• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Lokal Ilmu Politik FISIP Univers

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Politik Lokal Ilmu Politik FISIP Univers"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Fenomena

Local

Bossism”

dan Kegagalan Partai Politik dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah: Studi Kasus Kekuasaan Jawara Banten

Oleh: Nofia Fitri

I. Pendahuluan

Demokrasi dan Reformasi, dianggap sebagai sebuah loncatan besar dalam perubahan politik

di Indonesia. Harapan akan terpenuhinya hak-hak rakyat dalam sebuah negara yang

demokrasi, melalui reformasi 1998 menjadi semacam starting point dalam memberikan hak

politik kembali kepada rakyat. Desentralisasi adalah salahsatu perwujudan yang diharapkan

dapat mengembalikan kedaulatan rakyat yang sebelumnya menjadi milik penguasa otoriter.

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi

dari rakyatnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Diantara cita-cita terlaksananya desentralisasi adalah tercapainya good

governance. Cita-cita ini bisa dicapai dengan syarat adanya pemberian wewenang yang lebih besar kepada Pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya agar dapat memenuhi

kebutuhan rakyat. Tujuan agar rakyat lebih dekat dengan pemimpin juga adalah semangat

lain yang mendasari digagasnya sebuah otonomi daerah. Karenanya diharapkan menarik

lebih banyak partisipasi masyarakat sebagaimana cita-cita demokrasi.

Melalui desentralisasi juga, kepemimpinan politik dapat diterapkan secara

berimbang dimana setiap orang memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi. Reformasi

yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 ternyata selain menjadi sebuah wajah demokrasi

untuk Indonesia juga menjadi menjadi pembuka sebuah sejarah lahirnya para

penguasa-penguasa politik di daerah atau mereka yang disebut sebagai “raja-raja kecil” karena

diberlakukannya desentralisasi.

Fenomena munculnya penguasa-penguasa politik di era desentralisasi meminjam

istilah Mancur Oslon adalah “perbanditan” dimana penguasaan politik dan ekonomi

beralih dari bandit besar ke bandit kecil, atau apa yang disebut Sidel sebagai local

(2)

menyebut fenomena penguasa lokal tersebut sebagai local strongman.1 Sementara itu, studi

oleh Abdul Hamid terhadap fenomena Banten, menghasilkan apa yang Hamid sebut sebagai

pengusa durjana” yaitu mereka yang memanfaatkan desentralisasi untuk memenuhi

hasrat berkuasa untuk memperkaya diri dan keluarga hingga membangun dinasti politik.

Sederhananya para bos-bos lokal ini tengah membangun sebuah oligarki politik dan

ekonomi. 2

Desentralisasi dianggap sebagai seperangkat kelembagaan yang paling tepat

dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis, responsif dengan mendekatkan

negara dengan masyarakat. Demokrasi dengan desentralisasi sebagai panacea (solusi)

yang terjadi di Indonesia, ternyata memiliki kecenderungan untuk dibajak oleh

kepentingan-kepentingan predatoris yang mampu secara cekatan beradaptasi dengan lingkup politik baru

yang demokratis3. Para predatoris dalam definisi Vedi Hadiz ini adalah mereka yang disebut

sebagai orang-orang kuat lokal atau local strongman tersebut.

Diantara yang dilakukan para orang-orang kuat di lokal tersebut adalah berkolusi

dengan birokrasi dan politisi lokal. Selain itu, mereka sangat membutuhkan kendaraan

politik, berupa partai politik. Partai politik sebagai salah satu instrumen penting dalam

berdemokrasi dan proses desentralisasi idealnya maksimal dalam melaksanakan

fungsi-fungsi sosialisasi politik hingga rekruitmen untuk menghasilkan partisan-partisan politik

yang akan memimpin daerah. Sebaliknya, keberadaan orang-orang kuat justru membentuk

pola dinasti politik yang secara langsung membatasi partisipasi politik dari masyarakat biasa

atau non-elit.

