• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Konsep dan Indikator Kemiskinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2.1. Konsep dan Indikator Kemiskinan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.

Konsep dan Indikator Kemiskinan

Bila di tinjau dari pihak yang mempersoalkan dan mencoba mencari solusi

atas masalah kemiskinan, kemiskinan merupakan masalah pribadi, keluarga,

masyarakat, Negara, bahkan dunia. Masyarakat melalui berbagai lembaga telah

memberikan perhatian sehubungan dengan penanggulangan masalah kemiskinan.

Terlebih pribadi dan keluarga yang secara langsung merasakan pahitnya

kemiskinan itu, tentu memiliki agenda tertentu dalam upaya mengakhiri

penderitaan sebagai akibat dari kemiskinan. Namun masalah kemiskinan masih

tetap eksis, bahkan dalam periode tertentu justru menunjukkan peningkatan.

Kemiskinan identik dengan suatu penyakit. Oleh karena itu langkah pertama

penanggulangan masalah kemiskinan adalah memahami kemiskinan sebagai suatu

masalah. Untuk memahami masalah kemiskinan, kita perlu memandang

kemiskinan itu dari dua aspek, yakni kemiskinan sebagai suatu kondisi dan

kemiskinan sebagai suatu proses (Siagian, 2012:2).

Sebagai suatu kondisi, kemiskinan adalah suatu fakta di mana seseorang

atau sekelompok orang hidup di bawah atau lebih rendah dari kondisi hidup layak

sebagai manusia disebabkan ketidakmampuannnya dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya. Maksudnya dalam menjelaskannya kita harus terlebih dahulu

menyatakan fakta yang menggambarkan kondisi kehidupannya, bukan

ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sementara sebagai suatu

proses, kemiskinan merupakan proses menurunnya daya dukung terhadap hidup

(2)

seseorang atau sekelompok orang sehingga pada gilirannya ia atau kelompok

tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak pula mampu

mencapai taraf kehidupan yang di anggap layak sesuai dengan harkat dan

martabatnya sebagai manusia. Bagaimana pun, keadaan yang dijalani manusia

bukan hanya ditentukan oleh diri sendiri, melainkan ditentukan juga oleh banyak

faktor, baik internal maupun eksternal. Dalam konteks ini, ada kalanya faktor

internal seperti pengetahuan, keterampilan, etos kerja dan/atau prinsip hidup

seseorang atau sekelompok orang memiliki daya dukung yang cukup untuk

menjadikannya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak masuk ke

dalam perangkap kemiskinan. Demikian halnya dengan faktor eksternal, seperti

keadaan dan kualitas alam, struktur sosial maupun kebijakan pemerintah yang ada

kalanya memiliki daya dukung yang cukup untuk menjadikan seseorang atau

sekelompok orang itu mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak

masuk ke dalam perangkap kemiskinan (Siagian, 2012:4).

Mencher (dalam Kemiskinan dan Solusi 2012:5) mengemukakan,

kemiskinan adalah gejala penurunan kemampuan seseorang atau sekelompok

orang atau wilayah sehingga mempengaruhi daya dukung hidup seseorang atau

sekelompok orang tersebut, dimana pada suatu titik waktu secara nyata mereka

tidak mampu mencapai kehidupan yang layak. Hal yang cukup menarik dari apa

yang di kemukakan Mencher adalah bahwa dalam upaya mencapai taraf hidup

yang layak, seseorang atau sekelompok orang membutuhkan dukungan, baik dari

diri sendiri yang pada uraian sebelumnya diidentifikasikan sebagai faktor internal

maupun wilayah, yang dalam hal ini merupakan faktor eksternal. Sedangkan

(3)

merupakan suatu tingkat kehidupan yang berada di bawah standar kebutuhan

hidup minimum agar manusia dapat bertahan hidup. Adapun standar kebutuhan

minimum dimaksud pada umumnya ditetapkan berdasarkan kebutuhan pokok

pangan. Cara ini ditempuh karena kebutuhan pokok pangan inilah yang

mengakibatkan sekaligus merupakan sumber dari manusia untuk memiliki

kemampuan yang cukup untuk melakukan pekerjaan atau aktivitas hidup dengan

sehat.

