• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kerja telinga, akan sangat membantu memahami masalah gangguan pendengaran.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. kerja telinga, akan sangat membantu memahami masalah gangguan pendengaran."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teoritis

2.1.1. Derajat Gangguan Pendengaran 2.1.1.1. Anatomi Telinga

Ridley (2008 : 192) menjelaskan bahwa telinga adalah organ halus yang mampu mendeteksi tentang bunyi yang luas. Dengan memahami anatomi dan cara kerja telinga, akan sangat membantu memahami masalah gangguan pendengaran.

Telinga terdiri dari tiga bagian yatu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.

1. Telinga Luar

Kumar dan Clark (Supramaniam, 2011) menjelaskan Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan dipisahkan dari telinga tengah oleh membran timpani. Aurikula berfungsi untuk membantu pengumpulan gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan dihantarkan ke telinga bagian tengah melalui kanalis auditorius eksternus. Kanalis auditorius eksternus berakhir pada membran timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula

seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen.

(2)

2. Telinga Tengah

Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada

membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap oval yang berhubungan dengan koklea. Hubungan

antara tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah (Hall dan Colman dalam Supramaniam, 2011).

3. Telinga dalam

Pearce (2005 : 327) menjelaskan Rongga telinga dalam terdiri dari berbagai rongga yang menyerupai saluran-saluran dalam tulang temporalis. Rongga-rongga itu disebut labirin tulang, dan dilapisi membran sehingga membentuk labirin

membrosa. Ada 5 bagian utama dari labirin membran yaitu, tiga saluran setengah

lingkaran, ampula, utrikulus, sakulus yang merupakan organ keseimbangan dan

koklea atau rumah siput.

Koklea mengandung organ Korti untuk pendengaran. Bagian ini sangat peka

terhadap rangsang bunyi. Koklea terdiri dari tiga saluran yang sejajar yaitu saluran vestibulum yang berhubungan dengan jendela oval, saluran tengah dan saluran timpani yang berhubungan dengan jendela bundar, dan saluran (kanal) yang dipisahkan satu dengan lainnya oleh membran basiler. Sel sensori untuk mendengar tersebar di permukaan membran basiler dan ujungnya berhadapan dengan membran tektorial. Dasar sel pendengar terletak pada membran basiler

(3)

dan berhubungan dengan serabut saraf yang bergabung membentuk saraf pendengar.

Gambar 1. Anatomi telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam

2.1.1.2. Fisiologi Pendengaran

Ridley (2008 : 193) menjelaskan bahwa cara kerja pendengaran sebagai berikut :

1. Pulsa-pulsa tekanan bunyi memasuki telinga terluar dan menyebabkan gendang telinga bergetar.

2. Getaran ini dipindahkan melalui telinga bagian tengah oleh satu kumpulan yang terdiri atas tiga tulang kecil,yang dikenal sebagai ossicles, ke jendela oval di telinga terdalam.

3. Jendela oval memindahkan getaran tersebut ke cairan di dalam telinga terdalam.

(4)

4. Cairan tersebut membawa getaran tadi ke sel-sel rambut cochlea yang peka. 5. Sel-sel rambut cochlea ini menerjemahkan getaran tersebut menjadi

sinyal-sinyal listrik yang diteruskan ke otak yang kemudian ditafsirkan sebagai bunyi-bunyian.

2.1.1.3. Gangguan Pendengaran

2.1.1.3.1. Definisi Gangguan Pendengaran

Menurut Khabori dan Khandekar (Supramaniam, 2011), gangguan pendengaran menggambarkan kehilangan pendengaran di salah satu atau kedua telinga. Gangguan pendengaran juga di definisikan ketidakmampuan secara parsial atau total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Tingkat penurunan gangguan pendengaran berdasarkan tingkat beratnya gangguan terbagi menjadi gangguan ringan, sedang, sedang berat, berat, dan sangat berat.

