• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

9

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Ginjal Kronik 2.1.1 Pengertian

Gagal ginjal yaitu ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan asupan makanan normal. Gagal ginjal biasanya dibagi menjadi dua kategori yaitu kronik dan akut. Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun), sebaliknya gagal ginjal akut terjadi dalam beberapa hari atau minggu. (Amin & Hardi, 2015).

Gagal ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang di tandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Setiati, et all 2015).

(2)

Gagal Ginjal Kronik adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-menerus. Individu yang rentan, nefropati analgesik, destruksi papila ginjal yang terkait dengan pemakaian harian obat-obat analgesik selama bertahun-tahun dapat menyebabkan gagal ginjal kronik. Apapun sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang ditandai dengan penurunan GFR yang progresif (Corwin, 2009).

Berdasarkan definisi diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan gagal ginjal kronik adalah suatu penyakit yang terjadi karena adanya kerusakan ginjal secara progresif yang disebabkan oleh berbagai macam penyakit. Hal ini ditandai dengan adanya penurunan GFR.

2.1.2 Patofisiologi

Faktor penyebab (glomerulonefritis, diabetes militus, Hipertensi, dll) menyebabkan sebagian nerfron mengalami kerusakan tetapi masih terdapat beberapa nefron termasuk glomerulus dan tubulus yang berfungsi. Nefron yang masih utuh dan berfungsi mengalami hipertrofi dan mengahasilkan filtrat dalam jumlah banyak. Reabsorpsi tubulus juga meningkat walaupun laju filtrasi glomerulus berkurang.

Kompensasi nefron yang masih utuh dapat membuat ginjal mempertahankan fungsinya sampai tiga perempat nefron rusak. Solut dalam cairan menjadi lebih banyak dari yang dapat di reabsorpsi dan mengakibatkan diuresis osmotik dengan poliuria dan haus. Akhirnya, nefron yang rusak bertambah dan terjadi oliguria akibat sisa metabolisme tidak diekskresikan. Tanda dan gejala timbul akibat cairan dan elektrolit yang tidak seimbang, perubahan fungsi regulator tubuh, dan retensi solut.

(3)

Anemia terjadi akibat produksi eritropoietin yang tidak memadai, memendeknya usia sel darah merah dan defisiensi nutrisi. Eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Jika produksi eritropoietin menurun dapat mengakibatkan anemia berat yang disertai keletihan dan sesak napas.

Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat merupakan gangguan metabolisme. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah satunya meningkat, maka fungsi yang lain akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi glomerulus maka meningkatkan kadar fosfat serum, dan sebaliknya kadar serum kalsium menurun. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Tetapi ginjal tidak merespon normal terhadap peningkatan sekresi parathormon, sehingga kalsium di tulang menurun menyebabkan terjadinya perubahan tulang dan penyakit tulang

Tekanan darah meningkat karena adanya hipervolemia; ginjal mengeluarkan vasopresor (renin). Kulit pasien juga mengalami hiperpigmentasi. Uremic frosts adalah kristal deposit yang tampak pada pori-pori kulit. Sisa metabolisme yang tidak dapat diekskresikan oleh ginjal dieksresikan melalui kapiler kulit yang halus sehingga tampak uremic frosts. Pasien dengan gagal ginjal yang berkembang dan menjadi berat dapat mengalami tremor otot, kesemutan betis dan kaki, perikarditis dan pleuritis. Tanda ini dapat hilang apabila kegagalan ginjal ditangani dengan modifikasi diet, medikasi, dan/atau dialisis.

(4)

2.1.3 Etiologi

Etiologi gagal ginjal kronik yaitu: 2.1.3.1 Glomerulonefritis

Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal yang terjadi akibat proses inflamasi glomerulus. Glomerulonefritis dapat terjadi karena infeksi bakteri dan virus. Jika proses inflamasi terjadi secara terus menerus maka akan merusak nefron pada ginjal (LeMone, 2015). Glomerulonefritis mengakibatkan adanya ketidakseimbangan glomerulotubular sehingga menyebabkan retensi natrium dan ekspansi volume cairan ekstrasel (Jameson & Loscalzo, 2013).

2.1.3.2 Diabetes melitus

Diabetes melitus merupakan penyakit berjangka panjang, maka apabila diabaikan dapat menyebabkan komplikasi pada organ-organ salah satunya pada pembuluh darah halus. Adanya kerusakan pembuluh darah halus di ginjal menimbulkan kerusakan glomerulus yang berfungsi sebagai penyaring darah (Marsinta, Refianti et all, 2014). Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemi sehingga menyebabkan viskositas darah meningkat, aliran darah menjadi lambat, dan terjadi iskemik jaringan lama kelamaan menjadi gagal ginjal kronik (Amin & Hardhi, 2015).

2.1.3.3 Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah. Hipertensi yang terjadi secara terus menerus dapat mengakibatkan vasokontriksi pembuluh darah dan hilangnya fungsi ginjal secara progresif (Baradero, et all, 2008). Hipertensi tidak hanya beresiko

(5)

tinggi menderita penyakit jantung, tetapi juga menderita penyakit lain seperti penyakit saraf, ginjal, dan pembuluh darah. Pada ginjal, hipertensi menyebabkan terjadinya Vasokontriksi pebuluh darah ginjal yang mengakibatkan aliran darah ke ginjal menurun sehingga RAA merespon untuk merangsang aldosteron sehingga terjadi retensi natrium yang menyebabkan edema (Amin & Hardhi, 2015).

2.1.3.4 Obesitas

Obesitas merupakan penyabab terjadinya penyakit ginjal. Pada obesitas, ginjal juga harus bekerja lebih keras menyaring darah lebih dari normal untuk memenuhi kebutuhan metabolik akibat peningkatan berat badan. Peningkatan fungsi ini dapat merusak ginjal dan meningkatkan risiko terjadinya gagal ginjal kronik dalam jangka panjang (InfoDatin, 2017).

