• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Umum

Terdapat beberapa solusi alternatif untuk timbunan di atas tanah lunak. Solusi ini bergantung terhadap masalah yang dihadapi.

Untuk masalah stabilitas, daya dukung tanah yang akan mengganggu stabilitas dari timbunan. Hal ini menyebabkan tinggi timbunan yang dapat dilakukan akan sangat terbatas. Solusi yang dapat diambil adalah pengurangan beban timbunan, untuk timbunan yang tinggi perlu dilakukan secara bertahap (stage construction) atau peningkatan daya dukung tanah dengan cara pengalihan beban dari tanah lunak ke struktur kolom yang ditanamkan dan penggunaan berm.

Untuk masalah penurunan yang berlebih, penurunan konsolidasi dari tanah pondasi akan memakan waktu yang lama. Solusi yang tepat untuk percepatan waktu penurunan adalah dengan mempercepat laju drainase air pori pada excess pore water akibat pembebanan. Alternatif di atas dapat diuraikan seperti Gambar 2.1.

(2)

Pekerjaan perbaikan tanah yang dilakukan pada proyek pembangunan jalan bebas hambatan Medan-Kualanamu terdiri dari 3 jenis, yaitu:

a. Penggantian tanah lunak b. Preloading

c. Preloading dengan vertical drain

Pada kasus proyek pembangunan jalan bebas hambatan Medan-Kualanamu KM 35+622,42 menggunakan tipe perbaikan tanah model c.

(3)

Urutan pelaksanaan pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 2.2. Urutan pekerjaan ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi lapangan dan atas persetujuan pemberi tugas / konsultan pengawas.

Berdasarkan konsep dasar sifat mekanika tanah terhadap beban yang memiliki nilai permeable rendah bahwa proses konsolidasi tidak akan berhenti hingga excess pore water bernilai nol atau terdisipasi semua. Lama durasi konsolidasi tersebut berdasarkan jenis tanah dan cara pengaliran excess pore water (semakin jauh aliran drainase maka, semakin lama proses konsolidasi yang terjadi). Gagasan dalam penggunaan adalah PVD untuk mengurangi panjang aliran dan mengurangi lama konsolidasi.

Penggunaan vertical sand drain pertama kali dilakukan oleh Daniel D. Moran pada tahun 1925 dan dipatenkan tahun 1926. Dia juga mengemukakan bahwa aplikasi pertama sand drains adalah untuk menstabilisasi tanah berlumpur pada jalan San Francisco Oakland Bay Bridge (Johnson,1970). Sand drains ini terpasang dengan ukuran diameter 40 – 60 cm.

Tipe vertical band drains atau sering disebut sebagai wick drains pertama kali diperkenalkan oleh Walter Kjellman di Swedish Geotechincal Institute, Swedenia pada tahun 1947. Wick drains ini terbuat dari dua carboard yang dilem bersamaan dengan ukurannya masing-masing 100 * 3 * 1 mm. Efisiensi wick drains pertama kali diuji dengan skala penuh di daerah Lilla Mellosa, pada pembangunan Stockholm International Airport dengan masa pembuatan antara tahun 1945 dan 1947.

Wick drains digunakan untuk mempercepat konsolidasi tanah lunak berpermeabilitas rendah. Dipasang dalam pola grid yang dirancang untuk mencapai waktu optimal dengan biaya efisien. Bentuk yang paling umum dari vertical drain adalah bentuk strip yang ditanam ke dalam tanah menggunakan alat pancang dan mandrel. Vertical drain telah digunakan lebih dari setengah abad yang diklaim lebih praktis dan efektif dalam mempercepat penurunan.

Band drains dan sand drains keduanya berada hampir pada masa yang bersamaan. Akan tetapi band drains lebih dikenal ketika diperkenalkan di Jepang. Pasar band drains dibuka hingga geodrains diperkenalkan di Swedish Geotechnical Institute (Boman,1973). Pada awalnya band drains memiliki lapisan penyaring

(4)

dengan material kertas tebal dan akhirnya digunakan material sintetik. Yang mana lapisan tersebut harus memiliki kekuatan untuk mencegah jangan sampai terselip ke dalam saluran. Fungsi utama dari lapisan itu adalah untuk mencegah penyumbatan partikel–partikel tanah halus pada saluran di dalam inti. Drainase cetakan dipasang dengan cara menyelipkan drainase cetakan ke dalam lubang bor atau dengan menempatkannya di dalam sebuah paksi (mandrel) atau selubung (casing) yang kemudian dipancang ke dalam tanah atau digetarkan di tanah.

Metode tradisional dalam membuat vertical drain adalah dengan membuat sistem drainase yang terdiri dari material yang mempunyai nilai permeabilitas tinggi yang hendak ditanam pada lapisan tanah lunak atau lapisan lempung, yang memiliki diameter lubang sekitar 200–600 mm dan saluran drainase tersebut dibuat dengan kedalaman lebih dari 5 meter. Material tersebut dapat berupa kolam pasir, pasir harus dapat dialiri air secara efisien tanpa membawa partikel–partikel tanah lempung.

Sistem drainase cetakan terdiri dari bahan pelindung sintetis yang terbuat dari bahan woven polpropylene yang juga banyak digunakan dan biasanya lebih murah daripada drainase urugan untuk suatu daerah tertentu. Salah satu jenis drainase cetakan adalah prepackage drain yang terdiri dari sebuah selubung filter, bahan ini berfungsi sebagai pembatas agar partikel tanah lunak tidak masuk ke dalam saluran plastik, yang diisi pasir dengan diameter 4,75 mm. Sedangkan lubang – lubang atau saluran plastik berfungsi untuk menyediakan lintasa aliran. Jenis ini sangat fleksibel dan biasanya tidak terpengaruh oleh adanya gerakan–gerakan tanah lateral.

Beberapa teknik pemasangan band drains telah teraplikasikan, konsep dasar pemasangan menurut Walter Kjellman terdapat dua metode bahwa saat pemasangan tidak boleh terjadi penurunan. Beberapa metode tersebut adalah dengan menggunakan tempurung, pengeboran manual dengan auger, mesin pengebor, water-jetting, flight augering dan wash boring. Metode kedua adalah saat pemasangan terjadi penurunan, metode ini menggunakan pemasangan mandrel.

Vertical drains dipasang di dalam badan mandrel. Mandrel bermaterialkan besi yang berfungsi untuk melindungi drains dari kerusakan. Setelah mandrel terpasang, mandrel wajib digunting ± 50 cm diatas sand blanket.

(5)

2.2. Prefabricated Vertical Drain (PVD)

PVD merupakan material geosintetik yang konsep kerjanya sama dengan kolam pasir yang mempunyai karakteristik sebagai pengumpul air pori kemudian akan dialirkan secara vertikal baik ke atas maupun ke bawah lapisan tanah sepanjang PVD tersebut. Laju konsolidasi yang rendah pada lempung jenuh dengan permeabilitas rendah dapat dinaikkan dengan menggunakan PVD. Kemudian konsolidasi yang diperhitungkan akibat pengaliran horizontal radial yang menyebabkan disipasi kelebihan tekanan air pori yang lebih cepat, sedangkan pengaliran vertikal sangat kecil pengaruhnya. Dalam teori, besar penurunan konsolidasi akhir adalah sama, hanya laju penurunannya yang berbeda-beda.

Gambar 2.3 Aliran Air Pori Pada Vertikal Drain

Langkah–langkah yang dilakukan untuk perbaikan tanah dengan metode vertical drain adalah

1) Uji laboratorium; pengujian di laboratorium diawali dengan pengambilan sampel di lapangan dengan menggunakan alat SPT pada titik pengamatan. Sampel tersebut kemudian dibawa ke laboratorium dan diuji sesuai dengan prosedur. Dari pengujian tersebut diperoleh parameter-parameter yang diperlukan sebagai berikut; indeks pemampatan (Cc) dan koefisien

(6)

2) Perencanaan vertical drain; data yang diperoleh dari uji di laboratorium selanjutnya digunakan pada perencanaan vertical drain. Kemudian diameter dan jarak kolom dari vertical drain ditetapkan.

3) Analisa stabilitas dan penurunan; analisa stabilitas dan penurunan pada tanah perlu dilakukan dalam perencanaan suatu bangunan terutama pekerjaan konstruksi, dengan tujuan untuk mengetahui keamanan dari hasil yang direncanakan.

Gambar 2.4 Skema Tanah Pada Penampang PVD Berbentuk Silinder

(7)

Dalam merencanakan PVD ada dua hal yang harus diperhatikan :

1) Pengaruh jarak PVD terhadap kecepatan proses konsolidasi. Jarak antara PVD ini memberikan pengaruh terhadap lintasan drainase dari air pori tanah secara horizontal. Semakin jauh jarak antar PVD ini mengakibatkan semakin jauh pula jarak yang harus ditempuh air untuk keluar sehingga semakin lama konsolidasi. Jarak minimum yang diperbolehkan adalah sebesar 1 m sebab jika lebih kecil dari 1 m dapat menurunkan kekuatan tahanan geser tanah.

