• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Sumberdaya ikan bersifat common property resources atau sumberdaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Sumberdaya ikan bersifat common property resources atau sumberdaya"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Sumberdaya Ikan

Sumberdaya ikan bersifat common property resources atau sumberdaya milik bersama dan bersifat open access atau terbuka. Karakteristik tersebut dapat menimbulkan suatu anggapan “siapa cepat dia dapat” atau kompetisi dalam proses penangkapan ikan. Umumnya, kondisi open access akan menimbukan tangkap lebih (overfishing). Sebagai dampaknya, beberapa perairan Indonesia seperti pantai Timur Sumatera, Utara Jawa dan Bali, telah melampaui batas maksimum penangkapan ikan sehingga mengancam kapasitas keberlanjutan usaha perikanan (Nikijuluw, 2002).

Potensi sumberdaya perikanan menurut Naamin et al. (1991) diacu dalam Yurson (2005), merupakan segala kemampuan yang dimiliki oleh sumberdaya perikanan yang dapat digali, dimanfaatkan dan dikembangkan sesuai dengan keinginan. Sumberdaya perikanan dikenal sebagai renewable, yang dapat pulih secara alami, dan apabila tidak dimanfaatkan secara optimal akan dapat menimbulkan kerugian. Namun pada dasarnya pemanfaatan yang optimal harus diikuti dengan adanya suatu keberlanjutan pemanfaatan yang secara terus-menerus (Yurson, 2005).

Potensi sumberdaya alam yang mendukung pengembangan perikanan dalam DKP Serdang Bedagai (2008), terdiri atas :

1. Perikanan laut, meliputi sektor penangkapan dan budidaya ikan, dengan kewenangan di wilayah laut sejauh 4 mil sesuai dengan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999.

(2)

2. Perikanan darat, terdiri atas :

- Budidaya ikan air payau (udang dan ikan)

- Budidaya air tawar antara lain : kolam air tenang, kolam pekarangan, budidaya dan pemasaran ikan hias serta kolam-kolam pemancingan - Perairan umum meliputi : waduk, sungai dan rawa.

Klasifikasi dan Ciri Morfologis Ikan Tembang (Sardinella sp.)

Ikan tembang tergolong ikan pelagis ukuran kecil. Secara horizontal, daerah ikan-ikan pelagis dikelompokkan menjadi dua, yaitu neritic yang artinya daerah sepanjang “continental shelf” (paparan) mencapai kedalaman maksimum 200 m dan oceanic (laut bebas) sering juga disebut “off shore”, yakni daerah di luar paparan tersebut. Daerah pantai dengan kedalaman ±20 m masih bisa ditembus sinar matahari yang sangat kaya dengan berbagai spesies biota air termasuk di dalamnya pelagis kecil sampai pelagis besar (Nuitja, 2010).

Menurut Saanin (1984), ikan tembang memiliki rangka terdiri atas tulang benar, bertutup insang. Kepala simetris, badan tidak seperti ular, tidak seluruh sisik terbungkus dalam kelopak tebal. Bagian ekor tidak bercincin-cincin. Hidung tidak memanjang ke depan dan tidak membentuk rostrum. Pipi atau kepala tidak berkelopak keras dan tidak berduri. Sirip punggung terdiri atas jari-jari lemah yang berbuku-buku atau berbelah. Bersisik, tidak bersungut dan tidak berjari-jari keras pada punggung. Tidak bersirip punggung tambahan yang seperti kulit, tidak berbercak-bercak yang bercahaya, bertulang dahi belakang, sirip dada senantiasa sempurna. Perut sangat pipih. Perut bersisik tebal yang bersiku. Sirip perut sempurna, rahang sama panjang, daun insang satu sama lain tidak melekat, bentuk

(3)

mulut terminal (posisi mulut terletak di bagian depan ujung hidung), tajam serta bergerigi. Gigi lengkap pada langit-langit, sambungan tulang rahang dan lidah. Bentuk badan fusiform, pipih dengan sisik berduri di bagian bawah badan, awal sirip punggung sebelum pertengahan badan dan berjari-jari lemah 17-20, dasar sirip dubur pendek dan jauh di belakang dasar sirip dorsal serta berjari-jari lemah 16-19, tapisan insang halus, berjumlah 60-80 pada busur insang pertama bagian bawah, pemakan plankton dan membentuk gerombolan besar dengan panjang berkisar antara 12-25 cm, seperti terlihat pada (Gambar 2).

Gambar 2. Ikan tembang (Sardinella sp.) Sistematika ikan tembang menurut Fischer dan Whitehead (1974) : Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub kelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Clupeidae Sub famili : Clupeinae Genus : Sardinella Spesies : Sardinella sp.

Ikan tembang dapat ditangkap dengan macam-macam alat tangkap seperti payang, purse seine, jala tembang, pukat tepi (soma dampar, soma gosau, redi),

(4)

soma giob, gae, bokeami, bagan, jarig insang. Ikan tembang berwarna biru kehijauan bagian atas, putih perak bagian bawah, sirip-siripya pucat kehijauan, tembus cahaya. Dipasarkan dalam bentuk segar, asin kering, asin rebus (pindang), dengan harga yang sedang (Direktorat Jenderal Perikanan, 1979).

Distribusi Ikan Tembang (Sardinella sp.)

Ikan tembang adalah ikan permukaan dan hidup di perairan pantai serta suka bergerombol pada area yang luas sehingga sering tertangkap bersama ikan lemuru sampai pada kedalaman sekitar 200 m. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ikan membentuk kelompok antara lain ; sebagai perlindungan dari pemangsa, mencari dan menangkap mangsa, untuk tujuan pemijahan, bertahan pada musim dingin, untuk melakukan ruaya, pergerakan dan terdapatnya suatu pengaruh dari faktor-faktor yang ada sekelilingnya (Syakila, 2009).