Derajat gangguan pendengaran umunya dipengaruhi oleh faktor kebisingan dan karakteristik Host (pejamu) berupa umur, kepekaan. Menurut WHO-SEARO

(South East Asia Regional Office) Intercountry Meeting faktor penyebab

gangguan pendengaran adalah otitis media suppuratif kronik (OMSK), tuli sejak lahir, pemakaian obat ototoksik, pemaparan bising, dan serumen prop (Supramaniam, 2011).

Menurut Komnas PGPKT (2007) Gangguan Pendengaran akibat bising/GPAB (Noise Induced Hearing Loss/NIHL) adalah gangguan pendengaran akibat pajanan bising dalam waktu yang cukup lama, yang awalnya tidak disadari.

Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss /NIHL) adalah tuli akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang

(5)

cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja (Rambe, 2003 :1).

2.1.1.3.2. Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran

Tabel 2.1. Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut International Standard Organization (ISO) dan

American Standard Association (ASA) Derajat Gangguan

Pendengaran ISO ASA

Pendengaran Normal 10-25 dB 10-15 dB

Ringan 26-40 dB 16-29 dB

Sedang 41-55 dB 30-44 dB

Sedang Berat 56-70 dB 45-59 dB

Berat 71-90 dB 60-79 dB

Sangat Berat Lebih 90 dB Lebih 80 dB

Sumber : Supramaniam, 2011

2.1.1.3.3. Jenis-Jenis Gangguan Pendengaran

Ada tiga jenis gangguan pendengaran, yaitu konduktif, sensorineural, dan campuran.

1. Gangguan Pendengaran Jenis Konduktif

Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Gejala yang ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga sebelumnya, dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung). Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai (Supramaniam, 2011).

(6)

2. Gangguan Pendengaran Jenis Sensorineural

Gangguan pendengaran jenis ini umumnya irreversibel. Gejala yang ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah bila gangguan sudah diderita lama, suara percakapan penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti suasana yang tegang dibanding orang normal. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan dalam suasana gaduh dibanding suasana sunyi. Selain itu terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian obat-obat ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya (Supramaniam : 2011).

3. Gangguan Pendengaran Jenis Campuran

Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Gejala yang terjadi pada gejala ini merupakan gabungan Kedua gangguan tersebut yang dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam (Miyoso, Mewengkang dan Aritomoyo dalam Supramaniam, 2011)

2.1.1.2.4. Pemeriksaan Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran yang terjadi akibat bising ini umumnya berupa tuli saraf koklea dan biasanya mengenai kedua telinga. Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri. Tes audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan pendengaran atau seseorang yang bekerja pada suatu bidang yang memerlukan ketajaman pendengaran dan bekerja di lingkungan bising (Arifiani. 2004)

(7)

Audiometri dapat mengukur penurunan fungsi pendengaran secara tepat, yaitu dengan menggunakan suatu alat elektronik (audiometer) yang menghasilkan suara dengan ketinggian dan volume tertentu. Ambang pendengaran untuk serangkaian nada ditentukan dengan mengurangi volume dari setiap nada sehingga penderita tidak lagi dapat mendengarnya. Telinga kiri dan telinga kanan diperiksa secara terpisah (Andi, 2012)

Hal ini dikarenakan fungsi dan kemampuan mendengar masing-masing telinga berbeda. Dr. Luca Tommasi dan Daniele Marzoli dari University Gabriele

d'Annunzio di Chieti Italia, menunjukkan bahwa ada ketidaksimetrisan antar dua

belahan otak kanan dan kiri, dan ini mengakibatkan lebih dominannya telinga kanan untuk mendengar getaran lisan, yang diyakini disebabkan oleh kelebihan belahan otak kiri untuk memproses informasi lisan.

