• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Tepung Jagung dan Sorgum sebagai Substitusi Terigu dalam Produk Olahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Potensi Tepung Jagung dan Sorgum sebagai Substitusi Terigu dalam Produk Olahan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros

Potensi Tepung Jagung dan Sorgum sebagai

Substitusi Terigu dalam Produk Olahan

Suarni1

Ringkasan

Jagung dan sorgum dapat dimanfaatkan lebih beragam lagi sebagai bahan pangan olahan tradisional maupun industri. Kelebihan jagung sebagai pangan fungsional mengandung serat, karbohidrat, antioksidan, mineral Fe dan nutrisi lainnya, yang kurang dimiliki oleh terigu. Kelemahan sorgum adalah adanya tanin pada bagian aleuron, yang merupakan antinutrisi dan memberi rasa sepat pada produk olahan. Pada proses penyosohan, konsentrasi tanin dapat dikurangi/ dihilangkan tetapi sebagian nutrisi akan hilang. Tepung sorgum mempunyai tekstur yang lebih halus dan asam amino penyusun proteinnya mampu membentuk gluten yang lebih baik dibanding tepung jagung, walaupun secara kuantitatif dan kualitatif lebih rendah dibanding terigu. Karakterisasi sifat fisikokimia, fungsional tepung sorgum dan jagung berperan penting dalam pemanfaatan kedua bahan tersebut. Terigu sudah menjadi bagian pangan dalam pola konsumsi masyarakat, produk olahan tertentu dapat disubstitusi oleh tepung jagung dan sorgum dengan taraf yang berbeda, bergantung pada jenis olahan yang diinginkan. Sifat fisikokimia bahan setengah jadi substitusi tepung jagung dan sorgum pada produk olahan pangan dari terigu dapat memenuhi selera panelis. Pemanfaatan tepung jagung dan sorgum sebagai bahan pangan sehat diharapkan dapat mengurangi pemakaian terigu dan sekaligus meningkatkan kemandirian pangan menuju hidup sehat.

K

ebutuhan terigu di Indonesia semakin meningkat, dari 3,4 juta tonpada tahun 2005 naik menjadi 4,0 juta ton pada tahun 2009. Hal ini merupakan dampak dari semakin beragamnya produk makanan berbasis terigu. Harga terigu yang semakin mahal menyebabkan industri makanan berbasis terigu mengalami kerugian dan mengurangi produksinya. Dampaknya, kebutuhan terigu sementara turun menjadi 3,6 juta ton pada tahun 2007 bahkan diprediksi akan terus menurun pada tahun 2008 (Alwin 2008). Ternyata kebutuhan terigu meningkat lagi pada tahun 2009.

Ketika terjadi kenaikan harga terigu, produsen terutama dari sektor usaha kecil menengah (UKM), mengalami masalah dalam hal bahan baku. Salah satu solusi untuk mengurangi permasalahan tersebut adalah memanfaatkan tepung sumber karbohidrat lokal dalam produksi makanan berbasis terigu.

(2)

Budaya makan berbasis bahan tepung yang telah terbangun perlu difasilitasi dengan pengembangan aneka tepung lokal, untuk mengurangi penggunaan terigu (Sasongko dan Puspitasari 2008, Budijono et al. 2008).

Untuk itu diperlukan kajian penerapan bahan pangan serealia lainnya yang dapat mensubsitusi terigu. Jagung merupakan bahan pangan yang berperan penting dalam perekonomian dan mudah diterima masyarakat. Bahkan dalam bentuk butir pecah, jagung di daerah tertentu dikonsumsi sebagai makanan pokok. Jagung makin penting dengan berkembangnya industri pangan. Kandungan nutrisi jagung relatif tidak berbeda dengan terigu, bahkan jagung mempunyai kandungan pangan fungsional seperti serat, Fe, dan -karoten (pro vitamin A) (Suarni dan Firmansyah 2007).

Upaya memproduksi gandum di Indonesia sejak dua abad yang lalu tidak berkembang (Danakusuma 1985 dalam Dahlan dan Hamdani 2003). Upaya pengembangan gandum di Indonesia tercermin dari kerja sama penelitian dengan berbagai lembaga penelitian nasional dan internasional. Centro Internacional de Mejoramiento de Maizy Trigo (CIMMYT) menyeleksi gandum toleran terhadap suhu dan curah hujan tinggi (Basri et al. 1985, Dahlan et al. 1985, Gayatri et al. 1985, dan Dasmal et al. 1994 dalam Dahlan dan Hamdani 2003).