Pada akhirnya, cita-cita demokrasi dan desentralisasi sebagaimana angan-angan

diatas hanya sebatas isapan jempol belaka. Dalam beberapa studi di berbagai negara pun,

juga ditemukan banyak kondisi dimana penerapan desentralisasi di beberapa negara

justru memperkuat pola-pola politik lokal yang memunculkan para orang-orang kuat

ini. Dengan demikian, kondisi tersebut sama sekali bertentangan dengan demokrasi

dan kinerja pemerintahan yang baik. Buruknya lagi, Partai Politik hanya akan bekerja

1 Vedi Hadiz, Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perspectives. Working Papers Series No. 47 May 2003. Southeast Asia Research Center, University of Hongkong

2

Abdul Hamid, Observation of Democratic Decentralization in Indonesia during 20092014: Political Dynasty in Banten Province and Populism in Jakarta Province. Diakses pada 16 Nonvember 2016 melalui laman http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/viewFile/4887/4433

(3)

sebagai alat pemenuhan kekuasaan, bukan sebagai kendaraan politik dengan fungsi-fungsi

yang tujuannya memberi kebaikan untuk rakyat.4

II. Permasalahan

Pada era otoritarian Orde Baru (Orba), para elit ditingkat lokal lebih sering memainkan peran

untuk mewujudkan kepentingan pemerintah pusat ketimbang merealisasikan kepentingan

dan kebutuhan daerah. Para elit politik lokal ini cenderung melakukan peran sebagai

perpanjangan tangan negara untuk mengkooptasi masyarakat. Keadaan ini sekaligus

memperlihatkan sebuah indikasi bahwa di era Orba, peran elit politik lokal lebih banyak

ditopang dan tergantung pada negara. Ketika memasuki era demokratisasi, para elit politik

lokal seolah menemukan ruang kompetisi untuk menunjukan kapasitas dan kapabilitasnya

sebagai wakil-wakil sekaligus pemimpin rakyat. Dalam politik desentralisasi para elit lokal

di era demokrasi ini bisa mereka yang merupakan orang-orang kuat, atau mereka yang

menjadi alat politik mempertahankan dominasi ekonomi-politk kedaerahan yang sengaja

ditanam orang-orang kuat tersebut dalam jabatan-jabatan struktural dan fungsional di

pemerintahan.

Karena itu, meskipun Orba tidak memberi ruang leluasa kepada para elit lokal untuk

memainkan perang krusial dalam pemerintahan daerah, akar-akar dimana kekuasaan dan

upaya menjaga legitimasi rakyat menguat justru ada dan ketika memasuki era reformasi

semakin menunjukkan wujudnya. Terbukti kita mengenal beberapa nama-nama yang masuk

dalam jajaran penguasa-penguasa lokal yang memiliki otoritas cukup luas. Beberapa nama

orang-orang kuat yang populis dalam pemetaan politik lokal di Indonesia antara lain Nur

Alam di Sulteng, Syahrul Limpo di Sulsel, Zulkifli Nurdin di Jambi, dan TB. Chasan

di Banten.

Dari deretan nama orang-orang kuat diatas, apakah pelaksanaan desentralisasi

sebagaimana diterapkan di Indonesia, di tiap-tiap daerah memang betul adanya sudah

membentuk kondisi politik yang kondusif dimana kepemimpinan dapat dipegang oleh siapa

saja, masyarakat dari kalangan apa saja? Kepemimpinan yang sudah menjadi komoditi

(4)

orang kaya, kepemimpinan yang dilanggengkan sebagai alat berkuasa, serta

kepemimpinan yang menjadi legitimasi sebagian golongan pemilik materi pendukung

politik sepertinya menjadi persoalan yang muncul dalam praktik desentralisasi di

Indonesia, salah satunya adalah Banten dibawah kekuasaan TB. Chasan.

Abdul Hamid dalam penelitiannya mengungkap bahwa di Banten, kelompok Jawara

mendominasi bidang politik dan ekonomi yang berakibat kepada kesenjangan social yang

luar biasa, dimana hanya segelintir elit yang dapat menikmati kepemilikan daerah.5 Jawara

adalah figur atau sosok pendekar tradisional banten, yang berjuang untuk kepentingan rakyat

kecil dengan merampas dari pihak yang kaya seperti penduduk kolonial. Kedekatan mereka

dengan golongan ulama sejak masa kolonial memberikan nilai lebih bagi posisi tawar

mereka dalam regional Banten. Selain itu, jawara memiliki kekuatan fisik dan non-fisik yang

membuat mereka memiliki kekuatan sosial yang cukup disegani.

