• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAH KABUPATEN BUNGO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUNGO NOMOR 8 TAHUN 2008

TENTANG

TATA CARA PEMBERIAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN DAN RETRIBUSI SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BUNGO,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kelancaran pelaksanaan pemberian izin dibidang perdagangan sejalan dengan pelimpahan kewenangan kepada daerah, perlu mengatur tata cara pemberian surat izin usaha perdagangan; b. bahwa tata cara pemberian surat izin usaha perdagangan sebagaimana

ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2002 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini, sehingga perlu ditinjau kembali dan disempurnakan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan dan Retribusi Surat Izin Usaha Perdagangan;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 25) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko dan Daerah Tingkat II Tanjung Jabung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2755);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214);

(2)

5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502);

6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587);

7. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3611);

8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048);

9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720);

10. Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3903) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3969); 11. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Nomor 4389);

12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

13. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

(3)

14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4139);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BUNGO dan

BUPATI BUNGO MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG TATA CARA PEMBERIAN SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN DAN RETRIBUSI SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kabupaten Bungo;

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Bungo; 3. Bupati adalah Bupati Bungo;

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bungo;

5. SKPD adalah satuan kerja perangkat daerah yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang perindustrian dan perdagangan;

6. Perdagangan adalah kegiatan jual beli barang/jasa yang dilakukan terus menerus dengan tujuan pengalihan hak atas barang/jasa dengan disertai imbalan atau kompensasi;

7. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan turun menurun yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba;

8. Surat Izin Usaha Perdagangan yang selanjutnya disingkat SIUP adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan;

9. Surat Permintaan Surat Izin Usaha Perdagangan yang selanjutnya disingkat SP-SIUP adalah formulir yang diisi oleh perusahaan yang memuat data perusahaan untuk memperoleh SIUP Kecil/Menengah/Besar;

(4)

10. Perubahan Perusahaan adalah meliputi perubahan dalam perusahaan yang meliputi perubahan nama perusahaan, nama pemilik/penanggung jawab, alamat pemilik/penanggung jawab, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), modal dan kekayaan bersih (netto), kelembagaan, bidang usaha, jenis barang/jasa dagangan utama;

11. Cabang Perusahaan adalah perusahaan yang bertindak mewakili kantor pusat perusahaan untuk melakukan suatu kegiatan dan/atau pengurusannya ditentukan sesuai wewenang yang diberikan;

12. Perwakilan Perusahaan adalah perusahaan yang diberikan wewenang bertindak untuk mewakili kantor pusat perusahaan dan bukan merupakan bagian dari kantor pusat perusahaan;

13. Badan adalah suatu bentuk Badan Usaha yang Meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya. Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan bentuk apapun Persekutuan, Perkumplan Firma, Kongsi, Koperasi, Lembaga Dana Pensiun, Persektuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi yang sejenis Lembaga, Dana Pensiun Bentuk Usaha tetap dan Bentuk Badan Usaha lainnya; 14. Retribusi Surat Izin Usaha Perdagangan yang selanjutnya disingkat

Retribusi SIUP adalah retribusi yang dikenakan sebagai imbalan atas diberikan SIUP;

15. Retribusi Perizinan Tertentu adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan; 16. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan

perundang-undangan retribusi untuk memanfaatkan izin usaha perdagangan;

17. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi wajib retribusi untuk memanfaatkan izin usaha perdagangan; 18. Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD

adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang;

19. Surat Pendaftaran Objek Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SPdORD adalah surat yang digunakan oleh wajib retribusi untuk melaporkan data objek retribusi dan wajib retribusi sebagai dasar perhitungan dan pembayaran retribusi yang terutang menurut peraturan perundang-undangan retribusi daerah;

20. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar Tambah yang selanjutnya disingkat SKRDLBT adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah retribusi yang telah ditetapkan;

21. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar Tambah yang selanjutnya disingkat SKRDLBT adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah retribusi yang telah ditetapkan;

22. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena kelebihan pembayaran retribusi karena kredit retribusi lebih besar daripada retribusi yang terutang atau tidak seharusnya terhutang;

(5)

23. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda;

24. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan SKRD atau dokumen yang dipersamakan serta SKRDLB yang diajukan wajib retribusi;

25. Pemeriksaan adalah serangkaian untuk mencari, mengumpulkan dan mengelola data dan/atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan retribusi daerah;

26. Penyidikan Tindak Pidana dibidang retribusi daerah adalah serangkaian tindakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut itu membuat terang tindak pidana dibidang retribusi daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

BAB II SIUP Pasal 2

(1) Setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan, wajib memiliki IUP yang ditetapkan oleh Bupati.

(2) SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. SIUP Kecil;

b. SIUP Menengah; atau c. SIUP Besar.

Pasal 3

(1) Setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dengan modal disetor dan kekayaan bersih seluruhnya sampai dengan Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha wajib memiliki SIUP Kecil.

(2) Setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dengan modal disetor dan kekayaan bersih seluruhnya di atas dari Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha wajib memiliki SIUP Menengah.

(3) Setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dengan modal disetor dan kekayaan bersih seluruhnya lebih besar dari Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha wajib memiliki SIUP Besar.

Pasal 4

Setiap orang atau badan yang melakukan perubahan modal usaha dan kekayaan bersih baik karena peningkatan atau penurunan, wajib memperoleh SIUP sesuai dengan ketentuan Pasal 3.

(6)

Pasal 5

SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan untuk jangka waktu selama kegiatan usaha perdagangan masih berjalan.

Pasal 6

(1) Dalam rangka pengawasan terhadap SIUP yang diberikan, maka kepada pemegang SIUP diberikan Kartu Pengawasan.

(2) Kartu Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 5 (lima) tahun yang diberikan oleh Kepala SKPD.

(3) Setelah jangka waktu berlakunya Kartu Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang SIUP harus melakukan perpanjangan masa berlaku Kartu Pengawasan tersebut.

Pasal 7

(1) Pedagang keliling, pedagang pinggiran jalan atau pedagang kaki lima dibebaskan dari kewajiban memperoleh SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila yang bersangkutan menghendaki untuk memperoleh SIUP dan dinilai layak serta memenuhi persyaratan.

Pasal 8

Setiap perusahaan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya SIUP wajib mendaftarkan perusahaannya dalam daftar perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

BAB III

TATA CARA PERMOHONAN SIUP Pasal 9

Untuk memperoleh SIUP, setiap orang atau badan harus mengajukan permohonan tertulis kepada Bupati melalui Kepala SKPD dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut:

a. bagi perusahaan berbadan hukum:

1. fotocopy akta notaris pendirian perusahaan/koperasi yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi berwenang;

2. fotocopy surat keputusan pengesahan badan hukum dari pejabat yang berwenang bagi perseroan terbatas;

3. fotocopy KTP yang masih berlaku pemilik (bagi koperasi penanggung jawab);

4. fotocopy NPWP perusahaan/HO; 5. neraca awal perusahaan; dan 6. daftar tenaga kerja.

b. bagi perusahaan perorangan:

1. fotocopy KTP yang masih berlaku pemilik/penanggung jawab;

(7)

2. fotocopy NPWP perusahaan;

3. fotocopy Surat Izin Tempat Usaha (SITU); 4. neraca perusahaan; dan

5. daftar tenaga kerja.

Pasal 10

Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dinyatakan lengkap dan memenuhi persyaratan, maka Bupati wajib menetapkan IUP selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima.

BAB IV

PENOLAKAN PERMOHONAN SIUP Pasal 11

(1) Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan perusahaan tidak memenuhi persyaratan dengan benar dan lengkap, Bupati melalui Kepala SKPD berhak menolak permohonan SIUP yang bersangkutan.

(2) Permohonan yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan kembali setelah melengkapi persyaratan.

