MATA KULIAH ARSITEKTUR BALI 1
MATA KULIAH ARSITEKTUR BALI 1
RUMAH TINGGAL TRADISIONAL BALI RUMAH TINGGAL TRADISIONAL BALI
DOSEN PENGAMPU : DOSEN PENGAMPU :
MAHASISWA : MAHASISWA :
NI KADEK DESI DWI ANGGRENI PUTRI NI KADEK DESI DWI ANGGRENI PUTRI
1504205065 1504205065
FAKULTAS TEKNIK
FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK ARSITEKTUR
TEKNIK ARSITEKTUR
UNIVERSITAS UDAYANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
2016
PROF. IR. NGAKAN PUTU SUECA, MT.,PHD PROF. IR. NGAKAN PUTU SUECA, MT.,PHD
KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Puji syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa karena berkat anugerah-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah Yang Maha Esa karena berkat anugerah-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah mengenai “
mengenai “ArsitekturArsitektur Rumah Tradisional Bali” ini dengan baik dan semaksimalRumah Tradisional Bali” ini dengan baik dan semaksimal mungkin.
mungkin.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan mengenai konsep rumah arsitektur tradisional Bali wawasan serta pengetahuan mengenai konsep rumah arsitektur tradisional Bali melalui suatu hasil observasi dan analisis pada objek nyata di lapangan. Saya juga melalui suatu hasil observasi dan analisis pada objek nyata di lapangan. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh pihak yang telah Terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh pihak yang telah mendukung terselesainya makalah ini dengan baik dan semoga makalah yang telah mendukung terselesainya makalah ini dengan baik dan semoga makalah yang telah saya susun ini dapat berguna bagi saya sendiri pada khususnya maupun pihak saya susun ini dapat berguna bagi saya sendiri pada khususnya maupun pihak pembaca pada umumnya.
pembaca pada umumnya.
Denpasar,
Denpasar, Mei Mei 20162016
Penulis Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL ...JUDUL ... i... i KATA
KATA PENGANTAR ...PENGANTAR ... ii... ii DAFTAR
DAFTAR ISI ISI ... iii... iii DAFTAR
DAFTAR GAMBAR GAMBAR ... v... v
BAB
BAB I I PENDAHULUAN ...PENDAHULUAN ... 1... 1 1.1.
1.1. Latar Latar Belakang Belakang Penulisan ...Penulisan ... 1. 1 1.2. Tujuan
1.2. Tujuan Penulisan Penulisan ... 1... 1 1.3. Manfaat
1.3. Manfaat Penulisan Penulisan ... 2... 2
BAB
BAB II II KAJIAN KAJIAN PUSTAKA ...PUSTAKA ... 3... 3 2.1.
2.1. Pengertian Pengertian Arstektur Arstektur Bali ...Bali ... 3... 3 2.2. Konsep
2.2. Konsep Dasar Dasar Arsitektur Arsitektur Bali...Bali... 3.... 3 2.3.
2.3. Rumah Rumah Tradisional Tradisional Bali...Bali... 7... 7
BAB
BAB III III OBJEK OBJEK OBSERVASI ...OBSERVASI ... 1... 111 3.1.
3.1. Lokasi Lokasi Objek Objek ... 11... 11 3.2.
3.2. Kepemilikan Kepemilikan Objek...Objek... 14... 14 3.3. Layout Objek dan Fungsi Tiap Bangunan
3.3. Layout Objek dan Fungsi Tiap Bangunan ... ... 1515 3.4. Konsep Permukiman
3.4. Konsep Permukiman ... ... 2929
BAB
BAB IV IV PENUTUP...PENUTUP... 30... 30 4.1.