2.1.1. Defenisi Kemiskinan

Secara ilmiah defenisi diartikan sebagai batasan arti. Rumusan defenisi

membantu kesulitan yang dihadapi dalam merumuskan pengertian yang

komprehensif dan sempurna tentang suatu konsep, yang dalam hal ini adalah

kemiskinan (Siagian, 2012:25). Berikut ini disajikan beberapa defenisi

kemiskinan:

1.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia kemiskinan adalah situasi

penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan,

pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan

tingkat kehidupan yang minimum. (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,

2008)

2. Jika ditinjau dari standar kebutuhan hidup yang layak atau pemenuhan

kebutuhan pokok, maka kemiskinan adalah suatu kondisi tidak

terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok atau kebutuhan-kebutuhan

dasar yang disebabkan kekurangan barang-barang dan

pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan dalam upaya memenuhi standar hidup yang

layak.

(4)

3. Jika ditinjau dari pendapatan, maka kemiskinan adalah kondisi kurangnya

pendapatan sebagai modal untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

4. Jika ditinjau dari kesempatan, maka kemiskinan merupakan dampak dari

ketidaksamaan kesempatan memperoleh dan mengakumulasikan

basis-basis kekuatan sosial seperti keterampilan, informasi dan pengetahuan,

jaringan-jaringan sosial, organisasi-organisasi sosial dan politik, dan

sumber-sumber modal sebagai upaya pengembangan hidup (Matias

Siagian, 2012).

5. Jika ditinjau dari penguasaan sumber-sumber, kemiskinan merupakan

keterlantaran yang disebabkan oleh penyebaran yang tidak merata dari

sumber-sumber, termasuk didalamnya pendapatan (Sjahrir, 1986).

6. Kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan dalam memenuhi

hak-hak dasar dalam rangka memepertahankan dan mengembangkan

kehidupan yang bermartabat. (Bappenas, dalam Esmara, 1995)

7. Kemiskinan merupakan kondisi yang dialami manusia saat mana jumlah

rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kurang

dari 2.100 kalori perkapita. (Esmara, 1995)

2.1.2. Aspek-aspek Kemiskinan

Banyak pihak merasa telah memahami kemiskinan itu, namun

sesungguhnya belumlah memahaminya secara holistik. Hal inilah yang

menyebabkan kemiskinan itu merupakan suatu masalah yang sangat sulit dicari

dan diaplikasikan langkah-langkah penyelesaiannya. Langkah pertama yang tepat

dilakukan dalam upaya memahami kemiskinan secara holistik adalah dengan

(5)

melakukan kajian tentang aspek-aspek kemiskinan itu sendiri (Supriatna

2000:126), yaitu:

1. Kemiskinan itu multi dimensi.

Sifat kemiskinan sebagai suatu konsep yang multi dimensi berakar

dari kondisi kebutuhan manusia yang beranekaragam. Akibatnya, jika

mengemukakan seseorang atau sekelompok orang itu miskin, masih akan

menimbulkan pertanyaan: apanya yang miskin atau miskin apa? Sebagai

contoh, ditinjau dari segi kebijakan umum, maka kemiskinan itu meliputi

aspek-aspek primer seperti miskin akan asset-asset, organisasi-organisasi

sosial, kelembagaan-kelembagaan sosial, berbagai pengetahuan serta

berbagai keterampilan yang dianggap dapat mendukung kehidupan

manusia. Sedangkan aspek sekundernya antara lain adalah miskinnya

informasi, jaringan sosial dan sumber-sumber keuangan yang kesemuanya

merupakan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai jembatan

memperoleh suatu fasilitas yang dapat mendukung upaya

mempertahankan, bahkan meningkatkan kualitas hidup.

