• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lahan Kritis

Lahan kritis adalah lahan yang tidak mampu secara efektif digunakan untuk lahan pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun sebagai pelindung alam lingkungan. Selain itu dapat juga didefenisikan sebagai lahan yang tidak sesuai antara kemampuan tanah dan penggunaannya, akibat kerusakan secara fisik, kimia, dan biologis sehingga membahayakan fungsi hidrologis, sosial-ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi pemukiman. Hal ini dapat menimbulkan erosi dan longsor di daerah hulu serta terjadi sendimentasi dan banjir di daerah hilir (Zain, 1998).

Kekritisan lahan juga dapat dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Ukuran kuantitatif menetapkan kekritisan berdasarkan luas lahan atau proporsi anasir lahan yang terdegradasi atau hilang. Misalnya, berkurangnya atau hilangnya sumber air karena menyusutnya imbuhan (recharge) atau karena laju penyedotan lebih besar dari pada laju imbuhan, menunjukan kekritisan kuantitatif lahan. Ukuran kualitatif menetapkan kekritisan menurut tingkat penurunan mutu lahan atau anasir lahan. Akan tetapi ukuran kuantitatif dan kualitatif sering berkaitan. Misalnya, penipisan tubuh tanah (gejala kuantitatif) karena erosi membawa serta penurunan produktivitas tanah (gejala kualitatif) karena lapisan tanah atasan biasanya lebih produktif dari pada lapisan tanah bawahan. Kebakaran hutan pada awalnya menimbulkan kekritisan kuantitatif (penyusutan luas lahan). Kemudian dapat muncul kekritisan kualitatif karena regenerasi hutan menumbuhkan flora

(2)

yang lebih miskin jenis dari pada hutan semula sebelum terbakar atau degradasi keanekeragaman hayati (Notohadiprawiro, 2006).

Lahan kritis adalah lahan atau tanah yang saat ini tidak produktif karena pengelolaan dan penggunaan tanah yang tidak atau kurang memperhatikan syarat-syarat konservasi tanah dan air sehingga menimbulkan erosi, kerusakan- kerusakan kimia, fisik, tata air dan lingkungannya. Pengelolaan lahan merupakan suatu upaya yang dimaksudkan agar lahan dapat berfungsi optimal sebagai media pengatur tata air dan produksi. Bentuk pengelolaan lahan yang baik adalah dapat menciptakan suatu keadaan yang mirip dengan keadaan alamiahnya (Wirosoedarmo dkk, 2007).

B. Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan. Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Pengelolaan DAS Terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan

(3)

secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS (P. 39/Menhut-II/2009).

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sub DAS adalah bagian dari DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS – Sub DAS (P. 32/Menhut-II/2009).

Pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang pada akhirnya akan menimbulkan lahan kritis. Sub DAS adalah bagian dari DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam sub–sub. Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian dari fisik termasuk ilkim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Kemampuan penggunaan lahan merupakan kesanggupa n lahan untuk memberikan hasil penggunaan pertanian pada tingkat produksi tertentu (Wirosoedarmo dkk, 2007).

C. Komponen Ekosisitem Daerah Aliran Sungai

Komponen ekosistem DAS bagian hulu umunya dapat dipandang sebagai suatu ekosisitem pedesaan. Ekosisitem ini terdiri atas empat komponen utama yaitu desa, sawah atau ladang, sungai dan hutan. Komponen yang menyusun DAS

(4)

berbeda tergantung pada daerah setempat. Misalnya adanya komponen lain seperti perkebunan, sementara di daerah pantai ditemukan adanya komponen lingkungan hutan bakau (Asdak, 1995).

Suatu ekosistem alamiah maupun binaan selalu terdiri dari dua komponen utama yaitu komponen biotik dan abiotik. Vegetasi atau komunitas tumbuhan merupakan salah satu komponen biotik yang menempati habitat tertentu seperti hutan, padang ilalang dan semak belukar. Struktur dan komposisi vegetasi pada suatu wilayah dipengaruhi komponen ekosistem lainnya saling berinteraksi, sehingga vegetasi yang tumbuh secara alami pada wilayah tersebut sesungguhnya merupakan pencerminan hasil interaksi berbagai faktor lingkungan dan mengalami perubahan drastis karena pengaruh antropogenik (Arrijani dkk, 2006).

D. Faktor Penyebab Kerusakan Lahan

Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian dari fisik termasuk ilkim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial berpengaruh terhadap penggunaan lahan.