4.2. Saran ... 30
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Ukuran Tubuh Manusia sebagai Dasar Pengukuran Lingkungan Buatan ... 4
Gambar 2.2. Pengukuran Jarak antar Bangunan ... 5
Gambar 2.3. Konsep Arah Orientasi Ruang dan Konsep Sanga Mandala ... 6
Gambar 2.4. Penjabaran Konsep Zoning Sanga Mandala dalam Rumah ... 6
Gambar 3.1. Peta Pulau Bali ... 11
Gambar 3.2. Peta Kota Denpasar ... 11
Gambar 3.3. Peta Lokasi Objek (1) ... 12
Gambar 3.4a. Simpang 6, Pusat Kota Denpasar ... 12
Gambar 3.4b. Pertigaan Pulau Kawe ... 12
Gambar 3.5. Peta Lokasi Objek (2) ... 12
Gambar 3.6a. Lingkungan Sekitar ... 13
Gambar 3.6b. Lingkungan Sekitar ... 13
Gambar 3.6c. Lingkungan Sekitar ... 14
Gambar 3.7b. Struktur Keluarga Pernikahan 1 ... 14
Gambar 3.7b. Struktur Keluarga Pernikahan 2 ... 14
Gambar 3.8. Layout Objek ... 16
Gambar 3.9a. Pamerajan/Sanggah ... 17
Gambar 3.9b. Pelinggih Tugu Panglurah ... 18
Gambar 3.10. Rong Tiga ... 18
Gambar 3.11. Sanggah Ratu ... 19
Gambar 3.12. Pelinggih Gunung Agung ... 19
Gambar 3.13. Padma (Kawitan) ... 20
Gambar 3.14. Pelinggih Tugu Hyang ... 20
Gambar 3.15. Rong Dua ... 21
Gambar 3.16. Bale Bengong ... 21
Gambar 3.17. Bale Pyas ... 22
Gambar 3.18. Bale Dangin ... 22
Gambar 3.21. Bale Dauh ... 24
Gambar 3.22. Uma Meten Delod ... 25
Gambar 3.23. Jineng ... 26
Gambar 3.24. Paon ... 27
Gambar 3.25. Koperasi ... 27
Gambar 3.26. Garase ... 28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penulisan
Selaras dengan keaberagaman budaya yang dimiliki bangsa Indonesia, Arsitektur di Indonesia pun memiliki keberagaman tersendiri yang tentunya tidak lepas dari kebudayaan itu sendiri, salah satunya yaitu Arsitektur Tradisional Bali yang merupakan salah satu warisan turun-temurun dari masyarakat terdahulu yang masih berkembang hingga sekarang ini. Namun tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan Arsitektur Tradisional Bali sekarang ini sudah mulai sulit ditemui dan mulai tergeser oleh adanya konsep-konsep Arsitektur modern yang dianggap lebih membumi.
Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat Arsitektur Tradisional Bali sendiri merupakan warisan dari para undagi terdahulu yang konsepnya didasari oleh berbagai lontar suci yang tak perlu diragukan lagi tatanannya baik dari segi sekala dan niskala. Mengingat betapa berharga dan pentingnya Arsitektur Tradisional Bali inilah diperlukan adanya upaya pelestarian yang dimaksudkan agar kepunahan Arsitektur Tradisional Bali di kemudian hari dapat dicegah. Pelestarian inilah yang mendasari pembuatan/penulisan paper ini sebagai salah satu upaya pelestarian Arsitektur Tradisional Bali melalui bidang pendidikan dengan menambah wawasan mahasiswa terhadap konsep Arsitektur Tradisional Bali.
1.2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan paper ini terbagi kedalam dua jenis tujuan, yaitu : 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan menambah wawasan khususnya bagi mahasiswa mengenai tata letak beserta fungsi tiap bangunan dalam rumah tradisional Bali serta konsep-konsep terkait.
Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengajar mata kuliah Arsitektur Bali 1 kepada mahasiswa.
1.3. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan paper ini, yaitu :
1. Mampu memahami konsep dalam pembangunan rumah tradisional Bali serta ilmu-ilmu terkait
2. Meningkatkan kepekaan mahasiswa terhadap rumah tradisional Bali melalui observasi lapangan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Arsitektur Bali
Arsitektur Bali/Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan sumber-sumber lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk- petunjuk yang dimaksud.
