• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

5.1. Daya Dukung Faktor Internal dan Ekternal Dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Di Provinsi Maluku

Menurut Kotler (1997) daya dukung faktor internal – eksternal akan menentukan posisi kelayakan, persaingan, peluang dan ancaman dalam pengembangan suatu usaha pada suatu lokasi, dengan demikian dapat dikatakan pendapat ini menegaskan bahwa kondisi kelayakan usaha Penyulingan Minyak Cengkeh (PMC) dan daya saing minyak cengkeh Maluku dapat menggambarkan daya dukung faktor internal dan eksternal Provinsi Maluku terhadap pengembangan usaha PMC. Oleh karena itu analisis kelayakan usaha PMC dan daya saing minyak cengkeh Maluku penting untuk dilakukan.

5.1.1. Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh

Untuk mengukur kelayakan usaha PMC di Provinsi Maluku dilakukan 2 analisis yaitu analisis kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial. Analisis kelayakan ekonomi didasarkan pada harga ekonomi dan opportunity cost yang harus diterima dan dikeluarkan dalam aktivitas usaha PMC, sedangkan analisis kelayakan finansial didasarkan pada harga dan biaya faktual yang diterima dan dikeluarkan dalam aktivitas usaha PMC. Analisis kelayakan usaha dalam penelitian ini dilakukan pada 4 kategori usaha PMC yaitu: usaha PMC yang menggunakan jenis alat suling nonstainless steel (PMCns) dengan 1 ukuran Kapasitas Alat Suling (KAS) yaitu KAS 100 kilogram dan usaha PMC yang menggunakan jenis alat suling stainless steel (PMCs1-3) dengan 3 ukuran KAS yaitu 30, 40 dan 100 kilogram. Usaha PMCns dominan ditemui di Provinsi Maluku sebelum implementasi tahap I program pengembangan usaha PMC memperkenalkan usaha PMCs1-3. Adapun karakteristik dari keempat kategori usaha PMC tersebut, seperti yang terlihat pada Tabel 14.

(2)

Tabel 14. Karakteristik Usaha PMC

Karakteristik Unsur

Usaha PMCns Usaha PMCs1-3

1. KAS (kilogram) 100 30, 40, dan 100

2. Jenis Alat Nonstainless steel Stainless steel

3. Status kepemilikan Perorangan Kolektif

4. Sistem Bagi hasil Iuran Kelompok

5. Frekwensi produksi/RTU/Tahun 120 kali 120 kali

6. Frekwensi produksi/KAS/Tahun 120 kali 120 kali

7. Pasar produk Pedagang pengumpul Pedagang pengumpul

8. Warna minyak cengkeh Hitam Jernih agak kekuningan

9. Harga produk aktual (Rp.ribu/kg) Relatif lebih rendah Relatif lebih tinggi Sumber: Analisis data primer, 2008

Hasil analisis kelayakan ekonomi usaha PMC pada siklus umur ekonomis 10 tahun dan tingkat suku bunga atau social discount rate (SDR) sebesar 13.5 persen, menunjukkan bahwa semua kategori usaha PMC layak untuk dilakukan. Berdasarkan Tabel 15, diketahui NPV usaha PMCns lebih kecil dari NPV usaha PMCs, dimana selisih NPV atau incremental benefit usaha PMCns dengan usaha PMCs berkisar antara Rp. 3.17 – 28.59 juta. Nilai Net B/C usaha PMCns juga lebih kecil dibandingkan dengan dan Net B/C usaha PMCs, ini berarti tingkat keuntungan investasi pada usaha PMCns lebih kecil yaitu hanya sebesar Rp. 2.68 dari tiap Rp 1 yang diinvestasikan pada usaha tersebut, sedangkan tingkat keuntungan investasi pada usaha PMCs lebih besar yaitu mencapai Rp. 5.30 – 9.46 dari tiap Rp 1 yang diinvestasikan pada usaha tersebut. Nilai Net B/C tertinggi diberikan oleh usaha PMCs1 atau usaha PMC yang menggunakan KAS 100 kilogram jenis stainless. Nilai tingkat pengembalian maksimum atas pemakaian modal atau Internal Rate of Return (IRR) dan masa pengembalian atas pemakaian modal atau Pay Back Period (PBP) usaha PMCns juga menunjukkan kondisi yang relatif sama, dimana nilai IRR usaha PMCns lebih kecil dari nilai IRR usaha PMCs, dan PBP usaha PMCns relatif lebih lama dibandingkan PBP usaha PMCs. Perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan

(3)

oleh perbedaan harga produk dan biaya produksi dari masing-masing KAS. Harga produk minyak cengkeh sangat dipengaruhi oleh warna produk, dimana harga produk berwarna hitam (dari usaha PMCns) relatif lebih rendah dari harga produk berwarna jernih (dari usaha PMCs). Adapun biaya produksi per kilogram minyak cengkeh dipengaruhi oleh ukuran KAS, makin besar KAS maka makin kecil biaya produksi per kilogram produk.

Tabel 15. Hasil Analisis Kelayakan Ekonomi usaha PMC

Tahun Rns Cns BBns Rs1 Cs1 BBs1 Rs2 Cs2 BBs2 Rs3 Cs3 BBs3 0 0.00 2.27 -2.27 0.00 1.81 -1.81 0.00 2.06 -2.06 0.00 3.93 -3.93 1 10.18 8.78 1.39 3.89 2.46 1.42 5.18 2.91 2.27 12.95 7.73 5.22 2 9.59 8.28 1.31 3.66 2.32 1.34 4.88 2.75 2.14 12.21 7.28 4.93 3 8.79 8.04 0.75 3.45 2.32 1.14 4.60 2.72 1.89 11.51 7.00 4.51 4 8.04 7.36 0.68 3.26 2.06 1.19 4.34 2.44 1.90 10.85 6.47 4.38 5 7.35 7.82 -0.47 3.07 2.06 1.01 4.09 2.41 1.68 10.23 6.22 4.01 6 7.58 6.54 1.04 2.81 1.83 0.98 3.75 2.17 1.58 9.37 5.75 3.61 7 7.14 6.35 0.79 2.57 1.83 0.74 3.43 2.15 1.28 8.57 5.53 3.05 8 6.54 5.81 0.73 2.35 1.63 0.72 3.13 1.93 1.21 7.84 5.11 2.72 9 5.99 5.64 0.34 2.15 1.63 0.52 2.86 1.91 0.96 7.39 4.91 2.48 10 5.47 5.17 0.31 1.96 1.45 0.51 2.61 1.71 0.90 6.75 4.54 2.20 Total 76.66 72.06 4.61 29.16 21.40 7.77 38.89 25.15 13.74 97.67 64.47 33.19 NPV 4.60 7.77 13.74 33.19 Net B/C 2.68 5.30 7.69 9.46 IRR (%) 41.25 70.74 103.32 126.73 PBP (Tahun) 1.63 1.28 0.91 0.75

Sumber: Analisis data primer, 2008

Keterangan: R... = Penerimaan usaha PMC tahun ke t (Rp.juta)

C... = Biaya usaha PMC tahun ke t (Rp.juta)

B... = Keuntungan usaha PMC tahun ke t (Rp.juta)

ns = usaha PMCns, s1=usaha PMCs1, s2 = usaha PMCs2, s3 = usaha PMCs2

Hasil analisis kelayakan finansial usaha PMC juga menunjukan kondisi yang relatif sama dengan hasil analisis kelayakan ekonomi, dimana usaha PMCns memiliki NPV dan Net B/C yang relatif lebih kecil dari NPV dan Net B/C usaha PMCs, adapun selisih NPV atau inremental benefit usaha PMCns dengan usaha PMCs secara finansial berkisar antara Rp. 1.22 – 30.34. Berdasarkan Tabel 16, diketahui bahwa NPV usaha PMCs1, mengalami penurunan hal ini disebabkan adanya keharusan membayar iuran kelompok sebesar Rp 5 ribu per penyulingan, walaupun pada usaha PMCs2 dan PMCs3 juga berlaku yang sama

(4)

namun dengan tingkat biaya produksi yang relatif sama kecuali untuk pemakaian bahan baku, namun tingkat produksi atau penerimaan usaha PMCs2 dan PMC3 yang lebih besar menyebabkan NPV usaha PMCs1 menjadi relatif lebih kecil. Tabel 16. Hasil Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMC

Tahun Rnp Cnp BBnp Rp1 Cp1 BBp1 Rp2 Cp2 BBp2 Rp3 Cp3 BBp3 0 0.00 1.00 -1.00 0.00 0.67 -0.67 0.00 0.67 -0.67 0.00 1.30 -1.30 1 8.33 7.35 0.98 3.33 2.44 0.89 4.44 1.19 3.25 11.10 3.67 7.43 2 7.85 6.93 0.92 3.14 2.26 0.88 4.19 2.61 1.58 10.47 6.47 3.99 3 7.19 6.52 0.67 2.96 2.23 0.73 3.95 2.55 1.39 9.87 6.34 3.53 4 6.58 6.14 0.44 2.79 1.96 0.83 3.72 2.25 1.47 9.30 5.65 3.65 5 6.01 5.78 0.24 2.63 1.94 0.69 3.51 2.21 1.29 8.77 5.57 3.19 6 6.20 5.47 0.73 2.41 1.70 0.71 3.31 1.95 1.35 8.27 4.94 3.33 7 5.84 5.16 0.68 2.20 1.69 0.52 3.12 1.92 1.19 7.79 4.91 2.88 8 5.35 4.86 0.50 2.02 1.48 0.53 2.94 1.70 1.24 7.35 4.32 3.02 9 4.90 4.57 0.33 1.84 1.47 0.37 2.77 1.68 1.09 6.93 4.41 2.52 10 4.48 4.30 0.18 1.68 1.29 0.39 2.61 1.48 1.13 6.53 3.79 2.73 Total 62.73 58.08 4.65 25.0019.13 5.87 34.55 20.21 14.33 86.36 51.38 34.99 NPV 4.65 5.87 14.33 34.99 Net B/C 5.65 9.82 22.56 28.02

Sumber: Analisis data primer, 2008

Jika kedua hasil analisis kelayakan dibandingkan, dapat diketahui bahwa NPV dan Net B/C kelayakan ekonomi relatif lebih kecil dari NVP dan Net B/C kelayakan finansial, walaupun harga ekonomi minyak cengkeh lebih tinggi dari harga faktualnya. Kondisi ini dikarenakan secara faktual pengusaha PMC tidak dibebani biaya pemasaran sebagai kompensasi dari penetapan harga minyak cengkeh yang rendah ditingkat pedagang pengumpul, dengan demikian dapat dikatakan sistem pemasaran minyak cengkeh secara faktual cukup efisien karena dapat meningkatkankan pangsa yang diperoleh pengusaha PMC.

5.1.2. Daya Saing Minyak Cengkeh Maluku

Salah satu unsur lingkungan strategis dalam pengembangan suatu komoditas yang diperlu diperhatikan terkait dengan liberalisasi perdagangan yang memberikan peluang dan ancaman adalah daya saing komoditas tersebut, dalam hal ini minyak cengkeh Maluku. Untuk melihat daya saing minyak

(5)

cengkeh Maluku digunakan analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.

Suatu komoditas dikatakan memiliki keunggulan komparatif apabila memiliki koefisien DRC (DRCR) atau k <1, artinya untuk menghasilkan nilai tambah pada harga sosial, diperlukan tambahan biaya lebih kecil dari satu. Hasil perhitungan faktor produksi domestik (D), faktor produksi tradeable (T) dan BSD (DRC) minyak cengkeh pada ukuran KAS dan jenis alat suling yang berbeda, menunjukan bahwa nilai ekonomi faktor produksi domestik yang digunakan untuk memproduksi 1 kilogram minyak cengkeh berkisar antara Rp 17.61 – 20.62 ribu. Nilai ekonomi faktor produksi tradeable minyak cengkeh berkisar antara US$ 0.35 – 0.62, dengan memakai harga jual ekspor sebesar US$ 2.91 - 3.83 per kilogram dan nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9.45 ribu per US$, diketahui nilai DRC minyak cengkeh Maluku berkisar antara Rp 5.36 – 8.27 ribu/US$ atau k (koefisien DRC) < 1 yaitu berkisar antara 0.57 – 0.87, ini menunjukkan bahwa minyak cengkeh Maluku memiliki keunggulan komparatif (Tabel 17). Ini berarti minyak cengkeh Maluku memiliki prospek yang baik saat ini dan dimasa yang akan datang, karena dengan nilai DRCR yang berkisar antara 0.57 – 0.87 berarti masih ada rentang sekitar 0.13 – 0.43 untuk menjadikan DRCR bernilai 1 (tidak memiliki keunggulan komparatif). Jika faktor biaya produksi dan nilai tukar Rupiah terhadap US$ tetap, maka keunggulan komparatif minyak cengkeh Maluku akan hilang pada harga jual dibawah US$ 2.63 per kilogram untuk produk minyak cengkeh dari usaha PMCns dan US$ 2.55 per kilogram untuk produk minyak cengkeh dari usaha PMCs1, US$ 2.25 per kilogram untuk produk minyak cengkeh dari usaha PMCs2 dan US$ 2.34 per kilogram untuk produk minyak cengkeh dari usaha PMCs3.

(6)

Tabel 17. Hasil Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Minyak Cengkeh Maluku Berdasarkan Kategori Usaha PMC

PMC KAS (kg) D P T DRC p k G R I PCR Ns 100 18.96 2.91 0.62 8.27 9.45 0.87 16.10 22.50 2.99 0.83 s1 30 20.62 3.70 0.37 6.19 9.45 0.66 17.91 30.00 0.80 0.61 s2 40 17.95 3.70 0.35 5.36 9.45 0.57 15.25 30.00 0.64 0.52 s3 100 17.61 3.70 0.48 5.46 9.45 0.58 14.94 30.00 1.82 0.53

Sumber : Analisis data primer, 2008 Keterangan :

D = nilai ekonomi faktor produksi domestik yang dikorbankan untuk memproduksi satu unit output (Rp.000)

P = nilai ekonomi satu unit output (US$),

T = nilai ekonomi faktor produksi tradeable yang digunakan untuk memproduksi satu unit output (US$)

DRC = D/(P-T), nilai ekonomi biaya sumberdaya domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit devisa(Rp.000)

p = Nilai tukar Rupiah 9.45 ribu/US$, rata-rata nilai tukar Rp./US$ tahun 2006-2007 (Lampiran 10.)

k = DRC/p, koefisien DRC (DRCR)

G = nilai finansial biaya faktor produksi domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit output (Rp.000).

R = nilai finansial satu unit output (Rp.000).

I = nilai finansial biaya faktor produksi tradeable yang digunakan untuk

memproduksi satu unit output (Rp.000).

PCR = G/(R-I) rasio nilai finansial biaya domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit output.

Suatu komoditas dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila memiliki koefisien PCR <1, artinya untuk menghasilkan nilai tambah pada harga aktual, diperlukan tambahan biaya lebih kecil dari satu. Hasil perhitungan PCR minyak cengkeh berdasarkan nilai faktor produksi domestik (G), faktor produksi tradeable (I) pada Tabel 21, menunjukkan bahwa PCR minyak cengkeh Maluku berkisar antara 0.52 – 0.83. Kondisi ini berarti masih ada rentang sekitar 0.17 – 0.48 untuk menjadikan PCR bernilai 1 (minyak cengkeh Maluku tidak memiliki keunggulan kompetitif). Jika diasumsikan faktor biaya produksi dan nilai tukar Rupiah terhadap US$ tetap, maka keunggulan kompetitif minyak cengkeh Maluku akan hilang pada harga jual dibawah Rp. 19.09 ribu per kilogram untuk produk minyak cengkeh dari usaha PMCns, Rp. 18.71 ribu per kilogram untuk produk minyak cengkeh dari usaha PMCs1, Rp. 15.89 ribu per kilogram untuk

(7)

produk minyak cengkeh dari usaha PMCs2 dan Rp. 16.58 per kilogram untuk produk minyak cengkeh dari usaha PMCs3.

5.1.3. Faktor-faktor Strategis dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku

Analisis matriks evaluasi faktor internal dan faktor ekternal adalah analisis yang umum digunakan untuk mengetahui faktor-faktor strategis internal dan eksternal apa saja yang menjadi daya dukung pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku. Langkah awal dari analisis matriks ini adalah mengidentifikasi faktor berdasarkan kajian pustaka, analisis kelayakan usaha PMC dan daya saing minyak cengkeh yang disertakan dalam isian kusioner dan wawancara, dengan beberapa tokoh (responden penentu faktor strategis internal dan eksternal) yang dianggap mengetahui tentang karakteristik usaha PMC dan terlibat langsung dalam kegiatan pengembangan usaha PMC di Maluku, dimana dari hasil identifikasi diperoleh 10 faktor strategis internal yang menjadi faktor kekuatan dan kelemahan, dan 8 faktor strategis eksternal yang menjadi faktor peluang dan ancaman dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku, seperti yang terlihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Faktor Strategis Internal - Eksternal Dalam Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku

Faktor Internal Faktor Eksternal

Faktor Kekuatan Faktor Peluang

1. Ketersediaan bahan baku 1. Daya Saing dan Potensi pasar

2. Dukungan Non pribumi 2. Kesempatan bermitra

3. Tingkat Keuntungan Usaha 3. Ketersediaan Teknologi

4. Ketersediaan infrastruktur 4. Tingkat suku bunga turun dan skim

kredit UKM tersedia

Faktor Kelemahan Faktor Ancaman

1. Sifat Bahan baku dan topografi daerah 1. Fluktuasi harga produk

2. Sumberdaya Manusia 2. Produk sejenis dari lain daerah

3. Sosial budaya masyarakat 3. Politik dan Keamanan (Opini)

4. Modal Usaha 4. Standar mutu dan kuantitas produk

5. Kebijakan Pemerintah Daerah 6. Kelembagaan

(8)