2) Pengaruh panjang PVD terhadap kecepatan proses konsolidasi. Pada proses konsolidasi PVD hanya mempercepat proses konsolidasi dan memperpendek pada daerah sepanjang PVD, sedangkan untuk daerah di bawahnya hanya akan mengalami konsolidasi biasa

(8)

2.1.2. Tranformasi Tampang Vertical Drain

Ukuran band drain ini adalah (100 * 3,3) mm dengan bentuk penampang persegi panjang. Pada saat dilakukan perhitungan terhadap (PVD) tersebut maka penampang dari PVD akan dimodelkan menjadi berbentuk lingkaran dengan perhitungan diameter ekivalen yang diasumsikan sebagai Keliling

π . (Hansbo,1960).

Asumsi tersebut didasarkan pada rumusan dibawah ini:

Keliling lingkaran = Keliling persegi panjang

(2.1)

dimana :

dw = Diameter Vertical Drain (cm)

p = Lebar PVD (cm) l = Panjang PVD (cm)

2.2.2. Daerah Pengaruh Pemasangan PVD (Smear Zone)

Efek kerusakan parameter konsolidasi yang diakibatkan oleh pemasangan vertical drain disebut sebagai smear zone. Menurut Sing dan Hattab, 1979 ; Bergado et al., 1993 ang mempengaruhi nilai smear zone adalah struktur tanah,

Gambar 2.6 Transformasi Tampang Vertical Drain 𝜋 ∗ 𝑑𝑤 = 2 (𝑝 + 𝑙)

𝑑𝑤 =

2 (𝑝 + 𝑙) 𝜋

(9)

dimensi mandrel. Dua permasalahan yang sering ditemukan yaitu menentukan nilai ds (daerah terganggu), dan menentukan efek smear pada permeability.

Karena tujuannya adalah untuk mengurangi panjang lintasan pengaliran, maka jarak antara drainase merupakan hal yang terpenting. Drainase tersebut biasanya diberi jarak dengan pola bujur sangkar atau segitiga. Jarak antara drainase tersebut harus lebih kecil daripada tebal lapisan lempung dan tidak ada gunanya menggunakan vertical drain dalam lapisan lempung yang relatif tipis. Untuk mendapatkan desain yang baik, koefisien konsolidasi horizontal dan vertikal (Ch

dan Cv) yang akurat sangat penting untuk diketahui. Biasanya rasio Ch

Cv terletak

antara 1 dan 2. Semakin tinggi rasio ini, pemasangan PVD semakin bermanfaat. Nilai koefisien untuk lempung di dekat drainase kemungkinan menjadi berkurang akibat proses peremasan (remoulding) selama pemasangan pengaruh tersebut dinamakan (smear zone). Efek pelumasan ini dapat diperhitungkan dengan mengasumsikan suatu nilai Ch yang sudah direduksi atau dengan menggunakan

diameter drainase yang diperkecil. Masalah lainnya adalah diameter sand drain yang besar cenderung menyerupai tiang-tiang yang lemah, yang mengurangi kenaikan tegangan vertikal dalam lempung sampai tingkat yang tidak diketahui dan menghasilkan nilai tekanan air pori berlebih. Vertical drain tidak baik untuk tanah yang memiliki rasio kompresi sekunder yang tinggi,seperti lempung yang sangat plastis dan tanah gambut, hal ini dikarenakan laju konsolidasi sekunder tidak dapat dikontrol oleh drainase vertikal.

Nilai daerah pengaruh pengaliran pemasangan PVD yang disebut sebagai diameter eqivalen (de), tergantung kepada pola pemasangan dan jarak pemasangan

PVD.

Untuk pola pemasangan yang berbentuk segitiga maka nilai :

de = 1,050 S (2.2)

Sedangkan untuk pola pemasangan yang berbentuk segiempat maka nilai :

de = 1,130 S (2.3)

dimana :

𝑆 = Jari − Jari PVD

(10)

PVD dimasukkan ke dalam tanah dengan menggunakan mandrel dan di ujungnya diberikan sepatu. Akibat pemasangan ini, maka lapisan tanah yang ditusuk mandrel akan terganggu. Gangguan yang terjadi tersebut disebut smear zone sedangkan akibatnya akan terjadi pengurangan nilai koefisien permeabilitas tanah arah radial (kr).

Efek smear zone adalah berkurangnya nilai koefisien untuk tanah lempung di dekat PVD atau diameter PVD yang digunakan diperkecil, hal ini disebabkan proses peremasan (remoulding) selama pemasangan PVD.

Jamiokowski et. Al., 1983. Hansbo 1987, Miura et. Al, 1993 merekomendasikan untuk suatu perencanaan diameter smear zone dapat diestimasi (2-3) kali diameter mandrel.

ds = (2-3) dm (2.4)

dm = √ 4 ∗ Am

π (2.5)

dimana :

ds = Diameter smear zone dm = Diameter mandrel Am = Luasan ukuran mandrel

Pola Persegi Pola Segitiga Gambar 2.7 Pola Pemasangan PVD

(11)

2.2.3. Jari – Jari Smear Zone

Smear zone adalah sand drain yang terbuat dari peremasan tanah lempung selama operasi pengeboran vertical drain, hal ini mengakibatkan pengurangan koefisien permabilitas arah horizontal.

Menurut jurnal Tugu Pasaribu analisa penurunan pada tanah lunak akibat timbunan (studi kasus runway bandara Kualanamu), untuk menentukan rs, adalah :

Menentukan nilai jari-jari smear zone, rs:

𝑟𝑠 = 2 100∗ ( 𝑃𝑚𝑎𝑛𝑑𝑟𝑎𝑖𝑙∗ 𝑙𝑚𝑎𝑛𝑑𝑟𝑎𝑖𝑙 𝜋 ) 0.5 (2.6) dimana :

rs = Jari-jari smear zone (cm)

𝑃𝑚𝑎𝑛𝑑𝑟𝑒𝑙 = Panjang mandrel (cm)

𝑙𝑚𝑎𝑛𝑑𝑟𝑒𝑙 = Lebar mandrel (cm)

2.3. Verifikasi Pemodelan Vertical Drain

Salah satu parameter yang penting pada analisis konsolidasi adalah koefisien permeabilitas tanah (k) yang bisa diperoleh dari pengujian laboratorium seperti : falling-head test, constant-head test. Umumnya tanah lempung mempunyai koefisien permeabilitas yang relaitif kecil dibanding dengan tanah pasir, sehingga proses konsolidasi pada tanah lempung relatif lebih lama dibanding tanah pasir.

Untuk mempercepat proses konsolidasi, dibuat suatu konstruksi vertical drain, yang ditanamkan ke lapisan tanah secara vertikal. Pola penanaman vertical drain yang terpasang di lapangan setempat-setempat, dengan jarak tertentu, sementara di dalam program elemen hingga fasilitas pengimlementasikan vertical drain bersifat menerus (plane strain). Untuk dapat mengimplementasikan vertical drain yang terpasang di lapangan ke dalam program, maka haruslah terlebih dahulu diverifikasi kedalam bentuk plane strain yang akan menghasilkan koefisien permeabilitas tanah (k) yang baru, selanjutnya dengan koefisien permeabilitas tanah yang baru tersebut proses pensimulasian pada program elemen hingga dapat dilakukan.

Menurut D. Russell, C.C Hird, dan I.C Pyrah, 1999 proses pengekivalenan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

(12)

1) Jarak antara vertical drain pada kondisi plane strain dapat diubah (perubahan geometri), dengan permeabilitas yang dibuat tetap pada kondisi axisymmetry dan plane strain (kax = kpl).

2) Permeabilitas pada kondisi plane strain dapat diubah, dengan geometri yang dibuat sama.

3) Mengkombinasikan perubahan geometri dan permeabilitas.

D.Russell,et.al, 1995 mengekivalenkan koefisien permeabilitas tanah dari kondisi axisymmetry menjadi plane strain dengan cara menyamakan debit air yang masuk pada kondisi axisymmetry dengan kondisi plane strain. Pengekivalenan koefisien permeabilitas (k) dilakukan dengan rumusan sebagai berikut :

2B 2 3 ∗ kax = R 2∗ k pl [ ln ( n s ) + ( kax ks ) ln(S) − 3 4 ] (2.7) dimana :

kax = Permeabilitas tanah arah horizontal kondisi axisymmetry kpl = Permeabilitas tanah arah horizontal kondisi plane strain ks = Permeabilitas tanah pada daerah smear zone

B = ½ dari jarak vertical drain untuk kondisi plane strain R = Jari-jari ekivalen kondisi axisymmetry

S = 𝑟𝑠

𝑟𝑤 (2.8)

n = 𝑟𝑒

𝑟𝑤 (2.9)

rs = bs = Jari-jari smear zone (cm)

re = be = Jari-jari ekivalen (setelah penampang diubah menjadi bentuk lingkaran) rw = bw = Jari-jari vertical drain

(13)

Chai, Miura, Sakajo, Bergado (1995) dalam analisa verifikasi pemodelan PVD dengan menggunakan metode elemen hingga, menyimpulkan bahwa maximum perbedaan antara kondisi plane strain dengan kondisi axisymmetry adalah 3 %. Pada pengekivalensi yang dibuat adalah settlement yang terjadi pada waktu tertentu dibuat relatif sama untuk kedua kondisi. Dengan mencoba-coba perubahan permeabilitas arah horizontal (kpl) pada kondisi plane strain. Seperti terlihat pada

Gambar 2.6

(a) (b)

Gambar 2.8 Verifikasi Bentuk Penampang PVD Dalam Pemodelan (a) Axisymmetry (b) Plane Strain

(14)

Chai dan Miura (1999) membandingkan pengekivalenan pengaruh smear zone dan pemasangan PVD yang berbentuk segiempat dengan bentuk lingkaran dengan cara menyamakan luasan daerah pengaruh. Seperempat dari potongan luasan dipakai untuk analisis metode elemen hingga seperti terlihat pada Gambar 2.7

Gambar 2.9 Perbandingan Hasil Penurunan Kondisi Axisymmetry dan Plane Strain

Gambar 2.10 Pengekivalenan Pengaruh Smear Zone Ketika PVD Berbentuk (a). Lingkaran (b). Segiempat

(15)

Hasilnya memperlihatkan derajat konsolidasi (u) yang berbentuk segiempat relatif sama dengan yang berbentuk lingkaran pada waktu yang sama.