2.2. Konsep Dasar Arsitektur Bali
Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang memengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah :
1. Konsep Tri Hita Karana
Tri Hita Karana yang secara etimologi terbentuk dari kata : tri yang berarti tiga, hitaberarti kebahagiaan, dan karana yang berarti sebab atau yang menyebabkan, dapat dimaknai sebagai tiga hubungan yang harmonis yang menyebabkan kebahagian. Ketiga hubungan tersebut meliputi :
a. Prhyangan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida SangHyang Widhi Wasa,
b. Pawongan : Hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya, dan
c. Palemahan : Hubungan yang harmonis antara manusia
denganlingkungannya.
Dalam arsitektur Bali, hal ini sangat di utamakan dan selalu menjadi landasan pokok dalam membangun. Konsep Tri Hita Karana menjelaskan bagaimana suatu tatanan ruang arsitektur yang harmonis di antara ketiga
2. Hirarki Ruang / Tri Angga/Tri Loka
Tri Angga adalah salah satu bagian dari Tri Hita Karana, (Atma, Angga dan Khaya). Tri Angga merupakan sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali, yaitu :
a. Utama, bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi, b. Madya, bagian yang terletak di tengah
c. Nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah 3. Asta Kosala Kosali
Asta Kosala Kosali merupakan Fengshui-nya Bali, adalah sebuah tata cara, tata letak, dan tata bangunan untuk bangunan tempat tinggal serta bangunan tempat suci yang ada di Bali yang sesuai dengan landasan Filosofis, Etis, dan Ritual dengan memperhatikan konsepsi perwujudan, pemilihan lahan, hari baik (dewasa) membangun rumah, serta pelaksanaan
yadnya.
Asta Kosala Kosali merupakan sebuah cara penataan lahan untuk tempat tinggal dan bangunan suci. Penataan Bangunan yang dimana di dasarkan oleh anatomi tubuh pemilik. Pengukurannya pun lebih menggunakan ukuran dari Tubuh sang empunya rumah. Mereka tidak menggunakan meter tetapi menggunakan ukuran seperti :
Musti (ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu
jari yangmenghadap ke atas),
Hasta (ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan
tengahtangan sampai ujung jari tengah yang terbuka)
Depa (ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan
dari kirike kanan), dll.
Gambar 2.1. Ukuran Tubuh Manusia sebagai Dasar Pengukuran Lingkungan Buatan Sumber : Adhika (1994).
4. Asta Bhumi
Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih. Tujuan Asta Bumi adalah untuk memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi, mendapat vibrasi kesucian, menguatkan bhakti kepada Sang Hyang Widhi
5. Konsep Tata Ruang Sanga Mandala
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata Nawa Sanga (Meganada, 1990:58). Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan dalam pekarangan rumah, dimana kegiatan yang dianggap utama, memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning nista (klod-kauh), sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah (Sulistyawati. dkk, 1985:10). Dalam turunannya konsep ini menjadi Pola Natah (Adhika, 1994:24)
Gambar 2.2. Pengukuran Jarak antar Bangunan Sumber : Adhika (1994).
Gambar 2.3. Konsep Arah Orientasi Ruang dan Konsep Sanga Mandala Sumber : Eko Budihardjo (1986)
Gambar 2.4. Penjabaran Konsep Zoning Sanga Mandala dalam Rumah Sumber : Eko Budihardjo (1986)
6. Konsep Manik Ring Cucupu
Konsep manik ring cacupu adalah konsepdimana manusia harus selaras denganalam. Seperti janin(manik) danrahim ibu(cacupu). Karena memiliki kesamaan unsur pembentuk
2.3. Rumah Tradisional Bali
Istilah “rumah” dalam budaya Bali dibedakan berdasarkan warna. Ada lima istilah yang dikenal, yaitu :
Gena (Rumah untuk Brahmana) Puri (rumah untuk ksatria)
Jero (rumah untuk ksatria yang tidak memegang pemerintahan
secara langsung)
Umah (rumah untuk weisya dan sudra), serta Kubu/pakubon (rumah tinggal di luar pemukiman)
Seberti bangunan tradisional bali lainnya yang didasari oleh konsep-konsep tersendiri, rumah arsitektur tradisional bali juga memiliki konsep- konsepsi-konsepsi yang sama yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu dan merupakan perwujudan budaya, dimana karakter perumahan tradisional Bali sangat
ditentukan norma-norma agama Hindu, adat istiadat serta rasa seni yang mencerminkan kebudayaan. (Bappeda, 1982:119).