Menurut Peristiwady (2006), ikan tembang termasuk ikan pelagis kecil yang hidup di lautan terbuka, lepas dari dasar perairan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran suatu jenis ikan di perairan diantaranya adalah kompetisi antar spesies dan intra spesies, heterogenitas lingkungan fisik, reproduksi, ketersediaan makanan, arus air dan angin. Pergerakan vertikal terjadi karena perubahan siang dan malam, dimana pada malam hari gerombolan ikan cenderung berenang ke permukaan dan berada pada permukaan sampai matahari sudah akan terbit dan pada waktu malam terang bulan gerombolan ikan tersebut agak berpencar atau berada tetap di bawah permukaan air. Pada saat akan memijah Sardinella fimbriata beruaya dari perairan pesisir ke perairan lepas pantai. Ikan ini penyebarannya meliputi perairan Indonesia menyebar ke utara

(5)

sampai Taiwan, ke selatan sampai ujung utara Australia dan ke barat sampai Laut Merah. Daerah penyebaran di Indonesia terutama berkumpul di daerah perairan Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Sulawesi Selatan, Selat Malaka dan Laut Arafura. Ikan tembang seperti ikan clupeidae lainnya memanfaatkan plankton sebagai makanannya. Pada umumnya makanan ikan ini memangsa crustacea ukuran kecil seperti copepoda, amphipoda dan udang stadia mysis serta larva-larva ikan. Selanjutnya diduga ada kemungkinan bahwa komposisi makanan akan berubah sesuai dengan musim serta jenis dan ketersediaan makanan di perairan. Dari jenis makanannya, ikan tembang tergolong omnivora cenderung ke herbivora.

Alat Tangkap Ikan Tembang (Sardinella sp.)

Ikan tembang termasuk ke dalam jenis ikan pelagis kecil yang ditangkap dengan berbagai macam alat tangkap seperti pancing, payang, pukat cincin, bagan dan jaring insang hanyut. Menururt Nurhakim et al. (1995), purse seine, payang, bagan dan gillnet merupakan alat tangkap yang sejak lama digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis di Laut Jawa.

a. Pancing (Rawai)

Partosuwiryo (2008) mengemukakan bahwa rawai atau prawe adalah alat pancing yang terdiri atas sejumlah mata kail yang dipasangkan pada sepanjang tali mendatar dengan perantara tali pendek (tali perambut). Menurut keadaan susunan alatnya, merupakan satu kesatuan alat rawai (satu cepet istilah nelayan untuk tempat penyimpanan alat rawai) terdiri atas empat suh. Mata pancing yang dipergunakan berbeda-beda menurut jenis/macam ikan yang akan ditangkap.

(6)

Rawai pinggir mempergunakan mata pancing antara nomor 7-12, sedangkan rawai tengah menggunakan nomor 1-4 dan jarak pemasangan bervariasi antara 4-7,5 m.

Penangkapan dapat bekerja pada waktu siang atau malam hari. Bila pancing dipergunakan pada waktu malam, setelah diadakan pelepasan rangkaian tali pancing, perahu dapat terus buang jangkar. Cara-cara melabuh alat menurut Partosuwiryo (2008) adalah sebagai berikut:

1. Mula-mula, pengapung pertama diikat menggunakan tali, begitu pula pemberat.

2. Kemudian perahu dijalankan dengan welahan. Sementara itu, pancing di tanggalkan dari tempat penyimpanan dan mata pancing tersebut dipasangi umpan berupa ikan yang telah dipotong-potong.

3. Dilemparkan ke dalam air satu persatu, demikian seterusnya. Kemudian tali unjaran diikatkan pada tali plamar (tali utama).

4. Lama pancing di dalam air tidak dapat ditentukan waktunya. Biasanya dalam sehari semalam dapat dilabuh antara 2-3 kali.

5. Begitulah seterusnya hingga penarikan alat selesai.

Hasil dalam satu hari atau satu malam penangkapan tidak dapat ditentukan (menurut daerah penangkapannya), diperkirakan rata-rata antara 25-120 kg. hasil tangkapannya berupa ikan manyung, remang, bambangan, layur, cucut, kakap, kerapu, dan lencam.

Menurut Syahrir (2011), pancing rawai terdiri atas tali utama, tali cabang, bendera, pelampung, pemberat, mata pancing, dan umpan. Pancing rawai diklasifikasikan ke dalam tiga bagian, yaitu berdasarkan letak pemasangan di perairan, susunan mata pancing pada tali utama, dan jenis ikan yang menjadi

(7)

tujuan utama penangkapan. Berdasarkan letak pemasangan di perairan, terdiri atas rawai permukaan/surface long line (Gambar 3.a) dan rawai pertengahan/midwater long line (Gambar 3.b). Berdasarkan susunan mata pancing yaitu rawai mendatar/horizontal long line (Gambar 3.c) dan berdasarkan jenis ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan yaitu rawai tuna/tuna long line (Gambar 3.d).

Gambar 3. Jenis pancing rawai a. surface long line b. midwater long line c. horizontal long line d. tuna long line (Sumber : Kep/06/Men/2010) b. Jaring Insang Hanyut (Gillnet)

Gillnet sering diterjemahkan dengan istilah jaring insang atau jaring rahang dan lain-lain. Istilah Gillnet didasarkan pada pemikiran bahwa ikan-ikan yang tertangkap gillnet terjerat pada bagian operkulumnya pada bagian jaring. Penamaan gillnet di Indonesia beraneka ragam, ada yang menyebutnya berdasarkan jenis ikan yang tertangkap (jaring koro, jaring udang dan sebagainya), ada pula disertai dengan nama tempat dan sebagainya. Tertangkapnya ikan-ikan dengan gillnet adalah dengan cara ikan tersebut terjerat (gilled) pada mata jaring ataupun terbelit (entangled) pada tubuh jaring. Pada

b.

d. c.