Alat ini menghasilkan nada-nada murni dengan frekuensi melalui aerphon. Pada setiap frekuensi ditentukan intensitas ambang dan diplotkan pada sebuah grafik sebagai presentasi dari pendengaran normal. Hal ini menghasilkan pengukuran obyektif derajat ketulian dan gambaran mengenai rentang nada yang paling terpengaruh.

2.1.1.2.5. Perlindungan Fungsi Pendengaran. Terdapat 2 macam pelindung telinga, yakni:

1. Bentuk sumbat (plug), yang dimasukkan ke dalam liang telinga secara tepat sesuai ukuran masing-masing.

2. Bentuk bantalan (muff), yang dipegang dengan tali kepala dan melingkari telinga, dimana berguna menutupi telinga luar.

(8)

Penting juga diketahui bahwa tekanan suara (sound energy) berhubungan dengan tingkatan bising yang tinggi (high noise level) yang dapat mencapai telinga dalam melalui pergetaran tulang serta struktur-struktur disekitarnya. Sehingga konduksi melalui tulang dan jaringan disekitarnya dapat dibatasi dengan pemakaian alat pelindung pendengaran. Suatu pelindung pendengaran yang ideal (infinite protector) seharusnya dapat menurunkan efek bising sebesar 20 -30 dB. (Bashiruddin J dalam Markian, 2011)

2.1.2. Kebisingan

2.1.2.1. Pengertian Bising

Bising (noise) adalah bunyi yang ditimbulkan oleh gelombang suara dengan intensitas dan frekuensi yang tidak menentu. Di sektor industri, bising berarti bunyi yang sangat mengganggu dan menjengkelkan serta sangat membuang energy (Harrianto, 2010 : 130).

Menurut Permenkes RI NO : 718 / MENKES / PER / XI / 1987 tentang kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan, BAB I pasal I (a), kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki, sehingga menganggu dan atau membahayakan kesehatan (Mukono, 2008:149).

Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 tahun 1996, definisi bising adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat atau waktu tertentu yang dapat mengganggu kenyamanan lingkungan (Mulia, 2005 : 111).

(9)

Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Kepmenaker No 51. tahun 1999).

Dari beberapa definisi diatas dapat diambil kesimpulan kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari kegiatan auatu alat-alat produksi yang mengganggu atau membahayakan kesehatan, khususnya menimbulkan gangguan pendengaran.

2.1.2.2. Jenis-Jenis Bising

Menurut Mulia (2005: 112) Jenis-jenis bising yang sering ditemukan memiliki karakteristeik berbeda, Jenis-jenis kebisingan dapat dibedakan menjadi empat bagian, yaitu :

1. Kebisingan yang kontinu ; terdiri dari kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise) Misalnya mesin-mesin industry dan kompresor. Serta kebisingan kontinu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state, narrow band noise) Misalnya gergaji sirkulasi, katup gas. 2. Kebisingan terputus-putus (intermittent) Misalnya lalu lintas, suara kapal

terbang dilapangan udara.

3. Kebisingan implusif (impact or impulsive noise) Misalnya tembakan bedil atau meriam , ledakan.

(10)

2.1.2.3. Baku Tingkat Kebisingan.

Dalam menentukan efek kebisingan terhadap kesehatan maka dibedakan beberapa kawasan/lingkungan kegiatan di mana kebisingan akan memberikan efek kesehatan pada manusia sesuai dengan lokasi kebisingan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dalam (SK Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor KEP.48/MENLH/11/1996) menyebutkan nilai baku tingkat kebisingan untuk kawasan/lingkungan kegiatan yaitu :

Tabel.2.2 : Nilai baku tingkat kebisingan untuk kawasan/lingkungan kegiatan.

