• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Analisis Regresi bertujuan menunjukkan hubungan antara variabel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Analisis Regresi bertujuan menunjukkan hubungan antara variabel"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Analisis Regresi

Analisis Regresi bertujuan menunjukkan hubungan antara variabel independen x dan variabel dependen y yang memprediksi nilai observasi y untuk setiap titik (Green dan Silverman, 1994). Hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dalam suatu persamaan regresi menurut parameter dapat berbentuk linier maupun nonlinier, yaitu :

Yᵢ = f (xᵢ,β)+εᵢ ,

Dimana yᵢ adalah variabel dependen pada pengamatan ke – i, xᵢ adalah variabel independen pada pengamatan ke- i, εᵢ adalah residual pada pengamatan ke-i dengan asumsi IIDN (0, σ²), dan memiliki p buah parameter (β). Pada persamaan diatas apabila ada informasi sebelumnya tentang bentuk kurva f (xi) ataupun terpenuhi asumsi bentuk kurva tertentu, maka dihasilkan suatu model regresi parametrik.

Regresi yang tidak memiliki informasi parameter model sebelumnya disebut regresi nonparametrik. Regresi nonparametrik memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam mengestimasi kurva regresi, berbeda dengan regresi parametrik dimana bentuk kurva regresi diasumsikan diketahui seperti linier, kuadratik, kubik, eksponensial atau yang lainnya. Dalam pandangan regresi nonparametrik data diharapkan mencari sendiri estimasi kurva regresi, tanpa dipengaruhi oleh subyektifitas dari perancang penelitian (Eubank, 1988)

(2)

Terdapat tiga pendekatan dalam analisis regresi, yaitu regresi parametrik, regresi nonparametrik dan regresi semiparametrik. Apabila dalam analisis regresi bentuk kurva regresi diketahui pola hubungan variabel respon dan variabel prediktor, maka pendekatan model regresi tersebut dinamakan model regresi parametrik (Budiantara, 2006). Namun jika pola hubungan antara variabel respon dan variabel prediktor tidak diketahui bentuknya, maka pendekatan regresi nonparametrik merupakan solusi yang dapat dipakai untuk menyelesaikan kasus tersebut.

2.2 Analisis Regresi Linier Berganda

Analisis Regresi Linier Berganda (Multiple Linear Regression Analysis) merupakan pengembangan dari analisis regresi sederhana dimana terdapat lebih dari satu variabel independen . Analisis regresi berganda digunakan untuk melihat pengaruh sejumlah variabel independen , , … , terhadap variabel dependen atau juga untuk memprediksi nilai suatu variabel dependen berdasarkan nilai variabel-variabel independen , , … , (Uyanto, 2009) Persamaan regresi linear berganda sebagai berikut:

Y’ = a + b1X1+ b2X2+…..+ bnXn Keterangan:

Y’ = Variabel dependen (nilai yang diprediksikan) X1dan X2 = Variabel independen

a = Konstanta

(3)

2.3 Regresi Parametrik

Regresi parametrik merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengestimasi bentuk hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen, dimana bentuk kurva regresinya di ketahui. Hubungan antara variabel dependen dan variabel independen dalam model dapat terjadi dengan fungsi linier dalam parameter maupun nonlinier (Draper dan Smith, 1996)

Dalam regresi parametrik diasumsikan bahwa bentuk kurva regresi f diketahui. Pembuatan asumsi tersebut berdasarkan teori, pengalaman masa lalu atau tersedianya sumber-sumber lain yang dapat memberi pengetahuan atau informasi yang terperinci.

Secara umum bentuk regresi parametrik linier dapat dituliskan sebagai berikut : y = Xβ + ε

dengan y merupakan vektor respon yang berukuran n x 1, ε merupakan vektor error yang berukuran n x 1 berdistribusi normal, independen dengan mean nol dan varians σ² , β adalah vektor parameter yang akan diestimasi dan berukuran p x 1, dan X merupakan matriks yang berukuran n x p yang di ketahui.

Dengan menggunakan metode kuadrat terkecil, parameter β dapat diestimasi. Estimasi dilakukan dengan meminimumkan εʹε terhadap β. Untuk εʹε = (y – Xβ)´ (y- Xβ), dengan menurunkan εʹε terhadap β dan membuat ʹ = 0, maka diperoleh estimator β = (XʹX)-¹ Xʹy dengan ketentuan bahwa (XʹX) mempunyai invers (matrik nonsingular)

(4)

2.4 Regresi Nonparametrik

Regresi nonparamterik digunakan apabila pola hubungan antara variabel respon dan variabel prediktor tidak diketahui bentuk kurva regresinya. Dalam regresi nonparamterik kurva regresi hanya diasumsikan mulus (smooth) dalam arti termuat dalam suatu ruang fungsi tertentu sehingga mempunyai sifat fleksibilitas yang tinggi (Eubank, 1988)

Model regresi nonparametrik secara umum adalah sebagai berikut (Eubank, 1988) yᵢ = f(tᵢ) + εᵢ, i = 1,2,……,n

dengan yᵢ adalah variable respon, tᵢ merupakan variabel prediktor, f (tᵢ) adalah kurva regresi yang tidak diketahui bentuknya, dimana εᵢ adalah error random berdistribusi normal, dengan mean nol dan varians σ².

2.5 Regresi Semiparametrik

Regresi semiparametrik merupakan gabungan dari regresi parametrik dan regresi nonparametrik, yaitu jika pola hubungan variabel dependen y dengan salah satu variabel independen xᵢ mempunyai hubungan fungsional dalam bentuk spesifikasi tertentu, sedangkan variabel independen lainnya mempunyai hubungan fungsional dalam bentuk fungsional tidak tertentu, maka digunakan pendekatan dengan regresi semiparametrik. Digunakan jika bentuk pola hubungan antara variabel dependen dan variabel independen dapat diidentifikasi berdasarkan scatter plot atau pengalaman masa lalu yang memuat informasi tentang kurva regresi. Dalam suatu kasus dimana bentuk kurva regresi terdiri dari komponen parametrik yang diketahui polanya dan komponen nonparametrik yang tidak

(5)

diketahui polanya, maka pendekatan regresi semiparametrik lebih tepat digunakan.