2.4. Konsolidasi

Konsolidasi adalah suatu proses pengecilan volume secara perlahan–lahan pada tanah jenuh sempurna dengan permeabilitas rendah akibat pengaliran sebagian air pori. Proses tersebut berlangsung terus–menerus sampai kelebihan tekanan air pori yang disebabkan oleh kenaikan tegangan total benar–benar hilang. Jangka waktu terjadinya konsolidasi tergantung pada bagaimana cepatnya tekanan air pori yang berlebih akibat beban yang bekerja dapat dihilangkan. Karena itu koefisien permeabilitas merupakan faktor penting di samping penentuan berapa jauh jarak air pori yang harus dikeluarkan dari pori-pori yang ukurannya bertambah kecil untuk dapat meniadakan tekanan yang berlebihan. Kasus yang paling sederhana adalah konsolidasi satu dimensi, dimana kondisi regangan lateral nol.

Gambar 2.11 Perbandingan Derajat Konsolidasi Untuk Bentuk Smear Zone yang Berbeda-Beda

(16)

2.4.1. Konsolidasi 1-D Terzaghi

Prosedur untuk melakukan uji konsolidasi satu dimensi pertama-tama diperkenalkan oleh Terzaghi. Uji tersebut dilakukan di dalam konsolidometer (disebut juga sebagai oedometer). Skema konsolidometer ditunjukkan dalam Gambar 2.9. Contoh tanah diletakkan di dalam cincin logam dengan dua buah batu berpori diletakkan di atas dan di bawah contoh tanah tersebut, ukuran contoh tanah yang digunakan biasanya adalah diameter 2,5 inci (63,5 mm) dan tebal 1 inci (25,4 mm). Pembebanan pada contoh tanah dilakukan dengan cara meletakkan beban pada ujung sebuah balok datar, dan pemampatan (compression) contoh tanah diukur dengan menggunakan skala ukur dengan skala mikrometer. Contoh tanah selalu direndam air selama percobaan. Tiap-tiap beban biasanya diberikan selama 24 jam. Setelah itu, beban dinaikkan sampai dengan dua kali lipat dari sebelumnya, dan pengukuran pemampatan diteruskan.

Angka pori akhir pada setiap periode penambahan tekanan (beban) dapat dihitung dari pembacaan arloji pengukur dan begitu pula halnya dengan kadar air (water content) atau berat kering (dry weight) dari contoh tanah pada akhir pengujian. Berdasarkan diagram fase tanah terdapat satu metode perhitungan sebagai berikut :

Kadar air yang diukur pada akhir pengujian = Wt

∆ 𝑒 ∆ 𝐻=

1+ 𝑒𝑜

𝐻0 (2.10)

(17)

dimana :

e1 = Angka pori pada akhir pengujian = W1*Gs (diasumsikan Sr = 100%)

e0 = Angka pori pada awal pengujian

Δe = Perubahan angka pori selama pengujian = e1 - e0

H0 = Tebal contoh tanah pada awal pengujian

ΔH = Perubahan tebal selama pengujian

Dengan cara yang sama Δe dapat dihitung sampai akhir periode penambahan beban atau tekanan.

Ada tiga tahapan yang berbeda yang diperoleh dari hasil percobaan konsolidasi, yaitu :

1) Pemampatan awal (initial compression), yang pada umumnya disebabkan oleh pembebanan awal (preloading)

2) Konsolidasi primer (primary consolidation), yaitu periode selama tekanan air pori secara lambat laun dipindahkan ke dalam tegangan efektif, sebagai akibat dari keluarnya air dari pori-pori tanah.

3) Konsolidasi sekunder (secondary consolidation), terjadi setelah tekanan air pori hilang seluruhnya. Pemampatan yang terjadi disebabkan oleh penyesuaian yang bersifat plastis dari butir-butir tanah.

2.4.2. Koefisien Konsolidasi Arah Vertikal (CV)

Koefisien konsolidasi vertikal (Cv) menentukan kecepatan pengaliran air pada

arah vertikal dalam tanah. Karena pada umumnya konsolidasi berlangsung satu arah saja, yaitu arah vertikal, maka koefisien konsolidasi sangat berpengaruh terhadap kecepatan konsolidasi yang akan terjadi. Harga Cv dapat dicari mempergunakan

persamaan berikut ini : 𝐶𝑉 =

𝑇𝑉.𝐻2

𝑡 (2.11)

dimana :

Cv = Koefisien konsolidasi vertikal (cm2/detik)

Tv = Faktor waktu tergantung dari derajat konsolidasi akibat pengaliran

arah vertikal

T = Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai derajat konsolidasi (detik) H = Panjang aliran yang harus ditempuh oleh air pori selama proses

(18)

2.4.3. Koefisien Konsolidasi Arah Horizontal (Ch)

Menurut Muller dan Larsson pada jurnal Aspects on the Modelling of Smear Zones Around Vertical Drain untuk material tanah jenis lempung homogen maka nilai konsolidasi horizontal (Ch) ;

𝐶ℎ = (1 − 2) ∗ 𝐶𝑣 (2.12)

dimana :

Ch = Koefisien konsolidasi horizontal (cm2/detik)

2.4.4. Koefisien Konsolidasi Arah Vertikal Gabungan (CV)

Cv gabungan didapat dari nilai Cv dan tebal lapisan tanah setiap pengujian yang

didapatkan dari borehole.

2.4.5. Derajat Konsolidasi Arah Vertikal

Persamaan matematis untuk konsolidasi 1-D dari Terzaghi dalam menentukan nilai derajat konsolidasi arah vertikal (Uv) dapat dinyatakan dengan dua formula

berikut :  Jika Uv < 60 %, Maka Uv : UV= √ 4 Tv π ( 1+ (4 Tv π )2.8 )0.179 (2.14)  Jika Uv > 60 %, Maka Uv : UV= 1 − 8 π2 ∑ 1 (2m+1)2 ∞ m = 0 Exp − [ π2 ∗ (2m+1)2 4 ] TV (2.15) dimana :

Uv = Derajat konsolidasi arah vertikal

Tv = Faktor waktu, tergantung dari derajat konsolidasi arah vertikal (UV)

m = Bilangan integer = 0

Exp = Bilangan eksponen = 2,7182818

Cv Gabungan = ( H1+ H2+ H3+ H4+ H5)2 H1 CV1 + H2 CV2 + H3 CV3 + H4 CV4 + H5 CV5 2 (2.13)

(19)

2.4.6. Derajat Konsolidasi Arah Radial

Dengan Menggunakan metode equal strain consolidation (Baron,1948), maka untuk menentukan nilai derajat konsolidasi arah radial, Ur :

Ur = 1 − uav ui = 1 − exp ( −8Tr m ) (2.16) dimana :

Ur = Derajat konsolidasi arah radial

Tr = Faktor waktu radial

m = n2 n2− Sz2 In ( n Sz) − 3 4+ Sz2 4n2+ kr ks ( n2− Sz2 n2 ) In Sz (2.17) Sz = 𝑟𝑠 𝑟𝑤 n = 𝑑𝑒 𝑑𝑤 Kr Ks = 2

de = Diameter ekivalen (setelah penampang diubah menjadi bentuk lingkaran) dw = Diameter vertical drain

rs = Jari-jari smear zone rw = Jari-jari sand drain

ks = Koefisien permeabilitas tanah arah radial pada smear zone = (1-15) kr kr = Koefisien permeabilitas tanah arah radial = (1-15) kv

2.4.7. Derajat Konsolidasi Rata-Rata

Derajat konsolidasi tanah adalah perbandingan penurunan tanah pada waktu tertentu dengan penurunan tanah total. Menurut Carillo dalam Soedarmo G. D., dan S. J. Edy Purnomo, 1997 untuk menentukan nilai derajat konsolidasi rata – rata, U: U = 1 – (1 – Uv) (1 – Ur) (2.18)

dimana :

U = Derajat konsolidasi rata-rat Ur = Derajat konsolidasi arah radial

(20)

Variasi derajat konsolidasi rata-rata terhadap faktor waktu yang tak berdimensi, diberikan dalam Tabel 2.1, yang berlaku untuk keadaan di mana Uo

adalah sama untuk seluruh kedalaman lapisan yang mengalami konsolidasi. Tabel 2.1 Variasi Faktor Waktu Terhadap Derajat Konsolidasi

Uav % Tv 0 0 10 0.008 20 0.0314 30 0.0707 40 0.126 50 0.196 55 0.239 60 0.286 65 0.304 70 0.403 75 0.477 80 0.567 85 0.684 90 0.848 95 1.129 100 ∞

2.4.8. Faktor Waktu Konsolidasi Arah Vertikal (Tv)

Pada tanah yang tidak dikonsolidasi dengan penggunaan PVD, pengaliran yang terjadi hanyalah pada arah vertikal saja. Perhitungan nilai fakor waktu konsolidasi di lapangan dapat mempergunakan rumus sebagai berikut :

TV = Cv ∗ t

H2 (2.19)

dimana :

Tv = Faktor waktu, tergantung dari derajat konsolidasi (U)

H = Panjang maksimum lintasan drainase (cm) Cv = Koefisien konsolidasi (cm2/detik)

(21)

2.4.9. Faktor Waktu Konsolidasi Arah Radial (Tr)

Konsolidasi radial akan terjadi dalam situasi-situasi yang meliputi drainase terhadap suatu sumber pusat, seperti pada suatu vertical drain yang dipakai di bawah timbunan untuk mempercepat drainase air pori dengan mengurangi jarak drainase dan karena itu juga mempercepat konsolidasi.