Peruntukan Kawasan/Lingkungan Kegiatan Tingkat Kebisingan (dB)

A. Peruntukan Kawasan :

1. Perumahan/Pemukiman 55

2. Perdagangan/Jasa 70

3. Perkantoran 65

4. Taman (Ruang Terbuka Hijau) 50

5. Industri 70 6. Kantor Pemerintahan 60 7. Tempat Rekreasi 70 8. Khusus : a. Bandar Udara 70 b. Pelabuhan Laut 70

c. Stasiun Kereta Api 70

d. Cagar Budaya 60

B. Lingkungan Kegiatan

1. Rumah Sakit & Sejenisnya 55

2. Sekolah & Sejenisnya 55

3. Tempat Ibadah & Sejenisnya 55

2.1.2.4. Pengukuran Kebisingan.

Intensitas kebisingan dinyatakan dalam dBA atau dB(A). Desibel dB(A) adalah satuan yang dipakai untuk menyatakan besarnya pressure yang terjadi oleh karena adanya benda yang bergetar. Makin besar desibel umumnya semakin besar

(11)

suaranya. Sedangkan frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran/detik (Hertz/Hz) dan telinga manusia mampu mendengar frekuensi antara 20 - 20.000 Hz.

Alat utama yang digunakan dalam pengukuran kebisingan adalah ”Sound

Level Meter” Alat ini mengukur kebisingan diantara 30-130 dB(A) dan dari

frekuensi antara 20-20.000 Hz. Sound Level Meter digunakan selama 10 menit dengan pengukuran dan pembacaan dilakukan setiap 5 detik. Cara lain mengukur kebisingan dengan menggunakan alat lebih canggih yaitu Integrating Sound Level

Meter. Pengukuran dilakukan selama 24 jam dengan selang waktu 16 jam pada

siang hari (pukul 06.00-22.00) dan aktifitas malam hari selama 8 jam pada selang pukul 22.00-06.00 (Mukono, 2008:150).

2.1.2.5. Efek Kebisingan Terhadap Kesehatan

Siswanto (dalam Angraeni, 2006 : 12-16) menjelaskan Efek kebisingan terhadap kesehatan terbagi menjadi 2 yaitu efek terhadap pendengaran dan efek terhadap non pendengaran. Masing-masing efek tersebut adalah :

1. Efek terhadap pendengaran, terdiri dari : a. Trauma Akustik

Merupakan gangguan pendengaran yang disebabkan pemaparan tunggal (Single exprosure) terhadap intensitas yang tinggi dan terjadi secara tiba-tiba, sebagai contoh gangguan pendengaran atau ketulian yang disebabkan suara ledakan bom. Hal ini dapat menyebabkan robeknya membran tympani dan kerusakan tulang-tulang pendengaran.

(12)

b. Pergeseran nilai ambang batas sementara (Temporary Threshold Shift) Adalah efek jangka pendek dari pemaparan bising, berupa kenaikan ambang sementara yang kemudian setelah berakhirnya pemaparan terhadap bising akan kembali normal. Faktor yang mempengaruhi terjadinya TTS adalah intensitas dan frekuensi bising, lama waktu pemaparan dan lama waktu istirahat dari pemaparan, tipe bising dan kepekaan individual.

c. Pergeseran nilai ambang batas menetap (Permanent Threshold Shift)

Adalah kenaikan ambang pendengaran yang bersifat irreversibel, sehingga tidak mungkin terjadi pemulihan. Ini dapat disebabkan oleh efek komulatif pemaparan terhadap bising yag berulang selama bertahun-tahun (bersifat patologis dan menetap). Umumnya terjadi ditempat kerja karena trauma akustik dan kebisingan, serta juga biasa terjadi bukan dilingkungan kerja. 2. Efek Terhadap Non-Pendengaran, gangguannya berupa :

a. Gangguan Fisiologis.

Kebisingan dapat juga mengganggu “Cardiac Out Put” dan tekanan darah. Pada berbagai penyelidikan ditemukan bahwa pemaparan bunyi terutama yang mendadak menimbulkan reaksi fisiologis seperti denyut nadi, tekanan darah, metabolisme, gangguan tidur dan penyempitan pembuluh darah. b. Gangguan pola tidur

Kebisingan dapat menganggu tidur dalam hal kelelapan, kontinuitas, dan lama tidur. Terjadinya pergeseran kelelapan tidur dapat menimbulkan kelelahan.

