PEMETAAN SEBARAN TOTAL SUSPENDED MATTER (TSM)
MENGGUNAKAN DATA ASTER DENGAN PENDEKATAN
BIO-OPTICAL MODEL
Syarif Budhiman
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional – LAPAN Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Jl. LAPAN No. 70, Pekayon – Pasar Rebo, Jakarta 13710 – Indonesia
Telp. + 62 21 87717816, 8710786, Fax. +62 21 8722733 email: [email protected]
Abstract
Mapping of Total Suspended Matter (TSM) Using Aster Data with Bio-Optical Model Approach. The Indonesian coastal zones have always been under heavy pressures, including those from fisheries, oil industries and sea transportation. The presence of these activities carry a large portion of risk in damaging the environment as well as in destroying the marine resources, leading to the need for an integrated management approach based on an environmental information system that is comprehensive and multi-disciplinary in nature. The Mahakam Delta has the same general problems as other coastal regions in Indonesia. The method is based on bio optical modeling. The forward water analysis comprised the laboratory measurements of water quality (TSM and Chl) and Inherent Optical Properties (IOPs) to derive Spesific Inherent Optical properties (SIOPs). SIOPs (of water, TSM, Chl and CDOM), coefficient f and B were used to developed R(0-) model. The inverse atmosphere analysis comprised the image preprocessing (i.e. geometric correction, atmospheric correction, air-water interface correction). The last step is inverse water analysis, which comprised the development of algorithm and image processing to develop TSM concentration maps. The results indicates that red band of Aster satellite sensor is sensitive to detect higher TSM concentration. Green band is sensitive to detect the lower TSM concentration. For Mahakam Delta, red band algorithm was used to derive TSM map, since higher TSM concentration occurred in the delta.
Keywords: Total Suspended Matter, ASTER, Bio-optical model
1. PENDAHULUAN
Wilayah pesisir Indonesia selalu mengalami tekanan yang berat, termasuk akibat dari aktivitas perikanan (budidaya maupun penangkapan ikan), industri perminyakan, dan transportasi laut. Keberadaan aktivitas tersebut membawa akibat yang dapat merusak lingkungan pesisir termasuk dapat juga menhancurkan sumberdaya laut. Hal tersebut mengarah kepada kebutuhan akan adanya pengelolaan wilayah pesisir yang terintegrasi (integrated management) menggunakan sistem informasi lingkungan yang menyeluruh dan terdiri dari berbagai ilmu yang ada.
Kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir tidak hanya diakibatkan oleh aktivitas yang ada di
wilayah pesisir saja, akan tetapi juga diakibatkan oleh aktivitas yang terjadi di daratan, seperti penggundulan hutan dan perubahan penggunaan lahan. Erosi yang terjadi membawa sediment ke dalam sistem aliran sungai, yang pada akhirnya akan bermuara ke laut. Peningkatan konsentrasi sedimen pada perairan seringkali membawa akibat kepada kerusakan lingkungan perairan tersebut. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk memonitor kualitas perairan sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir.
Data penginderaan jauh sangatlah diperlukan untuk dapat memonitor wilayah pesisir yang sangat luas. Akan tetapi, diperlukan metode yang baik untuk mendapatkan hubungan antara konsentrasi TSM (Total Suspended Matter/Total Padatan
Tersuspensi) dengan reflektansi yang diterima oleh sensor satelit. TSM adalah material tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0.45 (Effendi, 2000). Pada umumnya TSM terdiri dari lumpur, pasir halus dan jasad-jasad renik yang sebagian besar disebabkan karena terjadinya pengikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Pengamatan terhadap sebaran TSM sering dilakukan untuk mengetahui kualitas air di suatu perairan, karena nilai TSM yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat pencemaran dan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air sehingga mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis dari biota air.
Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi dalam pengetahuan tentang perairan Indonesia yang mengalami gangguan dari berbagai aktivitas manusia (penggundulan hutan, polusi, perubahan penggunaan lahan, dll). Beberapa penelitian sebelumnya telah banyak menggunakan bio-optical model untuk memetakan sebaran TSM di perairan estuary dan teluk di Indonesia, adapun penelitian ini akan mencoba menerapkan metode tersebut pada daerah Delta Mahakam sebagai daerah penelitian.
2. METODE PENELITIAN
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pada penelitian ini digunakan bio-optical model (analytical methode). Gambar 1 memperlihatkan diagram alir dari proses bio-optical model tersebut.