2. Aspek-aspek kemiskinan saling berkaitan, baik secara langsung maupun

tidak langsung.

Sebagai konsekwensi logisnya, kemajuan atau kemunduran pada

salah satu aspek dapat mengakibatkan kemajuan atau kemunduran pada

aspek lainnya. Justru kondisi seperti inilah yang mengakibatkan tidak

mudahnya menganalisis kemiskinan itu menuju pada pemahaman yang

komprehensif.

(6)

Fenomena yang sering kita temui adalah, pendapatan yang

diperoleh sekelompok orang yang bermukim ditempat yang sama boleh

sama, namun kualitas individu atau keluarga yang di miliki mungkin saja

berbeda. Keadaan yang demikian sering mengkondisikan kita untuk

mengidentifikasi kemiskinan sebagai sesuatu yang serba abstrak dan tidak

mungkin di ukur. Ada pula yang cenderung menyatakan kemiskinan itu

sebagai abstraksi dari perasaan sehingga mustahil untuk diukur. Cara

berpikir seperti ini harus dicegah karena akan menjauhkan kita dari

pemahaman yang benar dan holistik tentang kemiskinan itu sehingga kita

pun mustahil dapat menemukan solusi. Ada beberapa hal yang

mengindikasikan kepada kita bahwa kemiskinan itu benar-benar fakta

yang terukur. Demikian terukurnya kemiskinan itu sehingga dapat

diklasifikasi ke dalam berbagai tingkatan seperti: miskin, sangat miskin

dan sangat miskin sekali. Demikian halnya dengan BKKBN yang sering

mengklasifikasikan kondisi kehidupan masyarakat ke dalam berbagai

tingkat seperti: prasejahtera, sejahtera 1 dan sejahtera 2.

4. Bahwa yang miskin adalah manusianya, baik secara individual maupun

kolektif.

Kita sering mendengar istilah kemiskinan perdesaan (rural

poverty), kemiskinan perkotaan (urban poverty), dan sebagainya. Berbagai

istilah tersebut bukanlah berarti bahwa yang mengalami kemiskinan itu

adalah desa atau kota. Kondisi desa dan kota itu merupakan penyebab

kemiskinan bagi manusia. Dengan demikian pihak yang menderita miskin

(7)

hanyalah manusia, baik secara individual maupun kelompok, dan bukan

wilayah.

2.1.3. Gejala-Gejala Kemiskinan

Untuk memahami kemiskinan secara akurat dan komprehensif diperlukan

data yang lengkap dan valid. Upaya seperti ini menuntut waktu yang panjang,

bahkan tenaga maupun dana yang besar. Akibatnya jarang dilakukan dan sangat

sedikit pihak yang melakukannya. Upaya memahami kemiskinan lebih sering

dilakukan dengan cara atau pendekatan lain (Suparlan, 1983:84), misalnya

melalui gejala-gejala kemiskinan, seperti:

1. Kondisi Kepemilikan Faktor Produksi.

Kemiskinan tidak datang secara serta merta. Demikian halnya dengan

pendapatan, juga tidak datang secara serta merta. Semuanya melalui

saluran, sumber dan proses tertentu. Dengan demikian, salah satu

pendekatan untuk mengetahui kemiskinan adalah mengetahui pekerjaan

atau mata pencaharian, apa alat atau faktor yang digunakan saat bekerja

dalam upaya mendapatkan pencaharian itu. Pemahaman akan berbagai hal

tersebut merupakan jalan bagi kita untuk mengetahui apakah seseorang

atau sekelompok orang tersebut miskin atau tidak.

2. Angka Ketergantungan Penduduk.

Secara teoritis memang di kenal banyak sumber pendapatan,

seperti hasil usaha atau keuntungan, upah, bunga tabungan dan lain-lain.

