BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam masyarakat, dapat dilihat berlangsungnya perubahan-perubahan, pergeseran,
dan tantangan.Perubahan itu baik di aspek ekonomi, sosial budaya maupun dalam aspek
politik. Perubahan yang cepat biasanya akan menimbulkan permasalahan, karena
terjadinya perubahan nilai-nilai dan norma-norma sehingga masyarakat kehilangan
pegangan. Termasuk juga perubahan yang dialami oleh negara kita ini pasca reformasi
baik dibidang sosial maupun politik.
Dalam era ini terjadi perubahan-perubahan yang luar biasa terhadap tatanan yang
telah dibangun di era orde baru.Era reformasi ini merupakan puncak dari keruntuhan era
orde baru, yaitu Pemerintahan yang sentralistik dan dominan.Dalam era ini terjadi
penolakan dan perombakan-perombakan terhadap berbagai kebijakan di era orde baru.
Dari berbagai kebijakan di era reformasi ini telah memberi peluang terhadap
kebebasan individu maupun kelompok masyarakat, telah memberi peluang terhadap
perubahan sosial yang positif dan lebih demokratis.Pada tataran struktur pemerintahan
formal nampak adanya tanda-tanda yang mendukung terwujudnya civil society.
Namun keterbukaan dan kebebasan tersebut tidak dibarengi oleh tanggungjawab,
solidaritas, inklusivitas dan kepatuhan kepada hukum, sehingga perubahan sosial yang
terjadi tidak didasarkan pada mekanisme demokrasi yang benar, namun mengarah pada
memunculkan suatu dominansi masyarakat tertentu, seperti kelompok borjuis, kapitalis
atau kelompok-kelompok yang mendasarkan diri pada ikatan primordial (kedaerahan, suku
dan agama), contoh kasus: Sambas, Ambon, dan daerah-daerah lainnya. Serta berbagai
kerusuhan massal, dan penjarahan. Hal ini disebabkan oleh melemahnya dominasi negara
yang diganti oleh dominasi pasar.
Oleh karena itu, di era paska reformasi ini perlu adanya koreksi terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi dalam membangun masyarakat yang demokratis,
melalui penyediaan arena publik dalam bentuk open house, dan berbagai forum serta
saluran lainnya sebagai tempat bertemunya negara dengan rakyat. Forum dan saluran
tersebut dapat menampung aspirasi rakyat, tempat dan media dimana rakyat secara bebas
melakukan pengawasan, berpartisipasi politik dan meminta pertanggungjawaban. Dengan
demikian, kebebasan yang ada berdasarkan kesepakatan bersama, bukan kebebasan yang
bersifat liberal, namun mempunyai batasan yang tegas, yaitu: batas kepatuhan Kepada
hukum dan HAM serta Kepada batas inklusifitas dan solidaritas.
Adanya pemilihan umum (2004) yang jujur, adil, bebas, dan rahasia, pemilihan
Presiden RI secara langsung, merupakan saluran-saluran partisipasi rakyat secara bebas,
independen, tidak eksklusif bagi agama tertentu, daerah tertentu, suku tertentu, golongan
sosial – ekonomi tertentu atau partai tertentu, namun untuk semua golongan. Hal ini
merupakan salah satu bentuk penciptaan ruang bagi rakyat
diakses Tanggal 16 Desember 2014 pukul 15:30 wib).
Pemilihan Umum 2014 merupakan pemilu yang ke-11 dalam dinamika pesta
demokrasi di Indonesia untuk pemilihan anggota Legisatif. Sedangkan untuk Pemilihan
Presiden, tahun ini adalah yang ketiga kalinya setelah tahun 2004 dan 2009. Selama 11
kali penyelenggaraan Pemilu banyak dinamika yang berkembang baik dari partai politik
peserta pemilu maupun nuansa politik pada jaman itu. Berikut sekilas perjalanan pesta
Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan
diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang
paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih
kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota
angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir
datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah
kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520
(dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat
pemerintah. Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5
Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 10 partai
politik. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi,
Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya
dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia)
dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977,
1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan
Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru. Sesuai
peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai
politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan
oleh Golongan Karya.
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu
pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu
1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan
Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Walaupun Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar
35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati
Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid
(Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk
terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan
DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan
rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar
berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden
dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang
anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan
presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) — pada
pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil
presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah.
