A. Konsep Dasar Penyakit 1. Definisi Pengertian
Kata “vertigo” berasal dari Bahasa Latin yaitu vertere yang artinya memutar. Nama ini diberikan kepada orang yang biasanya merasa dunia di sekitarnya berputar sehingga hilang keseimbangan (Sugeng Santoso, 2007).
Vertigo adalah perasaan seolah-olah penderita bergerak atau berputar, atau seolah-olah benda di sekitar penderita bergerak atau berputar, yang biasanya disertai dengan mual dan kehilangan keseimbangan. Vertigo bisa berlangsung hanya beberapa saat atau bisa berlanjut sampai beberapa jam bahkan hari. Penderita kadang merasa lebih baik jika berbaring diam, tetapi vertigo bisa terus berlanjut meskipun penderita tidak bergerak sama sekali (benign paroxysmal positional vertigo). Benign paroxysmal positional vertigo merupakan penyakit yang sering ditemukan, dimana vertigo terjadi secara mendadak dan berlangsung kurang dari 1 menit. Perubahan posisi kepala (biasanya terjadi ketika penderita berbaring, bangun, berguling di atas tempat tidur atau menoleh ke belakang) biasanya memicu terjadinya episode vertigo ini. Penyakit ini tampaknya disebabkan oleh adanya endapan kalsium di dalam salah satu kanalis semisirkularis di dalam telinga bagian dalam. Vertigo jenis ini mengerikan, tetapi tidak berbahaya dan biasanya menghilang dengan sendirinya dalam beberapa minggu atau bulan, tidak disertai hilangnya pendengaran maupun telinga berdenging (Sugeng Santoso, 2007).
Pada dasarnya vertigo merupakan keluhan, bukan penyakit. Namun, keluhan ini bisa menjadi pertanda penyakit yang serius. Jadi, sekalipun bukan penyakit, vertigo tidak boleh disepelekan. Vertigo bisa jadi merupakan pertanda penyakit-penyakit seperti tumor otak, hipertensi (tekanan darah tinggi), diabetes mellitus (kencing manis), jantung, dan ginjal. Semakin dini vertigo ditangani akan semakin cepat dapat diatasi (Sugeng Santoso, 2007).
2. Epidemiologi/Insiden Kasus
Vertigo adalah gejala yang sering pada populasi umum dengan prevalensi 12 bulan 5% dan 1,4% insiden pada orang dewasa. Prevalensi meningkat dengan usia dan sekitar dua sampai tiga kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria. Hal ini menyumbang sekitar 2-3% dari kunjungan gawat darurat (Thia, 2011).
Vertigo perlu dipahami karena merupakan keluhan nomor tiga yang paling sering dikemukakan oleh penderita yang datang ke praktek umum, bahkan orang tua usia
sekitar 75 tahun, 50% datang ke dokter dengan keluhan vertigo. Rasa pusing (dizziness) dan vertigo adalah gejala-gejala yang paling umum menyebabkan pasien mengunjungi dokter (sama umumnya dengan sakit kepala dan sakit punggung). Insidensi timbulnya pusing, vertigo, dan ketidakseimbangan adalah 5-10%, dan mencapai 40% pada pasien-pasien yang berusia lebih dari 40 tahun. Insidensi terjadinya jatuh adalah 25% pada pasien berusia lebih dari 65 tahun. Jatuh bisa merupakan suatu konsekuensi langsung dari rasa pusing di populasi ini, dan risiko ini bercampur dengan defisit-defisit neurologi lain (Thia, 2011).
Kehilangan pendengaran ringan adalah bentuk kecacatan yang paling umum di Amerika Serikat. Insidensi hilang pendengaran adalah 25% pada orang-orang yang berusia kurang dari 25 tahun, dan mencapai 40% pada orang berusia lebih dari 40 tahun. Sekitar 25% populasi melaporkan terjadinya tinnitus. Tinnitus dan hilang pendengaran biasanya dihubungkan dengan penyakit-penyakit labirin, yang mendorong ke arah terjadinya pusing dan vertigo (Thia, 2011).
Migren lebih lazim (10%) dibandingkan penyakit Ménière (<1%). Sekitar 40% dari pasien-pasien dengan migren mengalami pusing, mabuk jika naik mobil dan lain-lain, dan kehilangan pendengaran ringan. Oleh karena itu, kadang sulit membedakan migren dengan gangguan-gangguan telinga dalam primer (Thia, 2011).
3. Penyebab/Faktor Predisposisi
Vertigo berbeda dengan dizziness, suatu pengalaman yang mungkin pernah kita rasakan, yaitu kepala terasa ringan saat akan berdiri. Sedangkan vertigo bisa lebih berat dari itu, misalnya dapat membuat kita sulit untuk melangkah karena rasa berputar yang mempengaruhi keseimbangan tubuh. Adanya penyakit vertigo menandakan adanya gangguan sistem deteksi seseorang (Thia, 2011).
Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri. Vertigo juga bisa berhubungan dengan kelainan penglihatan atau perubahan tekanan darah yang terjadi secara tiba-tiba (Thia, 2011).
Penyebab terjadinya vertigo dikarenakan adanya gangguan pada sistem keseimbangan tubuh. Bisa berupa trauma, infeksi, keganasan, metabolik, toksik, vaskular, atau autoimun. Sistem keseimbangan tubuh kita dibagi menjadi 2 yaitu sistem
vestibular (pusat dan perifer) serta non vestibular (visual; retina, otot bola mata, dan somatokinetik; kulit, sendi, otot) (Thia, 2011).
