• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Perkembangan Sistem Pembayaran 2006

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Perkembangan Sistem Pembayaran 2006"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN……….6

Ringkasan Eksekutif ... 6

Perkembangan Umum Aktifitas Pembayaran dan Pengedaran Uang Di Indonesia... 8

BAB II : PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN DI INDONESIA……….10

STABILITAS SISTEM PEMBAYARAN... 10

2.1 Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Nilai Besar... 10

Kinerja Sistem BI-RTGS...10

Manajemen Likuiditas Sistem BI-RTGS...11

Perkembangan Transaksi BI-RTGS...12

Pola Transaksi Dalam BI-RTGS...13

Transaksi Perbankan...14

Transaksi Pemerintah...14

Rentang Nilai Transaksi dalam Sistem BI-RTGS...15

2.2 Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Ritel ... 15

Penyelenggaraan Kliring...15

Kinerja Sistem Kliring...15

Perkembangan Transaksi Kliring...16

Penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu...19

Kinerja Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu...20

Perkembangan Transaksi APMK...20

Transaksi Kartu Kredit...21

Kartu ATM dan ATM + Debet...24

Kartu Prabayar dan Uang Elektronik (E-Money)...25

Penyelenggaraan Money Remittance...25

2.3 Penyelenggaran Sistem Pembayaran Lainnya... 26

BAB III : KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN UNTUK MENDUKUNG STABILITAS SISTEM KEUANGAN………..29

3.1.Mitigasi Risiko Sistem Pembayaran... 29

Mitigasi Risiko Sistem Kliring...29

Mitigasi Risiko Penyelenggaraan APMK...30

Implementasi Kebijakan Minimum Pembayaran 10% pada Kartu Kredit...31

Daftar Hitam Nasional...31

Penerbitan Ketentuan Mengenai Money Remittance...33

3.2 Efisiensi Sistem Pembayaran... 34

Integrasi Sistem Kliring...34

Standardisasi Kartu ATM dan Kartu Debet...35

(3)

3.3 Bussines Continuty Plan Penyelenggaraan Sistem Pembayaran... 37

3.4 Perijinan Sistem Pembayaran... 37

3.5 Diseminasi Informasi Sistem Pembayaran Nasional... 38

BAB IV : LAPORAN OVERSIGHT PENYELENGGARAAN SISTEM PEMBAYARAN……….39

4.1 Oversight Sistem BI-RTGS dan Assessment BI-SSSS ... 39

4.2 Oversight Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia... 39

4.3 Oversight APMK ... 40

4.4 Financial Sector Assessment Program... 40

BAB V : ARAH KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN……….41

BOKS - BOKS Implementasi Treasury Single Account Pemerintah………..13

Pengaturan Daftar Hitam Nasional Penarik Cek dan atau Bilyet Giro Kosong………..30

(4)

Grafik Pertumbuhan Transaksi BI-RTGS...10

Grafik Troughput...12

Grafik harian transaksi BI-RTGS menjelang Hari Raya...13

Grafik harian transaksi BI-RTGS setelah Hari Raya...14

Pangsa nominal transaksi per kelompok bank...14

Pangsa volume transaksi per kelompok bank...14

Grafik perkembangan kliring penyerahan secara nasional...16

Grafik perkembangan nominal transaksi kliring...17

Grafik perkembangan RRH nominal transaksi kliring...17

Grafik perkembangan volume transaksi kliring...17

Grafik perkembangan RRH volume transaksi kliring...17

Grafik Nominal kliring penyerahan berdasarkan wilayah...17

Grafik Volume kliring penyerahan berdasarkan wilayah...17

Grafik prosentase penyerahan kliring per 5 wilayah terbesar berdasarkan volume...18

Grafik prosentase penyerahan kliring per 5 wilayah terbesar berdasarkan nominal...18

Grafik komposisi volume transaksi nasabah melalui sistem kliring dan sistem BI-RTGS untuk transaksi...18

transfer Rp. 50 juta keatas sampai dengan Rp 100 juta...18

Grafik perputaran kliring transfer kredit per siklus...18

Grafik prosentase pengembalian warkat debet berdasarkan volume...19

Grafik prosentase pengembalian warkat debet berdasarkan nominal...19

Grafik volume tolakan kliring karena cek/BG kosong...19

Grafik RRH volume tolakan kliring karena Cek/BG kosong...19

Grafik nominal tolakan kliring karena Cek/BG kosong...19

Grafik RRH nominal tolakan kliring karena Cek/BG kosong...19

Grafik prosentase jumlah kartu kredit tahun 2005...22

Grafik prosentase jumlah kartu kredit tahun 2006...22

Grafik prosentase volume transaksi kartu kredit tahun 2005...22

Grafik prosentase volume transaksi kartu kredit tahun 2006...22

Grafik prosentase nominal transaksi kartu kredit tahun 2005...23

Grafik prosentase nominal transaksi kartu kredit tahun 2006...23

Grafik prosentase nominal transaksi outstanding kartu kredit tahun 2006...24

(5)

Tabel range transfer dana...18

Tabel Penerbit Kartu Kredit...22

Tabel Jumlah Outstanding Kartu Kredit...23

(6)

BAB I : PENDAHULUAN

Ringkasan Eksekutif

Layaknya suatu proses metamormosis, bentuk dan isi Laporan Perkembangan Sistem Pembayaran (LPSP) juga mengalami perubahan. Pada penerbitan perdana tahun 2004, semangat penulisan lebih ditekankan pada kebutuhan untuk mengedukasi masyarakat mengenai kiprah dan seluk beluk Bank Indonesia dalam menjalankan salah satu fungsi utama (core function) di bidang sistem pembayaran. Sedangkan pada tahun 2005, fokus laporan lebih bersifat governance report berupa gambaran atas akuntabilitas manajemen pengelolaan operasional dan kebijakan yang ditempuh BI dalam menjaga kelancaran sistem pembayaran. Edisi tahun 2006 berubah lebih unik lagi. Pertama bentuk publikasi tidak lagi dalam bentuk hard copy berupa cetakan, namun berbentuk elektronik sehingga pengunjung web dapat mengakses secara langsung laporan dimaksud

pada www.bi.go.id/sp. Alasan kami sederhana,

publikasi LPSP ini sebenarnya hanya merupakan

complementary report atas buku laporan resmi

yang diterbitkan Bank Indonesia, sehingga publikasinya tidak harus dikemas dalam bentuk cetakan. Mempublikasi laporan dalam bentuk elektronik ternyata jauh lebih efisien. Tentu kami masih berprinsip untuk tidak mengurangi kelengkapan dan kualitas laporan. Kami juga mengubah fokus dan isi laporan. Pada edisi 2006 ini, penekanan laporan tidak lagi difokuskan pada akuntabilitas lembaga terhadap pelaksanaan tugas di bidang sistem pembayaran namun diarahkan hanya pada aspek pemaparan rinci perkembangan dan kebijakan utama yang ditempuh BI dalam bidang sistem pembayaran. Reorientasi ini dilakukan mengingat saat ini, Bank Indonesia telah menyampaikan laporan berkala yang bersifat governance report sebagai bentuk akuntabilitas formal kepada stakeholder yaitu:

Laporan Tahunan BI, Laporan Perekonomian Indonesia dan Laporan Stabilitas Sistem Keuangan. Gambaran umum pelaksanaan tugas BI dalam sistem pembayaran sebenarnya juga telah disampaikan pada ketiga laporan dimaksud. Oleh karena itu, agar tidak ada kesan tumpang tindih, fokus LPSP 2006 lebih ditekankan hanya pada analisa perkembangan dan deskripsi kebijakan sistem pembayaran selama peridode laporan. Pada LPSP 2006 terdiri dari 2 (dua) laporan utama yaitu Perkembangan Sistem Pembayaran, berupa pemaparan atas analisa perkembangan dan gambaran atas pelaksanaan kebijakan BI dalam sistem pembayaran. Perkembangan transaksi, adanya inovasi baru teknologi pembayaran dan pola transaksi pembayaran ritel dan bernilai besar akan dideskripsikan secara rinci. Termasuk dalam hal ini penyelenggaran sistem pembayaran lain di luar sistem perbankan yang sudah mulai marak, misalkan tren transaksi mobile, internet dan phone banking, e-money serta jasa remittances yang semakin luas digunakan oleh masyarakat yang unbanked. Sedangkan bagian kedua aka menjelaskan yaitu kebijakan sistem pembayaran dalam rangka mendukung stabilitas sistem keuangan, yang memaparkan berbagai kebijakan yang telah ditempuh oleh Bank Indonesia selama tahun 2006 dengan dilengkapi penjelasan mengenai tujuan kebijakan dan alasan yang mendasarinya. Sub bagian ketiga merupakan laporan oversight terhadap penyelenggaraan sistem pembayaran dan sub bagian terakhir yang berisikan arah kebijakan sistem pembayaran yang akan ditempuh di tahun mendatang.

Bagian Kedua terdiri dari empat sub bagian yaitu sub bagian pelaksanaan kebjakan pengedaran uang yang memaparkan berbagai kebijakan yang telah ditempuh Bank Indonesia di bidang pengedaran uang dengan berbagai penjelasan

(7)

mengenai tujuan yang hendak dicapai. Sub bagian kedua adalah peningkatan kinerja Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas di bidang pengedaran uang, sub bagian ketiga mengenai hubungan kerjasama Bank Indonesia dengan pihak terkait dan yang terakhir adalah sub bagian keepat yang memaparkan arah kebijakan dan recana kegiatan pengembangan di bidang pengedaran uang.

