• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Sifat dan Manfaat Kayu Jati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Sifat dan Manfaat Kayu Jati"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Sifat dan Manfaat Kayu Jati

Pohon Jati (Tectona grandis Linn F.) atau Teak (bahasa Inggris) adalah sejenis pohon penghasil kayu, berdaun besar, yang daunnya gugur pada musim kemarau. Profil pohon umumnya besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 40 – 45 m, dan dapat tumbuh selama ratusan tahun. Diameter pohon dapat mencapai 1,8 - 2,4 m. Rata-rata pohon jati mencapai ketinggian 9-11 m, dengan diameter 0,9 - 1,5 m. Kayu jati terbaik biasanya berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun (Iskak et al., 2005)

Tanaman Jati tumbuh menyebar luas mulai dari India, Myanmar, Laos. Kamboja, Thailand sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan yang menggugurkan daunnya di musim kemarau. Saat ini sebagian besar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh Perum Perhutani, sebagai perusahaan milik negara di sektor kehutanan.

Kayu Jati sejak dulu digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal laut dan sebagai bahan konstruksi berat, seperti bangunan rumah, jembatan dan bantalan rel kereta api. Kayu jati di Indonesia dulu umumnya digunakan dalam struktur bangunan rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah. Hampir semua struktur bangunan rumah tradisional dan tempat ibadah di Jawa, seperti tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir mengunakan kayu jati.

Ranting-ranting jati yang tidak dapat lagi dimanfaatkan biasanya digunakan sebagai kayu bakar kelas satu. Kayu jati jika dibakar akan menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu digunakan sebagai bahan bakar yang baik untuk lokomotif uap. Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus makanan atau nasi. Contoh di daerah Cirebon dikenal nasi jamblang yang memiliki cita rasa yang sedap dan aroma yang khas karena menggunakan bungkus daun jati. Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pembungkus tempe.

Berbagai jenis serangga dan hama jati juga ada yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Di antaranya adalah jenis belalang jati (Walang kayu) dan ulat jati (Endoclita). Ulat jati tersebut bahkan dianggap penikmatnya sebagai makanan isti-mewa karena lezatnya. Ulat tersebut biasanya dikumpulkan pada pagi hari menjelang

(2)

musim hujan, ketika ulat-ulat itu bergelantungan turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk kepompong (Ungkrung). Setalah menjadi kepom-pong, ulat jati kerap pula dikumpulkan untuk dimakan.

Kayu Jati termasuk kayu yang mewah dengan kelas awet I ~ II dan sangat tahan terhadap serangan rayap. Kelompok kayu jati termasuk dalam kelas kuat II, karena perubahan dimensinya relatif stabil dan tidak mudah mengembang atau menyusut. Kelompok kelas kuat II tersebut sangat sesuai untuk keperluan bahan baku industri meubel, kayu pertukangan (untuk rangka pintu dan jendela), untuk kayu konstruksi dan untuk bahan Veneer (Muslich et al., 2008).

Meskipun keras dan kuat, kayu jati mudah dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk membuat furniture dan ukir-ukiran. Kayu jati yang telah diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak.

Kayu jati memiliki tekstur dekoratif yang indah dengan lingkaran tahun yang jelas. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan gambaran yang indah. Bagian teras (bagian tengah/inti) kayu jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Bagian kayu gubal (bagian lapisan luar) berwarna putih dan kelabu kekuningan.

Berdasarkan kehalusan tekstur dan keindahan warnanya kayu jati digolongkan sebagai kelompok kayu mewah (fancy wood). Sesuai nilai tekstur dan kekuatannya maka kayu jati banyak diolah menjadi produk mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel kayu, dan untuk dibuat anak tangga pada bangunan-bangunan mewah.

Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa istilah jati (Siswamartana et al., 2005) yaitu :

1) Jati Lengo atau Jati Malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Lengo, minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak bercak atau noktah dan bergaris.

2) Jati Sungu, berwarna hitam, padat dan berat (sungu, tanduk). 3) Jati Werut, memiliki kayu yang keras dan serat berombak.

4) Jati Doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah.

(3)

6) Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.

Dalam industri kayu sekarang kayu jati diolah menjadi produk lembar kayu tipis (veneer) untuk melapisi permukaan luar kayu lapis, dan dijadikan keping papan persegi (kayu parquet) untuk penutup lantai. Saat sekarang kayu telah menjadi komo-ditas ekspor bernilai tinggi untuk di jual berbagai negara dalam bentuk produk furni-ture dan kerajinan kayu jati. Sebagian besar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.

2.2 Tinjauan Pengembangan Tanaman Jati Unggul

Kayu jati sangat terkenal untuk berbagai penggunaan karena kekuatan dan keawetannya. Namun karena pertumbuhannya sangat lambat menyebabkan kebangan antara penyediaan kayu jati dan kebutuhan industrinya menjadi tidak seim-bang. Upaya pemenuhan kebutuhan kayu jati telah dilakukan untuk mengatasi konti-nuitas pasokan produk kayu jati yaitu :

1) Melakukan penelitan untuk menghasilkan klon unggul tanaman pohon Jati yang tumbuh lebih cepat

2) Membudidayakan klon unggulan tersebut untuk dapat dipanen dalam masa daur pendek.

Beberapa penelitian untuk menghasilkan klon jati unggul telah dilakukan bebe-rapa negara yang memiliki kawasan tumbuh pohon jati. Klon Jati emas salah satu klon unggul hasil budidaya sistem kultur jaringan yang pertama kali dikembangkan di- laboratorium di Thailand. Klon tersebut tanaman induknya berasal dari negara Myan-mar.

Hasil penelitian Klon Jati emas dengan sistem kultur jaringan, menghasilkan riap pertumbuhan yang dapat dipanen pada masa sepuluh tahun. Hasil penelitian tersebut merupakan terobosan baru dalam mengantisipasi kelangkaan bahan baku industri kayu jati dan penyediaan bibit untuk rehabilitasi lahan kritis.

Tanaman jati emas sejak tahun 1980 sudah ditanam secara luas di Myanmar dan di Thailand. Sejak tahun 1990 Malaysia juga telah mengembangkan Jati emas secara luas. Indonesia baru mulai melakukan penanaman jati emas sejak tahun 1999. Produksi pohon jati emas antara lain telah dilakukan oleh Perum Perhutani. Klon Jati

(4)

emas telah ditanam secara luas di daerah Indramayu sebanyak satu juta pohon (Siswa-martana et al., 2005)

Tanaman jati emas dapat dipanen antara umur tanaman 5 - 15 tahun. Kelebihan klon tersebut selain memiliki pertumbuhan yang cepat, juga dapat tumbuh seragam dan lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Jati Emas pada usia 5 - 7 tahun, sudah mencapai diameter 27 cm dan tingginya 16 m. Dibandingkan dengan jenis kayu pertukangan lain, kualitas kayu jati emas lebih baik, lagipula volume penyusutan hanya 0,5 kalinya (Siswamartana et al., 2005).

Tanaman Jati emas cocok ditanam pada daerah tropis, akan tumbuh baik pada daerah dataran rendah (< 50 m dpl) sampai daerah dataran tinggi pada ketinggian 800 m dpl. Jenis jati emas baik ditanam pada jenis tanah aluvial yang banyak mengandung kapur, dengan pH antara 4,5 - 7.0. Tanaman jati emas sangat tidak tahan ditanam pada kondisi tanah tergenang air, atau pada lokasi tanam yang tidak memiliki sistem draina-se yang baik (Siswamartana et al., 2005)

Tabel 1 : Perkiraan hasil panen kayu Jati Emas.

Uraian Jumlah pohon Setiap masa panen (Pohon/ha) Tahun ke-5 Tahun ke-10 Tahun ke-15

Panen (pohon) 1.000 350 650

Sisa (pohon) 1.000 650 0

Tinggi (m) 12 15 17

Diameter (cm) 20 27 37

Volume (m3) 300 238 949

Sumber : Siswamartana et al (2005). Keterangan 2.000 pohon/ha atau 1.470 m3/ha dalam 15 tahun.