Pada umumnya bahan baku produk makanan kering seperti biskuit, roti, mie, dan sejenisnya menggunakan terigu. Dibanding dengan jenis tepung lainnya, terigu memiliki kelebihan berupa senyawa gluten, yang merupakan campuran antara dua jenis protein, yaitu glutenin dan gliadin. Glutenin memberikan sifat tegar dan gliadin memberikan sifat lengket pada produk, memerangkap gas yang terbentuk selama proses pengembangan adonan. Gluten bersama pati gandum akan membentuk struktur dinding sel dan menghasilkan produk yang remah (Winarno 2002). Sifat spesifik gluten tersebut tidak dimiliki oleh serealia lainnya termasuk jagung, sorgum, jewawut, dan padi.

Kemampuan daya bentuk adonan ditentukan oleh mutu dan jumlah gluten. Tepung terigu yang berasal dari gandum keras (hard wheat) mengandung protein yang bermutu baik (> 10,5%) yang sesuai untuk pembuatan roti. Jenis terigu dari gandum lunak (soft wheat) dengan kandungan protein <10% digunakan untuk membuat cake, cookies, dan pastel (U.S. Wheat Associates 1983).

Kelebihan dan kekurangan beberapa bahan pangan dan perbandingan kandungan gizi terigu dengan bahan pangan lainnya dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

(3)

Tabel 2. Perbandingan kandungan gizi beberapa bahan pangan.

Komoditi Kalori Protein Karbohidrat Lemak Gluten

(g) (g) (g) (g) Terigu 365 11,5 77,3 1,3 9,2 Sorgum 332 11 73 3.3 < 1 Beras 360 7 80 0.5 < 1 Jagung 361 9.2 74 3.9 < 1 Sagu 353 0.7 85 0.2 — Garut 355 0.7 85 0.2 — Tapioka 362 0.5 87 0.3 — Komoditi Terigu Sorgum Beras Jagung Ubijalar Garut Singkong

Tabel 1. Kelebihan dan kekurangan beberapa bahan pangan.

Kekurangan - Asal impor

- Memerlukan alat proses yang lebih sulit

- Tidak dapat dibudidayakan di DN - Penyosohan lebih sulit

dari-pada beras

- Mengandung tanin, rasa sepat - Di pasar dunia mahal

- Keragaman produk terbatas - Protein relatif lebih rendah - Produksi DN belum mencukupi - Sulit diolah/diproses

- Produk olahan terbatas

- Protein rendah dan banyak serat

- Jenis produk terbatas - Protein rendah

- Merusak kesuburan tanah - Mengandung HCN Keunggulan

- Protein tinggi (10-15%) - Mudah diperoleh di pasar dunia - Mudah diproses jadi berbagai

produk

- Protein tinggi mirip terigu (11%) - Adaptasi lahan tinggi, bisa diratun - Umur pendek & harga murah - Hama sedikit & biaya prod.rendah - Dibudidayakan secara luas di DN - Mudah diolah jadi tepung - Harga DN relatif lebih murah - Dibudidayakan secara luas di DN - Kandungan B1 & B2 > beras - Hasil tinggi 15-25 t/ha - Tidak mengandung HCN - Harga relatif lebih murah

beras

- Areal tanam sempit - Hasil tinggi sampai 19 t/ha

- Hasil tinggi 15-40 ton/ha - Proses sederhana & mudah

diolah

(4)