(8)

umumnya ikan-ikan yang menjadi tujuan penangkapan gillnet adalah ikan yang bermigrasi secara horizontal dan bermigrasi secara vertilal tidak seberapa aktif. Dengan kata lain, migrasi dari ikan-ikan tersebut terbatas pada suatu range layerdepth tertentu. Salah satu jenis jaring insang adalah jaring insang hanyut (drift gillnet).

Jaring insang hanyut adalah jaring insang yang pengoperasiannya dibiarkan hanyut di perairan, baik itu dihanyutkan di permukaan perairan, kolom perairan atau dihanyutkan di dasar perairan. Jaring insang hanyut dapat digunakan untuk mengejar gerombolan ikan dan merupakan suatu alat penangkap yang penting untuk perikanan laut bebas. Karena posisinya tidak ditentukan oleh jangkar, maka pengaruh dari kecepatan arus terhadap kekuatan tubuh jaring dapat dilakukan atau gerakan jaring bersamaan dengan gerakan arus, sehingga besarnya tahanan dari jaring terhadap arus dapat diabaikan (Sudirman dan Mallawa, 2003). Secara umum menurut Syahrir (2011), gillnet dibedakan menjadi empat yaitu:

1. Set gillnet, yaitu gillnet yang dijangkar pada dasar perairan atau kadang-kadang terapung (Gambar 4.a).

2. Drift gillnet, yaitu gillnet yang dibiarkan hanyut dengan atau tanpa kapal (Gambar 4.b).

3. Dragged gillnet.

4. Encircling gillnet, yaitu gillnet yang dipasang melingkar (Gambar 4.c). Jika ditinjau berdasarkan cara pemasangannya gillnet dapat dibedakan menjadi:

1. Drift gillnet (pengoperasiannya dibiarkan hanyut mengikuti arus dan gelombang).

(9)

2. Stake gillnet yaitu dipasang memakai tongkat-tongkat kayu di perairan dangkal (Gambar 4.d).

3. Diver gillnet (dibiarkan hanyut di atas dasar perairan, umumnya digunakan untuk menangkap ikan salmon).

4. Sink gillnet (dipasang menetap dengan jangkar).

5. Circle gillnet (dioperasikan dengan melingkari gerombolan ikan)

Gambar 4. Gill net a. Set gillnet b. Drift gillnet c. Encircling gillnet d. Stake gillnet (Sumber : Kep/06/Men/2010)

Jaring insang hanyut dalam bentuk yang sederhana hanya mempunyai ukuran beberapa meter dan banyak digunakan oleh beberapa nelayan sambilan di Selatan bali pada waktu musim ikan lemuru. Pengoperasiannya biasa dilakukan pada waktu malam hari, mulai matahari menjelang terbenam sampai menjelang terbit. Cara penangkapannya adalah rangkaian alat diturunkan dengan cara melintang arus, yaitu mengikuti atau searah dengan jalannnya arus dan dilakukan di dasar, sedangkan perahunya mengambil kedudukan di bawah angin. Alat beserta perahu akan menghanyut selama kurang lebih 2-3 jam. Sesudah waktu dirasa cukup, alat baru ditarik, cara tersebut dikerjakan terus berulang sampai pagi hari. Hasil untuk jaring ukuran 3,5-4 inci diperkirakan ± 25-80 kg. Terdiri atas

a.

d. c.

(10)

ikan tongkol, cucut tenggiri, kawang, manyung dan terkadang bandeng. Gillnet adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai ukuran mata jaring sama pada seluruh badan jaring dan lebar jaring lebih pendek dari panjangnya.

Pemilihan ukuran mata jaring merupakan faktor yang penting dalam pengoperasian gillnet karena besarnya ukuran mata jaring akan mempengaruhi ukuran ikan yang tertangkap secara terjerat. Terdapat kecenderungan bahwa ukuran mata jaring tertentu hanya menjerat ikan-ikan yang mempunyai kisaran ukuran fork length tertentu (Partosuwiryo, 2008).

Menurut Monintja et al. (1994) diacu dalam Syakila (2009), alat penangkap ikan yang termasuk selektif adalah gillnet, ukuran ikan yang tertangkap akan memiliki nilai maksimum pada beberapa ukuran ikan optimum dan menurun untuk ukuran yang lebih besar maupun lebih kecil dari ukuran tersebut. Selektivitas gillnet dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu yang pertama adalah dengan cara membandingkan hasil tangkapannya terhadap alat penangkapan lain yang tidak selektif (trawl) yang sudah diketahui selektivitasnya. Cara kedua adalah dengan membandingkan hasil tangkapan dari dua atau lebih gillnet dengan ukuran mata jaring yang berbeda. Gillnet tidak efektif dioperasikan apabila ikan dapat melihat jaring, sehingga sebagian besar gillnet dioperasikan pada malam hari, terutama jenis drift gillnet.

c. Bagan

Bagan adalah suatu alat tangkap yang bersifat pasif dan dibuat dari bahan bambu dan jaring yang ditancapkan secara tetap pada suatu perairan dengan kedalaman ± 7-10 m. Jarak dari pantai ± 2 mil dan jarak pemasangan antara suatu

(11)

bagan dengan bagan yang lain ± 200 m. Daun bagan dilabuh ke dalam air sampai ke dasar. Sementara itu, lampu petromaks yang telah menyala diturunkan dari bagian rumah bagan ke bawah sampai ± 30-40 cm di atas permukaan air. Setelah ikan berkerumun, daun bagan diangkat. Ikan – ikan yang tertangkap segera

diserok. Kemudian daun bagan diturunkan kembali seperti semula. Hasil penangkapan diperkirakan ± 40-200 kg semalam. Macam ikan yang tertangkap adalah ikan teri, selar, tembang, cumi, cumi dan ikan kecil lain (Partosuwiryo, 2008).