(8)

Perkembangan Umum Aktifitas Pembayaran dan Pengedaran Uang Di Indonesia

Sistem pembayaran yang berfungsi dengan baik sangat penting bagi aktivitas perekonomian. Kelancaran sistem pembayaran terbukti mampu menjadi faktor positif pendukung stabilitas sistem keuangan suatu negara. Keyakinan yang tinggi dari pelaku ekonomi terhadap keamanan setelmen pembayaran akan menjamin transaksi komersial dan keuangan berjalan lancar. Sebaliknya, kegagalan pembayaran satu pelaku ekonomi dikhawatirkan dapat berdampak pada aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Tidak mengherankan jika sebagai otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia sangat berkepentingan untuk memastikan agar berbagai komponen sistem pembayaran, antara lain alat pembayaran, mekanisme kliring dan setelmen seluruh pelaku sistem pembayaran (peserta, pengguna dan penyedia jasa) bekerja secara harmonis.

Secara historis, pada umumnya cikal bakal fungsi utama yang melandasi keberadaan bank sentral bermula dari adanya pemberian hak tunggal sebagai penerbit dan pencetak uang. Fungsi utama tersebut berubah dinamis seiring dengan kian berkembangnya kebutuhan dan preferensi masyarakat alat pembayaran baru. Evolusi instrumen dan metode pembayaran baru melahirkan berbagai kepedulian baru bank sentral sebagai otoritas moneter dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Perubahan ini juga melahirkan tugas baru bank sentral terutama pada fungsi sistem setelmen, meskipun muara akhir kebijakan tetap sama, yaitu bagaimana memelihara dan menjaga “nilai” uang kartal dan

deposit money yang tersimpan pada semua

rekening giro/deposito/tabungan di perbankan. Kelancaran sistem pembayaran sebagai infrastruktur keuangan modern dianggap sebagai mekanisme penting yang dapat menjaga keyakinan pelaku ekonomi terhadap nilai uang. Wajar jika seluruh bank sentral sangat concern untuk mengadopsi international best practice

sebagai acuan prinsip utama dalam penyelenggaraan sistem pembayaran.

Sekurang-kurangnya ada 4 (empat) prinsip utama yang mendasari setiap kebijakan bank sentral dalam sistem pembayaran. Pertama, pengendalian resiko, terutama yang dikategorikan sebagai

systemically important payment system (SIPS),

yaitu sistem yang memproses transaksi bernilai besar karena adanya potensi resiko sistemik. Concern ini wajar karena transaksi harian antar bank di Indonesia yang di-settle melalui sistem BI-RTGS mencapai 117,6 trilyun rupiah, atau sebanding dengan 25% belanja negara selama setahun. Bisa dibayangkan potensi magnitute resiko SIPS jika tidak dimitigasi secara baik. Prinsip

kedua berkaitan dengan efisiensi. Pengembangan

sistem pembayaran diupayakan pada penyempurnaan mekanisme operasional dalam rangka pengurangan biaya khususnya biaya transaksi dan waktu proses setelmen. Meskipun asas efisiensi terkadang berseberangan dengan prinsip kecepatan dan keamanan, namun fokus efisiensi secara ekonomi ditekankan pada aspek economics scope and scale. Transaksi pembayaran ritel yang biasanya bernilai kecil, bersifat berulang-ulang dan banyak dilakukan pelaku individual, pada umumnya lebih mementingkan aspek efisiensi daripada unsur keamanan.

Prinsip ketiga adalah kesetaraan akses (equitable

access). Dalam hal ini bank sentral harus

memperhatikan agar semua penyelenggaraan sistem pembayaran menerapkan asas kesetaraan. Berarti, memberikan keseimbangan hak dan kewajiban antar seluruh pelaku sistem pembayaran baik penyedia jasa pembayaran maupun pengguna jasa pembayaran, termasuk kesempatan untuk memperoleh layanan yang sama antar berbagai wilayah. Prinsip ini penting agar layanan jasa pembayaran ritel juga dapat dinikmati oleh pengguna jasa pembayaran,

(9)

termasuk yang berada di wilayah terpencil (remote area).

Prinsip keempat, bank sentral perlu

memperhatikan aspek perlindungan konsumen dalam penyelenggaraan sistem pembayaran. Artinya, setiap penyelenggaraan wajib menerapkan asas perlindungan konsumen secara wajar dalam kegiatan operasionalnya. Prinsip ini sebenarnya memberikan keseimbangan hak dan kewajiban antara penyedia dan penyelenggara dengan pengguna layanan jasa pembayaran.

Secara umum, aktifitas transaksi pembayaran non tunai, pada tahun 2006 tercatat pertumbuhan positif, artinya meningkat baik dari sisi nilai dan volume pembayaran, terutama pada transaksi pembayaran yang bernilai besar. Transaksi yang

di-settle pada sistem BI-RTGS pada periode

laporan mencapai Rp29.102 triliun atau meningkat 44% dari tahun sebelumnya. Di sisi volume peningkatan tercatat mencapai 16.6% dibanding tahun sebelumnya atau mencapai 6,9 juta transaksi. Secara harian, rata-rata nilai transaksi adalah Rp118,3 triliun sedangkan rata-rata volume transaksi mencapai 28,1 ribu transaksi.

Hal yang sama terjadi pada transaksi pembayaran ritel yang menggunakan kartu (APMK). Aktivitas transaksi yang berbasis kartu mencatat pertumbuhan yang sangat pesat dibanding tahun sebelumnya. Jumlah kartu saat ini mencapai 37 juta dengan volume sebesar 1,06 milyar (meningkat 5%) dan nilai transaksi sebesar Rp. 1,24 ribu triliun (meningkat 25%).

Yang menarik, aktivitas pembayaran ritel yang di-settle melalui sistem kliring (neeting) pada tahun 2006 justru mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Total volume perputaran kliring secara nasional hanya mencapai 74,2 juta transaksi atau turun sebesar 4,9%, sementara nilai transaksi mencapai Rp 1,206 triliun atau turun sebesar 10,5%. Dengan penurunan ini maka rata-rata harian transaksi kliring adalah sebesar Rp 4,9 triliun (turun 6% dari 319 ribu transaksi) dan

volume sebesar 300 ribu transaksi (turun 12% dari Rp. 5,5 triliun).

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi Bank Indonesia dalam pengedaran uang, kebijakan tetap diarahkan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat akan uang kartal yang berkualitas dalam arti layak edar, jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai dan tepat waktu serta menanggulangi meluasnya peredaran uang palsu.

Di sisi pengedaran uang, aktifitas selama tahun 2006 juga menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Hal ini tercermin dari posisi uang kartal yang diedarkan (UYD) harian yang tercatat sebesar Rp. 144,5 triliun, yang meningkat sebesar 14,6% dari tahun 2005 (Rp. 126,1 triliun).

Sedangkan rasio temuan uang palsu terhadap uang kertas yang diedarkan pada tahun 2006 menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, namun masih berada pada nilai yang cukup rendah. Rata-rata rasio uang palsu terhadap UYD per bulan pada tahun 2005 sebesar 0,0000009 atau terdapat 9 lembar temuan uang palsu pada setiap 10 juta lembar uang kertas yang diedarkan, sedangkan pada 2006 rata-rata rasio temuan uang palsu terhadap UYD per bulan menjadi 0,0000014 atau terdapat 14 lembar pada setiap 10 juta lembar uang kertas yang diedarkan. BI menempuh strategi penanggulangan meluasnya pemalsuan uang Rupiah melalui upaya preventif dan represif. Upaya preventif yang dilakukan selama tahun 2006 meliputi peningkatan pengenalan dan pemahaman masyarakat terhadap ciri-ciri keaslian uang rupiah melalui kegiatan sosialisasi dan publikasi, serta merintis pembentukan unit khusus penanggulangan uang palsu. Adapun secara represif dilakukan melalui kerjasama dengan pihak penegak hukum khususnya dalam menangani kasus kejahatan pemalsuan uang.

(10)

BAB II : PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN DI INDONESIA

STABILITAS SISTEM PEMBAYARAN

2.1 Penyelenggaraan Sistem Pembayaran

Nilai Besar

Kinerja Sistem BI-RTGS

Trend aktivitas transaksi nilai besar yang diselenggarakan melalui RTGS selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2002 transaksi perharinya hanya 8.724 transaksi, sedangkan di tahun 2006 rata-rata perharinya telah mencapai 27.939. Jadi selama 4 tahun telah terjadi peningkatan aktivitas transaksi sebesar 220%. Pada waktu-waktu tertentu sepanjang tahun juga terdapat aktivitas transaksi yang cukup tinggi. Misalnya pada

hari-hari besar keagamaan atau hari-hari libur nasional, transaksi RTGS bisa mencapai nilai sekitar 40 ribu transaksi.

Khusus untuk mengantisipasi peningkatan transaksi pada hari-hari tertentu tadi, Bank Indonesia telah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi transaksi yang nilainya 25 juta kebawah, agar tidak menggunakan sistem RTGS. Pembatasan transaksi dalam periode ini dilakukan

dalam rangka libur idul fitri, yakni tanggal 12 s.d 27 Oktober 2006 dan dalam rangka libur natal dan tahun baru tanggal 18 s.d 29 Desember 2006. Batasan pengiriman transaksi meliputi transaksi antar bank untuk kepentingan nasabah yang hanya dapat dikirimkan jika nilainya >Rp 25 juta. Target dari kebijakan ini adalah dalam rangka antisipasi terhadap penggunaan kapasitas sistem BI-RTGS sehingga masih dalam batas toleransi yang ditetapkan. Adapun untuk transfer antar bank untuk kepentingan nasabah yang nilainya <Rp 25 Juta dapat diselesaikan melalui SKN-BI.

Peningkatan transaksi tersebut tentunya dapat berdampak pada menurunnya performance sistem BI-RTGS. Untuk mengakomodasi hal tersebut,

telah dilakukan enhancement aplikasi RTGS. Kapasitas mesin utama maupun sistem back-up ditingkatkan sehingga dapat memproses transaksi lebih cepat lagi. Bank anggota RTGS pun diperkenankan untuk meningkatkan kapasitas hardware mereka apabila dipandang transaksinya sudah meningkat dan dikawatirkan dapat mengganggu jalannya operasional transaksi.

