• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hipotesis Periode Kritis dalam Pemerolehan Bahasa. Akhmad Humaidi STKIP PGRI Banjarmasin. Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hipotesis Periode Kritis dalam Pemerolehan Bahasa. Akhmad Humaidi STKIP PGRI Banjarmasin. Abstrak"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Hipotesis Periode Kritis dalam Pemerolehan Bahasa

Akhmad Humaidi amat_humai@yahoo.co.id

STKIP PGRI Banjarmasin Abstrak

Makalah ini bertujuan untuk memaparkan konsep utama yang terdapat dalam hipotesis periode kritis dan sejauh mana bukti empiris yang mendukung atau menentangnya. Makalah ini juga memaparkan apa saja tindakan yang seharusnya dilakukan oleh guru, orang tua, penyusun kurikulum, pemerhati pendidikan anak, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk menyikapi kondisi ini untuk membantu perkembangan bahasa anak. Periode kritis merupakan salah satu topik yang menarik dalam penelitian pemerolehan bahasa. Inti utama hipotesis ini ialah terdapat rentang usia tertentu yang membuat seseorang mampu mempelajari bahasa dengan lebih baik. Usia yang dimaksud ialah rentang antara usia balita hingga pubertas. Ketika usia itu telah terlewati, seseorang akan kesulitan dalam mempelajari suatu bahasa. Dengan demikian, anak-anak diyakini merupakan pembelajar bahasa yang lebih baik daripada orang dewasa. Banyak pembahasan yang mencoba membuktikan hipotesis ini. Namun, tidak sedikit hasil penelitian yang menunjukkan pertentangan. Meskipun demikian, bagaimanapun anak-anak perlu mendapatkan perhatian yang besar dalam pemerolehan bahasa. Berdasarkan keadaan ini semua pihak seharusnya perlu menyikapinya dengan serius. Guru perlu merancang kegiatan pembelajaran yang cocok untuk membantu anak dalam mempelajari bahasa pertama dan kedua sejak dini. Orang tua perlu memberikan stimulus yang tepat untuk membantu perkembangan bahasa anak. Selain itu, lingkungan tempat anak tumbuh juga bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam pembahasan ini.

Kata Kunci: periode kritis, pemerolehan bahasa

Latar Belakang

Ada sebuah humor yang sekali-sekali muncul pada beberapa acara baik itu di televisi, radio, atau percakapan ringan masyarakat sehari-hari. Ketika belajar bahasa, seseorang akan mengatakan bahwa anak-anak di Inggris itu semuanya cerdas karena sejak kecil mereka telah mampu menggunakan bahasa Inggris, sementara anak-anak Indonesia harus berusaha keras melalui belajar, kursus, atau usaha lainnya. Candaan ini tentu saja tidak perlu dianggap serius. Meskipun demikian, pertanyaan dapat muncul dari candaan itu. Bagaimana mungkin anak-anak yang tumbuh di Inggris, Amerika, atau negara lain dapat menguasai bahasa itu dengan mudah sementara orang-orang Indonesia harus berjuang melalui berbagai pelajaran di sekolah formal, informal, atau usaha lain untuk mendapatkan kemampuan tersebut.

Fenomena ini dijelaskan oleh para ahli pemerolehan bahasa dengan melihat faktor eksternalnya, yakni anak-anak itu tumbuh di antara penutur bahasa Inggris sehingga mereka secara otomatis akan bisa menggunaknnya. Kondisi ini pada akhirnya juga memunculkan hipotesis untuk menjelaskan dengan lebih rinci persoalan itu. Para peneliti pemerolehan bahasa menggunakan istilah periode kritis (critical period) untuk memaparkan bagaimana seorang anak mampu menguasai dengan lebih “mudah” dibandingkan orang dewasa. Sejak tahun 1960-an istilah ini digunak1960-an untuk menelaah fenomena ini. Istilah lain y1960-ang juga digunak1960-an untuk

(2)

menggambarkan keadaan itu ialah periode sensitif (sensitive period). Istilah ini mengacu pada pemerolehan bahasa dengan menekankan pada perkembangan alami dan bertahap. Meskipun demikian, istilah sensitif dan kritis masih digunakan secara bergantian oleh sejumlah peneliti. Kedua istilah ini dalam berbagai literatur tentang pemerolehan bahasa masih belum terlihat perbedaan yang jelas. Namun, istilah yang lebih sering digunakan ialah periode kritis daripada periode sensitif.

Hipotesis ini dikemukakan oleh Lenneberg tahun 1967 dalam tulisannya berjudul

Biological Foundationn of Language. Hipotesis ini merupakan tantangan terhadap pandangan

behavioris yang meyakini bahwa perkembangan bahasa utama ditentukan oleh pembentukan lingkungan. Pandangan Lenneberg ditekankan pada peran kedewasaan dalam pemerolehan bahasa dan argumennya yang berhubungan dengan keterikatan waktu.