Kelompok Jawara TB. Chasan atau yang dikenal dengan panggilan “Abah” adalah si penentu dari putusan-putusan berkaitan dengan kebijakan pemerintahan daerah, mutasi

jabatan sampai alokasi proyek-proyek pemerintah. Bahkan sosok Abah Chasan ini yang

dalam istilah Lili Romli sebagai jawara disebut “bosisme plus” karena kontrolnya.6 Tidak

dapat dipungkiri, Chasan adalah produk pembangunan Orde Baru. Disatu sisi, melalui

jawara, Chasan berhasil menjadi mesin politik Golkar dalam memobilisasi suara di regional

Banten, dan sebagai balas jasa, Suharto pun menghadiahkan Tb. Chasan kontrak proyek

pemerintah yang membuat keuntungan perusahaannya, PT Sinar Ciomas Raya meroket

tajam. Kondisi ini membuat sang jawara bertransformasi, menikmati dua status sosial

sekaligus, sebagai jawara dan pengusaha pada saat bersamaan.7

Di era reformasi, kejayaan yang sudah di tanam Tb. Chasan sejak era Orde Baru,

semakin kuat memonopoli proyek-proyek pembangunan di Banten. Ditambah lagi

suksesnya ia mengantar sang anak Ratu Atut Chosiah menjadi penguasa Banten secara

politik. Selain monopoli bisnis, jejaring patronase perlu diperkuat melalui

penempatan-penempatan pejabat lokal berdasarkan patrimonial, berdasarkan nilai-nilai impersonal tanpa

5 Abdul Hamid, Memetakan Aktor Politik Lokal Banten Pasca Orde Baru: Studi Kasus Kiyai dan Jawara di Banten. Diakses melalui http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/viewFile/4887/4433 6 http://www.pelita.or.id/baca.php?id=40575

(5)

melihat kapabilitas calon pejabat publik. Untuk menjadikan provinsi Banten sebagai

kekuasaan pemerintahan keluarga jawara. Chasan pun menggunakan Golkar sebagai

kendaraan politik dalam memuluskan jalan keluarganya memperoleh jabatan-jabatan politik

strategis di Pemerintahan Daerah.8 Chasan yang dalam kapasitasnya sebagai tokoh

masyarakat dalam makalah ini dapat digolongkan sebagai local strongmen, namun

kekuasaan luas dimana ia membangun sebuah dinasti politik di Banten dapat digolongkan

sebagai local bossism.

Makalah ini akan menyoroti bagaimana Partai Politik yang seharusnya menjadi agen

promotor dalam menebar nilai-nilai demokrasi mewujudkan terlaksananya otonomi daerah

sebagaimana cita-cita reformasi, sebaliknya turut menyuburkan berkembangnya

kekuatan-kekuatan politik oligarkis di Banten melalui local bossism. Pertanyaannya kemudian,

bagaimana partai Golkar menjadi alat politik penguasa Banten TB. Chasan Sochib untuk

memperluas pengaruh dan kekuasaannya, serta pengaruhnya terhadap penerapan

desentralisasi dalam iklim berdemokrasi di Indonesia?

III. Kerangka Konseptual

III.1 Teori Bossism dan Local Strongman

Fenomena Bosism di Asia, menurut penelitian John Sidel merefleksikan apa ia sebut sebagai

strong state dibandingkan dengan strong society. Sidel melihat bosisme menunjukkan peran

elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap

kekuatan koersif (tekanan) dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Dari

penelitiannya, Sidel menemukan bahwa Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah

yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.