The forward water analysis terdiri dari
pengukuran kualitas air di laboratorium (TSM dan Klorofil) dan Inherent Optical Properties (IOPs) atau properti dari reflektansi cahaya yang dikenakan kepada contoh air yang diambil dari lapangan. Hasil pengukuran tersebut akan mendapatkan Spesific Inherent Optical properties (SIOPs) pada masing-masing contoh air. SIOPs (air, TSM, Chl and CDOM), koefisien f dan B (rasio hamburan balik) digunakan untuk membangun R(0-) model. The inverse atmosphere
analysis terdiri dari pengolahan citra (seperti: geometric correction, atmospheric correction, air-water interface correction). Langkah terakhir
adalah inverse water analysis, yang terdiri dari pembuatan algoritma dan pengolahan citra satelit untuk mendapatkan informasi spasial sebaran TSM di daerah penelitian.
Gambar 1. Diagram Alir dari Bio-optical model (Dekker et al, 2001)
Beberapa penelitian serupa telah dilaksanakan di perairan Indonesia. Beberapa penelitian tersebut (Dekker et. al. 1998; van Woerd dan Pasterkamps, 2002; dan Ambarwulan, 2002) menggunakan
bio-optical model pada penelitian di perairan
Indonesia. Dari penelitian mereka, dikatakan bahwa bio-optical model cocok untuk dapat digunakan dalam memetakan sebaran TSM di perairan pesisir Indonesia.
Persamaan (1) merupakan model reflektansi yang digunakan pada beberapa penelitian di perairan keruh (turbid water) yang dikembangkan oleh Dekker et. al.(1998). Persamaan tersebut juga digunakan oleh Dekker et. al.(1998); Ambarwulan, (2002); dan van der Woerd dan Pasterkamp (2002) pada penelitian mereka di perairan Indonesia. Persamaan ini juga digunakan pada penelitian di Delta Mahakam (Budhiman, 2004).
) ( ) ( ) ( ) 0 (
λ
λ
λ
b b b a b f R + = − (1) dimana: ) 0 ( −R : irradiance reflectance di bawah
permukaan air )
(
λ
a : total koefisien yang diserap oleh air dan semua substansi yang ada di perairan
)
(
λ
bb
: total koefisien hamburan balikf : nilai koefisien tergantung dari posisi geografis
Data satelit yang digunakan adalah data ASTER hasil perekaman tanggal 18 Juli 2000 yang diperoleh dari ITC, Belanda. Tabel 1 menyajikan informasi mengenai karakteristik data ASTER. Gambar 2 memperlihatkan response spektral dari data ASTER pada kanal-kanal VNIR. Informasi tersebut dipergunakan sebagai data response spektral sensor yang dimasukan ke dalam model dalam membangun algoritma untuk pemetaan TSM. Sehingga algoritma yang dibangun, diharapkan masuk ke dalam batas kemampuan sensor ASTER dalam mengidentifikasi reflektansi dari perairan.
Tabel 1. Karakteristi ASTER pada Selang Kanal VNIR
Sumber: http://asterweb.jpl.nasa.gov/instrument/instrument.htm
Sumber: http://asterweb.jpl.nasa.gov/instrument/instrument.htm Gambar 2. Response Spektral dari Data ASTER
http://www.shom.fr/fr_page/fr_serv_prediction/ann_marees.htm
Gambar 3. Informasi kondisi pasut pada tanggal akusisi data ASTER
Gambar 4. Komposit warna semu (RGB:321) pada data ASTER
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi pasut pada saat akusisi data ASTER memperlihatkan kondisi pada saat pasut bergerak menuju surut pada posisi stasiun perekaman pasut di Sungai Kutai dan Balikpapan (Gambar 3). Kedua posisi tersebut menunjukkan bahwa akusisi citra ASTER dilakukan sekitar 3 jam sebelum kondisi air surut. Permukaan air pada saat tanggal akusisi yang didapat dari stasiun Sungai Kutai dan Balikpapan adalah 1,42 m dan 1,04 m.
Gambar 4 memperlihatkan kondisi perairan di Delta Mahakam pada saat tersebut, gambar diperlihatkan dengan menggunakan komposit warna semu (false color composite) pada daerah perairannya saja, sedang gambar daratan didapat dari citra Landsat yang di-crop daerah daratnya saja. Warna abu-abu gelap di daerah daratan
menunjukkan daerah hutan mangrove dan rawa-rawa. Awan terlihat berwarna putih. Perairan memperlihatkan warna yang bervariasi dari mulai biru kecoklatan yang mewakili perairan dengan konsentrasi TSM yang tinggi sampai dengan biru gelap yang mewakili perairan yang dalam dan jernih, dimana semua gelombang cahaya akan diserap dan hanya memantulkan sedikit warna biru.