Rumah tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti: tidur, makan, istirahat juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan psikologis, seperti melaksanakan upacara keagamaan dan adat. (Sulistyawati. dkk, 1985:15). Dengan demikian rumah tradisional sebagai perwujudan budaya sangat kuat dengan landasan filosofi yang berakar dari
agama Hindu.
Agama Hindu mengajarkan agar manusia mengharmoniskan alam semesta dengan segala isinya yakni bhuana agung (Makrokosmos) dengan bhuana alit (Mikro kosmos), dalam kaitan ini bhuana agung adalah lingkungan
buatan/bangunan dan bhuana alit adalah manusia yang mendirikan dan menggunakan wadah tersebut (Subandi, 1990).
Rumah tinggal masyarakat Bali/rumah tradisional Bali sendiri sangatlah unik karena rumah tinggal ini tidak merupakam satu kesatuan dalam satu atap melainkan terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu gunung Agung. Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dan tempat pemujaan keluarga.
Selain mengikuti filosofi dasar dan konsepsi-konsepsi yang telah ada, pola penataan ruang juga dipengaruhi oleh unsur-unsur panca mahabutha (lima unsur alam : matahari, angina, air, tanah, api). Untuk memahami lebih dalam hirarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur dan barat. Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali di sebut pamerajan. Untuk mengetahui pola ruang rumah tradisional Bali maka sebaiknya kita mengenali bagian-bagian
ruang pada rumah tinggal tradisional Bali, diantaranya
1. Angkul-angkul/pamesuan/kori yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya
teletak di kauh kelod.
2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Dipercaya pula sebagai penghalau energy negatif yang masuk dari luar. Aling-aling terletak di kaluh kelod.
4. Pamerajan ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan
yang letaknya di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang.
5. Umah Meten/Bale Daja yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat yaitu di kaja.
6. Bale tiang sanga/Bale Dauh biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu yang diletakkan di lokasi kauh.
7. Bale Sakepat/Bale Delod, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih junior. Bale sakepat biasanya terletak di kelod.
8. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. Bale Dangin terletak di lokasi kangin.
9. Paon/perapen yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod.
10. Jineng/lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
11. Tebe yaitu area terbuka kosong yang biasanya digunakan sebagai kandang hewan atau kebun
Selain pola ruang/pembagian ruang di atas, terdapat pula aturan dalam memilih tata letak pekarangan menurut aturan tradisional Bali, yaitu :
Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan langsung disebelah Timur atau
Utara pura, bila tidak dibatasi dengan lorong atau pekarangan lain seperti : sawah, ladang/sungai. Pantangan itu disebut : Ngeluanin Pura.
Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya
jalan lurus langsung bertemu dengan pekarangan rumah.
Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah keluarga
lain. Pantangan ini dinamakan : Karang Kalingkuhan.
Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang
Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada sebelah- menyebelah
jalan umum dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan : Karang Negen.
Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur
Lautnya pekarangan rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah jalan umum, ini tidak boleh. Pantangan ini dinamakan : Celedu Nginyah.
BAB III
OBJEK OBSERVASI
3.1. Lokasi Objek Observasi
Objek yang saya observasi berlokasi di Jalan Pulau Kawe, Gang Buntu, No. 2, Pedungan, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali.