Security features ditambahkan dengan enkripsi

Grafik Pertumbuhan Transaksi BI-RTGS

RTGS Growth (5 yrs) R2 = 0.8524 R2 = 0.8616 R2 = 0.4968 (10,000) -10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 1 /2/ 20 02 2 /21 /2 00 2 4 /12 /2 00 2 6 /1/ 20 02 7 /21 /2 00 2 9 /9/ 20 02 1 0 /2 9/ 20 02 1 2 /1 8/ 20 02 2 /6/ 20 03 3 /28 /2 00 3 5 /17 /2 00 3 7 /6/ 20 03 8 /25 /2 00 3 1 0 /1 4/ 20 03 1 2 /3 /2 0 0 3 1 /22 /2 00 4 3 /12 /2 00 4 5 /1/ 20 04 6 /20 /2 00 4 8 /9/ 20 04 9 /28 /2 00 4 1 1 /1 7/ 20 04 1 /6/ 20 05 2 /25 /2 00 5 4 /16 /2 00 5 6 /5/ 20 05 7 /25 /2 00 5 9 /13 /2 00 5 1 1 /2 /2 0 0 5 1 2 /2 2/ 20 05 2 /10 /2 00 6 4 /1/ 20 06 5 /21 /2 00 6 7 /10 /2 00 6 8 /29 /2 00 6 1 0 /1 8/ 20 06 1 2 /7 /2 0 0 6 1 /26 /2 00 7 3 /17 /2 00 7 5 /6/ 20 07 6 /25 /2 00 7 8 /14 /2 00 7 1 0 /3 /2 0 0 7 1 1 /2 2/ 20 07 1 /11 /2 00 8 Tr a n s a ks i Volume_All Volume_Nasabah Volume_Lain Poly. (Volume_All) Poly. (Volume_Nasabah) Poly. (Volume_Lain)

(11)

pada sisi tertentu untuk meningkatkan keamanan sistem.

Penjagaan performance sistem juga dilakukan melalui pelaksanaan uji coba disaster recovery planning. Pada tahun 2006 telah dilaksanakan sebanyak 4 kali yang melibatkan seluruh peserta BI RTGS. Uji coba ini dimaksudkan untuk menguji kesiapan sistem back up apabila sistem utama mengalami gangguan. Lebih lanjut, uji coba ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesiapan dan kepatuhan operasional baik dari sisi penyelenggara maupun peserta terhadap prosedur penanggulangan keadaan darurat yang telah ditetapkan.

Manajemen Likuiditas Sistem BI-RTGS

Penggunaan sistem BI-RTGS terbukti mampu mengurangi risiko sistemik. Hal ini karena sifatnya transaksinya yang dilakukan secara gross atau tidak dapat terlaksana apabila dana tidak tersedia. Artinya risiko gagal bayar oleh peserta RTGS tidak mungkin terjadi karena begitu peserta tidak memiliki dana untuk melakukan transfer dana, disain sistem secara otomatis menolak transaksi yang dibukukan.

Sangat disadari desain sistem seperti itu memerlukan likuiditas yang tinggi bagi setiap peserta. Ini berbeda dengan sistem netting yang hanya membutuhkan posisi likuiditas tertentu untuk dibayarkan oleh peserta pada periode yang telah ditetapkan, biasanya akhir hari seperti halnya sistem kliring. Misalnya dapat saja saldo peserta pada pagi hari lebih kecil dari total nominal transaksinya sehingga transaksinya tidak dapat dilaksanakan dan harus menunggu transaksi masuk, atau dalam sistem RTGS disebut

queue. Kondisi ini bukan berarti peserta tersebut

mengalami kesulitan likuiditas, karena mungkin saja seluruh transaksi yang seharusnya masuk

(incoming transfer) baru terjadi kemudian. Yang

terjadi hanyalah intraday gap atau kesenjangan likuiditas pada periode tertentu.

Mengatasi hal itu, Sistem BI-RTGS didesain untuk mengatasi intraday gap tersebut yaitu dengan

Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI), sehingga trade

off antara manfaat prudential dengan efisiensi

likuiditas pasar dapat terpenuhi. Desain sistem memungkinkan FLI dilakukan secara otomatis apabila saldo rekening giro bank peserta di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melakukan transaksi keluar. Bank dapat menggunakan FLI sesuai dengan nilai SBI dan SUN miliknya yang ditatausahakan di Bank Indonesia. FLI ini dapat dilunasi secara otomatis setelah bank menerima transfer masuk ke rekeningnya. Apabila FLI masih tidak mencukupi untuk mendanai transaksi peserta, maka akan berubah menjadi Fasilitas Pendanaan Jangka Panjang (FPJP).

Selain fasilitas diatas, setiap pagi hari pada kesempatan pertama Bank Indonesia juga melikuidkan pasar dengan mengkredit rekening giro bank atas Sertifikat Bank Indonesia yang telah jatuh tempo. Paling tidak bank memiliki dana yang cukup untuk melakukan outgoing

transfer di pagi hari.

Disamping berbagai fasilitas tersebut, Bank Indonesia juga melakukan monitoring terhadap likuiditas pasar. Salah satunya adalah dengan memperhatikan distribusi penyelesaian transaksi sepanjang window time. Distribusi transaksi yang merata sepanjang jam operasional BI-RTGS menunjukkan kadar likuiditas pasar yang cukup untuk mendukung kelancaran sistem BI-RTGS.

Untuk mendukung hal tersebut sejak tahun 2002 menetapkan biaya transfer dalam 2 penggalan waktu dengan biaya berbeda. Untuk transfer yang dikirimkan sebelum pukul 15.00 WIB dikenakan biaya Rp 7000 per transaksi dan pukul 15.00 WIB atau lebih dikenakan biaya Rp 15.000 per transaksi. Biaya transakasi tersebut adalah untuk kategori single transfer, namun demikian untuk

pengiriman multiple transfer1

tetap dikenakan biaya Rp 50.000 per transaksi sepanjang jam operasional.

Pada tahun 2006 transaksi yang dikirimkan sebelum pukul 15.00 WIB mencapai 88%

1

Multiple transfer adalah transaksi yang dikirimkan dengan 1 message transfer namun berisi lebih dari 1 transaksi yang ditujukan kepada 1 peserta yang sama.

(12)

sedangkan yang dikirimkan pukul 15.00 WIB atau lebih mencapai 12%. Dengan demikian terlihat bahwa pengiriman transaksi oleh peserta cenderung menyebar pada jam transkasi sebelum pukul 15.00 WIB. Ini mengindikasikan bahwa diversifikasi biaya untuk mendorong pengiriman transaksi oleh peserta dalam periode waktu tertentu masih terlihat efektif.

Selain dari sisi penyelenggara dalam kaitan untuk menjaga likuiditasnya, seluruh peserta BI RTGS telah menyepakati untuk menyelesaikan transfer dananya berdasarkan throughput guidelines yang terdapat dalam skema Bye Laws. Bank anggota BI-RTGS sepakat untuk menyelesaikan 30% dari total transaksi hariannya sebelum pukul 10.30 WIB. Kemudian 30% berikutnya antara pukul 10.30-14.30 WIB, dan sisanya 40% transaksi antara pukul 14.30 sampai 16.30 WIB. Actual troughput dapat dilihat pada grafik dibawah.

Pada grafik tersebut terlihat bahwa pengiriman transaksi telah terdistribusi dengan baik. Perbandingan distribusi sesuai throughput

guidelines Bye Laws BI-RTGS terpenuhi dengan

baik dan bahkan terlampaui, karena transaksi yang diselesaikan di penggalan waktu terakhir hanya mencapai 30% dari transaksi harian. Kinerja throughput menggambarkan bahwa manajemen likuiditas bank peserta BI-RTGS berjalan dengan baik. Hal ini mengindikasikan pula selama tahun 2006, sistem BI-RTGS tidak pernah mengalami kemacetan penyelesaian transaksi (gridlock). Meskipun selama operasional periode ini tidak terdapat kasus kemacetan penyelesaian transaksi,

namun dalam sistem BI-RTGS tekanan likuiditas dapat terjadi setiap saat. Guna mendukung mekanisme ini, penyelenggara sampai saat ini tetap menyediakan fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) bagi peserta. Penggunaan FLI dalam periode ini adalah sebesar Rp31,4 triliun. Jika dibandingkan dengan total transaksi yang

di-settle nilai tersebut adalah sebesar 0,11%. Hal ini

juga mendukung data sebelumnya yang menggambarkan bahwa masih baiknya pengelolaan likuiditas peserta BI-RTGS.

Perkembangan Transaksi BI-RTGS

Aktivitas transaksi pembayaran melalui sistem RTGS pada tahun 2006 mengalami peningkatan. Nilai yang di-settle pada sistem ini mencapai Rp29.102 triliun atau meningkat 44% dari tahun sebelumnya. Adapun dari sisi volume tercatat sebanyak 6,9 juta transaksi naik 16,6%. Rata-rata nilai transaksi per harinya mencapai Rp118,3 triliun sedangkan dari sisi volume tercatat 28, 1 ribu transaksi.

Penyebab utama naiknya nilai transaksi yang cukup signifikan adalah karena peningkatan pada transaksi pengelolaan moneter. Proporsi transaksi moneter yang selama ini mendominasi transaksi pada sistem RTGS sampai 35%-nya, tahun ini tercatat sebesar Rp10,2 ribu triliun yang naik 61,5% dari tahun sebelumnya. Apabila dilihat lebih jauh lagi, jenis transaksi pengelolaan moneter yang mengalami peningkatan tertinggi adalah transaksi intervensi dan pembelian SBI/SWBI.

Jenis transaksi lain yang turut menyumbang peningkatan ini yakni transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Tahun lalu transaksi ini hanya tercatat sebesar Rp3 ribu triliun, pada tahun laporan mencapai Rp4,2 ribu triliun atau naik 39,8%. Transaksi PUAB ini merupakan jenis transaksi dengan nilai nominal terbanyak ketiga setelah transaksi moneter dan transaksi terkait nasabah yang memiliki pangsa 14,4%.