(13)

c. Gangguaan psikologis

Gangguan fisiologis lama kelamaan bisa menimbulkan gangguan psikologis. Kebisingan dapat mempengaruhi stabilitas mental dan reaksi psikologis, seperti rasa khawatir, jengkel, takut dan sebagainya. Suara yang tidak dikehendaki memang tidak menimbulkan mental illness akan tetapi dapat memperberat problem mental dan perilaku yang sudah ada.

d. Gangguan Komunikasi

Kebisingan dapat mengganggu pembicaraan. Paling penting disini bahwa kebisingan mengganggu kita dalam menangkap dan mengerti apa yang di bicarakan oleh orang lain, apakah itu berupa percakapan langsung (face to

face), percakapan telepon atau melalui alat komunikasi lain, misalnya radio,

televisi dan pidato.

2.1.2.6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Pendengaran Akibat Bising

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan pendengaran antara lain adalah intensitas kebisingan, frekuensi kebisingan dan lamanya orang tersebut berada ditempat atau di dekat sumber bunyi baik dari hari ke hari atau seumur hidup (Azwar, 1990).

1. Intensitas bising

Intensitas kebisingan adalah tingkat kebisingan yang terukur di lingkungan pada waktu tertentu. Intensitas kebisingan diukur dengan membandingkan hasil pengukuran pada suatu saat dengan standar yang telah ditetapkan. Menurut SK Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan RI

(14)

Nomor 70-1/PD.03.04.Lp (Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan Tahun 1992), tingkat kebisingan diuraikan sebagai berikut:

a. Tingkat kebisingan sinambung setara (Equivalent Continuous Noise Level =Leq) adalah tingkat kebisingan terus menerus (steady noise) dalam ukuran dBA, berisi energi yang sama dengan energi kebisingan terputus-putus dalam satu periode atau interval waktu pengukuran.

b. Tingkat kebisingan yang dianjurkan dan maksimum yang diperbolehkan adalah rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada siang, petang dan malam hari.

c. Tingkat ambien kebisingan (Background noise level) atau tingkat latar belakang kebisingan adalah rata-rata tingkat suara minimum dalam keadaan tanpa gangguan kebisingan pada tempat dan saat pengukuran dilakukan, jika diambil nilainya dari distribusi statistik adalah 95% atau L-95 (Rusli, 2009 : 29)

Bunyi dengan intensitas tinggi melebihi nilai ambang batas yang ditentukan sangat berbahaya untuk kesehatan indra pendengaran karena dapat menyebabkan penurunan fungsi pendengaran. Intensitas bising yang tinggi menyebabkan tekanan mekanik yang makin tinggi dan kondisi tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada koklea terutama organ Corti.

(15)

2. Frekuensi bising.

Sifat dari bunyi ditentukan oleh frekuensi. Frekuensi merupakan jumlah perubahan tekanan dalam setiap detiknya atau frekuensi setiap detiknya dalam satuan cycles per second (cls) atau Hertz (Hz). Frekuensi bunyi yang terpenting adalah 250 Hz, 1.000 Hz, 2.000 Hz, 8.000 Hz (naik 1 oktaf). Frekuensi bunyi yang dapat didengar oleh telinga manusia adalah 20 - 20.000 Hz. Bising dengan frekuensi tinggi lebih berbahaya daripada bising dengan frekuensi rendah. (Wardhana dalam Babba 2007 : 8-9)

3. Lama Paparan

Lama pemaparan kebisingan dapat diartikan sebagai lama waktu berada dalam lingkungan yang terpapar bising. Kebisingan yang melebihi ambang batas jika hanya terpapar satu hari pengaruhnya tidak signifikan, tetapi jika berlangsung setiap hari terus menerus minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun maka suatu saat akan melewati batas dimana paparan kebisingan akan menyebabkan gangguan pendengaran. Dampaknya bersifat kumulatif, sehingga semakin lama berada dalam lingkungan bising semakin berbahaya untuk pendengaran.