Penyebab umum dari vertigo (Thia, 2011): 1) Keadaan lingkungan
• Motion sickness (mabuk darat, mabuk laut) 2) Obat-obatan
• Alkohol • Gentamisin 3) Kelainan sirkulasi
• Transient ischemic attack (gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak) pada arteri vertebral dan arteri basiler
4) Kelainan di telinga
• Endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam telinga bagian dalam (menyebabkan benign paroxysmal positional vertigo)
• Infeksi telinga bagian dalam karena bakteri Herpes zoster • Labirintitis (infeksi labirin di dalam telinga)
• Peradangan saraf vestibuler • Penyakit Meniere
5) Kelainan neurologis • Sklerosis multipel
• Patah tulang tengkorak yang disertai cedera pada labirin, persarafannya atau keduanya
• Tumor otak
• Tumor yang menekan saraf vestibularis.
Faktor predisposisi dari vertigo (Prasti Pirawati, 2004) : a) Penyakit Sistem Vestibuler Perifer :
Telinga bagian luar : serumen, benda asing.
Telinga bagian tengah : retraksi membran timpani, otitis media purulenta akuta, otitis media dengan efusi, labirintitis, kolesteatoma, rudapaksa dengan perdarahan. Telinga bagian dalam : labirintitis akuta toksika, trauma, serangan vaskular, alergi,
Nervus VIII (vestibula koklearis) : infeksi, trauma, tumor.
Inti Vestibularis : infeksi, trauma, perdarahan, trombosis arteria serebeli posterior inferior, tumor, sklerosis multipleks.
b) Penyakit SSP :
Hipoksia, Iskemia otak : Hipertensi kronis, arteriosklerosis, anemia, hipertensi kardiovaskular, fibrilasi atrium paroksismal, stenosis dan insufisiensi aorta, sindrom sinus karotis, sinkop, hipotensi ortostatik, blok jantung.
Infeksi : meningitis, ensefalitis, abses, lues. Trauma kepala/labirin.
Tumor. Migren. Epilepsi.
c) Kelainan endokrin: hipotiroid, hipoglikemi, hipoparatiroid, tumor medula adrenal, keadaan menstruasi, hamil, menopause
d) Kelainan psikiatrik: depresi, neurosa cemas, sindrom hiperventilasi, fobia. e) Kelainan mata: kelainan proprioseptik.
f) Intoksikasi (penyakit yang disebabkan oleh masuknya toksin melalui bahan pangan ke dalam tubuh).
4. Patofisiologi
Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus-menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan (Prasti Pirawati, 2004).
Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III (okulomotorius), IV (troklearis) dan VI (abdusens), susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis (Prasti Pirawati, 2004).
Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50% disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik (Prasti Pirawati, 2004).
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respon yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar (Prasti Pirawati, 2004).
Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus (gerakan mata yang cepat dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah), unsteadiness (keadaan yang tidak tenang), ataksia (gejala berupa pudarnya kemampuan koordinasi atas gerakan otot) saat berdiri/berjalan dan gejala lainnya (Prasti Pirawati, 2004).
Menurut teori Sinap yang merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor). Peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistem saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis (Sugeng Santoso, 2007).
5. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya vertigo dapat dibagi menjadi 5 klasifikasi yaitu (Prasti Pirawati, 2004) :
a) Vertigo fisiologik
• Otak menghadapi ketidakseimbangan di antara berbagai sistem sensorik.
• Sistem vestibular dihadapkan pada gerakan kepala yang tidak lazim dan tidak pernah diadaptasi sebelumnya, seperti ketika seseorang mengalami mabuk laut. • Posisi kepala/leher yang tidak lazim, seperti ekstensi yang berlebihan ketika
seseorang mengecat langit-langit rumah. b) Vertigo patologik
Kedaan ini terjadi akibat lesi pada sistem visual, somatosensorik atau vestibuler. Vertigo visual disebabkan oleh pemandangan yang baru atau tidak tepat atau karena timbulnya paresis otot ekstraokuler yang tiba-tiba dengan diplopia; pada keaadaan lainnya, kompensasi sistem saraf pusat menetralkan vertigo secara cepat. Vertigo somatosensoris, jarang dalam isolasi, biasanya disebabkan oleh neuropati perifer yang menurunkan masuknya sensoris yang perlu untuk kompensasi sentral jika terdapat disfungsi sistem vestibuler atau visual (Prasti Pirawati, 2004).
Penyebab vertigo patologik yang paling sering ditemukan adalah disfungsi vestibuler. Vertigo tesebut biasanya disertai dengan gejala nausea, jerk nistagmus, ketidakstabilan postural dan ataksia berjalan (Prasti Pirawati, 2004).
Vertigo yang disebabkan oleh masalah dengan telinga bagian dalam atau sistem vestibular disebut "perifer", "otologic" atau "vestibular". Penyebab paling umum adalah benign paroxysmal positional vertigo (BPPV), tetapi penyebab lain termasuk penyakit Ménière, sindrom kanal dehiscence unggul, labyrinthitis dan vertigo visual. Setiap penyebab peradangan seperti pilek, influenza, dan infeksi bakteri bisa menyebabkan vertigo transien jika mereka melibatkan telinga bagian dalam, seperti trauma kimia (misalnya, aminoglikosida ) atau trauma fisik (misalnya, patah tulang tengkorak). Motion sickness kadang-kadang diklasifikasikan sebagai penyebab dari vertigo perifer (Prasti Pirawati, 2004).