Sementara itu untuk transaksi nasabah yang memiliki pangsa nilai 18,1% dari seluruh total

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Actual Troughput Troughput Guidelines <10:30 10:30 - 14:00 >10:30 Grafik Troughput

(13)

nilai transaksi mengalami peningkatan yang tidak sebesar kedua jenis transaksi sebelumnya. Dibanding tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 8,7% , yaitu dari Rp4,8 ribu triliun menjadi Rp5,2 ribu triliun. Peningkatan ini nampaknya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan mulai membaiknya beberapa indikator makro ekonomi selama tahun laporan seperti inflasi dan nilai tukar.

Di sisi volume, peningkatan transaksi paling signifikan terjadi pada transaksi terkait nasabah. Dengan pangsa yang mencapai 78,3% dari seluruh total volume, transaksi ini meningkat 18,8% dibanding tahun sebelumnya. Tahun lalu tercatat sebanyak 4,5 juta transaksi meningkat sampai 5,4 juta transaksi pada tahun laporan. Jenis transaksi lain juga mengalami peningkatan namun karena proporsi terhadap total volume transaksi relatif kecil atau hanya sekitar 20%, kenaikannya tidak terlalu signifikan berdampak pada total transaksi secara keseluruhan.

Pola Transaksi Dalam BI-RTGS

Pola pembayaran ataupun transfer dana di dalam sistem BI-RTGS dapat menggambarkan fenomena yang tengah terjadi pada waktu tertentu. Misalnya, pada hari Kamis hampir selalu terjadi peningkatan nilai transaksi diatas rata-rata harian. Nilai transaksi yang di-settle pada hari ini mencapai Rp192,35 triliun dengan volume 29,5 ribu transaksi perharinya. Apabila dibandingkan dengan rata-rata harian selama tahun laporan, dari sisi nilai lebih tinggi 63,9% dan volume 5,8%-nya. Hal ini karena pada hari Kamis merupakan jadwal penyelesaian transaksi untuk pembelian instrumen moneter SBI maupun SWBI.

Contoh pola yang lain adalah kecenderungan tingginya volume transaksi pada hari Hari Hari Senin. Setiap hari ini rata-rata volume perharinya mencapai 29,4 ribu transaksi atau lebih tinggi 5,3% dari rata-rata harian selama setahun. Transaksi paling banyak yang terjadi pada setiap hari Hari Senin adalah transaksi untuk nasabah. Hal ini menunjukkan bahwa pola masyarakat dalam melakukan transaksinya paling sering

dilakukan setiap hari Hari Hari Senin. Prosentase volume yang lebih tinggi dari rata-rata harian selama setahun terjadi pula pada hari Selasa dan Jum’at, yakni masing-masing 3,7% dan 1,6%. Ini terjadi akibat pelimpahan transaksi pembayaran pajak dari bank yang umumnya dilakukan pada setiap hari Selasa dan Jum’at.

Pola transaksi yang muncul secara tahunan adalah tingginya transaksi menjelang hari raya keagamaan. Pada saat mendekati hari raya Idul Fitri rata-rata transaksi mencapai 32,5 ribu per hari lebih tinggi 16,3% dari rata-rata harian selama setahun. Demikian pula dari sisi nilai yang

di-settle, yakni tercatat sebesar Rp138,96 triliun

per harinya atau lebih tinggi 18,4% dibanding nilai rata-rata harian selama setahun.

Pola yang mirip terjadi pula pada akhir tahun, terutama pada saat mendekati libur natal dan tahun baru. Rata-rata volume dan nilai transaksi pada hari- hari tersebut mencapai 34,3 ribu transaksi dan Rp179,65 triliun yang meningkat masing-masing 22,9% untuk volume perhari serta 53,1% untuk nilainya dibanding rata-rata pertahunnya. Hal ini semata disebabkan karena masyarakat (dan perbankan) merasa perlu untuk melakukan antisipasi terhadap tidak beroperasinya perbankan sepanjang libur hari raya (dan cuti bersama); termasuk antisipasi peningkatan transaksi (dan harga) komoditas kebutuhan pokok yang selalu menyertai perayaan hari raya keagamaan.

-10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 2-O ct 3-O ct 4-O ct 5-O ct 6-O ct 9-O ct 10 -O c t 11 -O c t 12 -O c t 13 -O c t 16 -O c t 17 -O c t 18 -O c t 19 -O c t 20 -O c t 26 -O c t 27 -O c t 30 -O c t 31 -O c t Ribu Transaksi -50 100 150 200 250 Rp Triliun Volume Nominal

(14)

Transaksi Perbankan

Perbankan merupakan kelompok terbesar pengguna sistem BI-RTGS, terutama untuk melakukan transfer dana untuk nasabah serta transaksi pasar uang antar bank. Diantara kelompok-kelompok bank, maka Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) merupakan kelompok yang mendominasi aktivitas transaksi dalam BI-RTGS. Hal ini semata disebabkan oleh jumlah peserta yang termasuk dalam kelompok BUSN adalah yang terbanyak dalam kepesertaan BI-RTGS.

Transaksi Pemerintah

Transaksi yang dilakukan oleh pemerintah melalui

sistem BI-RTGS memiliki pangsa 3,4% dari total nilai transaksi dan 2,5% dari total volume transaksi. Memang apabila dilihat dari pangsanya cukup kecil, namun transaksi ini diberikan prioritas utama untuk di-settle terlebih dahulu mengingat tingkat urgensinya tinggi. Contoh dari transaksi pemerintah yaitu pelimpahan pembayaran pajak ke rekening Kantor Pelayanan

Perbendaharaan Negara (KPPN)2, transaksi ke Bendahara Umum Negara (BUN) serta transaksi lain yang terkait dengan rekening pemerintah. Pada tahun laporan nilai transaksi tercatat sebesar Rp992 triliun atau naik 29,7% dibanding tahun sebelumya (Rp765 triliun). Sedangkan volume transaksi mencapai 176 ribu transaksi atau naik 17,07% dibanding tahun lalu (151 ribu transaksi).

Skim transaksi baru dalam sistem BI-RTGS adalah transaksi yang berkaitan dengan TSA Pemerintah (lihat boks Implementasi Treasury Single Account Pemerintah). Untuk melakukan transfer yang berkaitan dengan TSA Pemerintah, selama ujicoba peserta dikenakan biaya Rp 0 setiap melakukan transaksi melalui sistem ini. Pembebasan biaya ini terkait dari upaya penyelenggara untuk mendukung kegiatan Pemerintah khususnya Departemen Keuangan dalam melakukan pengelolaan keuangan negara sesuai amanat UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan. Pembebasan biaya tersebut berlaku sejak 11 Oktober 2006 dan baru meliputi transaksi yang berkaitan dengan kegiatan transaksi dalam rangka pengeluaran negara. Pembebasan biaya

TSA hanya dapat digunakan oleh peserta tertentu yang telah mendapat persetujuan dari Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Adapun penggunaan fasilitas tersebut oleh peserta di luar mekanisme TSA ujicoba akan dikenakan biaya transaksi oleh penyelenggara sebesar Rp 100.000. -20 40 60 80 100 120 140 1-D e c 4-D e c 5-D e c 6-D e c 7-D e c 8-D e c 11 -D e c 12 -D e c 13 -D e c 14 -D e c 15 -D e c 18 -D e c 19 -D e c 20 -D e c 21 -D e c 22 -D e c 26 -D e c 27 -D e c 28 -D e c 29 -D e c Ribu Transaksi (40) 10 60 110 160 210 260 310 360 410 460 Rp Triliun Volume Nominal

Grafik harian transaksi BI-RTGS setelah Hari Raya

26.5% 8.1% 22.4% 6.9% 36.0% B.Asing B.Campuran B.Pemerintah BPD BUSN 10.0% 3.7% 28.0% 6.9% 51.4% B.Asing B.Campuran B.Pemerintah BPD BUSN

(15)

Boks

IMPLEMENTASI TREASURY SINGLE ACCOUNT PEMERINTAH

Treasury Single Account (TSA) merupakan konsekuensi diterapkannya U.U. No. 1 tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara. Dalam UU tersebut diamanatkan bahwa semua uang negara setiap akhir hari harus disimpan pada rekening Kas Umum Negara di Bank Indonesia. Sesuai ketentuan peralihan sebagaimana diatur pada Pasal 70 ayat (3), Pelaksanaan TSA secara menyeluruh selambat-lambatnya tahun 2006.

Sejak 1 Juli 2005 telah dilaksanakan uji coba TSA untuk rekening Pengeluaran di KPPN Jakarta II, KPPN Batam dan KPPN Bekasi dengan menggunakan mekanisme rekening pengeluaran bersaldo nihil di bank umum yang sumber dananya berasal dari rekening KPPN yang ditatausahakan di BI (desentralisasi). Sejak 17 April 2006, mekanisme uji coba berubah menjadi mekanisme rekening pengeluaran bersaldo nihil kuasa bendahara umum negara pusat di bank umum (sentralisasi), yaitu sumber dananya berasal dari rekening Bendahara Umum Negara (BUN).

Pada tanggal 1 September 2006, dilaksanakan perluasan uji coba TSA dengan menggunakan mekanisme sentralisasi pada 50 KPPN yang berada di 28 KBI. Uji coba ini melibatkan 3 bank mitra kerja 50 KPPN, yaitu BRI, BNI, dan Bank Mandiri serta lembaga non bank, yaitu Sentral Giro Pos. Dalam rangka mendukung program Departemen Keuangan tersebut, selama uiji coba TSA kebijakan Bank Indonesia adalah melakukan pembebasan biaya transaksi uji coba TSA yang dilaksanakan melalui Sistem BI-RTGS dan SKNBI. Selanjutnya Departemen Keuangan merencanakan pelaksanakan TSA pada seluruh KPPN dengan menggunakan mekanisme Rekening Pengeluaran KPPN Bersaldo Nihil pada akhir tahun 2007.