Lama paparan bising lebih dari 10 tahun akan menyebabkan peningkatan NIPTS (Noise Induce Permanen Treshold Shift) terutama pada frekuensi 4 KHz. Ransangan bunyi yang berlebihan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan perubahan metabolisme dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan pada struktur sel-sel rambut organ corti (Rambe, 2003).

(16)

Menurut Depkes RI Pusat Kesehatan Kerja (Anggraeni, 2006 : 10-11) menyebutkan bahwa tidak semua kebisingan dapat mengganggu para pekerja dan masyarakat sekitar. Hal tersebut tergantung dari beberapa faktor yaitu:

1. Intensitas bising

Kebisingan yang intensitasnya melebihi 85 dB(A) dapat mengganggu pendengaran. Jika dipergunakan selama 4 jam tidak membahayakan kesehatan pendengaran, intensitas menentukan derajat kebisingan.

2. Frekuensi bising.

Bising dengan frekuensi tinggi lebih berbahaya dari pada bising dengan frekuensi rendah.

3. Lamanya berada dalam lingkungan bising.

Semakin lama berada dalam lingkungan bising semakin berbahaya untuk pendengaran.

4. Sifat bising.

Bising yang didengar terus menerus lebih berbahaya dari pada bising yang terputus-putus.

5. Waktu di luar lingkungan bising.

Waktu di lingkungan bising diselingi dengan beberapa jam sehari di lingkungan tenang akan mengurangi bahaya mundurnya pendengaran.

6. Kepekaan seseorang.

Kepekaan seseorang mempunyai kepekaan luas. Secara teliti hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan Audiogram secara berulang-ulang.

(17)

7. Umur.

Orang yang berumur lebih dari 40 tahun akan lebih mudah tuli akibat bising.

2.1.2.7. Pengendalian Kebisingan.

Pramudianto (dalam Babba, 2007) mengemukakan bahwa Pengendalian kebisingan yang diakibatkan kegiatan industri atau lainnya yang menimbulkan kebisingan terdiri dari :

a. Pengendalian secara teknis

Pengendalian secara teknis dapat dilakukan pada sumber bising, media yang dilalui bising dan jarak sumber bising terhadap pekerja atau masyarakat yang terkena dampak. Pengendalian bising pada sumbernya merupakan pengendalian yang sangat efektif dan hendaknya dilakukan pada sumber bising yang paling tinggi.

Cara-cara yang dapat dilakukan antara lain :

a. Desain ulang peralatan untuk mengurangi kecepatan atau bagian yang bergerak, mengganti alat yang telah usang dengan yang lebih baru dan desain peralatan yang lebih baik.

b. Melakukan perbaikan dan perawatan dengan mengganti bagian yang bersuara dan melumasi semua bagian yang bergerak.

c. Mengisolasi peralatan dengan cara menjauhkan sumber dari pekerja/masyarakat yang terkena dampak, menutup mesin ataupun membuat barrier/penghalang.

(18)

d. Merendam sumber bising dengan jalan memberi bantalan karet untuk mengurangi getaran peralatan dari logam.

e. Menambah sekat dengan bahan yang dapat menyerap bising pada ruang kerja. Pemasangan perendam ini dapat dilakukan pada dinding suatu ruangan yang bising.

f. Menggunakan penyekat dinding dan langit-langit yang kedap suara. 2. Pengendalian secara administrasi.

Pengendalian ini dikuhususkan kepada pekerja yang menerima dampak kebisingan secara langsung. Pengendalian ini meliputi rotasi kerja pada pekerja yang terpapar oleh kebisingan dengan intensitas tinggi ke tempat atau bagian lain yang lebih rendah, pelatihan bagi pekerja terhadap bahaya kebisingan, cara mengurangi paparan bising dan melindungi pendengaran.