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Perum Perhutani sejak tahun 1990 telah melakukan penelitian untuk menghasilkan benih jati unggul asli Indonesia. Pengembangan benih unggul berasal dari pohon plus tanaman jati Perum Perhutani di pulau jawa. Hasil pengembangan ini disebut Klon Jati Plus Perhutani (JPP).

Penelitian pengembangan klon JPP tersebut telah dilaksanakan selama 15 tahun. Hasil penelitian tersebut pertumbuhan tanaman JPP mulai usia tahun kelima pertumbuhan riap menurun (kurva pertumbuhan membentuk sigmoid). Penurunan riap pertumbuhan tersebut semakin meningkat pada umur antara 10 - 15 tahun. Arti-nya jika penanaman dibiarkan lebih dari masa panen 15 tahun, maka perolehan kayu

(5)

dari pertumbuhan riap akan terus berkurang. Jika masa penanaman JPP ditetapkan dalam rentang 15 tahun, maka secara teknis paling ideal tanaman tersebut dipanen pada usia tanam lima tahun.

Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Perum Perhutani telah melakukan beberapa percobaan pertumbuhan terhadap Jati Plus Perhutani, dengan berbagai perlakuan penanaman dengan menggunakan berbagai asal tegakan benih. Setelah masa tanam lima tahun, telah dihasilkan data rata-rata pertumbuhan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 : Perbandingan Pertumbuhan tanaman Jati Plus Perhutani (JPP) Pada Umur yang Sama.

Asal Bibit Dan Perlakuan Diameter Pohon (cm) Tinggi Pohon (m)

JPP + Silin 17,2 17

JPP KBK + silin 14 13

JPP 9,5 9,3

APB 9,5 6,3

WvW 5.5 9,5 11,4

Sumber : Anisah et al., 2005.Keterangan JPP = Jati Plus Perhutani, KBK = Kawas-an Budidaya KehutKawas-anKawas-an, APB = Areal Produksi Benih, WvW 5.5 = Nilai klas kesuburan tanah hutan menurut Wolf Von Wulfing (WvW).

Sesuai data tersebut penggunaan bibit unggul Klon JPP dengan perlakuan penanaman atau teknik budidaya secara Silvikultur Intensif (Silin), pertumbuhan tanaman menunjukkan hasil yang signifikan. Untuk bibit unggul JPP berasal dari Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) dengan perlakukan Silvikultur intensif, menun-jukkan pertumbuhan yang relatif lebih baik. Penanaman JPP pada berbagai lokasi percobaan, menunjukkan pertumbuhan diameter relatif sama dengan Jati biasa yang ditanam pada Areal Produksi Benih (APB). Tanaman Jati biasa yang ditanam pada lahan kelas kesuburan tanah terbaik (kelas bonita WvW 5.5), menunjukkan pertum-buhan yang relatif sama dengan pertumpertum-buhan klon JPP pada kelas kesuburan tanah biasa (Anisah et al.,2005).

Bibit Unggul JPP yang ditanam dengan perlakuan silvikultur intensif, menunjukkan pertumbuhan pada tahun pertama sama riapnya dengan jati biasa yang ditanam pada kelas bonita WvW 5.5. Sesuai hasil penelitian tersebut dapat disimpul-kan bahwa JPP jika ditanam tanpa perlakuan silvikultur intensif adisimpul-kan sama saja

(6)

dengan bibit klon jati biasa yang ditanam pada lahan yang memiliki kelas kesuburan terbaik. (Siswamartana, 2009).

Kelebihan Klon Jati Unggul Jati Plus Perhutani yang telah dikembangkan yaitu :

1) JPP klon terbaik berasal dari program seleksi yang teruji secara sistimatik dan secara ilmiah dibeberapa tempat tumbuh ( multi lokasi ).

2) Pengujian multilokasi dilaksanakan secara sistimatik sehingga memudahkan untuk melacak dan melihat kembali asal usul induk aslinya dari klon unggul tersebut. Sementara klon jati unggul yang beredar dipasaran tidak mungkin bisa dilakukan pelacakan kembali kepada induk aslinya.

3) JPP merupakan klon jati unggul asli berasal dari Indonesia (P.Jawa), sehingga daya adaptasinya lebih baik dari klon yang lain yang berasal dari luar negeri.

4) Teknik perbanyakan masal dengan tehnologi tepat guna, dapat menggunakan bibit dari stek pucuk atau bibit dari tissue cultur. Teknik perbanyakan tersebut sangat sesuai untuk memproduksi bibit tanaman dalam jumlah besar.

Benih Pohon Jati Plus Perhutani (JPP) yang telah dikembangkan Perum Perhutani, kemudian dilanjutkan pengembangannya oleh pihak PT Setyamitra Bhakti-persada bekerjasama dengan Koperasi Perumahan Perumahan Wanabhakti Nusantara Departemen Kehutanan. Pengembangan dilakukan dengan melakukan penelitian kualitas bibit jati yang berasal dari stek pucuk. Penelitian dilakukan dengan meng-induksi (menstimulasi dengan hormon tumbuh) sistem perakaran calon tanaman. Penelitian tersebut menghasilkan bibit tanaman jati dengan akar tunjang majemuk pada usia dini. Sesuai hasil penelitian tersebut menunjukkan sifat klon jati baru, yang kemudian disebut klon Jati Unggul Nusantara (JUN).

Tanaman JUN diperhitungkan dapat dipanen pada umur antara 5 - 15 tahun. Sesuai sifatnya, tanaman JUN memiliki pertumbuhan yang relatif cepat dan kondisi pertumbuhan relatif seragam pada saat usia tahun kedua. Pada umur tanaman antara 3 – 5 tahun, diameter tanaman dapat mencapai rata-rata 23 cm dan tinggi pohon 10 m. Pada pola pengelolaan intensif (silvikultur intensif), tanaman JUN lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Produktivitas potensi rata-rata JUN pada tahun kelima diperhitungkan dapat mencapai 0,235 m3/pohon. Penanaman JUN akan baik ditanam pada daerah ketinggian antara 50 - 600 m dpl. Iklim yang baik bagi

(7)

pertum-buhan tanaman JUN pada kisaran curah hujan antara 1500 - 2000 mm/tahun, dan sebaiknya ditanam pada area tanam yang memiliki sistem drainase yang baik

Hasil penelitian penanaman JUN pada usia sembilan bulan menunjukkan pertumbuhan perakaran yang kuat dan telah membentuk akar majemuk, seperti pada Gambar 1.

. .

Sesuai hasil penelitian PT Setyamitra diproyeksikan riap pertumbuhan sampai usia lima tahun dapat mencapai tinggi 10 m dengan diameter 28 cm. Ilustrasi proyek-si perhitungan pertumbuhan pohon JUN sampai tahun ke lima seperti pada Gambar 2 (Setiaji, 2009).

Penanaman JUN dilakukan secara monokultur, dengan jarak tanam 5 m x 2m, dengan perlakuan intensif (sistem pemupukan dan pemeliharaan terjadwal). Sesuai jarak tanam tersebut maka dalam satu hektar lahan dapat ditanam 1000 pohon.

Gambar 2 : Ilustrasi Perhitungan Kubikasi Pohon Jati JUN Usia 5 Tahun Gambar 1 : Akar Tunjang Majemuk JUN

(8)

Dalam masa lima tahun potensi tanaman dapat mencapai volume rata-rata 0,20 m3 /-pohon atau setara 200 m3/hektar/5 tahun yang dapat dipanen (Adjie et al., 2008).

Hasil beberapa percobaan penanaman Jati Unggul Nusantara pada lokasi penanaman di wilayah Madiun dan Bogor, menunjukkan hasil pertumbuhan tanaman pada berbagai kondisi usia tanam, seperti pada Gambar 3.