Jika vertigo muncul dari pusat keseimbangan otak, biasanya lebih ringan, dan memiliki defisit neurologis yang menyertainya, seperti bicara cadel, penglihatan ganda atau nistagmus patologis . Patologi otak dapat menyebabkan sensasi disekuilibrium yang merupakan sensasi ketidakeseimbangan. Sejumlah kondisi yang melibatkan sistem saraf
pusat dapat menyebabkan vertigo termasuk: sakit kepala migrain, sindrom meduler lateralis, multiple sclerosis (Prasti Pirawati, 2004).
c) Vertigo psikogenik
Selain penyebab dari segi fisik, penyebab lain munculnya vertigo adalah pola hidup yang tak teratur, seperti kurang tidur atau terlalu memikirkan suatu masalah hingga stres. Vertigo yang disebabkan oleh stres atau tekanan emosional disebut vertigo psikogenik (Prasti Pirawati, 2004).
d) Vertigo neurologik
Vertigo neurologik adalah gangguan vertigo yang disebabkan oleh gangguan saraf. Keluhan vertigo yang disebabkan oleh gangguan mata atau berkurangnya daya penglihatan disebut vertigo ophtalmologis sedangkan vertigo yang disebabkan oleh berkurangnya fungsi alat pendengaran disebut vertigo otolaringologis (Prasti Pirawati, 2004).
e) Vertigo sistemik
Vertigo sistemik adalah keluhan vertigo yang disebabkan oleh penyakit tertentu, misalnya diabetes mellitus, hipertensi dan jantung (Prasti Pirawati, 2004).
Berdasarkan gejala klinisnya, vertigo dapat dibagi atas beberapa kelompok (Prasti Pirawati, 2004) :
a) Vertigo paroksismal
Vertigo paroksismal adalah vertigo yang serangannya datang mendadak, berlangsung beberapa menit atau hari, kemudian menghilang sempurna; tetapi suatu ketika serangan tersebut dapat muncul lagi. Di antara serangan, penderita sama sekali bebas keluhan (Prasti Pirawati, 2004). Vertigo jenis ini dibedakan menjadi :
• Yang disertai keluhan telinga :
Termasuk kelompok ini adalah : Morbus Meniere, Arakhnoiditis pontoserebelaris, Sindrom Lermoyes, Sindrom Cogan, tumor fossa cranii posterior, kelainan gigi/ odontogen (Prasti Pirawati, 2004).
• Yang tanpa disertai keluhan telinga :
Termasuk di sini adalah : Serangan iskemi sepintas arteria vertebrobasilaris, Epilepsi, Migren ekuivalen, Vertigo pada anak (Vertigo de L'enfance), Labirin picu (trigger labyrinth) (Prasti Pirawati, 2004).
• Yang timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi :
Termasuk di sini adalah : Vertigo posisional paroksismal laten, Vertigo posisional paroksismal benigna (Prasti Pirawati, 2004).
b) Vertigo kronis
Vertigo kronis adalah vertigo yang menetap, keluhannya konstan tanpa serangan akut, dibedakan menjadi:
• Yang disertai keluhan telinga : Otitis media kronika, meningitis Tb, labirintitis kronis, Lues serebri, lesi labirin akibat bahan ototoksik, tumor serebelopontin (Prasti Pirawati, 2004).
• Tanpa keluhan telinga : Kontusio serebri, ensefalitis pontis, sindrom pasca komosio, pelagra, siringobulbi, hipoglikemi, sklerosis multipel, kelainan okuler, intoksikasi obat, kelainan psikis, kelainan kardiovaskuler, kelainan endokrin (Prasti Pirawati, 2004).
• Vertigo yang dipengaruhi posisi : Hipotensi ortostatik, Vertigo servikalis (Prasti Pirawati, 2004).
c) Vertigo yang serangannya mendadak/akut, kemudian berangsur-angsur mengurang, dibedakan menjadi :
• Disertai keluhan telinga : Trauma labirin, herpes zoster otikus, labirintitis akuta, perdarahan labirin, neuritis N.VIII (vestibula koklearis), cedera pada auditiva interna/arteria vestibulokoklearis (Prasti Pirawati, 2004).
• Tanpa keluhan telinga : Neuronitis vestibularis, sindrom arteria vestibularis anterior, ensefalitis vestibularis, vertigo epidemika, sklerosis multipleks, hematobulbi, sumbatan arteria serebeli inferior posterior (Prasti Pirawati, 2004).
6. Gejala Klinis
Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan reak dan lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat dengan selaput putih lengket, nadi lembut atau seperti senar dan halus (Prasti Pirawati, 2004).
Vertigo adalah sensasi berputar sementara stasioner, hal ini umumnya terkait dengan kegoyangan, dan berlebihan keringat. Episode berulang pada mereka dengan vertigo yang umum dan mereka sering merusak kualitas hidup. Penglihatan kabur, penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah, kesulitan berbicara, menurunkan tingkat dari kesadaran, dan tingkat kehilangan pendengaran juga dapat terjadi. Sistem saraf pusat dapat menyebabkan gangguan gejala permanen (Prasti Pirawati, 2004).
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan sistemik, otologik atau neurologic vestibuler atau serebeler; dapat berupa pemeriksaan fungsi pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata/nistagmus dan fungsi serebelum (Thia, 2011).
Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk menentukan penyebab; apakah akibat kelainan sentral yang berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat korteks serebri, serebelum, batang otak, atau berkaitan dengan sistim vestibuler/otologik; selain itu harus dipertimbangkan pula faktor psikologik/psikiatrik yang dapat mendasari keluhan vertigo tersebut (Thia, 2011).
Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan/dicari antara lain aritmi jantung, hipertensi, hipotensi, gagal jantungkongestif, anemi, hipoglikemi. Dalam menghadapi kasus vertigo, pertama-tama harus ditentukan bentuk vertigonya, lalu letak lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi kausal yang tepat dan terapi simtomatik yang sesuai (Thia, 2011).