Tahun 2009 merupakan tahun Pemilihan Umum (pemilu) untuk Indonesia. Pada
tanggal 9 April, lebih dari 100 juta pemilih telah memberikan suara mereka dalam
pemilihan legislatif untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada
tanggal 8 Juli, masyarakat Indonesia sekali lagi akan memberikan suara mereka untuk
memilih presiden dan wakil presiden dalam pemilihan langsung kedua sejak Indonesia
bergerak menuju demokrasi di tahun 1998. Jika tidak ada calon yang mendapatkan lebih
dari 50 persen suara, maka pemilihan babak kedua akan diadakan pada tanggal 8
Hasil pemilihan anggota DPR pada tanggal 9 April terdapat tiga partai yang
mendapatkan jumlah suara terbanyak adalah Partai Demokrat (PD) dengan 20,8 persen
perolehan suara, Golkar dengan 14,45 persen perolehan suara, dan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan 14,03 persen perolehan suara. Empat partai Islam –
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), dan Partai Kebangkitan Nasional (PKB) masing-masing hanya memperoleh 7,88
persen; 6,01 persen; 5,32 persen; dan 4,94 persen suara. Dua partai lainnya (Gerindra dan
Hanura), yang juga bukan merupakan partai agama, memperoleh 4,46 persen dan 3,77
persen suara.
Pemilu tanggal 9 April juga mengurangi jumlah partai yang duduk di DPR. Hanya
sembilan partai yang disebutkan di atas yang mendapatkan kursi di DPR. Sementara 29
partai lainnya gagal mencapai ketentuan minimum perolehan suara pemilu sebesar 2,5
persen dan tidak mendapatkan kursi di DPR. Hal ini diharapkan mengurangi jumlah partai
politik yang akan bersaing untuk pemilu tahun 2014.
Pemilu 2014. diikuti oleh 12 Partai politik nasional dan ditambah dengan 3 partai
politik lokal (khusus Aceh). Hasil Pemilu Legislatif 2014 yang telah diumumkan KPU
menempatkan sepuluh partai yang lolos ambang batas parlemen, yakni Partai NasDem,
PKB, PKS, PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PPP, dan Partai
Hanura. Sedangkan dua partai yang tak lolos yaitu PBB dan PKPI. Urutan lima besar
partai peraih suara terbanyak yakni : PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat dan
PKB.(
16 Desember 2014 pukul 18:25 Wib).
Dinegara-negara demokrasi konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa
kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk
orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan, sehingga partisipasi politik erat sekali
kaitannya dengan kesadaran politik, karena semakin sadar dirinya diperintah. Anggota
masyarakat secara langsung memilih wakil-wakil yang akan duduk dilembaga
pemerintahan. Dengan kata lain partisipasi langsung dari masyarakat yang seperti ini
merupakan penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.
Keikutsertaan masyarakat dalam berpartisipasi sangatlah penting karena teori
demokrasi menyebut bahwa perlunya partisipasi politik masyarakat pada dasarnya
disebabkan bahwa masyarakat tersebut sangatlah mengetahui apa yang mereka kehendaki.
Masyarakat sebagai kumpulan individu memiliki harapan sekaligus tujuan yang hendak
diwujudkan, dan untuk mewujudkan harapan tersebut diperlukan adanya norma-norma
atau kaidah-kaidah yang mengatur berbagai kegiatan bersama dalam rangka menempatkan
dirinya ditengah-tengah masyarakat yang senantiasa ditegakkan.
Upaya menegakkan norma-norma tersebut mengharuskan adanya lembaga
pemerintah yang memiliki otoritas tertentu agar norma-norma yang ada ditaati. Dengan
demikian kegiatan individu dalam masyarakat terjadi sekurang-kurangnya karena
kesempatan, norma-norma serta kekuatan untuk mengatur tertib masyarakat kearah
pencapaian tujuan.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku dan etnik,
dengan adat serta budaya yang berbeda-beda. Dari Sabang sampai Merauke terdapat
sekitar 400 lebih etnis yang memiliki budaya tersendiri. Sebagai masyarakat yang
menghargai budaya dan adat istiadat yang ada, maka masyarakat kerap menjalani
kehidupan yang berlandaskan budaya yang ada. Proses kehidupan berpolitik pun tidak
luput dari pengaruh budaya dari setiap etnis yang ada.
Proses pengambilan keputusan di negara ini sering dilakukan berdasarkan
kita beranggapan bahwa masyarakat lokallah yang mengetahui dengan pasti apa yang
mereka butuhkan. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus berdasarkan pendekatan
budaya terhadap masyarakat yang bersangkutan. Untuk lebih mudah bagi pemerintah
dalam melaksanakan apa kebutuhan masyarakat setiap etnik maka di berlakukanlah
pemerintahan dengan cara desentralisasi melalui otonomi daerah.