Hasil Penelitian

Gandum

Gandum di dataran tinggi dapat menghasilkan lebih dari 3,0 t/ha, tetapi hasil menurun di dataran rendah. Di Malino, Sulawesi Selatan (1.350 m dpl.), gandum menghasilkan 3-5 t/ha (Hamdani et al. 2002). Di Boyolali (675 m dp.), hasil gandum berkisar antara 0,71-2,34 t/ha (Dahlan et al. 2003). Hasil gandum linier terhadap ketinggian tempat apabila tidak terjadi serangan hama dan penyakit (Azwar et al. 1988). Betty dan Dahlan (1989) melaporkan bahwa hasil gandum lebih terkait dengan curah hujan. Pada bulan Mei curah hujannya lebih tinggi dan hasil gandum lebih rendah dibanding yang ditanam pada bulan Juni dan Juli. Hasil gandum di dataran tinggi bervariasi, bergantung pada lingkungan tumbuh seperti curah hujan, kesuburan tanah, temperatur, dan serangan hama penyakit (Azwar et al. 1988). Hasil penelitian di Balitsereal menunjukkan hasil galur Hahn/2#Weaver dan DWR 162 di beberapa lokasi sama dengan hasil varietas Nias, 2,9 t/ha. Galur Hahn/2#Weaver lebih genjah dibanding varietas Nias. Kedua galur tersebut termasuk hard wheat. Percobaan di Malino dan Tosari, hasil galur Hahn/2#Weaver masing-masing 2 t/ha dan dan hasil galur DWR 2,25 t/ha. Hasil varietas Nias lebih rendah 2,1 t/ha (Dahlan et al. 2003).

Mutu gandum bergantung pada jenis dan daerah pengembangan yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu gandum keras (hard wheat) dan gandum lunak (soft wheat). Di daerah yang mempunyai dua musim, gandum dikelompokkan menjadi gandum musim panas (hard spring wheat) dan gandum musim dingin (hard winter wheat). Gandum merah (soft red wheat) dan gandum putih (white wheat) termasuk gandum lunak. Biji gandum terdiri atas 15% dedak (epidermis, epicarp, endocarp, testa, dan lapisan aleuron), 2,5% germ, dan 82,5% endosperm (US Wheat Assosiate 1981).

Kadar protein, abu, dan gluten beberapa galur/varietas gandum disajikan pada Tabel 3. Kadar protein 24 galur gandum tersebut berkisar antara 11,3-16,0%, relatif sama dengan varietas Selayar, Nias, Dewata dengan kisaran 12,9-14,0%. Galur-galur tersebut mengandung abu dengan kisaran 1,5-2,6%, dan gluten 25,2-41,3%, juga relatif sama dengan ketiga varietas nasional. Tepung terigu diperoleh dengan cara memisahkan dedak dan gem melalui proses penggilingan. Penghilangan dedak diperlukan karena pinggirannya yang tajam cenderung merusak susunan sel adonan, sehingga mempengaruhi volume roti, sedangkan gem dengan kadar lemak yang tinggi akan mempengaruhi kualitas daya tahan tepung (Pomeranz 1971).

Selama proses penggilingan (separation), butiran endosperm digolongkan sesuai dengan ukurannya. Tahap selanjutnya adalah penghancuran (breaking), pengecilan (reduction), dan pemutihan (bleaching). Pengadukan (blending)

(5)

dilakukan untuk menjaga kualitas tepung. Untuk memperoleh mutu tepung tertentu dapat dilakukan dengan mencampur kelompok gandum atau tepung lainnya (Shellenberger 1971).

Kualitas tepung terigu bergantung pada proses ekstraksi (pemisahan sari) dan pemisahan butiran endosperm. Komposisi kimia tepung terigu adalah: pati 70%, kadar air 14%, potein 11,5%, abu (mineral) 0,4%, gula 1%, lemak 1%, dan lain-lain 2,1% (Pomeranz 1971).

Varietas Selayar, Dewata, dan Nias telah dianalisis komposisi nutrisi, bobot gluten, dan sifat fisikokimianya. Sifat fisikokimia dan gluten ketiga varietas gandum ini relatif sama dengan gandum impor. Demikian juga komposisi nutrisinya, termasuk protein dan abu. Hasil analisis sifat fisik, nutrisi, dan fisikokimia biji ketiga varietas disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Kadar protein, kadar abu, dan gluten beberapa galur/varietas gandum.