Berkembangnya bossism lokal dalam pandangan Sidel telah menunjukkan ketiadaan

salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan

desentralisasi, yaitu political equality. 9 Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu

8 Ibid.

(6)

antarpemerintah (intergovernmental relation), antara negara dan masyarakat (state society

relation); dan antara masyarakat dan masyarakat (society-society relation). 10

Bagan berikut menggambarkan karakter Bosism di Asia Tenggara:

Variabel Bossism di Asia Tenggara

Sumber kekayaan Sumber Negara

Pola hubungan Patron klien bukan penyangga utama

Hubungan dengan pejabat politik Melakukan control dan pengendalian

terhadap pejabat public

Voting/Pemilu Pembelian Suara

Posisi Negara Negara Kuat

Prilaku kekuasaan Kekerasan

Kontrol Pemerintah pusat Control lemah

Mengkaitkan fenomena bossism dengan praktik desentralisasi di negara-negara

demokrasi, juga menjadi salahsatu penelitian Vedi Hadiz. Bagi Hadiz, desentralisasi dan

good governance yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah dan lembaga donor

bukanlah tanpa resiko, kenyataan menunjukkan bahwa dengan terdapatnya devolusi

kekuasaan ke daerah, maka desentralisasi korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi tidak

terhindarkan. Ditegaskan Hadiz, bahwa penerapan desentralisasi, sebagaimana yang telah

banyak diprediksi sebelumnya, telah melahirkan berbagai kekuatan predator lokal yang

berusaha untuk membajak desentralisasi dengan politik uang, kekerasan dan pemaksaan

melalui premanisme politik. Mereka adalah aktor yang terinkubasi oleh rezim represif Orde

Baru, ketika keterbukaan politik melalui cara-cara demokratis telah tersedia, kelompok ini

dengan mudah menyesuaikan diri dengan aturan main yang berlaku.11

III.2 Partai Politik

Secara umum Partai Politik (Parpol) adalah suatu organisasi yang disusun secara rapi dan

stabil yang dibentuk oleh sekelompok orang secara sukarela dan mempunyai kesamaan

10 Ibid.

(7)

kehendak, cita-cita, dan persamaan ideologi tertentu dan berusaha untuk mencari dan

mempertahankan kekuasaan melalui pemilihan umum untuk mewujudkan alternatif

kebijakan atau program-program mereka.

Sementara menurut UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik, partai politik

didefinisikan sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga

negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk

memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan

negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan

Pancasila dan UUD 1945. Parpol kemudian bertujuan untuk mencari dan mempertahankan

kekuasaan guna melaksanakan atau mewujudkan program-program yang telah mereka susun

sesuai dengan ideologi tertentu. Dalam undang-undang tentang partai politik tersebut, juga

ditegaskan fungsi-fungsi Parpol sebagai sarana:

1. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara

Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara;

2. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk

kesejahteraan masyarakat;

3. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan

dan menetapkan kebijakan negara;

4. Partisipasi politik warga negara Indonesia; dan

5. Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme

demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

IV. Pembahasan

IV.1 Bossism dan Kendaraan Politik Golkar

Fenomena bossism di Indonesia, bagi banyak kalangan, salahsatunya diperlihatkan dari

bangkitnya dinasti politik di Banten. Meskipun sebagian peneliti yang meneliti gejala

Banten lebih memilih untuk menggunakan perspektif local strongmen Joel Migdal. Makalah

(8)

mempelihatkan kerangka local bossism. Dalam mengamati fenomena dinasti politik Banten,

beberapa peneliti lain juga kadang mengacu pada konsep shadow state William Reno.

Di Banten, Golkar adalah partai politik pengusung penguasa lokal dinasti Atut. Partai

Golkar sebetulnya termasuk sebagai salahsatu partai yang mampu melakukan pengkaderan

politik dengan baik jika dibandingkan dengan partai-partai lain. Persoalannya, ketika partai

membutuhkan sokongan dana untuk keberlangsungannya, maka bukan tidak mungkin

sebuah koalisi internal antara Partai Politik dengan local bossism menjadi fenomena yang

kuat di Banten. Ada dua hal setidaknya yang menjadi faktor penting dalam pola tidak sehat

ini, yaitu upaya Golkar mempertahankan kekuasannya di Banten dan upaya Dinasti TB

Chasan sendiri dalam menjaga kepentingan-kepentingan keluarganya di Banten. Di bawah

kepemimpinan Hikmat Tomet menantu Chasan, Partai Golkar Provinsi Banten dinilai sukses

memenangi pemilihan kepala daerah di Banten seperti di Kabupaten Serang, Kabupaten

Pandeglang, Kota Cilegon, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Serang. Perlu dicatat bahwa

besarnya Golkar di Banten melekat erat dengan sosok “Godfather” TB. Chasan yang

melekat identitas bangsawan dan “Jawara” dalam dirinya.