Para ahli meyakini adanya periode pada masa kanak-kanak yang merupakan era yang paling baik bagi seorang anak untuk memperoleh bahasa pertamanya. Ellis (2003: 138) menjelaskan bahwa kompetensi bahasa target dalam bahasa kedua hanya dapat diraih jika kompetensi pembelajaran dicapai sebelum usia tertentu (permulaan pubertas). Dengan kata lain, hipotesis ini mengatakan bahwa antara umur 2 sampai dengan 12 tahun seorang anak dapat memperoleh bahasa manapun dengan kemampuan seorang penutur asli (Darjowidjojo, 2008: 218). Seorang anak yang mendapatkan stimulus yang baik pada masa ini akan memperoleh bahasa pertamanya dengan baik. Namun, ketika seorang anak belum mendapatkan stimulus yang cukup, sedangkan masa-masa ini telah terlewati, para ahli meyakini anak-anak itu akan kesulitan dalam mempelajari bahasa.

Guasti (2002: 20) menjelaskan bahwa berbagai bukti yang telah terakumulasi menunjukkan bahwa kompetensi alami hanya diperoleh jika bahasa diperoleh sebelum pubertas. Berbagai bukti menunjukkan bahwa periode kritis memberikan efek untuk pemerolehan fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa pertama. Perbedaan umur mempengaruhi kecepatan dan keberhasilan belajara bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis, tetapi tidak berpengaruh dalam pemerolehan urutannya (Chaer, 2009: 253). Hal itu menjadi dasar keyakinan para ahli untuk menyatakan adanya hipotesis periode kritis.

Kasus yang cukup dikenal di kalangan ahli pemerolehan bahasa terkait persoalan ini terjadi pada seorang gadis yang bernama Genie. Gadis ini mengalami kondisi yang langka hingga ditemukan pada usia 13 tahun. Selama itu, anak ini hidup dalam ruangan yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan kaki terikat. Orang tua yang mengikat gadis ini tidak membiarkannya mendengar suara dan berinteraksi dengan orang lain. Genie baru ditemukan tahun 1970 dengan kondisi yang kurang terlibat secara sosial, primitif, terganggu secara emosional, dan tidak dapat berbicara. Ketika pertama kali ditemukan, Genie tidak mampu menggunakan bahasa, padahal usianya sudah mencapai 14 tahun. Usia itu telah melewati periode kritis, karena Genie telah mencapai pubertas. Dia memiliki jumlah kosakata yang sedikit dan kaidah gramatika yang tidak mencukupi. Meskipun telah menjalani rehabilitasi, kemampuan bahasa Genie sangat terbatas, khususnya pada aspek sintaksis. Dia tidak dapat membuat kalimat pasif, padahal anak-anak normal dapat menyusunnya ketika berumur tiga tahun. Performansi kebahasaan Genie setara dengan kemampuan anak yang berusia antara dua sampai dua setengah tahun.

Selain itu, bukti yang sama juga ditemukan pada orang yang mengalami ketulian.

American Sign Language (ASL) menemukan bahwa performansi berhubungan dengan

kemunduran dengan usia pada awal penerimaan. Individu yang diarahkan melalui bahasa isyarat sejak lahir berbahasa lebih baik pada usia dari 4 hingga 6 tahun, kemudian berbahasa lebih baik setelah usia 12 tahun. Begitu juga dengan pembicara yang diarahkan pada bahasa Inggris Amerika sebagai bahasa kedua sebelum usia 7 tahun memperoleh kemampuan alami pada tes morfologi dan sintaksis, sedangkan penutur yang dirahkan setelah usia 7 tahun tidak mendapatkan kompetensi alaminya.

Manusia telah memiliki sistem terstruktur pengetahuan linguistik yang kaya. Sistem ini dapat berkembang secara alami dan penuh hanya bila individu diarahkan pada stimulus yang tepat di masa-masa awal kehidupan mereka. Hal ini menjelaskan fakta bahwa memperoleh

(3)

bahasa pertama sebagai pemerolehan alami bagi anak menjadi lebih sulit semakin mereka dewasa.

Tidak hanya bahasa pertama, pemerolehan bahasa juga terjadi dengan pesat pada bahasa kedua pada periode ini. Selama bertahun-tahun, banyak kajian pada proses pemerolehan bahasa pertama dan pembelajaran bahasa kedua. Temuan mengenai pemerolehan bahasa pertama telah diadopsi pada pembelajaran bahasa kedua hingga sebagian peneliti sampai pada kesimpulan bahwa prosesnya bekerja dengan cara yang sama. Akibat kerumitan pemerolehan bahasa pertama dan pembelajaran bahasa kedua (Lasaten, 2014: 93).

Hal ini telah menjadi keyakinan yang umum bahwa anak merupakan pembelajaran yang lebih baik daripada orang dewasa. Hipotesis periode kritis didefinisikan sebagai periode perkembangan yang terbatas selama memperoleh bahasa, baik itu bahasa pertama maupun bahasa kedua (Gass dan Selinker, 2008: 405).

