BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.5. Penelitian Sebelumnya.
Beberapa hasil penelitian sebelumnya terkait analisis potensi dan arah pengembangan desa pesisir disajikan pada tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1. Hasil-hasil penelitian terdahulu
No. Nama Judul Variabel/Metode Kesimpulan
[1] [2] [3] [4] [5] 1 Achmad Fahrudin (1996) Analisa Ekonomi Pengelolaan Lahan Pesisir Kabupaten Subang, Jawa Barat
Penilaian Ekonomi Sumber Daya Pesisir dilakukan dengan Tiga Tahap: Tahap identifikasi manfaat dan keterkaitan antar komponen sumberdaya Tahap kuantifikasi manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang Tahap penilaian
alternatif alokasi pemnfaatan lahan pesisir
Lahan pesisir Kabupaten
Subang yang
dimanfaatkan untuk hutan mangrove dengan pola tambak tumpangsari seluas 5.328,60 ha dengan nilai ekonomi Rp.79,92 milyar/tahun. Untuk tambak rakyat seluas 8.354,28 ha (Rp.14,87 milyar/tahun) Untuk meningkatkan
nilai ekonomi total lahan lebih baik dengan meningkatkan
produktifitas 3.420,72 ha tambak dari 8.354,28 ha tambak yang sudah ada 2 Andreas D. Patria (1999) Analisis Kebijakan Pengembangan Pariwisata Pesisir dengan Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir yang Berkelanjutan (Studi Kasus di Pesisir Utara Pulau Bintan Kepulauan Riau)
Manfaat dan kerugian (biaya) yang dirasakan masyarakat dengan AHP, Analisis dinamika perilaku masyarakat
Terjadi perubahan pola hidup masyarakat dan kesenjangan pendapatan dan kesempatan kerja Sistem ganti rugi telah
menyebabkan mayarakat kehilangan hak atas tanah dan akses ke peraiaran
Terjadinya kesenjangan struktur penguasaan lahan
No. Nama Judul Variabel/Metode Kesimpulan
[1] [2] [3] [4] [5]
3. Harrison (2000) Analisa Kebijakan Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Kapet Batulicin Kota Baru Kalimantan Selatan
Analisis kebijakan dengan Analytical Hierarchy Process (AHP)
Permasalahan paling
dominan adalah
koordinasi dari setiap sektor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya mangrove Adanya tumpang tindih
fungsi dan kewenangan serta produk peraturan antara Dinas Kehutanan dan Pariwisata
Untuk meningkatkan nilai ekonomi total lahan lebih baik dengan meningkatkan
produktifitas 3.420,72 ha tambak dari 8.354,28 ha tambak yang sudah ada 4. Marintan Rosienti
Sinurat (2000)
Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Wilayah Pesisir Timur Rawa Sragi Kabupaten Lampung Selatan
Analisis evaluasi lahan, Penentuan prioritas kegiatan pemanfaatan ruang, Analisis fungsi dan wewenang kelembagaan,
Analisis SWOT
kelembagaan
Evaluasi kesesuaian lahan pertanian sawah pada umumnya sangat sesuai
Prioritas penggunaan lahan menurut persepsi masyarakat adalah tambak
Faktor yang
mempengaruhi
terjadinya konflik dalam pemanfaatan ruang adalah terjadinya penyimpangan
pemanfaatan ruang 5. Sugiarti (2000) Analisis Kebijakan
Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir di Kota Pasuruan Prioritas Penggunaan Lahan, Persepsi Stakehoolder, SIG Aspirasi masyarakat merupakan elemen penting dalam pengunaan lahan pantai dan perubahannya 6. Bambang Deliyanto (2001) Studi Evaluasi Dampak Pembangunan Wisata Bahari terhadap Lansekap Lahan Pantai Observasi Lapangan Parameter Lansekap Pantai, Persepsi dan Aspirasi Masyarakat, Rencana Tata Ruang Wilayah
Perlu adanya
pengembangan dampak positif yang disertai pengelolaan dampak negatif
pada kegiatan
pengembangan wisata bahari