Dalam suatu komunitas kelompok, memang biasanya terdapat sosok pembawa

perubahan atau apa yang disebut sebagai agent of change, yang memiliki pengaruh dan

peranan besar dalam membawa kelompok tersebut menuju masa keemasan. Kelompok

jawara di Banten pimpinan Chasan diumpamakan sebagai sosok agen perubahan tersebut.

Ia yang berhasil menyatukan berbagai elemen kepentingan di Banten. Kekuatan politik yang

dimiliki Chasan memang mampu menyatukan kelompok-kelompok ulama yang tergabung

dalam Kesatuan Karya Ulama, yang kemudian berafiliasi dengan Partai Golkar. Dia juga

mampu membangun sejumlah perguruan tinggi dan sekolah. Adapun di bidang kebudayaan,

dia mengonsolidasikan kaum pendekar dari berbagai perguruan silat. Inilah yang menjadi

pilar utama kekuasaan keluarga Chasan. Pascareformasi pengaruh tersebut memainkan

peranan penting seiring dengan transisi kekuasaan Partai Golkar dari militer ke sipil. Sebab,

seusai reformasi hingga akhir hayatnya, Chasan menjadi ketua dewan pembina Partai Golkar

di Provinsi Banten.

Dalam struktur Pemerintahan Daerah Banten, Keluarga besar Chasan menguasai

seluruh kabupaten dan kota di Banten. Saat ini, hampir di seluruh lingkup pemerintahan di

(9)

kekuasaan oleh keluarga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang adalah anak sang

jawara TB Chasan. Dominasi ini menunjukan betapa keluarga Chasan merupakan sosok

yang sangat kuat dan berpengaruh di Banten. Ratu Tatu Chasanah yang juga adik Atut yang

semula menjabat Wakil Ketua DPRD Banten kini menjadi Wakil Bupati Kabupaten Serang.

Demikian pula adik iparnya, Tubagus Haerul Jaman, pernah terpilih menjadi Wali Kota

Serang. Tidak hanya itu, ibu tiri Atut, Heryani, kini menjadi Wakil Bupati Pandeglang.

Sementara itu, adik ipar Gubernur Banten, Airin Rachmi Diany, yang berpasangan dengan

Benyamin memimpin di Kota Tangerang Selatan. Adapun soal mengapa anggota keluarga

Atut banyak menempati posisi strategis di Provinsi Banten, Ratu Tatu adik Ratu Atut

menyebut almarhum ayahnya TB Chasan lah yang telah berinvestasi selama masa hidupnya.

Kasus Banten, dalam penelitian Abdur Rozaki yang berjudul “kelompok kekerasan dan bos lokal di era reformasi” justru memunculkan sebuah penemuan sebuah kemunduran negara dibidang keamanan dikarenakan oleh kemunculan broker dan kelompok kekerasan

ditingkall lokal, meluas hingga ke pengendalian pejabat publik dan kontrol masyarakat sipil.

Atau yang disebut Hadiz sebagai pembajakan politik:

“Akumulasi kekuasaan pada kelompok atau orang-orang tertentu yang dilakukan baik secara illegal, membuat mereka dapat menguasai institusi-institusi pemerintahan lokal yang sesuai dengan mekanisme demokrasi yang ditetapkan. Kondisi inilah yang kemudian membawa para penguasa lokal ini dapat “membajak” institusi-institusi demokrasi seperti partai politik…”12

Dari paparan diatas, Golkar bukan hanya menjadi kendaraan politik bagi keluarga

TB. Chasan untuk mempertahankan kekuasaannya, melainkan Golkar itu sendiri sudah

bergantung kepada keluarga sang Jawara tersebut. Kondisi ini kemudian mematikan

fungsi-fungsi partai politik sebagai sarana sosialisasi, sarana rekrutimen untuk menghasilkan

kader-kader politik yang dapat memimpin Banten kelak, termasuk menafikan fungsi partai politik

sebagai instrument demokrasi yang shah dalam memberi keadilan bagi seluruh rakyat. Di

Banten, kepemimpinan adalah milik keluarga penguasa, dengan kemampuan material dan

kekuasaan politiknya, keluarga Penguasa membangun sebuah dinasti politik.