5.1.3.1. Faktor Kekuatan

Faktor kekuatan adalah faktor strategis internal yang menjadi kekuatan dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku, oleh karena itu faktor-faktor ini harus dapat dipergunakan seoptimal mungkin dalam upaya pengembangan usaha PMC. Ada 4 faktor strategis internal yang menjadi kekuatan dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku meliputi:

1. Ketersedian bahan baku

Jenis bahan baku yang dominan digunakan oleh pengusaha PMC di Provinsi Maluku adalah daun beserta ranting cengkeh kering, jika ada persediaan gagang cengkeh kering maka ketiga bahan baku ini biasanya akan di suling secara bersamaan, namun ada juga yang menyuling secara terpisah jika gagang cengkeh yang terkumpul cukup banyak. Walaupun demikian hampir sebagian besar penyuling mengaku bahwa produk yang mereka hasilkan adalah minyak berbahan baku gagang. Hal ini mungkin dikarenakan harga minyak gagang yang relatif lebih tinggi dari minyak berbahan baku daun. Namun setelah diklarifikasi lebih lanjut rata-rata penyuling menjual produk mereka dengan harga minyak daun, maka dapat dipastikan bahwa minyak yang dihasilkan adalah dominan minyak berbahan daun atau berbahan baku campuran (gagang dan daun). Kondisi ini sesuai dengan yang dikemukakan Guenther (1990), bahwa perbedaan minyak gagang dan minyak daun tidak dapat digambarkan secara tajam, seringkali gagang dan daun cengkeh disuling secara bersama-sama untuk menghasilkan minyak cengkeh. Namun berdasarkan ketersediaan bahan bakunya dapat dipastikan hampir 80 persen minyak cengkeh yang dihasilkan di daerah-daerah sentra produksinya adalah minyak yang berasal dari daun dan hanya 15 – 20 persen yang merupakan minyak gagang.

Potensi ketersediaan bahan baku minyak cengkeh di Provinsi Maluku cukup besar, jika rata-rata setiap pohon cengkeh dapat menghasilkan daun

(9)

kering sebesar 0.72 kg per minggu (Guenther 1990), maka dalam satu tahun potensi bahan baku daun yang dapat dihasilkan dari luas areal tanam sebesar 35.18 ribu hektar dengan kepadatan 105 pohon per hektar akan mencapai 127.64 ribu ton, sedangkan tersediaan bahan baku gagang cengkeh kurang lebih setara 30 persen produksi bunga cengkeh per tahunnya yaitu mencapai 3.83 ribu ton pada tahun 2005. Pada saat ini dengan kapasitas produksi 480 ton minyak cengkeh per tahun maka baru 11 persen bahan baku yang diolah menjadi minyak cengkeh, seperti yang terlihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Luas Areal dan Produksi Cengkeh, Potensi Ketersedian Bahan Baku Minyak Cengkeh Per Kabupaten Tahun 2005.

Potensi Ketersediaan Bahan Baku Minyak Cengkeh Kabupaten Luas Areal Tanaman Cengceh (ribu ha) Produksi Cengkeh

(ribu ton daun

(ribu ton) Gagang (ribu ton) 1 Maluku Tenggara 1.60 0.30 5.81 0.09 2 Maluku Tengah 10.07 4.58 36.54 1.37 3 Pulau Buru 6.71 1.93 24.36 0.58

4 Seram Bagian Barat 6.05 1.26 21.95 0.38

5 Seram Bagian Timur 8.33 4.38 30.24 1.31

6 Ambon 2.41 0.32 8.76 0.10

Total 35.18 12.77 127.64 3.83

Sumber: BPS, 2005 (diolah)

Walaupun potensi bahan baku minyak cengkeh yang dapat dihasilkan cukup besar namun ketersediaan bahan baku pembuatan minyak cengkeh hanya terbatas pada waktu panen. Kondisi tersebut dikarenakan setelah panen cengkeh usai ketersedian tenaga kerja pengumpul relatif sangat rendah karena beberapa faktor antara lain: (1) sifat bahan baku yang kamba dan tersebar pada topografi pengunungan membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar, (2) harga bahan baku yang dianggap relatif rendah, (3) budaya pertanian yang tidak pernah melakukan perawatan tanaman secara rutin, dimana sebagian besar petani cengkeh hanya datang ke kebun mereka pada saat panen saja dan alternatif pekerjaan lain yang dianggap lebih mudah dan menguntungkan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan pengumpulan bahan baku dominan dilakukan

(10)

bersamaan dengan panen bunga cengkeh karena dianggap lebih ekonomis. Berdasarkan informasi di lapangan untuk 1 kg cengkeh dapat dikumpulkan minimal 3 kg kering bahan baku untuk pembuatan minyak cengkeh. Ini berarti probabilitas ketersediaan bahan baku minyak cengkeh riil di lapangan adalah sebesar 38.31 ribu ton dan baru 36 persen dari jumlah tersebut yang dimanfaatkan untuk memproduksi minyak cengkeh.

2. Dukungan non pribumi

Bahan baku minyak cengkeh berdasarkan jenis tanaman dan lokasi tanam relatif membutuhkan waktu dan tenaga kerja yang cukup besar dalam pengumpulannya. Terkait dengan hal ini ketersediaan tenaga kerja pribumi relatif rendah karena pilihan kegiatan pertanian lain yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi ataupun karena faktor budaya.

Keberadaan penduduk non pribumi yang relatif cukup banyak sangat membantu kegiatan produksi minyak cengkeh, karena hampir 70 persen tenaga kerja panen cengkeh di Maluku adalah penduduk non pribumi khususnya dari Suku Buton. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan usaha PMC yang kontinu berproduksi, relatif diusahakan oleh non pribumi atau pendatang. Pengusaha non pribumi umumnya tidak memiliki tanaman cengkeh atau tanaman perkebunan lainnya, mereka memperoleh bahan baku dengan cara membeli dari penduduk sekitar tempat usaha yang sebagian besar juga bukan pemilik tanaman cengkeh. Kondisi ini memungkinkan pengusaha PMC non pribumi lebih dapat berkonsentrasi pada usaha PMCnya.

3. Tingkat keuntungan usaha

Tingkat keuntungan usaha merupakan pertimbangan dalam melaksanakan usaha baik secara ekonomi maupun finansial. Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha PMC pada siklus umur ekonomis, diketahui tingkat keuntungan ekomomi usaha PMC berkisar antara Rp 4.61-33.19 juta, sedangkan tingkat

(11)

keuntungan finansial usaha PMC berkisar antara Rp.4.65 – 34.99 juta. Tingkat keuntungan usaha terkecil diberikan oleh usaha PMCns, sedangkan tingkat keuntungan usaha terbesar diberikan oleh usaha PMCs3.

Dalam analisa benefit – cost yang selalu digunakan dalam acuan adalah keuntungan yang diperoleh sebagai akibat investasi, dimana kriteria Net B/C secara umum digunakan sebagai dasar penilaiannya (Kadariah et al .,1999). Tingkat keuntungan investasi usaha PMC berkisar antara Rp. 2.68 – 9.46 untuk Rp. 1 yang diinvestasikan pada usaha PMC, sedangkan berdasarkan analisa kelayakan finansial usaha PMC diketahui bahwa tingkat keuntungan investasi usaha PMC berkisar antara Rp. 5.65 – 28.02 untuk Rp. 1 yang diinvestasikan pada usaha tersebut. Keuntungan akibat investasi terbesar diberikan oleh usaha PMCs3 atau usaha PMC yang menggunakan KAS 100 kilogram dengan jenis alat suling stainless, sedangkan keuntungan akibat investasi terkecil diberikan oleh usaha PMCns atau usaha PMC yang menggunakan KAS 100 kilogram dengan jenis alat suling nonstainless.

4. Ketersediaan infrastruktur

Ketersediaan infrastruktur berupa: jalan, pelabuhan dan alat transportasi merupakan faktor penting dalam kegiatan pengembangan ekonomi, khususnya dalam pertimbangan keputusan lokasi produksi karena ketersediaan infastuktur akan mampu memperlancar proses produksi (Gumbira Said, 2001). Proses produksi dalam industri pertanian meliputi berbagai aktivitas, mulai dari pengadaan bahan baku sampai distribusi hasil relatif sangat memerlukan dukungan infrastuktur yang baik, kondisi ini juga berlaku dalam pengembangan usaha PMC. Keadaan infrastruktur di Provinsi Maluku saat ini semakin baik, ini terlihat dari kondisi jalan ditiap desa, pelabuhan dan alat transportasi yang tersedia. Walaupun demikian, karena kepadatan dan mobilitas penduduk yang

(12)

relatif rendah pada daerah-daerah pedesaan menyebabkan aktivitas transportasi relatif lebih rendah.