Menurut Brandt (1984), bagan merupakan alat tangkap yang diklasifikasikan ke dalam kelompok jaring angkat (lift net). Dalam pengoperasiannya, jaring diturunkan ke dalam perairan, kemudian diangkat secara vertikal. Sementara menurut Syahrir (2011), Bagan merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan cara dinaikkan atau ditarik ke atas dari posisi horizontal yang ditenggelamkan untuk menangkap ikan yang ada di atasnya dengan menyaring air. Penangkapan dengan bagan hanya dilakukan pada waktu malam hari, terutama pada saat gelap bulan dengan menggunakan lampu sebagai alat bantu penangkapan. Pengoperasian alat tangkap bagan menggunakan atraktor cahaya (light fishing) sehingga tidak efisien apabila digunakan pada saat terang bulan (purnama). Hal ini dikarenakan pada waktu terang bulan ikan-ikan cenderung menyebar di dalam kolom perairan (Gunarso, 1984 diacu dalam Arifin, 2008), sehingga fungsi cahaya sebagai atraktor tidak efisien bila dibandingkan saat gelap bulan. Oleh karena itu, umumnya nelayan-nelayan bagan tidak melakukan operasi penangkapan pada saat terang bulan.

(12)

Bagan perahu (boat lift net) menggunakan dua buah perahu yang pada bagian depan dan belakang dihubungkan dengan dua batang bambu sehingga berbentuk bujur sangkar sebagai tempat untuk menggantungkan jaringnya seperti terlihat pada (Gambar 5). Seperti juga rakit, bagan perahu ini dapat berpindah tempat penangkapannya.

Gambar 5. Bagan perahu (Sumber : Kep/06/Men/2010)

Operasi penangkapan dimulai pada saat matahari mulai terbenam. Terlebih dahulu jaring diturunkan sampai pada kedalaman yang diinginkan. Selanjutnya lampu-lampu mulai dinyalakan untuk menarik perhatian ikan-ikan agar berkumpul di bawah sinar lampu, maka jaring diangkat sampai berada di atas permukaan air dan hasil tangkapan tersebut diambil dengan menggunakan serok. Hasil tangkapan bagan selain cumi-cumi (Loligo spp) juga jenis-jenis ikan seperti teri, layang, tembang, japuh, pepetek, selar, kerong-kerong, kapas-kapas, gulamah dan biji nangka (Subani dan Barus, 1989).

d. Pukat Cincin (Purse Seine)

Menurut Partosuwiryo (2008), pukat cicin berbentuk segi empat trapesium yang terdiri atas sayap, sayap dalam dan bagian kantong. Pelaksanaannya seperti halnya payang, yaitu pukat cincin dilingkarkan melingkungi tendak, sementara itu tendak ditarik ke atas. Bila alat sudah saling bertemu, pertolongan tali pancing sampai bagian bawah merapat sehingga ikan-ikan itu tertangkap. Hasil dalam satu

(13)

trip penangkapan (2-4 hari) yang pernah dicapai adalah ± 2-4 ton. Terdiri atas ikan layang, lemuru, banyar, dan ikan-ikan lain yang sejenis dengan hasil tangkapan menggunakan payang.

Menurut Subani dan Barus (1989), umumnya perikanan purse seine di dunia menggunakan satu kapal (Gambar 6). Ada dua tipe kapal purse seine, yaitu tipe Amerika dan tipe Skandinavia (Eropa). Kapal purse seine tipe Amerika mempunyai bridge (anjungan) dan ruang akomodasi pada bagian haluan. Kapal purse seine tipe Skandinavia (Eropa) mempunyai bridge (anjungan), dan ruang akomodasi di buritan.

Gambar 6. Purse seine (Sumber : Kep/06/Men/2010)

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.06/MEN/2010 tentang alat penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, pukat cincin merupakan kelompok jenis alat penangkapan ikan jaring insang, berupa jaring berbentuk empat persegi panjang yang terdiri atas sayap, badan, dilengkapi pelampung, pemberat, tali ris atas, tali ris bawah dengan atau tanpa tali kerut/pengerut dan salah satu bagiannya berfungsi sebagai kantong yang pengoperasiannya melingkari gerombolan ikan pelagis. Pengoperasian alat penangkapan ikan jaring lingkar dilakukan dengan cara melingkari gerombolan ikan yang menjadi sasaran tangkap untuk menghadang arah renang ikan sehingga terkurung di dalam lingkaran jaring. Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan sampai dengan

(14)

kolom perairan yang mempunyai kedalaman yang cukup (kedalaman jaring ≤ 0,75 kedalaman perairan), umumnya untuk menangkap ikan pelagis.