2.1.4 Manifestasi klinis`

Manifestasi klinis gagal ginjal kronik sebagai berikut: 2.1.4.1 Ketidakseimbangan elektrolit

Keseimbangan elektrolit dikacaukan oleh kerusakan ekskresi dan penggunaan ginjal. Mekanisme yang berkontribusi terhadap hipokalsemia, konversi 25-hidroksikolekalsiferol menjadi 1,25-dihidroksikolekalseferol (penting untuk menyerap kalsium) menurun sehingga mengakibatkan menurunnya penyerapan kalsium intestinal. Pada waktu yang sama, fosfat tidak dikeluarkan, yang mengakibatkan hiperfosfatemia (Black & Hawks, 2014). Ketika GFR turun dan fungsi ginjal memburuk lebih lanjut, retensi natrium dan air biasa terjadi, yang membutuhkan batasan garam dan air. Hiperkalemia berkembang saat gagal ginjal

(6)

semakin memburuk. Ekskresi fosfat juga rusak, menyebabkan hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Penurunan absorbsi kalsium akibat kerusakan aktivitasi vitamin D juga menyebabkan hipokalsemia. (LeMone, et all, 2015).

2.1.4.2 Perubahan Metabolik

Pada gagal ginjal kronik, kadar BUN dan serum kreatinin meningkat karena produk sisa metabolisme protein berakumulasi dalam darah. Kadar serum kreatinin adalah pengukuran yang paling akurat akan fungsi ginjal. Asidosis metabolik terjadi karena ketidakmampuan ginjal mengeluarkan ion hidrogen. Menurunnya penyerapan kembali natrium bikarbonat dan menurunnya formasi dihidrogen fosfat dan amonia berkontribusi pada masalah ini. Asidosis menekan hiperkalemia dan penyerapan kembali kalsium tulang (Black & Hawks, 2014). Akumulasi produk sisa metabolisme protein adalah faktor utama yang terlibat pada efek dan manifestasi uremia. Kadar kreatinin serum dan BUN naik secara signifikan. Kadar asam urat meningkat, menyebabkan peningkatan risiko gout. Kadar trigliserida darah tinggi dan kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL) rendah dibanding normal menyebabkan percepatan proses aterosklerosis (LeMone, et all, 2015).

2.1.4.3 Perubahan Hematologis

Dampak gagal ginjal yang utama pada hematologi adalah anemia. Anemia terjadi karena ginjal tidak mampu memproduksi eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, & defisiensi asam folat (Setiati, et all, 2015). Jika anemia tidak

(7)

diobati maka kadar hematokrit menurun menjadi kurang dari 20%. Seringnya kelelahan, lemas, dan dingin yang tidak tertoleransi menyertai anemia yang menyebabkan diagnosis gagal ginjal (Black & Hawks, 2014).

2.1.4.4 Perubahan Gastrointestinal

Seluruh sistem gastrointestinal terkena dampak. Anoreksia, mual, muntah, ulserasi dan perdarahan mulut, cegukan, konstipasi atau diare (Brunner & Suddarth, 2013). Konstipasi sering diakibatkan oleh zat pengikat fosfat, pembatasan cairan, dan makanan berserat tinggi (banyak yang kaya kalium dan fosfat), serta penurunan aktivitas (Black & Hawks, 2014). Penyakit ulkus peptikum khususnya umum pada pasien uremik. Fetor uremik, bau napas seperti urine seringkali dikaitkan dengan rasa logam dalam mulut, dapat terjadi. Fetor uremik semakin dapat menyebabkan anoreksia (LeMone, et all, 2015).

2.1.4.5 Perubahan imunologi

Uremia meningkatkan resiko infeksi. Kadar tinggi urea dan sisa metabolik tertahan merusak semua aspek fungsi imun. Penurunan imunitas terjadi karena sel dan humoral rusak, serta fungsi fagosit rusak (LeMone, et all, 2015). Rusaknya sistem imun membuat klien lebih rentan terhadap infeksi. Beberapa faktor terlibat, termasuk menurunnya pembentukan antibodi humoral, supresi dari reaksi hipersensitivitas yang melambat,dan menurunnya fungsi kemotaksis leukosit (Black & Hawks, 2014).

(8)

2.1.4.6 Perubahan Kardiovaskuler

Manifestasi yang paling umum adalah hipertensi disebabkan karena adanya stimulasi sistem renin-angiotensin, disritmia mungkin disebabkan oleh hiperkalemia, asidosis, dan menurunnya perfusi koroner. arterosklerosis karena adanya kelainan metabolisme karbohidrat dan lipid, rusaknya fibrinolisis (yang mengakibatkan perkembangan mikroemboli) (Black & Hawks, 2014). Pada sistem kardiovaskuler terjadi hipertensi, pitting edema (kaki dan tangan), edema periorbital, pembesaran vena-venadi leher, perikarditis, hiperkalemia, hiperlipidemia (Brunner & Suddarth, 2013).

2.1.4.7 Perubahan pernapasan

Pada sistem pernapasan ditandai dengan ronki basah, sputum yang kental dan lengket, penurunan reflek batuk, nyeri pleura, sesak nafas, dan takipnea (Brunner & Suddarth, 2013). Kelebihan cairan dapat dianggap sebagai penyebab terjadinya perubahan sistem pernapasan, seperti edema pulmonar. Asidosis metabolik menyebabkan peningkatan kompensasi pada laju pernapasan karena paru bekerja untuk membuang kelebihan ion hidrogen (Black & Hawks, 2014).

2.1.4.8 Perubahan Muskuloskeletal

Perubahan muskuloskeletal yang terjadi yaitu kram otot, kehilangan kekuatan otot, osteodistrofi ginjal, nyeri tulang, & fraktur (Black & Hawks, 2014). Hiperfosfatemia dan hipokalsemia yang terkait dengan uremia menstimulasi sekresi hormon paratiroid. Hormon paratiroid menyebabkan peningkatan reabsorpsi kalsium dari tulang. Reabsorpsi dan remodeling tulang ini, bersamaan dengan

(9)

penurunan sintesis vitamin D dan penurunan absorpsi kalsium dari saluran gastrointestinal, menyebabkan osteodistrofi ginjal. osteodistrofi ditandai dengan osteomalasia, pelunakan tulang, dan osteoporosis, penurunan massa tulang (LeMone, et all, 2015).

2.1.4.9 Perubahan Integumen

Kulit juga sering kali kering dan gampang terkelupas, pruritus berat, ekimosis, purpura, kuku rapuh, rambut kasar dan tipis (Brunner & Suddarth, 2013). Kulit kering dengan turgor kulit buruk, akibat dehidrasi dan atrofi kelenjar keringat, umum terjadi. Sisa metabolik yang tidak dieliminasi oleh ginjal oleh ginjal dapat menumpuk di kulit, yang menyebabkan gatal atau pruritus (LeMone, et all, 2015).