(10)

IV.2 Bossism, Desentralisasi dan Demokrasi

Menurut Vedi Hadiz, “justru melalui slogan tata pemerintahan yang baik, desentralisasi memberikan jalan bagi kebangkitan dan konsolidasi “orang kuat lokal”. Ditegaskannya bahwa “secara nyata, desentralisasi telah dibajak oleh kepentinganpredatoris atau penghisap lokal.”13 Menurut Sidel, perkembangan

local bossism di Indonesia terjadi seiring

lemahnya control pusat terhadap daerah setelah mencuatnya reformasi. Kebijakan otonomi

daerah menjadi akhir bagi control pusat yang sebelumnya.

Desentralisasi tidak otomatis meningkatkan politik ke arah yang lebih demokratis.

Seringkali desentralisasi menjadi kontraproduktif bagi demokrasi. Dibutuhkan banyak usaha

agar sistem politik yang telah terdesentralisasi benar-benar mendedikasikan diri untuk

kepentingan rakyat dan mencegah kekuatan kelompok dominan dengan kemampuan

fisiknya memanipulasi proses pemilihan umum di tingkat lokal misalnya. Dari kondisi

tersebut, tidak mengherankan apabila muncul fenomena “mafia-mafia” dalam pemerintahan

lokal yang semakin menjauhkan rakyat dari proses politik.14 Model pemerintahan politik

lokal inilah yang disebut sebagai kekuasaan oligarki.

Kekuasaan oligarki politik di Provinsi Banten menurut Pengamat politik Untirta

Banten Gandung Istanto, justru menutup ruang demokrasi. “Ruang demokrasi menjadi

tertutup justru di instrumen demokrasi itu sendiri. Kalau kita telusuri sejak pilkada pertama

tahun 2005 sampai sekarang, sesungguhnya kekuasaan berpindah di antara mereka saja. Dan

benar-benar menutup ruang untuk masyarakat sipil,”15

Dalam riset Lili Romli, ia menegaskan, bahwa dalam upaya memperoleh kekuasaan

lewat pemilu, tokoh jawara di Banten selain menggunakan pembelian suara juga pengaruh

sosial yang dimilikinya di masyarakat. Bossisme plus, istilah yang ditujukannya bagi

dominasi penguasa Jawara di banten untuk menunjukkan bahwa kelompok Jawara selalin

memiliki sumber-sumber kekuasaan berupa kekuatan fisik, juga memiliki pengaruh sosial

yang dominan di masyarakat dan melakukan kontrol dan pengendalian terhadap pejabat

publik dan civil society. Romli juga memaparkan bahwa selain menguasai politik, birokrasi,

dan bisnis, tokoh jawara juga mengontrol media massa, terutama media massa lokal.

13 Ibid. 14 Ibid.

(11)

Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa demokrasi bukan jaminan dimana

desentralisasi berlangsung sebagaiman cita-cita memberikan hak kepada seluruh rakyat

untuk mengurus pemerintahannya sendiri. Dalam sebuah iklim demokrasi pun, siapa yang

berkuasa, dialah yang menentukan system dalam menjalankan pemerintahan untuk

mensejahterakan rakyat. Bahwa kemudian keberadaan local strongmen atau local bossism

di Banten justru mencoreng wajah demokrasi dan menjadi hambatan bagi praktek

desentralisasi adalah salahsatu persoalan yang pelik berkaitan dengan fenomena politik lokal

di negeri ini. Bahwa konsepsi partai politik dengan segala fungsi-fungsi idealnya

terbantahkan ketika dihadapkan dengan sebuah kepentingan.

V. Kesimpulan

Dalam kasus Banten, jelas Partai Politik gagal dalam menjalankan fungsinya karena sudah

berkolusi secara tidak sehat dengan penguasa daerah untuk sebuah kekuasaan politik. Bagi

beberapa kalangan pernyataan bahwa politik dinasti tidak sehat untuk sebuah negara

demokrasi terbantahkan karena demokrasilah yang memberi pilihan kepada rakyat untuk

menentukan pemimpinnya. Logikanya, ketika masyarakat memilih untuk mempertahankan

sebuah politik dinasti maka itu adalah demokratis. Namun untuk kasus Banten, politik

dinasti terbentuk semata karena kuatnya peran local bossism” yaitu TB. Chasan, ayah dari

Gubernur terpidana Ratu Atut Chosiyah. Dinasti keluarga yang disupport oleh kekuatan

local bossism ini semata untuk mempertahankan kekuasaan baik dalam politik dan ekonomi.