Model regresi semiparametrik adalah sebagai berikut: yᵢ = Xʹᵢ β + f (tᵢ) + εᵢ. i = 1,2,……..n

Dimana Xʹᵢ = [Xᵢ1,………Xᵢp] merupakan variabel prediktor untuk komponen parametrik dan tᵢ, ᵢ = 1,2,3……n adalah variabel prediktor untuk komponen nonparametrik, β = (β1, β2,……, βp)ʹ merupakan vektor p x 1 untuk parameter yang tidak diketahui, f adalah kurva regresi yang bentuknya tidak diketahui atau merupakan fungsi yang mulus (Ruppet, Wand dan Carrol, 2003), dan εᵢ adalah error random independen dengan mean nol dan varians σ²

2.6 Konsep Bootstrap 2.6.1 Sejarah Bootstrap

Asal istilah bootstrap diambil dari ungkapan yang berbunyi ‘pull oneself up by one’s bootstrap yang artinya ‘tariklah seseorang dengan kekuatannya sendiri’. Ungkapan ini diambil oleh Rudolph Eridch Raspe dari pikiran yang muncul dari cerita perjalanan Baron Munchhausen pada saat beliau jatuh kedasar danau yang sangat dalam pada salah satu penjelajahannya pada abad 19. Saat itu tidak ada lagi harapan baginya, tetapi sesaat kemudian muncul dalam pikirannya ‘to pick himself up by his own bootstrap’ yang artinya ‘mengangkat dirinya dari kekuatan sendiri’.

Istilah bootstrap pertama kali diperkenalkan oleh Bradley Efron sebagai metode estimasi galat baku sebuah estimator, θ. Dengan berbasis komputer

(6)

metode bootstrap tidak perlu dilengkapi dengan perhitungan teoritis dan selain itu dapat menangani perhitungan numerik yang rumit (Mulyono, 2001)

Efron mengusulkan penggunaan komputer dan simulasi data awal untuk memperoleh sampel secara random. Menurut Efron dan Tibshirani (1993), metode bootstrap merupakan metode simulasi yang berbasis data yang digunakan untuk estimasi parameter dalam statistika inferensial bootstrap adalah metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi galat baku dari .

Metode tersebut digunakan untuk mengimplementasikan konsep dasar statistika kedalam komputer. Dengan mengandalkan kecepatan dan kecanggihan komputer dalam mengolah data, metode bootstrap bertujuan untuk memberikan keakuratan perhitungan dalam estimasi parameter statistik inferensial.

Ide dari bootstrap adalah membangun data bayangan (pseudo data) dengan menggunakan informasi dari data asli dengan melakukan teknik sampling berulang (resampling), namun tetap memperhatikan sifat dan karakteristik data asli tersebut. Dengan demikian data bayangan hasil resampling itu memiliki karakteristik semirip mungkin dengan data asli. Kemiripan ini didasarkan temuan Efron dan Tibshirani (1986) dalam J-H. Lim, et al (2004) yang mendapati bahwa metode bootstrap sangat efektif pada ukuran sampel hasil resampel dan sampel asli dianggap sama, dengan demikian dapat dikatakan adanya kemiripan diantara sampel asli dengan hasil resampel.

Ryan (1977), mengatakan bahwa bootstrapping adalah teknik “resampling” dimana ukuran sampel n diperoleh dengan replacement dari ukuran sampel asli. Bootstrapping adalah pendekatan statistika inferesial yang didasarkan pada pengambilan sampel berulang pada data. Ada beberapa bentuk metode

(7)

resampling selain bootstrap seperti jackknife, validasi silang, uji randomisasi dan uji permutasi (Fox, 2002).

2. 6.2 Pengertian Bootstrap

Bootstrap adalah suatu metode untuk menderivasikan estimasi yang kuat dari standar error dan interval kepercayaan untuk mengestimasi proporsi, rerata, median odds ratio, koefisien kolerasi atau koefifien regresi. Bootstrap sangat berguna sebagai alternatif untuk estimasi parameter ketika peneliti merasa ragu dapat memenuhi asumsi pada data. Seperti kasus heteroskedastisitas muncul pada analisis regresi karena ukuran sampel yang kecil (Widhiarso, 2012)

2.6.3 Sampel Bootstrap

Metode Bootstrap menggunakan desain penarikan sampel secara acak. Penarikan secara acak yang dimaksud adalah membentuk sampel bootstrap yang dibangkitkan secara acak dari data sampel observasi awal. Keuntungan menggunakan bootstrap adalah peneliti dapat secara otomatis mendapatkan sampel bootstrap yang dibangkitkan dari data observasi awal.

Metode bootstrap menggunakan notasi khusus seperti tanda bintang (*) dalam menyatakan lambang dari sampel analisis bootstrap. Sampel ini diambil dari sampel asli (“Original Sample”) yang secar simulasi oleh komputer akan dipilih secara random.

(8)

Adapun prosedur pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan sampel acak secara sederhana yang diterapkan dengan metode bootstrap yang secara jelas diuraikan sebagai berikut : Pengambilan sampel dilakukan secara simulasi dengan computer dengan memilih bilangan intenger dari suatu bilangan acak (random). Dari bilangan acak intenger yang terpilih ini akan diambil unit sampel baru yang berpadanan dengan nomor urutnya. Bila I merupakan bilangan random intenger yang muncul, maka nilai I akan berada antara 1 sampai dengan n dengan peluang 1/n.