No. Nama Judul Variabel/Metode Kesimpulan [1] [2] [3] [4] [5] 7. Zarmawis Ismail (2001) Pengembangan Potensi Sosial Ekonomi Masyarakat Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan Aspek Sosial (kependudukan dan aktivitas masyarakat), Aspek Ekonomi (pekerjaan, pendapatan dan sarana/prasarana) Aspek Kebijakan Pemerintah Aspek Lingkungan Konsep pengembangan potensi sosial ekonomi harus didasarkan pada analisis faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan
yang dihadapi
masyarakat wilayah pesisir dan faktor-faktor yang memfasilitasi upaya pengembangan
Konsep pengembangan potensi sosial ekonomi harus disesuaikan dengan kemampuan daerah 8. M. Saleh Oesman (2002) Pola Keterkaitan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Pantai Secara Berkelanjutan dalm Pembangunan Wilayah di Kabupaten Lombok Timur Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, Kelembagaan, Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Secara Parsial
Terdapat 5 (lima) dimensi keterkaitan yaitu:
Dimensi produksi Dimensi kesejahteraan Dimensi pola hubungan
antar stakeholders Dimensi pembangunan wilayah Dimensi kelembagaan 9. Slamet Tarno (2002) Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat Berdasarkan Pendekatan Sosiolinguistik (Studi Kasus Pengelolaan Wilayah Pesisir di Provinsi Lampung) Prilaku Sosial-Komunikasi, Karakter Ruang Sosial, Analisis Spasial
Interaksi perilaku sosial ekonomi komunitas dialek keterkaitannya dengan sumberdaya pesisir masih kecil Prilaku sosiolingistik
komunitas dialek dalam pengelolaan pesisir masih kecil 10. Yulia Asyiawati (2002) Pendekatan Sistem Dinamik Dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir (Studi Kasus Wilayah Pesisir Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
Kompleksitas kehidupan masyarakat dan aneka
ragam konflik
menyangkut lokasi dan perolehan lahan
Faktor yang mempengaruhi penataan ruang wilayah pesisir Kabupaten bantul adalah:
Luas lahan pesisir, luas lahan kegiatan usaha, jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja, produksi dan produktivitas lahan kegiatan usaha serta kebijakan pemerintah
No. Nama Judul Variabel/Metode Kesimpulan
[1] [2] [3] [4] [5]
11. Rika Ventina dan Kasyful Mahalli (2006)
Perencanaan Wilayah Pesisir Sebagai
Dampak Proyek
Marine and Coastal Resources
Management Project (MCRMP) (Studi kasus di Desa Gambus Laut Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batubara)
Peningkatan kapasitas dan pemberdayaan
masyarakat, Jumlah produksi, Harga jual dan Pendapatan nelayan
Terjadi peningkatan jumlah produksi ikan,
harga jual dan
pendapatan masyarakat Peranan institusi semakin
meningkat, khususnya kelompok nelayan yang berakibat terhadap peningkatan aktivitas ekonomi 12. Maykel A. J. Karauwan (2007) Kajian Pengelolaan Ekosistem Pesisir di Sekitar Kawasan Reklamasi Teluk Manado Provinsi Sulawesi Utara
Kondisi ekosistem pesisir di sekitar kawasan reklamasi Teluk Manado, Pemanfaatan sumberdaya lingkungan pesisir
Telah terjadi perubahan ekosistem pesisir dan laut yang berpengaruh terhadap mangrove, lamun dan terumbu karang 13. Agus Purwoko, Sumono, Sirojuzilam, Tavi Supriana (2009) Analisis Perencanaan Peruntukan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Untuk Pengembangan Wilayah di Kawasan Pesisir Kabupaten Deli Serdang
Bahan dan peralatan: citra satelit Landstat ETM tahun 2006, 2008 dan lainnya, peta rupa bumi
kecamatan-kecamatan yang
termasuk dalam
wilayah penelitian, peta administrasi sampai tingkat desa serta data
sosial ekonomi
masyarakat.