Rentang Nilai Transaksi dalam Sistem BI-RTGS

Sejalan dengan ketentuan capping clearing, profil transaksi dengan skala nilai atau margin transaksi >Rp100 juta mendominasi transaksi yang melalui sistem BI-RTGS dengan pangsa 99,7%. Dari jumlah tersebut 94,7% merupakan transaksi >Rp1 Milyar. Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya transaksi yang >Rp100 juta menurun sebesar 13,6% Sedangkan transaksi dengan nilai <Rp100 juta hanya memiliki porsi kurang dari 10% atau menurun 16,6% dibanding tahun sebelumnya.

Berdasarkan volume transaksi, transaksi bernilai besar atau >Rp100 juta mencapai 72,8%. Dari jumlah tersebut jumlah transaksi yang >Rp1 milyar sekitar 20%-nya. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, untuk transaksi >Rp100 juta naik 13,5%. Sedangkan untuk transaksi yang kurang dari Rp100 juta memiliki pangsa 27% atau meningkat 32,5% dibanding tahun sebelumnya

2.2 Penyelenggaraan Sistem Pembayaran Ritel

Penyelenggaraan Kliring

Kinerja Sistem Kliring

Dalam kedudukannya sebagai penyelenggara kliring, Bank Indonesia telah berupaya untuk menjaga kelancaran operasional sistem kliring secara keseluruhan. Upaya tersebut dilakukan dengan penyeragaman sistem kliring di seluruh wilayah Indonesia melalui implementasi SKNBI dan penetapan FtS serta Prefund (pendanaan awal). Selain itu penyempurnaan dan

enhancement sistem kliring juga terus dilakukan

untuk meningkatkan kinerja sistem dan menambahkan fitur yang lebih baik.

Hal tersebut sangat penting dilakukan mengingat sistem kliring Bank Indonesia merupakan sistem pembayaran terbesar kedua di Indonesia setelah sistem BI-RTGS, dengan rata-rata harian volume transaksi mencapai 300 ribu dan nominal transaksi

mencapai 4.93triliun rupiah.

Selama tahun 2006, Bank Indonesia juga menambah 2 wilayah kliring, yaitu di Mojokerto

(16)

dan Pasuruan. Penambahan wilayah kliring baru tersebut dilakukan dengan pertimbangan adanya gangguan force majeur, yaitu peristiwa luapan lumpur panas di Porong Sidoarjo yang telah menghambat aktifitas kliring perbankan yang berlokasi di Mojokerto dan Pasuruan karena terputusnya jalur transportasi antara kedua wilayah tersebut dengan Kota Surabaya. Dengan bertambahnya wilayah kliring ini, jumlah wilayah kliring Bank Indonesia pada tahun 2006 menjadi 107 wilayah dengan komposisi 37 wilayah dioperasikan oleh kantor-kantor Bank Indonesia dan 70 wilayah dioperasikan oleh non Bank Indonesia.

Meskipun sepanjang tahun 2006 dilakukan implementasi SKNBI secara bertahap di seluruh Indonesia baik untuk wilayah kliring dengan penyelenggara BI maupun wilayah kliring dengan penyelenggara non BI, namun demikian penyelenggaraan kliring secara umum di seluruh Indonesia dapat terlaksana dengan baik.

Manajemen Likuiditas dalam Sistem Kliring Penyediaan prefund (setoran awal) dalam rangka Failure to Settle merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh Bank Indonesia untuk menurunkan resiko yang terkandung dalam proses kliring. Sistem ini mengharuskan peserta kliring untuk menyetorkan dana terlebih dahulu di awal hari sehingga saldo rekening mencukupi untuk menyelesaikan transaksi kliring yang dilakukan.

Sepanjang tahun 2006, secara umum kondisi likuiditas perbankan untuk menyelesaikan kewajiban settlement hasil kliring sangat baik. Hal ini tercermin dari lebih besarnya prefund harian yang disediakan oleh bank peserta kliring dibandingkan dengan nilai settlement kliring harian.

Dalam kedudukannya sebagai penyelenggara kliring, Bank Indonesia telah berupaya untuk menjaga kelancaran operasional sistem kliring

secara keseluruhan. Upaya tersebut dilakukan dengan penyeragaman sistem kliring di seluruh wilayah Indonesia melalui implementasi SKNBI dan penetapan FtS serta Prefund (pendanaan awal). Selain itu penyempurnaan dan

enhancement sistem kliring juga terus dilakukan

untuk meningkatkan kinerja sistem dan menambahkan fitur yang lebih baik.

Hal tersebut sangat penting dilakukan mengingat sistem kliring Bank Indonesia merupakan sistem pembayaran terbesar kedua di Indonesia setelah sistem BI-RTGS, dengan rata-rata harian volume transaksi mencapai 300 ribu dan nominal transaksi

mencapai 4.93triliun rupiah.

Perkembangan Transaksi Kliring

Perkembangan Perputaran Kliring

-20,000,000 40,000,000 60,000,000 80,000,000 100,000,000 120,000,000 140,000,000 160,000,000 180,000,000 200,000,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 2005 2006 -1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000 7,000,000 8,000,000 9,000,000 10,000,000 11,000,000 VALUE (Rp Juta) VOLUME (Transaksi) Trend Bulanan Volume Transaksi Kliring Trend Bulanan Nominal Transaksi Kliring

Value (Rp Juta) Volume

Grafik perkembangan kliring penyerahan secara nasional

Selama tahun 2006, perputaran transaksi kliring secara nasional mengalami penurunan dibanding periode sebelumnya. Total volume perputaran kliring secara nasional mencapai 74,2 juta transaksi dan nominal mencapai Rp 1,206 triliun transaksi. Hal ini menunjukkan penurunan perputaran transaksi kliring sebesar 4,9% di sisi volume dan 10,5% di sisi nominal dari periode sebelumnya.

Dengan rata-rata harian transaksi kliring sebesar Rp 4,9 triliun transaksi dan volume sebesar 300 ribu transaksi maka perputaran transaksi per hari mengalami penurunan sebesar 6% (dari 319 ribu transaksi) dan 12% (dari Rp 5,5 triliun transaksi).

(17)

Perkembangan nominal kliring 2005-2006 20,000,000 60,000,000 100,000,000 140,000,000 180,000,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 periode Nominal (Rp Juta) 20,000,000 60,000,000 100,000,000 140,000,000 180,000,000 Nominal (Rp Juta) 2006 2005

Perkembangan RRH nominal kliring

-2,000,000 4,000,000 6,000,000 8,000,000 10,000,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Periode Nominal (Rp Juta) -2,000,000 4,000,000 6,000,000 8,000,000 10,000,000 Nominal (Rp Juta) 2005 2006

Grafik perkembangan nominal transaksi kliring Grafik perkembangan RRH nominal transaksi kliring

Perkembangan perputaran volume kliring

-2,000,000 4,000,000 6,000,000 8,000,000 10,000,000 12,000,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Periode Volume -2,000,000 4,000,000 6,000,000 8,000,000 10,000,000 12,000,000 Volume 2006 2005

Perkembangan perputaran RRH volume kliring

-100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Periode Volume -100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 Volume 2006 2005

Grafik perkembangan volume transaksi kliring Grafik perkembangan RRH volume transaksi kliring

Ditinjau dari wilayah kliringnya, wilayah kliring Jakarta masih memiliki pangsa 51% dan 46% untuk volume dan nominal transaksi kliring

penyerahan secara nasional. Dominasi wilayah kliring Jakarta ini karena aktivitas ekonomi banyak yang dilaksanakan di Jakarta selain sebagian besar bank berkantor pusat di Jakarta. Dengan adanya SKN seluruh pelaksanaan klring khususnya transfer kredit bagi bank yang sistem internalnya sudah online dapat dilakukan secara terpusat, dalam hal ini di Jakarta.

Wilayah lain yang memiliki pangsa penyerahan kliring signifikan adalah Surabaya, Bandung, Medan dan Semarang.

Sejalan dengan itu, maka selama tahun 2006, total transfer dana melalui kliring yang tercatat di sistem SKNBI sebesar Rp 261,5 triliun dengan volume sebanyak 28,9 juta. Dari nilai transaksi tersebut, 85% berasal dari wilayah Jakarta. Kondisi ini terjadi karena desain SKN khususnya untuk transfer dana memungkinkan bank untuk melakukan sentralisasi di kantor pusatnya, yang sebagian besar di Jakarta.

0 20 40 60 80 100 120 140 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 2005 2006 Triliun Rp Luar Jakarta Jakarta -1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 1 2 3 4 5 6 7 8 910 1112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 2005 2006 Ribu Transaksi Luar Jakarta Jakarta

(18)

Jika ditelusuri lebih jauh, transfer dana yang melalui kliring untuk transfer dana di bawah Rp 10 juta adalah sebesar 26,5 juta lembar, antara Rp 10 – Rp 50 juta adalah sebesar 5,8 juta lembar. Sedangkan transfer dana antara Rp 50 – Rp 100 juta adalah sebesar 1,4 lembar.

Prosentase 2005 2006 Kenaikan/Penurunan

< 10 Juta 19,845,018 26,551,030 33.79%

10 Juta sampai 50 Juta 4,173,501 5,883,857 40.98% 50 Juta sampai 100 Juta 1,253,360 1,438,288 14.75%

Tahun Range Transfer Dana

Tabel range transfer dana

Tabel di atas menunjukkan kenaikan terbesar terjadi pada transfer dana dengan nominal antara Rp 10 juta sampai Rp 50 juta yaitu sebesar 40,98%. Sedangkan kenaikan terkecil terjadi pada transfer dana melalui kliring dengan nominal Rp 50 juta sampai Rp 100 juta sebesar 14,75%. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar masyarakat masih memprioritaskan melakukan transfer dana melalui kliring untuk nominal di bawah Rp 50 juta. Sementara untuk nominal diatas Rp.50 juta nasabah mulai melirik RTGS sebagai alternatif selain melalui kliring. Hal ini dikarenakan sistem BI-RTGS memiliki keunggulan berupa waktu pemrosesan transfer yang lebih cepat. Hal ini terlihat dari grafik komposisi volume transaksi nasabah melalui sistem kliring dan sistem BI-RTGS untuk transaksi transfer Rp. 50 juta keatas

sampai dengan Rp 100 juta seperti terlihat pada grafik di bawah ini.