Sesuai dengan perhitungan volume tersebut, jika diasumsikan terdapat 20% jumlah tanaman mengalami kematian, maka potensi pohon yang dapat dipanen 160 m3/ha/5thn. Jika diperhitungkan asumsi harga jual kayu jati saat panen Rp.500.000/-m3, maka nilai jual pohon JUN 160 m3/ha/5thn x Rp 500.000/m3 akan menghasilkan nilai pendapatan Rp 80.000.000/ha/5 tahun (Adjie et al., 2008).

2.3 Tinjauan Prospek Kebutuhan Kayu Jati Untuk Industri

Sektor industri kehutanan pada pada periode tahun 1985 - 2002 telah memberi-kan kontribusi yang sangat besar bagi pendapatan nasional. Namun sejak tahun 2003 sektor industri perkayuan mengalami penurunan kontribusi yang cukup signifikan. Sampai akhir tahun 2003, secara global produk industri kehutanan hanya memberikan kontribusi kurang dari 10%. Penurunan produktivitas industri kehutanan tersebut sejalan makin berkurangnya produksi kayu dari hutan alam, sementara produksi kayu dari hutan tanaman tidak dapat menggantikan secara langsung terhadap kebutuhan bahan baku kayu (Ditjen IKA, 2005) .

(9)

Produk industri perkayuan mencakup kelompok industri kayu hulu dan industri kayu hilir. Industri kayu hulu terdiri atas produk plywood, sawn timber, veneer, chipwood, moulding dan industri pulp. Industri kayu hilir terdiri atas produk perme-belan atau furniture, partikel board, parquet board, MDF, industri kertas dan produk kerajinan berbahan baku kayu.

Secara umum semua jenis kayu dapat dimanfaatkan dalam industri kayu, termasuk jenis kayu jati yang banyak dimanfaatkan untuk berbagai produk dari Indus-tri kayu. Nilai manfaat kayu jati secara teknis ditentukan komposisi bagian kayu teras (bagian tengah/inti) dan bagian kayu gubal (bagian lapisan luar inti).

Kayu teras mempunyai nilai lebih dibandingkan kayu gubal karena sifat warna dan keawetan alaminya yang tinggi, sedangkan kayu gubal tersusun atas sel-sel yang masih hidup dan terletak di sebelah dalam kambium yang berfungsi sebagai saluran cairan dan sebagai tempat penimbunan zat-zat makanan. Secara fisiologis kayu teras tidak berfungsi untuk menunjang pohon secara mekanis (Padlinurjaji dan Rahayu, 2009).

Proses pembentukan kayu teras dan kayu gubal ditentukan dari kondisi peru-bahan kayu juvenil (fase muda) menuju fase dewasa. Sesuai hasil pengujian pada sampel tanaman yang terdiri atas lima kelas umur, menunjukkan proses pembentukan kayu jati dewasa dimulai padaumur tanaman kayu antara tahun ke 11 dan tahun ke 12. Sampel pengujian tersebut dianalis pada posisi penampang melintang dari batang kayu Jati (Darwis et al., 2005).

Secara umum dari sampel lima kelas umur tersebut, pembentukan kayu gubal dan kayu teras terjadi secara seimbang pada periode kelas umur III atau pada usia tanaman 25 tahun. Pada kelas umur III tersebut terbentuk kayu teras 48,73% dan kayu gubal 51,27%. Pada kelompok tanaman kelas umur I (usia kurang dari sepuluh tahun), pembentukan kayu dewasa rata-rata pada usia tanaman sembilan tahun. Pada usia tersebut terjadi pembentukan kayu teras 9,09%, dan kayu gubal 90,91%. (Darwis et al., 2005).

Pembentukan kayu teras salah satunya disebabkan oleh proses penuaan kayu (aging process). Semakin tua usia suatu pohon jati, maka persentase kayu teras yang terbentuk juga semakin besar. Pembentukan kayu teras yang besar akan menambah

(10)

keawetan kayu. Pada kayu teras jati terdapat zat ekstraktif tectaquinon, yang bersifat racun bagi serangga, sehingga menjadi daya awet bagi kayu jati (sifat preservative)

Untuk memenuhi kebutuhan pasokan industri kayu, hasil penanaman kayu jati seharusnya mempertimbangkan masa kelas umur tersebut guna menentukan masa panen. Kayu jati yang dipanen sesuai pertimbangan kelas umurnya, akan memberikan manfaat bagi nilai teknis kayu (kelas kuat dan kelas awet kayu) untuk kebutuhan industri.

Kebutuhan pasar internasional akan produk kayu jati baru terpenuhi lebih kurang 20% dari total kebutuhan yang dapat dipasok Indonesia. Hal tersebut merupa-kan potensi pasar yang sangat prospektif bagi upaya penanaman kayu jati secara intensif (Juanda, 2007).

Kebutuhan riel kayu jati untuk industri permebelan diIndonesia sebesar 2.500.000 m3/tahun. Sesuai kebutuhan tersebut baru dipenuhi dari pasokan Perum Perhutani sebesar 1.750.000 m3/tahun. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut diperlu-kan penanaman baru pohon jati, yang dapat tumbuh relatif lebih cepat untuk dipanen. Untuk penanaman tersebut diperhitungkan kebutuhan lahan untuk penanaman pohon jati seluas 29.000 ha/tahun (Juanda, 2007).

Penjualan produk kayu jati untuk industri mebel atau furniture, sebagian besar dipasok dari tanaman Perum Perhutani dalam bentuk kayu jeblosan (batang kayu bentuk persegi empat) atau produk kayu gergajian (sawn timber). Sebagian dipasok dalam bentuk kayu balok yang sudah dibuang cacat alaminya (trimming), dengan berbagai ukuran sortimen (tebal, lebar dan panjang kayu).

Untuk penjualan produk kayu jati tujuan eksport umumnya berbentuk produk flooring atau disebut produk RST (Ring Size Timber). Hasil pengolahannya berben-tuk produk Plint Skirting, Lampaquet, Solid Flooring, Finger joint laminating flooring (FJL), Parquet Block, Parquet Stock, Reng dan bentuk Lis reng.

Harga pasar kedua produk tersebut umumnya ditentukan oleh Direktorat Pemasaran Perum Perhutani, yang berlaku pada setiap tempat-tempat penjualan kayu (TPK) Perum Perhutani, pada seluruh wilayah pengelolaan hutan Perum Perhutani.

Harga penjualan kayu jati bentuk Jeblosan ditentukan kriteria kelas mutu kayu, perlakuan pemotongan cacat alaminya (trimming) serta ukuran sortimen lebar, tebal

(11)

dan panjang produk kayu jati. Kelas mutu kayu terdiri atas kelas utama/Top (U), kelas satu (P) sampai kelas empat (M).

Untuk penjualan kayu jati bentuk Flooring ditentukan kriteria kelas mutu dan ukuran sortimen kayu. Kelas mutu terdiri atas kelas utama/Top (UT), kelas satu (P) sampai kelas empat (M). Untuk kelompok produk Lampaquet, Block Parquet dan Reng ukuran ditentukan sesuai sortimen kayu (lebar, tebal dan panjang kayu). Penen-tuan harga dari berbagai kelompok produk tersebut seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 : Harga dasar kayu jati Jeblosan Non Trimming Kualitas Utama.

Ukuran Sortimen (mm) Harga Kayu jati pada berbagai ukuran panjang (Rp/m3) Tebal (mm) Lebar (mm) 700 - 850 (cm) 900 – 1850 (cm) 1900 – 2350 (cm) > 2400 (cm) < 20 126 - 175 12.405.000 12.777.000 13.160.000 13.555.000 176 - 225 12.653.000 13.033.000 13.424.000 13.826.000 226 - 275 12.905.000 13.294.000 13.692.000 14.103.000 276 - 325 13.166.000 13.558.000 13.967.000 14.386.000 > 326 13.426.000 13.830.000 14.245.000 14.672.000 20 - 39 X 70 - 125 12.769.000 13.152.000 13.546.000 13.953.000 126 - 175 13.026.000 13.416.000 13.818.000 14.233.000 176 - 225 13.287.000 13.684.000 14.094.000 14.519.000 226 - 275 13.552.000 13.959.000 14.376.000 14.808.000 276 - 325 13.823.000 14.237.000 14.664.000 15.103.000 > 326 14.099.000 14.521.000 14.957.000 15.406.000 Sumber : Biro Pemasaran Perum Perhutani (2009). Keterangan : Ukuran Sortimen ketebalan tertinggi

80 mm.