Interpretasi Hipotesis

Hipotesis periode kritis memiliki asumsi dasar bahwa pembelajar bahasa yang lebih muda mendapatkan hasil yang lebih baik daripada pembelajar bahasa yang telah dewasa. Telah muncul banyak usaha untuk menjelaskan pada usia berapa periode kritis ini terjadi, tetapi hal itu belum bisa terjawab dengan lengkap. Salah satu alasan utama periode ini ada disebabkan otak dalam kondisi elastisitas yang tinggi. Pada periode ini fungsi bahasa pada bagian kiri otak sedang berada dalam perkembangan yang pesat. Oleh sebab itu, ketika cidera otak terjadi pada anak-anak di bagian hemisfer kanan yang mengakibatkan gangguan berbicara, sistem tubuh mereka dapat menyembuhkan diri secara alamiah sedangkan pada orang dewasa tidak demikian.

Lenneberg (dalam Groot dan Kroli, 21) sangat jelas dalam menjelaskan awal dan akhir periode kritis. Argumennya ialah awal periode ini ditandai oleh bahasa khusus yang terjadi antara tahun kedua dan ketiga anak. Akhir periode kritis menurut tokoh ini terjadi pada usia 13 tahun atau masa pubertas. Masa ini merupakan penurunan kapabilitas pemerolehan bahasa. Masa ini terjadi bersamaan dengan lateralisasi fungsi bahasa ke hemisfer cerebral kiri yang lebih dominan. Kondisi ini dihubungkan dengan hilangnya kemampuan adaptasi untuk reorganisasi dalam otak. Masa pubertas dapat dianggap sebagai titik balik dari pemerolehan bahasa. Pada masa itu, di luar periode kritis, pembelajaran bahasa menjadi berbeda dan tidak lagi alami sebagaimana yang terjadi pada periode kritis.

Secara garis besar periode kritis dapat diinterpretasi menjadi dua versi yang berbeda (Reichle, 2010: 21). Perbedaan terletak pada kapan periode kritis berakhir. Ada tiga istilah yang digunakan untuk menjelaskan interpretasi itu secara sederhana, yakni permulaan kemunduran (begin offset), akhir kemunduran (end offset), dan pelurusan (flattening). Periode kritis dijabarkan sebagai masa ketika sensitivitas bahasa anak sangat tinggi. Oleh sebab itu, bahasa yang mereka dengar pada masa ini sangat mudah untuk dipelajari. Hal ini terjadi pada masa puncak periode kritis. Namun, periode ini memiliki batas waktu tertentu. Masa ketika sensitivitas bahasa anak mulai menurun disebut permulaan kemunduran (begin offset). Sensitivitas ini semakin lama semakin berkurang hingga akhirnya berkurang pada batas tertentu. Masa inilah yang disebut sebagai akhir kemunduran (end offset). Masa ini tidak diartikan bahwa pemerolehan bahasa terhenti. Pemerolehan bahasa akan terus berjalan, tetapi mereka akan berusaha lebih keras untuk menguasai bahasa yang akan mereka gunakan. Masa selanjutnya inilah yang disebut sebagai masa pelurusan (flattening). Anak-anak menguasai dasar-dasar utama bahasa, tetapi ada konsep, kosakata, tata bahasa tertentu yang belum mereka kuasai sepenuhnya. Anak akan berusaha meluruskannya melalui proses pembelajaran.

Interpretasi pertama terhadap hipotesis periode kritis menyatakan bahwa periode ini hanya terjadi pada puncak sensitivitas. Ketika kemunduran secara berangsur-angsur telah dimulai, maka periode ini dinyatakan telah lewat. Dengan demikian, bila tingkat sensitivitas bahasa anak mulai menurun, masa itu tidak lagi disebut sebagai periode kritis. Seorang anak akan berusaha lebih keras melalui proses pembelajaran untuk menguasai bahasanya. Pandangan ini tidak banyak dianut oleh para ahli dalam menjelaskan pemerolehan bahasa. Interperetasi ini dapat diamati pada gambar berikut.

(4)

Gambar 1 Interpretasi Pertama Hipotesis Periode Kritis

Interpretasi yang lebih populer ialah periode kritis meliputi semua periode puncak senstivitas, baik pada masa permulaan maupun ketika telah terjadi kemunduran. Periode kritis untuk pemerolehan bahasa terjadi pada puncak sensitivitas. Namun, tidak seperti interpretasi sebelumnya, interpretasi kedua ini menyatakan bahwa periode kritis juga meliputi setiap tingkat kemunduran selanjutnya, baik permulaan atau akhir kemunduran. Periode ini dinyatakan berakhir ketika proses pelurusan dimulai, yakni masa ketika seorang anak berusaha menyempurnakan penguasaan bahasa miliknya setelah pengetahuan dasar bahasanya telah dikuasai. Pandangan ini dapat digambarkan pada gambar berikut ini.