Proses hidrologi yang terjadi di suatu Daerah Aliran Sungai berkaitan dengan terjadinya erosi, transport sedimen, dan deposisi sedimen di bagian hilir. Perubahan tata guna lahan dan praktek pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) juga akan mempengaruhi terjadinya erosi dan sendimentasi. Faktor utama penyebab kerusakan lahan adalah kesalahan pengelolaan lahan khususnya lahan pertanian di daerah hulu. Kesalahan pengelolaan lahan umumnya tidak mengindahkan kaidah konservasi lahan. Hal ini disebabkan karena masyarakat

(5)

pengetahuan masyarakat terhadap konservasi tanah dan air. Faktor penyebab lahan kritis dapat meliputi penebangan liar, kebakaran alami, pemanfaatan sumberdaya hutan yang tidak berazaskan kelestarian, penataan zonasi kawasan belum berjalan, pola penggunaan lahan tidak konservatif dan pengalihan status lahan untuk berbagai kepentingan dan lain sebagainya (Surgawan, 2004).

Lahan kritis diakibatkan antara lain karena daya resap tanah terhadap air akan menurun sehingga kandungan air tanah akan berkurang yang mengakibatkan kekeringan pada musim kemarau, terjadinya arus permukaan tanah pada waktu musim hujan yang mengakibatkan bahaya banjir, longsor, menurunnya kesuburan tanah, daya dukung lahan dan keanekaragaman hayati (Basamalah, 2005).

Tidak optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan tidak adanya ketidakterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut. Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat kompleks pada DAS yang lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu. Pengelolaan DAS terpadu dilakukan secara menyeluruh mulai keterpaduan kebijakan, penentuan sasaran dan tujuan, rencana kegiatan, implementasi program yang telah direncanakan serta monitoring dan evaluasi hasil kegiatan secara terpadu. Pengelolaan DAS terpadu

(6)

selain mempertimbangkan faktor biofisik dari hulu sampai hilir juga perlu mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi, kelembagaan, dan hukum. Sehingga pengelolaan DAS terpadu diharapkan dapat melakukan kajian integratif dan menyeluruh terhadap permasalahan yang ada, upaya pemanfaatan dan konservasi SDA skala DAS secara efektif dan efisien (Keputusan Menteri, 2003).

Kerusakan sumberdaya alam hutan (SDH) yang terjadi saat ini telah menyebabkan terganggunya keseimbangan lingkungan hidup daerah aliran sungai (DAS) seperti tercermin pada sering terjadinya erosi, banjir, kekeringan, pendangkalan sungai dan waduk serta saluran irigasi. Tekanan yang besar terhadap sumber daya alam oleh aktivitas manusia, salah satunya dapat ditunjukkan adanya perubahan penutupan lahan dan erosi yang begitu cepat. Pengelolaan DAS dengan permasalahan yang komplek, diperlukan penanganan secara holistik, integral dan koordinatif (Harjadi dkk, 2007).

E. Penetapan Lahan Kritis

Penetapan lahan kritis mengacu pada defenisi lahan kritis yang ditetapkan sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan secara fisik sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas toleransi yang telah ditentukan sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan (P. 32/Menhut-II/2009). Sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan dengan fungsi lahan yang berkaitan dengan kegiatan reboisasi dan penghijauan, yaitu fungsi kawasan hutan lindung, fungsi kawasan hutan lindung diluar kawasan hutan dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian.

(7)

Kawasan hutan lindung merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan pada kawasan sekitarnya maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemelihara kesuburan tanah. Pada fungsi kawasan lindung, kekritisan lahan dinilai berdasarkan keadaan tutupan lahan/penutupan tajuk pohon (bobot 50%), kelerengan lahan (bobot 20%), tingkat erosi (20%) dan manajemen/ usaha pengamanan lahan (bobot 10%).

b. Fungsi Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan

Kawasan lindung merupakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Kawasan lindung di luar kawasan hutan merupakan kawasan yang memiliki fungsi sebagai zona pelindung daerah sekitarnya yang lebih khusus seperti sempadan sungai berfungsi untuk melindungi kawasan sepanjang kiri kanan sungai untuk mempertahankan fungsi sungai. Pada fungsi kawasan lindung di luar kawasan hutan, kekritisan lahan dinilai berdasarkan vegetasi permanen yaitu persentase penutupan tajuk pohon (50%), kelerengan lahan (bobot 10%), tingkat erosi (bobot 10%) dan manajemen (bobot 30%).

c. Fungsi Kawasan Budidaya untuk Usaha Pertanian

Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi potensi, sumberdaya alam dan sumber daya manusia. Pada fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian, kekritisan lahan dinilai berdasarkan produktivitas lahan yaitu rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional (bobot 30%), kelerengan lahan (20%), tingkat erosi yang diukur berdasarkan tingkat hilangnya lapisan tanah, baik

(8)

untuk tanah dalam maupun untuk tanah dangkal (15%), batu-batuan (15%) dan manajemen yaitu usaha penerapan teknologi konservasi tanah pada setiap unit lahan 30% (P. 32/Menhut-II/2009).