5.1.3.2. Faktor Kelemahan

Faktor kelemahan adalah bagian dari faktor strategis internal yang menjadi kelemahan karena merupakan kendala dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku. Faktor kelemahan yang teridentifikasi menjadi kendala dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku, meliputi:

1. Sifat bahan baku dan topografi daerah

Produk pertanian umumnya memiliki sifat kamba dan tersebar, kondisi ini menyebabkan biaya tinggi dalam penanganannya khususnya dalam biaya tranportasi, tenaga kerja, penyimpanan dan lainnya (Gumbira Said, 2001). Bahan baku minyak cengkeh juga memiliki sifat kamba dan tersebar pada topografi pegunungan yang menyebabkan biaya tinggi dalam pengadaan dan penanganannya, khususnya dalam biaya tenaga kerja, transportasi dan penyimpanan.

Sebagian besar penduduk disekitar usaha PMC menganggap pekerjaan pengumpulan bahan baku minyak cengkeh hanya akan menguntungkan jika dilakukan bersamaan dengan panen cengkeh, karena dapat memberikan penghasilan tambahan selain penghasilan dari panen cengkeh itu sendiri. Pengumpulan bahan baku minyak cengkeh diluar masa panen cengkeh relatif sangat minim, hal ini dikarenakan harga bahan baku minyak cengkeh yang relatif rendah, faktor ini juga yang menyebabkan penyimpanan bahan baku untuk jangka waktu yang lama tidak dilakukan karena biaya penyimpanannya relatif lebih tinggi dari penerimaan yang diperoleh dari penjualan bahan tersebut. Kondisi ini juga yang meyebabkan ketersediaan bahan baku minyak cengkeh terbatas pada saat panen cengkeh.

(13)

2. Sumberdaya manusia (SDM)

Keberhasilan dari suatu pengembangan kegiatan ekonomi sangat tergantung dari SDM yang tersedia baik dari kuantitas dan kualitas, atau dapat dikatakan bahwa karakteristik SDM pada usaha, terlebih untuk usaha kecil sangat menentukan karakter dan perkembangan usaha tersebut. Karakteristik SDM pada usaha PMC di Provinsi Maluku secara umum karekteristik pengusaha PMC meliputi: umur, pendidikan formal, jumlah anggota keluarga dan luas penguasaan lahan/tanaman, seperti yang terlihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Karakteristik Pengusaha PMC Maluku

No. Karakteristik Pengusaha PMC Rata-rata

1. 2. 3. 4. 5. Pengalaman usaha Umur Responden (tahun) Pendidikan formal

Jumlah anggota keluarga (orang) Luas penguasaan lahan/tanaman (Ha)

1 – 13 25 – 45

SMP 2 – 8 0.25 – 7.00 Sumber: Analisis data primer, 2008

Pengalaman usaha responden berkisar antara 3 – 13 tahun, dimana ada responden yang telah melalui tahapan penyulingan dengan alat suling yang terbuat dari kayu, dari drum (nonstainless) sampai yang terbuat dari stainless. Lamanya pengalaman usaha merupakan faktor pendukung utama dalam melakukan proses produksi dan pengenalan mutu produk. Rata-rata pengusaha dengan pengalaman usaha diatas 3 tahun, mengetahui kiat mendapatkan mutu minyak cengkeh yang baik dan dapat membedakan kualitas minyak cengkeh secara fisik, seperti tinggi-rendahnya kandungan air dalam minyak cengkeh yang dihasilkan, namun untuk penguasaan teknologi penyulingan terbaru relatif masih sangat terbatas.

Umur merupakan variabel yang perlu diketahui karena berhubungan erat dengan kekuatan fisik, pengalaman, ketrampilan, dan sikap positif terhadap inovasi. Semakin muda umur responden diasumsikan lebih kuat, lebih kreatif dan terbuka terhadap masuknya ide-ide baru dibandingkan dengan yang berumur

(14)

tua, sehingga lebih mudah meningkatkan ketrampilan dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan produksi.

Tingkat pendidikan formal secara relatif juga berhubungan dengan kemampuan dalam adopsi inovasi atau pun mengakses kemajuan teknologi. Rata-rata tingkat pendidikan responden penyuling minyak cengkeh berada di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), rendahnya tingkat pendidikan responden dan jauhnya lokasi tempat tinggal dari pusat kota, menyebabkan terbatasnya akses mereka terhadap informasi dan iptek.

Jumlah anggota keluarga dalam persepsi petani atau pengusaha berbasis rumahtangga seringkali dihubungkan dengan harapan untuk memperoleh tenaga kerja, rata-rata jumlah anggota keluarga responden 4 - 5 orang. Lazim seperti usaha rumahtangga lainnya usaha PMC di Provinsi Maluku juga dominan menggunakan tenaga kerja keluarga. Adapun luas penguasaan lahan atau tanaman cengkeh relatif tidak begitu mempengaruhi produksi minyak cengkeh, faktor yang sangat berpengaruh adalah luas areal tanaman cengkeh secara keseluruhan pada satu daerah, besarnya produksi cengkeh, dan ketersediaan tenaga kerja untuk mengumpulkan bahan baku yang sifatnya kamba dan tersebar dan musim yang sedang berlangsung. Dari segi kuantitas ketersediaan tenaga kerja pengumpul bahan baku terlihat masih terbatas sangat terbatas ini terlihat dari selisih antara potensi (125.9 ribu ton) dan probabilitas ketersediaan bahan baku minyak cengkeh (38.31 ribu ton) yang mencapai 87.68 ribu ton. 3. Sosial budaya masyarakat

Budaya pertanian masyarakat Maluku yang berbasis pada perkebunan multikomoditi dengan tingkat pendapatan yang relatif cukup tinggi per tahunnya menyebabkan petani selektif dalam pemilihan kegiatan ekonomi dan cenderung puas dengan apa yang mereka peroleh dari kegiatan perkebunan yang dilakukan. Disisi lain penilaian sosial yang rendah terhadap pemanfaatan limbah

(15)

cukup dominan dimana pengumpulan bahan baku daun cengkeh kering dianggap sebagai pekerjaan rendah dan relatif kurang diminati bahkan oleh petani cengkeh itu sendiri.

4. Modal usaha

Modal usaha merupakan salah satu kendala dalam pengembangan usaha, jika modal yang dibutuhkan untuk usaha relatif besar maka agak sulit usaha tersebut dapat berkembang khususnya dikalangan petani yang berpendapatan rendah (Soekartawi et al., 1986). Kebutuhan modal usaha dapat diperoleh dari berbagai sumber, pengusaha ekonomi lemah umumnya menggunakan 2 sumber modal yaitu yang berasal dari lembaga formal maupun nonformal (Ibrahim, 1998). Pada usaha PMCns modal usaha sebagian besar berasal dari pemilik alat suling yang dalam kasus ini merangkap sebagai pedagang pengumpul khususnya terkait pengadaan peralatan penyulingan. Sistem pengembalian atas pemakaian modal pada usaha PMCns secara finansial dikenal dengan sistem bagi hasil, yaitu sebesar 5 persen dari total penerimaan. Adapun pada usaha PMCs modal usaha sebagian besar berasal dari pemerintah khususnya terkait pengadaan peralatan penyulingan, dimana sistem pengembalian atas pemakaian modal berbentuk iuran kelompok untuk menjamin kelangsungan produksi dalam hal ini ketersediaan alat, yang besarnya berkisar antara Rp. 5 – 10 ribu per produksi.

Pada usaha PMC, besarnya modal usaha yang dibutuhkan relatif sangat tergantung pada KAS dan jenis alat suling. Sebenarnya kendala ini dapat diatasi, dengan pendapatan dari panen cengkeh namun karena pertimbangan pemilihan kegiatan ekonomi, faktor sosial budaya, harapan untuk mendapatkan bantuan usaha cuma-cuma dari pemerintah, belum terbinanya kemitraan dalam berusaha, minat berinvestasi pada usaha PMC yang relatif rendah, membuat modal usaha tetap menjadi kendala dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku.

(16)

5. Kebijakan pemerintah daerah

Kebijakan adalah intervensi pemerintah untuk merubah prilaku produsen dan konsumen, dimana secara umum tujuan dari kebijakan pemerintah adalah tercapainya efisiensi, pemerataan dan ketahanan. Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka mampu menghasilkan pendapatan yang maksimum, alokasi barang dan jasa dapat menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang tinggi, pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan yang lebih merata, dan ketahanan diartikan sebagai ketersediaan kebutuhan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau (Pearson et al., 2005).

Kebijakan pemerintah terkait pengembangan usaha PMC adalah program pengembangan usaha PMC yang merupakan bagian dari program pengembangan Agroindustri Minyak Cengkeh (AMC) nasional, dimana Provinsi Maluku menjadi salah satu provinsi sasaran pengembangan usaha PMC karena dianggap berpotensi besar dalam ketersediaan bahan baku. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden terkait diketahui bahwa program yang sedang berjalan adalah tahap I program dalam rangka mencari strategi terbaik dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku.