Lebih dari satu dekade, desentralisasi melalui otonomi daerah berlangsung di
Negara ini. Otonomi daerah di Indonesia ditandai semenjak diberlakukannya UU No. 22
Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004.
Dimana provinsi menjadi wakil pemerintah pusat didaerah yang mengkordinir , membina
serta mengawasi pelaksanaan otonomi daerah diwilayah provinsi yang bersangkutan.
Otonomi daerah yang merupakan anak kandung dari desentralisasi sebenarnya
adalah merupakan kas pemberian Negara, yakni pemberian kewenangan mengelola
kebijakan dan juga keuangan oleh pengelola Negara di tingkat nasional kepada pengelola
Negara di tingkat lokal. Mulai tahun 2000 otonomi daerah berkembang. Dan setelah satu
dasawarsa terakhir otonomi daerah berjalan otonomi daerah telah berdampak terhadap
wajah politik Indonesia menjadi sangat berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dimana
semangat awalnya bermaksud menciptakan pemerintahan yang baik (good govermance)
ditingkat lokal.
Otonomi daerah menjanjikan perubahan bagi eksistensi lokal. Ia dipercaya
mendekatkan Negara kepada masyarakat lokal, serta memperkuat akuntabilitas lokal.
Tetapi dalam praktiknya otonomi daerah justru memunculkan berbagai persoalan baru
yang berdampak terhadap perpolitikan Indonesia. Dengan kebebasan otonomi daerah ini
Terdapat dua dampak dari desentralisasi tersebut yaitu dampak negatif dan dampak
positif. Dampak positifnya ialah seperti kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan
menyampaikan kritik, inovasi dan kreativitas pemerintah daerah dalam melakukan tata
kelola pemerintahan dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Sedangkan dampak
negatifnya seperti langgengnya politik uang (money politics) dalam praktik pemilihan
kepala daerah dan juga pemilihan legislatif, tumbuh suburnya praktik shadow state dan
rent seeking, meratanya praktik KKN ( Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ), booming
pemekaran wilayah, eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang tidak terkendali, dan
terbentuknya politik identitas. Tentang dampak negatif tersebut dari berbagai studi
mempertegas bahwa kebijakan desentralisasi dengan pilihan demokrasi liberatif telah
menjadi pintu masuk kebangkitan politik identitas ( Etnik/Marga).
Politik identitas adalah pemberian garis yang tegas untuk menentukan siapa yang
akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena garis-garis penentuan tersebut tampak
tidak dapat dirubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta merta
tampak bersifat permanen.
Di arena politik identitas etnik di produksi sebagai pembuat isu “Putra daerah”
yang kebanyakan dilakukan oleh elit lokal untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan
politiknya. Mengenai hal ini tegas dikatakan bahwa momentum reformasi telah
menghantarkan para elit lokal mengonsolidasikan kekuatan indentitas (marga/etnik) untuk
menolak atau tidak memilih kepala daerah maupun calon legeslatif yang berasal dari
entik/marga lain.
Politik identitas sebagai buah dari dampak negatif otonomi daerah tersebut sudah
lama menjadi bahan pembicaraan menarik dikalangan para ahli ilmu-ilmu social. Seperti
studi tentang politik identitas ini akan terus berkembang, terutama yang berkaitan dengan
identitas keetnisan, gender, masyarakat pribumi, dan masyarakat lokal.
Akhir-akhir ini kita melihat banyak ketimpangan pembangunan-pembangunan
yang terjadi. Dimana pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah lebih banyak dan
dominan di kota. Fasilitas yang canggih dan mewah juga lebih banyak dibangun dikota
dibandingkan di desa. Bukan hanya fasilitas dan juga pembangunan, mulai dari sarana dan
prasarana pendidikan, kesehatan, pusat ekonomi juga lebih banyak dibangun dikota
dibandingkan di desa. Salah satu faktor pendorong dari politik identitas ini adalah akibat
dari pembangunan yang tidak merata yang dilakukan oleh pemerintah.
Banyak etnis yang mulai menyadari ketimpangan pembangunan yang terjadi saat
ini. Misalnya di Indonesia sendiri kita lihat bahwa pembangunan dan juga fasilitas canggih
serta pusat eknomi, politik, pendidikan, dan juga kesehatan lebih banyak berpusat di
Jakarta dan juga lebih banyak dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di pulau Jawa
dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia. Memang tidak bisa kita pungkiri hal tersebut.