Menentukan faktor waktu radial, Tr : T𝑟 = Ch ∗ t

de2 (2.20)

dimana :

Tr = Faktor waktu arah radial, tergantung dari koefisien derajat konsolidasi (U)

Ch = Koefisien konsolidasi horizontal T = Waktu konsolidasi

de = Diameter ekivalen pengaruh dari jarak pemasangan antar vertical drain

= 1,13 * jarak antar PVD, untuk pola susunan bujur sangkar = 1,05 * jarak antar PVD, untuk pola susunan segitiga 2.4.10. Tegangan Air Pori Akibat Beban Tak Terdrainase

Jika suatu lapisan lempung dengan tebal 2Hdr yang terletak antara dua lapisan

pasir yang sangat tembus air (highly permeable) diberi penambahan tekanan sebesar ∆p, maka tekanan air pori pada suatu titik di dalam lapisan tanah lempung tersebut akan mengalir ke luar dalam arah vertikal, yaitu ke arah lapisan pasir.

Perubahan angka air pori terjadi karena penambahan tegangan efektif(yaitu : pengurangan tekanan air pori yang terjadi). Dengan anggapan bahwa penambahan tegangan efektif sebanding dengan pengurangan tekanan air pori.

Kecepatan air yang mengalir ke luar dan kecepatan air yang mengalir masuk sama dengan kecepatan perubahan volume. Persamaan umum perubahan tegangan air pori pada uji triaksial undrained pada sampel tanah bebentuk silinder adalah :

∆ U = B [ ∆σ3 + A( ∆σ1− ∆σ3 ) ] (2.21)

dimana :

∆ U = Kenaikan tegangan air pori akibat beban tak terdrainase ∆ σ3 = Perubahan tegangan normal yang bekerja pada bidang utama

∆ σ1 = Perubahan tegangan aksial (tegangan deviator)

(22)

Type Of Clay 𝐴𝑓

Highly Sensitive Clays +3

4 sampai dengan + 1 1 2 Normally Consolidated Clays +1

2 sampai dengan + 1

Compacted Sandy clays +1

4 sampai dengan + 3 4 Lightly Overconsolidateed Clays 0 sampai dengan + 1

2

Compacted Clay-Gravels −2

4 sampai dengan + 3 4 Heavily Overconsolidated Clays −1

2 sampai dengan 0

2.4.11. Tegangan Total dan Tegangan Efektif

Pendekatan analisis tegangan total disebut juga pendekatan pada kondisi undrained, dimana excess pore water pressure belum sepenuhnya terdisipasi, sehingga parameter undrained yang dipakai.

Pada program FEM analis tegangan total (kondisi undrained) dimungkinkan dilakukan dengan memakai parameter efektif, tak terkecuali pada masalah konsolidasi. Parameter efektif yang dimaksud seperti shear modulus (G), poisson ratio (v’).

Keadaan ini berarti analisisnya dimulai dari keadaan undrained (analisis tegangan total) kemudian diiterasi oleh program yang memberikan hasil output dalam bentuk tegangan efektif.

2.5. Penurunan (Settlement)

Semua tanah yang mengalami tegangan akan mengalami regangan di dalam kerangka tanah tersebut. Regangan ini disebabkan oleh penggulingan, penggeseran, atau penggelinciran dan terkadang juga karena kehancuran partikel-partikel tanah pada titik-titik kontak, serta distorsi elastis. Integrasi regangan (deformasi persatuan panjang) sepanjang daerah yang dipengaruhi oleh tegangan disebut penurunan.

Tabel 2.2 Besar Af untuk berbagai kondisi tanah

(23)

Metode penurunan seperti ini tidak dapat mengembalikan tanah pada keadaan semula dikarenakan apabila tegangan ditiadakan maka terjadi pengurangan angka pori yang permanen. Regangan pada tanah berbutir kasar dan tanah berbutir halus yang kering (jenuh sebagian) akan terjadi setelah bekerjanya tegangan. Bekerjanya tegangan terhadap tanah yang berbutir halus akan menghasilkan tegangan yang bergantung pada waktu. Penurunan bergantung terhadap waktu disebut penurunan konsolidasi.

Kecepatan penurunan maksimum dibatasi sebesar 2 cm/tahun setelah selesainya masa konstruksi. Batasan di atas akan dijadikan acuan untuk melakukan evaluasi tanah lunak dan menganalisis solusi untuk memperbaiki akibat dari tanah lunak tersebut.

(24)

Secara umum, penurunan (settlement) pada tanah yang disebabkan oleh pembebanan dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu :

1) Penurunan konsolidasi, yang merupakan hasil dari perubahan volume tanah jenuh air sebagai akibat proses konsolidasi. Penurunan konsolidasi dibagi menjadi dua, yaitu penurunan konsolidasi primer dan penurunan konsolidasi sekunder.

2) Penurunan segera, yang merupakan akibat dari deformasi elastis tanah kering, basah, dan jenuh air tanpa adanya perubahan kadar air.

Bilamana suatu lapisan tanah lempung jenuh air yang mampu mampat (compressible) diberi penambahan tegangan, maka penurunan (settlement) akan terjadi dengan segera. Koefisien rembesan lempung sangat kecil bila dibandingkan dengan koefisien rembesan pasir sehingga penambahan tekanan air pori yang disebabkan oleh pembebanan akan berkurang secara lambat laun dalam waktu yang sangat lama. Jadi untuk tanah lempung lunak perubahan volume yang disebabkan oleh konsolidasi akan terjadi sesudah penurunan segera. Penurunan konsolidasi tersebut biasanya jauh lebih besar dan lebih lambat dibandingkan dengan penurunan segera.

(25)

Dengan pengetahuan yang didapat dari analisis hasil uji konsolidasi, sekarang dapat dihitung penurunan yang disebabkan oleh konsolidasi primer di lapangan, dengan menganggap bahwa konsolidasi tersebut adalah satu dimensi. Besarnya penurunan primer ditentukan dengan Persamaan 2.16.

Besarnya penurunan normally consolidated dapat dicari dengan menggunakan persamaan :

s =Cc ∗ H

1 + eo log po + ∆p

po (2.22)

Sedangkan besarnya penurunan pada kondisi lempung overconsolidated ialah :  Apabila ( Po + ∆P ) < Pc s = Cs 1+eoH log po + ∆p po (2.23)  Apabila ( Po + ∆P ) > Pc s = Cs (1 + eo)H log po + ∆p po + Cc (1 + eo)H log po + ∆p po (2.24) dimana :

S = Pemampatan akibat proses konsolidasi (m), Cc = Indeks kompresi tanah

Cs = Indeks pengembangan tanah

Po = Tegangan overburden efektif awal (t/m2)

Pc = Tegangan prakonsolidasi efektif (t/m2)

∆𝑝 = Penambahan tegangan (t/m2)

eo = Angka pori awal

(26)

Ketika tekanan air pori sama dengan nol, penurunan masih terjadi sebagai akibat dari penyesuaian plastis butiran tanah. Tahap konsolidasi ini dinamakan konsolidasi sekunder. Selama konsolidasi sekunder berlangsung, kurva hubungan antara deformasi & log waktu (t) merupakan garis lurus.

Penurunan yang diakibatkan oleh konsolidasi sekunder sangat penting untuk semua jenis tanah organik dan tanah anorganik yang compressible. Untuk lempung anorganik yang terlalu terkonsolidasi, indeks pemampatan sekunder adalah sangat kecil sehingga dapat diabaikan.

Perbandingan pemampatan sekunder terhadap pemampatan primer untuk suatu lapisan tanah dengan ketebalan tertentu adalah tergantung pada perbandingan antara penambahan tegangan (Δp) dengan tegangan efektif awal (po). Apabila

Δp’ po

kecil, perbandingan pemampatan sekunder dan primer adalah besar.

Holtz dan Kovacs (1986), menentukan persamaan empiris untuk korelasi nilai Cc sebagai berikut :

 Untuk Tanah Undisturbed Clays of Low to Medium Sensitivity

Cc = 0,009 * (LL - 10) (2.25)

 Untuk Tanah Remolded Clays

Cc = 0,007 * (LL - 7) (2.26)

2.6. Timbunan Bertahap

Timbunan pada lapisan tanah berfungsi sebagai preloading yang mempercepat proses konsolidasi. Dengan terdisipasinya air pori pada lapisan tanah tersebut maka akan meningkatkan kuat geser tanah dalam hal ini merupakan kohesi tanah, sehingga lapisan tanah tersebut dapat memikul beban yang besar atau akan mempengaruhi tinggi timbunan yang akan dipergunakan.