BAB V

PEMBUKAAN CABANG/PERWAKILAN PERUSAHAAN Pasal 12

(1) Setiap orang atau badan pemegang IUP yang akan membuka kantor cabang atau perwakilan perusahaan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh SIUP cabang/perwakilan.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan secara tertulis kepada Bupati melalui Kepala SKPD dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut:

a. fotocopy SIUP perusahaan pusat yang telah mendapatkan pengesahan/legalisir dari pejabat yang berwenang;

b. fotocopy KTP yang masih berlaku pimpinan kantor cabang/perwakilan;

c. fotocopy Tanda Daftar Perusahaan kantor pusat;

d. fotocopy Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dari pemerintah daerah tempat kedudukan kantor cabang/perwakilan; dan

e. fotocopy akta notaris atau bukti lainnya tentang pembukaan kantor cabang/perwakilan.

BAB VI

PERUBAHAN PERUSAHAAN Pasal 13

(1) Setiap orang atau badan yang akan melakukan perubahan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 10, terlebih dahulu harus mengajukan pemberitahuan secara tertulis kepada Bupati melalui Kepala SKPD.

(8)

(2) Bagi perorangan atau badan yang telah memperoleh SIUP, apabila melakukan perubahan perusahaan menyangkut modal maupun kekayaannya, maka terhadap SIUP yang dimiliki harus dilakukan perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3.

(3) Pengajuan permohonan perubahan SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan melampirkan neraca perusahaan dan hasil audit konsultan publik.

Pasal 14

(1) Apabila SIUP hilang atau rusak atau tidak terbaca lagi, maka pemilik/pemegang SIUP harus mengajukan permohonan penggantian SIUP kepada Bupati melalui Kepala SKPD.

(2) Permohonan penggantian SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. mengisi formulir yang telah ditentukan;

b. melampirkan surat keterangan hilang dari kepolisian setempat; c. melampirkan SIUP asli bagi yang rusak/tidak terbaca.

BAB VII PELAPORAN

Pasal 15

(1) Pemegang IUP Menengah dan IUP Besar wajib menyampaikan laporan kepada Kepala SKPD mengenai kegiatannya 2 (dua) kali setahun.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jadwal sebagai berikut:

a. semester pertama selambat-lambatnya tanggal 31 Juli tahun berjalan; dan

b. semester kedua selambat-lambatnya tanggal 31 Januari tahun berikutnya.

Pasal 16

Pemegang IUP wajib memberikan data/informasi mengenai kegiatan usahanya apabila diminta oleh Kepala SKPD.

Pasal 17

(1) Pemegang SIUP yang tidak lagi melakukan kegiatan usaha perdagangan atau menutup perusahaannya wajib melaporkan secara tertulis kepada Bupati melalui Kepala SKPD dan mengembalikan asli SIUP yang bersangkutan.

(2) Atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bupati melalui Kepala SKPD mengeluarkan keputusan tentang penutupan perusahaan.

(9)

Pasal 18

(1) Setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan yang memiliki kekhususan atau profesi seperti perdagangan jasa, penjualan berjenjang, penjualan minuman beralkohol, dan pasar modern perizinannya diatur tersendiri.

(2) SIUP sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini tidak berlaku untuk melakukan kegiatan usaha perdagangan berjangka komoditi.

BAB VIII SANKSI

Pasal 19

(1) Perusahaan diberikan peringatan tertulis apabila:

a. tidak memenuhi ketentuan sesuai dengan maksud dalam Pasal 9, Pasal 13 dan Pasal 14;

b. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan bidang usaha yang tercantum dalam SIUP;

c. belum mendaftarkan perusahaan dalam daftar perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;

d. adanya laporan/pengaduan dari pejabat yang berwenang ataupun pemilik dan/atau pemegang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bahwa perusahaan yang bersangkutan melakukan pelanggaran HAKI seperti antara lain Hak Cipta atau Merk; atau

e. adanya laporan/pengaduan dari pejabat yang berwenang bahwa perusahaan tersebut tidak memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 1 (satu) bulan oleh Kepala SKPD.