Prinsip dalam bootstrap adalah memperkirakan parameter untuk masing-masing besar sampel yang diperoleh dengan mengambil sampel berukuran n dari data nilai asli. Sampel ini adalah sampel acak dengan pengembalian. Maksudnya, dalam sampel bootstrap, beberapa nilai sampel asli menjadi berulang dan beberapa tidak akan terjadi sama sekali. Misalnya jika pengamatan asli ada 9 yaitu 3, 5, 7, 11, 12, 13, 15, 19, 21 penarikan sampel berulang dengan pengembalian mungkin setelah disusun menjadi 3, 3, 11, 11, 12, 13, 15, 15, 21 atau 3, 5, 7, 7, 7, 11, 12, 19, 19 dari masing-masing sampel ini dihitung penduga (Sprent, 1993. Dalam Widi E, Ristya, 2008)

2.6.4 Model Regresi Bootstrap

Bootstrap dapat di aplikasikan untuk model regresi. Kesimpulan untuk model regresi tergantung pada beberapa asumsi seperti homoskedasitas dan normalitas data. Bootstrap berguna untuk model regresi least square dimana yang diduga memiliki asumsi yang mengganggu. Bootstrap juga bisa digunakan pada model lain dimana model sulit untuk mendapat formula analisis untuk standar

(9)

error. Baik juga digunakan pada beberapa model regresi yang kuat dan jumlah seperti memprediksi probabilitas dari General Linier Model. (keele, 2008)

Ada dua macam algoritma bootstrap untuk model regresi : 1. Bootstrap berpasangan

Bootstrap berpasangan adalah generalisasi dari metode yang digunakan pada bootstrap mean. Dalam bootstrap berpasangan akan dibentuk B sampel bootstrap yang berpasangan (xᵢ, yᵢ) dari data awal dengan sampling seragam dengan pengembalian. Kemudian mengestimasikan nilai parameter dan β dengan metode kuadrat terkecil untuk setiap sampel bootstrap. Pengulangan dilakukan secara terus menerus hingga B kali, maka akan didapat distribusi sampel bootstrap dari dan β.

2. Bootstrap “Residuals”

Bootstrap residual berbeda dengan beberapa ketentuan dari bentuk resampling berpasangan

1. Estimasi model regresi dan bentuk residual ( ̂ = - X )

2. Ambil sampel bootstrap dari residual (sebuah sampel dari nilai N error dengan menempatkan : ∗= ( , , , … … … . . )

3. Menghasilkan kumpulan dari bootstrap Y*’s dengan cara : Y* = + ∗

(10)

5. Langkah ke-2 sampai ke-4 diulang sebanyak B kali, dimana B adalah nomor bootstrap replikasi

Setiap vektor dari *’s adalah disribusi bootstrap sampling untuk parameter. Sedangkan standar error dan confidence interval adalah estimasi menggunakan distribusi sampling.

3. Perbandingan Bootstrap residual dan berpasangan (Keele, 2008)

Ada dua keuntungan dari keduanya, tetapi jawaban bergantung pada seberapa besar kepercayaan dalam spesifikasi model regresi dan yang berhubungan dengan konteks pertaanyaan. Sampling residual, menyatakan bahwa spesifikasi model adalah benar dan error tidak bergantung pada bentuk X (Efron dan Tibshirani, 1993). Pada konteks, hal ini akan menjadi asumsi yang kuat. Bootstrap berpasangan lebih sensitive untuk model asumsi daripada bootstrap residual, dan estimasi standar error harus akurat jika spesifikasi model tidak tepat. Meskipun bootstrap berpasangan mengabaikan struktur error dari model regresi. Satu tujuan resampling adalah untuk meniru komponen random dari proses, dan distribusi bootstrap sampling lebih baik menggambarkan error ketika residual adalah sampel pengulangan. Sampling berpasangan mengenalkan variability tambahan kedalam estimasi standar error. Khususnya dalam konteks ketika metode resample berpasangan lebih disukai untuk alasan kepraktisan. Utnuk model dimana residual tidak mudah didefinisikan (pada beberapa model history, model untuk data binary) bootstrapping residual tidak selalu memungkinkan untuk dipakai. Bootstrapping berpasangan, lebih

(11)

mudah diaplikasikan pada model. Umumnya, kedua metode dan perbandingan hasil yang kuat.

2.6.5 Langkah-langkah Bootstrap

Secara umum langkah dasar metode Bootstrap menurut Efron & Thibsirani (1993) yaitu :

1. Menentukan distribusi empiris ( ) bagi sampel dengan peluang 1/n untuk masing-masing xᵢ

2. Menentukan sampel bootstrap x₁, x₂, ……..xnyang diambil dari xᵢ dengan pengembalian

3. Menentukan replikasi bootstrapberdasarkan sampel bootstrap 4. Ulangi langkah 2 dan 3 sebanyak B kali, untuk B yang cukup besar 5. Menentukan estimasi bootstrap untuk distribusi sampling

=∑

=∑ ( )

2.6.6 Metode Bootstrap

Penggunaan metode bootstrap dalam permasalahan statistika sangat sederhana dibandingkan dengan menggunakan metode statistika klasik. Kesederhanaan penggunaan ini dapat dilihat pada penggunaan media dan metode yang lebih maju yang merupakan implementasi dari konsep statistika.

Dalam penerapan bootstrap, terdapat dua metode pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan statistik inferensial. Dua metode pendekatan

(12)

tersebut adalah metode bootstrap parametrik dan metode bootstrap nonparametrik. Perbedaan diantara kedua metode bootstrap tersebut terletak pada penerapan distribusi statistik sampel

2.6.7 Jumlah Replikasi Bootstrap

Menurut (Efron dan Tibshirani, 1993 :52) terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai jumlah replikasi bootstrap, yaitu:

1. Meskipun jumlah replikasi bootstrap kecil, misal B = 25, biasanya sudah cukup informatif. Tetapi dengan B = 50, sudah sangat cukup untuk memberikan estimasi seF() yang akurat.