Analisis: analisis biofisik, analisis regresi dan analisis jalur
Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dan kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai dipengaruhi secara bersama-sama oleh intensitas pengamanan,
penebangan kayu bakau, kegiatan pertambakan, kegiatan perkebunan, pemanfaatan hasil hutan non kayu, intensitas penyuluhan, kedekatan
dengan industri
pengolahan kayu bakau, keberadaan kelompok dan lembaga swadaya masyarakat, dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan Pengembangan wilayah di kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai dipengaruhi bersama-sama oleh tingkat kerusakan dan kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove
No. Nama Judul Variabel/Metode Kesimpulan
[1] [2] [3] [4] [5]
14. Basah Hernowo (2009)
Kajian Pembangunan Ekonomi Desa Untuk Mengatasi Kemiskinan
Kondisi Wilayah, Kondisi Ekonomi Desa, Potensi
Desa Persepsi
Stakeholder, Sosial
Ekonomi Desa,
Kelembagaan Desa
Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan di desa dipengaruhi tipologi desa Terpenuhinya prasarana dan sarana desa belum mampu untuk menjadi stimulus penggerak ekonomi desa
15. Abdul Rasid Salim (2010) Kajian Pemanfaatan Pesisir yang Berwawasan Lingkungan (Studi Kasus Desa
Batubarani dan Desa Guangobotu
Kecamatan Kabila Kabupaten
Bonebolongo)
Identifikasi kondisi eksisiting lingkungan dan sosial ekonomi, Analisis SWOT
Untuk memaksimalkan
potensi SDA dan
meminimalkan kondisi yang mengakibatkan degradasi ekosistem
lingkungan dan
pemanfaatan ruang pesisir, diperlukan suatu rencana strategi, zonasi, pengelolaan, di dukung pengawasan masyarakat dan pemerintah agar terciptanya keberlanjutan pembangunan (Sustanable Development)
16. Dwi Ari Priyanto (2010)
Analisis
Pengembangan Desa-Desa Pantai Bagi Pengelolaan Konflik Penangkapan Ale-Ale (Meretrix Spp) Di Perairan Ketapang Kalimantan Barat Identifikasi konflik, Menggali aspirasi nelayan
dan pandangan
stakeholder, Keragaan relatif
Adanya pengolahan dan tipologi konflik: alokasi internal, yurisdiksi perikanan dan mekanisme pengelolaan Nelayan umumnya menginginkan bimbingan teknis pengolahan dan pemasaran serta diversifikasi produk olahan. Sedangkan stakeholder cenderung memilih industri sebagai arah pengembangan Terdapat 5 (lima) faktor
yang mencirikan tipologi wilayah 17. Abdul Kohar Mudzakir (2011) Dampak Pengembangan Perikanan Budidaya terhadap Penurunan Kemiskinan, Peningkatan Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja di Jawa Tengah
Melakukan estimasi tingkat produksi, Nilai
produksi, PDRB
perikanan budidaya, Peningkatan pendapatan
dan penurunan
kemiskinan serta
Penyerapan tenaga kerja pada tahun 2014
Sampai dengan tahun 2014 ditargetkan: Produksi perikanan budidaya sebesar 956.882 ton dan menghasilkan PDRB 11,3 trilyun rupiah Terjadi penurunan
jumlah penduduk miskin sebesar 491.784 orang Terjadi penyerapan
tenaga kerja sebesar 370.000 orang
2.2. Pengertian Wilayah Pesisir
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Selanjutnya dalam Lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.34/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut: ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Batasan di atas menunjukkan bahwa tidak terdapat garis batas nyata wilayah pesisir. Batas tersebut hanyalah garis khayal yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Ditempat yang landai garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai, dan sebaliknya untuk wilayah pantai yang terjal. Pengertian tersebut mengindikasikan terjadinya interaksi antar ekosistem perairan pesisir sehingga memunculkan kekayaan potensi habitat pesisir yang beragam. Namun demikian, kondisi hidup habitat pesisir seperti ini berpotensi mudah mengalami kerusakan akibat kegiatan manusia yang tidak bertanggung jawab.
Menurut Dahuri (2001), terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua
macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore). Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir mempunyai dua karateristik, yaitu sebagai wilayah pertemuan antara daratan dan lautan dan sebagai tempat hidup beragam ekosistem yang saling berinteraksi sehingga memungkinkan dapat diakses dengan mudah oleh aktivitas manusia. Masyarakat yang tinggal pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil disebut masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir dimaksud adalah nelayan, pembudidaya, pemasar ikan, pengolah hasil laut, dan masyarakat pesisir lainnya yang menggantungkan kehidupannya dari sumber daya kelautan dan perikanan.