2.1.5 Klasifikasi gagal ginjal kronik

Black & Hawks (2014), Klasifikasi national kidney foundation tentang penyakit gagal ginjal kronik:

Tabel 2.1

Stadium Deskriptif GFR

1 kerusakan ginjal dengan tingkat filtrasi glomerulus (GFR) normal

>90 ml/menit/1,73 mm2

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan

60-89 ml/menit/1,73 mm2

3 Penurunan GFR sedang 30-59 ml/menit/1,73 mm2

4 Penurunan GFR parah 15-29 ml/menit/1,73 mm2

(10)

Setiati, et all (2015), Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar GFR, yang di hitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

GFR (ml/menit/1,73 mm2) = (140-umur) x berat badan 72 x Kreatinin plasma (mg/dl)

*) Pada perempuan dikalikan 0,85

2.1.6 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik, yaitu: (Yasmara, Nursiswati, & Rosyidah, 2016)

2.1.6.1 Laboratorium:

2.1.6.1.1 Kadar BUN (normal:5-25 mg/dL), kreatinin serum (normal: 0,5-1,5 mg/dL), natrium (normal: serum:135-145 mmol/L; urine: 40-220 mEq/L/24 jam), dan kalium (normal: 3,5-5,0 mEq/L) meningkat.

2.1.6.1.2 Analisi gas darah arteri menunjukkan penurunan pH arteri (normal: 7,35-7,45) dan kadar bikarbonat (normal: 24-28 mEq/L)

2.1.6.1.3 Kadar Hematokrit (normal: wanita=36-46%; pria= 40-50%) dan hemoglobin (normal: wanita= 12-16 g/dL;pria= 13,5-18 g/dL) rendag; masa hidup sel darah merah berkurang

2.1.6.1.4 Muncul defek trombositopenia dan trombosit ringan 2.1.6.1.5 Terjadi hiperglikemia dan hipertrigliseridemia

(11)

2.1.6.1.6 Pasien mengalami proteinuria, glikosuria, dan pada urine ditemukan sedimentasi,leukosit, sel darah merah, dan kristal.

2.1.6.2 Radiografi KUB, urografi ekskretorik, nefrotomografi, scan ginjal, dan arteriografi ginjal menunjukkan penurunan ukuran ginjal

2.1.6.3 Biopsi ginjal memungkinkan identifikasi histologi dari proses penyakit yang mendasari

2.1.6.4 EEG menunjukkan dugaan perubahan ensefalopati metabolik

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan CKD menurut Setiati, et all (2015): 2.1.7.1 Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan GFR, sehingga pemburukkan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila GFR sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

2.1.7.2 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan GFR pada pasien gagal ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimpsed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain: gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik.

(12)

2.1.7.3 Pembatasan asupan protein

Pembatasan asupan protein mulai di lakukan pada GFR <60 m/menit, sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8 g/ kgbb/ hari. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kal/ kgbb/ hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, karena kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama di ekskresikan melalui ginjal.

2.1.7.4 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit gagal ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.

2.1.7.5 Pembatasan cairan dan elektrolit

Pembatasan asupan air pada pasien gagal ginjal kronik, sangat perlu di lakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema, dan komplikasi kardiovaskuler. Elektrolit yang harus di awasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.

(13)

2.1.7.6 Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada GGK stadium 5, yaitu pada GFR <15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal atau transpalantasi ginjal.

Penatalaksanaan GGK yaitu sebagai berikut (Brunner & Suddart, 2013) :

2.1.7.1 Hiperfosfatemia dan hipokalsemia ditangani dengan obat yang dapat mengikat fosfat dalam saluran cerna; semua agen pengikat harus diberika bersama makanan.

2.1.7.2 Hipertensi di tangani dengan pengontrolan volume intravaskular dan obat antihipertensi

2.1.7.3 Gagal jantung dan edema pulmonal ditangani dengan pembatasan cairan, diet rendah natrium, diuresis, dan dialisis.

2.1.7.4 Asidosis metabolik diatasi, jika perlu, dengan suplemen natrium bikarbonat atau dialisis

2.1.7.5 Anemia ditangani dengan rekombinan eritropoietin (Epogen); hemoglobin dan hematokrit dipantau secara berkala.

2.1.7.6 Suplemen besi dapat diresepkan

(14)

2.2 Hemodialisis 2.2.1 Pengertian

Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, “dialisis” artinya pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat-zat-zat sampah melalui proses penyaringan di luar tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis. Hemodialisis di kenal secara awam dengan istilah cuci darah (Yasmara, Nursiswati, & Arafat, 2016).

Hemodialisis adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut ataupun secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Hal ini dilakukan dengan menggunakan sebuah mesin yang dilengkapi dengan membran penyaring semi permeabel (ginjal buatan) (Muttaqin & Sari,2011 dalam Zurmeli, et al, 2012).

Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien. Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi darah pasien, suatu mekanisme untuk membawa darah pasien ke dan dari dializer (tempat terjadinya pertukaran cairan, elektrolit, dan zat sisa tubuh) (Baradero, 2008).

Berdasarkan definisi diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan hemodialisis adalah salah satu tindakan yang dilakukan oleh pasien gagal ginjal kronik untuk mengeluarkan cairan atau toksin yang berlebih dalam darah dengan cara mengalirkan darah ke alat dialiser untuk melalui proses penyaringan.

(15)

2.2.2 Tujuan Hemodialisis

Tujuan utama dari hemodialisis adalah mengendalikan ureum, kelebihan cairan dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik. Hemodialisis terbukti efektif mengeluarkan cairan, elektrolit dan sisa metabolisme tubuh, dan terutama pada penyakit GGK tahap akhir atau stadium 5. Jika tidak dilakukan terapi pengganti ginjal maka pasien akan meninggal (Sasmita et al,2015). Sedangkan menurut Rosdahl & Kowalski (2014), tujuan dialisis diantaranya membuang produk sisa metabolisme protein dalam darah, membuang racun atau toksin dalam darah, mengeluarkan cairan yang berlebihan, mempertahankan keseimbangan asam basa.

2.2.3 Indikasi Hemodialisis

Setiati, et all (2015), Hemodialisis dilakukan apabila ada keadaan sebagai berikut: 2.2.3.1 Kelebihan (Overload) cairan ekstraseluler yang sulit dikendalikan

2.2.3.2 Hiperkalemia yang refrakter (tidak berespon) terhadap restriksi diit dan terapi farmakologi

2.2.3.3 Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi bikarbonat 2.2.3.4 Hiperfosfatemiayang refrakter terhadap retriksi diit dan terapi pengikat fosfat 2.2.3.5 Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoietin dan besi

2.2.3.6 Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa penyebab yang jelas

2.2.3.7 Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala mual, muntah.