Pasal 20 (1) SIUP dapat dibekukan apabila:

a. tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; atau

b. sedang diperiksa pengadilan karena didakwa melakukan pelanggaran HAKI dan/atau melakukan tindakan pidana lainnya.

(2) Selama IUP dibekukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang SIUP dilarang melakukan kegiatan usaha perdagangan.

(3) Jangka waktu pembekuan IUP dengan ketentuan:

a. selama 6 (enam) bulan apabila melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau

b. sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.

(4) Pembekuan SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala SKPD.

(10)

Pasal 21

SIUP yang dibekukan dapat diberlakukan kembali apabila:

a. telah melakukan perbaikan terhadap peringatan dan melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan; atau

b. dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran HAKI dan/atau melakukan tindakan pidana lainnya sesuai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 22 (1) SIUP dapat dicabut apabila:

a. memberikan keterangan atau data yang tidak benar atau palsu dalam memperoleh SIUP;

b. perusahaan tidak melakukan perbaikan setelah melampaui batas waktu pembekuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a; atau

c. perusahaan dijatuhi hukuman atas pelanggaran HAKI dan/atau pidana lain yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(2) Pencabutan SIUP ditetapkan oleh Kepala SKPD atas persetujuan Bupati. Pasal 23

(1) Perusahaan yang dicabut SIUP nya, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak berlakunya penetapan pencabutan SIUP dapat mengajukan keberatan kepada Bupati.

(2) Paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati wajib memberikan jawaban secara tertulis menerima atau menolak keberatan tersebut.

BAB IX

PEMINDAHAN HAK ATAS SIUP Pasal 24

(1) Apabila pemegang SIUP meninggal dunia atau karena sesuatu hal sehingga tidak memungkinkan lagi untuk menjalankan usaha, maka SIUP dapat dipindahkan kepada ahli warisnya.

(2) Pemindahan SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak pemegang SIUP meninggal dunia atau dinyatakan karena sesuatu hal sehingga tidak memungkinkan lagi untuk menjalankan usaha.

(3) Pemindahan SIUP dilakukan dengan cara memperbaharui SIUP tanpa harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

(11)

BAB X RETRIBUSI SIUP

Bagian Pertama

Nama, Objek dan Subjek Retribusi Pasal 25

Dengan nama SIUP dipungut retribusi sebagai pembayaran atas pemberian SIUP.

Pasal 26 Objek retribusi berupa pemberian SIUP.

Pasal 27

Subjek retribusi terdiri dari orang pribadi atau badan yang memperoleh SIUP. Bagian Kedua

Golongan Retribusi Pasal 28

Retribusi SIUP digolongkan sebagai retribusi perizinan tertentu. Bagian Ketiga

Prinsip dan Sasaran Dalam Penetapan Struktur dan Besarnya Tarif

Pasal 29

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi didasarkan pada tujuan untuk menutupi sebagian atau sama dengan biaya penyelenggaraan pemberian SIUP.

(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya administrasi perizinan, biaya pengecekan, biaya transportasi dalam rangka pengawasan dan pengendalian, serta biaya pengadaan tanda atau kartu pengawasan.

Bagian Keempat

Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi Pasal 30

(1) Besarnya tarif retribusi ditetapkan berdasarkan klasifikasi SIUP. (2) Besarnya tarif retribusi ditetapkan sebagai berikut:

(12)

a. SIUP Kecil sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah);

b. SIUP Menengah sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah); c. SIUP Besar sebesar Rp.350.000,- (tiga ratus lima puluh ribu rupiah). (3) Selain tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang SIUP

dikenakan biaya setiap kali melakukan perpanjangan Kartu Pengawasan. (4) Besarnya biaya kartu pengawasan ditetapkan sebagai berikut:

a. SIUP Kecil sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah);

b. SIUP Menengah sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah);

c. SIUP Besar sebesar Rp.750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal 31

(1) Masa retribusi adalah jangka waktu selama SIUP masih berlaku dan usaha perdagangan masih berjalan.