Rumus fungsi untuk penentuan kekritisan lahan kritis pada masing-masing kawasan adalah:

LK = [ a(50) + b(10) + c(10) + d(30) ] Keterangan:

LK = lahan kritis

a = Faktor penutupan lahan/ vegetasi permanen b = Faktor kemiringan lahan

c = Faktor bahaya erosi d = Faktor manajemen

50, 10, 10, 30 = merupakan konstanta dari nilai scoring sesuai kawasannya

F. Universal Soil Loss Equation (USLE)

Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dapat dihitung dengan cara membandingkan tingkat erosi di suatu satuan lahan (land unit) dan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan tersebut. Dalam hal ini tingkat erosi dihitung dengan menghitung perkiraan rata-rata tanah hilang tahunan akibat erosi lapis dan alur yang dihitung dengan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE).

Perhitungan Tingkat Erosi dengan rumus USLE dapat dinyatakan sebagai A = R x K x LS x C x P

Keterangan:

(9)

R = Erosivitas curah hujan tahunan rata-rata (biasanya dinyatakan sebagai energi dampak curah hujan (MJ/ha) x Intensitas hujan maksimal selama 30 menit (mm/jam)

K = Indeks erodibilitas tanah (ton x ha x jam) dibagi (Ha x Mega Joule x mm) LS = Indeks panjang dan kemiringan lereng

C = Indeks pengelolaan tanaman P = Indeks upaya konservasi tanah

1. Indeks Erosivitas Curah Hujan (R)

Indeks erosivitas curah hujan ditentukan untuk setiap satuan lahan tersebut di atas. Data curah hujan jarang didapat di daerah tangkapan air, terutama data tentang intensitas dan lama hujan, serta frekuensi terjadinya hujan. Timbul permasalahan dalam ekstrapolasi data curah hujan dari stasiun cuaca di daerah hilir dan penerapan data tersebut sehubungan dengan perbedaan curah hujan di daerah hulu.

Indeks erosivitas curah hujan EI30 umumnya diterima karena mempunyai korelasi terbaik dengan tanah hilang di Indonesia. Metode RTkRHL-DAS menetapkan R yang setara dengan EI30 yang merupakan indeks erosivitas Wiscmeiers. Pada USLE, E mengacu pada energi kinetis badai dan I30 adalah intensitas curah hujan maksimum selama 30 menit pada saat badai.

Metode penghitungan erosivitas curah hujan tergantung pada jenis data curah hujan yang tersedia. Disarankan agar menggunakan rumus Bols jika diketahui jumlah curah hujan bulanan rata-rata, jumlah hari hujan dalam bulan tertentu, dan curah hujan harian rata-rata maksimal pada bulan tertentu. Rumus Lenvain digunakan apabila hanya tersedia data curah hujan bulanan rata-rata.

(10)

- Rumus Bols

Rumus Bols digunakan apabila memungkinkan. Rumus Bols memerlukan data jumlah curah hujan bulanan rata-rata, jumlah hari hujan bulanan rata-rata, dan curah hujan harian rata-rata maksimal pada bulan tertentu dengan rumus sebagai berikut :

Rm = 6,119 x (Rain)m 1,21 x (Days)m 0,47 x (Max P)m 0,53 Keterangan:

Rm = erosivitas curah hujan bulanan rata-rata (EI30) (Rain) m = jumlah curah hujan bulanan rata-rata dalam cm

(Days)m = jumlah hari hujan bulanan rata-rata pada bulan tertentu

(Max P)m = curah hujan harian rata-rata maksimal pada bulan tertentu dalam cm dan R = Σ m12=1 (Rm)

dimana : R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata = jumlah Rm selama 12 bulan

Rumus Bols menggunakan data jangka panjang curah hujan bulanan rata-rata sedikitnya untuk 10 tahun dan akan lebih baik jika lebih dari 20 tahun. Rumus Bols ini dibuat untuk Jawa dan Madura dan karena itu mungkin tidak sesuai untuk daerah lain di Indonesia, terutama daerah yang beriklim lebih kering. Alternatif termudah untuk Jawa dan Madura adalah menggunakan peta Bols (Bols 1978). Terutama apabila tidak tersedia data jangka panjang.