Implementasi program pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku dikelola oleh dinas departermen perindustrian dan perdagangan (Deperindag) dengan 3 tujuan utama yaitu: (1) meningkatkan pendapatan masyarakat melalui usaha penyulingan minyak cengkeh, (2) meningkatkan produksi dan mutu minyak cengkeh melalui pengenalan dan distribusi teknologi baru, dan (3) memberikan insentif bagi penyuling untuk mengembangkan usahanya. Penetapan tiga tujuan utama program pengembangan usaha PMC di Propinsi Maluku adalah berdasarkan hasil survei industri kecil-menengah berbahan baku tanaman lokal di Provinsi Maluku tahun 2004, dimana diketahui bahwa rata-rata produk minyak cengkeh Maluku berwarna hitam (akibat penggunaan alat suling

(17)

nonstainless) dan memiliki harga jual yang relatif rendah. Berdasarkan kondisi ini program pengembangan usaha PMC yang dianggap sesuai adalah pengembangan teknologi penyulingan dengan jenis alat suling stainless steel yang menghasilkan minyak cengkeh dengan warna jernih.

Total investasi pemerintah pusat dalam program pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku adalah sebesar Rp. 1.25 milyar, dengan ketentuan dana tahap I program sebesar 20 persen dari total investasi pemerintah pusat merupakan dana cost sharing dari Pemerintah Daerah Propinsi Maluku yang bersumber dari dana APBD. Investasi pemerintah pusat akan dicairkan setelah 1-3 tahun setelah pelaksanaan tahap I program dan sangat tergantung dari hasil evaluasi pelaksanaan tahap I program tersebut.

Bekerja sama dengan Baristand sebagai instansi yang dianggap kompeten, pelaksanaan kegiatan tahap I program pengembangan usaha PMC ditekankan pada pelatihan penyulingan melalui pengenalan teknologi penyulingan dengan jenis alat suling stainlees. Dalam implementasinya ada 3 ukuran kapasitas alat suling (KAS) yang akan dievaluasi kinerjanya dalam pencapaian tujuan program yaitu KAS 30, 40 dan 100 kilogram per produksi masing-masing sebangyak 10 unit yang didistribusikan ke 30 kelompok usaha PMC atau 150 RTU PMC. KAS 30 dan 40 kilogram merupakan ukuran yang digunakan masing-masing oleh lembaga Japan International Coorporation Agency (JICA) dan United Nation

Industrial Development Organization (UNIDO) dalam pegembangan usaha

penyulingan minyak kayu putih di Pulau Ambon karena memiliki tingkat mobilisasi tinggi dan dinilai sesuai dengan kondisi fisik geografi Propinsi Maluku, sedangkan KAS 100 kilogram merupakan ukuran yang mengikuti ukuran alat suling nonstainless steel (terbuat drum) yang dominan digunakan oleh pengusaha PMC di Propinsi Maluku.

(18)

Pemberian bantuan dalam tahap I program pengembangan usaha PMC dilakukan secara kolektif atau kelompok adalah sebagai upaya memperkecil dana bantuan per RTU, mempermudah pembinaan dan membina kerjasama antar anggota kelompok, dan merupakan hanya merupakan insentif bagi pengusaha PMC untuk mandiri. Berdasarkan nilai alat suling yang berkisar antara Rp 1.14 – 2.63 juta, maka bantuan langsung per RTU hanya berkisar antara Rp 228 – 526 ribu , seperti yang terlihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Nilai per Unit Alat Suling, Nilai Bantuan per RTU dan Frekwensi Produksi per Tahun

KAS (kg)

Nilai Alat/ unit (Rp. juta)

Nilai Bantuan/ RTU (Rp.juta) Frekwensi Produksi/RTU/tahun* 30 1.14 0.228 24 40 1.39 0.278 24 100 2.63 0.526 24

Sumber : Analisa data primer , 2008

Keterangan : * dalam 1 tahun masa produksi = 6 bulan

Setelah program berjalan 1 tahun tidak banyak informasi yang dapat diperoleh dari instansi terkait, karena data pelaksanaan program tidak terarsipkan pada intansi terkait dan evaluasi untuk melihat keberhasilan program dilapangan belum dilakukan dengan alasan keterbatasan dana. Disisi lain sebagian besar kelompok binaan mengeluh sulitnya membangun koordinasi dan komunikasi dengan lembaga-lembaga pemberi bantuan usai pelaksanaan program, terkait upaya memperoleh pelatihan dan hasil standarisasi atas produk, yang telah dijanjikan karena tiap instansi saling melepaskan tanggung jawab.

Kondisi diatas mengindikasikan bahwa pelaksanaan tahap I program pengembangan usaha PMC tidak berjalan sebagaimana mestinya dapat dilihat dari: (1) paket bantuan alat yang terdiri dari: bantuan alat suling, pengetahuan teknis pengoperasian alat, teknis produksi dan pasca produksi umumnya tidak dilakukan secara menyeluruh, bahkan sebagian besar implementasi program sebatas distribusi alat, (2) tidak tersedianya data pada instansi terkait

(19)

implementasi program dan tindak lanjut yang akan dilakukan padahal program yang dijalankan merupakan program dengan sistem tahapan, (3) kebijakan antar instansi tidak terkait dan tidak saling mendukung menyebabkan besarnya biaya program, walaupun masing-masing instansi memiliki program yang hampir sama tidak ada kerjasama sehingga menimbulkan kesan tumpang tindih, dan jika ada kerja sama masing-masing instansi saling melimpahkan tanggungjawab, dan (4) kelemahan kebijakan pemerintah lainnya adalah dalam pemberian bantuan tidak disertai dengan sistem yang menjamin keberlanjutan program atau usaha PMC yang diintroduksi, seperti penghimpunan dana dari anggota kelompok untuk menjamin ketersediaan alat suling atau pengembangan usaha PMC lebih lanjut. 6. Kelembagaan

Keberadaan kelembagan pendukung sangat penting dalam menciptakan integritas usaha dalam mewujudkan tujuan pengembangan usaha. Kelembagaan seperti asosiasi pengusaha PMC, kelompok usaha PMC, pemerintah, koperasi, lembaga pembiayaan, litbang dan lainnnya di desa relatif terbatas dan perannya sangat minim. Terbatasnya transfer pengetahuan antar anggota kelompok dan akses pada pendanaan biaya investasi dan operasional menjadi penyebab kurang berkembangnya usaha PMC di Provinsi Maluku. Pada saat ini sebagian besar kelompok usaha PMC adalah merupakan kelompok usaha yang dibentuk oleh dinas terkait sehubungan dengan program yang akan mereka jalankan dan pengusaha PMC relatif masih sulit mengakses kebutuhan mereka dalam pengembangan usaha melalui lembaga-lembaga pendukung terkait.

5.1.3.3. Faktor Peluang

Faktor yang dianggap sebagai peluang adalah faktor yang bisa dimanfaatkan dalam upaya pencapaian tujuan. Dari hasil wawancara dengan

(20)

responden teridentifikasi 4 faktor yang menjadi peluang dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku yaitu:

1. Daya saing dan Potensi pasar

Berdasarkan nilai koefisien DRC yang berkisar antara 0.52 – 0.84 dan nilai PCR 0.54 – 0.93, dapat dikatakan bahwa minyak cengkeh Maluku memiliki prospek pasar yang baik saat ini dan dimasa yang akan datang. Disisi lain peningkatan daya saing minyak cengkeh Maluku masih dapat dilakukan dengan pengembangan teknologi dan kapasitas alat suling yang tepat. Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha diketahui usaha PMC menggunakan KAS 40 dan100 kilogram jenis stainless steel dapat menghasilkan produk minyak cengkeh dengan daya saing tinggi hal ini ditunjukkan nilai koefisien DRC masing-masing sebesar 0.52 dan 0.53, dan PCR masing-masing-masing-masing sebesar 0.57 dan 0.58).

Sebagian besar pengusaha PMC di lokasi penelitian menjual produk mereka ke pedagang pengumpul setempat, pedagang pengumpul yang datang dan produsen minyak gosok terdekat (seperti UD Yala Karya di Tamilow atau Perusahaan Jamu Toko Sinar Baru, Mutiara dan lainnya di Kota Ambon). Penjualan produk umumnya dilakukan setelah 1 – 2 bulan produksi atau sangat tergantung pada kebutuhan RTU PMC, dengan demikian jumlah produk yang dijual relatif kecil. Kondisi ini menyebabkan pengusaha PMC menganggap menjual produk ke pedagang pengumpul merupakan alternatif sebagai upaya memperkecil biaya pemasaran yang harus mereka keluarkan terkait lokasi produksi yang jauh dari pusat pasar minyak cengkeh. Saat ini Pasar minyak cengkeh sebagian besar (80%) diserap di dalam negeri sebagai dampak dari permintaan domestik yang cenderung meningkat dimana kondisi ini menyebabkan tingkat harga minyak cengkeh domestik relatif stabil, adapun

(21)

pemain (konsumen) utamanya adalah PT. Indesso Aroma dengan kebutuhan 20 ton/hari.