Menurut Ayodhyoa (1981) diacu dalam Syahrir (2011), pada umumnya purse seine terdiri atas kantong (bag, bunt), badan jaring, tepi jaring, pelampung (float, corck), tali pelampung (corck line, float line), sayap (wing), pemberat (singker, lead), tali penarik (purse line), tali cincin (purse ring) dan silvege. Fungsi mata jaring (mesh size) dan jaring sebagai dinding penghadang/bukan sebagai penjerat ikan, sehingga perlu ditentukan besarnya ukuran mata jaring (mesh size), ukuran benang jaring (twine) yang sesuai dengan ikan yang menjadi tujuan penangkapan.

e. Payang

Payang merupakan kelompok jenis alat penangkapan ikan pukat tarik. Pengoperasian alat penangkapan ikan pukat tarik dilakukan dengan cara melingkari gerombolan ikan pelagis atau ikan demersal dengan menggunakan kapal atau tanpa kapal (Gambar 7). Pukat ditarik kearah kapal yang sedang berhenti atau berlabuh jangkar atau ke darat/pantai melalui tali selambar di kedua bagian sayapnya.

Pengoperasiannya dilakukan pada permukaan, kolom maupun dasar perairan umumnya untuk menangkap ikan pelagis maupun ikan demersal tergantung jenis pukat tarik yang digunakan. Pukat tarik pantai dioperasikan di daerah pantai untuk menangkap ikan pelagis dan demersal yang hidup di daerah pantai. Dogol dan lampara dasar dioperasikan pada dasar perairan umumnya menangkap ikan demersal. Payang dioperasikan di kolom perairan umumnya menangkap ikan pelagis.

(15)

Gambar 7. Payang (Sumber : Kep/06/Men/2010)

Model Surplus Produksi

Sparre dan Venema (1999), menyatakan bahwa pada umumnya hasil tangkapan (C) per unit upaya penangkapan (f) atau CPUE, dapat digunakan sebagai indeks kelimpahan relatif. Metode surplus produksi mendasarkan diri pada asumsi bahwa CPUE merupakan fungsi dari f, baik bersifat linier seperti pada model Schaefer maupun bersifat eksponensial seperti pada model Fox. Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut fmsy atau effort MSY), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY).

Sementara Widodo dan Suadi (2006), menyatakan MSY (Maximum Sustainable Yield) adalah hasil tangkapan terbesar yang dihasilkan dari tahun ke tahun oleh suatu perikanan. konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari suatu populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal. Konsep ini dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan suatu nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari model Schaefer yang paling sederhana. Berdasarkan model surplus produksi dari Schaefer diperoleh bahwa hasil tangkapan optimum yaitu upaya yang

(16)

menghasilkan produksi yang maksimum dapat dicapai pada tingkat upaya sebesar a/2b, dengan tingkat produksi maksimum sebesar a2

Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit. Sebagai contoh, tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan atau produksi yang biasanya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan, dan upaya penangkapan. Model surplus produksi dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies dan/atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre dan Venema, 1999).

/4b. Sedangkan dari Fox laju penangkapan optimum Fopt adalah q(k/q) dan MSY adalah Bý/e.

Namun menurut Widodo dan Suadi (2008), pengukuran yang tepat terhadap upaya penangkapan akan sangat menentukan bagi keberhasilan penerapan metode produksi surplus. Selama upaya penangkapan ditetapkan sebagai proporsi yang sebanding dengan mortalias penangkapan dan CPUE proporsional terhadap kelimpahan, maka nilai absolutnya tidak menjadi masalah penting.

Menurut Sparre dan Venema (1999), persyaratan untuk analisis model surplus produksi adalah sebagai berikut :

1. Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif.

(17)

3. Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam.

Tingkat Pemanfaatan Ikan Tembang (Sardinella sp.)

Bila penangkapan ikan lebih banyak dibandingkan kemampuan ikan memijah, maka wilayah laut tersebut akan miskin. Hal tersebut yang dikenal sebagai kondisi upaya tangkap lebih (overfishing). Sehubungan dengan hal itu terdapat analisis Total Allowable Catch (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) dan Maximum Sustainable Yield (Jumlah Maksimum Tangkapan Lestari) (Poernomo, 2009).

Dalam pengelolaan perikanan, tingkat pemanfaatan suatu sumberdaya perikanan dapat dinilai dari hasil perbandingan antara produksi aktual dengan potensi hasil maksimum berkelanjutan yang diperbolehkan sebagai acuan biologis. Tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang digunakan oleh komisi pendugaan Stok Ikan Laut Nasional (1997) diacu dalam Murniati (2011) terdiri atas empat tingkatan yaitu :

1. Tingkat rendah apabila hasil tangkapan masih sebagian kecil dari potensi hasil lestari (0-33,3%) dan upaya penangkapan masih perlu ditingkatkan. 2. Tingkat sedang apabila hasil tangkapan sudah menjadi bagian yang nyata

dari potensi lestari (33,3%-66,6%) namun penambahan upaya masih memungkinkan untuk mengoptimalkan hasil.

3. Tingkat optimum apabila hasil tangkapan sudah mencapai bagian dari potensi lestari (66,6%-99,9%), penambahan upaya tidak dapat meningkatkan hasil.

(18)

4. Tingkat berlebih atau overfishing apabila hasil tangkapan sudah melebihi potensi lestari (> 100%) dan penambahan upaya dapat berbahaya terhadap kepunahan sumberdaya.

Menururt Boer dan Aziz (1995) diacu dalam Syakila (2009), analisis surplus produksi juga dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total allowable catch/TAC) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan (TP). TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) suatu sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan atau metode.