2.3. Pengertian Potensi Pesisir dan Permasalahannya
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), potensi diartikan sebagai segala sesuatu yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan. Oleh karena wilayah pesisir memiliki kekayaan sumberdaya alam dan manusia (generasi muda) yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan, maka potensi pesisir dapat diartikan sebagai segala sumberdaya alam dan manusia pesisir yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan bagi kesejahteraan hidup masyarakat pesisir. Pengembangan dimaksud dapat dilakukan melalui suatu proses pembangunan yang memanfaatkan segala potensi pesisir.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok: (1) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (2) sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources), dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services) (Dahuri et al., 2001).
Seperti terjadi pada wilayah lainnya, pemanfaatan potensi pesisir dalam pembangunan wilayah pesisir juga tidak luput dari masalah, khususnya sumberdaya pesisir yang dapat pulih. Secara garis besar, gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan lautan di Indonesia meliputi: pencemaran, degradasi fisik habitat, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan bencana alam. Keberadaan masalah tersebut menyebabkan potensi wilayah pesisir tidak dapat digunakan sesuai dengan mutu dan fungsinya untuk kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pesisir. Berdasarkan gambaran Poverty Headcount Index, 32 % masyarakat pesisir tergolong miskin. Dari data penduduk, sebanyak 16.420.000 jiwa masyarakat Indonesia hidup di 8.090 desa pesisir, sebagian masih tergolong miskin (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012).
2.4. Pengembangan Wilayah
Pengembangan adalah upaya memajukan, memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Pengertian pengembangan berbeda dengan pengertian pembangunan, namun dalam aktualisasinya tidak mudah membedakan kedua pengertian tersebut. Oleh karena itu pada hakekatnya pengertian pengembangan sudah termasuk dalam pengertian pembangunan (Jayadinata, 1992 dalam Ventina 2006).
Pengembangan wilayah selanjutnya dapat didefinisikan sebagai upaya menata ruang dan memanfaatkan sumberdaya yang ada secara lebih optimal dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sukirno (2000) membedakan wilayah atas tiga pengertian yaitu :
1. Wilayah homogen, yaitu dimana kegiatan ekonomi yang berlaku di berbagai pelosok ruang mempunyai sifat yang sama, antara lain ditinjau dari segi pendapatan perkapita dari segi struktur ekonomi.
2. Wilayah modal, merupakan suatu wilayah sebagai ruang ekonomi dikuasai oleh beberapa pusat kegiatan ekonomi.
3. Wilayah administrasi, yaitu suatu wilayah yang didasarkan atas pembagian administrasi Pemerintahan.
Selanjutnya Anwar (1999) dalam Priyanto (2010) menyatakan bahwa pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah. 2.5. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Paradigma pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi perlu digandeng dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh World Commission on
Environment and Development (1987), adalah ”pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan generasi saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang memenuhi kebutuhannya”. Konsep pembangunan yang berkelanjutan tersebut telah menjadi kesepakatan hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia sejak KTT Bumi di Rio de Janeiro 1992.
Menurut (Dahuri et al., 2001), secara ekologis terdapat empat persyaratan utama yang menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan, (3) membuang limbah sesuai kapasitas asimilasi lingkungan dan (4) mendesain dan membangun prasarana dan sarana sesuai karakteristik serta dinamika ekosistem pesisir dan lautan.
2.6. Kerangka Pemikiran
Perkembangan Kabupaten Batu Bara yang pesat tentunya akan membawa pengaruh besar terhadap lingkungannya termasuk lingkungan pesisir. Hal ini karena perkembangan kota akan diiringi dengan perkembangan teknologi, industri, pertumbuhan penduduk, sarana pemukiman, fasilitas umum dan sosial, serta sarana transportasi yang akan memberikan tekanan terhadap lingkungan.
Apabila hal ini tidak dikelola dengan baik, maka sangat mungkin akan menimbulkan masalah lingkungan (fisik, kimia, biologi, sosial, ekonomi dan budaya) yang lebih kompleks dan mengakibatkan degradasi lingkungan pesisir yang pada akhirnya akan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir terutama nelayan. Kondisi eksisting di pesisir Kabupaten Batu Bara antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kondisi Biofisik
Kabupaten Batu Bara memiliki hutan mangrove yang cukup luas, namun saat ini telah terjadi kerusakan yang cukup serius. Selain itu Kabupaten Batu Bara memiliki potensi sumberdaya perikanan tangkap dan budidaya yang cukup tinggi, namun terjadi ancaman salah satunya akibat pengelolaan tambak yang tidak berwawasan lingkungan serta limbah dari industri dan rumahtangga.