Galur/varietas Protein Abu Gluten

(%) (%) (%) Debeira 12,8 1,6 26,4 BAW 898 16,8 1,7 36,1 Kanchan 15,5 1,8 33,7 HP 1731 14,1 1,6 28,3 HP 1744 15,8 1,8 36,4 VEEe/PJN//2*TUI 14,4 1,5 32,0 PFAU/Weaver 15,8 1,6 41,3 Cazo/Kauz//Kauz 14,2 1,6 34,8 WL 6718//2*PRL/VEE #6 14,3 1,5 29,6 W462/VEE/KOEL/3/PEG/MRL/BUC 13,7 1,5 27,8 Oasis/Skauz//4*BCN 14,8 1,6 31,2 Kauz/Weaver 14,8 1,7 28,9 Kauz*2/Bow/Kauz 15,4 1,5 32,0 TAM 2001 TUI 14,0 1,7 29,2 W462/VEE/KOEL/3/PEG/MRL/BUC 12,4 1,7 25,2 LAJ3302/2*MO88 15,3 2,0 28,3 Pastor/2*SITTA 16,0 2,6 32,4 Picus/4/CS5a/ 11,3 2,1 25,6 Oasis/Kauz//4*BCN 12,7 1,7 26,2 Opata/Rayon//Kauz 13,2 1,7 26,7 Oasis/Star/3*Star 14,1 1,7 30,8 Kauz*2//SAP/MON/B/Kauz 13,4 1,7 28,5 Rayon F 89 14,3 2,0 31,9 Kauz*2/BOW//Kauz 13,4 1,9 29,1 Selayar (VUN)* 13,6 1,58 31,4 Nias (VUN)* 12,9 1,36 31,1 Dewata (VUN)* 14,0 1,54 31,0

(6)

Jagung

Mutu protein jagung kurang optimal karena kandungan asam amino triptofannya rendah (Tabel 5). Beberapa varietas jagung telah ditingkatkan kandungan lisinnya, tetapi tidak seimbang dengan peningkatan mutu proteinnya. Penambahan lisin dan triptofan secara simultan dalam penelitian protein menggunakan hewan percobaan nyata meningkatkan mutu protein.

Penambahan treonin dapat mengoreksi ketidakseimbangan asam amino akibat kekurangan metionin. Peran yang sama juga ditunjukkan oleh penambahan isoleusin. Penambahan valin dapat berakibat penurunan mutu protein. Hal ini dapat dikoreksi dengan penambahan isoleusin maupun treonin. Pada kasus tertentu, isoleusin lebih efektif dibanding treonin dan memberikan hasil yang lebih konsisten. Informasi ini menunjukkan bahwa jagung tidak kekurangan isoleusin maupun treonin. Namun, beberapa sampel jagung yang mengandung leusin, metionin, dan valin yang cukup tinggi memerlukan penambahan isoleusin dan treonin, di samping lisin dan triptofan untuk meningkatkan mutu protein. Penambahan 0,3% L-lisin dan 0,1% L-triptofan dapat meningkatkan mutu protein jagung.

Kandungan nutrisi biji jagung mengalami penurunan setelah diolah menjadi bahan setengah jadi (sosoh, beras, jagung) seperti disajikan pada Tabel 6.

Tabel 4. Komposisi kimia, gluten, sifat fisikokimia beberapa varietas unggul nasional gandum dan terigu.

Varietas Selayar Varietas Dewata Varietas Nias Parameter

Gandum Terigu Gandum Terigu Gandum Terigu

Moisture (%) 11,83 13,5 11,3 11,8 11,7 12,5

Protein (% db, n x 5,7) 13,6 13,1 14,0 13,7 12,9 13,4

Ash (% db) 1,56 0,57 1,54 0,67 1,36 0,66

Wet gluten (%) 31,4 32,2 31,0 35,0 31,1 34,1 Falling number (sec.) 302 315 125 212 240 273

Test weight (kg/hl) 82,6 - 82,3 - 80,8

-1.000 kernel weight (g) 48,8 - 46,87 - 44,8

-Flour yield (%) - 80,3 - 80,9 - 79,2

Color grade value - 3,3 - 1,8 - 3,2

Maltose (%) - 3,3 - 4,1 - 3,2

Water absorption (%) - 68,3 - 73,9 - 72,4

Development time (min) - 3,9 - 3,5 - 3,0

Stability (min) - 3,6 - 3,5 - 2,7

Tolerance (BU) - 65 - 80 - 100

Extensibility (mm) - 180 - 160 - 180

Resistance to extension (BU) - 115 - 110 - 75

(7)

Pada proses pembuatan beras jagung terdapat hasil samping berupa bekatul yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan serat kasar yang berguna bagi tubuh sebagai dietary fiber. Bekatul dapat digunakan antara lain dalam pembuatan kue kering berserat tinggi (Suarni 2005b).

Tabel 5. Mutu protein jagung dan serealia lain.