Perikanan yang Berkelanjutan

Perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan (sustainable) dimulai pada awal tahun 1990-an yang merupakan proses dari terjadi beberapa perubahan yang menyangkut: (a) meningkatnya perhatian terhadap lingkungan dari para stakeholders sebagai akibat Rio summit yang menyerukan diperlukannya perbaikan secara global terhadap pengelolaan sumberdaya alam termasuk perikanan dan kelautan; (b) terjadinya collapse dari beberapa perikanan dunia seperti anchory, tuna dan salmon yang menyadarkan orang tentang konsekuensi yang ditimbulkan tidak hanya ekologi, namun juga konsekuensi sosial dan ekonomi; dan (c) pemberdayaan para stakeholders yang menuntut diperlukan

pandangan yang lebih luas (holistik) mengenai pengelolaan perikanan (Aldier, et al., 2000 diacu dalam Kartika, 2010).

Charles (2001), menyatakan keberhasilan menggapai keberlanjutan perikanan berkaitan erat dengan adopsi secara memadai atas konsepsi perikanan

(19)

sebagai suatu sistem dari interaksi kompleks antar elemen-elemen ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Ontologi ilmu pengetahuan perikanan yang semula berorientasi pada kelestarian (sustainable) sumberdaya ikan, dengan demikian telah megalami reorientasi keberlanjutan (sustainability) perikanan.

Menurut Fauzi (2006), ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam konsep keberlanjutan menurut Komisi Brundtland. Pertama, menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi. Kedua, menyangkut perhatian pada kesejahteraan generasi mendatang, sehingga pembangunan berkelanjutan dalam perikanan dapat diartikan sebagai pembangunan sektor perikanan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Menurut Biasane (2004) diacu dalam Kartika (2010), berpendapat bahwa paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasionalisasi (ekonomi) kemudian ke paradigma sosial/komunitas. Sementara Charles (1993) diacu dalam Kartika (2010), menyatakan meskipun ketiga paradigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan berkelanjutan, sehingga pandangan pembangunan perikanan yang berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek tersebut di atas. Oleh karenanya menurut Fauzi dan Anna (2005) konsep pembangunan perikanan berkelanjutan sendiri harus mengandung aspek:

1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass, sehingga tidak melewati daya

(20)

dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama.

2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan kata lain mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian dalam kerangka keberlanjutan ini.

3. Community sustainabily, mengandung makna bahwa keberlanjutan

kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian membangun perikanan yang berkelanjutan.

4. Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan yang kelembagaan menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan keberlanjutan di atas.

Sebagai suatu bentuk implementasi dari upaya mendeskripsikan keberlanjutan perikanan tangkap, Pitcher dan Preikshot (2001), memperkenalkan 44 atribut (Tabel 1) digunakan untuk menentukan status keberlanjutan perikanan dalam dimensi-dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika.

Apabila kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan dan holistik ini tidak dipenuhi maka pembangunan perikanan akan mengarah ke degradasi lingkungan, over-exploitation dan destructive fishing practics. Hal ini dipicu oleh keinginan untuk memenuhi kepentingan sesaat (generasi kini) atau masa kini, sehingga tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan diarahkan sedemikian rupa untuk

(21)

memperoleh manfaat masa kini. Akibatnya, kepentingan lingkungan diabaikan dan penggunaan teknologi “quick yielding” yang bersifat destructive seperti fish bombing /poisoning dapat terjadi (Fauzi dan Anna, 2002).

Tabel 1. Atribut-atribut keberlanjutan perikanan tangkap menurut dimensinya Dime

nsi

Atribut-atribut keberlanjutan perikanan tangkap Ekolo

gi

(1) Status eksploitasi, (2) Keragaman rekruitmen, (3) Perubahan trophic level, (4) Jarak migrasi, (5) Tingkatan Kolaps, (6) Ukuran ikan tangkapan, (7) Tangkapan belum dewasa, (8) Discarded by catch, (9) Spesies tangkapan.

Ekon omi

(10) Kontribusi pada PDRB, (11) Upah atau gaji rata-rata, (12) Pembatasan masuk, (13) Sifat pemasaran, (14) Pendapatan lain, (15) Ketenagakerjaan, (16) Kepemilikan, (17) Pasar utama, (18) Subsidi.

Sosial (19) Sosialisasi penangkapan, (20) Pendatang baru, (21) Sektor penangkapan, (22) Pengetahuan lingkungan, (23) Tingkat pendidikan, (24) Status konflik, (25) Pengaruh nelayan, (26) Pendapatan penangkapan, (27) Partisipasi keluarga.

Tekn ologi

(28) Lama trip, (29)Tempat pendaratan, (30) Pengelolaan pra-jual, (31) Penanganan di kapal, (32) Selektivitas alat tangkap, (33) Penggunaan FAD’s, (34) Ukuran kapal, (35) Kemampuan menangkap, (36) Efek samping alat tangkap.

Etika (37) Kedekatan historis, (38) Pilihan perikanan, (39) Pertimbangan berkegiatan, (40) Ketepatan pengelolaan, (41) Mitigasi destruksi habitat, (42) Mitigasi deplesi ekosistem, (43) Penangkapan melanggar aturan, (44) Buangan dan limbah. Sumber : Pitcher dan Preikshot (2001)

Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Pada priode ini mulai dirasakan bahwa kegiatan penangkapan ikan telah mempengaruhi dan mengubah status stok sumberdaya ikan terutama di perairan pantai dan perairan darat. Kini, ciri dasar sumberdaya perikanan dunia menunjukkan gejala yang terus menerus ke arah penipisan berbagai stok ikan yang disertai dengan tingginya tingkat modal dan tenaga kerja yang ditanamkan untuk kegiatan penangkapan. Kondisi ini juga diikuti oleh hasil tangkapan yang rendah serta sedikitnya pendapatan yang dapat diterima oleh nelayan. Dengan kompleksitas sumberdaya ikan, lingkungan dan manusia di masing-masing WPP

(22)

yang ada, dimasa yang akan datang WPP perlu dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Apalagi, otonomi daerah merupakan salah satu tantangan tersendiri dalam pengelolaan perikanan laut di Indonesia. Dalam Undang-Undang Otonomi Daerah (UU 22/1999 dan UU 25/1999) dijelaskan adanya pembagian kewenangan dalam pengelolaan perikanan antara pemerintah kabupaten/kota, provinsi, maupun pusat. Jika antar daerah tidak memiliki itikat yang baik dalam mengelola sumberdaya perikanan secara bersama akan mendorong pengelolaan sumberdaya ke arah yang tidak berkelanjutan dan lahirnya berbagai komplik perikanan (Widodo dan Suadi, 2008).