Gambar 5 menunjukkan R(0-) model perairan Delta Mahakam dengan TSM konsentrasi berbeda. Dengan semua parameter lain diasumsikan tetap (diberi nilai yang tetap), akan terjadi peningkatan konsentrasi TSM akan menyebabkan peningkatan R(0-) pada saat yang sama yang dapat dideteksi oleh data penginderaan jauh.
Perairan yang keruh mempunyai pantulan spectra dengan nilai rendah pada panjang gelombang 400 nm dan terus meningkat secara berangsur-angsur sampai pada puncaknya di sekitar panjang gelombang 600 nm (Gambar 5). Warna perairan ini berdasar pada kurva spectra tersebut adalah hijau kekuningan sampai dengan kuning kecoklatan. Meningkatnya nilai TSM akan menggeser puncak kurva spectra ke panjang gelombang di sekitar 700 nm, dan akan memberi suatu warna mulai dari coklat muda sampai dengan coklat tua.
Algoritma untuk konsentrasi TSM menggunakan
bio-optical model dapat digunakan untuk
menghasilkan data set R(0-) pada setiap senssor kanal sebagai fungsi dari meningkatnya konsentrasi TSM. Hubungan yang dibangun sejak awal penelitian adalah korelasi antara nilai TSM dan nilai spektral pada masing-masing kanal, sehingga algoritma yang digunakan adalah algoritma berdasarkan pada satu kanal. Gambar 6 menunjukkan hubungan antara nilai R(0-) dan TSM yang dibuat pada kanal-kanal VNIR ASTER. Model tersebut dihasilkan dari nilai SIOP yang didapat data lapangan, sehingga hubungan tersebut spesifik untuk daerah Delta Mahakam.
Gambar 6 menunjukkan bahwa kanal merah dapat memberikan identifikasi nilai konsentrasi TSM yang baik. Kanal merah sensitif terhadap nilai konsentrasi TSM yang tinggi (berdasarak dynamic range yang terlihat pada Gambar 6). Hasil ini menyerupai hasil penelitian Dekker et. al.(1998); Ambarwulan, (2002); dan van der Woerd dan Pasterkamp (2002).
Gambar 5. R(0-) model untuk perairan Delta Mahakam
Gambar 6. Hubungan antara R(0-) model dengan konsentrasi TSM pada kanal ASTER
Kanal hijau terlihat sensitive untuk mengukur nilai konsentrasi TSM yang rendah (misalnya: kurang dari 50 mg/l). Dari gambar tersebut terlihat hubungan antara kanal Merah dan Hijau membentuk kurva eksponensial, tetapi untuk kanal NIR, hubungan yang terbentuk mendekati linear. Fungsi eksponensial kemudian digunakan untuk mendapatkan algoritma TSM pada perairan Delta Mahakam berdasarkan nilai R(0-). Keuntungan dari hubungan eksponensial adalah nilai-nilai TSM yang negatif dan atau sangat tinggi akan dapat dihindari. Persamaan (2) memperlihatkan algoritma yang didapat untuk memetakan sebaran TSM di perairan Delta Mahakam, dengan koefisien determinasi (R2) 0.94. ) ) 0 ( * 738 . 23 (
*
1744
.
8
Exp
R kanalmerahTSM
=
− (2)Peta sebaran TSM diperoleh menggunakan algoritma yang dibangun dengan bio-optical model. Perubahan musiman (musim hujan dan musim kering) tidak mempengaruhi konsentrasi
Tingginya konsentrasi TSM di sebelah selatan Delta Mahakam, menunjukkan sungai-sungai pada perairan tersebut merupakan perairan yang masih aktif dalam pembentukan Delta Mahakam. Hal tersebut sesuai dengan tulisan Allen dan Chambers (1998) yang mengatakan bahwa saluran (channel) di selatan Delta Mahakam terutama pada daerah
prodelta mempunyai lebar sampai dengan 30-40
km, sedangkan di wilayah utara maupun di tengah delta, lebar prodelta hanya mencapai 10-20 km. Proses sedimentasi di selatan Delta Mahakam juga dipengaruhi oleh arus menyusur pantai yang didominasi oleh arus yang bergerak dari utara ke selatan setiap tahunnya.