Selain pembelian produk kayu jati dari sumber pasokan Perum Perhutani, kayu jati dapat pula dibeli dari kayu yang berasal dari tegakan hutan rakyat atau petani pemilik tegakan jati. Untuk mendapatkan pasokan produk kayu jati dari non Perhutani dapat diperoleh melalui enam saluran pemasaran (Tukan et al., 2001) yaitu: 1) Pasokan dari tanaman petani yang langsung dijual ke rumah tangga lokal atau

konsumen akhir

2) Pasokan dari tanaman petani yang dijual kepenebang, kemudian penebang menjual kekonsumen akhir

3) Pasokan dari dari tanaman petani yang dijual kepenebang, kemudian di jual kepada IKM pembuat mebel atau kerajinan.

4) Pasokan dari petani dijual ke industri penggergajian, kemudian di jual ke pedagang kayu, selanjutnya dijual konsumen akhir atau kepedagang industri mebel atau pembuat kerajinan kayu jati.

(12)

5) Pasokan dari petani untuk dijual kepenebang kayu, kemudian JUN dijual ke pedagang untuk industri mebel dan pembuat kerajinan kayu. selanjutnya dijual ke konsumen akhir pembeli produk mebel atau kerajinan kayu

6) Pasokan kayu dari petani, kemudian langsung dijual ke pedagang kayu antara di Jakarta

Sesuai alternatif model pemasaran kayu tersebut, tingkat harga jual tertinggi yang dapat diterima petani pemasok adalah melalui alternatif penjualan langsung kepada pedagang kayu jati di Jakarta. Hasil penelitian rantai pemasaran menunjukkan jika produk kayu jati dapat dipasok langsung dari petani kepasar kayu jati di Jakarta, maka petani dan pedagang kayu akan berpeluang mendapatkan keuntungan sampai sebesar 35 persen dari harga belinya dari petani (Tukan et al., 2001).

2.4 Tinjauan Model Usahatani Berbasis Bagi Hasil

Pola bagi hasil antara pemilik modal (investor) dan pengusaha (entrepreneur) dalam kegiatan ekonomi banyak diterapkan, untuk mengatasi keterbatasan modal individu dalam memenuhi pembiayaan usaha. Pembiayaan usaha dengan pola bagi hasil, umumnya untuk kegiatan usaha yang belum dapat dipenuhi sektor pembiayaan resmi. Permodalan dengan pola bagi hasil sebagai alternatif bagi masyarakat atau pengusaha untuk menghindari modal pinjaman bank yang mengharuskan membayar bunga.

Sebagian besar masyarakat meyakini pola bagi hasil merupakan merupakan model kerjasama usaha yang dianggap lebih memenuhi nilai agama, dengan model pembagian resiko kegagalan usaha atau pembagian keuntungan yang lebih adil dan terbuka (Jusmaliani, 2006)

Penerapan pola bagi hasil telah dilaksanakan dalam berbagai pola kemitraan dari lembaga pembiayaan dengan pengusaha. Kemitraan antara pelaku usaha besar dengan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Contoh model kemitraan seperti pola bagi hasil antara perusahaan BUMN dengan perusahaan UMKM binaannya. Selain tersebut pola bagi hasil sepeti model pembiayaan Syariah antara perusahaan modal Ventura dengan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UKM).

Menurut Siddiqi dalam Jusmaliani (2006) konsep bagi hasi dapat dibedakan dengan pola :

(13)

1) Pembagian hasil produksi (Production sharing)

2) Pembagian penjualan hasil usaha/produksi (revenue sharing).

3) Pembagian nilai keuntungan dari hasil usaha (profit sharing) atau disebut pembagi-an resiko keuntungpembagi-an (loss profit sharing).

Dalam konsep syariah pola bagi hasil dibedakan atas yaitu :

1) Pola Mudharabah adalah pola bagi hasil antara satu pihak yang menyediakan modal (sebagai investor dana), dengan banyak pihak lain yang memanfaatkan dana terse-but untuk kegiatan usaha. Hasil keuntungan usaha kemudian dibagi sesuai proporsi yang disepakati.

2) Pola Musyarakah adalah pola bagi hasil antara beberapa pihak yang menyediakan modal (sebagai investor dana), dengan satu pihak sebagai pengelola usaha. Hasil keuntungan usaha kemudian dibagi sesuai proporsi yang disepakati (Syahyuti, 2009).

Pola bagi hasil penjualan (revenue sharing) atau pola bagi keuntungan (profit sharing atau loss profit sharing) sangat umum diterapkan dalam kegiatan usaha disek-tor pertanian, kehutanan dan perikanan serta usaha lain dalam skala kecil. Dalam sektor pertanian, perkebunan dan perikanan pola bagi hasil yang sudah banyak diterap-kan adalah model kemitraan usaha antara nelayan atau petani pengelola lahan usaha dengan pihak investor atau usaha besar (investasi dana, bibit atau obat-obatan), yang disebut pola plasma - inti. Proporsi bagi hasil antara investor dengan pengelola usaha lazim menggunakan pola 50 : 50 atau 60 : 40 atau 70 : 30 atau 80 : 20 (Jusmaliani, 2006).

Pada usahatani bagi hasil padi di Jawa misalnya dikenal sistem ”kedokan”, yaitu upah menanam, menyiang dan memanen yang dibayar secara natura saat panen dengan nisbah tertentu yang disebut bawon. Model usaha bagi hasil disektor peter-nakan, seperti usaha mengembangbiakan ternak dan usaha pengemukan ternak. Polanya investor menitipkan hewan ternak kepada petani peternak, ternak dipelihara dan dikembangkanbiakan oleh peternak. Pada waktu yang telah disepakati ternak dijual atau diuangkan. Hasil penjualan kemudian dibagi sesuai proporsi yang disepa-kati. Sering pula dengan pola pembagian jumlah hewan ternak yang telah berkembang biak, atau ternak yang dititipkan boleh dimanfaatkan petani untuk menerima upah membajak di sawah orang lain (Syahyuti, 2009).

(14)

Pengelolaan usaha pola bagi hasil yang dilaksanakan Unit Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabhakti Nusantara (UBH-KPWN), mencakup pengelolaan dana Investor yang digunakan untuk biaya operasional kegiatan penyediaan bibit, penanam-an, pemeliharaan tanaman dan biaya pemanenan tegakan pohon jati. Saat pemanenan pada tahun kelima yang telah disepakati. Manajemen UBH-KPWN akan membayar-kan kembali dana hasil penjualan pohon jati kepada para pihak sesuai proporsi bagi hasil yang telah disepakati.

Para Pihak tersebut adalah pihak-pihak yang terikat hubungan kerjasama usaha bagi hasil tanaman jati unggul nusantara, yang terdiri atas pihak investor, Petani Penggarap, pemilik lahan tanam, dan pihak UBH-KPWN. Proporsi bagi hasil masing-masing pihak tersebut seperti pada Tabel 4.