2. Kesempatan bermitra

Permintaan minyak cengkeh yang tinggi baik di tingkat dunia maupun nasional dapat menciptakan kesempatan bermitra diberbagai kalangan yaitu petani cengkeh sebagai pemasok bahan baku bagi pelaku usaha PMC, industri teknologi penyulingan dengan pelaku usaha PMC, industri berbahan baku minyak cengkeh dengan pelaku usaha PMC, investor yang tertarik pada usaha PMC, pemerintah dan pihak terkait lainnya. Kemitraan yang telah ada saat yaitu kemitraan antara pengusaha PMC dengan pedagang pengumpul yang merangkap sebagai pemilik alat suling khususnya untuk jenis alat suling nonstainlees dengan sistem bagi hasil, sedangkan untuk jenis alat suling stainlees kemitraan yang terbentuk dengan pedagang pengumpul hanya sebatas penjual dan pembeli tetap.

Peluang bermitra dengan lembaga keuangan sebenarnya cukup besar dengan adanya Inpres No.6 tahun 2005 tentang dana bergulir bagi UKM yang pada tahun 2008 mencapai Rp. 403 Milyar, namun peluang ini belum dapat digunakan dengan optimal oleh pelaku usaha PMC di Provinsi Maluku karena aksesibilitas mereka yang rendah terhadap lembaga keuangan formal baik karena keterbatasan pendidikan maupun informasi. Peluang bermitra antara instansi pemerintah ataupun non pemerintah juga cukup besar, karena masing-masing instansi memiliki spesialisasi pada bidang masing-masing-masing-masing yang terkadang saling terkait satu dengan lainnya, misalnya instansi Baristand memiliki spesialisasi keahlian dalam teknologi produksi dapat bekerja sama dengan instansi dinas perindag dalam mengembangkan industri tertentu dengan menggunakan teknologi yang dikembangkan oleh pihak Baristand terkait potensi yang dimiliki suatu wilayah. Jika pada tingkat penyuling peluang kemitraan belum

(22)

dapat dimanfaatkan dengan baik karena keterbatasan pendidikan dan informasi, maka pada tingkat lembaga atau instansi peluang kemitraan seringkali belum dimanfaatkan karena tidak adanya koordinasi, faktor belum adanya kepercayaan dan gap yang terjadi antara lembaga atau intansi sehingga tiap program yang dijalankan walaupun saling terkait namun masih dilakukan secara terpisah.

3. Ketersediaan teknologi

Teknologi penyulingan minyak cengkih berupa alat dan prosedur pembuatan minyak cengkeh dengan tingkat produksi dan mutu yang relatif lebih baik telah tersedia pada dinas Baristand Provinsi Maluku. Teknologi penyulingan minyak cengkeh relatif sederhana dan mudah dipelajari, dengan satu unsur penting yang harus diperhatikan yaitu jenis alat suling yang dipakai yang menyebabkan perbesaan warna produk, seperti yang terlihat pada Tabel 22. Tabel 22. Perbedaan Minyak Cengkeh Berdasarkan Jenis Alat Suling

Jenis Alat Suling * Non stainlees

Komponen perbandingan

Kayu Besi (Drum) Stainlees

1. Warna Keruh coklat Hitam Jernih kekuningan

2. Proses Produksi 12 jam 8-9 6-7

3. Rendemen <3% 3 – 4% 3 – 4%

4. Umur Ekonomis 5 <5 10

Sumber: Balai Industri dan Standarisasi Provinsi Maluku, 2007

Proses penyulingan minyak cengkeh diawali dengan sortasi bahan baku, dimana selama proses penyulingan sistem pemanasannya harus dikontrol agar tetap stabil sebagai upaya untuk mendapatkan rendemen yang tinggi. Setelah proses penyulingan limbah bahan baku ini dikeringkan dan kemudian dipakai sebagai bahan bakar pada proses penyulingan selanjutnya (Lampiran 22).

4. Tingkat suku bunga dan skim kredit tersedia bagi UKM

Dalam upaya menggerakkan sektor riil pemerintah mengambil kebijakan menurunkan tingkat suku bunga komersil dan menyediakan skim kredit untuk UKM. Tingkat suku bunga komersil sebelumnya 21 persen turun menjadi 13.5

(23)

persen, sedangkan kredit lunak untuk UMKM telah mencapai angka 6 persen. Namun peluang ini belum dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha PMC untuk mengembangkan usahanya ataupun masyarakat lain yang ingin membangun usaha PMC baru karena keterbatasan informasi ataupun karena faktor birokasi kembaga pembiayaan yang sulit untuk diakses.

5.1.3.4. Faktor Ancaman

Faktor ancaman adalah faktor yang dapat menghambat pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui ada 4 faktor ancaman bagi pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku yaitu:

1. Fluktuasi harga

Harga minyak cengkeh dalam kurun waktu 1999 – 2005 di pasar dunia relatif fluktuatif, harga minyak cengkeh dunia terendah terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar US$ 0.77 (US$ 1 = Rp 10.27 ribu) per kilogram dan tertinggi pada tahun 2001 yaitu sebesar US$ 7.11 (US$ 1 = Rp 9.26 ribu). Harga minyak cengkeh nasional relatif lebih stabil yaitu kisaran harga Rp 35 – 50 ribu per kilogram, dengan harga tertinggi sebesar Rp 60 ribu pada tahun 2001, harga minyak cengkeh di pasar lokal Maluku juga relatif stabil pada kisaran harga Rp 30 – 45 ribu per kilogram, seperti yang terlihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Perkembangan Harga Cengkeh dan Minyak Cengkeh Tahun 1999 – 2005

Ekspor (USD$/Kg) Nasional (Rp.000/Kg) Maluku (Rp.000/Kg)

Tahun Cengkeh Minyak cengkeh Cengkeh Minyak cengkeh Cengkeh Minyak cengkeh 1999 15.81 2.98 123.46 50 104.94 45.00 2000 3.86 0.77 32.95 50 28.01 45.00 2001 5.62 7.11 57.70 60 49.05 50.00 2002 6.95 5,42 64.32 40 54.67 30.70 2003 1.46 1.85 12.50 35 10.63 32.50 2004 3.90 4.30 35.00 42 29.75 35.50 2005 4.63 5.00 45.00 47 38.25 41.00 Sumber: Departemen pertanian RI 2006, BPS Propinsi Maluku 2006, PT Jasulawangi

(24)

Harga komoditi minyak cengkeh di pasar dunia relatif fluktuatif mengikuti kondisi perdagangan cengkeh dunia, namun penurunan harga minyak cengkeh relatif tidak setajam penurunan harga bunga cengkeh. Selama kurun waktu 3 tahun terakhir berdasarkan data harga ekspor PT Jasulawangi penurunan harga ekspor tidak lebih dari 10 persen, jika pun melewati angka 10 persen relatif cepat kembali ke harga sebelumnya.

2. Produk sejenis dari daerah lain

Berdasarkan kajian tentang Agribisnis Cengkeh oleh Departemen Pertanian (2005), diketahui ada 12 Provinsi yang potensial dalam menghasilkan minyak cengkeh termasuk Provinsi Maluku. Jika harga yang ditawarkan daerah penghasil lain lebih rendah pada standar mutu yang sama maka hal ini merupakan ancaman bagi keberlangsungan usaha PMC Maluku, namun untuk saat ini harga minyak cengkeh hitam Maluku relatif bersaing dengan disparitas harga yang cukup besar untuk dari harga produk minyak cengkeh hitam pada daerah Pabrik Rokok Kretek yaitu mencapai Rp. 7.5 – 10 ribu per kilogramnya melampaui disparitas harga produk minyak cengkeh hitam dan jernih pada daerah PRK yang hanya berkisar Rp 1.5 – 2 ribu.

3. Politik dan keamanan

Kondisi politik dan keamanan yang stabil sangat dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi khususnya investasi. Terkait dengan peristiwa konflik sosial yang terjadi di Propinsi Maluku tahun 1998 – 2002, minat investasi swasta hingga saat ini relatif rendah. Saat ini kondisi politik dan keamanan di Maluku dapat dikatakan 100 persen telah pulih, oleh karena itu opini tentang kondisi politik dan keamanan Maluku yang tidak kondusif harus segera diubah.

4. Standar mutu dan kuantitas hasil

Standar mutu dan kuantitas sering menjadi kendala dalam pemasaran produk minyak cengkeh. Menurut Mangunwidjaja (2002), standar mutu dapat

(25)

bersifat nasional maupun internasional, di Indonesia standar baku mutu harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dikeluarkan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSN) sejak tahun 1994. Berdasarkan hasil penelitian Baristand (1997) minyak cengkeh Maluku sudah memenuhi kualifikasi SNI, seperti yang terlihat pada Tabel 24.