Gambar 2 Interpretasi Kedua Hipotesis Periode Kritis

Pelurusan ini tidak hanya terjadi pada bahasa pertama, tetapi juga berlaku pada bahasa kedua. Para ahli percaya bahwa proses atau tahapan yang diperoleh oleh pembelajar bahasa untuk mendapatkan bahasa kedua memiliki kesamaan dengan bahasa pertama. Oleh sebab itu, perbedaannya terletak pada bagaimana usaha yang dilakukan anak untuk menguasainya. Usaha ini akan lebih keras ketika periode kritis berakhir. Oleh sebab itu, periode kritis berhubungan dengan bahasa pertama dibandingkan bahasa kedua.

Usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk mempelajari bahasa kedua setelah bahasa pertama dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu secara formal atau yang lebih dikenal sebagai pembelajaran bahasa (language learning) dan secara informal atau yang lebih dikenal sebagai pemerolehan bahasa (language acquisition). Pembelajaran bahasa terjadi dalam lingkungan yang telah diatur sedemikian rupa dalam berbagai aspek, seperti kurikulum, buku, ruangan kelas, tugas, guru, dan sebagainya. Berbeda halnya dengan pemerolehan bahasa, seseorang tidak menguasai bahasa targetnya dalam lingkungan yang terkondisikan, tetapi dalam lingkungan yang alamiah. Oleh sebab itu, pemerolehan bahasa selalu diasosiasikan dengan bahasa pertama. Seorang bayi, anak-anak, hingga remaja tinggal dalam suatu lingkungan bahasa yang mendorongnya untuk berkomunikasi. Bahasa ini selalu merujuk pada bahasa ibu atau bahasa yang pertama dia pelajari untuk berbicara dengan lingkungan pertamanya.

1. Permulaan kemunduran

2. Akhir kemunduran 3. Pelurusan

Akhir Periode Kritis kemunduran 1. Permulaan kemunduran

2. Akhir kemunduran

3. Pelurusan Akhir Periode Kritis

(5)

Bukti Empiris Hipotesis

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membuktikan ada atau tidak periode kritis ini. Dalam beberapa penelitian yang ditemukan, beberapa ahli mendapatkan kesimpulan yang berbeda. Ada sejumlah penelitian yang membuktikan bahwa perkembangan bahasa pada anak di bawah usia pubertas memang terbukti lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa. Namun, beberapa penelitian yang lain menunjukkan kesimpulan yang berbeda. Mereka menemukan bahwa tidak ada perbedaan pemerolehan bahasa baik bagi anak maupun bagi orang dewasa.

Pengkajian yang mendukung hipotesis ini antara lain dilakukan Johnson dan Newport (1989). Penelitian mereka dilakukan dengan membandingkan hasil tes pencapaian kecakapan bahasa Inggris dari 46 penutur asli Korea dan Cina yang tiba di Amerika antara usia 3 dan 39 tahun, serta yang telah tinggal di Amerika antara 3 dan 26 tahun. Tes yang mereka gunakan meibatkan berbagai variasi struktur tata bahasa Inggris. Hasil yang mereka temukan menunjukkan bahwa memang terdapat keuntungan yang jelas dan kuat bagi mereka yang telah tiba lebih dulu daripada yang tiba kemudian. Efek usia ini muncul pada setiap soal tes struktur tata bahasa yang diberikan. Adapun bagi subjek yang tiba di Amerika setelahnya menunjukkan hasil yang bervariasi. Penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa periode kritis untuk pemerolehan bahasa memperluas dampaknya pada pemerolehan bahasa kedua.

Dengan demikian, periode ini perlu dimaksimalkan melalui kegiatan pembelajaran bahasa secara formal. Selain itu, hasil penelitian Krashen (2002: 49) pada subjek yang diteliti juga mendukung hipotesis periode kritis. Dia menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa dapat meningkatkan kecakapan berbahasa. Pembelajar kemungkinan dapat meningkatkan ketepatan performansi. Subjek yang diteliti memperlihatkan performansi yang hampir sempurna pada situasi ketika pengamatan memungkinkan, tetapi membuat kesalahan pada percakapan yang terjadi secara kebetulan. Subjek bisa memperbaiki semua kesalahan itu dan dapat menggambarkan peran tata bahasa yang dilanggarnya. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran kompetensi yang dipelajari terlibat dalam situasi membuat kesalahan subjek menjadi lebih kecil.