Sementara itu dengan dibaginya transaksi transfer kredit menjadi 2(dua) siklus (sejak diimplementasikannya SKNBI), maka selama tahun 2006 rata-rata harian volume transfer kredit yang dikliringkan pada siklus pertama mencapai 55,1 ribu transaksi dengan nominal sebesar 476,3 milyar transaksi. Sedangkan volume transfer kredit yang dikliringkan pada siklus kedua mencapai 62,303 transaksi dengan nominal sebesar 582,6 milyar transaksi. Dari data di atas, maka dapat dilihat bahwa 55% dari total transfer kredit dikliringkan pada siklus 2, hal ini dikarenakan adanya transfer kredit yang ditolak pada siklus 1 diproses kembali pada siklus kedua.

10,000 30,000 50,000 70,000 90,000 110,000 130,000 150,000 1 2 3 4 5 6 7 891011121 23 4 5 6 7 8 9101112 SIKLUS 1 SIKLUS 2 Volume -100,000 200,000 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 Nominal (Rp Juta)

NOMINAL (Rp JUTA) VOLUME

Grafik perputaran kliring transfer kredit per siklus

Selain transfer dana, selama implementasi SKNBI pada tahun 2006, kliring warkat debet juga dikliringkan dengan total nilai transaksi sebesar Rp 682,4 triliun transaksi dengan jumlah volume sebanyak 30,2 juta transaksi. Bilyet Giro dikliringkan dengan total nominal sebesar Rp

Prosentase Volume 70.65% 6.08% 7.08% 1.39% 3.38%

JAKARTA SURABAYA BANDUNG

MEDAN SEMARANG

Grafik prosentase penyerahan kliring per 5 wilayah terbesar berdasarkan volume Prosentase Nominal 64.88% 7.64% 7.11% 4.93% 1.89%

JAKARTA SURABAYA BANDUNG

MEDAN SEMARANG

Grafik prosentase penyerahan kliring per 5 wilayah terbesar berdasarkan nominal -20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 160,000

Jan-05 Mar-05 May-05 Jul-05Sep-05 Nov-05 Jan-06 Mar-06 May-06 Jul-06Sep-06 Nov-06 Kliring RTGS

Grafik komposisi volume transaksi nasabah melalui sistem kliring dan sistem BI-RTGS untuk transaksi

(19)

607,5 triliun dan volume mencapai 27,3 juta transaksi, kemudian Cek dengan nominal Rp 74,4 triliun dan volume 2,4 juta transaksi. Sisanya adalah warkat debet lainnya seperti nota debet, wesel dan lain-lain yang nilai transaksinya mencapai Rp 385,9 milyar dengan volume sebanyak 473,3 ribu transaksi.

Sedangkan pengembalian warkat debet pada tahun 2006 mencapai volume 371,9 ribu atau 1,23% dari total penyerahan. Dari total volume pengembalian warkat debet tersebut, pengembalian dengan alasan cek dan BG kosong mencapai 73,3 %, selebihnya 26,7% adalah pengembalian dengan alasan lain. Sedangkan jika ditinjau dari sisi nominal mencapai Rp 9,7 triliun atau 1,41% dari total penyerahan. Dari total nominal pengembalian warkat debet 49,7% nya merupakan pengembalian dengan alasan cek dan BG kosong, selebihnya 50,3% adalah pengembalian dengan alasan lain.

Prosentase Volume 17.08% 56.23% 26.70% Cek Kosong BG Kosong Alasan Lain

Grafik prosentase pengembalian warkat debet berdasarkan volume Prosentase Nominal 17.27% 32.43% 50.30% Cek Kosong BG Kosong Alasan Lain

Grafik prosentase pengembalian warkat debet berdasarkan nominal 300,000 400,000 500,000 600,000 700,000 800,000 900,000 1,000,000 1 2 34 56 7 8910 11 1212 3 45 67 8 910 11 12 2005 2006 Rp Juta NOMINAL -10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 1 2 3 4 5 6 7 8 910 11 121 2 3 4 5 6 7 8 910 11 12 2005 2006 Rp Juta Rata-Rata Harian

Grafik nominal tolakan kliring karena Cek/BG kosong Grafik RRH nominal tolakan kliring karena Cek/BG kosong

Penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 40,000 45,000 50,000 1 2 3 4 5 6 7 8 910 11 121 2 3 4 5 6 7 8 910 11 12 2005 2006 Lembar LEMBAR -500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 1 23 45 67 8910 11 12123 4 56 78 910 11 12 2005 2006 Lembar Rata-Rata Harian

(20)

Kinerja Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu

Selama tahun 2006 Industri APMK diwarnai oleh upaya para penerbit APMK untuk menawarkan berbagai jenis kartu dengan fitur dan fasilitas yang semakin beragam, terutama kartu kredit. Hal ini secara signifikan berkontribusi dalam pertumbuhan ningkatan volume dan nominal transaksi. Rasio total jumlah kartu yang beredar dengan jumlah angkatan kerja saat ini sekitar 365 kartu untuk 1000 penduduk dengan asumsi satu penduduk hanya memegang satu kartu. Pada prakteknya satu orang dapat memegang beberapa jenis kartu sekaligus. Hal ini menunjukan bahwa potensi pasar di Indonesia masih cukup besar dan para penerbit kartu masih memiliki kesempatan untuk meningkatkan penetrasi pasarnya. Selain itu Indonesia dinilai sebagai negara yang relatif masih baru dalam industri ini, seluruh jenis instrumen di Indonesia dari mulai kartu kredit, debit, ATM sampai ke terminal point of sales (POS) masuk dalam kategori embrio. Dengan kata lain potensi pertumbuhannya masih dapat ditingkatkan untuk mendorong para pemain baru untuk memasuki industri ini.

Pembayaran menggunakan kartu seperti kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM telah cukup berkembang luas di masyarakat, tercermin dari peningkatan jumlah pemegang, volume dan nilai transaksi. Jumlah kartu beredar saat ini mencapai 37 juta, jumlah kartu yang merupakan account

based seperti kartu ATM dan kartu Debit

mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Apabila dibandingkan dengan tahun 2003 pertumbuhannya mencapai 54%, dan untuk pemegang kartu kredit tumbuh sebesar 82%. Sementara itu secara total volume dan nilai transaksi pembayaran dengan menggunakan kartu tumbuh sebesar 5 % dan 25 % dalam tahun 2006.

Kegiatan pembelanjaan yang dilakukan oleh masyarakat baik menggunakan kartu kredit maupun kartu debet tumbuh sebesar 21%.

Pertumbuhan aktifitas pembelanjaan dengan menggunakan kartu debet secara signifikan menunjukkan bahwa jumlah masyarakat yang memilih untuk berbelanja dengan dukungan kekuatan finansialnya sendiri juga meningkat, hal ini menunjukkan bahwa jumlah masyarakat yang berperilaku positif dalam berbelanja cukup besar.

Di satu sisi aktifitas pembelanjaan dengan kartu kredit juga mengalami peningkatan yaitu sebesar 20%, namun demikian apabila dibandingkan dengan tahun lalu, nilai pembelanjaan yang menjadi kredit mengalami penurunan dari semula 36% menjadi 33%. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku masyarakat cenderung lebih bertanggungjawab dalam menggunakan kartu kredit.

Dukungan jaringan dan infrastruktur kartu dalam tahun 2006 juga mengalami perbaikan. Jumlah mesin ATM, EDC, dan merchant secara berurutan mencapai 17 ribu, 167 ribu dan 165 ribu. Hal ini memperluas ketersediaan sarana untuk mendukung bertransaksi dengan kartu ATM dan kartu debet.

Dengan tujuan yang sama, pada tahun ini juga mulai dijajaki kemungkinan untuk melakukan kerjasama interoperabilitas antar sesama penyelenggara jaringan ATM. Nantinya kerjasama ini akan memberikan manfaat tambahan bagi para pengguna kartu ATM, berupa semakin luasnya cakupan pelayanan dan kecepatan pemrosesan transaksi degan kartu ATM, sehingga seorang nasabah bank nantinya dapat bertransaksi dengan nasabah bank lain, baik yang banknya tergabung dalam satu jaringan merk ATM maupun dalam jaringan merk ATM yang berbeda. Di sisi lain interoperabilitas juga memberikan efisiensi dalam pengelolaan mesin ATM oleh bank, yaitu menurunkan jumlah mesin ATM yang harus disediakan.

(21)

Jenis APMK yang ada saat ini adalah Kartu Kredit, Kartu ATM dan Kartu ATM yang sekaligus berfungsi sebagai Kartu Debit (ATM+Debit). Selama tahun 2006, jumlah APMK yang beredar sebanyak 37 juta kartu dengan nilai transaksi sebesar Rp. 1,24 ribu triliun dan volume transaksi sebanyak 1,06 milyar transaksi. Pertumbuhan industri APMK terutama didorong oleh pertumbuhan kartu ATM dan kartu ATM+Debit yang masih mendominasi dengan pangsa 77,4%. Nilai transaksi dengan jenis kartu ini mencapai Rp. 1.18 ribu triliun (pangsa 95,4%) dan volume 942 juta (pangsa 89,2%) transaksi, baik transaksi pengambilan tunai, pembelanjaan maupun transfer antar rekening dan antar bank.