(2) Masa kartu pengawasan adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 5 (lima) tahun atau ditetapkan lain dengan Keputusan Bupati.

Pasal 32

Saat retribusi terutang adalah saat diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.

BAB XI

SURAT PENDAFTARAN, PENETAPAN RETRIBUSI DAN TATA CARA PEMUNGUTAN

Pasal 33 (1) Wajib retribusi wajib mengisi SPdORD.

(2) SPdORD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib retribusi atau kuasanya. (3) Bentuk, isi serta tata cara pengisian dan penyampaian SPdORD

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Pasal 34

(1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan.

(2) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.

BAB XII

SANKSI ADMINISTRASI, TATA CARA PEMBAYARAN DAN TATA CARA PENAGIHAN

Pasal 35

Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat waktu atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan SKRD.

(13)

Pasal 36

(1) Pembayaran retribusi yang terutang harus dilunasi sekaligus.

(2) Retribusi yang terutang dilunasi selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.

(3) Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran retribusi sebagai berikut:

a. wajib retribusi dapat menyetor langsung kepada bendahara penerima yang telah ditunjuk oleh Bupati pada SKPD;

b. wajib retribusi dapat menyetor langsung ke kas daerah dengan mengirimkan lampiran tanda bukti setor kepada SKPD;

c. wajib retribusi dapat menyetor dengan menerima tanda bukti setor sementara dari petugas SKPD yang telah ditugaskan oleh Kepala SKPD untuk wewenang dimaksud.

Pasal 37

(1) Pengeluaran surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan setelah 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran.

(2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis, wajib retribusi harus melunasi retribusinya yang terutang.

(3) Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Kepala SKPD.

BAB XIII

KEBERATAN DAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN

Pasal 38

(1) Wajib retribusi dapat mengajukan keberatan hanya kepada Bupati atau pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang disamakan. (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai

alasan-alasan yang jelas.

(3) Dalam hak wajib retribusi mengajukan keberatan atas ketetapan retribusi, wajib retribusi harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan retribusi tersebut.

(4) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal SKRD atau dokumen lain yang disamakan diterbitkan, kecuali apabila wajib retribusi tertentu dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.

(14)

(5) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3), tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

(6) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan retribusi.

Pasal 39

(1) Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.

(2) Keputusan Bupati atas keberatan dapat berupa penerimaan seluruhnya atau sebagian atau menambah besarnya retribusi yang terhutang.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Bupati tidak memberikan suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.

Pasal 40

(1) Atas kelebihan pembayaran retribusi, wajib retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati.

(2) Bupati dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterima permohonan kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memberikan keputusan.

(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Bupati tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan retribusi dianggap dikabulkan dan SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan.

(4) Apabila wajib retribusi mempunyai utang retribusi lainnya kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang tersebut.

(5) Pengembalian kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkan SKRDLB.

(6) Apabila pengembalian kelebihan pembayaran retribusi dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan, Bupati memberikan imbalan bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan retribusi.

Pasal 41

(1) Permohonan pengembalian pembayaran retribusi diajukan secara tertulis kepada Bupati dengan sekurang-kurangnya menyebutkan:

(15)

a. nama dan alamat wajib retribusi; b. masa retribusi;

c. besarnya kelebihan pembayaran; dan d. alasan yang singkat dan jelas.

(2) Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran retribusi disampaikan secara langsung atau melalui pos tercatat.

(3) Bukti penerimaan oleh pejabat atau bukti pengiriman pos tercatat merupakan bukti saat permohonan diterima oleh Bupati.

Pasal 42

(1) Pengembalian kelebihan retribusi dilakukan dengan menerbitkan surat perintah membayar kelebihan retribusi.