Penelitian yang bertentangan ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh Snow dan Höhle (1978). Studi longitudinal mereka dilakukan pada bahasa Belanda oleh penutur bahasa Inggris pada usia yang berbeda. Para subjek dites sebanyak tiga kali selama tahun pertama mereka di Belanda, untuk mengukur berbagai aspek pemerolehan bahasa. Mereka menemukan bahwa subjek dalam kelompok usia 12-15 tahun dan dewasa menunjukkan hasil yang paling cepat selama beberapa bulan selama tinggal di Belanda. Pada akhir tahun pertama usia 8-10 dan 12-15 tahun mencapai kendali yang terbaik terhadap bahasa Belanda. Usia 3-5 tahun mendapatkan nilai paling rendah pada semua tes yang diberikan. Hasil ini menjadi tantangan terhadap kebenaran periode kritis. Meskipun demikian, kesimpulan yang diambil perlu melibatkan telaah atas lingkungan yang melingkupi anak. Pengetahuan anak terhadap tata bahasa tidak akan sama dengan orang dewasa. Anak mempelajari bahasa melalui bunyi, tidak seperti orang dewasa. Oleh sebab itu, wajar saja ketika anak mendapatkan skor yang rendah bila dibandingkan dengan orang dewasa.

Bahasa bisa didapatkan hanya melalui interaksi di dalam lingkungan. Bahasa didapatkan dalam kondisi bersosial. Ia tidak bisa didapatkan dalam kondisi mengurung diri. Pembelajar bahasa harus berinteraksi dengan orang lain sebagai pengguna bahasa (Otto, 2015: 51). Kontribusi lingkungan tidak bisa disederhanakan bahwa lingkungan informal menyediakan input yang diperlukan untuk pemerolehan sementara pembelajaran di kelas meningkatkan kompetensi pembelajar (Krashen, 2012: 47). Lingkungan informal secara langsung dan intensif memang bertujuan untuk membuat pembelajar memahami bahasa kedua dengan lebih efektif. Meskipun demikian, ruang kelas dapat menyempurnakan secara simultan pembelajaran dan pemerolehan bahasa. Pembelajaran di ruang kelas secara langsung diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan sadar linguistik pada bahasa target untuk memperluas bahasa yang digunakan secara realistis dan peristiwa pemerolehan. Dengan kata lain, ruang kelas menyediakan penerimaan lingkungan informal seperti lingkungan linguistik formal.

(6)

Hasil kajian yang diperoleh telah mengerucut pada satu kesimpulan bahwa proses pembelajaran bahasa kedua melampaui apa yang telah dipelajari dan diajarkan. Para peneliti juga telah melihat bahasa kedua memerlukan usaha yang direncanakan dan sejumlah faktor individu dan sosial yang kuat untuk memberikan hasil yang terbaik. Troike (2006:180) menjelaskan bahwa kita tidak bisa mengendalikan sebagian besar faktor tersebut, tetapi pengenalan terhadap faktor-faktor itu dapat memberikan kontribusi terhadap efesiensi dan efektivitas dalam pengembangan bahasa kedua.

Selain itu, sebuah penelitian di bidang neurologis juga menunjukkan pertentangan yang sama terhadap hipotesis periode kritis. Pola aktivitas otak yang diamati menunjukkan bahwa terjadi kesamaan antara orang dewasa yang mempelajari bahasa baru dan anak-anak yang mengalami pemerolehan bahasa. Hal ini dibuktikan oleh Friederici, Steinhauer, dan Pfeifer (2002: 529). Para partisipan yang mereka latih menunjukkan dua komponen potensial otak yang terhubung merefleksikan proses sintaksis yang terkendali. Penemuan mereka memperlihatkan bahwa peran sistem tata bahasa juga dapat didapatkan penutur dewasa dengan cara sebagaimana penutur asli ketika memproses kalimat. Data neuropsikologis yang mereka temukan mengindikasikan bahwa pembelajar bahasa dewasa pada prinsipnya dapat diproses dengan cara penutur asli.

Meskipun demikian, data ini belum dapat dikatakan mampu menggambarkan secara sempurna tentang perbedaan pemerolehan bahasa. Data ini diperoleh melalui situasi yang dikendalikan bukan situasi alami. Pemerolehan bahasa yang telah dikendalikan menyebabkan hasil yang diperoleh tidak sama dengan kondisi alami ketika seseorang menggunakan bahasa mereka. Selain itu, penelitian bukan penelitian longitudinal. Oleh sebab itu, hasil yang terlalu singkat tidak sama karena seseorang yang mempelajari bahasa memakan kurun waktu yang lama.

Pandangan dalam Neurologis

Sejumlah bukti empiris menunjukkan bahwa perubahan struktur neurologis terjadi di otak pada usia tertentu yang memberikan dampak pada kemampuan seorang anak untuk memperoleh bahasa baik dari segi pelafalan maupun tata bahasa. Perubahan alami yang terjadi mengarahkan pada hilangnya fleksibilitas otak pada usia tertentu.