Komoditas serealia Mutu protein (% kasein)

Jagung biasa 32,1 Jagung Opaque-2 96,8 Jagung QPM 82,1 Beras 79,3 Gandum 38,7 Oats 59,0 Sorgum 32,5 Barley 58,0 Juwawut 35,7 Rey 64,8

Sumber: FAO corporate doc. Repository.

Tabel 6. Kandungan nutrisi biji dan tepung jagung.

Varietas Air Abu Lemak Protein Serat

Karbo-(%) (% bb) (% bb) (% bb) kasar hidrat (% bb) (% bb)

Anomam-1

Biji 10,72 1,89 5,56 9,91 2,05 71,98

Beras jagung 10,55 1,72 3,12 8,24 1,88 76,31 Tepung metode basah 10,15 0,98 1,99 6,70 1,05 79,98 Tepung metode kering 9,45 1,05 2,05 7,89 1,31 79,51

Srikandi Putih-1

Biji 10,08 1,81 5,05 9,99 2,99 73,07

Beras jagung 10,08 1,64 4,25 8,22 2,05 75,89 Tepung metode basah 10,05 0,94 2,08 7,24 1,05 79,70 Tepung metode kering 9,24 1,08 2,38 7,89 1,29 79,45

Lokal Pulut

Biji 11,12 1,99 4,97 9,11 3,02 72,81

Beras jagung 10,45 1,89 3,25 7,22 1,88 77,23 Tepung metode basah 11,0 0,98 1,78 6,80 1,15 79,46 Tepung metode kering 9,86 1,15 2,25 7,45 1,62 79,28

Lokal nonpulut

Biji 10,09 2,01 4,92 8,78 3,12 74,20

Beras jagung 10,45 1,78 3,87 7,99 2,19 75,99 Tepung metode basah 10,82 0,79 1,86 6,97 1,06 79,56 Tepung metode kering 9,59 1,08 2,17 7,54 1,89 79,75 Sumber: Suarni et al. (2005).

(8)

Tepung jagung komposit dapat digunakan sebagai bahan berbagai produk pangan, antara lain kue basah, kue kering, mie kering, dan roti. Tepung jagung komposit dapat mensubstitusi terigu hingga 30-40% pada kue basah, 60-70% pada kue kering, dan 10-15% pada roti, dan mie (Antarlina 1993, Munarso dan Mudjisihono 1993, Azman, 2000, Suarni 2005a).

Sorgum

Rendemen sosoh sorgum varietas Span 81,1% lebih tinggi dibanding varietas Kawali (72,5%) dan Numbu (71,2%). Hal ini disebabkan karena biji varietas Span lebih keras, sehingga biji mudah tersosoh dan tidak banyak yang hancur. Proses penyosohan dipengaruhi oleh jumlah bahan yang masuk pada saat proses. Apabila bahan terlalu padat akan terjadi kemacetan. Sebaliknya, sedikit penyosohan tidak berjalan dan hasilnya kurang memadai. Kadar air bahan mempengaruhi proses penyosohan, oleh karena itu dianjurkan kadar air bahan kurang dari 14%. Hasil penelitian Suardi et al. (2002) menunjukkan, kadar air bahan yang akan disosoh berpengaruh terhadap prosesing penyosohan, baik jagung maupun sorgum.

Pada kadar air 14% penyosohan mengalami kesulitan dalam hal pelepasan aleuron dan lembaga. Hasil sosohan lebih banyak bersatu dengan dedak kasar dan dedak halus, sehingga rendemen sorgum sosoh relatif rendah.

Tabel 7. Kandungan nutrisi, tanin biji, beras dan tepung sorgum.

Varietas Air Abu Lemak Protein Serat kasar Karbohidrat Tanin (%) (% bb) (% bb) (% bb) (% bb) (% bb) (% bb) Kawali Biji 12,14 1,42 1,45 8,07 1,59 76,90 1,08 Sosoh 11,22 1,24 1,15 7,95 1,22 78,44 0,65 Tepung Metode basah 11,08 1,02 1,04 6,05 1,05 79,80 -Metode kering 11,02 1,04 1,02 6,84 1,07 79,08 0,35 Numbu Biji 12,62 1,88 1,95 8,12 2,04 75,40 0,95 Sosoh 12,08 1,42 1,82 7,85 1,76 76,82 0,52 Tepung Metode basah 11,02 1,12 1,25 6,22 1,24 79,39 -Metode kering 10,99 1,22 1,32 6,55 1,28 78,92 0,29 Span Biji 11,99 1,85 1,89 7,95 1,98 76,30 1,02 Sosoh 11,14 1,57 1,72 7,21 1,70 78,32 0,67 Tepung Metode basah 11,08 1,22 1,24 6,68 1,32 79,78 -Metode kering 10,99 1,18 1,35 7,02 1,42 79,46 0,32 Sumber: Suarni dan Firmansyah 2005