2. Jumlah replikasi bootstrap yang besar, misalnya B = 200, biasanya tidak perlu dilakukan dalam mengestimasi standar error (jumlah replikasi bootstrap yang besar diperlukan dalam interval konfidensi bootstrap).

2.6.8 Asumsi Metode Bootstrap

Menurut Teknomo (2005) metode bootstrap memiliki beberapa asumsi , yaitu 1) Sampel yang dimiliki merupakan sampel yang sesuai untuk mewakili

populasi.

2) Metode bootstrap adalah metode yang digunakan untuk mengestimasi suatu distribusi populasi yang tidak diketahui dengan distribusi empiris yang diperoleh dari proses penyampelan ulang. Setiap sampel bootstrap berdistribusi sama satu dengan lainnya, atau dapat diasumsikan bahwa sampel bootstrap berasal dari distribusi populasi yang sama, tetapi setiap sampel bootstrap saling independen.

(13)

2.6.9 Bias Bootstrap

Metode bootstrap dapat digunakan untuk mengestimasi bias estimator

 

x

s

 

. Estimator bootstrap untuk bias didefinisikan sebagai

B Bias , yaitu:  B Bias = B1

 

    

B b b 1

, dengan B adalah banyak replikasi bootstrap

(Efron dan Tibshirani, 1993)

2.6.10 Standard Error Bootstrap

Menurut (Efron dan Tibshirani, 1993) Estimator bootstrap untuk       F se ,

standar error dari statistik  adalah estimator plug-in yang digunakan pada fungsi distribusi empiris Fpada distribusi F yang tidak diketahui. estimator bootstrap untuk       F

se didefinisikan sebagai berikut :

2 1 2                                          F F F se

Dengan kata lain, estimator bootstrap seF() adalah standar error dari  untuk

set data pada sampel random berukuran n dari F .

Estimator standar error bootstrap mungkin tidak akan mudah untuk diselesaikan. Oleh karena itu digunakan algoritma bootstrap untuk mendekati

(14)

) (

F

se secara numerik. Algoritma bootstrap merupakan cara komputasi untuk

mendapatkan pendekatan yang baik terhadap nilai dari ()

F

se .

Algoritma bootstrap untuk mengestimasi standar error  adalah sebagai berikut :

1. Pilih B sampel independen bootstrap x1,x2,,xB, dengan tiap- tiap

sampel beranggotakan n data yang ditarik dengan pengembalian dari . 2. Evaluasi replikasi bootstrap yang bersesuaian pada setiap sampel bootstrap

 

b s

 

xb

 

, b = 1, 2, ……, B

3. Mengestimasi standar error       F

se dengan menggunakan standar deviasi

sampel dari B replikasi

 

 

2 1 1 2 1                               

B b B B b se dengan

 

      B b B b 1 (.) .

Gambar berikut merupakan diagram untuk algoritma standar error bootstrap statistik   s

 

x .

(15)

Distribusi sampel bootstrap replikasi estimasi bootstrap

Empiris berukuran n bootstrap standar error

1  x 

 

1 s

 

x1 2  x 

 

2 s

 

x2    F xb 

 

b s

 

xb   B x

 

B s

 

xB

   

12 1 1                        

     B b B B b se Dimana

 

 

      B b B b 1

(16)

Skema diatas merupakan algoritma untuk mengestimasi standar error dari  s(x). Masing-masing sampel bootstrap adalah sampel random yang

independen berukuran n dari F. Banyak replikasi bootstrap B untuk mengestimasi standar error biasanya antara 25 – 200. Jika B, seB

mendekati estimator plug-in dari seF().

Limit seB dengan B mendekati tak hingga adalah estimator bootstrap yang

sesuai untuk       F se :

Kenyataan bahwa seB mendekati 

F

se dengan B menuju tak hingga dapat menunjukkan bahwa standar error empiris mendekati standar error populasi, jika

replikasinya semakin banyak. Estimator bootstrap untuk ()

F

se dan

pendekatannya, seB , disebut estimasi nonparametrik bootstrap karena

estimasinya berdasarkan F .

2.6.11 Interval konfidensi Bootstrap

Untuk memperoleh interval konfidensi pada bootstrap terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, salah satunya adalah bootstrap percentile interval atau interval persentil bootstrap.

            B FF Blimse se se

(17)

Misalkan dibangkitkan suatu data set x, kemudian dihitung replikasi

bootstrap  s(x). Jika Gadalah fungsi distribusi komulatif dari , interval

persentil ke-(12) didefinisikan dengan persentil ke- dan ke-(1) dari G :

               ) 1 ( ), ( , %. 1 1 %. lo up G G

Dengan definisi bahwa G1()() adalah persentil ke- distribusi bootstrap, maka interval persentil dapat ditulis dengan:

            ( ) (1 ) %. %. , , lo up

Bentuk diatas sama dengan keadaan bootstrap yang ideal, dimana jumlah replikasi bootstrapnya tidak terbatas. Pada kenyataannya jumlah replikasi bootstrap yang digunakan terbatas.

Langkah pertama yang dilakukan untuk mengestimasi interval konfidensi bootstrap adalah membentuk sejumlah b data set independen x1,x2,,xB.

Kemudian menghitung replikasi bootstrap (b)s(xb), b = 1, 2, ..., B.

Dengan persentil empiris ke-100 dari nilai (b), yaitu nilai ke-Bdalam

urutan replikasi B dari .

