestic dogs and human

health. British Journal of Health Psychology

Gambar

Gambar  1  menggambarkan  konsep  dasar  dari  sebuah knowledge-based sistem pakar (Giarratano dan  Riley,  2005:6)
Tabel 1  Hasil Pengujian

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Kurniati faktor penyebab miskonsepsi yaitu 14 : (1) pengalaman siswa dalam belajar matematika, dalam hal ini kurangnya siswa latihan soal mengenai materi

 Penenetuan Ketengikan minyak dengan cara Metode titrasi Iodometri yaitu dengan menghitung bilangan peroksida yang digunakan sebagai indikator ketengikan minyak  Ketengikan

Oleh karena itu dibutuhkan penelitian mengenai pengaruh tingkat konsentrasi 2,4-D dan frekuensi subkultur terhadap perubahan genetik hasil kultur jaringan dari eksplan

 Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar waktu manajer tersita untuk kegiatan operasi perusahaan dari hari ke hari, yang kurang lebih dapat diartikan sebagai manajemen

“Pialang Perdagangan Berjangka yang selanjutnya disebut Pialang Berjangka adalah badan usaha yang melakukan kegiatan jual beli Komoditi berdasarkan Kontrak Berjangka,

[r]

2) Seleksi ditentukan oleh masing-masing PTN dengan memprioritaskan pendaftar yang mempunyai potensi akademik yang paling tinggi, pendaftar yang paling tidak mampu

Setelah selesai perkuliahan ini mahasiswa diharapkan memiliki pengetahuan yang luas dan pemahaman yang dalam terhadap karya sastra genre prosa: [a] prinsip