Pemeriksaan fisik (Odesyafar, 2011) : • Pemeriksaan mata
• Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh • Pemeriksaan neurologik
• Pemeriksaan otologik
• Pemeriksaan fisik umum. Pada pemeriksaan fisik diarahkan ke kemungkinan penyebab sistemik; tekanan darah diukur dalam posisi berbaring, duduk dan berdiri; bising karotis, irama (denyut jantung) dan pulsasi nadi perifer juga perlu diperiksa (Odesyafar, 2011).
Pada pasien-pasien dengan rasa pusing, pengujian umum perlu ditekankan pada tanda-tanda vital, pengukuran tekanan darah secara terlentang dan berdiri, dan evaluasi sistem neurologi dan cardiovasculer. Menguji telinga-telinga untuk adanya infeksi/peradangan telinga tengah atau luar yang dapat terlihat. Test pendengaran menggunakan satu garpu tala atau berbisik. Menguji leher untuk jangkauan pergerakan (Thia, 2011).
Karakteristik nistagmus
Nistagmus, apakah spontan, diakibatkan tatapan, atau tergantung posisi, harus sepenuhnya ditandai agar ditafsirkan dengan tepat. Karakteristik ini meliputi faktor-faktor propokatif, latensi, arah, efek dari tatapan, profil temporal, kebiasaan, fatigabilas, pandangan yang terfiksasi, dan diiringi dengan rasa pusing. Kegagalan untuk menandai nistagmus dapat mendorong terjadinya salah diagnosa (Thia, 2011).
Tes yang berhubungan dengan panas
Tes yang berhubungan dengan panas bisa dilakukan sebagai bagian dari pengujian di sisi tempat tidur. Setelah mengecek kedua kanal telinga untuk pelubangan tympanic dan lilin, tuang 1 ml air dengan suhu 30°C. Amati nistagmus menggunakan kacamata hitam Frenzel atau satu sistem video infra merah. Dengan cara ini, rasa pusing, jangka waktu dan intensitas nistagmus, dapat dievaluasi (Thia, 2011).
Tes refleks vestibulospinal
Vestibulospinal refleks (VSRs) dapat dievaluasi dengan gaya berjalan tandem, Romberg, dan Uji langkah Fukuda. Test-test ini menyediakan informasi tentang stabilitas postural pasien bila input proprioseptif dan visualnya dipindahkan. Dokter yang berpengalaman dapat mengamati stabilitas postural pasien, batas stabilitas, dan strategi dari pergerakan pada batas stabilitas. Uji klinis stabilitas postural adalah kualitatif,dan memerlukan pengalaman pemeriksa serta kooperasi pasien (Thia, 2011).
Test Vestibular Hamid
Tes vestibular Hamid terdiri atas komponen motoris dan sensoris yang dilakukan menggunakan satu bantalan busa (HCFP). Pengujian sederhana, mudah silakukan, dan dapat digunakan untuk pasien-pasien dengan ketidakseimbangan dan pusing (Thia, 2011).
Pada komponen sensoris, pasien berdiri di atas HCFP dengan mata terbuka dan lengan diregangkan selagi pemeriksa mengamati tingkat mengayunkan. Pasien kemudian memiringkan kepalanya ke belakang dan menggerakannya ke kiri dan kanan (dengan mata terbuka dan kemudian dengan mata yang tertutup). Pemeriksa harus siap untuk menangkap pasien jika mereka jatuh (Thia, 2011).
Mengalami dengan pengujian ini sudah ditunjukkan bahwa pasien-pasien tidak bisa berdiri di atas HCFP dengan mata yang tertutup dan kepala yang dimiringkan ke belakang kecuali jika mereka mempunyai vestibular yang baik dan sistem keseimbangan (Thia, 2011).
Komponen motoris lebih menantang dibanding komponen sensoris dan dikenal sebagai pengujian impuls badan. Pemeriksa menempatkan tangannya di bagian atas dada pasien, dan pasien diminta untuk mendorong maju melawan tangan pemeriksa dalam 10 hitungan. Pemeriksa kemudian melepaskan tangannya, mengamati tanggapan pasien, dan menangkap pasien jika perlu (Thia, 2011).
Pasien-pasien dengan kelainan fungsi tubuh sentral dan perifer memiliki pola-pola yang tidak meliputi pergerakan yang benar dan cepat, mengayunkan pinggul, atau
mengambil langkah. Tentu saja, test-test ini kwalitatif dan tergantung pada pengalaman pemeriksa dan kondisi musculoskeletal pasien serta kemampuan untuk bekerja sama (Thia, 2011).
Uji Hiperventilasi
Jika hasil-hasil dari tes vestibular normal, uji hiperventilasi selama 2 menit sangat menolong dalam mengidentifikasi pasien-pasien dengan sindrom hiperventilasi. Hal ini harus dilaksanakan dalam posisi duduk. Hiperventilasi harus dilakukan selagi pemeriksa memonitor nistagmus dengan menggunakan kacamata hitam Frenzel atau sistem video infra merah. Hiperventilasi dapat mengenali keduanya, baik disfungsi vestibular perifer dan sentral serta timbulnya rasa pusing dan gejala-gejala neurologi yang berkaitan dengan sindrom hiperventilasi (Thia, 2011).