Jadi jika B = 2000 dan = 0,05, maka B() adalah nilai ke-100 dari

urutan replikasinya. Demikian juga B(1) adalah persentil empiris ke -100(1-).

(18)

            ( ) (1 ) %. %. , , lo up B B

Interval ini tidak mengasumsikan data berdistribusi normal, namun interval ini tidak memberikan hasil yang baik kecuali dengan perulangan bootstrap paling sedikit 1000 kali.

2.6.12 Pembentukan Sampel Bootstrap

Metode bootstrap sangat bergantung pada estimasi dari sampel bootstrap.

F adalah suatu distribusi empiris yang memberi bobot

n

1 untuk setiap nilai

terobservasi xi, i = 1, 2, ……,n. Sampel bootstrap didefinisikan sebagai suatu

sampel random berukuran n yang ditarik dari F , katakanlah

  

n x x x

x 1, 2,, , atau dapat dinyatakan sebagai berikut :

  

x x xn

F 1, 2,,

Notasi bintang mengindikasikan bahwa xbukanlah data sebenarnya pada data set x, namun merupakan versi dari x yang telah mengalami randomisasi atau resample (penyampelan ulang).

Ada cara lain untuk menyatakan 

  

n x x x F 1, 2,, yaitu : data bootstrap    n x x

x1, 2,, adalah suatu sampel random berukuran n yang ditarik dengan pengembalian dari suatu populasi yang terdiri dari n objek

  

n x x

x1, 2,, . Sebagai contoh diperoleh data

1 9 3 9 2 8 1 x ,x x ,x x , ,x x x       n  . Data bootstrap

x1,x2,,xn

(19)

muncul sekali, berulang kali, atau bahkan tidak muncul sama sekali. Hal ini, disebabkan oleh teknik pengambilan sampel dengan pengembalian.

Prinsip dasar pembentukan sampel bootstrap sebagai berikut :

a. Konstruksi fungsi distribusi empiris dari sampel yaitu Fn dengan peluang yang sama terambil yaitu

n

1 untuk masing-masing

1

X , X ,....,2 Xn.

b. Dengan Fn tetap, ambil sampel acak berukuran n dari Fn sebut * *

i ix

 ,

*i ~Fn, i = 1, 2, …., n.

Gambar 2.2 Prinsip Korespondensi Bootstrap

Skema diatas merupakan penggunaan metode bootstrap dalam sampel tunggal. Padakeadaan asli, F adalah suatu distribusi probabilitas yang tidak diketahui, memberikan data x = (x1,x2,,xn) dengan penyampelan secara random. Dari x

Keadaan asli

Distribusi sampel Probabilitas random Tak diketahui terobservasi

F x = (x1,x2,,xn)

 

x s   Suatu statistik F x = ( ) Suatu statistik Bootstrap Distribusi sampel Empiris Bootstrap A.  F

  

n x x x x 1, 2,,

 

    s x Replikasi Bootstrap

(20)

tersebut dapat dihitung suatu statistik  s

 

x . Pada bootstrap, F menghasilkan x

dengan penyampelan random, yang memberikan hasil  s

 

x. Hanya terdapat satu

nilai observasi, tetapi mampu menghasilkan banyak replikasi bootstrap

  .

(Efron dan Tibshirani, 1993)

2.7 Penyakit difteri 2.7.1 Pengertian Difteri

Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadangkadang konjungtiva atau vagina. Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa. Dikenal 3 tipe utama C. diphtheriae, yaitu tipe gravis, intermedius, dan mitis namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe serologik.

2.7.2 Cara Penularan Difteri

Difteria ditularkan melalui kontak dengan pasien atau karier dengan cara droplet. Muntahan/debu bisa merupakan wahana penularan (vehicles of transmission).

Menurut Kartono (2008), dalam penelitiannya menyebutkan variabel yang berhubungan bermakna dengan kejadian difteri adalah kepadatan hunian ruang tidur, kelembaban dalam rumah, jenis lantai rumah, sumber penularan, status

(21)

imunisasi dan pengetahuan ibu. Sari (2012) telah melakukan penelitian difteri di Jawa Timur hasilnya diketahui bahwa faktor kelembaban rumah, kepadatan hunian, jenis dinding rumah berpengaruh signifikan terhadap kejadian Difteri di Kota Surabaya. Adapun variabel yang paling berpengaruh setelah diuji dengan regresi logistik berganda adalah faktor kepadatan hunian rumah dan kelembaban rumah.

Wibowo (2013) dalam penelitiannya di RSUD Saiful Anwar menyebutkan bahwa ada hubungan antara kelengkapan status imunisasi DPT sesuai usia dengan kejadian difteri, ada hubungan antara antara kelengkapan imunisasi DPT dasar dengan kejadian difteri, ada hubungan antara booster imunisasi DPT dengan kejadian difteri.

Menurut teori Achmadi, kejadian penyakit merupakan hasil interaksi berbagai faktor diantaranya manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit. Sementara menurut Timmreck, saat ini pendekatan epidemiologi banyak digunakan dalam mempelajari fenomena kejadian penyakit yang sangat beragam. Secara epidemiologi dalam penanganan suatu penyakit di masyarakat juga mempertimbangkan faktor penyebab (tunggal atau ganda), cara penularannya, keadaan sanitasi, daya dukung lingkungan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan penyebab penyakit, daya tular, tingkat imunitas populasi, kepadatan populasi atau intensitas penyakit yang terjadi.