- Rumus Lenvain

Rumus Lenvain digunakan apabila hanya tersedia data curah hujan tahunan rata-rata. Rumusnya adalah sebagai berikut :

(11)

Keterangan:

Rm = erosivitas curah hujan bulanan (Rain) m = curah hujan bulanan dalam cm

dan R = Σ m12=1 (Rm)= jumlah Rm selama 12 bulan

Curah hujan bulanan rata-rata yang digunakan adalah data jangka panjang: minimal 10 tahun dan akan lebih baik jika 20 tahun atau lebih. Disarankan agar tidak menghitung R tahunan dari catatan curah hujan harian, sebab akan dibutuhkan catatan curah hujan dalam waktu yang panjang yang akan membuat perhitungan menjadi berlebihan.

2. Indeks Erodibilitas Tanah (K)

Faktor erodibilitas tanah adalah indeks kuantitatif kerentanan tanah terhadap erosi air. Faktor K merupakan tanah hilang tahunan rata-rata dalam ton/ha/satuan EI30 seperti yang dihitung dari tanah hilang pada plot-plot sepanjang 22.1 m di lahan kosong dan diolah sejajar dengan lereng 9%. Nilai yang dihitung berdasarkan percobaan berkisar antara 0.00 untuk tanah yang paling resistan hingga 0.69 untuk tanah yang paling mudah tererosi.

Sifat-sifat fisik tanah seperti tekstur, persentase bahan organik, struktur, dan permeabilitas sangat berpengaruh pada erodibilitas tanah. Umumnya tanah dengan erodibilitas rendah mempunyai proporsi pasir halus dan debu rendah, kandungan bahan organik yang tinggi, struktur yang baik dan tingkat infiltrasi yang tinggi. Rumus K yang disesuaikan sebagai alternatif kedua selain menggunakan nomograf, dapat juga digunakan rumus K yang disesuaikan (Hamer, 1981). Informasi yang dibutuhkan adalah % debu, % pasir sangat halus dan % lempung, namun rumus

(12)

ini disarankan tidak digunakan untuk tanah dengan kandungan debu atau lempung yang tinggi (> 70%).

Oleh karena itu disarankan agar menggunakan rumus berikut ini

K = {2,71 x 10-4 x (12 – OM) x M 1,14 + 4,20 x (s-2) + 3,23 x (p-3)} / 100

Keterangan:

K = faktor erodibilitas tanah, dalam satuan SI (metrik) ton.ha.jam/(ha.MJ.mm) OM = persentase bahan organik

s = kelas struktur tanah (berdasarkan USDA Soil Survey Manual 1951) p = kelas permeabilitas tanah (berdasarkan USDA Soil Survey Manual 1951) M = (% debu + % pasir sangat halus) x (100 - % lempung)

Tabel 1. Nilai Struktur Tanah

Kelas Struktur Tanah Diameter Nilai

Granuler sangat halus < 1 mm 1

Granuler halus 1 - 2 mm 2

Granuler kasar 2 - 10 mm 3

Gumpal, lempeng, pejal >10 mm 4

Sumber: (Arsyad, 2006) Tabel 2. Nilai Permeabilitas Tanah Kelas Rataan Permeabilitas Nilai Permeabilitas (cm/ha) Sangat lambat < 0.5 6

Lambat 0.8 - 2.0 5

Sedang sampai lambat 2.0 - 6.3 4

Sedang 6.3 - 12.7 3

Sedang sampai cepat 12.7 - 25.4 2

Cepat > 25.4 1

Sumber: (Arsyad, 2006)

3. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)

Faktor panjang dan kemiringan lereng merupakan sumber terjadinya kesalahan yang terbesar jika diterapkan dalam rumus USLE pada metodologi RTK-RHL. Hal ini disebabkan oleh penggunaan peta dengan skala 1 : 25.000 atau 1 : 50.000 untuk mendapatkan nilai panjang dan kemiringan lereng. Peta lereng

(13)

yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan satuan lahan, memberi informasi lereng yang terlalu umum untuk digunakan dalam rumus USLE, terutama jika informasi tersebut dihitung dari informasi kontur.