(9)

Oleh karena itu, sebelum penyosohan bahan perlu dikeringkan hingga kadar airnya turun di bawah 14%.

Penepungan dapat dilakukan dengan dua metode ,yaitu metode kering dan metode basah. Proses tersebut berpengaruh terhadap kandungan nutrisi biji sorgum. Kandungan tanin turun pada olahan beras sorgum di atas 60%. Pada tepung, terutama dengan metode kering, menunjukkan kadar tanin rendah, sedangkan pada metode basah tidak terukur. Senyawa tanin (polifenol) merupakan antinutrisi dalam bahan pangan sorgum, yang dapat menghambat nutrisi seperti protein dalam proses enzimatik dalam penyerapan tubuh (Winarno 2002).

Perendaman beras sorgum (metode basah) menyebabkan granula pati, lemak, dan protein mengalami perubahan struktur, sehingga biji menjadi lunak, mudah ditepungkan, dan rendemen tepung lebih tinggi dengan tekstur lebih halus.

Pada prosesing biji sorgum menjadi sorgum sosoh, selanjutnya menjadi tepung, terjadi penurunan kadar nutrisi, terutama protein. Kadar protein biji sorgum ketiga varietas berkisar antara 7,95-8,07% turun menjadi 6,05-6,68 dalam bentuk tepung metode basah dan 6,55-7,02 dalam bentuk tepung metode kering. Perbedaan ini disebabkankarena pada metode basah, man protein yang larut dalam air terbuang sebelum beras sorgum ditepungkan.

Sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, kadar protein sorgum varietas UPCAS1 dan Isiap Dorado turun drastis dalam prosesing biji kering hingga menjadi tepung (Mudjisihono 1994, Suarni dan Patong 2002). Hal ini disebabkan karena kandungan protein biji sorgum tertinggi terdapat pada bagian lapisan aleuron yang terkikis waktu penyosohan.

Nilai tambah yang diperoleh dari prosesing tersebut adalah turunnya kadar tanin, bahkan pada bahan tepung dengan metode basah tidak terukur lagi. Senyawa tanin yang tidak diinginkan tersisa dalam bahan, karena selain menurunkan mutu warna produk olahan, prosesing juga menurunkan nilai gizi makanan (Winarno 2002).

Kadar lemak sorgum sosoh dari ketiga varietas berkisar antara 1,15-1,82%, turun menjadi 1,02-1,35% dalam bentuk tepung. Rendahnya kadar lemak pada bahan tepung menguntungkan dalam hal penyimpanan. Senyawa lemak pada bahan dapat mempercepat terjadinya rasa tengik akibat oksidasi lemak dan kadar air meningkat, sehingga kondisi bahan menjadi rusak, baik fisik maupun kadar nutrisinya.

Tepung sorgum dapat mensubstitusi terigu hingga 80% untuk produk kue kering (cookies), 40-50% untuk kue basah (cake), 30-35% untuk mie, dan 15-20% untuk roti (Suarni 2004).

(10)

Kesimpulan

Tepung jagung dan sorgum dapat dikembangkan sebagai bahan substitusi terigu. Kemampuan substitusi tepung sorgum dan jagung terhadap terigu sesuai produk olahan yang diinginkan.

Kelebihan dan kekurangan jagung dan sorgum menjadi dasar per-timbangan dalam pengembangan bahan substitusi industri pangan berbasis terigu. Tepung jagung komposit dapat digunakan sebagai bahan dasar berbagai produk pangan, antara lain kue basah, kue kering, mie kering, dan roti. Tepung jagung komposit dapat mensubstitusi terigu hingga 30-40% untuk kue basah, 60-70% untuk kue kering, dan 10-15% untuk roti dan mie. Sementara tepung sorgum dapat mensubstitusi terigu hingga 80% untuk produk kue kering (cookies), 40-50% kue basah (cake), 30-35% untuk mie, dan 15-20% untuk roti dan sejenisnya

Pustaka

Ahza, A.B. 1998. Aspek pengetahuan material dan diversifikasi produk sorgum sebagai substitutor terigu/pangan alternatif. Lokakarya Sehari Prospek Sorgum sebagai Bahan Substitusi Terigu. ISM Bogasari Flour Mills. Jakarta.