Namun bagi mayoritas masyarakat, ada satu kalimat yang berlaku secara

umum: orang hanya akan memiliki pendapatan jika bekerja. Namun pada

kenyataannya, angka ketergantungan dalam masyarakat atau keluarga

(8)

sangat tinggi. Dalam sebuah keluarga dengan empat orang anak atau lebih,

misalnya sering hanya satu orang yang bekerja, sedangkan lima orang

menggantungkan hidupnya pada satu orang. Gejala seperti ini sangat

umum dalam Negara yang menawarkan lapangan atau kesempatan kerja

yang kecil seperti Indonesia. Tingginya angka ketergantungan di Indonesia

sangat nyata, dimana bekerja di Negara lain saat ini menjadi alternatif,

termasuk bagi tenaga yang tidak terampil.

3. Kekurangan Gizi.

Pendapatan merupakan unsur yang secara langsung dapat digunakan

sebagai alat memenuhi kebutuhan agar seseorang itu dapat hidup secara

layak. Pemenuhan kebutuhan tentu dilakukan secara hierarkis, mulai dari

kebutuhan fisik, sebagai unsur yang menempati prioritas utama dari

berbagai unsur yang termasuk kebutuhan pokok. Laporan dari berbagai

institusi seperti dinas kesehatan, puskesmas maupun rumah sakit sering

menggambarkan status gizi masyarakat. Berbagai media massa sering

menginformasikan tentang kondisi masyarakat yang kurang gizi. Informasi

ini merupakan gejala sangat miskinnya seseorang atau sekelompok orang.

Masalahnya, berbagai unsur terdapat dalam kebutuhan pokok, dimana

kebutuhan fisik merupakan kebutuhan yang paling utama. Oleh krena itu,

tidak terpenuhinya kebutuhan fisik yang mengakibatkan seseorang atau

sekelompok orang itu teridentifikasi kekurangan gizi menjadi gejala

betapa miskinnya seseorang atau sekelompok orang itu.

(9)

Di era modern sekarang ini, pendidikan dianggap sebagai sesuatu

yang penting. Pendidikan bahkan telah dianggap sebagai indikator utama

kedudukan dalam masyarakat. Berbagai kebijakan telah ditetapkan

pemerintah dalam rangka membuka dan mempermudah akses masyarakat

terhadap pendidikan. Namun hingga saat ini pendidikan masih belum

gratis, bahkan masih cukup mahal, terutama pendidikan dengan kualitas

dan tingkat yang tinggi. Di usia kemerdekaan Negara kita yang bagaikan

manusia yang makin dewasa, kesadaran akan pentingnya pendidikan

semakin meningkat. Oleh karena itu, rendahnya pendidikan yang dimiliki

masyarakat bukanlah disebabkan oleh kesadaran atas pendidikan yang

rendah, melainkan disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk

mendapatkan pendidikan. Dengan demikian pendidikan yang rendah juga

merupakan gejala kemiskinan.

2.1.4. Karakteristik Penduduk Miskin

Sulit memperoleh informasi secara jelas dan akurat berkaitan dengan

indikasi-indikasi seperti apa yang dapat digunakan sebagai pegangan untuk

menyatakan secara akurat, bahwa orang-orang seperti apa yang dapat

dikategorikan sebagai penduduk miskin. Emil Salim (dalam Supriatna 2000:124)

mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin, kelima karakteristik

penduduk miskin tersebut adalah:

a. Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri.

b. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan

kekuatan sendiri.

(10)

d. Banyak di antara mereka tidak mempunyai fasilitas.

e. Di antara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan

atau pendidikan yang memadai.

Kelompok penduduk miskin yang berada pada masyarakat perdesaan dan

perkotaan, pada umumnya dapat digolongkan, pada buruh tani, petani gurem,

pedagang kecil, nelayan, pengrajin kecil, buruh, pedagang kaki lima, pedagang

asongan, pemulung, gelandangan dan pengemis dan pengangguran. Pada

umumnya penduduk yang tergolong miskin adalah golongan residual yaitu

sebagian masyarakat yang belum disentuh dengan berbagai kebijakan pemerintah

secara terkonsentrasi.