Periode usia kritis dalam pandangan neurologis disebabkan karena belum adanya pemisahan antara hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Kedua bagian otak ini masih bersifat lentur sehingga dapat dengan mudah menerima tugas-tugas yang rumit. Ketika masa pubertas dimulai, keduanya akan mulai terpisah. Setiap bagian ini pada akhirnya tidak fleksibel seperti sebelumnya dan setiap bagian telah memiliki tugasnya masing-masing. Hal inilah yang menyebabkan orang yang telah dewasa sangat jarang menguasai suatu bahasa sebagaimana bahasa pertamanya. Meskipun seseorang telah menguasai tata bahasa dengan sempurna, masih saja terdapat kekurangan, misalnya aksennya yang tidak sama dengan bahasa asli.

Penjelasan mengapa penjelasan neurologis memperlihatkan pembelajar dewasa dapat memperoleh bahasa dengan lancar dapat dipaparkan melalui beberapa kemungkinan. Penjelasan pertama ialah pembelajar dewasa mengalami makna negosiasi yang lebih banyak sehingga input yang mereka peroleh lebih baik daripada anak-anak. Penjelasan lain ialah orang dewasa memiliki keterampilan kognitif yang telah berkembang penuh sehingga memungkinkan mereka untuk mempelajari bahasa. Hal ini memberikan keuntungan awal melebihi anak-anak, tetapi tidak pada tingkat pelafalan. Tingkatan keuntungan yang didapatkan orang dewasa merupakan hasil dari berbagai faktor.

Kontroversi Hipotesis

Para ahli pemerolehan bahasa memang belum mendapatkan konsensus yang sama tentang hipotesis periode kritis. Persoalan ini antara lain disebabkan oleh perbedaan metode penelitian. Perbedaan ini antara lain sebagaimana yang terjadi pada studi longitudinal. Studi ini dapat berbeda berdasarkan kelompok subjek yang dipilih sesuai dengan waktu tertentu. Namun, studi ini juga dapat diambil berdasarkan kelompok subjek dengan perbedaan awal usia. Berbagai perbedan subjek penelitian ini pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan hasil

(7)

penelitian dan perbedaan kesimpulan. Penelitian mengenai pengaruh usia terhadap pemerolehan bahasa cukup besar jumlahnya dengan persektif yang berbeda-beda sehingga tidak mengejutkan banyak simpulan yang berbeda.

Meskipun demikian, kita dapat mengambil sejumlah kesamaan umum dari perbedaan-perbedaan tersebut. Misalnya, hasil penelitian seperti Snow dan Höhle (1978) yang menunjukkan keunggulan orang dewasa dibandingkan anak-anak dalam hal pemerolehan bahasa. Pembelajar dewasa memang memiliki keunggulan pada tata bahasa. Namun, pembelajar anak-anak memiliki keunggulan lain dilihat dari kemampuan memperoleh aksen alamiah dalam konteks informal. Meskipun demikian, beberapa anak juga memiliki kemungkinan tidak mendapatkan aksen alamiahnya. Hal ini dapat disebabkan tidak ada usaha yang serius dalam memelihara bahasa pertama secara lebih aktif. Anak-anak dapat mendapatkan kompetensi tata bahasa alami. Periode kritis untuk tata bahasa diperoleh setelah pelafalan pada usia sekitar 15 tahun. Beberapa pembelajar dewasa kemungkinan berhasil dalam mendapatkan ketepatan tata bahasa sebagaimana tingkat alamiah dalam berbicara dan menulis, bahkan kompetensi linguistik penuh. Ketika anak mendapatkan kecakapan sebagai penutur asli, mereka dapat memperoleh tingkat yang lebih tinggi baik pelafalan maupun tata bahasa daripada pembelajar dewasa.

Pengembangan Bahasa pada Priode Kritis

Mengingat betapa pentingnya periode kritis bagi perkembangan bahasa, para orang tua dan guru perlu memaksimalkan pembelajaran bahasa bagi anak-anak. Melalui pembelajaran yang tepat, anak akan memperoleh bahasa pertama mereka dengan baik. Bila memungkinkan mereka juga dapat sekaligus memperoleh bahasa keduanya. Untuk perkembangan fonetik, masa kelahiran hingga usia sekitar 10 tahun adalah masa yang optimal. Perkembangan pengetahuan sintaksis dan morfem kira-kira memiliki masa-masa penting dimulai dari masa kelahiran hingga masa puber (usia 12-14). Bukti-bukti yang terkumpul menunjukan bahwa tidak semua pembelajar bahasa dipengaruhi oleh periode-periode itu dan mereka mampu mendapatkan penguasaan asli dari bahasa kedua setelah “masa penting terlewati.” Namun, aspek pengetahuan semantik tidak dibatasi oleh periode kritis. Di lain sisi, pengetahuan pragmatik sepertinya tidak memiliki periode penting perkembangan (Otto, 2015: 51).