Tabel 4: Proporsi bagi hasil masing-masing pihak dari kegiatan UBH-KPWN

Para Pihak Beban Resiko Kegagalan

Bagian hasil para pihak pada tingkat resiko kematian/hilang (%) TK 0% TK 10% TK 20 % TK 30% TK 40% TK 50% Petani Penggarap 25% - (0,5 x TK%) 25 20 15 10 5 0 Investor 0 % 40 40 40 40 40 40 Pemilik Lahan 0 % 10 10 10 10 10 10 Pamong Kelurahan 10% - (0,2 x TK%) 10 8 6 4 2 0 UBH-KPWN 15% - (0,3 x TK%) 15 12 9 6 3 0 Jumlah 100 90 80 70 60 50

Sumber : UBH – KPWN, 2008. Keterangan TK = Tingkat kematian tanaman, tabel telah disesuaikan

Sesuai tabel tersebut masing-masing pihak disamping akan memperoleh hak bagi hasil, juga akan mendapat resiko dari kematian tanaman. Pihak UBH-KPWN, petani dan pihak pamong desa, yang melaksanakan langsung kegiatan pengelolaan penanaman jati unggul tersebut, akan menerima resiko dari prosentasi kematian yang mengurangi hak penerimaan bagi hasilnya. Bagi pihak investor dan pemilik lahan sebagai pihak yang tidak dibebani resiko kematian, sampai maksimal tingkat kematian 40%.

Proporsi bagi hasil masing-masing pihak tersebut yaitu :

1) Pihak Investor setelah masa lima tahun, akan mendapatkan bagian hasil sebesar 40% dari hasil penjualan tanaman jati sesuai jumlah investasi yang disetorkannya.

(15)

2) Pihak Petani Penggarap setelah masa lima tahun akan mendapat bagian hasil sebesar 25% dari hasil penjualan tanaman jati, sesuai jumlah nilai tanaman yang dikelolanya dan setelah dikurangi proporsi resiko kematian tenaman.

3) Pihak Pemilik Lahan atau tanah sebagai lokasi tanaman, setelah masa lima tahun akan menerima sebesar 10% dari hasil penjualan tanaman jati, sesuai jumlah nilai tanaman yang ditanam dilokasi tanahnya.

4) Pihak Pamong Kelurahan yang menjadi lokasi tanaman, setelah masa lima tahun akan mendapat bagian hasil sebesar 10% dari hasil penjualan kayu jati yang ditanam pada lokasi Kelurahannya, setelah dikurangi proporsi beban resiko kematian tanaman.

5) Pihak Pengelola UBH-KPWN akan mendapat manajemen fee, setelah masa lima tahun 15% dari hasil penjualan tanaman jati sesuai jumlah nilai tanaman jati yang dikelolanya pada masa tebang tersebut, dan setelah dikurangi proporsi resiko kematian tanaman.

Pengembangan usaha bagi hasil penanaman JUN akan sangat tergantung pada ketersediaan dan kesesuaian lahan. Ketersediaan lahan ditentukan oleh adanya pemilik lahan yang bersedia lahannya dikelola selama minimal lima tahun, dan memenuhi persyaratan kesesuaian lahan sesuai sifat pertumbuhan tanaman JUN.

Untuk melaksanakan penanaman dalam satu wilayah, harus tersedia lahan yang dapat dapat ditanami minimal untuk 100.000 batang pohon atau setara dengan luas 100 Ha. Persyaratan lokasi lahan harus tersedia sarana jalan untuk dapat diakses calon investor. Sarana jalan juga untuk memudahkan akses transportasi saat pemasar-an. Sesuai bisnis plan UBH-KPWN ditargetkan penanaman 500.000 pohon/tahun atau setara 500 Ha/tahun. Dalam jangka lima tahun diharapkan tercapai 2,5 juta pohon JUN yang ditanam atau setara 2500 ha. Untuk periode lima tahun pertama (2007 s/d 2011) realisasi tanam ditargetkan 2000 Ha atau setara 2 juta pohon JUN yang harus tertanam (UBH-KPWN, 2007).

Strategi pendanaan pada tahap awal, UBH-KPWN menyediakan modal awal Rp.3,25 milyar untuk pembiayaan penanaman tahun pertama dan untuk pembelian benih JUN selama satu tahun. Pembiayaan tahun kedua hingga tahun kelima di tawarkan kepada pihak investor, dengan investasi tiap investor minimal 100 pohon dengan nilai harga Rp 60.000 per pohon. Sesuai jumlah minimal tanaman tersebut,

(16)

maka investasi tiap investor minimal Rp 6.000.000 (enam juta rupiah). Investor yang telah membayar biaya investasi, sesuai perjanjian didasarkan akte notaris akan memiliki hak investasi bagi hasil pada UBH-KPWN. Selama masa lima tahun investor tidak dibebani lagi dengan kenaikan biaya pengelolaan, hingga masa pema-nenan pohon JUN untuk dijual (UBH-KPWN 2007).

Sampai tahun 2009 UBH KPWN telah merealisasikan penanaman di delapan kabupaten sebanyak 638.000.000 batang pohon atau seluas lebih kurang 638. Ha. Jumlah investor yang terlibat 796 pihak (perorangan atau lembaga), dengan jumlah investasi yang telah diterima lebih kurang 20 milyar rupiah (UBH-KPWN 2010.A).

Khusus di wilayah Kabupaten Bogor telah direalisasikan penanaman sebanyak 112.000 batang setara luas tanam lebih kurang 112 Ha, yang melibatkan 30 investor (perorangan dan lembaga). Pohon JUN yang telah ditanam terdiri atas tanaman usia tanam satu tahun hingga usia tanam tiga tahun.

Untuk lokasi tanaman usia tiga tahun terdapat di Kelurahan Cogreg, Kecamat-an Parung Bogor, dengKecamat-an jumlah awal tKecamat-anamKecamat-an 7120 pohon atau setara lebih kurKecamat-an 7,1 ha. Pengelolaan tanaman tersebut melibatkan sebanyak 16 investor yang terdiri atas perorangan dan lembaga dan melibatkan 24 orang petani penggarap (UBH-KPWN 2010.B).

2.5 Tinjauan Manfaat Ekonomi Masyarakat Dan Lingkungan

Produk kayu jati daur pendek merupakan alternatif sumber material kayu jati untuk mendukung industri pengolahan kayu jati, yang harganya relatif dapat lebih murah dari sumber kayu jati daur panjang yang berasal dari pasokan Perum Perhutani. Hal tersebut mendorong kemampuan produksi industri pengolahan kayu jati, dan sekaligus sebagai potensi meningkatkan pendapatan masyarakat di sektor industri pengolahan kayu jati

Sesuai prinsip tujuan pengembangan usaha bagi hasil penanaman jati daur pendek, disamping untuk menyediakan pasokan kayu jati, juga untuk upaya mengem-bangkan sumber ekonomi baru bagi masyarakat dan upaya pengelolaan lingkungan dari pemanfaatan lahan bukan kawasan hutan yang belum dimanfaatkan atau status terlantar.

(17)

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2006), lahan terlantar di Indonesia berupa alang-alang/semak belukar seluas 12,4 juta ha. Luas lahan tersebut terdiri atas lahan terlantar di Kalimantan seluas 7,4 juta ha, di Sumatera seluas 3,0 juta ha, dan sisanya tersebar di seluruh provinsi, termasuk di Pulau Jawa seluas 2 juta Ha.

Lahan terlantar tersebut terdiri atas lahan yang belum ditetapkan status ke-pemilikannya, lahan bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah habis masa pengelo-laannya dan lahan negara sisa kebakaran hutan (BPS, 2006).

Lahan terlantar tersebut jika tidak dimanfaatkan secara optimal, maka akan berpotensi menimbulkan masalah kelestarian lingkungan. Pada kondisi lahan terbuka atau sedikit adanya tumbuhan penutup tanah akan berpotensi menimbulkan resiko masalah lingkungan dapat meliputi :

1) Terjadi penipisan sumber biomassa tanah 2) Hilangnya potensi kesuburan tanah

3) Hilangnya fungsi lahan sebagai pengatur tata air (cathment area). 4) Berpotensi menjadi sumber banjir dan tanah longsor.

Lahan terlantar status lahan negara, di wilayah Pulau Jawa seluas 53.330 Ha. Lahan tersebut belum termasuk lahan milik (milik lembaga dan milik perorangan atau masyarakat). Lahan tersebut sebagai potensi untuk dimanfaatkan atau dikelola sebagai lokasi usahatani penanaman JUN. Upaya pengelolaan tersebut disamping dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat sekitar lahan, sekaligus sebagai penyangga munculnya resiko masalah lingkungan (P2BN, 2006).