Menurut Siagian (2012:114), secara umum faktor-faktor penyebab

kemiskinan secara kategoris dengan menitikberatkan kajian pada sumbernya

terdiri dari dua bagian besar,yaitu:

1. Faktor Internal, yang dalam hal ini berasal dari dalam diri individu yang

mengalami kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk

kekurangmampuan, yang meliputi:

a. Fisik, misalnya cacat, kurang gizi dan sakit-sakitan.

b. Intelektual, seperti: kurangnya pengetahuan, kebodohan dan miskinnya

informasi.

c. Mental Emosional atau Temperamental, seperti: malas, mudah menyerah

dan putus asa.

d. Spiritual, seperti: tidak jujur, penipu, serakah dan tidak disiplin.

(11)

f. Keterampilan, seperti: tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan

tuntutan lapangan kerja.

g. Asset, seperti: tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah,

tabungan, kendaraan dan modal kerja.

2. Faktor Eksternal, yakni bersumber dari luar diri individu atau keluarga yang

mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu

menjadikannya miskin, meliputi:

a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar.

b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai asset dan alat

memenuhi kebutuhan hidup.

c. Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya

usaha-usaha sektor informal.

d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga

yang tidak mendukung sektor usaha mikro.

e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor

rill masyarakat banyak.

f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang

belum optimal, seperti zakat.

g. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan.

h. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana.

i. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material.

j. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata.

(12)

Sulit memperoleh informasi yang jelas mengenai indikasi-indikasi seperti

apa yang dapat digunakan untuk melihat bahwa seorang individu ataupun

kelompok masyarakat itu miskin atau tidak miskin (Siagian 2012:20). Namun

demikian suatu studi menunjukkan adanya lima ciri-ciri kemiskinan, yakni:

1. Mereka yang hidup di bawah kemiskinan pada umumnya tidak memiliki

faktor produksi sendiri, seperti tanah yang cukup luas, modal yang memadai,

ataupun keterampilan yang memadai untuk melakukan suatu aktivitas

ekonomi sesuai dengan mata pencahariannya.

2. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan atau peluang untuk

memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri.

3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, misalnya tidak sampai tamat SD,

atau hanya tamat SD. Kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap

wawasan mereka. Beberapa penelitian antara lain menyimpulkan bahwa

waktu mereka pada umumnya habis tersita hanya semata-mata untuk mencari

nafkah sehingga tidak ada lagi waktu untuk belajar atau meningkatkan

keterampilan. Demikian juga anak-anak mereka, tidak dapat menyelesaikan

sekolahnya, karena harus membantu orang tua mencari tambahan

pendapatan.

4. Pada umumnya mereka masuk ke dalam kelompok penduduk dengan

kategori setengah menganggur. Pendidikan dan keterampilan yang sangat

rendah mengakibatkan akses masyarakat miskin ke dalam berbagai sektor

formal bagaikan tertutup rapat. Akibatnya mereka terpaksa memasuki

sektor-sektor informal. Bahkan pada umumya mereka bekerja serabutan maupun

(13)

5. Banyak di antara mereka yang hidup di kota masih berusia muda, tetapi tidak

memiliki keterampilan atau pendidikan yang memadai. Sementara itu kota

tidak siap menampung gerak urbanisasi dari desa yang makin deras. Artinya,

laju investasi diperkotaan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan tenaga

kerja sebagai akibat langsung dari derasnya arus urbanisasi.

Dalam rangka penetapan sasaran pelayanan kesejahteraan sosial bagi fakir

miskin, Departemen Sosial (2006) mencoba merumuskan indikator yang

merefleksikan tingkat kemiskinan yang sesungguhnya ada pada masyarakat.