Transaksi Kartu Kredit

Secara umum, selama tahun 2006 industri kartu kredit mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dibanding tahun sebelumnya. Hal ini tergambarkan dari jumlah kartu beredar yang

meningkat sebesar 5% yaitu dari 7,6 juta menjadi 8 juta kartu. Untuk aktifitas transaksi, nominal penggunaan kartu kredit mengalami pertumbuhan sebesar 15% dari Rp49.6 ribu milyar menjadi Rp57.3 ribu milyar, sedangkan dari sisi volume tumbuh sebesar 12% dari sebesar 102 juta menjadi 114 juta transaksi di tahun 2006. Pesatnya pertumbuhan ini tak lepas dari adanya peningkatan kebutuhan konsumsi masyarakat dan merebaknya pemberian fasilitas tambahan untuk penggunaan kartu kredit dari penerbit, antara lain pemberian diskon di merchant dan reward.

Grafik Jumlah Kartu Kredit

6,000 6,500 7,000 7,500 8,000 8,500 9,000

Jan Feb MarApr Mei Jun Jul Aug SepOkt Nov Des

( D a la m Ri bu ) Tahun 2005 Tahun 2006

Grafik Volume Transaksi Kartu Kredit

7,000 7,500 8,000 8,500 9,000 9,500 10,000 10,500

Jan Feb MarApr Mei Jun Jul Aug Sep Okt NovDes

( D a la m R ibu ) Tahun 2005 Tahun 2006

Grafik Nominal Transaksi Kartu Kredit

2,500 3,000 3,500 4,000 4,500 5,000 5,500

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

( D a la m M ily a r ) Tahun 2005 Tahun 2006

Jumlah penerbit kartu kredit pada tahun 2006 sebanyak 22 lembaga baik dari lembaga perbankan maupun lembaga keuangan lainnya, semua penerbit kartu kredit tergabung dalam 5 jaringan prinsipal asing yaitu Visa, Mastercard, JCB, Amex, Diners dan 1 jaringan prinsipal lokal yaitu BCA Card.

Prinsipal Jumlah

Grafik Jumlah APMK Beredar

25,000 30,000 35,000 40,000 45,000 50,000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

( Dalam Ribu )

Tahun 2005 Tahun 2006

Grafik Volume Transaksi APMK

55,000 65,000 75,000 85,000 95,000 105,000 115,000

Jan FebMar AprMei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des ( Dalam Ribu )

Tahun 2005 Tahun 2006

Grafik Nominal Transaksi APMK

20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000

Jan Feb Mar AprMei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des ( Dalam Milyar )

(22)

Penerbit

VISA 17

MASTERCARD INTERNATIONAL 8

JCB INTERNASIONAL 2

DINERS 1

AMEX dan BCA 5

Tabel Penerbit Kartu Kredit

Kegiatan transaksi kartu kredit pada tahun 2006 masih didominasi oleh pemegang kartu yang berasal dari 4 penerbit bank asing yang mencapai 2,6 juta kartu (32%) dengan nilai transaksi sebesar Rp. 27.8 triliun dan volume transaksi sebanyak 57,7 juta transaksi. Sedangkan kartu kredit yang diterbitkan oleh BUSN mencapai 2,2 juta kartu (27%) dari total kartu kredit dengan nilai transaksi sebesar Rp. 15.6 triliun dan volume transaksi sebanyak 28,7 juta transaksi. Dominasi ini cukup wajar mengingat sejumlah bank asing merupakan penerbit lama di industri kartu kredit.

Selama beberapa tahun ke belakang, Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) sempat mendominasi dalam hal jumlah kartu, tetapi pada tahun 2006, dominasi tersebut beralih kembali ke kartu kredit terbitan bank asing. Pada tahun 2005, jumlah kartu kredit BUSN yang beredar mencapai 42% tetapi pada tahun 2006 prosentase kartu kredit

BUSN turun menjadi hanya 31%.

Peralihan dominasi penerbitan ini ditengarai sebagai akibat dari gencarnya kegiatan promosi dari para penerbit kartu kredit asing selama tahun 2006. Berbagai contoh bentuk promosi yang ditawarkan adalah fasilitas potongan harga untuk transaksi belanja di merchant tertentu, pemberian

reward berupa barang, pembebasan iuran

tahunan bahkan tingkat suku bunga yang kompetitif. Selain itu, untuk menjaring konsumen penerbit kartu kredit lebih interaktif dalam memasarkan produknya dan mempermudah proses aplikasi atau permohonan kartu kredit. Namun demikian pengenaan biaya keanggotaan tahunan oleh para penerbit kartu kredit tidak bergeser dari tahun sebelumnya yaitu berkisar antara Rp75 ribu sampai dengan Rp5 juta tergantung dari jenis kartu atau pagu kredit yang diberikan.

Sebaran Jumlah Kartu Kredit Tahun 2005 2 9 % 4 2 % 2 5 % 4 % B a nk A s ing B US N P e m e rint a h C a m pura n

Grafik prosentase jumlah kartu kredit tahun 2005

Sebaran Jumlah Kartu Kredit Tahun 2006 3 7 % 2 7 % 31% 5% B a nk A s ing B US N P e m e rint a h C a m pura n

Grafik prosentase jumlah kartu kredit tahun 2006

Sebaran Volume Transaksi Tahun 2005 4 8 % 3 1% 18 % 3 % B a nk A s ing B US N P e m e rint a h C a m pura n

Grafik prosentase volume transaksi kartu kredit tahun 2005

Sebaran Volume Transaksi Tahun 2006 5 3 % 2 6 % 17% 4 % B a nk A s ing B US N P e m e rint a h C a m pura n

(23)

Selama tahun 2006, Bank Asing merupakan penerbit dengan transaksi teraktif, dengan kata lain sebagian besar transaksi kartu kredit yang dilakukan oleh masyarakat masih dilakukan dengan menggunakan kartu kredit yang diterbitkan oleh bank asing.

Volume transaksi yang dilakukan dengan kartu kredit terbitan Bank Asing mengalami peningkatan dari sebesar 48 % pada tahun 2005 menjadi 53 % pada tahun 2006. Hal ini diyakini karena para pemegang teraktif adalah pemegang kartu kredit bank asing yang notabene cukup lama menggunakan kartu kredit sebagai alat pembayaran dan memiliki tingkat confidence dan memercayai kartu kredit sebagai alat pembayaran yang aman.

Aktifitas transaksi yang dilakukan oleh masyarakat dengan kartu kredit saat ini terdiri dari dua macam yaitu untuk pembelanjaan dan penarikan tunai. Aktifitas pembelanjaan merupakan aktifitas terbanyak yang dilakukan mengingat fungsi utama kartu kredit adalah sebagai instrumen pembayaran non tunai. Selama tahun 2006 komposisi penarikan tunai mengalami penurunan dari sebesar 9% pada tahun 2005 menjadi 6 % pada tahun 2006. Transaksi belanja masih merupakan transaksi utama yang dilakukan oleh nasabah dengan proporsi 94% yaitu Rp. 53,8 juta milyar dari seluruh transaksi, fakta ini sesuai

dengan peruntukan kartu kredit yang memang ditujukan sebagai alat pembayaran pengganti. Sementara untuk transaksi penarikan tunai, jumlahnya jauh lebih kecil. Hal ini ditengarai karena bunga yang dikenakan oleh penerbit relatif lebih tinggi dibandingkan fasilitas kredit lainnya, yaitu berkisar antara 48-60% pertahun. Sebagai penerbit kartu kredit dengan transaksi teraktif, kartu kredit terbitan Bank Asing juga mendominasi sebaran nominal penggunaan kartu kredit. Nominal transaksi kartu kredit asing juga mengalami pertumbuhan dari sebesar 46% pada tahun 2005 menjadi sebesar 51% pada tahun 2006. Sebaliknya perkembangan kartu kredit BUSN mengalami penurunan dari sebesar 31% pada tahun 2005 menjadi 26% pada tahun 2006. Selama tahun 2006 dana outstanding yang terbentuk dari transaksi kartu kredit yang dilakukan mencapai 33%. Jumlah ini cukup tinggi walaupun relatif menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Daftar transaksi outstanding per penerbit sebagai berikut.

Penerbit Kartu Kredit Jumlah Transaksi Dana Outstanding Persentase

Bank Asing 27,9 triliun 8.6 triliun 31 % Bank Swasta

Nasional 15,6 triliun 4.8 triliun 31 % Bank

Pemerintah 7,9 triliun 3.1 triliun 40 % Bank

Campuran 3.8 triliun 1.3 triliun 35 % Tabel Jumlah Outstanding Kartu Kredit

Persentase transaksi kartu kredit yang menjadi kredit (dana outstanding) yang tertinggi berasal dari kartu kredit terbitan bank pemerintah disusul kartu kredit bank campuran. Sedangkan bank Asing yang mendominasi dari jumlah transaksi dan nominal transaksi, dana yang menjadi kredit 30 %. Sedangkan untuk nominal transaksi outstanding yang terbesar berasal dari kartu kredit terbitan asing, hal ini cukup wajar mengingat nominal transaksi yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit asing merupakan yang terbesar selama tahun 2006. Sebaran Nominal Transaksi

Tahun 2005 4 6 % 32 % 17% 5 % B ank A s ing B US N P em e rint a h C a m pura n

Grafik prosentase nominal transaksi kartu kredit tahun 2005

Sebaran Nominal Transaksi Tahun 2006 5 1% 2 8 % 14 % 7 % B a nk A s ing B US N

(24)

Sebaran Nominal Transaksi Outstanding tahun 2006 4 8 % 2 7 % 17 % 8 % B a nk A s ing B US N P e m e rint a h C a m pura n

Grafik prosentase nominal transaksi outstanding kartu kredit tahun 2006

Kartu ATM dan ATM + Debet

Aktivitas transaksi melalui kartu ATM dan ATM+ Debet di tahun 2006, relatif stabil dan cenderung menurun bila dibandingkan dengan pada tahun 2005 khususnya dari jumlah kartu sebanyak 32,7 juta kartu pada tahun 2005 menjadi 29,6 juta kartu pada tahun 2006. Sedangkan volume transaksi mengalami peningkatan sebesar 4 % sebanyak 906 juta transaksi pada tahun 2005 menjadi 943 juta transaksi pada tahun 2006. Demikian pula untuk nominal transaksi terjadi peningkatan sebesar 33 % dari Rp. 886 trilyun pada tahun 2005 menjadi Rp. 1.183 trilyun pada tahun 2006. Menurunnya jumlah kartu ATM yang beredar mungkin disebabkan adanya kebijakan bank untuk menerapkan biaya bulanan untuk kartu ATM. Sedangkan peningkatan volume dan nilai transaksi mencerminkan adanya peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat selama tahun 2006, berbagai aktifitas yang dilakukan masyarakat dengan menggunakan kartu ATM dan ATM+Debet adalah penarikan tunai, belanja, serta transfer dana interbank dan antarbank.