Panjang lereng harus ditentukan di lapangan. L merupakan panjang lereng dari batas atas lapangan (misalnya batas lapangan bervegetasi) hingga ke titik dimana aliran air terkonsentrasi pada saluran di lapangan, jurang atau sungai, atau titik dimana mulai terjadi deposisi. Nilai panjang rata-rata dan nilai kemiringan lereng dapat digunakan untuk satu satuan lahan yang tidak banyak mempunyai variasi. Perlu ditekankan bahwa informasi kemiringan lereng dan panjang lereng yang lebih diandalkan diperoleh dari pengukuran lereng di lapangan yang kemudian dibagi lagi seperti yang diperlukan tiap satuan lahan, menjadi satuan lahan yang lebih kecil dan terinci, berdasarkan kemiringan lereng dan panjang lereng. Yang terpenting yaitu informasi lereng harus dipetakan secara terinci.

Menentukan kemiringan lereng rata-rata (S) dalam % dan panjang lereng rata-rata di lapangan (L) untuk lahan pertanian kurang lebih dalam satuan lahan yang sama. Disarankan agar menggunakan nomograf LS. LS untuk RTkRHL-DAS dapat juga dihitung dengan dua rumus yang penggunaannya tergantung pada kemiringan lereng lebih besar atau kurang dari 22%. Karena rumus kedua menggunakan kemiringan lereng dalam derajat bukannya dalam prosentase, penggunaan rumus-rumus tersebut mungkin akan membingungkan dan rumit sehingga penggunannya tidak disarankan.

Lereng < 22%

Untuk lereng <22% rumusnya adalah :

(14)

Keterangan:

La = panjang lereng aktual dalam m.

S = kemiringan lereng dalam % dibagi seratus.

Rumus ini merupakan penyederhanaan rumus Wishmeier and Smith (1978) Lereng > 22%

Untuk lereng > 22% digunakan rumus Gregory :

LS = (La / 2,21)m x C x Cos (sd)1.503 x {0,5 x sin (sd)1.249 + sin (sd)2,249} Keterangan:

sd = kemiringan lereng dalam derajat C = konstanta (34,7046)

m = 0,5

Jika panjang lereng dihitung dari peta topografi berskala 1 : 50.000, maka digunakan rumus Eyles (1968) sebagai berikut :

Lo = 1/ 2D Keterangan:

Lo = panjang lereng (m)

D = kerapatan pengaliran aktual yang dihitung dengan rumus : D = 1,35 d + 0,26 s + 2,80

Keterangan:

D = kerapatan pengaliran (drainase) aktual (km/km2)

d = kerapatan drainase hasil perhitungan dari peta topografi (km/km2) s = kemiringan lereng rata-rata (%)

Cara Eyles tersebut digunakan karena perhitungan kerapatan drainase yang hanya berdasarkan peta topografi, khususnya untuk daerah pegunungan akan

(15)

memberikan hasil yang kurang mewakili keadaan sebenarnya di lapangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di daerah pegunungan di Malaysia, diketahui bahwa kerapatan drainase yang dihitung dengan peta dan yang dihitung aktual di lapangan terdapat penyimpangan sekitar 4,6 sampai 5,4 untuk satuan unit DTA yang sama.

Jika besarnya panjang lereng telah diketahui, maka nilai faktor panjang lereng L dapat dihitung dengan persamaan :

L = √ Lo/ 22, dengan

L = nilai faktor panjang lereng (unit metrik) Lo = panjang lereng (m)

Hasil perhitungan nilai faktor panjang lereng dengan rumus tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Faktor Panjang Lereng (L) dan Kelas Drainase Kelas Drainase Rata-rata panjang lereng (m) Nilai L

A B C D 50 75 150 300 1,5 1,8 2,7 3,7

Nilai faktor kemiringan lereng (S) dapat dihitung dengan cara empiris dan estimasi (Eppink, 1979) yang dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut:

S = (s/9) 1,4 , dengan s = kemiringan lereng (%)

Berdasarkan kelas kemiringan lereng, besarnya nilai tersebut dihitung dan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Faktor Kemiringan Lereng (S)

Kelas Lereng Kemiringan (%) Rata-rata Nilai S I II III IV V VI 0-3 3-8 8-15 15-25 25-40 40-65 0,1 0,5 1,4 3,1 6,1 11,9

(16)