Secara umum beban preloading adalah beban yang setara dengan beban konstruksi, dimana beban tersebut dilakukan dengan melakukan timbunan sebanding dengan berat konstruksi yang akan dibangun pada tanah yang akan diperbaiki. Ketika beban ditempatkan, awalnya tanah akan didukung oleh air pori sehingga akan terjadi excess pore pressure. Karena tanah sangat tidak permeabel, maka penurunan tekanan air pori hanya mampu mengalir kearah vertikal,

(27)

sedangkan pada arah horizontal pengaliran sangat panjang sehingga kondisinya diabaikan.

Besarnya beban preloading yang akan diberikan dapat ditentukan terlebih dahulu. Tinggi timbunan kritis beban preloading ini dihitung berdasarkan daya dukung tanah lempung mula-mula, kemudian dibandingkan dengan tinggi timbunan atau beban yang mampu diterima oleh tanah dasar yaitu H kritis (Hcr).

Apabila ternyata tinggi timbunan sebagai beban preloading yang akan diberikan lebih besar daripada Hcr, maka timbunan tersebut harus diletakkan secara bertahap

(stepped preloading) sehingga tidak terjadi keruntuhan pada lapisan tanah konstruksi. Umumnya timbunan yang dilakukan bertahap adalah timbunan di atas tanah lunak.

Daya dukung tanah lempung dalam perencanaan beban preloading dihitung sebagai berikut:

𝑞𝑢 = 2. 𝑐𝑢 (2.27)

qu = γtimbunan∗ H𝑐𝑟 (2.28)

dimana :

cu = Kohesi tanah dasar (t/m2)

γtimbunan = Berat volume tanah timbunan (t/m3)

Hcr = Tinggi timbunan kritis (m)

Kombinasi antara metode preloading dengan instalasi (PVD) merupakan salah satu metode untuk mempercepat proses konsolidasi. Kombinasi pada metode ini dilakukan dengan cara memberikan beban awal yaitu berupa timbunan (preloading) pada tanah lempung yang telah diberi sistem drainase vertikal berupa PVD. Studi ini dilakukan untuk mengetahui percepatan waktu konsolidasi yang dihasilkan dari proses kombinasi preloading dan PVD untuk mencapai konsolidasi primer pada derajat konsolidasi yang sama.

2.7. Lapisan Sand Blanket

Lapisan sand blanket berfungsi untuk mengalirkan air dari PVD ke arah horizontal. Ketebalan sand blanket direncanakan setebal 60 cm. Spesifikasi umum digunakan untuk lapisan ini adalah material antara saringan No. 4 dan saringan No. 100. Material ini maximum lolos saringan No. 100 sebesar 7 % dan maximum lolos

(28)

saringan No 200 sebesar 3 %. Lapisan ini dibungkus dengan lapisan geotextile pada bagian permukaan atas.

2.8. Geosintetik

Geosintetik adalah suatu produk berbentuk lembaran yang terbuat dari bahan polimer lentur yang digunakan dengan tanah, batuan, atau material geoteknik lainnya yang tidak terpisahkan dari suatu pekerjaan, struktur atau sistem (ASTM D 4439). Geosintetik ini senditerdiri atas : geotekstil, geogrid, geonet, geomembran,

geosynthetic clay liner (GCL), geopipa, geofoam, dan geokomposit.

Setelah memahami pengertian dari geosintetik itu sendiri, maka untuk menentukan jenis dari geosintetik yang akan digunakan di lapangan akan lebih baik jika kita mengetahui identifikasi fungsi utama dari geosintetik tersebut yang diberikan oleh Tabel 2.3.

Jenis Geosintetik

Fungsi Utama

Separator Perkuatan Filter Drainase Penghalang Proteksi

Geotekstil Geogrid Geonet Geomembran Geosynthetic Clay Liner (GCL) Geopipa Geofoam Geokomposit

Maka untuk jalan bebas hambatan Medan-Kualanamu digunakan jenis material geosintetik berupa geotekstil.

(29)

2.8.1. Daerah Pengaruh Pemasangan PVD (Smear Zone)

Geotekstil adalah lembaran sintesis yang tipis, fleksibel, permeabel yang lolos air yang berasal dari bahan tekstil digunakan untuk stabilisasi dan perbaikan tanah yang dikaitkan dengan pekerjaan teknik sipil.

Beberapa fungsi dari geotekstil yaitu : 1) Untuk perkuatan tanah lunak.

2) Untuk konstruksi teknik sipil yang mempunyai umur rencana cukup lama dan mendukung beban yang besar seperti jalan rel dan dinding penahan tanah.

3) Sebagai lapangan pemisah, penyaring, drainase dan sebagai lapisan pelindung.

Geotekstil yang digunakan pada proyek jalan bebas hambatan Medan-Kualanamu KM 35+622,42 adalah jenis woven dengan minimal kuat tarik = 55 KN.

(30)

Dengan mengetahui kuat tarik minimal geotekstile di lapangan adalah 55 KN, dan melihat data di atas maka dapat disimpulkan bahwa jenis geotekstil teranyam yang ada di lapangan merupakan jenis geotextile teranyam multifilamen.

(31)

Gambar 2.17 Geotextile Teranyam Bersifat Lulus Air

(32)

Geotextile dapat digunakan sebagai perkuatan timbunan tanah pada kasus : 1. Timbunan tanah di atas tanah lunak

2. Timbunan di atas pondasi tiang

3. Timbunan di atas tanah yang rawan subsidence

Ada hakekatnya, timbunan di atas tanah lunak merupakan masalah daya dukung. Pertimbangan lain adalah bahwa stabilitas timbunan kritis pada akhir konstruksi. Hal ini dikarenakan permeabilitas tanah lempung lunak yang tidak memungkinkan pengaliran dan konsolidasi pada masa konstruksi. Pada akhir konstruksi, beban telah diterapkan, tetapi tidak ada peningkatan kuat geser tanah akibat konsolidasi.

Sesudah konsolidasi terjadi, peningkatan kuat geser umumnya menghilangkan perkuatan geotextile terhadap penambahan stabilitas. Untuk memperoleh peningkatan kuat geser, tinggi timbunan harus sedemikian sehingga pada awal konstruksi mengakibatkan tegangan vertikal yang melewati tegangan prakonsolidasi. Jadi peranan geotextile adalah mempertahankan stabilitas sampai tanah lunak terkonsolidasi (kuat geser meningkat berarti) sampai saat dapat memikul beban timbunan itu sendiri.

Keuntungan yang dapat diambil dari penggunaan geotekstil perkuatan tanah lunak adalah konstruksi sederhana sehingga mudah untuk dilaksanakan, menghemat waktu pelaksanaan, menghemat biaya konstruksi. Sedangkan kerugian dari penggunaan geotekstil adalah bahwa geotekstil tidak tahan terhadap sinar ultra violet.

2.9. Program Metode Elemen Hingga

Program ini melakukan perhitungan berdasarkan metode elemen hingga yang digunakan secara khusus untuk melakukan analisis deformasi dan stabilitas untuk berbagai aplikasi dalam bidang geoteknik. Kondisi sesungguhnya dapat dimodelkan dalam regangan bidang maupun secara axisymmetry. Program ini menerapkan metode antar muka grafis yang mudah digunakan sehingga pengguna dapat dengan cepat membuat model geometri dan jaring elemen berdasarkan penampang melintang dari kondisi yang ingin dianalisis. Program ini terdiri dari empat buah sub-program yaitu masukan, perhitungan, keluaran, dan kurva.

(33)

Analisis dan prediksi penurunan konsolidasi tanah dapat dilakukan dengan metode elemen hingga (FEM). FEM yang digunakan pada analisis dengan FEM adalah cara pendekatan solusi analisis struktur secara numerik di mana struktur kontinu dengan derajat kebebasan tak hingga yang disederhanakan ke dalam elemen-elemen kecil diskrit yang memiliki geometri yang lebih sederhana dengan derajat kebebasan berhingga.

Elemen–elemen diferensial ini memiliki asumsi fungsi perpindahan yang di kontrol pada tiap nodal. Pada nodal tersebut diberlakukan syarat keseimbangan dan kompatibilitas. Pada titik lain, diasumsikan perpindahan yang dipengaruhi oleh titik nodal. Perpindahan diperoleh dengan menerapkan prinsip energi yang disusun dari matriks kekakuan untuk tiap elemen dan kemudian diturunkan persamaan keseimbangannya untuk setiap titik nodal dari elemen diskrit sesuai dengan kontribusi elemennya.

Jumlah node yang digunakan dalam menganalisis elemen adalah 15-node yang merupakan jumlah yang dianggap telah mencukupi. Semakin banyak jumlah node yang dipilih, maka semakin teliti perhitungan yang akan dilakukan.

2.9.1. Pemodelan Pada Metode Elemen Hingga

Analisis menggunakan metode elemen hingga pada sebuah program memerlukan adanya pemodelan terlebih dahulu. Secara umum pemodelan geometri pada metode elemen hingga dibagi menjadi 3 yaitu :

1) Axisymmetry

Pemodelan axisymmetry digunakan untuk struktur yang simetris, seperti tiang pancang, verifikasi PVD.