Dalam kejadian difteri, karakteristik berbagai faktor risiko timbulnya penyakit yang memungkinkan antara lain sebagai berikut :

(22)

1. Faktor penyebab.

Penyebab suatu penyakit merupakan unsur yang keberadaannya jika terus menerus terjadi kontak dengan manusia rentan dalam keadaan memungkinkan akan menimbulkan suatu penyakit. Penyakit difteri merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Beberapa karakteristik bakteri ini antara lain :

a. Bakteri akan menghasilkan toksin bila bakteri terinfeksi oleh Coryne Bacteriophage yang mengandung informasi genetik toksin. Bakteri ini merupakan bakteri fakultatif anaerob, dan akan tumbuh optimal pada suasana aerob.

b. Corynebacterium diphtheriae tahan terhadap cahaya, pengeringan dan pembekuan.

c. Pada pseudomembran bisa bertahan hidup selama 14 hari, pada suhu 58oC bisa bertahan selama 10 menit sedangkan pada air mendidih hanya tahan 1 menit. Bakteri ini akan mati jika kontak dengan desinfektan.

d. Menurut sebuah hasi penelitian, corynebacterium diphtheriae dapat bertahan hidup di lingkungan dalam keadaan kering pada tekstil, kaca, dan di pasir dan debu untuk jangka waktu hingga 7 bulan.

e. Secara epidemiologis, diketahui bahwa sumber penyakit difteri atau disebut juga reservoir adalah manusia (baik penderita maupun karier). Menurut data di negara endemis difteri 3%-5% individu sehat mengandung bakteri difteri di tenggorokan mereka. Sementara cara penularan penyakit difteri melalui cara penularan tidak langsung, antara lain merupakan salah satu jenis airborne diseaase, bakteri terpercik

(23)

terbawa dalam droplet ketika penderita atau karier bersin, batuk atau berbicara. Sedangkan cara lain dapat terbawa beberapa peralatan, seperti ketika droplet terbawa saluran pemanas atau pendingin ruangan dalam gedung atau disebarkan melalui kipas angin ke seluruh bangunan atau kompleks bangunan.

2. Faktor Host

Menurut teori Achmadi, faktor host pada timbulnya suatu penyakit sangat luas. Hubungan interaktif antara faktor penyebab, faktor lingkungan penduduk berikut perilakunya dapat diukur dalam konsep yang diukur sebagai perilaku pemajanan. Faktor host yang mempengaruhi kejadian penyakit pada umumnya adalah umur, jenis kelamin, status imunisasi, status gizi dan staus sosial ekonomi, juga perilaku.

a. Umur

Umur merupakan faktor host yang terpenting dalam munculnya penyakit. Hal ini berhubungan dengan kerentanan yang ada pada host yang dipengaruhi faktor umur. Ada beberapa penyakit yang dominan menyerang pada kelompok anak-anak umur tertentu atau sebaliknya ada yang hanya menyerang pada golongan umur lanjut usia. Menurut sejarah difteri masih merupakan penyakit utama yang menyerang masa anak-anak, populasi yang dipengaruhi adalah usia dibawah 12 tahun. Bayi akan mudah terserang penyakit difteri antara usia 6 – 12 bulan setelah imunitas bawaan dari ibu melalui transplasenta menurun.

(24)

Penyakit difteri banyak menyerang kelompok umur anak-anak. Sementara menurut data CDC’s National Notifiable Diseases Surveillance System, mayoritas kasus difteri (77%) berusia antara 15 tahun atau lebih tua, 4 dari 5 kematian terjadi pada anak yang tidak divaksinasi. Namun setelah dilakukannya program imunisasi kasus difteri pada anak-anak menurun secara drastis. Bahkan pada saat ini difteri telah bergeser pada populasi remaja dan dewasa.

b. Status Imunisasi

Sebagaimana kita pahami, faktor imunitas sangat berpengaruh pada timbulnya suatu penyakit, termasuk difteri. Sistem imunitas yang terbentuk pada tubuh seseorang ada yang didaptkan secara alamiah atau buatan. Untuk imunitas alamiah ada yang bersifat aktif yaitu imunitas yang diperoleh karena tubuh pernah terinfeksi agent penyakit sehingga tubuh memproduksi antibodi dan bersifat dan bersifat tahan lama. Imunitas alamiah pasif adalah imunitas yang dimiliki bayi yang berasal dari ibu yang masuk melalui plasenta, imunitas seperti ini tidak tahan lama dan biasanya akan menghilang sebelum 6 bulan. Imunitas dapatan juga ada yang bersifat aktif yaitu jika host telah mendapat vaksin atau toksoid, sedangkan imunitas dapatan pasif jika host diberi gamma globulin dan berlangsung hanya 4-5 minggu.

Vaksin dapat melindungi dari infeksi dan diberikan pada masa bayi. Pemberian imunisasi pada sebagian besar komunitas akan menurunkan penularan penyebab penyakit dan mengurangi peluang kelompok rentan

(25)

untuk terpajan agen tersebut. Imunisasi selain dapat melindungi terhadap infeksi akan memperlambat laju akumulasi individu yang rentan terhadap penyakit tersebut. Terbentuknya tingkat imunitas di kelompok masyarakat sangat mempengaruhi timbulnya penyakit di masyarakat, dengan terbentuknya imunitas kelompok, anak yang belum diimunisasi akan tumbuh menjadi besar atau dewasa tanpa pernah terpajan oleh agen infeksi tersebut. Akibatnya bisa terjadi pergeseran umur rata-rata kejadian infeksi ke umur yang lebih tua.

c. Faktor status gizi dan sosial ekonomi : Faktor sosial yang terkait erat dan berkontribusi besar dalam penyebaran difteri adalah kemiskinan yang terkait dengan aspek kepadatan hunian dan rendahnya hygiene sanitasi kulit.