4. Indeks Pengelolaan Tanaman (C) dan Konservasi Tanah (Nilai P).

Faktor C ditunjukkan sebagai angka perbandingan yang berhubungan dengan tanah hilang tahunan pada areal yang bervegetasi dengan areal yang sama jika areal tersebut kosong dan ditanami secara teratur. Semakin baik perlindungan permukaan tanah oleh tanaman pangan/vegetasi semakin rendah tingkat erosi. Nilai faktor C berkisar antara 0,001 pada hutan tak terganggu hingga 1,0 pada tanah kosong. Informasi penutup lahan yang digunakan untuk menentukan satuan peta tidak cukup terinci untuk digunakan sebagai indeks pengelolaan tanaman. Hal yang sangat penting adalah memetakan faktor C serinci mungkin. Hal ini dilakukan dengan menggunakan satuan lahan yang lebih terinci yang dibagi lagi berdasarkan kemiringan dan panjang lereng. Informasi tentang vegetasi penutup lahan yang ada, harus dicek secara intensif dan dipetakan lebih terinci dengan menggunakan interpretasi foto udara dan kerja lapangan. Indeks pengelolaan tanaman umum ditunjukkan pada Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel 7. Nilai C rata-rata ditentukan untuk tiap satuan lahan dengan mempertimbangkan areal yang ditutup oleh tiap jenis tanaman/vegetasi.

(17)

Tabel 5. Indeks Pengelolaan Tanaman (Nilai C)

Jenis Tanaman C

Padi sawah 0,01

Tebu 0,2 – 0,3*

Padi gogo (lahan kering) 0,53

Jagung 0,64 Sorgum 0,35 Kedelai 0,4 Kacang tanah 0,4 kacang hijau 0,35 Kacang tunggak 0,3 Kacang gude 0,3 Ubi kayu 0,7 Talas 0,7

Kentang ditanam searah lereng 0,9 Kentang ditanam menurut kontur 0,35

Ubi jalar 0,4

Kapas 0,7

Tembakau 0,4 – 06*

Jahe dan sejenisnya 0,8 Cabe, bawang, sayuran lain 0,7

Nanas 0,4 Pisang 0,4 Teh 0,35 Jambu mete 0,5 Kopi 0,6 Coklat 0,8 Kelapa 0,7 Kepala sawit 0,5 Cengkeh 0,5 Karet 0,6–0,75* Serai wangi 0,45

Rumput Brachiaria decumbens tahun 1 0,29 Rumput Brachiaria decumbens tahun 2 0,02 Rumput gajah, tahun 1 0,5 Rumput gajah, tahun 2 0,1 Padang rumput (permanen) bagus 0,04 Padang rumput (permanen) jelek 0,4 Alang-alang, permanen 0,02 Alang-alang, dibakar sekali setiap tahun 0,1 Tanah kosong, tak diolah 0,95 Tanah kosong diolah 1,0 Ladang berpindah 0,4 Pohon reboisasi, tahun 1 0,32 Pohon reboisasi, tahun 2 0,1 Tanaman perkebunan, tanah ditutup dengan bagus 0,1 Tanaman perkebunan, tanah berpenutupan jelek 0,5 Semak tak terganggu 0,01 Hutan tak terganggu, sedikit seresah 0,005 Hutan tak terganggu, banyak seresah 0,001

Sumber: Abdurrachman et al. (1984); Ambar dan syahfrudin dikutip oleh BPDAS Wampu Sei ular (2005) dan Rahmawaty (2009)

(18)

Tabel 6. Indeks Konservasi Tanah (Nilai P)

Teknik Konservasi Tanah P

Teras bangku, baik 0,04

Teras bangku, sedang 0,15

Teras bangku, jelek 0,40

Teras tradisional 0,35

Teras gulud, baik 0,15

Hillside ditch atau filed pits 0,30

Kontur cropping kemiringan 1-3% 0,4

Kontur cropping kemiringan 3-8% 0,5

Kontur cropping kemiringan 8-15% 0,6

Kontur cropping kemiringan 15-25% 0,8

Kontur cropping kemiringan >25% 0,9

Strip rumput permanen, baik, rapat dan berlajur 0,04

Strip rumput permanen jelek 0,4

Strip crotolaria 0,5

Mulsa jerami sebanyak 6 t/ha/th 0,15

Mulsa jerami sebanyak 3 t/ha/th 0,25

Mulsa jerami sebanyak 1 t/ha/th 0,60

Mulsa jagung, 3 t/ha/th 0,35

Mulsa Crotolaria, 3 t/ha/th 0,50

Mulsa kacang tanah 0,75

Bedengan untuk sayuran 0,15

Sumber: Abdurrachman et al. (1984); Ambar dan syahfrudin dikutip oleh BPDAS Wampu Sei ular (2005) dan Rahmawaty (2009)