(2) Apabila kelebihan pembayaran retribusi diperhitungkan dengan utang retribusi lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4), pembayaran dilakukan dengan cara pemindahbukuan dan bukti pemindahbukuan juga sebagai bukti pembayaran.

BAB XIV

PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN DAN KADALUARSA PENAGIHAN RETRIBUSI

Pasal 43

(1) Bupati dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi.

(2) Pemberian pengurangan atau keringanan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan kemampuan wajib retribusi antara lain untuk pengangsuran.

(3) Pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain diberikan kepada masyarakat yang ditimpa bencana alam, kebakaran atau kerusuhan.

(4) Tata cara pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Pasal 44

(1) Hak untuk melakukan penagihan retribusi, kadaluarsa setelah melampui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya retribusi, kecuali wajib retribusi melakukan tindak pidana dibidang retribusi.

(2) Kadaluarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:

a. diterbitkan surat teguran; atau

b. ada pengakuan hutang retribusi dari wajib retribusi baik langsung maupun tidak langsung.

(16)

BAB XV PENYIDIKAN

Pasal 45

(1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah dapat diberi kewenangan untuk melaksanakan penyidikan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;

b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana retribusi daerah;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah;

d. memeriksa buku-buku, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah;

e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;

f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang retribusi daerah;

g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;

h. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

i. menghentikan penyidikan;

j. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang retribusi daerah menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

BAB XVI

KETENTUAN PIDANA Pasal 46

(1) Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran.

(17)

BAB XVII

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 47

(1) SIUP yang telah diperoleh perusahaan sebelum ditetapkan Peraturan Daerah ini yang modal dan kekayaan bersihnya sampai dengan Rp.200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dinyatakan berlaku sebagai SIUP Kecil.

(2) SIUP yang telah diperoleh perusahaan sebelum ditetapkan Peraturan Daerah ini yang modal dan kekayaan bersihnya di atas Rp.200.000.000,- (Dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp.500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dinyatakan berlaku sebagai SIUP Menengah.

(3) SIUP yang telah diperoleh perusahaan sebelum ditetapkan Peraturan Daerah ini yang modal dan kekayaan bersihnya di atas Rp.500.000.000,- (Lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha dinyatakan berlaku sebagai SIUP Besar.

BAB XVIII

KETENTUAN PENUTUP Pasal 48

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2002 tentang Tata Cara Pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) (Lembaran Daerah Kabupaten Bungo Tahun 2002 Nomor 11) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 49

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bungo.

Ditetapkan di Muara Bungo pada tanggal 22 Juli 2008

BUPATI BUNGO, ttd.

H. ZULFIKAR ACHMAD

Diundangkan di Muara Bungo pada tanggal 22 Juli 2008

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BUNGO

ttd.

USMAN HASAN

Referensi

Dokumen terkait

Tugas kelompok dapat juga diartikan sebagai format belajar mengajar yang menitikberatkan pada interaksi anggota yang satu dengan anggota yang lain dalam suatu kelompok

Kolektibilitas kurang lancar : kredit digolongkan kurang lancar, yaitu jika memenuhi kriteria terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat karunianya Penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “Penelitian Putusan Hakim Dalam Perkara Illegal

Skripsi dengan judul “Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap Hasil Belajar Matematika siswa SMA Mamba’us Sholihin Sumber Sanankulon

Dalam studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti dilapangan sebelumnya juga menemukan bahwa di desa X memang telah terjadi kasus atau fenomena child abuse terhadap anak

Penelitian ini dilakukan selama 23 hari untuk perendaman lempeng nilon termoplastik ke dalam kelompok kontrol akuades dan kelompok perlakuan yang direndam

Terdapat beberapa indikator untuk mengukur sejauh apa kinerja seorang karyawan ( make up artist ), seperti menurut Hasibuan (2009:95) mengemukakan bahwa

Dalam Kategori Percaya Kepada Hari Akhir, yaitu bisa dicantumkan dalam pesan dakwah apabila dalam scene film ada yang beradegan acting atau dialog yang