Program UBH-KPWN disamping upaya pemanfaatan lahan secara ekonomis juga sekaligus mendorong kepada upaya kelestarian lingkungan. Bagi pemilik lahan atau masyarakat dengan pola usaha bagi hasil tersebut dapat memanfaatkan lahannya secara ekonomis tanpa harus memikirkan modal atau biaya untuk menggarap lahan-nya, sehingga akan meraih penghasilan dari lahannya yang semula tidak produktif.

Bagi Investor (masyarakat, pengusaha atau institusi bisnis) melalui program UBH-KPWN dapat menginvestasikan kekayaannya, untuk tujuan pendapatan bisnis pada masa lima tahun mendatang. Investasi tersebut disamping prospek meraih pen-dapatan usaha, juga memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat petani peng-garap lahan, serta berperan dalam pemanfaatan lahan terlantar dan mengendalikan resiko kerusakan lingkungan.

(18)

Bagi petani petani penggarap selain sebagai pekerja pada program UBH-KPWN, dapat pula meraih pendapatan dari hasil bercocok tanam padi atau palawija disela tanaman pokok jati unggul, tanpa harus mengeluarkan biaya sewa lahan usaha. Pada masa panen tahun kelima petani juga akan meraih pendapatan dari hasil pen-jualan produk kayu jati.

Bagi Perangkat Kelurahan atau Pamong Kelurahan secara tidak langsung akan meraih pendapatan tambahan dari hasil produksi tanaman pada tahun kelima, serta mendorong masyarakat desa untuk dapat memiliki pekerjaan sebagai petani penggarap atau pengelola usahatani JUN.

Secara strategis pola usaha bagi hasil penanaman jati unggul, merupakan alternatif yang mendukung program pemerintah melakukan rehabilitasi lahan, seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL). Pada pelaksanaan gerak-an tersebut belum ada pemeliharagerak-an secara intensif terhadap tgerak-anamgerak-an, sehingga tidak ada jaminan keberhasilan tanamannya. Sementara program UBH-KPWN tersebut memberi motivasi kepada investor, masyarakat petani penggarap dan pamong kelu-rahan untuk berusaha meraih hasil penanaman menjadi tegakan yang tumbuh secara optimal.

2.6 Tinjauan Inventarisasi Potensi Tanaman

Inventarisasi hutan tanaman atau areal tanaman kehutanan dapat dilakukan secara sensus atau secara sampling. Inventarisasi potensi tanaman hutan adalah meka-nisme untuk melakukan penaksiran volume kayu yang masih berdiri atau belum ditebang. Penaksiran dilakukan dengan mengukur keliling atau diameter pohon dan mengukur tinggi pohon.

Sesuai hasil pengukuran diameter dan tinggi tersebut, kemudian dihitung volume pohon. Untuk menentukan seluruh volume pohon sampling yang diinven-tarisasi, dihitung sesuai data rata-rata volume pohon dikalikan jumlah populasi pohon. Tujuan utama dari inventarisasi tersebut adalah untuk menaksir volume seluruh populasi pohon yang terdapat pada suatu areal hutan atau petak penanaman.

Untuk kepentingan pengelolaan hutan, yang perlu diketahui bukan hanya volume tegakan yang ada sekarang saja, tetapi juga pertimbangan potensi tegakan tersebut dimasa datang. Mencakup selama jangka waktu pengelolaan hingga masa pemanenan tegakan pohon. Untuk menaksir potensi pohon dimasa datang diperlukan

(19)

informasi riap pertumbuhan pohon, guna menaksir jumlah volume hingga masa waktu tertentu (Simon, 2007).

Inventarisasi potensi tanaman JUN adalah kegiatan untuk menghitung potensi volume tanaman dan nilai riap pertumbuhannya. Pada saat melakukan inventarisasi tanaman dilakukan juga evaluasi kondisi pertumbuhan tanaman JUN dari mulai tahun pertama setelah tanam hingga masa tahun ketiga, sesuai kriteria pertumbuhan tanaman JUN.

Sesuai SNI 01-5007.17-2003, penaksiran volume pohon yang masih berdiri (standing stock) dapat dipisahkan menjadi empat cara (BSN, 2003) yaitu :

1) Penaksiran secara okuler

2) Penaksiran volume dengan persamaan dan tabel volume

3) Penaksiran volume dengan mengukur keliling batang atau diameter pada berbagai posisi tinggi pohon.

4) Penaksiran volume dengan model pohon

Inventarisasi potensi tanaman JUN dilaksanakan dengan menggunakan variabel tinggi dan keliling pohon, untuk menghitung volume pohon. Hasil perhitung-an volume tersebut untuk membuat perhitung-analisis riap pertumbuhperhitung-an pohon berdasarkperhitung-an data potensi pohon pada periode sebelumnya. Langkah penaksiran volume pohon dapat dilakukan sebagai berikut :

1) Mengukur keliling pohon dengan menggunakan pita ukur atau langsung mengukur diameter pohon menggunakan phiband

2) Mengukur tinggi pohon dengan menggunakan abney level, clinom atau walking stick

3) Menghitung LBDS (luas bidang dasar) pohon, dengan menggunakan rumus LBDS = (∑ in + ∑ border) x BAF. ∑ in adalah jumlah pohon di dalam areal tanam, ∑ border adalah jumlah pohon pada batas dengan areal tanaman lain. BAF adalah basal area faktor (Faktor koreksi bidang dasar).

4) Menghitung nilai volume pohon dengan rumus Volume(V) = LBDS x h x f, “h” adalah ukuran tinggi pohon, dan “f” adalah Faktor koreksi pohon 0,7

5) Hasil pengukuran dicatat dalam tabulasi data.

(20)

tumbuhan tanaman, serta mengevaluasi kondisi pertumbuhan tanaman dengan menggunakan kriteria kesegaran dan kesehatan tanaman serta gangguan hama penyakit.

Kegiatan invetarisasi potensi tanaman UBH-KPWN telah dilakukan secara sensus dan dengan cara sampling. Pelaksanaan kegiatan inventarisasi tanaman dalam rangka mengevaluasi kondisi pertumbuhan tanaman. Inventarisasi dilaksana-kan secara internal oleh Divisi Perencanaan UBH-KPWN dan secara eksternal oleh Tim dari Universitas Nusa Bangsa (UNB) Bogor.

Kegiatan sensus tanaman oleh pihak internal Divisi Perencanaan UBH-KPWN pada setiap tanaman berusia enam bulan. Setiap tahun evaluasi pertumbuhan tanaman dilakukan terhadap tanaman berusia lebih dari satu tahun. Evaluasi partum-buhan dilakukan dengan cara sampling.

Untuk memberikan jaminan indepedensi hasil pengukuran, UBH-KPWN melibatkan Universitas Nusa Bangsa (UNB) Bogor. Setiap tahun melakukan pengu-kuran potensi pertumbuhan tanaman secara sampling sebesar 20% dari total jumlah tanaman, dengan mengambil sampel tanaman yang berbeda pengukuran yang dilakukan pihak internal UBH-KPWN (UBH-KPWN, 2010.B).

Penetapan ukuran sampel inventarisasi pohon pada kawasan hutan dapat menggunakan rumus Solvin (Simon, 2007) :

Sesuai rumus tersebut ditetapkan ukuran sampel secara deskriptif. Jika jumlah populasi pohon besar maka jumlah sampel minimal 10%, dan jika jumlah populasi pohon relatif kecil, minimal 20% jumlah sampel yang ditetapkan untuk diinvetarisasi. Untuk inventarisasi hutan pada hutan tanaman jati pada areal yang kompak dengan luasan kurang dari 100 ha, dapat menggunakan sampling 2% - 5% dari total luas tanaman (Darmadi, 2003).

n = Ukuran sampel N = Ukuran populasi

e = tingkat ketelitian, misal 12% N

n = ... 1 + Ne2

(21)

Kegiatan inventarisasi potensi tanaman yang dilaksanakan oleh Tim UNB secara multi stage sampling atau pola penentuan sampling secara bertingkat dengan terlebih dahulu menetapkan kluster area lokasi tanaman JUN yang berusia tiga tahun di wilayah Kelurahan Cogreg. Sesuai area lokasi tanaman yang berusia tiga tahun, kemudian dibagi lagi menjadi kelompok tanaman yang dikelola masing-masing petani penggarap.