(16)

2.2.3.8 Selain itu indikasi segera untuk dilakukannya hemodialisis adalah adanya gangguan neurologis (Seperti neuropati, ensefalopati), pleuritis atau perikarditis.

2.2.4 Komplikasi Hemodialisis

Hurst (2015), komplikasi pada hemodialisis yaitu sebagai berikut:

2.2.4.1 Perdarahan di area setelah hemodialisis yang di induksi oleh antikoagulasi 2.2.4.2 Infeksi di setiap akses vena

2.2.4.3 Alergi terhadap heparin memerlukan larutan pegganti yang memiliki kandungan anti pembekuan (natrium sitrat)

2.2.4.4 Depresi dengan ide bunuh diri

2.2.4.5 Kegagalan akses dialisis: sebagian besar akses dialisis tersumbat

2.2.4.6 Perubahan tingkat kesadaran atau kejang jika BUN dan kreatinin menurun terlalu cepat

Yasmara, Nursiswati,& Arafat. (2016), tindakan hemodialisis menyebabkan beberapa komplikasi berikut:

2.2.4.1 Hipotensi

Hipotensi merupakan komplikasi yang paling umum terjadi pada saat hemodiaisis karena adanya kegagalan untuk menjaga volume plasma pada tingkat normal. Hipotensi bisa disertai dengan gejala seperti kram, pusing, kelelahan yang berlebihan, dan kelemahan, atau mungkin tidak menunjukkan gejala sama sekali.

(17)

2.2.4.2 Sakit dada

Sakit dada selama prosedur hemodialisis harus di curigai sebagai kegawatdaruratan yang berhubungan dengan angina, infark miokard atau perikarditis.

2.2.4.3 Hipoksemia.

Selama hemodialisis, PaO2 turun menjadi sekitar 10-20 mmHg. Dialisat dengan asetat dapat menyebabkan hipoksia dalam dua cara, pertama dengan meningkatnya konsumsi oksigen selama konversi bikarbonat asetat dan kedua oleh hilangnya intradialitik CO2.

2.2.4.4 Gatal-gatal

Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami gatal-gatal pada kulit yang semakin memburuk selama atau segera setelah hemodialisis. Faktor yang menyebabkannya adalah kulit kering, deposit kristal kalsium-fosfor, alergi terhadap obat.

2.2.4.5 Anemia

Tidak memiliki cukup sel darah merah dalam darah adalah komplikasi umum dari gagal ginjal dan hemodialisis. Gagal ginjal mengurangi produksi hormon yang disebut eritropoietin, yang merangsang pembentukan sel darah merah.

2.2.4.6 Depresi

Perubahan suasana hati umum terjadi pada orang yang mengalami gagal ginjal. pasien cenderung mengalami depresi dengan perilaku menolak pengobatan termasuk terapi hemodialisis (Yasmara, Nursiswati,& Arafat, 2016). Walaupun simptomatologi depresif sering di temukan pada pasien-pasien dialisis, sindrom depresi klinis terdiri dari anhedonia dan perasaan sedih, tidak berguna, bersalah, dan putus asa. Dan diikuti oleh gangguan tidur dan nafsu makan.

(18)

Depresi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain penurunan fungsi dari organ tidur, kehilangan sumber nafkah, perubahan gaya hidup dan sebagainya (Saraha, et all, 2013). Individu yang mengalami depresi dapat dilihat dari gejala yang muncul yaitu sebagai berikut (Azahra, 2013) :

2.2.4.6.1 Manifestasi emosional, meliputi perubahan perasaan atau tingkah laku yang merupakan akibat langsung dari keadaan emosi seperti penurunan mood, tidak lagi merasakan kepuasan, lebih sering menangis, dan hilangnya respon kegembiraan.

2.2.4.6.2 Manifestasi kognitif, meliputi harapan-harapan yang negatif, menyalahkan serta mengkritik diri sendiri, tidak dapat membuat keputusan, distorsi “body image” atau anggapan bahwa dirinya tidak menarik.

2.2.4.6.3 Manifestasi motivasional, meliputi menurunnya minat dan motivasi terhadap aktivitas, ada dorongan untuk mengundurkan diri dari kegiatan, lebih suka bersikap pasif dan ada kecenderungan untuk bergantung. 2.2.4.6.4 Manifestasi vegetatif-fisik, meliputi kehilangan nafsu makan, gangguan

(19)

2.3 Mekanisme Koping 2.3.1 Pengertian

Koping tergantung pada kebutuhan individu. Usia individu dan latar belakang budaya memengaruhi kebutuhan tersebut. Individu yang sama dapat berkoping secara berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain. Dalam situasi yang penuh tekanan, sebagian besar individu menggunakan kombinasi koping berfokus pada masalah dan strategi koping berfokus pada emosi. Dengan kata lain, ketika berada dalam tekanan, seseorang memperoleh informasi dan mengambil tindakan untuk mengubah situasi, sama baiknya dengan mengatur emosi yang terkait dengan stres. (Potter & Perry, 2010).

Mekanisme koping adalah semua upaya yang diarahkan untuk mengelola stress yang dapat bersifat konstruktif atau destruktif. Mekanisme koping yang bersifat konstruktif ketika ansietas digunakan sebagai tanda peringatan dan individu menerimanya sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah. Mekanisme koping yang destruktif mematikan peringatan ansietas dan tidak menyelesaikan konflik, dan mungkin menggunakan mekanisme koping yang menghindari resolusi (Keliat & Pasaribu, 2016)

Berdasarkan definisi diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan mekanisme koping adalah suatu cara yang sering dilakukan oleh seseorang untuk menghadapi suatu masalah. Setiap orang mempunyai mekanisme koping berbeda beda, ada yang ingin menyelesaikan masalah dengan berbagai cara dan ada juga yang membiarkan masalah tersebut dan tidak ingin diselesaikan. Ketidak mampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah inilah yang menjadi masalah psikologis utama.

(20)

2.3.2 Jenis mekanisme koping

Koping dapat adaptif atau maladaptif. Koping adaptif membantu individu untuk mengatasi stres secara efektif dan mengurangi distress yang ada. Koping maladaptif dapat menghasilkan distress terhadap individu dan hal lain yang berhubungan dengan individu (Agung, 2016 ).