Terdapat hubungan yang saling terkait antara asupan gizi dan penyakit infeksi. Pasa satu sisi penyakit infeksi menyebabkan hilangnya nafsu makan, sehingga asupan gizi menjadi berkurang, sebaliknya tubuh sedang memerlukan masukan yang lebih banyak sehubungan dengan adanya destruksi jaringan dan suhu yang meninggi, hingga anak dalam malnutrisi marginal menjadi lebih buruk keadaannya. Keadaan gizi yang memburuk menurunkan daya tahan terhadap infeksi sehingga akan lebih cepat menjadi sakit. Sementara berkurangnya antibodi dan sistem imunitas akan mempermudah tubuh terserang infeksi seperti; pilek, batuk dan diare. d. Faktor Perilaku: Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat

(26)

adalah sebagai berikut : tidak menutup mulut bila batuk atau bersin sehingga mempermudah penularan penyakit pada orang lain, membuang ludah/dahak tidak pada tempatnya, tidak membuka jendela, mencuci alat makan dengan bersih, memakai alat makan bergantian.

3. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian difteri antara lain meliputi tingkat kepadatan hunian rumah, sanitasi rumah, serta faktor pencahayaan dan ventilasi. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi munculnya penyakit seperti kita ketahui ada lingkungan fisik biologi, social dan ekonomi. Faktor lingkungan fisik yang meliputi kondisi geografi, udara, musim dan cuaca sangat mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap jenis penyakit tertentu. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan seseorang dalam adapatasi dengan lingkungannya tersebut.

Lingkungan biologi terkait dengan vektor atau reservoir penyakit. Sementara faktor lingkungan lain dapat diperankan oleh lingkungan sosial ekonomi. Antara faktor sosial dan ekonomi saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Beberapa faktor lingkungan sosial ekonomi berkaitan dengan penyakit adalah kepadatan hunian, stratifikasi sosial, kemiskinan, ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan, perang, bencana alam.

Kepadatan penduduk yang tidak seimbang dengan luas wilayah memunculkan slum area dengan segala problem kesehatan masyarakatnya. Sementara ditingkat rumah tangga, kepadatan hunian rumah berpotensi melebihi

(27)

syarat yang telah ditentukan. Ukuran kepadatan hunian rumah ini antara lain bisa dilihat dari kepadatan hunian ruang tidur. Standar yang dipersyaratkan sesuai Kepmenkes RI No. 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ruang tidur minimal 8 meter persegi dan tidak dianjurkan digunakan oleh lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun.

Sedangkan standar luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai dan sebaiknya udara yang masuk adalah udara segar dan bersih. Selain aspek tersebut, persyaratan rumah sehat lain adalah pencahayaan alami, yang berfungsi sebagai penerangan juga mengurangi kelembaban ruangan, serta membunuh kuman penyakit karena sinar ultra violet yang berasal dari cahaya matahari.

Selain faktor kepadatan hunian, mobilitas penduduk yang tinggi juga berpotensi meningkatkan resiko kejadian difteri. Moblitas tinggi meningkatkan resiko kemungkinan membawa bibit penyakit dari satu daerah ke daerah lainnya.

4. Interaksi Faktor Penyebab, Host dan Lingkungan

Interaksi antara faktor penyebab, host dan lingkungan adalah keadaan yang saling mempengaruhi dalam menimbulkan suatu penyakit, Sesuai teori John Gordon suatu penyakit dapat timbul karena terjadi ketidak seimbangan antara penyebab penyakit dengan host, ketidak seimbangan mana bergantung pada sifat alami dan karakteristik dari faktor penyebab dan host baik secara individu maupun kelompok dan karakteristik faktor penyebab dan host berikut interaksinya secara langsung berhubungan dengan dan tergantung pada keadaan alami dari lingkungan sosial, fisik, ekonomi dan biologis. Terjadinya penyakit

(28)

difteri juga disebabkan adanya perubahan keseimbangan yaitu adanya perubahan pada faktor host, misalnya bertambahnya jumlah orang yang rentan terhadap Corynebacterium diphtheria.

2.7.3 Gejala Klinis dan Diagnosa

Difteri tejadi setelah periode masa inkubasi yang pendek yaitu 2-4 hari, dengan jarak antara 1-5 hari. Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai.

Gejala Penyakit Difteri Secara Umum:

a. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius b. Batuk dan pilek yang ringan

c. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan d. Mual, muntah ,sakit kepala

e. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu abuan kotor

f. Kaku leher

Beberapa tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah: a. Nasal diphtheria

b. Tonsillar [ faucial] diphtheria c. Pharyngeal diphtheria

d. Laryngeal atau laryngotracheal diphtheria dan

Lebih dari satu lokasi anatomi mungkin terlibat pada waktu yang bersamaan. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinik Merupakan pegangan utama dalam menegakkan

(29)

diagnosa, karena setiap keterlambatan dalam pengobatan akan menimbulkan resiko pada penderita. Secara klinik diagnosa dapat ditegakkan dengan melihat adanya membran yang tipis dan berwarna keabu-abuan , mirip seperti sarang laba-laba dan mudah berdarah bila diangkat.

a. Diphtheria Hidung: (lebih sering terjadi pada bayi)

- Permulaan mirip ISPA dengan pilek, selesma dan febris ringan - Sekret hidung menjadi serosangunous kemudian mukopululen

- Nares & bibir atas menjadi lecet kemudian munculnya pseudomembrane putih-kelabu

b. Diphtheria Tonsil-Faring

- Tanda umum: anoreksia, lesu, malaise, febris ringan

- Tonsil-faring sangat merah/inflamasi serta pseudomenbrane (berwarna putih-kelabu, “kotor” berdarah bila diusaha dilepas) melekat pd tonsil, dinding faring, uvula, palatum mengakibatkan nyeri telan

- Limfoadenitis leher dan submandibular “bullneck”, edema muka - Dengan pseudomembrane meluas menutup jalan nafas, stupor, koma, mati dalam 7 - 10 hari. e. Pada kasus ringan, pseudomembrane akan terlepas dan sembuh 7 –10 hari.

c. Diphtheria Laring:

- Biasanya dari perluasan diphtheria faring namum bisa primer dengan gejala kurang nyata.