Gambar 3.1. Peta Pulau Bali Sumber : Google Maps, 2016
Gambar 3.4a. Simpang 6, Pusat Kota Denpasar Sumber : Google maps Earth, 2016
Gambar 3.4b. Pertigaan Pulau Kawe Sumber : Google maps Earth, 2016
Gambar 3.5. Peta Lokasi Objek (2) Sumber : Google maps, 2016 Gambar 3.3. Peta Lokasi Objek (1)
Gambar 3.6b. Lingkungan Sekitar Sumber : Google maps, 2016 Gambar 3.6a. Lingkungan Sekitar
Sumber : Google maps, 2016
Objek kajian ini tepatnya berlokasi di bagian selatan kota denpasar. Dapat ditempuh selama tujuh menit dari Kampus Universitas Udayana Sudirman, empat menit dari simpang enam, Pusat Kota Denpasar dan lima menit dari rumah sakit umum pusat Sanglah Denpasar.
Lingkungan sekitar objek merupakan ruang pemukiman dan pertokoan. Jarak pekarangan menuju jalan utama/jalan besar sekitar 50 meter. Terdapat sebuah pasar di sebelah timur pertigaan dan sekitarnya.
Gambar 3.6c. Lingkungan Sekitar Sumber : Google maps, 2016
3.2. Kepemilikan Objek
Pemilik bjek rumah tinggal tradisional Bali ini adalah seorang warga lokal setempat bernama I Wayan Sugiarta (53 Tahun) dengan struktur keluarga sebagai berikut :
Gambar 3.7a. Struktur Keluarga Pernikahan 1 Sumber : Dokumentasi 2016
Gambar 3.7b. Struktur Keluarga Pernikahan 2 Sumber : Dokumentasi 2016
Struktur keluarga ini terbagi ke dalam dua bagan sesuai dengan dua kali pernikahan yang dilakukan oleh anggota tertua dalam keluarga yaitu Made
Sukerni (80 Tahun) yang menikah dengan Wayan Sena dan Made Sandi.
Adapun jumlah penghuni dalam rumah bersangkutan sebanyak 2 KK (dua keluarga) yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan komposisi 5 orang dari keluarga pertama (terdiri dari satu orang suami, istri dan 3 orang anak) dengan kepala keluarga bernama I Wayan Sugiarta, 4 orang dari keluarga kedua (terdiri dari satu orang suami, istri dan 2 orang anak) dengan kepala keluarga bernama Nyoman Agus Wirawan dan satu orang nenek. Total penghuni sebanyak 10
orang.
3.3. Layout Objek Kajian dan Fungsi Tiap Bangunan
Bangunan ini berdiri di atas tanah seluas 698.15 m2 atau seluas 7 are dengan komposisi bangunan, diantaranya : merajan, bale dangin, bale daja, bale dauh, uma meten, jineng, koperasi, garase dan pemesuan/pintu keluar masuk. Adapun bentuk layout sebagai berikut :
1. MERAJAN/ SANGGAH 2. BALE DANGIN 3. BALE DAJA 7. JINENG 5. BALE DAUH 8. PAON 8. PAON 9. KOPERASI
Gambar 3.8. Layout Objek Sumber : Dokumentasi 2016 10. GARASE 11. PAMESUAN 11. PAMESUAN 4. UMA METEN 6. UMA METEN
Detail Per Bangunan Beserta Fungsi : 1. Merajan
Pamerajan/Sanggah kemulan ini memiliki fungsi sebagai tempat untuk melakukan persembahyangan oleh pemilik/penghuni
Adapun komposisi dari bangunan yang ada pada pamerajan ini yaitu :
Gambar 3.9a. Pamerajan/Sanggah Sumber : Dokumentasi 2016
Gambar 3.9b. Pelinggih Tugu Panglurah Sumber : Dokumentasi 2016
Gambar 3.10. Rong Tiga Sumber : Dokumentasi 2016
Gambar 3.11. Sanggah Ratu Sumber : Dokumentasi 2016
Gambar 3.13. Padma (Kawitan) Sumber : Dokumentasi 2016
Gambar 3.14. Pelinggih Tugu Hyang Sumber : Dokumentasi 2016
Gambar 3.15. Rong Dua Sumber : Dokumentasi 2016
2. Bale Dangin
Gambar 3.17. Bale Pyas Sumber : Dokumentasi 2016
Gambar 3.18. Bale Dangin Sumber : Dokumentasi 2016
Bale dangin ini merupakan bale dengan saka sia (9) yang difungsikan sebagai tempat untuk melakukan persiapan dan pelaksanaan upacara agama (merahinan). Kadangkala digunakan pulan sebagai tempat untuk membuat benda seni. Berbentuk segi empat dengan dua sisi tertutup dinding dan dua sisi lainnya membuka menghadap ke arah natah (halaman tengah pekarangan).