Sunaryo (2010), koping adaptif adalah cara seorang individu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, atau cara individu untuk dapat mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan dirinya. Sedangkan koping maladaptif adalah ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan atau mencocokkan diri dengan lingkungan tempat ia berada. Selain itu maladaptif juga merupakan bentuk ketidakmampuan seseorang dalam berperilaku untuk menyesuaikan diri sehingga ia tidak dapat mempertahankan eksistensinya,dan tidak mampu memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah.

Mekanisme koping pasien yang menjalani hemodialisis yaitu Koping maladaptif yang dijumpai pasien sering mengingkari atau menyangkal, menangis, dan merasa takut akan kematian (Sasmita, et al, 2015). Mekanisme koping adaptif pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis adalah mampu mengontrol emosi, bercerita atau berbagi dengan orang lain, memecahkan masalah, menerima dukungan, memiliki kewaspadaan yang tinggi, lebih perhatian pada masalah dan memiliki pandangan yang luas (Wutun, et al, 2016).

(21)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Armiyati & Rahayu (2014) pada pasien yang menjalani hemodialisis mekanisme koping maladaptif ditunjukkan dengan masih banyaknya responden yang selalu khawatir dengan kondisinya, tidak mau berbagi dengan orang lain dan sering putus asa untuk melakukan pengobatan. Sedangkan mekanisme koping yang adaptif dalam penelitian ini ditunjukan dengan upaya pasien untuk mencoba berbicara dengan orang lain, mencoba mencari informasi yang lebih banyak tentang masalah yang sedang dihadapi, menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan meningkatkan keimanan seperti melakukan kegiatan ibadah dan berdoa, melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan, membuat berbagai alternatif tindakan untuk megurangi situasi yang mengancam, dan mengambil pelajaran atau pengalaman masa lalu.

2.3.3 Kategori mekanisme koping

Mekanisme koping dapat dikategorikan sebagai berfokus pada masalah atau tugas dan berfokus pada emosi atau ego.

2.3.3.1 koping berfokus pada masalah atau tugas

mekanisme koping yang berfokus pada masalah atau tugas merupakan upaya yang disengaja untuk memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, dan memuaskan kebutuhan. Reaksi-reaksi ini mencakup:

2.3.3.1.1 Perilaku menyerang/agresif

Yaitu usaha seseorang mencoba untuk menghilangkan atau mengatasi hambatan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Banyak cara dapat dilakukan untuk menyerang masalah, dan reaksi ini bersifat destruktif atau konstruktif. Pola

(22)

destruktif biasanya disertai dengan perasaan kemarahan dan permusuhan yang sangat besar. Sedangkan pola konstruktif mencerminkan pendekatan pemecahan masalah (Keliat & Pasaribu, 2016). Menurut Hidayat (2014), menyerang yaitu bertindak menghilangkan, mengatasi stresor, atau memenuhi kebutuhan, misalnya berkonsultasi dengan orang yang ahli. Pada pasien yang menjalani hemodialisis pasien sering mengingkari atau menyangkal, menangis, dan merasa takut akan kematian (Sasmita, et all, 2015). Selain itu juga ada pasien yang mampu mengontrol emosi, bercerita atau berbagi dengan orang lain, memecahkan masalah dan menerima dukungan (Wutun, et al, 2016). Sehingga dari perilaku-perilaku tersebut sangat mempengaruhi kepatuhan diet pasien dalam menjalani hemodialisis.

2.3.3.1.2 Perilaku menarik diri

Perilaku ini dapat dinyatakan secara fisik atau psikologis. Secara fisik, menarik diri melibatkan penghindaran diri dari sumber ancaman. Reaksi ini dapat berlaku untuk stresor biologis, seperti kamar penuh asap rokok, paparan radiasi atau kontak dengan penyakit menular. Sedangkan cara psikologis, seperti dengan mengakui kekalahan, menjadi apatis, atau menurunnya aspirasi dan partisipasi (Keliat & Pasaribu, 2016). Pada pasien yang menjalani hemodialisis selalu khawatir dengan kondisinya, tidak mau berbagi dengan orang lain dan sering putus asa untuk melakukan pengobatan (Armiyati & Rahayu, 2014). Dalam perilaku menarik diri ini pasien akan cenderung untuk kurang patuh pada dietnya di karenakan sikap putus asa dan tidak mau berbagi dengan orang lain akan mempengaruhi diet pasien tersebut.

(23)

2.3.3.1.3 Kompromi

Yaitu mengubah metode yang biasa digunakan, mengganti tujuan, dan sebagainya (Hidayat , 2014). Ha ini diperlukan dalam situasi yang tidak dapat diselesaikan melalui serangan atau menarik diri. Reaksi kompromi biasanya bersifat konstruktif dan sering digunakan dalam situasi pendekatan-pendekatan dan penghindaran-penghindaran (Keliat & Pasaribu, 2016). Pada pasien yang menjalani hemodialisis ada yang mencoba menghubungkan situasi atau masalah yang sedang dihadapi dengan meningkatkan keimanan seperti melakuan kegiatan ibadan dan berdoa, mengambil pelajaran atau pengalaman masa lalu, mencari informasi yang lebih banyak tentang masalah yang di hadapi (Armiyati & Rahayu, 2014). Dalam hal ini akan mempengaruhi kepatuhan diet pasien yang menjalani hemodialisis akan lebih baik.

2.3.3.2 koping berfokus pada emosi atau ego

Keliat & Pasaribu (2016), mekanisme koping yang berfokus pada emosi atau ego dikenal sebagai mekanisme pertahanan ego, melindungi orang dari perasaan tidak mampu dan tidak berharga. Pertahanan ego terdiri dari:

2.3.3.2.1 Kompensasi : proses dimana seseorang menggunakan kelemahan yang dirasakan dengan penekanan yang kuat atas ciri yang di anggap lebih menyenangkan.

2.3.3.2.2 Pengingkaran : menghindari realitas yang tidak menyenangkan dengan mengabaikan atau menolak untuk mengakuinya;mekanisme pertahanan yang paling sederhana dan paling primitif dari semua mekanisme koping

(24)

2.3.3.2.3 Pengalihan : pengalihan emosi yang seharusnya diarahkan kepada objek atau orang tertentu ke objek atau orang yang kurang berbahaya

2.3.3.2.4 Disosiasi : pemisahan dari proses kelompok jiwa atau perilaku dari sisa kesadaran atau identitas orang tersebut.