b. Kondisi Sosial Ekonomi
Posisi Kabupaten Batu Bara masih menyimpan potensi yang sangat besar dalam objek wisata bahari, karena selain jarak yang tidak terlalu jauh, adanya dukungan masyarakat dan pemerintah juga serta adanya potensi atraksi budaya dan wisata kuliner yang menjanjikan. Namun pada kenyataannya potensi besar ini belum dikelola secara optimal. Permasalahan sosial ekonomi yang sangat nyata adalah masih rendahnya kualitas sumber daya manusia yang ditunjukkan dengan tingkat pendidikan penduduk yang pada umumnya hanya tamat sekolah dasar serta masalah kemiskinan yang masih tinggi.
c. Kondisi Kelembagaan
Kelembagaan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pengelolaan pesisir secara terpadu. Hal yang menjadi masalah berkenaan dengan kelembagaan dalam pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Batu Bara, antara lain: institusi pengelola wilayah pesisir belum berungsi secara optimal, rendahnya penataan dan penegakan hukum disamping belum adanya peraturan daerah yang mengatur secara khusus pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan, serta penataan ruang wilayah pesisir yang belum optimal.
Berdasarkan kondisi tersebut atas, Pemerintah Daerah Kabupaten Batubara bekerja sama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak tahun 2003 melaksanakan Proyek Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut/Marine and Coastal Resources Management Project
(MCRMP) yang dalam hal ini lokasinya terletak di desa Gambus Laut Kecamatan
Lima Puluh. Berdasarkan perencanaan desa yang telah disusun oleh masyarakat secara partisipatif melalui program Adaptive Research and Extention (ARE) dan
Small Scale Natural Resources Management (SSNRM) tahun 2004, diperoleh data
dan informasi bahwa permasalahan yang terjadi di desa ini mencakup aspek lemahnya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut seperti konversi ekosistem mangrove, belum berkembangnya mata pencaharian alternatif selain perikanan dan masalah kelembagaan. Dalam program ARE dan SSNRM tahap satu, progam yang telah dikembangkan di Desa Gambus Laut adalah rehabilitasi kawasan pesisir melalui penanaman mangrove, pengembangan mata pencaharian alternatif (MPA), dan pengembangan serta penguatan kelembagaan pemerintahan desa serta masyarakat lokal. Pada tahun 2005 Pemerintah Daerah Kabupaten Batu Bara mengembangkan program pengelolaan sumberdaya pesisir di Desa Gambus Laut Kecamatan Lima Puluh melalui Small Scale Natural Resources Management
(SSNRM) dengan tujuan untuk memperkuat dan memecahkan berbagai
permasalahan yang ada. Namun demikian walaupun berbagai program telah dilaksanakan dan menunjukkan keberhasilan namun belum mampu juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir secara luas dan merata.
Analisis pengembangan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan analisis tipologi wilayah. Analisis tipologi wilayah ini terbagi atas dua, yaitu analisis skalogram yang bertujuan untuk melihat keragaan relatif tingkat perkembangan desa/kelurahan pesisir dibanding dengan desa/kelurahan umumnya di Kabupaten Batu Bara dan analisis multivariate yang terdiri dari analisis komponen utama (Principal Component Analysis = PCA), analisis kelompok
(Cluster Analysis), dan analisis fungsi diskriminan (Discriminant Function Analysis = DFA) yang bertujuan melihat keterkaitan antara tipologi dan
hasil analisis tipologi dituangkan dalam peta melalui deskripsi spasial menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Hasil analisis ini kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk menyusun strategi pengembangan dan pengelolaan desa-desa pesisir Kabupaten Batu Bara. Secara singkat, kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Kerangka pemikiran penelitian
Kondisi Eksisting Wilayah Pesisir Kabupaten Batu Bara
Permasalahan Desa-Desa Pesisir Kabupaten Batu Bara Belum optimalnya arahan pengembangan
Analisis Pengembangan
Analisis Tipologi Wilayah
Keragaan relatif tingkat perkembangan desa-desa pesisir dibanding desa-desa lainnya di
Kabupaten Batu Bara
Karakteristik masing-masing cluster perkembangan desa
Deskripsi Spasial (tampilan peta) dengan SIG