Karena hal tersebut juga yang menimbulkan kecemburuan sosial dimasyarakat dan ingin
maju agar merasakan pembangunan sehingga mereka maju dan membentuk satu kekuatan
politik dalam pemilihan yang dilakukan di Indonesia terlebih dalam pemilihan DPR,
kepala daerah dan juga Gubernur.
Pemilihan legislatif secara langsung terkait dengan peran serta masyarakatnya dalam
memberikan dukungan suara kepada partai politik dan kandidat yang ada. Proses
pemilihan legislatif langsung ini akan menghadirkan partisispasi politik
masyarakat.Partisipasi merupakan aspek yang penting dari demokrasi, dimana prinsip
dasar demokrasi adalah setiap orang dapat ikut serta secara aktif baik dalam kehidupan
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Partisipasi dari masyarakat tersebut dengan melalui
mereka yang ikut serta dalam mengubah keputusan diatas oleh penguasa yang akan
digantikan dengan mempertahan kan kekuasaannya. Dalam hal ini perorangan baik dalam
kelompok akan selalu berusaha untuk mempengaruhi pemerintah baik yang akan
ditentukan oleh alternatif yang akan digunakan mencapai tujuan mereka sendiri. Dan
banyak faktor yang akan mempengaruhi prefensi kandidat dari pemilih tersebut. Salah satu
faktor tersebut adalah etnis yang dianggap sebagai faktor paling penting dalam perilaku
pemilih Indonesia.
Pada pemilihan umum legislatif para calon legislatif melakukan berbagai cara untuk
mendapatkan suara dari masyarakat. Baik itu dengan menjual identitas agama, suku/etnik
dan juga marga. Kampanye adalah cara yang paling efektif diigunakan oleh para calon
legislatif dalam menarik simpati rakyat dan mengucapkan janji-janji yang akan dipenuhi
calon legislatif disaat dia terpilih dan menang nantinya. Para calon legislatif juga
menggunakan strategi memilih Tim Sukses (TS) dari setiap daerah yang dianggapnya
berpengaruh dan dituakan oleh masyarakat setempat. Para calon legislatif akan
menggunakan pendekatan kepada tokoh adat, ketua organisasi dan orang berpengaruh
lainnya, dengan tujuan agar orang yang dituakan ini bisa mengajak masyarakat untuk
memilih calon legislatif tersebut.
Menjual marga saat kampanye adalah cara yang efektif digunakan calon legislatif
yang berasal dari keluarga bersuku batak toba karena suku Batak Toba terkenal dengan ciri
khasnya yaitu memiliki marga.Dalam kehidupan bermasyarakat, dasar fundamental yang
mengatur hubungan sosial orang Batak Toba ialah marga. Sistem hubungan ditentukan
oleh kedudukan dalam struktur sosial dalihan na tolu (tungku berkaki tiga) yang terdiri
dari tiga unsur pendukung yaitu saudara dari pihak istri (hula-hula), saudara semarga
silsilah dan analogy marga yang didasarkan pada relasi kerabat dekat yang lain, baik dalam
hubungan internal maupun eksternal.
Ada istilah dalam orang Batak Toba mengatakan ”Molo adong do na dihita boasa
pola ingkon tu halak?” (Kalau ada punya kita kenapa kita harus memilih orang lain?). Dari
pernyataan ini bisa jelas kita lihat bahwa faktor kesamaan suku/marga menjadi faktor
utama bagi orang Batak Toba dalam memilih pemimpin. Masyarakat Batak Toba juga
memiliki prinsip dalam memilih berdasarkan etnik ataupun marga. Dalam pemilihan
legislatif ditingkat kabupaten masyarakat Batak Toba lebih mengutamakan memilih calon
berdasarkan marga. .
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka peneliti tertarik melihat
fenomena pengaruh marga dalam memenangkan calon legislatif pada pemilihan umum di
Kabupaten Humbang Hasundutan, dengan melakukan penelitian di Punguan Marga
Simamora di Desa Saitnihuta.Dan melihat bagaimana pengaruh tersebut bisa membentuk
sebuah politik margaisme (identitas) dalam masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Sebuah penelitian harus memiliki batasan-batasan permasalahan yang harus
diamati atau diteliti agar penelitian tersebut dapat terfokus dalam suatu permasalahan yang
dapat diselesaikan dan penelitian tidak lari dari jalur yang telah ditetapkan. Oleh karena itu
berdasarkan uraian permasalahan yang telah dijelaskan dalam latar belakang maslah diatas,
maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Kontribusi apa yang diberikan oleh kelompok marga simamora dalam memenangkan
di Desa Saitnihuta yang ikut berkompetisi pada pemilihan umum legislatif tahun 2014
di Desa Saitnihuta.