2.3.3.2.5 Identifikasi : proses dimana orang mencoba untuk menjadi seperti seseorang yang mereka kagumi dengan mengambil pikiran, tingkah laku, atau selera orang itu.

2.3.3.2.6 Intelektualisasi : penalaran yang berlebihan atau logika yang digunakan untuk menghindari pengalaman perasaan yang mengganggu.

2.3.3.2.7 Introjeksi : mengidentifikasi dengan kuat dimana seseorang menggabungkan kualitas atau nilai-nilai orang lain atau kelompok lain kedalam struktur egonya sendiri

2.3.3.2.8 Isolasi : memisahkan komponen emosional dari pikiran, yang mungkin bersifat sementara atau jangka panjang.

2.3.3.2.9 Proyeksi: menghubungkan pikiran atau impuls ke orang lain. Melalui proses ini seseorang dapat menghubungkan keinginan tak tertahankan, perasaan emosional, atau motivasi kepada orang lain

2.3.3.2.10 Rasionalisasi : menawarkan penjelasan yang dapat diterima secara sosial atau tampaknya logis untuk membenarkan atau membuatnya dapat di terima walaupun impuls, perasaan, perilaku, dan motif tidak dapat diterima.

2.3.3.2.11 Reaksi formasi : pengembangan pola sikap dan perilaku yang berlawanan dengan apa yang benar-benar dirasakan atau ingin dilakukan.

(25)

2.3.3.2.12 Regresi : kemunduran karakteristik perilaku pada tingkat perkembangan awal

2.3.3.2.13 Represi : penekanan secara tak sadar hal-hal yang menyakitkan atau konflik pikiran,impuls, atau memori dari kesadaran. Mekanisme pertahanan ini adalah pertahanan ego utama, dan mekanisme lainnya cenderung memperkuatnya.

2.3.3.2.14 Disosiasi : mengamati orang dan situasi sebagai semua baik atau semua buruk; gagal menginterpretasikan kualitas positif dan negatif dari diri sendiri

2.3.3.2.15 Sublimasi: penerimaan tujuan pengganti yang disetujui secara sosial untuk dorongan penyaluran ekspresi normal yang dihambat

2.3.3.2.16 Supresi : suatu proses yang sering didengar sebagai mekanisme pertahanan, tapi sebenarnya adalah sama dengan represi yang disadari. Hal ini merupakan penekanan yang disengaja terhadap hal-hal yang disadari. Kadang-kadang hal itu dapat menyebabkan represi

2.3.3.2.17 Undoing: tindakan atau komunikasi yang sebagian meniadakan kejadian sebelumnya.

(26)

2.3.4 Faktor-Faktor yang mempengaruhi mekanisme koping pada pasien hemodialisis (Agung, 2014):

2.3.4.1 Pendidikan

Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang mudah terkena stress atau tidak. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka toleransi pengontrolan terhadap stressor lebih baik. Pada penelitian sebelumnya, menunjukan bahwa pada pasien yang memiliki pendidikan rendah sebagian besar memiliki mekanisme koping tidak menerima keadaan. Sedangkan pada pasien yang berpendidikan tinggi, sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping menerima keadaan.

2.3.4.2 Jenis kelamin

Ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam kontrol diri. Perempuan diberi penghargaan atas sensitivitas, kelembutan, dan perasaan kasih, sedangkan laki-laki di dorong untuk menonjolkan emosinya, juga menyembunyikan sisi lembut mereka dan kebutuhan mereka akan kasih sayang dan kehangatan. Bagi sebagian laki-laki, kemarahan adalah reaksi emosional terhadap rasa frustasi yang paling bisa di terima secara luas. Dalam penelitian sebelumnya menunjukan bahwa pada pasien yang memiliki jenis kelamin laki-laki sebagian besar memiliki mekanisme koping menerima keadaan. Sedangkan pada pasien yang berjenis kelamin perempuan, sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping tidak menerima keadaan.

(27)

2.3.4.3 Pengetahuan

pengetahuan mempengaruhi ketidakseimbangan antara koping individu dengan banyaknya informasi yang tersedia dapat menghambat kesembuhan. Pada penelitian sebelumnya, pasien yang memiliki pengetahuan kurang, sebagian besar memiliki mekanisme koping tidak menerima keadaan. Sedangkan pada pasien yang berpengetahuan baik, sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping menerima keadaan.

2.3.4.4 Harapan akan self-efficacy

Harapan akan self-efficacy berkenaan dengan harapan kita terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang kita hadapi, harapan tentang kemampuan diri untuk menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri untuk dapat menghasilkan perubahan hidup yang positif. Dalam penelitian sebelumnya, pasien yang memiliki harapan rendah, sebagian besar memiliki mekanisme koping tidak menerima keadaan. Sedangkan pada pasien yang memiliki harapan tinggi, sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping menerima keadaan.

2.3.4.5 Dukungan sosial

Para peneliti percaya bahawa memiliki kontak sosial yang luas membantu melindungi sistem kekebalan tubuh terhadap stress. Para peneliti di swedia dan Amerika menemukan bahwa orang-orang dengan tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi akan mengalami stress yang rendah ketika mengalami stres, dan mereka akan mengatasi stress atau melakukan koping lebih baik. selain itu dukungan sosial

(28)

juga menunjukkan kemungkinan untuk sakit lebih rendah, mempercepat proses penyembuhan ketika sakit. Dalam penelitian sebelumnya, pasien yang kurang memiliki dukungan sosial, sebagian besar memiliki mekanisme koping tidak menerima keadaan. sedangkan pada pasien yang banyak memiliki dukungan sosial, sebagian besar terlihat memiliki mekanisme koping menerima keadaan.

2.4 Kepatuhan Diet 2.4.1 Pengertian

Kepatuhan berarti pasien harus meluangkan waktu dalam menjalani pengobatan yang dibutuhkan seperti dalam pengaturan diet nutrisi maupun cairan (Potter & Perry, 2010). Diet merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam penatalaksanaan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Beberapa sumber diet yang dianjurkan seperti karbohidrat, protein, kalsium, vitamin dan mineral, cairan, dan lemak. Pentingnya pengaturan konsumsi pangan pasien gagal ginjal dilakukan untuk membatu mengurangi kerja ginjal jika tidak di patuhi dapat meningkatkan angka mortalitas pasien gagal ginjal (Panjaitan, et all, 2014). Menurut Yasmini, et all (2016) kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien dalam mengambil suatu tindakan untuk pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat dan ketepatan berobat. Kepatuhan dalam mengurangi asupan cairan dan nutrisi bagi pasien hemodialisis merupakan hal penting untuk diperhatikan, jika pasien tidak patuh akan terjadi penumpukkan zat-zat berbahaya dari tubuh hasil metabolisme dalam darah.