Antarlina, S.S. dan J.S. Utomo. 1993. Kue kering dari bahan tepung campuran jagung, gude, dan kedelai. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Panga, 1992. Balittan Malang.

Alwin, A. 2008. Tepung terigu: stok sman, harga melambung. www.sriboga-flourmill.com.

Aswar, R., T. Danakusuma, dan A.A. Daradjat. 1988. Prospek pengembangan terigu di Indonesia. Dalam: M. Syam, M. Ismunadji, dan A. Wijono (eds.). Risalah Simposium Tanaman Pangan II. Puslitbangtan, Bogor. Buku I:225-239.

Aspiyanto dan A. Susilowati. 2005. Pengaruh rasio pati dan air serta konsentrasi Na3PO4 dalam pembuatan pati jagung (Zea mays L.) termodifikasi secara cross-lingking dan aplikasinya pada selai tempe. Prosiding Seminar Nasional BB Pascapanen. Bogor.

Azman, K.I. 2000. Kue kering dari tepung komposit terigu-jagung dan ubikayu. Sigma III (2).

(11)

Bahar, H., Sumartono, dan Nasrullah. 1988. Sidik lintas beberapa karakter tanaman terigu (Triticum aestivum L.). Berkala Penelitian Pasca-Sarjana UGM 2:145-153.

Basri, I.H., H. Bahar, dan Z. Hamzah. 1985. Penelitian terigu di Balittan Sukarmi. Dalam: Subandi et al. (eds.). Risalah rapat Teknis Hasil Penelitian Jagung, Sorgum dan Terigu. Puslitbangtan. Bogor. p. 209-214.

Betty, Y.A. dan M. Dahlan. 1989. Penampilan galur-galur terigu pada beberapa waktu tanam. Dalam: Adisarwanto et al. (eds.). Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Balittan Malang. p.137-140.

Budijono, Al., Yuniarti, Suhardi, Suharjo, dan W. Istuty. 2008. Kajian pengem bangan agroindustri aneka tepung di pedesaan. www.relawandesa.files. wordpress.com.

Dahlan, M., S. Slamet, P. Supangat, dan Y.A Betty. 1985. Adaptasi varietas terigu di Jawa. Puslibangtan. Bogor. p. 215-219.

Dahlan, M., M. Hamdani, S. Singgih, dan Subandi. 2003. Penampilan galur gandum Hahn/2#Weaver dan DWR 162. Makalah disajikan pada Pertemuan Gandum pada 27- 29 Mei 2003. Surabaya. 12 p.

Dahlan, M., Rudijanto, J. Mardianto, dan M. Jusuf. 2003. Usulan pelepasan varietas gandum Hahn/2#Weaver dan DWR 162. Balitsereal, Maros. 21 p.

Desrosier, N.W. 1977. Elemen of food technology. AVI Publishing Company, Inc Westport Connecticut.

Desta, K and Mishra. 1990. Development and performance evaluation of sorghum thresher. Agricultural mechanization in Asia, Africa, and Latin America 21(3): 33-37.

Didin. 2008. Terigu bergizi kaya nutrisi. www//myeflour .blogspot.com/2008/ 06.

Fennema, O. R. 1996. Principles of food science. Part I. food chemistry. Marcell Dekker, Inc. New York.

Hamdani, M., Sriwidodo, Ismail, dan M. Dahlan. 2002. Evaluasi galur terigu introduksi dari CIMMYT. Prosiding Kongres IV dan Simposium Nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia. Univesitas Gajahmada. Yogyakarta.

Lubis, S., R. Tahir, dan J. Setiawati. 1993. Prospek pengembangan alat penyosoh sorgum di daerah Demak. Seminar dan Kongres VI Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia. Bogor, 13-15 Desember 1993. Kerja sama Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia dengan JICA-ADAET/IPB JTA-9a (132). p.76-89.