8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang a) Tes-tes diagnostik vestibular
Evaluasi pasien dengan rasa pusing dimulai dengan menanyakan riwayat dengan seksama dan lengkap; pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk uji vestibular. Selama mengevaluasi pasien-pasien dengan gangguan vestibular dan keseimbangan, tes-tes tambahan yang biasanya dipertimbangkan meliputi audiometri, uji vestibular, tes darah, CT, dan MRI. Test-test ini, terutama uji vestibular harus disesuaikan menurut temuan fisik dan riwayat (Thia, 2011).
Hasil MRI pada pasien-pasien muda yang berusia kurang dari 50 tahun adalah rendah (< 1%). Insidensi adanya tumor pendengaran atau batang otak dan lesi-lesi fossa posterior juga rendah. Penilaian klinis, pengujian neurotologic yang seksama, dan dilakukannya penelitian-penelitian audio dan vestibular sangat menolong dalam menyingkirkan MRI (Thia, 2011).
Pentingnya, hasil dari tes-tes ini bukan diagnostik dalam hal medis. Sebagai contoh, kehilangan vestibular yang unileteral dapat berhubungan dengan vestibular neuronitis atau suatu tumor pendengaran. Oleh karena itu, klinisi harus menghindari keinginan untuk menginterpretasikan hasil-hasil ini sebagai kesatuan patologis. Dokter-dokter yang bertanggung jawab atas penafsiran medis hasil-hasil ini juga perlu mempunyai latar belakang dan pelatihan yang sesuai di dalam elektrofisiologi dan
neurofisiologi untuk mampu menggunakan hasil-hasil ini secara efektif. Mereka juga harus sadar akan batas-batas dan variabilitas yang tidak bisa dipisahkan dalam test-test tersebut. Tes-tes vestibular yang paling sering adalah electronystagmography (ENG), uji kursi berputar atau akselerasi selaras sinusoidal (SHA), dan posturography dinamis terkomputerisasi (CDP) (Thia, 2011).
Uji ENG
Test baku ENG terdiri atas saccadic, tatapan, pengejaran, pergerakan optokinetic-mata, nistagmus dengan menggoyangkan kepala, nistagmus yang tergantung posisi, nistagmus ancangan, dan tes-tes bithermal yang berkenaan dengan panas (Thia, 2011). Tes Saccadic
Tes saccadic digunakan untuk mengevaluasi gerak mata yang cepat secara fakultatif. Test harus dilakukan dengann merekam masing-masing mata secara terpisah, terutama jika dicurigai terdapat diskonjugasi gerak mata. Satu saluran tunggal test saccadic tidak menghasilkan informasi klinis yang berarti dan hanya digunakan sebagai isyarat kalibrasi untuk gerak mata horisontal. Kelainan-kelainan saccadic umum meliputi dysmetria, percepatan saccadic lambat, dan dysconjugate saccades (Thia, 2011).
Uji Tatapan
Tes tatapan digunakan untuk mengevaluasi kemampuan menghasilkan dan menjaga satu tatapan mantap tanpa gerak atau tatapan yang menimbulkan nistagmus. Perekaman ENG satu arus searah digunakan untuk membedakan elektronik dari gerak pathologis. Kelainan-kelainan yang paling umum yang dapat dideteksi oleh test tatapan adalah nistagmus yang ditimbulkan dan rebound nistagmus yang berkaitan dengan penyakit cerebellar (Thia, 2011).
Uji Pergerakan mata
Gerak mata pengejaran mencegah keselipan suatu gambaran pada retina selagi pasien sedang mengikuti jalan/objek yang bergerak cepat (Thia, 2011).
Pemeriksaan untuk nistagmus optokinetic
Nistagmus Optokinetic (OKN) adalah kompleks refleks CNS yang diaktifkan dengan gambar-gambar yang bergerak pada retina. OKN menampakkan gerakan-gerakan mata yang vestibular dan sesuai untuk menstabilkan gambaran-gambaran retinal selama kecepatan yang konstan (Thia, 2011).
Pemeriksaan untuk nistagmus dengan menggoyangkan kepala
Gerakan kepala menghasilkan respon vestibular dengan latensi yang sangat pendek (<15 pengambilan gambar jarak sedang). Respon-respon okulomotor lebih lambat dibanding ini, dengan latensi yang mendekati 100-200 msec. Kompensasi untuk perlawanan sementara ini adalah kemampuan sistem vestibular pusat untuk mempertahankan satu memori atau gerakan kepala, sehingga gerak mata dapat disesuaikan dengan akurat dengan gerakan kepala (Thia, 2011).
Kemampuan ini dikenal sebagai velocity storage, yang pada umumnya lemah dengan defisit vestibular yang unilateral dan tidak ditutupi dengan tes menggoyangkan kepala (Thia, 2011).
Test posisional
Tes posisional dilakukan dengan merekam gerak mata tanpa fiksasi penglihatan dalam 3 posisi-posisi utama: terlentang, kepala ke arah kanan, dan kepala ke arah kiri. Nistagmus pada perubahan posisi pada umumnya perifer dan satu tanda objektif dari ketidaksamaan vestibular. Meskipun itu hadir hanya di dalam 1 posisi kepala (Thia, 2011).
Test Posisi Dix-Hallpike
Nistagmus posisional adalah satu temuan klasik di dalam pasien-pasien dengan BPPV. Hal ini ditimbulkan dengan memposisikan pasien dengan cepat dari duduk ke kepala ke arah kanan, kiri, dan posisi terlentang; dengan merekam nistagmus yang diinduksi; dan dengan mencatat gejala-gejala pasien. Hyperekstensi leher tidak perlu dilakukan dan harus dihindarkan. Dua saluran-saluran ENG diperlukan untuk menentukan arah komponen putaran nistagmus. ENG kurang sensitif dibanding pengamatan secara klinis dari Benign Positioning Nystagmus sebab ENG tidak dapat untuk merekam komponen-komponen putaran pada BPPV (Thia, 2011).