Grafik Jumlah Kartu Debet

22,000 24,000 26,000 28,000 30,000 32,000 34,000 36,000 38,000 40,000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

( D a la m Ri bu ) Tahun 2005 Tahun 2006

Grafik Volume Transaksi Kartu Debet

40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 90,000 100,000 110,000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

( Da la m Ri bu ) Tahun 2005 Tahun 2006

Grafik Nominal Transaksi Kartu Debet

-20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul AugSep Okt Nov Des

( D a la m M ily a r ) Tahun 2005 Tahun 2006

Pada tahun 2006, proporsi aktifitas transfer interbank mendominasi dengan nilai transaksi mencapai Rp. 692 trilyun ( 58 % ), diikuti penarikan tunai sebesar Rp. 461 trilyun ( 39 % ), aktifitas belanja sebesar Rp. 21.969 milyar ( 2 % ) dan sisanya transfer antarbank sebesar Rp. 6.588 milyar ( 1% ). Tingginya volume aktifitas penarikan tunai dan transfer karena kebanyakan bank memiliki fasilitas ATM untuk mengurangi jumlah tarik tunai di kasir. Disamping itu jumlah mesin ATM juga selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yang pada tahun 2006 mencapai 16.960 mesin. Di sisi lain, aktifitas belanja menunjukkan adanya animo masyarakat untuk menggunakan kartu sebagai alat pembayaran non tunai. Potensi ini dapat terus ditingkatkan untuk memperluas penggunaan instrumen non tunai dengan memperhatikan berbagai aspek yang dinilai penting oleh masyarakat berupa keamanan, aksesibilitas, dan kecepatan pelayanan.

Sebaran Transaksi Kartu Debet

39% 58% 1% 2% Tunai Transfer Interbank Transfer Antarbank Belanja

(25)

Sejalan dengan aktifitas belanja, aktifitas transfer antarbank juga mulai dilakukan nasabah melalui fasilitas ATM. Hal ini dapat dimungkinkan dengan tersedianya interoperability jaringan ATM, dimana seluruh bank yang menjadi anggotanya dapat melakukan transfer antarbank pada jaringan ATM tersebut. Alternatif ini menambah pilihan bagi masyarakat untuk melakukan transfer dana antar bank untuk nominal kecil.

Apabila dilihat dari jumlah jaringan penyelenggara switching ATM, pada tahun 2006 di Indonesia terdapat 5 jaringan lokal dan 2 jaringan internasional. Sementara untuk jaringan penyelenggara kartu debit terdiri dari 2 jaringan lokal dan 2 jaringan internasional. Jumlah bank anggota jaringan tersebut terlihat sebagaimana tabel berikut:

Jaringan ATM Bank Peserta

Lokal ATM Bersama 67

Link 4 Prima 25 Alto 15 Cakra 3 Internasional Cirrus 9 Plus 10 Jaringan Debit

Lokal Debit BCA 16

Kartuku 2

Internasional Visa Electron 10

Maestro 9

Tabel Jumlah Peserta Jaringan Swicthing ATM dan Debit

Kartu Prabayar dan Uang Elektronik (E-Money) Dalam tahun 2006, industri instrumen pembayaran ini relatif tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hal ini terjadi karena beberapa calon penerbit masih berupaya untuk menyempurnakan fitur serta memproses perijinan penerbitannya di Bank Indonesia. Diyakini pada tahun mendatang industri ini akan mulai diramaikan oleh beberapa penerbit awal, yang menerbitkan kartu prabayar dan e-money dalam beberapa variasi bentuk dan karakteristik misalnya cardbased dan operator served based. Penerbitan kartu prabayar dan e-money lebih diperuntukan bagi transaksi yang nilainya kecil dan proses pembayaran transaksinya sangat cepat

pada bidang usaha yang sifatnya massive (seperti : transportasi, perparkiran, transaksi pada restoran cepat saji).

Penyelenggaraan Money Remittance

Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU) atau biasa dikenal dengan money remittance menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Data dari BPS pada tahun 2006 transaksi pengiriman uang tercatat mencapai

sekitar USD 5 milyar. Bandingkan dengan tahun

2001 yang hanya mencapai sekitar USD 1 milyar.

Pertumbuhan transaksi ini nampaknya akan terus terjadi mengingat jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri senantiasa mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 tercatat 474 ribu TKI yang dikirim baik bekerja di sektor formal maupun informal. Dari jumlah tersebut sekitar 60%nya bekerja di sektor informal.

Seiring dengan pertumbuhan jumlah TKI tersebut, kebutuhan jasa pengiriman uang tentunya juga mengalami peningkatan. Saat ini terdapat beberapa saluran pengiriman uang dari luar negeri ke Indonesia. Di sektor formal beberapa jaringan perusahaan asing masih mendominasi seperti moneygram dan westernunion yang biasanya bekerja sama dengan bank maupun kantor pos, jaringan perbankan sendiri dan yang terakhir kegiatan usaha pengiriman uang informal.

Dari berbagai saluran tadi nampaknya TKI khususnya yang bekerja di sektor informal enggan menggunakan jasa perbankan atau jasa pengiriman uang formal lainnya. Hasil penelitian Pusat Penelitian Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat sekitar 70% transfer dana dari TKI melalui jalur non formal. Mereka lebih memilih jalur pengiriman swasta, agen TKI dan terkadang dibawa sendiri.

Sangatlah wajar apabila TKI memilih jalur tersebut. Pertama, prosedur tidak terlalu berbelit karena lebih mendasarkan pada aspek kepercayaan. Kedua, waktu pengiriman yang

(26)

relatif lebih cepat, karena biasanya menggunakan sistem korespondensi. Ketiga, yang terpenting adalah biaya pengiriman yang jauh lebih murah dibandingkan melalui jalur-jalur formal tadi.

Namun demikian berbagai kemudahan dan kelebihan tadi bukanlah tanpa risiko. Risiko yang sering terjadi biasanya karena tidak adanya kepastian dalam pengiriman uang. Kemudian dengan tidak ada aturan dan lembaga yang mengawasi maka jaminan penyelenggaraan yang dilakukan secara hati-hati dan mengutamakan aspek perlindungan konsumen tidak ada.

Disisi lain, kegiatan remitansi sering pula dimanfaatkan untuk tindakan ilegal, seperti pencucian uang dan pendanaan kegiatan terorisme. Ini juga merupakan konsekuensi tidak adanya otoritas yang mengatur kegiatan ini. Makanya dalam praktek internasional, tengah gencar dilakukan formalisasi terhadap penyelenggaraan remitansi ini. Bank For International Settlement (BIS) bahkan telah mengeluarkan core prinsipless atau acuan pokok penyelenggaraan remintansi. Disamping itu dituangkan pula dalam rekomendasi yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).

2.3 Penyelenggaran Sistem Pembayaran Lainnya

Berbagai aktifitas pembayaran lainnya yang diproses oleh sejumlah lembaga penyelenggara sistem pembayaran, baik yang dilakukan oleh bank maupun lembaga bukan bank. Lembaga penyelenggara sistem pembayaran antara lain memproses pengiriman dana, menyelenggarakan kliring dan menyelenggarakan settlement. Perkembangan aktifitas sistem pembayaran yang diselenggarakan oleh lembaga tersebut selama tahun 2006 dapat dirangkum dalam Tabel.1 Peta Perkembangan Penyelenggaraan Sistem Pembayaran.

(27)
(28)

Gambar

Grafik Pertumbuhan Transaksi BI-RTGS RTGS Growth (5 yrs)R2  = 0.8524R2  = 0.8616R2 = 0.4968(10,000)-10,00020,00030,00040,00050,0001/2/20022/21/20024/12/20026/1/20027/21/20029/9/200210/29/200212/18/20022/6/20033/28/20035/17/20037/6/20038/25/200310/14/200312
Grafik harian transaksi BI-RTGS menjelang Hari Raya
Grafik harian transaksi BI-RTGS setelah Hari Raya
Grafik perkembangan kliring penyerahan secara nasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaam Jumlah Trombosit Cara Manual Pada Pemberian Antikoagulan EDTA Konvensional (Pipet Mikro) Dengan EDTA Vacutainer. Universitas

 Mengetahui ciptaan tuhan  Anak menulis dengan rapi  Anak melengkapi huruf pada kata  Anak menggambar dengan rapi. Mengetahui

[r]

Sumber data primer pada penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dengan informan atau narasumber dan observasi secara langsung mengenai pelaksanaan penanaman

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat-Nya yang dianugerahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan baik yang berjudul : UPAYA

Analisis uji hipotesis asosiatif pertama ini digunakan untuk menguji hip otesis yang berbunyi “Terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara strategi pembelajaran

Berdasarkan penelitian sebelumnya(Sukmawati, 2010) di Maros dan penelitian (Nasution, 2009)di Jakarta menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapat imunisasi sesuai

Ujaran dosen pada data nomor (20) melanggar maksim hubungan karena pertanyaan tersebut menyiratkan teguran agar para mahasiswa memperhatikan penjelasan yang