(12)

Mudjisihono, R. 1994. Studi pembuatan roti campuran tepung jagung dan sorgum. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 4(1):16-22.

Munarso, J. dan R. Mudjisihono, 1993. Teknologi pengolahan jagung untuk menunjang agroindustri pedesaan, Makalah Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Munarso, J., D. Muchtadi, D. Fardiaz, dan R. Syarief. 2004. Perubahan sifat fisikokimia dan fungsional tepung beras akibat proses modifikasi ikat-silang. Jurnal Penelitian Pascapanen Litbang Pertanian 1(1):22-28. Pomeranz, Y. 1991. Functional properties of food components, 2nd edition

Academic Press Inc.

Sasongko, A.L. dan L. Puspitasari. 2008. Tepung lokal layak gantikan terigu. www.suaramerdeka.com.

Singh, S.S. and B.B. Singh. 2001. IARI wheats for evergreen revolution. Indian Agricultural Research Institute.

Shellenberger, J.A. 1971, Production and utilizatin of wheat. In: Y. Pomeranz (Eds.). Wheat chemistry and technology. The AACC. Ind., St. Paul. Suardi, Suarni, dan A. Prabowo. 2002. Teknologi sederhana prosesing sorgum

sebagai bahan pangan. Prosiding Seminar Nasional BPTP Sulawesi Selatan. p.112-116.

Suarni dan M. Zakir. 2000. Sifat fisikokimia tepung sorgum sebagai substitusi terigu. Jurnal Penelitian Pertanian 20(2):58-62.

Suarni dan R. Patong. 2002. Tepung sorgum sebagai bahan substitusi terigu. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 21(1):43-47.

Suarni. 2004. Pemanfaatan tepung sorgum untuk produk olahan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 23(4):145-151.

Suarni. 2005a. Pengembangan produk kue kering berbasis tepung jagung dalam rangka menunjang agroindustri. Prosiding Seminar Nasional Perteta, Fak. Tek. Pertanian Unpad, TTG LIPI. Bandung. p. 88-93. Suarni. 2005b. Teknologi pembuatan kue kering (cookies) berserat tinggi

dengan penambahan bekatul jagung. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Bogor. p. 521-526.

Suarni. 2005c. Karakteristik fisikokimia dan amilograf tepung jagung sebagai bahan pangan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Makassar, 29-30 September 2005. Puslitbang Tanaman Pangan. p.440-444.

(13)

Suarni dan I.U. Firmansyah. 2005. Beras jagung: prosesing dan kandungan nutrisi sebagai bahan pangan pokok. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Makassar, 29-30 September 2005.

US Wheat Assosiates. 1981. Pedoman pembuatan roti dan kue (terjemahan). Djambatan. Jakarta. p. 1-10.

Gambar

Tabel 2. Perbandingan kandungan gizi beberapa bahan pangan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh konsentrasi kepemilikan saham, ukuran dewan komisaris, ukuran perusahaan, manajemen laba, kepemilikan saham investor

Instrumen yang digunakan untuk mengukur kevalidan LKPD yang dikembangkan ini adalah angket penilaian oleh ahli materi, ahli media, dan bahasa, untuk mengukur

Hasil yang dimunculkan dalam penelitian diharapkan secara teoritis dapat menjadi konsep yang digunakan dalam model manajemen Badan Usaha Milik Desa sebagai modal sosial

Pada penelitian[9], diterangkan bahwa ketika kecepatan angin yang berbeda-beda maka akan terdapat titik optimal yang berbeda pula dimana daya listrik

Ingo (隠語) yang dibentuk dari kata yang tidak mengalami perubahan dalam hal bunyi dan arti, tidak berarti menggunakan kata yang benar-benar sama dengan kata yang biasa

Memiliki badan berwarna cokelat gelap, panjang pangkal sirip lemak sama panjang pangkal sirip dubur yaitu dengan kisaran 2,8-3,3 cm, sungut hidung mencapai

Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian dan pengembangan menggunakan model 4-D Thiagarajan, Semel and Semel yang telah dimodifikasi menjadi tahap pendefinisian,

Penelitian ini berjudul Upaya Meningkatkan Kemampuan Motorik Kasar Melalui Media Tali Karet Pada Anak Usia 4-5 Tahun Paud Cahaya Kecamatan Kejobong