Tabel 7. Nilai Faktor CP dalam Penggunan Lahan

Jenis Tutupan Lahan CP

Hutan Primer

Tanpa tutupan lahan dan serasah Tanpa tutupan lahan

0.01 0.05 0.50 Semak Belukar Primer Rumput 0.01 0.20 Kebun Kebun-talun Kebun- pekarangan 0.01 0.07 Perkebunan

Tutupan lahan banyak Sedang Rumput Akar 0.01 0.02 0.06 0.65 Tanaman pertanian Umbi-umbian Biji-bijian Kacang-kacangan Campuran Padi irigasi Penanaman

1 tahun tanam- tidak tanam 1 tahun tanam-2 tahun tidak tanam Pertanian dengan konservasi Jerami Bangku teras Tanaman panen 0.51 0.51 0.36 0.43 0.02 0.28 0.19 0.14 0.04 0.14

Sumber: Abdurrachman et al. (1984); Ambar dan syahfrudin dikutip oleh BPDAS Wampu Sei ular (2005) dan Rahmawaty (2009)

(19)

G. Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Pada tanggal 31 januari 2001 dikeluarkan SK Menhut No. 20/Kpts-II/2001, tanggal 31 Januari 2001 tentang standar dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan yang merupakan acuan dari seluruh pihak untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahn secara terpadu dan berkelanjutan. Tujuan rehabilitasi hutan dan lahan seperti tersebut pada SK Menhut adalah terpilihnya sumberdaya hutan dan lahan yang rusak sehingga berfungsi optimal yang dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak, menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS dan mendukung kelangsungan pembangunan (Departemen kehutanan, 2002).

Daerah rehabilitasi dapat ditentukan dengan melakukan analisis spasial peta tematik berdasarkan Sistem Informasi Geografi. Distribusi tingkat kekritisan resapan air diperoleh dengan menggunakan metode tumpang susun (overlying) dan tumpang tindih (intersecting) antara peta tematik penyebaran hujan, jenis tanah, kemiringan lereng dan penggunaan lahan. Peta peta tematik tersebut masing masing diubah menjadi peta tematik potensi infiltrasi. Ketiga faktor ini memberikan indeks tingkat infiltrasi potensial yang alami. Sedangkan penggunaan lahan merupakan faktor yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang memberikan implikasi berbeda terhadap infiltrasi. Faktor alamiah (distribusi hujan, tanah dan kemiringan lereng) mencerminkan kondisi potensial sedangkan penggunaan lahan mencerminkan kondisi aktualnya. Dengan menumpangsusunkan faktor alamiah dengan faktor aktual sudah ditransformasi maka diperoleh tematik tingkat kekritisan resapan air (Narulita dkk, 2008).

(20)

H. Aplikasi GIS dalam Kaitannya dengan Lahan Kritis

Mengingat kerusakan lahan atau terjadinya lahan kritis perlu diteliti tingkat kekritisan lahan dan cara penanganannya dengan cara teknik vegetatif yang didukung teknik sipil yang memadai. Dengan demikian dapat memberikan arahan perbaikan kondisi produktivitas tanah dan produksi usaha tani untuk kesejahteraan masyarakat, selain untuk perbaikan sistem tata air. Selain itu juga untuk mengetahui karakteristik dan luas lahan kritis serta tingkat kekritisan lahan yang diindikasikan dengan besarnya tingkat bahaya erosi (TBE), yaitu berdasarkan prakiraan besarnya erosi dengan menggunakan metode USLE dan dengan mempertimbangkan kedalaman solum tanah serta untuk mencari alternatif cara penanganan lahan kritis. Metode penelitian yang digunakan meliputi pemetaan dan pendekatan diskriptif dan kuantitatif yang secara garis besar bentuk analisanya adalah menggunakan Geographic Information System (GIS). Untuk digunakan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE) menghitung besarnya erosi. Analisa penentuan lahan kritis dilakukan dengan cara pengaplikasian GIS melalui software ArcView dalam mengolah peta-peta digital yang dibutuhkan seperti tutupan lahan, kelerengan, erosi, manajemen dan produktivitas. Hal dimaksudkan untuk penetapan luas tutupan lahan, penetapan luas lahan kritis, penetapan kemiringan lereng, penetapan bentuk lahan serta identifikasi sumber-sumber air (Hartono, 2004).