Hasilnya adalah dirumuskannya indikator untuk menentukan masyarakat yang

tergolong fakir miskin, meliputi:

1. Penghasilan rendah atau berada dibawah garis sangat miskin yang di ukur

dari tingkat pengeluaran perorangan perbulan berdasarkan standar BPS

perwilayah provinsi dan kabupaten/kota.

2. Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/

beras untuk miskin/ santunan sosial).

3. Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga pertahun

(hanya mampu memiliki satu stel pakaian lengkap perorang pertahun).

4. Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga

yang sakit.

5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar Sembilan tahun bagi

anak-anaknya.

6. Tidak memiliki harta (asset) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual

untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan.

(14)

7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40

tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal.

8. Ada anggota keluarga usia 15 tahun ke atas yang buta huruf.

9. Tinggal dirumah yang tidak layak huni.

10. Luas rumah kurang dari 4 meter persegi.

11. Kesulitan air bersih.

12. Rumahnya tidak mempunyai sirkulasi udara.

13. Sanitasi lingkungan yang kumuh (tidak sehat) (Departemen Sosial).

2.2.

Konsep Strategi Bertahan Hidup

manusia seperti mahluk lainnya, mempunyai naluri untuk

mempertahankan hidupnya dan hidup lebih lama. Usaha ini dikendalikan oleh

aturan pokok dari hidup yaitu, hidup dalam situasi apapun dengan lebih

berkualitas daripada sebelumnya. Ini adalah ide dasar dari bertahan hidup.

Bagaimanapun, untuk meraih tujuan ini seseorang harus menerapkan banyak

taktik untuk hidup, dimanifestasikan dalam satu kesatuan sistematis. Untuk

memahami apa itu strategi bertahan hidup, seseorang harus memahami dulu

konsep dari strategi. Berdasarkan analisis kebijakan sosial, strategi adalah satu set

pilihan dari alternatif-alternatif yang ada. Sebagai bagian dari teori pilihan

rasional, analisis strategi tidak hanya dapat digunakan dalam medan kehidupan

ekonomi, tetapi juga dalam medan politik, kekuasaan dan pembangunan.

Strategi bertahan hidup sebenarnya dibangun pada level individu, akan

tetapi pada tujuannya adalah untuk memperoleh ketahanan dan stabilitas bertahan

(15)

bentuk uang atau sumber-sumber kehidupan agar seseorang dapat melanjutkan

eksistensinya. Selain itu bertahan hidup bisa dipandang sebagai perpaduan antara

kegiatan sosial dan ekonomi yang bertujuan menjaga eksistensi manusia.

Termasuk didalamnya segala usaha yang dipersiapkan untuk menghadapi

situasi-situasi penting dan bertahan dalam keadaan sulit. Kegiatan strategi individu tidak

benar-benar terpisahkan dari pengaruh aturan-aturan yang kuat dan

organisasi-organisasi dimana anggota masyarakat harus menurutinya. Suatu kegiatan dapat

dikatakan strategi bertahan hidup ketika kegiatan diarahkan pada

kebutuhan-kebutuhan penting yang diperlukan sekali untuk mempertahankan dan

melanjutkan eksistensi

Berdasarkan sudut pandang tingkah laku manusia, seseorang selalu perlu

untuk menyesuaikan diri atau mengadaptasikan perilakunya sesuai perubahan

situasi agar dapat bertahan hidup. Dengan kata lain, seseorang tidak akan pernah

bisa mempertahankan hidupnya apabila tidak bisa mengubah tingkah lakunya.

Pada saat perubahan berjalan sangat cepat, seseorang tidak dapat bertahan hidup

apabila terlalu lama memegang struktur lama serta menolak nilai-nilai dalam

struktur baru. Kelanjutan hidup seseorang hanya akan tercapai jika

pengadaptasian tindakan bertahan hidup dilakukan (Tina Suhartini, 2008: 20-23).