(29)

Berdasarkan definisi diatas, peneliti dapat menarik kesimpulan kepatuhan diet pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah suatu perilaku yang harus dilakukan oleh pasien untuk mengatur asupan nutrisi atau cairan yang masuk, agar tidak memperburuk kondisi kesehatan pasien.

2.4.2 Tujuan terapi diet

Baradero, et all (2009), tujuan terapi diet pasien dialisis yaitu mengurangi sisa metabolik yang harus dikeluarkan oleh ginjal, memberi kalori dan protein yang cukup, mengurangi gangguan cairan dan elektrolit. Menurut Almatsier (2010), yaitu untuk mencegah defisiensi gizi serta mempertahankan dan memperbaiki status gizi agar pasien dapat melakukan aktivitas normal, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, menjaga agar akumulasi produk sisa metabolisme tidak berlebihan.

2.4.3 Pertimbangan nutrisi & bahan makanan yang harus di konsumsi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis

2.4.3.1 Pertimbangan nutrisi untuk pasien gagal ginjal kronik yang menjalanai dialisis (Hurst, 2015):

2.4.3.1.1 Batasi asupan natrium (anjurkan 2 g /hari) Asupan natrium dibatasi untuk mempertahankan volume cairan ekstraseluler pada kadar normal.

2.4.3.1.2 Batasi asupan kalium seperti buah, tomat, kentang , karena kalium tidak di ekskresikan dan dapat terkumpul dalam darah

(30)

2.4.3.1.3 Batasi makanan yang mengandung fosfor seperti susu, keju, setiap makanan tinggi protein, karena ginjal kehilangan kemampuannya untuk mengatur kadar fosfor.

2.4.3.1.4 Batasi protein, yang akan mengurangi produk sisa nitrogen berupa urea dan kreatinin

2.4.4 Penatalaksanaan nutrisi dan cairan menurut (LeMone, 2015)

Mempertahankan nutrisi yang cukup dan mencegah kekurangan gizi kalori protein adalah fokus penatalaksanaan nutrisi selama tahap awal CKD. Saat fungsi ginjal menurun, eliminasi air, zat terlarut, dan sisa metabolik rusak. Akumulasi zat sisa ini dalam tubuh menyebabkan gejala uremia. Modifikasi diet dapat memperlambat perkembangan kerusakan nefron, menurunkan gejala uremia, dan membantu mencegah komplikasi.

Tidak seperti karbohidrat dan lemak, tubuh tidak dapat menyimpan kelebihan protein. Protein dalam makanan yang tidak dipakai dipecah menjadi urea dan sisa nitrogen lainnya, yang kemudian di eliminasi oleh ginjal. Makanan kaya protein juga mengandung ion anorganik seperti ion hidrogen, fosfat, dan sulfit yang dieliminasi oleh ginjal.

Penatalaksanaan diet pasien hemodialisis menurut Almatsier, (2010):

2.4.4.1 Energi cukup, yaitu 35 kkal/kg BB /hari, bila diperlukan penurunan berat badan, harus dilakukan secara berangsur (250-500 g/minggu) untuk mengurangi resiko katabolisme massa tubuh tanpa lemak.

(31)

2.4.4.2 Protein yang cukup, untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen dan mengganti asam amino yang hilang selama dialisis, yaitu 1-1,2 g/kg BB/hari. 2.4.4.3 Karbohidrat cukup, yaitu 55-75% dari kebutuhan energi total.

2.4.4.4 Lemak normal, yaitu 15-30% dari kebutuhan energi total.

2.4.4.5 Kalsium tinggi, yaitu 1000 mg/hari. Bila perlu, diberikan suplemen kalsium. 2.4.4.6 Fosfor dibatasi, yaitu <17 mg/kg BB /hari

2.4.4.7 Cairan dibatasi, yaitu jumlah urin/24 jam + IWL (±500 – 750 ml)

2.4.4.8 Suplemen vitamin bila diperlukan, terutama vitamin larut air seperti B6, asam folat, dan vitamin C.

2.4.5 Faktor-Faktor yang mempengaruhi kepatuhan diet

Widiany, Fery L (2017) faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diet pada pasien yang menjalani hemodialisis yaitu:

2.4.5.1 Pengetahuan

Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan, perilaku yang didasarkan pengetahuan akan lebih baik dari pada perilaku yang tidak didasarkan oleh pengetahuan. Klien menggunakan informasi dan keterampilan untuk membuat keputusan tentang kapan waktu yang tepat untuk dapat melaksanakan intervensi tertentu. Diluar tindakan hemodialisis, klien diharapkan dapat mengikuti secara keseluruhan sesuai dengan yang telah diresepkan, baik obat, diet khusus, keterbatasan cairan, dan perawatan vaskular.

(32)

2.4.5.2 Dukungan keluarga

Dukungan keluarga juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi kepatuhan, diharapkan anggota keluarga mampu untuk meningkatkan dukungannya sehingga ketidaktaatan terhadap program diet yang akan dilaksanakan lebih dapat dikurangi. Riset telah menunjukkan bahwa jika kerjasama anggota keluarga sudah terjalin, ketaatan terhadap program-program medis yang salah satunya adalah program diet menjadi lebih tinggi. Responden yang memiliki dukungan keluarga yang baik dan patuh dalam menjalankan diet disebabkan oleh fakror dukungan keluarga yang baik. Hal ini sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan serta dapat menentukan program pengobatan yang diterima.

2.4.5.3 Sikap

Sikap klien merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya perilaku, maka pasien GGK yang menjalani terapi hemodialisis yang merasa terancam kesehatannya oleh penyakit yang diderita dan kepercayaannya terhadap program diet hemodialisis yang diberikan akan memunculkan sikap baik sehingga cenderung untuk lebih patuh.

2.4.5.4 Perilaku

Perilaku seseorang dapat terbentuk yang dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan fisik dan nonfisik dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, dan politik) dan faktor internal (perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi, dan sugesti). Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap perilaku seseorang. Perilaku seseorang akan lebih patuh pada

(33)

dietnya apabila didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif. Sebaliknya, apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka untuk berperilaku patuh akan susah terbentuk.