2) Plane strain

Pemodelan plane strain biasanya digunakan untuk stuktur pemodelan struktur memanjang, misalnya dinding penahan tanah, badan jalan dan verifikasi PVD.

3) Plane stress

(34)

2.9.2. Jenis Material Pada Metode Elemen Hingga

Ada tiga tipe material pada program FEM yang bisa dipilih untuk masing – masing model tanah yang digunakan, yaitu:

1) Jenis material drained

Material drained digunakan untuk mengatur tidak ada kenaikan tekanan air pori (pore water pressure) pada material tersebut. Jenis ini diaplikasikan untuk kondisi tanah kering, tanah yang mempunyai permeabilitas besar seperti pasir, tanah yang mengalami pembebanan sangat lambat, serta untuk mensimulasikan perilaku tanah dalam jangka panjang.

2) Jenis material undrained

Material undrained digunakan untuk mengatur timbulnya kenaikan tekanan air pori (excess pore water pressure) pada material tanah. Jenis ini diaplikasikan pada kondisi tanah yang mempunyai koefisien permeabilitas (k) kecil seperti tanah lempung sehinggga sewaktu diberikan excess pore water pressure tidak langsung terdisipasi. Besarnya kenaikan tekanan air pori dihitung berdasarkan bulk modulus air.

∆ UW = KW n ∆εv (2.29) KW n = 100 G (2.30) G = K′ = E′ 2 (1 − 2v) (2.31) Besarnya kenaikan tegangan rata – rata efektif adalah :

∆P′ = K′ ∆εV (2.32)

dimana :

K′ = Bulk modulus tanah Kw = Bulk modulus air

∆𝜀𝑉 = Kenaikan regangan volume n = Porositas tanah

E’ = Young’s modulus efektif

(35)

3) Jenis material Non-Porous

Digunakan untuk mengatur tidak ada kenaikan tekanan air pori pada material, jenis material non-porous untuk memodelkan material beton, batuan atau perilaku struktur lainnya.

2.9.3. Pemodelan Jenis Material Pada Metode Elemen Hingga

Di dalam program metode elemen hingga ini ada beberapa jenis pemodelan tanah seperti linear elastic, soft soil model, hardening soil model , dll. Salah satu diantaranya adalah pemodelan Mohr-Coulomb.

Dikarenakan Tugas Akhir ini hanya menggunakan pemodelan jenis material Mohr-Coulomb, oleh karena itu untuk pemodelan jenis material yang lain tidak diperjelaskan.

2.9.3.1. Model Tanah Mohr - Coulomb

Pada tahun 1910, Mohr mengemukakan suatu teori keruntuhan pada material, menurut Mohr keruntuhan pada material terjadi pada suatu bidang yang disebabkan oleh kombinasi kritis tegangan normal atau geser sendirian. Hubungan antara tegangan normal dan tegangan geser pada suat bidang keruntuhan diberikan dalam suatu fungsi sebagai berikut :

𝜏 = 𝑓 (𝜎) (2.33)

(36)

Keruntuhan geser tanah terjadi bukan disebabkan hancurnya butir –butir tanah tersebut tetapi karena adanya gerakan relatif antara butir-butir tanah.

Jauh sebelumnya pada tahun 1776, Couloumb telah mendefinisikan persamaan tersebut, yang pada akhirnya persamaan tersebut lebih sering dikenal dalam bentuk persamaan :

𝜏 = 𝑐 + 𝜎 𝑡𝑎𝑛 ∅ (2.34) dimana :

𝜏 = Tegangan geser 𝑐 = Kohesi tanah 𝜎 = Tegangan normal ∅ = Sudut geser tanah

Persamaan 2.34 dikenal dengan kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb, yang merupakan suatu garis lurus seperti pada Gambar berikut :

Untuk tanah jenuh air, tegangan normal total pada titik tersebut adalah penjumlahan dari tegangan efektif ( 𝜎 ′ ) dan tekanan air pori (u).

𝜎 = 𝜎′ + 𝑢 (2.35) Gambar 2.21 Kriteria Keruntuhan Model Mohr-Coulomb, (Desai C.S.,1984)

(37)

Pemodelan Mohr-Coulomb mengasumsikan bahwa perilaku tanah bersifat plastis sempurna (Linear Elastic Perfectl Plastic Model), artinya material akan mengalami deformasi elastis sebelum mencapai suatu keruntuhan, bilamana batas elastis telah terlewati barulah material mencapai konsisi plastis, selanjutnya material mengalami keruntuhan.

Beberapa kelebihan dari model ini adalah cukup sederhana (simple), valid dipakai pada material tanah sehingga paling banyak dipakai dan tersedia pada banyak program komputer. Sedang kekurangan dari model ini 𝜎2 (intermediate

principal stress) diabaikan.

Model Mohr-Coulomb ini menetapkan suatu nilai tegangan batas dimana pada titik tersebut tegangan tidak lagi dipengaruhi oleh regangan.

Gambar 2.22 Kriteria Keruntuhan Model Mohr-Coulomb, Dalam Ruang Tegangan U7tama (Desai C.S.,1984)

(38)

Input parameter yang dibutuhkan pada model Mohr-Coulomb meliputi 5 (lima) buah parameter yaitu :

1) Modulus Elastisitas (Stiffness Modulus)

Modulus elastisitas didapat dari hasil hubungan tegangan–regangan dari pengujian triaxial test. Sudut kemiringan awal E0 yang dibentuk

sebagai modulus elastisitas yang juga disebut sebagai Young’s modulus. Untuk tanah lempung overconsolidation dan beberapa jenis batuan dengan rentang linear elastis yang besar, digunakan E0.

Sedangkan E50 didefinisikan sebagai secant modulus pada kekuatan

50%. Untuk material pasir dan lempung normal consolidation lebih tepat menggunakan E50.

Karena sulitnya pengambilan contoh asli di lapangan untuk tanah granular maka beberapa pengujian lapangan (in situ test) telah dikerjakan untuk mengestimasi nilai modulus elastisitas tanah.

Menurut Bowles, 1997, nilai modulus elastisitas tanah juga dapat ditentukan berdasarkan jenis tanah perlapisan pada Tabel 2.5

(39)

Macam Tanah Es (Kg/cm2) LEMPUNG 1. Sangat lunak 3,0 – 30 2. Lunak 20 – 40 3. Sedang 45 – 90 4. Berpasir 300 – 425 PASIR 1. Berlanau 50 – 200 2. Tidak padat 100 – 250 3. Padat 500 – 1000

PASIR DAN KERIKIL

1. Padat 800 – 2000 2. Tidak padat 500 – 1400 LANAU 20 – 200 LOSES 150 – 600 CADAS 1400 – 14000 2) Poisson’s Ratio (v)

Poisson’s ratio adalah harga perbandingan regangan lateral dengan tegangan aksial yang berguna untuk menghubungkan besar modulus elastisitas (E) dengan modulus geser (G). dengan persaman sebagai berikut :

E = 2 (1 + V) G (2.36) Poisson’s ratio sering dianggap sebesar 0,2 - 0,4 dalam pekerjaan-pekerjaan mekanika tanah.

(40)

Untuk nilai poisson’s ratio efektif (μ) diperoleh dari hubungan jenis tanah, konsistensi tanah dengan poisson’s ratio seperti terlihat pada Tabel 2.6.

3) Sudut Geser Dalam (ϕ)

Sudut geser dalam dan kohesi tanah merupakan parameter dari kuat geser tanah yang menentukan ketahanan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang bekerja pada tanah. Deformasi dapat terjadi akibat adanya kombinasi keadaan kritis dari tegangan normal dan tegangan geser. Nilai dari sudut geser dalam didapat dari engineering properties tanah, yaitu dengan triaxial test dan direct shear test.

Hubungan antara sudut geser dalam (Φ) dengan nilai SPT setelah dikoreksi menurut Mayerhof 1965 adalah :

Soil type Description (μ')

Clay Soft 0,35 - 0,40 Medium 0,30 - 0,35 Stiff 0,20 - 0,30 Sand Loose 0,15 – 0.25 Medium 0,25 - 0,30 Dense 0,25 - 0,35 Tabel 2.6 Hubungan Jenis Tanah dengan Poisson’s Ratio (μ)

(41)

Kepadatan Relatif Density (Ɣd) Nilai N SPT Tekanan Konus (qc) (kg/cm2) Sudut Geser (ø) Very Loose < 0,2 < 4 < 20 < 30 Loose 0,2 – 0,4 4 – 10 20 – 40 30 – 35 Medium Dense 0,4 – 0,6 10 – 30 40 – 120 35-40 Dense 0,6 – 0,8 30 – 50 120 – 200 40 – 45 Very Dense 0,8 – 1,0 > 50 > 200 > 45 4) Kohesi (c)

Kohesi didefenisikan sebagai gaya tarik menarik antar partikel tanah. Kohesi merupakan salah satu parameter kuat geser tanah yang menentukan ketahanan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang bekerja pada tanah.

Sama seperti sudut geser dalam (Φ), nilai dari kohesi didapat dari engineering properties, yaitu dengan triaxial test dan direct shear test. 5) Sudut Dilantasi (ψ)

Sudut dilantasi (ψ) adalah sudut yang dibentuk bidang horizontal dengan arah pengembangan butiran pada saat butiran menerima tegangan deviatorik.