Bithermal Caloric Test
Barany memperkenalkan test kalorik ini di tahun 1903. Sejak itu, hal ini telah menjadi vestibular dihormati sepanjang jaman dalam pengujian neurotology klinis. Test Kalorik adalah standar untuk mengevaluasi defisit vestibular secara sepihak (Thia, 2011).
Test Kalorik tradisional dilakukan pada pasien yang berbaring dengan kepala yang diangkat 30° Air dingin (30°C) hangat (44°C) digunakan untuk mengairi
masing-masing telinga, 1 pada waktu yang sama. Irigasi dingin bersifat menghambat stimulus, irigasi hangat adalah excitatory. Arah nistagmus postcaloric ditentukan oleh fase cepat dengan mudah diingat oleh menggunakan mnemonic COWS (Thia, 2011).
3 temuan yang paling utama dari test kalorik adalah kelemahan unilateral kelemahan dari kedua bilateral, dan FFS dari nistagmus yang diinduksi dengan panas. 2 kelainan pertama adalah berkaitan dengan penyakit vestibular perifer, dan yang ketiga berkaitan dengan penyakit cerebellar pusat (Thia, 2011).
Tes Kursi Berputar, atau SHA
Barany memperkenalkan tes berputar di tahun 1907. Di dalam praktek klinis, tes berputar tertinggal di belakang test kalorik. Bagaimanapun, dengan kemajuan teknologi komputer, sistem test kursi berputar dikembangkan di dalam tahun 1970 akhir dan terus ditingkatkan. Mereka kini digunakan dalam beberapa tes vestibular di laboratorium-laboratorium (Thia, 2011).
Satu alternatif dari test kursi berputar adalah tes perputaran kepala, yang digunakan untuk mengevaluasi VOR yang diperoleh pada frekuensi tinggi. Test ini pada hakikatnya lebih murah dan lebih praktis dibanding tes kursi (Thia, 2011).
Tes CDP
Posturography dinamis sudah menjadi satu bagian integral dari tes vestibular di dalam banyak pusat-pusat pengujian vestibular. Aplikasi klinis posturography dalam neurotology diperkenalkan di tahun 1970-an. Sistem CDP terdiri dari satu komputer pengendali dan visual booth yang digunakan untuk mengevaluasi kedua-dua komponen motoris dan sensoris keseimbangan. Test sensoris paling bermanfaat secara klinis, terutama di dalam lesi-lesi perifer, rehabilitasi vestibular, dan kasus-kasus medikolegal. Posturography bukan suatu pengganti untuk pengujian gaya berjalan dengan teliti dan mungkin memiliki lebih banyak nilai dalam rehabilitasi dibanding dalam hasil diagnose (Thia, 2011).
Hasil klinis dari tes-tes vestibular
Beberapa pengamatan-pengamatan yang dibahas di bawah diambil dari satu database dari 10,000 pasien yang mengalami 3 test (ENG, SHA CDP) di tahun 1985-1995 di bawah pengawasan langsung (Thia, 2011).
Pertama, data-data yang mentah harus dilihat dan dievaluasi, terutama sekali yang diperoleh dengan menggunakan sistem terkomputerisasi, dan klinisi mestinya tidak
bersandar pada analisa terkomputerisasi yang dihasilkan oleh sistem software, sekalipun data yang mentah adalah mengganggu (Thia, 2011).
Kedua, penemuan okulomotor adalah sering overinterpretasi, dan penyelidikan-penyelidikan neurologi dan MRI yang tidak penting. Dalam menguraikan database di atas, hasil untuk kelainan-kelainan gerak mata pusat, dysmetria saccadic, pengejaran saccadic, tanggapan optokinetic tidak simetris, dan tatapan menimbulkan nistagmus adalah kurang dari 5%. Oleh karena itu, pembaca ENG diminta untuk dengan hati-hati menginterpretasikan gerak mata. Orang yang baru memakai ENG kadang-kadang membaca hasil okulomotor sebagai hal yang normal untuk beberapa tahun selagi mereka menyimpan pola untuk penafsiran yang lebih akurat sebagai peningkatan pengalaman mereka (Thia, 2011).
Ketiga, sistem ENG hanya mencetak gerak mata horisontal dan vertikal dan kemudian yang tidak dapat merekam gerak mata berputar murni yang sering dilihat dengan BPPV. ENG Berbasis Video (VNG) menguntungan untuk menggambar dan merekam secara digital putaran nistagmus murni untuk menyimpan dan mengedit kembali isyarat video yang ditangkap (Thia, 2011).
Keempat, penemuan posturography dinamis adalah jarang menyimpang, dan penggunaan rutin tidak menghemat biaya (Thia, 2011).
b) Pemeriksaan lainnya
Untuk mencegah terjadinya dampak yang lebih berat akibat serangan stroke yang diawali dengan serangan vertigo, pemeriksaan lainnya adalah CT scan atau MRI kepala, yang bisa menunjukkan kelainan tulang atau tumor yang menekan syaraf. Jika diduga suatu infeksi, bisa diambil contoh cairan dari telinga atau sinus atau dari tulang belakang. Jika diduga terdapat penurunan aliran darah ke otak, maka dilakukan pemeriksaan angiogram, untuk melihat adanya sumbatan pada pembuluh darah yang menuju ke otak (Thia, 2011).
c) Pemeriksaan tambahan : • Laboratorium
• Radiologik dan Imaging • EEG, EMG, dan EKG. 9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Diagnosis dipermudah dengan dibakukannya kriteria diagnosis, yaitu (Thia, 2011) :
1. Vertigo hilang timbul
2. Fluktuasi gangguan pendengaran berupa tuli saraf
3. Menyingkirkan kemungkinan penyebab dari sentral, misalnya tumor N.VIII (vestibula koklearis)
10. Teraphy/Tindakan Penanganan
Tatalaksana vertigo terbagi menjadi 3 bagian utama yaitu kausal, simtomatik dan rehabilitatif. Sebagian besar kasus vertigo tidak diketahui kausanya sehingga terapi lebih banyak bersifat simtomatik dan rehabilitatif (Thia, 2011).