Tabel 24. Standar Mutu Minyak Daun Cengkeh Menurut SNI 1991 dan Minyak Cengkeh Maluku 1997

Parameter Uji Karakteristik SNI Karakteristik Minyak

Cengkeh Maluku

1. Berat Jenis pada 15oC 1,03 - 1,06 1. 05

2. Putaran Optik (ad) - 1o 35 - 2o 5

3. Indeks Refraksi pd 20oC (nd20) 1,52 - 1,54 1.532

4. Kadar eugenol (%) 78 - 93 % 80 %

5. Minyak pelikan Negatif Negatif

6. Minyak lemak Negatif Negatif

7. Kelarutan dalam Alkohol 70% Dalam dua volume dalam dua volume

Sumber : Baristand Provinsi Maluku, 1997

Berdasarkan standar mutu (Tabel 24), diketahui warna minyak cengkeh tidak termasuk sebagai salah satu parameter uji, namun pada kenyataan warna produk juga mempengaruhi tingkat permintaan dan harga, baik di pasar lokal maupun non lokal, dimana semakin jernih warna minyak cengkeh maka harga jualnya relatif semakin tinggi. Penjernihan minyak cengkeh hitam sebagian besar dilakukan oleh para eksportir, penjernihan di tingkat penyuling jarang ditemui baik karena keterbatasan teknologi, pertimbangan waktu, rendemen hasil yang akan menurun dan biaya yang dibutuhkan. Sebagian besar produk minyak cengkeh yang dihasilkan di Provinsi Maluku berwarna hitam, minyak cengkeh dengan warna jernih agak kekuningan baru dihasilkan pada tahun 2006, melalui tahap I program pengembangan usaha PMC tetapi jumlahnya masih sangat kecil dan belum mendapatkan sertifikasi standarisasi dari lembaga yang kompeten.

Jumlah produksi total minyak cengkeh Provinsi Maluku masih relatif kecil jika dibandingkan dengan ketersediaan bahan bakunya. Disisi lain usaha PMC di Provinsi Maluku tersebar dengan skala produksi yang relatif kecil. Kondisi ini

(26)

menjadi kendala bagi para pelaku usaha PMC sulit menjalin kemitraan dengan konsumen luar daerah yang kuantitas permintaannya besar.

5.3. Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh

5.3.1. Penentuan Prioritas Alternatif Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Di Provinsi Maluku

Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha PMC dan identifikasi faktor internal dan eksternal dilakukan analisis lanjutan untuk menyusun strategi kebijakan terkait dengan alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas guna mencapai tujuan dan sasaran yang optimal dengan menggunakan analisis linier programing. Penentuan prioritas strategi pengembangan usaha PMC efektif dan efisien dalam analisa LP ditujukan pada keuntungan yang optimal yang dapat diperoleh melalui program pengembangan KAS secara lebih merata di tiap kabupaten dengan kendala antara lain:

1. Kendala ketersediaan bahan baku

Sifat bahan baku dan topografi daerah Maluku memerlukan biaya penanganan yang cukup besar dalam penyediaannya, agar efsiensi produksi dapat tercapai maka pengembangan usaha PMC harus berorientasi sumberdaya karena semakin kecil ruang mobilisasi bahan baku diharapkan biaya pengadaan bahan baku akan semakin kecil. Oleh karena itu, kendala bahan baku yang digunakankan adalah kendala ketersediaan bahan baku di tiap kabupaten upaya ini juga diarahkan untuk pengdistribusian bantuan yang lebih merata.

2. Kendala alokasi biaya investasi

Alokasi investasi pemerintah dalam kegiatan pengembangan usaha PMC terbatas yaitu hanya sebesar Rp 1.25 Milyar. Untuk menjamin tercapai tujuan pemerataan maka dana tersebut akan dialokasikan ke tiap kabupaten sesuai dengan perkiraan ketersediaan bahan baku yang dimiliki. Jika diasumsikan implementasi penggunaan dana dalam program pengembangan usaha PMC di

(27)

Provinsi Maluku akan mengikuti ketentuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), maka alokasi dana harus memenuhi ketentuan yaitu: 90 persen berbentuk bantuan langsung fisik dan 10 persen untuk kegiatan operasional, seperti yang terlihat pada Tabel 25.

Tabel 25. Ketersediaan Bahan Baku dan Alokasi Dana Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh pada Enam Kabupaten di Provinsi Maluku.

Alokasi Dana Pengembangan (Rp juta)

Kabupaten

Ketersediaan Bahan Baku riil

(ribu ton) Fisik Opersional

Maluku Tenggara Maluku Tengah Pulau Buru

Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Ambon 0.90 13.72 5.79 3.78 13.14 0.95 51.17 322.04 214.67 193.46 266.48 77.17 2.93 44.80 18.91 12.33 42.90 3.22 Total 38.30 1124.99 125.00

Sumber: Analisis data primer, 2008

3. Kendala target produksi

Produksi minyak cengkeh dengan mutu produk yang lebih baik diperkirakan akan lebih kecil dari jumlah produksi minyak cengkeh hitam yang mencapai 480 ton per tahun karena keterbatasan dana investasi pemerintah untuk program pengembangan usaha tersebut.

Berdasarkan hasil analisis kelayakan ekonomi dan sesuai kendala yang ada telah diuraikan diatas, langkah awal dalam analisis ini adalah menyusun model matematematis ketidaksamaan program linier sesuai fenomena dan kendala yang ada. Selanjutnya model analisis yang telah disusun diolah dengan menggunakan software LINDO untuk memperoleh solusi optimal dari penggunaan sumberdaya (Lampiran 23).

Hasil analisis LP menunjukkan bahwa usaha PMCs3 atau usaha PMC yang menggunakan KAS 100 kilogram jenis stainless steel merupakan alternatif strategi pengembangan usaha PMC prioritas utama dalam program pengembangan usaha PMC di Propinsi Maluku, dimana masing-masing

(28)

kabupaten memperoleh jumlah yang berbeda sesuai dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Berdasarkan Tabel 25, diketahui konsentrasi usaha PMCs3 tertinggi pada Kabupaten Maluku Tengah dan terendah pada Kabupaten Maluku Tenggara. Kondisi ini jika dikaitkan dengan realita di lapangan adalah sesuai karena berdasarkan Tabel 25, diketahui bahwa Kabupaten Maluku Tengah memiliki ketersediaan bahan baku minyak cengkeh paling besar dan Kabupaten Maluku Tenggara memiliki ketersediaan bahan baku minyak cengkeh paling kecil dibandingkan dengan kabupaten lainya.

Tabel 26. Hasil Analisis Optimalisasi Keuntungan Usaha PMCs (KAS Jenis Stainless Steel) dengan Sofware LINDO

Xi Lokasi j Kabupaten X 1 X2 X3 1 2 3 4 5 6 Maluku Tenggara Maluku Tengah Pulau Buru

Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Ambon 1 2 2 0 0 2 0 0 0 0 0 0 16 122 82 71 99 29 Total (Unit) 7 0 419

Total Keuntungan (Rp. Milyar) 1.396 Sumber: Analisis data primer, 2008

Keterangan: X1 = Jumlah usaha PMCs1

X2 = Jumlah usaha PMCs2

X3 = Jumlah usaha PMCs3

Selain memiliki tingkat keuntungan investasi yang tinggi dibandingkan usaha PMC lainnya (Tabel 15), usaha PMCs3 juga relatif lebih dapat diterima oleh perserta tahap I program pengembangan usaha PMC walaupun memiliki tingkat mobilisasi yang rendah dibandingkan usaha PMCs1 dan usaha PMCs2. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa alternatif usaha PMCs1 dan PMCs2 diikutkan sebagai alternatif pengembangan KAS karena dianggap memiliki tingkat mobilisasi tinggi yang sesuai dengan kondisi perkebunan cengkeh di Provinsi Maluku, namun dari hasil pengamatan dilapangan diketahui bahwa penyulingan minyak cengkeh selalu dilakukan pada suatu tempat,

(29)

khususnya pada lokasi yang dekat dengan sumber mata air atau dekat tempat tinggal pengusaha PMC (penyuling). Hal ini dikarenakan sebagian besar penyuling beranggapan relatif lebih mudah dan tidak berisiko memobilisasi bahan baku daripada memobilisasi alat suling. Pelaku usaha PMCs1 dan PMCs2 juga sering mengeluhkan kecilnya KAS stainless steel bantuan yang mereka terima dari tahap I program pengembangan usaha PMC dibandingkan dengan KAS nonstainless steel yang dulu mereka digunakan, padahal waktu produksi ketiga alat tersebut relatif sama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program pengembangan usaha PMC dengan introduksi teknologi melalui pengembangan KAS 100 kilogram jenis alat suling stainless steel (usaha PMCs3) relatif cukup efektif dan efisien dibandingkan introduksi lainnya.

5.3.2. Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku

Analisis matriks internal-ekternal (I-E) dapat digunakan untuk mencari strategi umum (grand strategy) dalam pengembangan usaha PMC ataupun menilai strategi yang telah dijalankan dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku. Matriks I-E didasarkan pada dua dimensi kunci yaitu skor total Evaluasi Faktor Internal (EFI) pada sumbu x dan skor total Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) pada sumbu y.