Digunakan untuk memodelkan regangan volumetrik plastik yang bernilai positif. Pada tanah lempung, umumnya tidak terjadi dilantasi (ψ = 0), sementara pada tanah pasir dilantasi tergantung dari kerapatan dan sudut geser (ϕ) dimana ψ = ϕ - 30°. Jika ϕ < 30° maka ψ = 0. Sudut dilantasi (ψ) bernilai negatif hanya bersifat realistis jika diaplikasikan pada pasir lepas. 6) Permeabilitas (k)

Koefisien rembesan pada tanah adalah kemampuan tanah untuk dapat mengalirkan atau merembeskan air (atau jenis fluida lainnya) melalui pori-pori tanah. Nilai koefisien permeabilitas tanah dapat ditentukan berdasarkan jenis tanah seperti pada Tabel 2.8 berikut ini :

Tabel 2.7 Hubungan Antara Kepadatan, Relative Density, Nilai N-SPT, qc dan Sudut Geser (Φ)

(42)

Jenis Tanah K cm/detik m/hari Kerikil bersih 1 – 100 864 – 86400 Pasir kasar 1 – 0,01 864 – 8,64 Pasir halus 0,01 – 0,001 8,64 – 0,864 Lanau 0,001 – 0,00001 0,864 – 0,0864 Lempung < 0,000001 < 0.00864

7) Berat Isi Tanah

a. Berat Jenis Tanah Kering (γdry)

Ɣdry adalah perbandingan antara berat tanah kering dengan satuan volume

tanah. Berat jenis tanah kering dapat diperoleh dari data soil test & direct shear.

b. Berat Jenis Tanah Jenuh (γsat)

Ɣsat adalah perbandingan antara berat tanah jenuh air dengan satuan volume

tanah jenuh. Dimana ruang porinya terisi penuh oleh air. Nilai Ɣsat dapat

ditentukan berdasarkan jenis tanah, yang dapat dilihat pada Tabel 2.9 & Tabel 2.10. Kepadatan Relatif Density (Gs) (%) Nilai N SPT Sudut Geser (ø) Ɣsat (KN/m3) Very Loose 0 – 15 < 4 < 16 < 16 Loose 16 – 35 5 – 10 15,2 – 20 15,2 – 20 Medium Dense 36 – 65 11 – 30 17,62 – 21 17,62 – 21 Dense 66 – 85 31 – 50 17,62 - 22,42 17,62 - 22,42 Very Dense 86 - 100 > 51 > 21 > 21 (Sumber : Hardiyatmo, 2011) Tabel 2.8 Nilai Koefisien Permeabilitas Tanah

Tabel 2.9 Korelasi N-SPT Dengan Ɣsat Untuk Pasir (Non-Kohesif)

(43)

Pada pemodelan Mohr-Coulumb umumnya dianggap bahwa nilai E konstan untuk suatu kedalaman pada suatu jenis tanah, namun jika diinginkan adanya peningkatan nilai E perkedalaman tertentu, maka disediakan input tambahan dalam program elemen hingga.

Selain parameter satu sampai lima di atas, input tambahan dalam program elemen hingga yang dimaksud adalah permeabilitas dan berat isi tanah yang merupakan kondisi tanah awal memiliki peran penting dalam masalah deformasi tanah.

2.10. Instrumen Geoteknik

Instrumen geoteknik adalah perangkat geoteknik untuk mempelajari perilaku tanah yang berupa penurunan tanah, tekanan air pori, kuat geser tanah, deformasi lateral pada permukaan tanah, yang dipasang sebelum proses penimbunan dilakukan.

Keberhasilan pekerjaan perbaikan tanah, dengan menggunakan PVD dan geotekstil terutama dengan teknik penimbunan secara bertahap, sangat bergantung pada data pengamatan perilaku dan kondisi tanah. Data pengamatan berguna untuk memberikan peringatan awal bila timbunan dalam kondisi kritis terhadap keruntuhan timbunan. Data pengamatan juga memungkinkan bisa diambilnya keputusan yang berkaitan dengan kinerja PVD, perubahan pada desain, dan lain lain

Kepadatan Nilai N-SPT Ɣsat (KN/m3) Very Soft < 2 16 - 19 Soft 2 - 4 16 - 19 Medium 4 - 8 17 - 20 Stiff 8 - 15 19 -22 Very Stiff 15 - 30 19 -22 Hard > 30 19 -22

Tabel 2.10 Hubungan N-SPT Terhadap Ɣsat untuk

Tanah Lempung (Kohesif)

(44)

selama proses penimbunan berlangsung. Oleh sebab itu, pengamatan perilaku dan kondisi tanah pada saat konstruksi menjadi hal yang penting.

Instrumen geoteknik secara periodik harus dipantau pada interval waktu tertentu, dengan periode sebagai berikut :

1. Pemantauan harian.

Pemantauan harian dilakukan pada awal kegiatan yaitu selama proses penimbunan berlangsung dan sebulan sesudah penimbunan selesai. Pada periode ini, penurunan timbunan, deformasi lateral dan tekanan air pori yang terjadi pada tanah merupakan respon langsung terhadap beban timbunan sehingga membutuhkan frekuensi pemantauan yang lebih sering. Pemantauan awal ini dapat berfungsi juga sebagai peringatan awal terhadap risiko ketidakstabilan tanah yang terjadi selama penempatan timbunan. Bila terjadi tanda-tanda kritis ketidakstabilan tanah di bawah timbunan, maka peringatan awal ini dapat menghentikan pelaksanaan penimbunan atau memperlambat proses penimbunan.

2. Pemantauan mingguan.

Pemantauan mingguan dilakukan pada periode kedua setelah satu bulan dari selesainya proses penimbunan. Pada periode ini kondisi timbunan umumnya relatif stabil, maka frekuensi pemantauan dapat dikurangi untuk membuktikan efektivitas stabilisasi dangkal. Periode pemantauan dilakukan umumnya 3 sampai 6 bulan tergantung kepada jadwal dan perpanjangan evaluasi.

3. Pemantauan bulanan.

Pemantauan bulanan dilakukan pada periode ketiga setelah pemantauan mingguan selesai. Hal ini untuk mengamati lebih lanjut tentang perilaku stabilisasi dangkal setelah terbebani timbunan. Pada periode ini, perubahan penurunan timbunan, deformasi lateral dan tekanan air pori umumnya kecil. Instrumen geoteknik yang digunakan sebagai data primer yang dipasang pada STA 35+622,42 untuk mengamati kondisi dan perilaku tanah saat penimbunan berlangsung adalah settlement plate, piezometer, dan water stand pipe sedangkan inclinometer dipasang pada STA 35+847 sebagai data sekunder.

(45)

2.10.1. Settlement Plate

Settlement Plate (SP) berfungsi untuk memantau deformasi vertikal (penurunan) lapisan tanah lunak akibat beban timbunan diatasnya dan untuk mengamati nilai perbedaan penurunan pada permukaan tanah. SP ini dipasang pada lapisan tanah yang distabilisasi sebelum konstruksi timbunan dilaksanakan. Untuk memantau perbedaan penurunan, maka settlement plate ditempatkan pada bagian tengah dan kedua ujung timbunan.

Penurunan tanah ini yang nantinya akan menjadi dasar apakah kondisi tanah tersebut masih mengalami penurunan atau sudah mengalami final settlement artinya sudah tidak terjadi penurunan lagi. Namun data dari SP ini belum begitu valid karena bisa dikarenakan proses pemasangannya yang salah atau kondisi material yang tidak bagus sehingga mudah rusak atau bisa juga dikarenakan SP tidak berfungis dengan baik akibat penempatannya yang tidak mewakili lokasi yang akan dianalisa.

Settlement plate dipasang disisi kiri dan kanan timbunan, dimana cara pembacaan dilakukan setiap 2 hari dan di hari tersebut dilakukan sebanyak 2 kali diwaktu pagi hari dan sore hari

Spesifikasi peralatan settlement plate pada STA 35+622,42 adalah seperti berikut:

1. Square plate yang terbuat dari baja dengan ukuran minimum 600 mm dan tebal minimum 10 mm.

2. Pipa PVC dengan diameter minimum 75 mm.

3. Riser pipe yang terbuat dari baja dengan diameter minimum 25 mm. 4. Peralatan survei untuk mengukur ujung atas dari riser pipe.

Pemasangan settlement plate pada STA 35+622,42 adalah seperti berikut: 1. Las Riser pipe ke square plate.

2. Lakukan penggalian sampai kedalaman square plate yang ditentukan. 3. Letakan square plate dengan riser pipe yang sudah di las kepada square plate

(46)

4. Timbun kembali lubang galian tersebut.

5. Buat tanda referensi awal pada riser pipe dan tentukan elevasinya.

6. Dengan bertambah tingginya timbunan, lakukan penyambungan riser pipe sesuai dengan kebutuhan.

(47)

2.10.2. Pneumatic Piezometer

Pneumatic Piezometer (PP) adalah bentuk yang paling sederhana dari sebuah manometer yang terdiri dari tabung/selang veritikal dengan ujung terbuka yang dihubungkan dengan pipa yang akan diukur tekanannya. Karena adanya perbedaan tekanan antara pipa dan udara di luar, maka zat cair di dalam tabung/selang akan terus naik hingga mencapai keadaan seimbang.