Sebagai suatu perangkat analisis ruang, SIG dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan berbagai analisis. Berbagai kemampuan analisis standar yang dimiliki perangkat lunak SIG adalah analisis query untuk memilah objek menurut kriteria tertentu, analisis pertampalan (overlay) untuk mengetahui

(21)

sebaran/distribusi dari suatu objek untuk mengetahui variasi pola dan jumlah atribut terhadap ruang, analisis aliran didalam suatu jaringan untuk menganalisis pola aliran dan analisis tiga dimensi. Dengan kemampuan tersebut, sehingga SIG sangat menarik untuk digunakan dalam berbagai bidang kegiatan yang menyangkut analisis objek geografis. Banyak studi telah dilakukan baik oleh perguruan tinggi maupun lembaga riset untuk menguji kemampuan SIG diberbagai bidang seperti pertanian, kehutanan, dan pengembangan wilayah menggambarkan aplikasi SIG pada tahap eksperimental (Prabawasari, 2003).

Penentuan lahan kritis dalam suatu DAS atau Sub DAS dilakukan dengan pemodelan spasial menggunakan perangkat lunak GIS. Metode yang digunakan untuk perolehan data ini adalah overlay dengan cara scoring untuk penentuan tingkat kekritisan suatu lahan. Data lereng yang dihasilkan pada kegiatan ini merupakan suatu produk dari aplikasi otomatis perangkat lunak GIS ArcView 3.2 melalui fasilitas ekstensi Spatial Analisis. Salah satu kelebihan tools ini adalah pengguna dapat menentukan kelas lereng secara fleksibel sesuai peruntukannya. Hal ini dikarenakan format data yang digunakan sebagai bahan analisa adalah format grid. Lalu data ini harus dikonversi kembali ke format vektor agar dapat dianalisa bersamaan dengan data-data atau pemodelan spasial (Sismanto, 2009).

Kebutuhan data terkini, akurasi tinggi, pada areal yang luas untuk memantau perubahan satu kesatuan pengelolaan DAS. Data yang diperoleh dari teknologi PJ yang di cek di lapangan digunakan sebagai masukan bagi Sistem Informasi Geografis (SIG) selanjutnya diproses dan dianalisa sehingga diperoleh peta ketinggian tempat, topografi dan kemiringan lereng. SIG sangat diperlukan

(22)

untuk membantu keterbatasan dana, waktu dan tenaga kerja namun diperoleh akurasi tinggi secara mudah, cepat dan murah setiap waktu (Harjadi dkk, 2007).

Dalam hubungannya dengan perencanaan pembangunan wilayah penelitian tentang lahan kritis mempunyai kaitan yang sangat erat dimana kerusakan lahan atau terjadinya lahan kritis di daerah Sub DAS akan mempengaruhi kelangsungan sumber air seperti keperluan PLTA di daerah tersebut yang akan mengganggu kehidupan masyarakat yang menggunakan listrik sebagai sumber penggerak peralatan rumah tangga, industri dan mempengaruhi irigasi dan pengamanan disetiap daerah yang berhubungan (Hartono, 2004).

Gambar

Tabel 3. Nilai Faktor Panjang Lereng (L) dan Kelas Drainase  Kelas Drainase  Rata-rata panjang lereng (m)  Nilai L
Tabel 5. Indeks Pengelolaan Tanaman (Nilai C)
Tabel 7. Nilai Faktor CP dalam Penggunan Lahan

Referensi

Dokumen terkait

Agama dan Tuhan tidak dianggap sebagai sesuatu yang sacral, melainkan hanya dianggap sebagai pelengkap hidup manusia yang menjadi ranah privatisasi yang bebas dianut atau tidak

Bila suatu reaksi dilakukan dalam sistem terisolasi (tersekat) mengalami perubahan yang mengakibatkan terjadinya penurunan energi potensial partikel-partikelnya, maka

Kriteria komplikasi kehamilannya adalah ≥3 kali kejadian keguguran secara berturut-turut pada usia kehamilan kurang dari 10 minggu, ≥1 kali kematian janin yang tidak

Jika semua data pada form data kasus telah terisi, maka sistem akan melakukan perankingan alternatif sesuai prosedur metode TOPSIS dan menampilan hasil

Alat itu digunakan pada proses terakhir yaitu pada proses pengaduk telur omlet, dimana alat tersebut bekerja menggunakan sumber daya dari motor listrik yang menggerakkan

Faktor dan komponen tersebut adalah guru.Untuk meningkatkan kinerja yang baik,dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas komunikasi, dengan melalui motivasi

Mengingat strategisnya peranan system informasi remunerasi, maka sistem tersebut harus didesain sebaik mungkin agar dapat memberikan layanan yang cepat dan akurat untuk karyawan

It has been widely recognized that interlanguage fossilization is the common phenomena in second or foreign language acquisition. Interlanguage fossilization is