Kuatnya Bossism di Banten berimplikasi kepada melemahnya peran dan fungsi

Partai Politik, karena hanya menjadi alat oleh penguasa. Partai politik sebagai instrumen

penting dalam proses berdemokrasi dilumpuhkan fungsinya dalam menciptakan kader-kader

yang akan mengisi jabatan-jabatan politik di pemerintahan daerah. Sesungguhnya, harapan

dari diserahkannya kekuasaan pusat kepada daerah adalah memastikan bahwa instrumen

demokrasi bekerja efektif, dimana Parpol dapat melakukan fungsi-fungsi sosialisasi politik,

rekruitmen politik, pengkaderan hingga menjadi basis kekuatan dalam menjalankan

tugas-tugas pemerintahan. Dijadikannya partai politik sebagai alat berkuasa di Banten, adalah

(12)

Daftar Pustaka

Aspinall, Edward and Gerry Van Klinken.(2011). The State and Illegality in Indonesia.

Leiden: KITLV Press.

Sidel, John T. Capital, Coercion, and Crime: Bossism in the Philippines Review by Benedict

J. Tria Kerkvliet. The Journal of Asian Studies, Vol. 61, No. 4 (Nov., 2002).

Hadiz, Vedi. Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of

Neo-Institutionalist Perspectives. Working Papers Series No. 47 May 2003. Southeast

Asia Research Center, University of Hongkong.

---, Dinamika Kekuasaan Ekonomi-Politik Indonesia pasca Soeharto, Jakarta:

LP3ES

Hamid, Abdul, Memetakan Aktor Politik Lokal Banten Pasca Orde Baru: Studi Kasus Kiyai

dan Jawara di Banten. Diakses pada 16 november 2016 melalui laman

http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/viewFile/4887/4433

Masaaki, Okamoto, an Unholy Alliance: Political thugs and political Islam work together

in Banten. Thursday, 24 July 2008 Edition 93: Jul-Sep 2008

Migdal, Joel S. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State

Capabilities in the Third World. Princeton: Princeton University Press, 1988.

Supriatma, Antonius. Menguatnya Kartel Politik Para 'Bos'. Prisma Vol. 28, No. 2, Oktober

2009.

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151210_indonesia_politik_bante

n

Referensi

Dokumen terkait

Pilihan ini lebih dianjurkan daripada kedua yang lain, karena mempunyai akar yang kuat di teori ekonomi (terutama welfare economics ). Penggunaan CBCA dapat diilustrasikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi kalus embriogenik dari eksplan jaringan daun paling tinggi didapatkan pada perlakuan ZPT 2,4-D 3 mg/l + TDZ 1 mg/l yang ditambahkan

Menurut SNI 03-0349-1989, bata beton adalah suatu jenis unsur bangunan berbentuk bata yang dibuat dari bahan utama semen portland, air dan agregat, dan atau tanpa bahan

71 Dapat disimpulkan, Id Eguci dalam kunjungan ketiga ini yaitu ingin menjadikan rumah perawan dan menikmati pemandangan perempuan telanjang bulat yang ditidurkan

Kesimpulan hasil penelitian ini adalah (1) kegiatan mengenal angka dengan menggunakan media permainan bak pasir berangka memiliki dampak positif dengan meningkatnya

Stasiun Angsana house reef yang memiliki tutupan terumbu karang paling baik saat pengambilan data, kematian karang karena tidak mampu untuk pulih juga cukup

4 Dakwah harus dilakukan dengan berbagai cara agar selalu dapat diterima oleh masyarakat, hal ini yang kemudian menjadikan dakwah sebagai sebuah proses perubahan sosial,

Dilihat dari variabel-variabel tingkat kepuasan konsumen memiliki nilai CS hitung di bawah nilai CS tabel yang berarti tidak ada perbedaan tingkat kepuasan yang