Piezometer berfungsi untuk memantau kenaikan tekanan ekses air pori selama pelaksanaan pekerjaan perbaikan tanah dengan menggunakan kombinasi preloading dan vertical drains. Di samping itu juga berfungsi sebagai pengukur disipasi tekanan air pori terhadap waktu. Pemasangan piezometer umumnya di tengah-tengah timbunan dan ditempatkan pada lapisan tanah lempung lunak dengan kedalaman yang bervariasi.

Spesifikasi peralatan pneumatic piezometer (PP) pada STA 35+622,42 adalah seperti berikut:

1. Pipa pelindung (casing) yang digunakan mempunyai diameter dalam minimum 100 mm.

2. Tip pneumatic piezometer harus terbuat dari bahan keramik dan mampu menerima tekanan setidak-tidaknya hingga 200 meter tekanan air.

3. Selang ganda yang digunakan harus menjamin agar saluran selang pertama dapat menerima suplai tekanan udara dari alat baca serta meneruskannya kembali kealat baca melalui saluran selang kedua.

4. Unit alat baca pneumatic piezometer harus dapat mensuplai tekanan minimal 40 m air dan mempunyai ketelitian 1 mm tekanan air.

5. Menggunakan alat bor sesuai kedalaman dan kondisi lapangan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Lubang bor untuk penempatan tip pneumatic mempunyai diameter (75-100) mm yang tergantung dari besarnya tip pneumatic. Lubang bor untuk penempatan pneumatic piezometer harus lurus dan bagian dasar lubang harus lebih dalam minimal 500 mm dari lapisan yang akan diukur tekanan air porinya, dan harus bersih dari kotoran sisa pemboran.

(48)

Pemasangan pneumatic piezometer pada STA 35+622,42 yaitu seperti berikut: a. Pemasangan satu piezometer dalam satu lubang bor

1. Angkat casing setinggi lebih kurang 15 cm kemudian tuangkan pasir untuk mengisi lubang bor di bawah casing. Cek kedalaman lubang bor. Terus lakukan langkah tersebut hingga sampai didapatkan lapisan pasir minimal setebal 50 cm di bawah ujung bawah piezometer.

2. Masukan tip pneumatic piezometer bersama selang ganda.

3. Angkat casing setinggi lebih kurang 15 cm kemudian tuangkan pasir untuk mengisi lubang bor dibawah casing. Terus lakukan langkah tersebut sampai elevasi pasir telah berada minimal 50 cm di atas tip pneumatic piezometer bagian atas.

4. Angkat casing setinggi kurang lebih 15 cm kemudian tuangkan bentonite pellets untuk mengisi lubang bor di bawah casing. Terus lakukan langkah tersebut sampai lapisan bentonite mencapai ketebalan minimum 100 cm di atas lapisan pasir.

5. Isi lubang bor (casing) dengan grouting cement/bentonite.

6. Cabut casing keseluruhan dengan hati-hati dan tanpa melakukan putaran dan kemudian isi lubang bor yang tersisa dengan grouting cement/bentonite. 7. Lakukan pembacaan awal tekanan air pori dengan alat baca penumatik

sampai pembacaan tetap, maksimum 3 (tiga) hari.

b. Pemasangan dua pneumatic piezometer dalam satu lubang bor

1. Pasang piezometer yang pertama (terdalam) dengan mengikuti langkah 1 hingga langkah 4 pada bagian sebelumnya (pemasangan satu pizometer dalam lobang bor).

2. Isi lobang bor (casing) dengan grouting cement/bentonite sampai dengan elevasi minimum 50 cm di bawah pneumatic piezometer yang kedua. 3. Langkah selanjutnya sama dengan cara pemasangan tip pneumatic

(49)

Pneumatic piezometer dipasang pada lubang bor yang ditempatkan di bagian tengah timbunan pada kedalaman yang bervariasi dalam lapisan tanah kompresibel.

Waktu pembacaan yang dipergunakan adalah

1. Pada kondisi awal, pembacaan sesuai kebutuhan, tergantung kondisi lapangan.

2. Pada saat pekerjaan penimbunan, pembacaan tergantung dari tahapan pekerjaan penimbunan sehingga diperoleh data yang cukup untuk setiap beban timbunan sesuai dengan waktu konsolidasi yang digunakan.

3. Pada saat beban sudah tetap (mencapai maksimum preloading), pembacaan dilakukan sampai nilai tekanan air pori mendekati pembacaan pada kondisi awal, atau sekurang-kurangnya sampai keadaan air pori menunjukan pembacaan yang tetap.

Gambar 2.25 Detail Pemasangan Piezometer di Lapangan Yaitu Pemasangan Satu

Piezometer Dalam Satu Lubang Bor

Gambar 2.26 Pemasangan Dua Piezometer

(50)

2.10.3. Water Stand Pipe

Water stand pipe (WSP) digunakan untuk memonitor elevasi dari muka air tanah pada saat dan setelah penimbunan. Water stand pipe dipasang pada as timbunan berdekatan dengan piezometer. Di lapangan water stand pipe dilakukan pembacaan setiap dua hari sekali.

Pemasangan water stand pipe pada STA 35+622,42 adalah seperti berikut : 1. Lakukan pemboran sesuai dengan kedalaman yang dibutuhkan

2. Masukan water stand pipe seperti yang terlihat pada Gambar 2.27 3. Lakukan pembacaan awal

2.10.4. Inclinometer

Inclinometer digunakan untuk memonitor pergerakan lateral tanah selama pelaksanaan pekerjaan penimbunan, baik untuk timbunan badan jalan maupun untuk timbunan preloading. Pada proyek jalan bebas hambatan Medan-Kualanamu KM 35+622,42 tidak dipasang Inclinometer. STA terdekat yang dipasangin oleh Inclinometer adalah KM 35+847,34

(51)

2.11. Tahapan Pada Program Metode Elemen Hingga

Kondisi di lapangan yang disimulasikan ke dalam program elemen hingga ini bertujuan untuk mengimplementasikan tahapan pelaksanaan di lapangan ke dalam tahapan pengerjaan pada program, dengan harapan pelaksanaan di lapangan dapat didekati sedekat mungkin pada program, sehingga respon yang dihasilkan dari program dapat diasumsikan sebagai cerminan dari kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan dengan tahapan sebagai berikut :

Step 1 : Pembentukan mesh secara keseluruhan meliputi mesh lapisan tanah asli, geotextile, vertical drain, dan preloading.

Step 2 : Pendefenisian dan input parameter, meliputi parameter tanah, geotextile, vertical drain, dan preloading.

Step 3 : Initial condition : menyatakan kondisi asli tanah perlapisan dan tinggi muka air tanah.

Step 4 : Pemotongan tanah asli (clearing and stripping).

Step 5 : Pengaktifan geotextile tipe woven dengan gaya tarik = 55 KN. Step 6 : Penimbunan dengan pasir sebagai sand blanket setebal 0,6 meter Step 7 : Pemasangan vertical drain mencapai lapisan tanah kohesif lunak. Step 8 : Penimbunan dengan lempung padat secara bertahap hingga

ketinggian timbunan yang ditentukan.

Untuk penjelasan tahapan pelaksanaan pensimulasian pada proyek jalan bebas hambatan Medan-Kualanamu KM 35+622,42 yang selengkapnya, dapat dilihat pada bab-bab selanjutnya.

Gambar

Gambar 2.1  Metode Perbaikan Tanah Lunak
Gambar 2.3  Aliran Air Pori Pada Vertikal Drain
Gambar 2.4   Skema Tanah Pada Penampang PVD Berbentuk  Silinder
Gambar 2.5   Skema Prosedur Pemasangan PVD Tanpa Geotextile
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pasir adalah contoh bahan material butiran. Materi pembentuk pasir adalah silikon dioksida, tetapi di beberapa pantai tropis dan subtropis umumnya dibentuk dari batu

Kandungan nira padat dialirkan ke mixer 01 untuk dicairkan, sementara nira yang mengandung air dialirkan melalui vacum pan 03 dengan suhu 75 0 C yang menggunakan Saturated steam

Oleh karena cairan dialirkan dengan frekuensi yang lebih sedikit tetapi dalam jumlah yang lebih besar dari yang dialirkan pompa roda gigi, maka aliran dari pompa jenis

Oleh karena cairan dialirkan dengan frekuensi yang lebih sedikit tetapi dalam jumlah yang lebih besar dari yang dialirkan pompa roda gigi, maka aliran dari pompa jenis

merupakan paduan besi dan karbon dengan waktu pendinginan yang cepat dan mempunyai fasa sementit sehingga mempunyai karakteristik yang keras tetapi sangat rapuh, serta

Penyerapan oleh partikel-partikel tanah akan mengakibatkan pembengkakan dan penutupan pori-pori tanah yang memperburuk pertukaran gas, serta dispersi material koloid

Setiap entitas pasti mempunyai elemen yang disebut atribut yang berfungsi untuk mendes-kripsikan karakteristik dari entitas tersebut.Isi dari atribut mempunyai sesuatu yang

kondensor dialirkan ke ruang pengeringan, selanjutnya udara hasil pengeringan menjadi lembab (basah). Udara dari ruang pengeringan kemudian dialirkan ke evaporator untuk