Berbagai pendekatan atau metode dalam teori pembelajaran mengacu pada dua pertanyaan, yakni proses linguistik dan kognitif apa yang terlibat dalam pembelajaran bahasa? Dan kondisi apa yang diperlukan agar proses pembelajaran itu dapat diaktifkan (Richards dan Rodgers, 2002: 22). Tindakan yang dapat dilakukan ialah dengan menetapkan kurikulum khusus yang diterapkan kepada para orang tua dan guru. Bentuk pembelajaran bahasa yang paling ideal kepada anak-anak ialah dengan interaksi langsung secara lisan. Hal ini akan merangsang mereka untuk memahami dan meniru kata-kata yang mereka terima. Ada tiga kategori utama dalam pembelajaran bahasa di sekolah formal.

Pertama, kegiatan Eksploratori. Pembelajaran yang dikategorikan dalam kegiatan ini ialah semua proses pembelajaran bahasa yang bersifat mandiri. Guru memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak untuk mengeksplorasi setiap materi yang diberikan kepada mereka. Kegiatan ini bersifat tidak terstruktur sehingga anak bebas untuk melakukan apa yang mereka sukai.

Kedua, kegiatan yang dipandu. Pembelajaran yang dikategorikan dalam kegiatan ini bersifat terstruktur. Guru telah menetapkan apa saja yang perlu dilakukan oleh anak. Pembelajaran ini diberikan dalam bentuk tugas baik itu tugas mandiri maupun tugas kelompok. Namun, tugas-tugas itu berorientasi pada interaksi untuk membuat anak lebih sering mendengarkan dan mengucapkan bahasa.

Ketiga, kegiatan rutin. Pembelajaran bahasa juga dapat terjadi dalam kegiatan rutin yang dilakukan sehari-hari. Kegiatan rutin yang dimaksud antara lain seperti makan, berangkat dan pulang sekolah, mengucapkan salam, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini akan membuat anak terbiasa dalam mengucapkan kata-kata tertentu. Dengan demikian mereka tidak akan mendapatkan kesulitan dalam melakukan interaksi dalam kegiatan-kegiatan tersebut.

(8)

Interaksi merupakan bentuk pembelajaran bahasa yang paling penting ketika anak-anak masih kecil. Interaksi yang dimaksud mengutamakan komunikasi verbal, tetapi komuikasi nonverbal juga memiliki porsi yang penting. Bentuk interaksi yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Pertama, lingkaran komunikasi. Orang tua dan anak dapat saling bercakap-cakap secara bergantian. Guru memberikan stimulus tertentu kepada anak melalui rangsangan verbal. Setelah itu, anak memberikan respon tertentu. Guru kemudian memberikan feedback atas respon tersebut. Pola komunikasi ini terjadi secara berulang-ulang dan terus-menerus.

Kedua, pemetaan verbal. Anak-anak terkadang tidak mengetahui hal-hal baru yang mereka temui. Oleh sebab itu, mereka memerlukan bantuan dari orang tua dan guru untuk menjelaskannya. Mereka menjelaskan kepada anak mengenai peristiwa apa yang sedang terjadi atau benda apa yang ada di hadapan mereka.

Ketiga, percakapan. Guru dan orang tua mengajak anak untuk membicarakan tentang suatu persoalan. Anak akan lebih cepat terangsang untuk meniru dan mempraktikkan kompetensi bahasa mereka secara langsung. Hal ini akan sangat membantu dalam pemerolehan bahasa anak. Bentuk perckapan disesuaikan dengan kompetensi anak yang tergambar dalam usia.

Simpulan

Hipotesis periode kritis merupakan sebuah konsep yang masih menjadi pertentangan di kalangan para ahli pemerolehan bahasa. Meskipun demikian, ada sejumlah kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai perbedaan itu. Pertama, pembelajar dewasa memiliki keunggulan dari segi tata bahasa. Kedua, perkembangan bahasa anak-anak didapatkan melalui bunyi sehingga peniruan bunyi merupakan sarana utama anak dalam pemerolehan bahasa. Hal ini yang membuat anak-anak mampu memperoleh logat atau aksen alami pada konteks pembelajaran informal. Ketiga, baik anak-anak maupun dewasa memiliki peluang yang sama untuk memperoleh kompetensi tata bahasa alami. Kompetensi ini mencakup bahasa lisan maupun bahasa tulis, hingga kompetensi linguistik yang utuh. Meskipun demikian, anak-anak memiliki peluang yang lebih tinggi untuk mendapatkan kompetensi berbahasa alami baik pada pengucapan maupun tata bahasa.

Terlepas dari kontroversi hipotesis periode kritis, anak-anak harus mendapatkan perhatian yang besar dari segi pemerolehan bahasa. Penguasaan kompetensi bahasa yang lebih awal akan mendukung performansi yang lebih baik ketika anak-anak semakin dewasa. Pembelajaran bahasa yang paling efektif bagi anak-anak ialah melalui interaksi secara langsung. Oleh sebab itu, anak-anak perlu diajak untuk bercakap-cakap. Secara tidak langsung, cara ini akan membuat anak mengenal kosakata-kosakata baru dan tata bahasa baik dalam bahasa pertama maupun bahasa kedua mereka. Bagi orang dewasa, pemerolehan bahasa akan lebih sulit. Meskipun demikian, mereka mempunyai pengalaman, kedewasaan, dan lingkungan yang lebih mendukung untuk mempelajari bahasa tertentu. Orang dewasa memiliki keleluasaan dan kemandirian dalam menentukan bagaimana cara mengembangkan bahasa yang ingin dipelajarinya. Pembelajaran formal dan informal yang dilakukan secara berkesinambungan akan mengantarkan pembelajara dewasa pada kompetensi linguistik yang utuh terhadap bahasa yang mereka pelajari.