2. Bagaimana strategi yang dipergunakan oleh calon anggotan legislatif dalam
memanfaatkan jaringan marga Simamora dalam mendukung kemenangannya di
pemilu Legislatif 2014 di Desa Saitnihuta?
1.3 Tujuan Penelitian
Setelah merumuskan masalah yang akan diteliti dalam sebuah penelitian, maka
langkah selanjutnya adalah menetapkan tujuan penelitian. Adapun yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Kontribusi apa yang diberikan oleh kelompok marga simamora dalam memenangkan
calon legisalatif yang berasal dari kelompok marga Simamora yang ikut berkompetisi pada
pemilihan umum legislatif tahun 2014 di Desa Saitnihuta.
2. Bagaimana strategi yang dipergunakan oleh calon anggotan legislatif dalam
memanfaatkan jaringan marga Simamora dalam mendukung kemenangannya di pemilu
Legislatif 2014 di Desa Saitnihuta?
1.4 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan memiliki manfaat maupun sumbangsihnya bagi diri
sendiri khususnya maupun bagi masyarakat pada umumnya.Terutama bagi perkembangan
ilmu pengetahuan sosial.Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini.
A. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, pemahaman,
serta sumbangan bagi mahasiswa khususnya mahasiswa sosiologi maupun masyrakat luas
dalam meningkatkan wawasan. Yang nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam mengetahui politik-politik lokal (politik identitas) yang sedang berkembang
sekarang dalam Negara kita
B. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pemerintah
setempat dan juga ilmu sosiologi khususnya dalam sosiologi poitik. Untuk sosiologi
sebagai tambahan refrensi hasil penelitian mengenia politik Identitas.
1.5 Defenis Konsep
Konsep adalah suatu hasil pemaknaan didalam intelektual manusia yang merujuk
pada kenyataan nyata ke dalam empiris, dan bukan merupakan refleksi sempurna. Dalam
sosiologi, konsep menegasakan dan menetapkan apa yang akan diobservasi (Suyanto,
2005:49). Defenisi konsep yang digunakan sebagai konteks penelitian ini antara lain
sebagai berikut:
1.5.1 Marga
Marga menjadi ciri khas dari suku batak, baik itu batak toba, batak simalungun
maupun batak karo.Asal usul keluarga dari masyarakat batak dapat ditelusuri dari marga
yang dimiliki masyarakat semenjak lahir.Marga dalam masyarakat batak merupakan
sekelompok masyarakat yang yang keturunan dari kakek bersama dimana keturunan
tersebut diturunkan dari marga bapak atau yang biasa disebut dengan patrilineal. Oleh
karena itulah maka semua orang Batak membubuhkan nama marga dari ayahnya
dibelakang nama kecilnya.
Kepemilkan marga dibelakang nama menjadi sesuatu hal yang penting ketika sesame
masyarakat Batak bertemu dan mereka saling menanyakan marga terlebih dahulu dengan
tujuan untuk mengetahui system tutur (panggilan/sebutan). Melalaui tutur tadi setiap orang
bertanya atau menelusuri secara sengaja tentang hubungan keturunan dan
kekerabatannya.Dalam sebuah pemilu ditingkat daerah biasanya marga merupakan alat
atau senjata yang digunakan oleh para calon pemimpin daerah maupun calon legislatif
dalam menarik suara darimasyarakat untuk memilih calon tersebut.Marga yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah Punguan Marga Simamora Boru Bere dohot Ibebere yang ada
di desa Saitnihuta, kecamatan Dolok Sanggul.
1.5.2 Legislatif
Badan legislatif (parlemen) yaitu lembaga yang membuat undang-undang yang
anggota-anggotanya merupakan representasi dari rakyat Indonesia dimana dia berada (
termasuk yang berdomisili diluar negeri) yang dipilih melalui pemilihan umum.Legislatif
merupakan satu badan yang terdiri wakil yang mewakili kepentingan rakyat yang
diwakilinya.Legislatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah calon legislatif marga
Simamora yang berasal dari kelompok marga Simamora dan menang pada pemilihan
umum legislatif 2014.
1.5.3 Politik Identitas
Politik identitas adalah politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya
menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh seperti
persoalan politik yang dimunculkan akibat problematika jender, feminisme dan
maskulinisme, persoalan politik etnis yang secara dasariah berbeda fisik dan karakter
fisiologis, dan pertentangan-pertentangan yang dimunculkannya, atau persoalan-persoalan
politik karena perbedaan agama dan kepercayaan dan Bahasa. Politik identitas yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah politik yang didasarkan pada etnis khususnya etnis