Terapi simtomatik bertujuan meminimalkan 2 gejala utama yaitu rasa berputar dan gejala otonom. Untuk mencapai tujuan itu digunakanlah vestibular suppresant dan antiemetik. Beberapa obat yang tergolong vestibular suppresant adalah antikolinergik, antihistamin, benzodiazepin, calcium channel blocker, fenotiazin, dan histaminik (Thia, 2011).
Pengobatan khusus untuk pasien yang menderita vertigo yang disebabkan oleh rangsangan dari perputaran leher (servikal), ialah dengan traksi leher dan fisioterapi, di samping latihan-latihan lain dalam rangka rehabilitasi. Neuritis vestibuler diobati dengan obat-obat simptomatik, neurotonik, anti virus dan rehabilitasi (Thia, 2011).
Rehabilitasi penting diberikan, sebab dengan melatih sistem vestibuler ini sangat menolong. Kadang-kadang gejala vertigo dapat diatasi dengan latihan yang teratur dan baik. Orang-orang yang karena profesinya, menderita vertigo servikal dapat diatasi dengan latihan yang intensif sehingga gejala yang timbul tidak lagi mengganggu pekerjaannya sehari-hari, misalnya pilot, pemain sirkus dan olahragawan (Thia, 2011).
Terapi rehabilitasi bertujuan untuk membangkitkan dan meningkatkan kompensasi sentral dan habituasi pada pasien dengan gangguan vestibular. Mekanisme kerja terapi ini adalah substitusi sentral oleh sistem visual dan somatosensorik untuk fungsi vestibular yang terganggu, mengaktifkan kendali tonus inti vestibular oleh serebelum, sistem visual dan somatosensorik, serta menimbulkan habituasi, yaitu berkurangnya respon terhadap stimulasi sensorik yang diberikan berulang-ulang (Thia, 2011).
Pada kasus jarang dimana penyakit sudah kebal dengan terapi obat, diet dan diuretik, pasien terpaksa harus memilih intervensi bedah, misalnya endolimfatik shunt atau kokleosakulotomi. Jika vertigo sangat mengganggu dan terjadi gangguan pendengaran yang berat, dilakukan labirintektomi yaitu pengangkatan koklea (bagian dari telinga tengah yang mengatur pendengaran) dan kanalis semisirkularis (Thia, 2011). 11. Komplikasi
Komplikasi vertigo akibat obat dimana beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang disertai tinitus dan hilangnya pendengaran. Obat-obat itu antara lain aminoglikosid, diuretik loop, antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau antineoplasitik yang mengandung platina (Prasti Pirawati, 2004).
Streptomisin lebih bersifat vestibulotoksik, demikian juga gentamisin; sedangkan kanamisin, amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik (Prasti Pirawati, 2004).
Antimikroba lain yang dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain sulfonamid, asam nalidiksat, metronidaziol dan minosiklin (Prasti Pirawati, 2004).
Terapi berupa penghentian obat bersangkutan dan terapi fisik; penggunaan obat supresan vestibuler tidak dianjurkan karena justru menghambat pemulihan fungsi vestibluer (Prasti Pirawati, 2004).
Obat penyekat alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson dapat menimbulkan keluhan rasa melayang yang dapat dikacaukan dengan vertigo (Prasti Pirawati, 2004). B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Aktivitas/Istirahat
• Letih, lemah, malaise • Keterbatasan gerak
• Ketegangan mata, kesulitan membaca
• Insomnia, bangun pada pagi hari dengan disertai nyeri kepala.
• Sakit kepala yang hebat saat perubahan postur tubuh, aktivitas (kerja) atau karena perubahan cuaca.
b) Sirkulasi
• Riwayat hypertensi
• Pucat, wajah tampak kemerahan. c) Integritas Ego
• Faktor-faktor stress emosional/lingkungan tertentu
• Perubahan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan depresi • Kekhawatiran, ansietas, peka rangsangan selama sakit kepala
• Mekanisme refresif/dekensif (sakit kepala kronik). d) Makanan dan cairan
• Makanan yang tinggi vasorektiknya misalnya kafein, coklat, bawang, keju, alkohol, anggur, daging, tomat, makan berlemak, jeruk, saus, hotdog, MSG (pada migrain).
• Mual/muntah, anoreksia (selama nyeri) • Penurunan berat badan
e) Neurosensoris
• Pening, disorientasi (selama sakit kepala)
• Riwayat kejang, cedera kepala yang baru terjadi, trauma, stroke. • Aura ; fasialis, olfaktorius, tinitus.
• Perubahan visual, sensitif terhadap cahaya/suara yang keras, epitaksis. • Parastesia, kelemahan progresif/paralysis satu sisi tempore
• Perubahan pada pola bicara/pola pikir • Mudah terangsang, peka terhadap stimulus. • Penurunan refleks tendon dalam
• Papiledema. f) Nyeri/ kenyamanan
• Karakteristik nyeri tergantung pada jenis sakit kepala, misal migrain, ketegangan otot, cluster, tumor otak, pascatrauma, sinusitis.
• Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah. • Fokus menyempit
• Fokus pada diri sendiri
• Respon emosional / perilaku tak terarah seperti menangis, gelisah. • Otot-otot daerah leher juga menegang, frigiditas vokal.
• Riwayat alergi atau reaksi alergi • Demam (sakit kepala)
• Gangguan cara berjalan, parastesia, paralisis
• Drainase nasal purulent (sakit kepala pada gangguan sinus). h) Interaksi sosial
• Perubahan dalam tanggung jawab/peran interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit.
i) Data Subjektif :
• Pusing, kepala terasa ringan • Rasa terapung, terayun • Mual
j) Gejala objektif : • Keringat dingin • Pucat
• Muntah
• Sempoyongan waktu berdiri atau berjalan • Nistagmus
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
1) Nyeri akut berhubungan dengan tekanan saraf, vasospressor, peningkatan intrakranial ditandai dengan klien menyatakan nyeri.
2) Risiko cedera berhubungan dengan gangguan keseimbangan berupa ataksia dan pusing.
3) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan ditandai dengan wajah klien tampak gelisah.
4) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah ditandai dengan kulit kering.
5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake nutrisi oral ditandai dengan klien tidak nafsu makan karena rasa mual.
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional 1 Nyeri akut berhubungan dengan tekanan saraf, vasospressor, peningkatan intrakranial ditandai dengan klien menyatakan nyeri. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x 24 jam nyeri klien berkurang dengan kriteria hasil:
NOC Label : Pain Control • Nyeri klien
berkurang dengan skala 0-3 (sedang). • Wajah klien tampak
rileks dan tenang. • Menggunakan bantuan non farmokologi (teknik distraksi, relaksasi, guided imagery). • Menggunakan obat analgesik. NIC Label : Pain Management 1) Amati lokasi, karekateristik, derajat dan skala nyeri klien. 2) Amati tanda-tanda verbal respon nyeri klien. 3) Ajarkan teknik distraksi, relaksasi dan guided imagery. 4) Anjurkan klien untuk mentaati dan penggunaan obat analgesik dan mengawasinya. NIC Label : Pain Management 1) Memantau perkembangan dan skala nyeri klien. 2) Mengetahui skala
nyeri klien melalui tanda-tanda verbal yang ditunjukkan. 3) Membantu klien mengalihkan perasaan nyerinya dan mengurangi ketergantungan akan obat analgesik. 4) Membantu mengurangi nyeri klien. 2 Risiko cedera berhubungan dengan gangguan keseimbangan berupa ataksia dan pusing. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan risiko cedera klien berkurang dengan kriteria hasil : NOC Label : Risk Detection • Pasien mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan cedera. • Pasien membantu mengidentifikasi NIC Label : Environmental Management : Safety 1) Observasi
faktor-faktor yang dapat berkonstribusi terhadap cedera. 2) Tingkatkan keamanan lingkungan sesuai kebutuhan. 3) Ajarkan kepada NIC Label : Environmental Management : Safety 1) Untuk meningkatkan kesadaran klien, anggota keluarga dan pemberi asuhan. 2) Tindakan tersebut akan mampu mengaktifkan koping terhadap lingkungan yang tidak familiar. 3) Tindakan tersebut
4. Evaluasi
No. Dx Diagnosa Keperawatan Evaluasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan tekanan saraf, vasospressor, peningkatan intrakranial ditandai dengan klien menyatakan nyeri.
S : Klien mengatakan nyerinya berkurang dengan skala ringan.
O : Wajah klien tampak tenang dan rileks. A : Intervensi tercapai sebagian.
P : Lanjutkan intervensi. 2. Risiko cedera berhubungan
dengan gangguan
keseimbangan berupa ataksia dan pusing.
S : Klien mengatakan mampu mengontrol pusingnya dan jatuhnya.
O : Perawat meilhat klien mampu memilih tempat untuk jatuh.
A : Intervensi tercapai sebagian. P: Lanjutkan intervensi.
3. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan ditandai dengan wajah klien tampak gelisah.
S : Klien tidak merasa cemas lagi akan penyakitnya dan mengetahui kondisi penyakitnya.
O : Raut wajah klien tidak tegang lagi. A : Intervensi tercapai sebagian. P : Lanjutkan intervensi.
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah ditandai dengan kulit kering.
S : Klien mengatakan sudah tidak merasa haus lagi.
O : Turgor kulit klien elastis dan mukosa bibir lembab
A : Tujuan tercapai.
P : Pertahankan kondisi klien dan lanjutkan perawatan.
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan intake nutrisi oral ditandai dengan klien tidak nafsu makan karena rasa mual.
S : Klien mengatakan sudah mau makan dengan jumlah yang ditentukan.
O : Perawat melihat klien makan dengan lahap. A : Intervensi tecapai.
P: Pantau kondisi klien. DAFTAR PUSTAKA
Joanne McCloskey, dkk. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC). United States of America: Mosby
Nanda Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. 2010. Jakarta: EGC Odesyafar. 2011. Vertigo. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_144_tht.pdf[Akses : 15 Januari 2012]
Prasti Pirawati, L. Yvonne Siboe. 2004. Terapi Akupunktur untuk Vertigo. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/144_15TerapiAkupunkturuntukVertigo.pdf/144_15Ter apiAkupunkturuntukVertigo.html[Akses : 15 Januari 2012]
Sue Moorhead, dkk. 2008. Nursing Outcame Classification (NOC). United States of America: Mosby
Sugeng Santoso. 2007. Penyakit Vertigo.
http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007_askarullah_aboet.pdf[Akses : 14 Januari 2012]