TSM di Delta Mahakam. Dahuri (1992) menyebutkan bahwa di Delta Mahakam hampir tidak ada musim kering. Allen dan Chambers (1998) menyebutkan bahwa proses sedimentasi di dataran delta (delta plain) dan delta front umumnya dipengaruhi oleh variasi antara sungai dan kondisi pasut.
Gambar 7 memperlihatkan informasi spasial sebaran TSM di Delta Mahakam dari data ASTER. Data ASTER diambil pada musim kering yaitu pada bulan Juli. Terlihat konsentrasi yang tinggi terdapat pada perairan di selatan Delta Mahakam dan pada sungai yang mengalir menuju Selat Makassar. Akan tetapi, nilai konsentrasi yang rendah pada sungai di pedalaman adalah bukan nilai sebenarnya, akan tetapi merupakan warna latar belakang dari gambar Landsat yang ditumpangtindihkan dengan data ASTER.
4. KESIMPULAN
Sungai dan pasut adalah penyebab yang utama variasi konsentrasi TSM di Delta Mahakam. Pada saat kondisi pasang naik, sungai yang dipengaruhi oleh pasut (tidal channel) akan mempunyai konsentrasi TSM yang lebih tinggi dibanding sungai (river channel). Saat kondisi air surut, river
channel mempunyai konsentrasi TSM yang lebih
tinggi dibandingkan dengan tidal channel. Saluran (channel) di selatan Delta Mahakam merupakan saluran yang masih aktif, dan ini terlihat dari nilai konsentrasi padatan tersuspensi yang tinggi pada perairan tersebut.
Kanal merah pada ASTER sensitif terhadap nilai konsentrasi TSM yang tinggi, sedangkan kanal hijau terlihat sensitif untuk mengukur nilai konsentrasi TSM yang rendah (misalnya: kurang dari 50 mg/l). Hubungan antara nilai TSM dan R(0-) pada kanal merah dan hijau membentuk kurva eksponensial, tetapi untuk kanal NIR, hubungan yang terbentuk mendekati linear
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G.P. and J.L.C. Chambers. 1998. Sedimentation in the modern and miocene Mahakam Delta. Indonesian Petroleum Association; 235 p
Ambarwulan, W, 2002. Mapping of TSM concentrations from SPOT and Landsat TM satellite images for Integrated Coastal Zone Management in Teluk Banten, Indonesia. MSc Thesis, ITC, Enschede, The Netherlands; 130 p Budhiman S, 2004, Mapping TSM Concentrations from Multisensor Satellite Images in Turbid Tropoical Coastal Waters of Mahakam Delta-Indonesia, Master thesis, Netherland
Dahuri, R, 1992. An Approach to Coastal Resource Utilization: The Nature and Role of Sustainable Development in East Kalimantan Coastal Zone, Indonesia. Unpublished Ph.D Thesis. School for Resource and Environmental Studies. Dalhouise University, Halifax, Nova Scotia; 415 p
Dekker, A.G., S.W.M. Peters, M. Rijkeboer, and H. Berghuis. 1998. Analytical processing of multitemporal SPOT and Landsat images for estuarine management in Kalimantan Indonesia. In: Nieuwnhuis, G.J.A., R.A. Vaughan, and M. Molenaar (Eds.). 1999. Operational Remote Sensing for Sustainable Development. A.A. Balkema Publishers, Rotterdam, The Netherlands; pp.315-323
Dekker, A.G, V.E. Brando, J.M. Anstee, N. Pinnel, T. Kutser, E.J. Hoogenboom, S.W. Peters, R. Pasterkamp, R.J. Vos, C. Olbert, and T.J.M. Malthus, 2001. Imaging Spectrometry of Water. In: van der Meer, F.D, and S.M. de Jong (Eds.). 2001. Imaging Spectrometry: Basic Principles and Prospective Applications. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, The Netherlands; pp. 307-359
Effendi, H. 2000. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor
http://asterweb.jpl.nasa.gov/instrument/instrument. htm (Desember 2003)
http://www.shom.fr/fr_page/fr_serv_prediction/an n_marees.htm(Januari 2004)
Van der Woerd, H, and R. Pasterkamp. 2002. A rigorous method to retrieve TSM concentrations from multi-temporal spot images in highly - turbid coastal waters. Paper on the 11th Australian Remote Sensing and Photogrammetry Conference (ARSPC), September 2nd to 5th 2002. 11 p