Snel dan Staring (dalam Resmi Setia 2005:6) mengemukakan bahwa

strategi bertahan hidup adalah sebagai rangkaian tindakan yang dipilih secara

standar oleh individu dan rumah tangga yang miskin secara sosial ekonomi.

Melalui strategi ini seseorang bisa berusaha untuk menambah penghasilan lewat

pemanfaatan sumber-sumber lain ataupun mengurangi pengeluaran lewat

pengurangan kuantitas dan kualitas barang dan jasa. Cara-cara individu menyusun

(16)

strategi dipengaruhi oleh posisi individu atau kelompok dalam struktur

masyarakat, sistem kepercayaan dan jaringan sosial yang dipilih, termasuk

keahlian dalam memobilisasi sumber daya yang ada, tingkat keterampilan,

kepemilikan asset, jenis pekerjaan, status gender dan motivasi pribadi. Nampak

bahwa jaringan sosial dan kemampuan memobilisasi sumber daya yang ada

termasuk didalamnya mendapatkan kepercayaan dari orang lain membantu

individu dalam menyusun strategi bertahan hidup.

Dalam menyusun strategi, individu tidak hanya menjalankan satu jenis

strategi saja, sehingga kemudian muncul istilah multiple survival strategies atau

strategi bertahan jamak. Selanjutnya Snel dan Staring mengartikan hal ini sebagai

kecenderungan pelaku-pelaku atau rumah tangga untuk memiliki pemasukan dari

berbagai sumber daya yang berbeda, karena pemasukan tunggal terbukti tidak

memadai untuk menyokong kebutuhan hidupnya. Strategi yang berbeda-beda ini

dijalankan secara bersamaan dan akan saling membantu ketika ada strategi yang

tidak bisa berjalan dengan baik. (dalam jurnal Nur Hidayah, halaman 3-4).

2.3.

Strategi Adaptasi (Coping Strategies)

Dodds (dalam Herlin Widiani 2011:22) mengemukakan bahwa

pada esensinya, strategi coping adalah strategi yang digunakan individu untuk

melakukan penyesuaian antara sumber-sumber yang dimilikinya dengan tuntutan

yang dibebankan lingkungan kepadanya. Secara spesifik, sumber-sumber

yang memfasilitasi coping itu mencakup sumber-sumber personal (yaitu

karakteristik pribadi yang relatif stabil seperti self-esteem atau keterampilan

(17)

sumber financial (Harrington & Mcdermott, 1993). Friedman (dalam A Amelia

2011) mengatakan bahwa strategi coping merupakan perilaku atau proses untuk

adaptasi dalam menghadapi tekanan dan ancaman. (http://repository.usu.ac.id/bitst

ream/123456789/22179/3/ChapterII.pdf

‎)

Suparlan (dalam Dhini 2009:35) mengatakan adaptasi pada hakikatnya

adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk dapat

melangsungkan hidup. Syarat-syarat dasar tersebut mencakup:

a. Syarat dasar alamiah, biologi (manusia harus makan dan minum untuk

menjaga kestabilan temperature tubuhnya untuk tetap berfungsi dalam

hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh

lainnya).

b. Syarat dasar kejiwaan, manusia memerlukan perasaan tenang yang jauh

dari perasaan-perasaan takut, keterpencilan, gelisah dan lain-lain.

c. Syarat dasar sosial, manusia membutuhkan hubungan untuk dapat

melangsungkan keturunan untuk tidak merasa dikucilkan, dapat belajar

mengenai kebudayaannya.

Vembrianto (dalam Dhini 2009:36) menambahkan adaptasi yang

dilakukan manusia lewat tingkah lakunya dapat menerangkan reaksi-reaksi

terhadap tuntutan atau tekanan dari lingkungannya. Karena manusia hidup dalam

masyarakat, maka tingkah lakunya tentu saja merupakan adaptasi terhadap

tuntutan masyarakat sosial sekitarnya. Soekanto (dalam Dhini 2009:36)

memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial yakni:

1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

(18)

3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.