Setiap individu sampel pohon JUN yang diinventarisasi, diukur keliling dan tinggi pohonnya. Selanjutnya dilakukan perhitungan volume tiap individu pohon dengan menggunakan rumus yaitu :

Untuk menentukan individu pohon JUN ditetapkan sampel awal tanaman secara acak, kemudian setiap interval urutan nomor pohon secara sistematik ditetap-kan sampel individu pohon berikutnya (stratified sistematic with random sampling).

Metode pengukuran volume pohon tersebut sesuai SNI 01-5007.17-2003, pedoman penetapan tabel volume kayu bundar jati yang diproduksi dan diguna-kan di Indonesia. Langkah pengukuran volume kayu jati sebagai berikut :

1. Penetapan diameter (d)

a) Diameter diukur pada bontos ujung terkecil tanpa kulit dengan menggunakan pita phi ( ∏ ).

b) Apabila pita phi tidak ada, pengukuran dapat dilaksanakan dengan cara mengu-kur keliling menggunakan pita ukur biasa dalam kelipatan 1 cm, selanjutnya dengan angka keliling tersebut diameter yang berpadanan dapat dicari dalam tabel isi. c) Pada tabel angka keliling ujung terkecil selalu menunjukkan batas bawah dari kelas

diameter dari ujung terkecil yang berpadanan.

d) Diameter kayu bundar jati dinyatakan dalam kelas diameter, untuk A.I dan A.II Vpx = Volume tiap pohon

¼ λ = ¼ x 3,14 (nilai koreksi silender) D = Hasil ukur keliling pohon atau diameter dalam cm.

T = Hasil ukur tinggi pohon, dalam m atau cm.

F = faktor koreksi dari bentuk pohon Vpx = 1/4 λ D.T.F

(22)

dalam kelipatan 3 cm dan untuk A.III dalam kelipatan 1 cm. 2. Penetapan panjang (p)

a) Panjang diukur pada jarak terpendek antara kedua bontos melalui badan kayu. b) Panjang diukur dalam kelipatan 10 cm untuk panjang sampai dengan 10 m dan

kelipatan 50 cm untuk panjang lebih dari 10 m dengan pembulatan ke bawah. 3. Penetapan isi (I)

a) Berdasarkan hasil pengukuran diameter dan panjang, sebagai isi kayu bundar jati. b) Penetapan isi untuk tiap batang kayu bundar Jati dihitung berdasarkan pendekatan

rumus Smallian dalam Simon (2007). Perhitungan dilakukan dengan mengalikan panjang batang kayu dengan separuh dari jumlah luas bontos ujung (terkecil) dan luas bontos pangkal (terbesar) dengan rumus sebagai berikut :

LBp + LBu I = --- x p 2

Dengan pengertian :

I = isi atau volume kayu bundar jati, LBp = luas bontos pangkal,

LBu = luas bontos ujung, p = panjang kayu.

c) Isi atau volume kayu bundar jati, ditetapkan dari pengukuran diameter pangkal dan diameter ujung kayu. Pada pohon masih berdiri, diameter ujung dapat diduga dari diameter pangkal setelah dikurangi proporsi 5%. Hasil penelitian Balai Penyeli-dikan Kehutanan dalam Iskak et al (2005), dengan menggunakan xylom terdapat kelebihan (over estimate) 5% diameter pangkal terhadap diameter ujung.

4. Pengambilan Contoh

Pelaksanaan pemeriksaan hasil pengukuran dilakukan terhadap kayu bundar contoh. Pengambilan contoh dilakukan per blok, dengan mempertimbangkan keterwakilan populasi sebagaimana tercantum pada Tabel 5.

(23)

Tabel 5 : Jumlah Batang Sampel Pengukuran Kayu Jati Bundar

Sortimen Populasi (batang) Sampel Kayu bundar (batang)

Semua sortimen A.III, A.II.dan A.I.

1 s/d 100 101 s/d 1000 1001 s/d 2000 2001 s/d 3000 3001 s/d 4000 > 4000 seluruh 100 125 150 175 200 Sumber : BSN (2003). Jakarta

Setelah dihitung volume masing-masing pohon, kemudian dijumlahkan semua volume pohon yang menjadi sampel untuk mendapatkan total volume pohon yang menjadi sampel, dengan rumus :

Keterangan :

Vpt = Volume total pohon dari seluruh sampel yang diukur. Vpx1 s/d Vpxn = Volume pohon ke-1 sampai volume pohon ke-n dari total jumlah populasi/

Pengukuran diameter pohon jati dikelompokan sesuai kelas diameter seperti pada Tabel 6.

Tabel 6 : Kelas diameter Pengukuran kayu Jati Bundar

Sortimen

Kelas diameter

(cm)

Batas atas dan bawah kelas diameter (cm)

Titik tengah kelas diameter (cm)

Batas atas dan batas bawah keliling ujung terkecil (cm) KBK (A.I.) 4 7 10 13 16 19 3,00 s/d 5,99 6,00 s/d 8,99 9,00 s/d 11,99 12,00 s/d 14,99 15,00 s/d 17,99 18,00 s/d 20,99 4,5 7,5 10,5 13,5 16,5 19,5 9 s/d 18 19 s/d 27 28 s/d 37 38 s/d 46 47 s/d 56 56 s/d 65 KBS (A.II.) 22 25 28 21,00 s/d 23,99 24,00 s/d 26,99 27,00 s/d 29,99 22,5 25,5 28,5 66 s/d 74 75 s/d 84 85 s/d 93 KBB (A.III.) 30 31 32 33 34 30,00 s/d 30,99 31,00 s/d 31,99 32,00 s/d 32,99 33,00 s/d 33,99 34,00 s/d 34,99 30,5 31,5 32,5 33,5 34,5 94 s/d 96 97 s/d 99 100 s/d 103 104 s/d 106 107 s/d 109

Sumber : BSN (2003), Jakarta. Keterangan KBK = Kayu Bundar Kecil, KBS = Kayu bulat sortimen, KBB = Kayu Bulat Besar.

(24)

Hasil invetarisasi dan perhitungan volume pohon, kemudian dilakukan analisis sesuai kelompok lokasi tanaman, yaitu :

1) Rata-rata potensi seluruh sampel tanaman dari individu terpilih 2) Estimasi potensi rata-rata tanaman tiap petani pengelola

3) Estimasi potensi rata-rata tanaman seluruh populasi. 2.7 Analisis Kelayakan Usaha

Analisis kelayakan finansial kegiatan suatu usaha yang melibatkan para pihak termasuk petani yang tergantung dengan kegiatan tersebut, seharusnya menggunakan metode cash flow analysis. Metode tersebut untuk menganalisis komponen penerima-an atau benefit (inflow) dpenerima-an mengpenerima-analisis komponen biaya atau pengeluarpenerima-an (outflow). Selisih keduanya disebut manfaat bersih yang seharusnya dapat diterima para pihak (Nainggolan, 2009).