Menurut lokasi kegiatannya, perikanan tangkap di Indonesia dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu perikanan lepas pantai (offshore fishieries), perikanan pantai (coastal fisheries), dan perikanan darat (inland fisheries). Kegiatan perikanan pantai dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir. Perikanan pantai (coastal fisheries) ialah kegiatan penangkapan populasi hewan air (ikan, udang, kerang-kerangan) dan memanen tumbuhan air (ganggang, rumput laut) yang hidup liar di perairan sekitar pantai. Masalah utama yang dihadapi perikanan tangkap pada umumnya adalah menurunnya hasil tangkap yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan (overfishing) terhadap sumberdaya perikanan dan degradasi kualitas fisik, kimia, biologi dan lingkungan (Dahuri et al, 2004).

(23)

Manajemen Sumberdaya Perikanan

Bentuk-bentuk manajemen sumberdaya perikanan menurut Sutono (2003) diacu dalam Nabunome (2007) dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan antara lain:

a. Pengaturan Musim Penangkapan

Pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengaturan musim penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya ikan untuk berkembang biak. Secara biologi ikan mempunyai siklus untuk memijah, bertelur, telur menjadi larva, ikan muda dan baru kemudian menjadi ikan dewasa. Bila salah satu siklus tersebut terpotong, misalnya karena penangkapan, maka sumberdaya ikan tidak dapat melangsungkan daur hidupnya. Hal ini dapat menyebabkan ancaman kepunahan sumberdaya ikan. Oleh karena itu diperlukan suatu pengaturan musim penangkapan. Untuk pengaturan musim penangkapan ikan perlu diketahui terlebih dahulu sifat biologi dari sumberdaya ikan tersebut. Sifat biologi dimaksud meliputi siklus hidup, lokasi dan waktu terdapatnya ikan, serta bagaimana reproduksi. Pengaturan musim penangkapan dapat dilaksanakan secara efektif bila telah diketahui musim ikan dan bukan musim ikan dari jenis sumberdaya ikan tersebut. Selain itu juga perlu diketahui musim ikan dari jenis ikan yang lain, sehingga dapat menjadi alternatif bagi nelayan dalam menangkap ikan. Kendala yang timbul pada pelaksanaan kebijakan pengaturan musim penangkapan ikan adalah:

1. Belum adanya kesadaran nelayan tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada,

(24)

3. Hukum diberlakukan tidak konsisten, 4. Terbatasnya sarana pengawasan. b. Penutupan Daerah Penangkapan

Penutupan daerah penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada sumberdaya ikan yang mendekati kepunahan unuk berkembang biak sehinga populasinya dapat bertambah. Dalam penetuan suatu daerah penangkapan untuk ditutup, maka perlu dilakukan penelitian tentang stok sumberdaya ikan yang ada pada daerah tersebut meliputi dimana dan kapan terdapatnya ikan serta karakteristik lokasi yang akan dilakukan penutupan untuk penangkapan. Penutupan daerah penangkapan ikan juga dapat dilakukan terhadap daerah-daerah yang merupakan habitat vital seperti daerah berpijah (spawning ground) dan daerah asuhan/pembesaran (nursery ground). Penutupan daerah ini dimaksudkan agar telur-telur ikan, larva dan ikan yang kecil dapat bertumbuh. Untuk mendukung kebijakan penutupan daerah penangkapan ikan, diperlukan regulasi dan pengawasan yang ketat oleh pihak terkait seperti dinas perikanan dan kelautan setempat bekerjasama dengan Angkatan Laut, Polisi Air dan Udara (POLAIRUD) dan Stakeholders (nelayan).

c. Selektivitas Alat Tangkap

Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan selektivitas alat tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan stok ikan berdasarkan struktur umur dan ukuran ikan. Dengan demikian ikan yang tertangkap telah mencapai ukuran yang sesuai. Sementara ikan-ikan yang kecil tidak tertangkap sehingga memberikan kesempatan untuk dapat bertumbuh.

(25)

Contoh penerapan pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan selektivitas alat tangkap adalah:

1. Penetuan ukuran minimum mata jaring (mezh size) pada alat tangkap gillnet, purse seine dan alat tarik seperti payang, pukat dan sebagainya. 2. Penentuan ukuran mata pancing pada long line.