- Obstruksi saluran nafas atas (maka dia mirip sekali dengan sindroma krup “croup”)

(30)

Suara parau

Stridor bagian inspiratur pada mulanya, kemudian progresif dan bifasik Retraksi suprasternal & supraklavikular

- Bila pseudomembrane terlepas, bisa teraspirasi dan menutup jalan nafas dapat menyebabkan mati mendadak

d. Diphtheria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga:

- Berupa tukak di kulit, tepi jelas dengan pseudomembrane pada dasarnya, rasa sakit-nyeri

- Cenderung menjadi kronis di daerah tropis

- Di telinga berupa otitis externa kronis yang bernanah & berbau.

2.7.4 Pencegahan

Pencegahan terhadap difteri dapat dilakukan dengan pemberian vaksinasi, yang dapat dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan dengan pemberian DPT ataupun DT. Diberikan 0,5 ml secara I.M., imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali pemberian dengan interval waktu pemberian 6 -8 minggu. Ulangan dilakukan satu tahun sesudahnya dan ulangan kedua dilakukan 3 tahun setelah ulangan yang pertama.

Pencegahan terhadap difteri juga termasuk didalamnya isolasi dari penderita, dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin penyebaran penyakit ke orang lain. Penderita adalah infectious sampai basil difteri tidak dijumpai pada kultur yang diambil dari tempat infeksi. Tiga kali berulang kultur negatif dibutuhkan sebelum penderita dibebaskan dari isolasi.

(31)

Kontak yang intim akan mempermudah penularan penyakit, kultur dari ronga hidung dan tenggorokan harus dilakukan.

a. Immunized carriers harus diberikan injeksi ulangan dengan difteri toxoid, dan diobati dengan:

- Procaine penicillin 600.000 u/hari selama 4 hari. - Benzathine penicillin 600.000 u, I.M. dosis tunggal atau

- Erythromycine, 40 mg/kg BB/24 jam, diberikan selama 7 -10 hari. b. Nonimmunized asymptomatic carriers harus dilakukan:

- Pemberian difteri toxoid dan penicillin

- Dilakukan pemeriksaan setiap harinya oleh dokter,

- Bila ini tidak dapat dilaksanakan, pemberian ADS 10.000 u harus dilakukan. c. Bila kontak telah menunjukkan gejala, pengobatan seperti penderita difteri harus dilaksanakan.

d. Terapi profilaksis dengan pemberian difteri toxoid, penicillin, dan bila ada indikasi, diberikan antitoxin harus dilaksanakan sesegera mungkin tanpa terlebih dahulu menunggu hasil kultur.

e. Menurut jadwal imunisasi Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2011, imunisasi DPT dapat diberikan pada usia minimal 6 minggu sampai 2 bulan. Lalu dilanjutkan pada usia 4 bulan dan 6 bulan. Setelah itu diulang kembali pada usia 18 bulan dan usia 5 tahun dan 12 tahun. Bila ternyata usia bayi sudah melewati 2 bulan dan belum mendapatkan imunisasi DPT dapat diberikan imunisasi DPT segera dengan mengikuti jadwal usianya.

f. Imunisasi DPT dapat dikatakan berhasil bila bayi/anak telah memperoleh vaksinasi DPT yang ketiga kalinya, sebagai imunisasi dasar. Bayi/anak yang telah

(32)

mendapatkan imunisasi DPT sampai ketiga kalinya ini, yang dimaksudkan sebagai pencapaian terget dalam imunisasi DPT.

g. Instansi Departemen Kesehatan dan jajarannya di seluruh Indonesia harus meningkatkan pemantauan pelaksanaan imunisasi baik kualitas maupun cakupan imunisasi. Untuk wilayah yang cakupan imunisasinya rendah harus diadakan sweeping imunisasi. Bagi petugas imunisasi, perlu meningkatkan keaktifan dalam penyuluhan tentang imunisasi kepada masyarakat khususnya yang harus dilakukan orang tua dalam memenuhi kebutuhan anak tentang kesehatan.

Gambar

Gambar    berikut  merupakan  diagram  untuk  algoritma standar  error bootstrap statistik   s  x .
Gambar 2.1 Algoritma Standar Error Bootstrap
Gambar 2.2 Prinsip Korespondensi Bootstrap

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Neff dan Knox (2017) self- compassion berdampak pada kesejahteraan individu karena memberikan perasaan positif dalam menerima masalah yang ada pada diri,

Proses edukatif dapat berlangsung secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan disamping dibutuhkan materi yang tepat, juga dibutuhkan metode yang tepat pula.

Data-data hasil dari penilaian alumni terhadap dirinya sendiri tersebut akan disegmentasi menggunakan metode pengelompokan data ( clustering ) sehingga hasil

Dilihat dari meminta komitmen pe- serta untuk penanganan kasus dapat di- pahami bahwa guru bimbingan konseling sudah meminta komitmen kepada para pe- serta konferensi

Metode ini digunakan untuk mencari data atau informasi tentang penggalangan dan penyaluran dana ZIS di BMT BAHTERA GROUP

Dengan memahami bahwa kasus pelemparan koin merupakan contoh sistem diskrit, maka kita dapat mengacu pada persamaan kedua pada fungsi kerapatan probabilitas..

governance didukung kelembagaan yang efektif dan kinerja aparatur yang kompeten serta pemanfaatn teknologi informasi Mewujudkan pelaksanaan Pemerintahan Pelayanan Masyarakat

Setelah menyelesaikan mata kuliah ini mahasiswa mampu memahami prinsip pendidikan kewarganegaraan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan praktik