Sesuai metode tersebut, analisis kelayakan finansial pada kegiatan pengelolaan usaha bagi hasil ini, menggunakan instrumen analisis yaitu :

1) Pay back period (PBP)

2) Perhitungan nilai Net Present Value (NPV) 3) Perhitungan Internal Rate Return (IRR) 4) Perhitungan Benefit Cost Ratio (B/C) 2.7.1 Pay Back Period

Pay Back Period (PBP) merupakan teknik menentukan jangka waktu (masa) pengembalian modal dari suatu investasi kegiatan usaha. Perhitungan jangka waktu pengembalian modal dengan menggunakan aliran kas (Sambodho, 2009), sesuai persamaan berikut :

Bn 1 Cn 1

m n PBP     

Keterangan : n = periode investasi pada saat nilai kumulatif. m = nilai kumulatif Bt-Ct negatif terakhir

1 n

B = nilai sekarang penerimaan bruto pada tahun n + 1 Cn1 = nilai sekarang biaya bruto tahun n + 1

(25)

Perhitungan PBP dilengkapi dengan rasio keuntungan dan biaya dengan nilai sekarang. Jika nilai perbandingan keuntungan dengan biaya lebih besar atau sama dengan 1 maka kegiatan investasi dapat dijalankan.

2.7.2 Net Present Value (NPV)

Untuk menghitung jangka waktu pengembalian dari suatu nilai investasi yang ditanamkan, lazim menggunakan metode perhitungan nilai Net Present Value (NPV). NPV digunakan untuk menilai kelayakan finansial suatu proyek jangka panjang, berdasarkan asumsi nilai sekarang dari suatu kegiatan usaha, yang diproyeksikan untuk prospek pendapatan usaha masa akan datang. Perhitungan dapat menggunakan aliran kas masuk dan aliran kas keluar dari nilai pendapatan dan biaya yang diraih.

Untuk melakukan perhitungan NPV menggunakan, rumus Gittinger (Sambodo, 2009) sebagai berikut :

Cash flow1 Cash flow2 Cash Flow..n NPV = Initial Cost + + +

(1+r)1 (1+r)2 (1+r)n

Nilai “( r )“ adalah tingkat suku bunga yang ditentukan seandainya unit usaha atau perusahaan menginvestasikan dananya pada instrumen investasi lain dengan tingkat resiko yang sama. Dalam analisis NPV biasa digunakan suku bunga rata-rata bank selama sepuluh tahun.

Hasil analisis dari perhitungan nilai NPV dapat disimpulkan yaitu :

1) Apabila nilai NPV>0, maka usaha tersebut menguntungkan atau layak dilaksanakan 2) Apabila nilai NPV = 0, maka usaha tersebut dapat dinyatakan tidak untung dan juga tidak rugi (manfaat diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya yang dikeluarkan) 3) Apabila nilai NPV < 0, maka usaha tersebut rugi atau tidak layak dilaksanakan. 2.7.3 Internal Rate Return

Analisis Internal Rate Return (IRR) terkait erat dengan nilai NPV (nilai seka-rang). IRR digunakan untuk mengevaluasi nilai efisiensi sebuah investasi. Jika IRR sebuah proyek lebih besar daripada tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh alterna-tif investasi lain, seperti suku bunga bank atau obligasi, maka proyek tersebut dapat dikatakan lebih menguntungkan dari alternatif lain.

(26)

Untuk perhitungan IRR dilakukan sesuai rumus Zuhbie (Sambodho, 2009) : Cash flow1 Cash flow2 Cash Flow..n

IRR = Initial Cost + + + = 0 (1+r)1 (1+r)2 (1+r)n

IRR menunjukkan persentase keuntungan yang diperolah atau investasi bersih dari suatu proyek, atau tingkat diskonto yang dapat membuat arus penerimaan bersih sekarang dari investasi (NPV) sama dengan nol. Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat diskonto maka proyek layak untuk dilaksanakan sedangkan jika nilai IRR lebih kecil dari tingkat diskonto maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan.

2.7.4 Benefit Cost Ratio atau B/C

Benefit Cost Ratio merupakan perbandingan jumlah nilai bersih sekarang yang diterima positif dengan jumlah nilai bersih sekarang yang diterima negatif. Nilai tersebut menunjukkan tingkat besarnya tambahan manfaat pada setiap tambahan biaya kegiatan usaha sebesar satu satuan. Untuk menghitung Benefit Cost Ratio (B/C) berdasarkan NPV menggunakan rumus sebagai berikut :

NPV1 = Nilai NPV yang positif (Rp) NPV2 = Nilai NPV yang negatif (Rp)

i1 = discount rate nilai NPV yang positif (%) i2 = discount rate nilai NPV yang negatif (%)

i* = IRR (%)

Jika diperoleh nilai net B/C > 1, maka kegiatan usaha/investasi layak dilak-sanakan, tetapi jika nilai B/C < 1, maka kegiatan usaha atau investasi tidak layak untuk dilaksanakan (Nainggolan, 2009).

Untuk mendukung kelayakan usaha, perlu dilakukan pula evaluasi terhadap nilai strategis dan kekuatan dari suatu unit usaha atau perusahaan, dengan mengetahui tingkat persepsi pihak investor terhadap tingkat keberhasilan pengelolaan suatu usaha yang telah dilaksanakan.

) ( * 2 1 2 1 1 i i NPV NPV NPV i i    

(27)

2.7.5 Indeks Performance Analysis (IPA)

Indeks performance Analysis (IPA), merupakan metode yang sangat lazim digunakan suatu organisasi atau unit usaha untuk mengukur atau mengevaluasi per-sepsi tingkat kepuasan pelanggan dan pihak terkait terhadap kinerja layanan yang diberikan.

Metode tersebut digunakan untuk mengukur persepsi investor terhadap kegiat-an usaha ykegiat-ang telah dilakskegiat-anakkegiat-an. Pengukurkegiat-an tingkat kepuaskegiat-an persepsi investor dengan menggunakan Skala Likert, dengan memberikan pembobotan terhadap nilai Persepsi Kinerja yang telah dilaksanakan organisasi dan Tingkat Kepentingan Kinerja tersebut menurut persepsi pelanggan atau investor (Santoso, 2009).

Tingkat Kinerja dinilai sesuai skala bobot dari Sangat Puas (bobot 5) sampai Sangat Tidak Puas (bobot 1). Tingkat kepentingan, dinilai dengan skala bobot dari Sangat Penting (bobot 5) hingga Sangat Tidak Penting (bobot 1).

Setiap responden investor terpilih sebagai sampel untuk dianalisis persepsinya, akan mendapat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh investor dengan mema-sukan nilai skala bobot tersebut sesuai tingkat kinerja dan tingkat kepentingannya. Hasil pengisian kuesioner kemudian dibuat grafik kuadran IPA, yang dapat menun-jukkan kesimpulan persepsi investor akan berada pada kuadran I sampai IV.

Gambar

Tabel  2  :  Perbandingan  Pertumbuhan  tanaman  Jati  Plus  Perhutani  (JPP) Pada  Umur yang Sama
Gambar 2 :   Ilustrasi Perhitungan Kubikasi  Pohon Jati JUN Usia 5 Tahun  Gambar 1 :  Akar Tunjang Majemuk JUN
Gambar 3 : Jati Unggul Nusantara (JUN) Pada Berbagai Umur Tanam
Tabel 3 : Harga dasar kayu jati  Jeblosan Non Trimming Kualitas Utama.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua

Dengan data riwayat pasien/klien, fisioterapis dapat mengidentifikasi kebutuhan  pencegahan dan problematik yang ditemukan melalui pemeriksaan dan menjadikannya  pertimbangan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tekanan yang telah di distribusikan oleh aliran air radiator (cooling water) terhadap lower hose radiator

Hasil analisis data dengan menggunakan uji wilcoxon signed rank test didapatkan p-value = 0,014 lebih kecil dari pada α (α = 0,05) maka H0 ditolak artinya ada pengaruh

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh penulis, penulis menemukan masalah yang ada dalam buku ini adalah desain dan tata letak yang kurang tepat, dalam hal ini sehubungan dengan

Pencapaian tujuan belajar berarti akan menghasilkan hasil belajar. Dengan berakhirnya suatu proses belajar maka biasanya siswa memperoleh suatu hasil belajar. Hasil belajar

Lainsäädännön näkökulmasta voidaan pitää ongelmallisena sitä, että häirintä on määritelty tasa-arvolaissa (seksuaalinen ja muu sukupuoleen perustuva häirintä) ja