4. Mengubah agar kondisi sesuai dengan kondisi yang ciptakan.

5. Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan

lingkungan dan sistem.

6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah.

Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi

merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun

unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang

diciptakan.

Konsep mata pencaharian sangat penting dalam memahami coping

strategies karena merupakan bagian dari strategi mata pencaharian (livelihood

strategies). Coping strategies (dalam jurnal Harmoni Sosial 2007:88) dalam

mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dikelompokkan menjadi tiga

kategori, yaitu:

1. Strategi aktif, yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi untuk

melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan

sumber atau tanaman liar dan lingkungan sekitar dan sebagainya.

2. Strategi pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga. Misalnya,

pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, pendidikan dan sebagainya.

3. Strategi jaringan pengaman, yaitu strategi yang mencakup menjalin relasi,

baik secara formal maupun informal dengan lingkungan sosialnya dan

lingkungan kelembagaan. Misalnya, meminjam uang tetangga, mengutang

(19)

ke warung, memanfaatkan program anti kemiskinan, meminjam uang ke

rentenir atau bank dan sebagainya.

Strategi ekonomi keluarga miskin disini juga dapat dilihat sebagai gejala

sosiologi. Dalam anlisis sosiologi tentang strategi ekonomi mencakup dua hal

(Dhini 2009:39), yaitu:

1. Upaya keluarga miskin untuk mengatasi kondisi kemiskinan tidak terbatas

pada upaya-upaya di sektor produksi melainkan juga melalui keterlibatan

di sektor non produksi.

2. Wanita/keluarga memainkan peranan penting dalam keseluruhan upaya

mengatasi kondisi kemiskinan tersebut.

Selanjutnya J.Piaget (dalam Dhini 2009:36) menambahkan beberapa

proses adaptasi, yaitu:

1. Dalam rangka adaptasi, individu mengubah atau menahan impuls-impuls

dalam dirinya, misalnya dalam keadaan lapar individu menahan rasa

laparnya apabila individu tersebut tidak dapat memenuhinya.

2. Dalam rangka adaptasi, individu mengubah tuntutan-tuntutan ataupun

kondisi-kondisi lingkungannya, misalnya mencari kerja untuk makan.

Dengan demikian keluarga atau masyarakat miskin yang secara langsung

merasakan pahitnya kemiskinan itu harus memiliki agenda dan strategi tertentu

guna mengakhiri penderitaan mereka sebagai akibat dari kemiskinan.

Referensi

Dokumen terkait

Para ahli mengenai suatu bidang ilmu agama khususnya Hindu dapat dicari, diakses untuk selanjutnya dihubungi dan diajak berkomunikasi dalam rangka untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mela- kukan analisis permintaan masyarakat terhadap upaya kesehatan Puskesmas, khususnya dalam rangka menentukan besarnya koefisien

Dari beberapa program aplikasi tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda, kalau microsoft word digunakan untuk mengolah data teks, Microsoft Power point

Sistem Pendukung Keputusan Untuk Pemilihan … 147 Berdasarkan nilai net flow yang dihasilkan oleh perhitungan promethee, urutan lokasi cabang usaha, yaitu rangking

“ Hubungan Perokok Pasif dengan tingkat Kejadian Kanker Serviks di RSUD dr Moewardi ” ini dapat kami selesaikan dengan baik, walaupun masih ada kekurangan

oleh pengetahuan dan wawasan seorang atau masyarakat dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi Pemberdayaan harus dilakukan secara terus- menerus dan

11 Fanny Khairul Putri Apertha, Zulkardi, dan Muhamad Yusup, Op.Cit ., hal.. memecahkan suatu masalah, dan dikemas dengan menarik. Bahan ajar yang akan didesain adalah

Deskripsi Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan konsep, menunjukkan contoh, dan memberikan tugas, sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif (berpikir), dan sesuai