2.5 Hubungan Mekanisme koping dengan kepatuhan diet pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis

Pasien yang menjalani hemodialisis otomatis hidupnya bergantung pada mesin. Pola hidup berubah seperti diet yang ketat, pembatasan cairan, dan kehilangan kebebasan pribadinya. Pasien akan mengalami kejenuhan atau bosan akibatnya timbulah pikiran-pikiran negatif, & perilaku yang maladaptif (Agung, 2015). Sehingga dibutuhkan mekanisme koping untuk menghadapi masalah tersebut, mekanisme koping adalah cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, respon terhadap situasi yang mengancam (Sasmita, et all, 2015). Ketidakmampuan seseorang dalam menerapkan mekanisme koping yang baik maka akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam melakukan diet. Secara umum, kepatuhan didefinisikan sebagai tingkatan perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan melaksanakan perubahan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pelayanan kesehatan. ketidakpatuhan pasien yang menjalani hemodialisis dapat berdampak pada timbulnya malnutrisi (Widiany, 2017).

(34)

2.6 Penelitian Terkait

1. Hubungan penyebab stress dengan mekanisme koping pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Itun Minarti pada tahun 2015 dilakukan di Rumah Sakit Premier Jatinegara Jakarta dengan jumlah responden sebanyak 84 Responden. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan uji statistik Chi square. Hasil dari penelitian tersebut didapatkan hasil P value kondisi fisik 0,023 , P value psikolog 0,040 dan P value hubungan sosial 0,007 sehingga P value <0,05 maka Ho di tolak sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan penyebab stress dengan mekanisme koping pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.

2. Hubungan kepatuhan diet dan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Afissa Rahma Ayunda dan Dwi Priyantini pada tahun 2017 dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Sidoarjo dengan jumlah responden sebanyak 22 responden. Metode penelitian yang digunakan penelitian ini adalah korelasi dengan rancangan penelitian cross-sectional yang di ambil dengan teknik purposive sampling. Analisis data yang di gunakan yaitu uji statistik spearman rho correlation. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa responden yang patuh dalam melaksanakan diet memiliki kualitas hidup baik (18,2%), cukup patuh dalam melaksanakan diet memiliki kualitas hidup baik (50,0%), dan tidak patuh dalam melakukan diet memiliki kualitas hidup kurang

(35)

(31,8%). Berdasarkan hasil uji statistik di peroleh hasil ada hubungan kepatuhan diet dan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik dengan tingkat kemaknaan P value = 0,000 ( P < 0,05).

3. Mekanisme koping pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yemi ma G.V Wurara, Esrom Kanine, dan Ferdinand Wowiling pada tahun 2013 dilakukan di Rumah sakit Prof.Dr.R.D Kandou Manado dengan jumlah responden sebanyak 59 responden. Metode penelitian yang digunakan penelitian ini adalah metode aksidental sampling yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan. Teknik analisa data yang digunakan yaitu analisa univariat. Hasil dari penelitian ini yaitu menunjukan bahwa responden yang menggunakan koping adaptif 27 orang (45,8%), sedangkan yang menggunakan koping maladaptif 32 orang (54,2%), maka dapat disimpulkan bahwa pasien penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis lebih banyak menggunakan mekanisme koping maladaptif.

4. Hubungan dukungan sosial keluarga dengan kepatuhan diet pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Retno Fidyawati dan Ari Susanti pada tahun 2017 dilakukan di Rumkital Dr.Ramelan Surabaya dengan jumlah responden sebanyak 107 responden. Metode penelitian yang digunakan yaitu observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Analisis data penelitian ini menggunakan

(36)

Spearman’s Rho dengan tingkat kemaknaan α=0,05. Hasil penelitian menunjukkan dukungan sosial keluarga kategori baik dengan kepatuhan diet kategori patuh sebesar 76,2%, sedangkan untuk dukungan sosial keluarga baik dengan kepatuhan diet kategori cukup patuh sebesar 23.8%. Hasil uji Spearman’s Rho P=0,001 yang berarti dukungan sosial keluarga berhubungan dengan kepatuhan diet pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Rumkital Dr.Ramelan Surabaya.

(37)

2.7 Kerangka Teori

Sumber: Almatsier, (2010) . Baradero, et all, (2008) . Sunaryo (2010) . Potter & Perry (2010). Setyaningsih, et all (2011)

Gagal Ginjal Kronik Penurunan fungsi ginjal. Disebabkan oleh penyakit Glomerulofritis, Diabetes,

Hipertensi, dll.

Kepatuhan Pasien Gagal Ginjal Kronik

Yang Menjalani Hemodialisis Dalam Melakukan Diet: 1. Cairan 2. Nutrisi Mekanisme koping: 1. Koping Maladaptif 2. Koping Adaptif Hemodialisis Perubahan Biopsikososiospiritual

Referensi

Dokumen terkait

Dari kurva seperti Gambar 4, didapatkan hasil tegangan tarik maksimum pada silo semen sebesar 710310,532 m pada elemen 981 yang dilambangkan dengan warna biru tua..

'empat tidur terbuka adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk memasang perlengkapan tempat tidur tanpa sprei penutup. 'indakan ini dilakukan ika ada pasien baru dan

Jika ABCDEF adalah titik-titik sudut dari sebuah segi-enam beraturan, maka carilah resultan dari gaya-gaya yang dinyatakan oleh vektor-vektor AB, AC, AD, AE, dan AF... Penyelesaian::

Dari 10 spesies yang diamati memiliki bentuk dua pasang polinia yang bermacam- macam, antara lain bentuk heart shape terdapat pada Dendrobium strepsiceros,

Sub-DAS Cirasea merupakan bagian dari DAS Citarum Hulu, dimana DAS tersebut merupakan salah satu dari 15 DAS prioritas di Indonesia. DAS Citarum Hulu mengalami

Metode pergerakan mobile robot dalam menuju target menggunakan fuzzy logic dengan input dari kamera, sedangkan untuk pergerakan manipulator menggunakan trajectory

mengatur tenaga kerja (SDM) dan mengatur pemberian gaji pekerja. Program studi entreprenurship melakukan inovasi pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan soft

Abstrak : Penelitian tindakan ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas IV pada pembelajaran IPA dengan menggunakan metode demonstrasi pada