Hasil analisis matriks EFI menunjukkan bahwa total skor faktor internal sebesar 2.21, dimana total skor terboboti variabel faktor kekuatan lebih besar dibandingkan skor terboboti variabel faktor kelemahan (1.40>0.81). Faktor yang menjadi kekuatan utama dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku yaitu faktor ketersediaan bahan baku dan dukungan non pribumi ini ditunjukan oleh rating faktor tersebut sebesar 4, sedangkan faktor yang menjadi kekuatan kecil adalah faktor tingkat keuntungan usaha dan ketersediaan infrastruktur. Pada kelompok faktor kelemahan hanya 2 faktor yang menjadi kelemahan kecil

(30)

yaitu memiliki rating 2, yakni sifat bahan baku dan topografi daerah, dan sumberdaya manusia sedangkan 4 faktor lainnya merupakan faktor kelemahan utama, seperti yang terlihat pada Tabel 27.

Tabel 27. Matriks EFI Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku

Faktor Internal Bobot Rating Nilai Terbobot

Kekuatan

1 Ketersediaan bahan baku 0.09 4 0.37

2 Dukungan Non pribumi 0.13 4 0.50

3 Tingkat Keuntungan Usaha 0.07 3 0.22

4 ketersediaan infrastruktur 0.10 3 0.30

Jumlah 0.39 1.40

Kelemahan

1 Sifat Bahan baku dan topografi daerah 0.11 2 0.22

2 Sumberdaya Manusia 0.10 2 0.19

3 Sosial budaya masyarakat 0.10 1 0.10

4 Modal Usaha 0.09 1 0.09

5 Kebijakan Pemerintah Daerah 0.09 1 0.09

6 Kelembagaan 0.13 1 0.13

Jumlah 0.61 0.81

Total 1.00 2.21

Sumber : Analisis data primer, 2008

Hasil analisis matriks EFE menunjukkan bahwa total skor faktor eksternal sebesar 2.21, dimana total skor terboboti variabel faktor peluang lebih besar dibandingkan skor terboboti variabel faktor ancaman (1.55 >0.92). Pada faktor peluang, potensi pasar dan dan ketersediaan teknologi direspon sangat baik, sedangkan 2 faktor lainnya yaitu kesempatan bermitra dan tingkat suku bunga turun dan skim kredit untuk UKM tersedia direspon agak baik. Faktor ancaman juga terdiri atas 4 faktor, dimana faktor fluktuasi harga dan politik dan keamanan masing-masing memiliki pengaruh kuat dan sangat kuat dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku terlihat dari nilai ratingnya sebesar 3 dan 4, sedangkan 2 faktor lainnya yaitu produk sejenis dari daerah lain dan standar mutu dan kualitas kurang kuat pengaruhnya terhadap pengembangan usaha PMC, seperti yang terlihat pada Tabel 28.

(31)

Tabel 28. Matriks EFE Pengembangan Usaha PMC

Faktor Eksternal Bobot Peringkat Nilai Terbobot

Peluang

1 Daya Saing dan Potensi pasar 0.11 4 0.44

2 Kesempatan bermitra 0.15 2 0.30

3 Ketersediaan Teknologi 0.14 4 0.58

4 Tingkat suku bunga turun dan skim

kredit UKM tersedia 0.12 2 0.23

Jumlah 0.52 1.55

Ancaman

1 Fluktuasi harga produk 0.12 3 0.35

2 Produk sejenis dari lain daerah 0.17 1 0.17

3 Politik dan Keamanan (Opini) 0.07 4 0.27

4 Standar mutu dan kuantitas produk 0.13 1 0.13

Jumlah 0.48 0.92

Total 1.00 2.47

Sumber : Analisis data primer, 2008

Berdasarkan perhitungan matrik IFE dan EFE pada Tabel 27 dan 28, diketahui skor total IFE dan EFE masing-masing sebesar 2.21 dan 2.46, yang jika dipetakan pada matrik IE maka posisi strategi usaha pengembangan PMC Maluku berada pada zona V. Posisi strategi pada zona V berarti usaha PMC di Provinsi Maluku dalam posisi strategi pertumbuhan melalui integrasi horisontal dan stabilitas, seperti yang terlihat pada Gambar 5.

Kuat 3.0 - 4.0 Rata-rata 2.0 – 2.99 Lemah 1.0 - 1.99 4.0 3.0 2.0 1.0 I II III IV IFE = 2.21 V EFE = 2.47 VI VII VIII IX 3.0 Rendah 2.0 1.0 - 1.99 Sedang 2.0 – 2.99 Tinggi 3.0 - 4.0 1.0

(32)

Menurut Rangkuti (2006), strategi pertumbuhan melalui integrasi horisontal dapat dilakukan melalui kegiatan memperluas usaha pada lokasi yang berbeda, memperluas pasar, fasilitas produksi dan teknologi melalui joint ventures atau kemitraan, sedangkan strategi stabilitas adalah menjalankan strategi yang telah ditetapkan tanpa mengubah arah strategi. Jika dikaitkan dengan tujuan program pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku yaitu: (1) meningkatkan pendapatan masyarakat melalui usaha penyulingan minyak cengkeh, (2) meningkatkan produksi dan mutu minyak cengkeh melalui pengenalan dan distribusi teknologi baru, dan (3) memberikan insentif bagi penyuling untuk mengembangkan usahanya, maka strategi memperbaiki mutu minyak cengkeh melalui introduksi teknologi dalam hal ini pengembangan usaha PMCs3 pada tiap kabupaten sesuai ketersediaan bahan baku yang dimiliki relatif cukup efektif.

Wujud dari strategi memperluas usaha pada lokasi yang berbeda adalah strategi pengembangan usaha PMC pada tiap kabupaten sesuai ketersediaan bahan baku, karena berdasarkan data jumlah usaha PMC (Tabel 2), diketahui usaha PMC saat ini masih terkonsentrasi pada Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat. Adapun strategi memperbaiki mutu produk minyak cengkeh merupakan salah satu bentuk dari strategi memperluas pasar, selama ini produksi minyak cengkeh Maluku hanya terbatas untuk memenuhi permintaan pasar domestik dengan penggunaan yang terbatas yaitu dominan sebagai produk subtitusi bunga cengkeh pada PRK karena tidak memenuhi syarat untuk penggunaan lainnya seperti untuk aroma terapi, kosmetik dan obat-obatan karena mengandung unsur Fe yang tinggi (terlihat dari produk yang berwarna hitam) dan tidak mampu menembus pasar ekspor, sedangkan produk minyak cengkeh berwarna jernih memiliki pasar yang relatif lebih luas. Disisi lain perbaikan mutu produk minyak cengkeh juga berdampak pada peningkatan

(33)

pendapatan pengusaha PMC yang merupakan insentif bagi pengusaha untuk mengembangkan usahanya lebih lanjut.

Walaupun strategi yang diambil dinilai relatif cukup efektif, namun keefektifannya hanya berlaku dalam jangka panjang karena memerlukan waktu dalam implementasi, sedangkan strategi jangka pendek yang diterapkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh usaha PMC dengan produk minyak cengkeh hitam dalam masa peralihan teknologi belum terlihat, seperti memperkecil disparitas harga produk antara daerah Pabrik Rokok Kretek (PRK) dan bukan daerah PRK belum dilakukan padahal peluang tersebut cukup besar. Seperti yang diketahui bahwa pasar minyak cengkeh hitam sebagian besar adalah untuk Pabrik Rokok Kretek, dan Provinsi Maluku juga merupakan daerah pasar rokok kretek yang potensial ini terlihat dengan adanya agen pemasaran produk rokok yang meliputi lokasi Maluku – Papua yang bertempat di kota Ambon, dengan kondisi ini seharusnya pemerintah dapat membangun pola kemitraan antara Pengusaha PMC dengan Pengusaha PRK khususnya untuk memperkecil disparitas harga produk yang terjadi. Oleh karena itu strategi membangun pola koordinasi dan kemitraan antara berbagai lembaga terkait menjadi penting disamping strategi lainnya karena dengan strategi koordinasi dan kemitraan efektivitas, efisiensi dan pemerataan pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku akan memiliki tingkat keberhasilan yang besar.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis adanya pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR), Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), dan Loan to

keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daerah yang dapat disetujui bersama oleh Bapemperda dan unit kerja

verbal tidak efektif hanya karena komunikatornya tidak menggunakan komunikasi non verbal dengan baik dengan waktu yang bersamaan. Melalui komunikasi non verbal

Pada penyearah 1 phasa terkendali penuh, komponen-komponen utama yang digunakan semuanya adalah thyristor, sehingga dengan Demikian akan diperoleh tegangan keluaran

Frekuensi jenis komponen sindrom metabolik terbanyak adalah hipertensi (43,8%). Pasien PPOK tanpa komponen dan satu komponen sindrom metabolik paling banyak ditemukan tidak

Bagaimana wujud rancangan Pengembangan Rumah Sakit Gigi dan Mulut Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar yang mampu mewadahi pelayanan

Artinya, persepsi kontrol perilaku di Banten dan Bali memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh aspek norma subyektif, tetapi tidak sekuat pengaruh sikap

Ia juga dapat dimanfaatkan sebagai player alternatif untuk koleksi MP3 ataupun beberapa format kompresi audio lain yang mungkin juga tersedia pada PC Anda.. Di dalam proses