3. Pemakaian alat pelindung diri (PPE / Personal Protective Eguipment)

Alat pelindung diri untuk mengurangi kebisingan meliputi ear plugs (sumbat telinga) dan ear muffs (penutup telinga). Alat ini bersifat personal mampu menurunkan efek bising dan sebagai alat protektif yang lebih baik.

(19)

2.2. Kerangka Berpikir 2.2.1. Kerangka Teori

Gambar 2. Kerangka Teori FAKTOR

KEBISINGAN

Keterangan :

= Variabel diteliti

= Variabel tidak diteliti INTENSITAS BISING FREKUENSI BISING LAMA PAPARAN FAKTOR KEBISINGAN FAKTOR KARAKTERISTIK MASYARAKAT (HOST) DERAJAT GANGGUAN PENDENGARAN G. RINGAN G. SEDANG

G. BERAT G. SANGAT BERAT

DERAJAT GANGGUAN PENDENGARAN

G. RINGAN G. SEDANG G. SEDANG

BERAT

G. BERAT G. SANGAT BERAT

KEPEKAAN TELINGA

JENIS BISING

(20)

2.2.2. Kerangka Konsep

Keterangan :

= Variabel Independent = Variabel Dependent

Gambar 3. Kerangka Konsep 2.3. Hipotesis

2.3.1. Hipotesis Penelitian

1. Terdapat Pengaruh antara intensitas kebisingan terhadap derajat gangguan pendengaran masyarakat sekitar kawasan PLTD Telaga Kota Gorontalo tahun 2012.

2. Terdapat Pengaruh antara lama tinggal terhadap derajat gangguan pendengaran pada masyarakat sekitar PLTD Telaga Kota Gorontalo tahun 2012.

2.3.2. Hipotesis Statistik 1. H0 : p = 0

2. Ha : p ≠ 0

Kriteria Uji : H0 ditolak jika p value < critical value (α = 0,05)

H0 diterima jika p value ≥ critical value (α = 0,05)

(Sugiyono, 2009: 69) INTENSITAS KEBISINGAN LAMA TINGGAL DERAJAT GANGGUAN PENDENGARAN

Gambar

Gambar 1.  Anatomi telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam
Tabel 2.1. Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut  International Standard Organization (ISO) dan
Gambar 2. Kerangka Teori FAKTOR

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan Penelitian ini adalah membuat aplikasi Sistem Penunjang Keputusan Untuk menentukan jenis bibit ayam broiler dengan mengunakan metode MOORA, uji coba yang digunakan

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) Nomor: 9/PPBJ-BKD/LU-1/2011, Panitia Pengadaan Barang/Jasa Badan Kepegawaian dan Diklat Kabupaten Tanah Laut

Hasil pengujian hipotesis pertama yang menguji pengaruh Dana Pihak Ketiga (DPK) terhadap Penyaluran Kredit mengungkapkan bahwa Dana Pihak Ketiga (DPK) berpengaruh

Manajemen pengetahuan ( knowledge management ) adalah suatu rangkaian kegiatan yang digunakan oleh organisasi atau perusahaan untuk mengidentifikasi,.. menciptakan, menjelaskan, dan

Abstrak : Tujuan dari penulisan ini adalah merancang aplikasi sistem informasi pembelajaran online yang dapat membantu beberapa pihak yang terkait pada SMA Bina

Penerapan usahatani organik yang dilaksanakan oleh kelompok tani di Kecamatan Cakung Jakarta Timur diduga dipengaruhi oleh tingkat persepsi dan sikap petani serta faktor-faktor

Pompa bilge palka adalah suatu pesawat bantu yang penting di dalam sistem bilge pada saat cleaning palka yang dilkukan pada saat pergantian muatan atau cleaning