3. Penentuan lebar bukaan pada alat tangkap perangkap.

Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan selektivitas alat tangkap, peran nelayan sangat penting. Hal ini disebabkan aparat sulit untuk melakukan pengawasan karena banyaknya jenis alat tangkap (multigears) yang beroperasi di Indonesia. Kendala lain dalam kebijakan ini yaitu diperlukan biaya yang tinggi untuk modifikasi alat tangkap yang sudah ada pada nelayan. Sehingga perlunya peran masyarakat untuk memodifikasi alat sesuai dengan lokasinya dan aturan yang ada.

d. Pelarangan Alat Tangkap

Pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap didasarkan pada adanya penggunaan bahan atau alat yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi ikan dan yang paling buruk yaitu punahnya ikan. Seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bom, potas, cyanida. Seringkali pelanggaran terhadap peraturan penggunaan alat atau bahan berbahaya tidak ditindak sesuai aturan yang ada sehingga nelayan tersebut tidak jera. Hal ini menyebabkan pelaksanaan peraturan tersebut tidak efektif. Oleh karena itu efektifitas pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini sangat tergantung dengan penerapan aturan yang berlaku dan harus konsisten. Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan dengan pendekatan

(26)

pelarangan alat tangkap juga perlu adanya keterlibatan secara aktif dari nelayan dan masyarakat pesisir sebagai pengawas. Pengawasan yang dilakukan oleh nelayan dan masyarakat pesisir dapat membantu aparat dalam menindak oknum yang melakukan penangkapan dengan alat yang membahayakan dan merusak ekosistem sumberdaya perikanan.

e. Kuota Penangkapan

Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kuota penangkapan adalah upaya pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap (Total Allowble Catch = TAC). Kuota penangkapan diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan penangkapan ikan yang melakukan penangkapan di Perairan Indonesia. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan, maka nilai TAC harus dibawah Maximum Sustainable Yield (MSY). Implementasi dari kuota dengan TAC adalah :

1. Penentuan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atau suatu jenis ikan diperairan tertentu, kemudian diumumkan kepada semua nelayan sampai usaha penangkapan mencapai total TAC yang ditetapkan maka aktifitas penangkapan terhadap jenis ikan tersebut dihentikan dengan kesepakatan bersama.

2. Membagi TAC kepada semua nelayan dengan keberpihakan kepada nelayan sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial.

3. Membatasi atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sehingga TAC tidak terlampaui.

(27)

f. Pengendalian Upaya Penangkapan

Pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan dengan membatasi jumlah alat tangkap, jumlah armada maupun jumlah trip penangkapan. Untuk menentukan batas upaya penangkapan perlu adanya data time series yang akurat tentang jumlah hasil tangkapan dan jumlah upaya penangkapan di suatu daerah penangkapan. Mekanisme pengendalian upaya penangkapan yang paling efektif yaitu dengan membatasi izin usaha penangkapan ikan pada suatu daerah.

Menurut Widodo dan Suadi (2008), pengaturan atas upaya penangkapan dapat dilakukan dengan melalui pembatasan atas suatu parameter atau kombinasi dari sejumlah parameter yang berpengaruh terhadap kegiatan penangkapan yang dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pembatasan terhadap armada perikanan, termasuk jumlah, ukuran serta kekuatan mesin kapal. Peraturan ini mempunyai pengaruh langsung terhadap upaya penangkapan ikan. Pembatasan ini juga dapat merangsang terjadinya proses pengembangan teknologi untuk peningkatan produktivitas dari kapal yang ada. Implementasi regulasi tentang pembatasan alat dan teknik penangkapan bersifat mudah dan efektif terutama untuk mencegah terjadinya penipisan sediaan, tetapi kadang-kadang sangat kaku dan sama sekali tidak memenuhi tuntutan efisiensi ekonomi.

Sementara Widodo dan Suadi (2006) juga menyatakan bahwa pengelolaan perikanan dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya :

1. Pengaturan ukuran mata jaring,

2. Pengaturan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap, didaratkan atau dipasarkan,

(28)

3. Kontrol terhadap musim penangkapan ikan, 4. Kontrol terhadap daerah penangkapan ikan,

5. Pengaturan terhadap alat tangkap serta kelengkapannya, 6. Perbaikan dan peningkatan sumberdaya hayati,

7. Pengaturan hasil tangkapan total per jenis, kelompok jenis, atau bila memungkinkan per lokasi atau wilayah,

8. Setiap tindakan langsung yang berhubungan dengan konservasi semua jenis ikan dan sumberdaya hayati lainnya dalam wilayah tertentu.

Gambar

Gambar 2. Ikan tembang (Sardinella sp.)  Sistematika ikan tembang menurut Fischer dan Whitehead (1974) :  Phylum   : Chordata
Gambar 3. Jenis pancing rawai a. surface long line b. midwater long line c.
Gambar 4. Gill net a. Set gillnet b. Drift gillnet c. Encircling gillnet d. Stake                           gillnet (Sumber : Kep/06/Men/2010)
Gambar 5. Bagan perahu (Sumber : Kep/06/Men/2010)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Menyediakan, memasang dan menyiapkan semua jenis peralatan dan halangan bagi aktiviti lasak yang akan diadakan.. Mengemas dan menyimpan semula peralatan yang telah digunakan

Sehubungan dengan variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat golongan, status, dan kelas sosial penuturnya, variasi bahasa dapat dibagi atas akrolek (variasi bahasa yang

shell akan mengeksekusi instruksi1 , dan bila exit status instruksi1 adalah FALSE, maka hasil dari AND tersebut sudah pasti sama dengan FALSE, sehingga.. instruksi2 tidak

Lembaga Keuangan Bukan Bank ( non depository financial institution ) yaitu lembaga keuangan yang kegiatannya tidak dapat menghimpun dana secara langsung dari masyarakat dalam

 Melakukan ulangan berisi materi yang berkaitan dengan pengertian dasar statistika (data (jenis-jenis data, ukuran data), statistika, statistik, populasi, sampel, data tunggal),

PROGRAM KERJA BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAMO. INSTITUT ILMU KEISLAMAN ZAINUL

[r]

Kromatografi gas adalah teknik pemisahan fisik suatu campuran zat-zat kimia yang berdasar pada perbedaan migrasi dari masing-masing komponen campuran yang terpisah pada