(9)

Daftar Pustaka

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ellis, Rod. 2003. Second Language Acquisition. New York: Oxford University Press.

Friederici, Angela D; Karsten Steinhauer; dan Erdmut Pfeifer. 2002. Brain signatures of artificial language processing: Evidence challenging the critical period hypothesis. PNAS, vol. 99 no. 1, hlm 529–534. (online), (http://www.pnas.org/content/99/1/529.full.pdf), diakses 3 September 2016.

Gass, Susan M. dan Larry Selinker. 2008. Second Language Acquisition: An Introductory Course. New York: Routledge.

Groot, Annette M.B. dan Judith F. Kroli. 1997. Tutorial in Bilingualism: Psycholinguistic

Perspectives. United Kingdom: Psychologi Press.

Guasti, Maria Teresa. 2002. Language Acquisition: the Growth of Grammar. Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology.

Johnson, Jacqueline S. dan Elissa L Newport. 1989. Critical period effects in second language learning: The influence of maturational state on the acquisition of English as a second language. Cognitive Psychology, Vol 21, Issue 1, hlm 60–99. (online) (http://www. sciencedirect.com/science/article/pii/0010028589900030), diakses 1 September 2016. Krashen, Stephen D. 2002. Second Language Acquisition and Second Language Learning.

University of Southern California: Pergamon Press Inc.

Lasaten, R. C. S. (2014). Analysis of Errors in The English Writings of Teacher Education Students. Researchers World, 5(4), 92-101. (online) http://search.proquest.com/ docview/1624953022?accountid=62696 diakses 8 Agustus 2016.

Otto, Beverly. 2015. Perkembangan Bahasa Pada Anak Usia Dini: Edisi Ketiga. Terjemahan Tim Prenadamedia Group. Jakarta: Prenadamedia Group.

Reichle, Robert V. 2010. The Critical Period Hypothesis: Evidence from Information Structural Processing in French. Dalam Janusz Arabski and Adam Wojtaszek (Ed.), Neurolinguistic

and Psycholinguistic Perspectives on SLA. Great Britain: Short Run Press.

Richards, Jack C. dan Theodore S Rodgers. 2002. Approaches and Methods in Language Teaching:

Second Edition. New York: Cambridge University Press.

Snow, Catherine E. dan Marian Hoefnagel-Höhle. 1978. The Critical Period for Language Acquisition: Evidence from Second Language Learning. Child Development, Vol. 49, No. 4, hlm 1114-1128. (online), (http://www.jstor.org/stable/1128751?seq=1#page_scan _tab_contents), diakses 1 September 2016.

Troike, Muriel Saville. 2006. Introducing Second Language Acquisition. New York: Cambridge University Press.

Gambar

Gambar 1 Interpretasi Pertama Hipotesis Periode Kritis

Referensi

Dokumen terkait

508 Hamka, Tasawuf Modern, 107.. salah, lalu diadakan apa yang mereka namai pembersihan otak. “Sekali-kali tidaklah ada pergantian pada ciptaan Allah”, artinya ialah bahwa

Kedua, Upaya yang dilakukan Peradilan-Peradilan Agama yang ada di DIY guna mempersiapkan kewenangannya yang baru yaitu menyelesaikan sengketa ekonomi syariah ini

Persentase perkecambahan benih dengan inter- aksi antara perlakuan media simpan dan periode simpan menunjukan bahwa benih yang disimpan pada media simpan serbuk gergaji

Q : Apakah ada biaya yang dikenakan apabila nasabah melakukan penarikan tunai dengan menggunakan kartu ATM Global Wallet di mesin ATM yang berada di luar negeri.. A :

Dari uraian tersebut, disimpulkan tidak terdapat hubungan tingkat pengetahuan santri mengenai gejala klinis skabies dengan usia, jenis kelamin, tingkat

Berdasarkan hasil analisis menggunakan program software FISAT II gabungan pada bulan Februari, Maret, April dengan jumlah sampel 1712 ekor diperoleh nilai panjang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui potensi ikan Tuna Sirip Kuning melalui analisis produksi, struktur ukuran ikan, L 50% dan sifat pertumbuhan ikan

Mengamati pertambahan jumlah tunas pisang Mas Kirana antara subkultur yang dilakukan, total tunas konstan diperoleh sampai subkultur ke4 dan subkultur ke 5, dari satu