3. Bale Daja
Bale daja ini merupakan sebuah bale dengan sebagian ruang tertutup dinding pada empat sisi dan bagian lain disokong/disangga oleh empat buah saka. Bale ini difungsikan sebagai tempat untuk menyimpan peralatan suci keagamaan dan kadangkala digunakan pemilik sebagai
tempat mempersiapkan upacara agama.
Gambar 3.19. Bale daja Sumber : Dokumentasi 2016
4. Uma Meten Daja
Uma meten ini berupa rumah modern (rumah jaman sekarang) pada umumnya yang ruangnya tertutup oleh dinding di keempat sisi. Terletak di bagian daja pekarangan. Bangunan ini difungsikan sebagai tempat tidur keluarga yang mana pada rumah ini digunakan oleh keluarga 1 (keluarga I Wayan Sugiarta).
5. Bale Dauh
Gambar 3.21. Bale Dauh Sumber : Dokumentasi 2016
Gambar 3.20. Uma Meten Daja Sumber : Dokumentasi 2016
Bale Dauh ini merupakan bangunan yang menyerupai bale daja, tetapi menggunakan saka dari bahan beton (bale daja menggunakan saka kayu). Bangunan ini difungsikan sebagai tempat tidur bagi anak dari keluarga 2 (Keluarga Nyoman Agus Wirawan).
6. Uma Meten Delod
Sama halnya dengan uma meten daja, uma meten delod juga merupakan bangunan dengan empat sisi tertutup dinding dan digunakan/difungskan pula sebagai tempat tidur bagi keluarga 2 (Keluarga Nyoman Agus
Wirawan)
Gambar 3.22. Uma Meten Delod Sumber : Dokumentasi 2016
7. Jineng
Bangunan ini merupakan jineng dengan empat buah saka. Pada masanya dahulu, bangunan ini difungsikan sebagai lumbung padi atau tempat menyimpan padi. Namun, seiring berkembangnya jaman, fungsi bangunan ini bergeser menjadi tempat untuk duduk-duduk bersantai. Pergeseran juga terlihat dari penggunaan bahan. Pada jaman dahulu, bangunan ini menggunakan alang-alang sebagai material atap, tetapi berganti menjadi material genteng dan material modern lain sekarang ini seperti yang terlihat pada gambar. Jineng ini ditempatkan pada arah kangin-kelod dari pekarangan.
Gambar 3.23. Jineng Sumber : Dokumentasi 2016
8. Paon
Paon atau dapur ini memiliki fungsi yang sama dengan dapur pada bangunan modern yaitu sebagai tempat untuk memasak/menyiapkan
makanan bagi penghuni rumah.
9. Koperasi
Gambar 3.24. Paon Sumber : Dokumentasi 2016
Gambar 3.25. Koperasi Sumber : Dokumentasi 2016
Bangunan ini merupakan bangunan tambahan berupa bangunan segi empat dengan empat dinding penutup yang difungsikan sebagai tempat usaha pemilik rumah berupa koperasi.
10. Garase
Merupakan ruang tambahan dengan fungsi sebagai tempat untuk menyimpan kendaraan/meletakkan kerndaraan pengguna.
Gambar 3.26. Garase Sumber : Dokumentasi 2016
11. Pamesuan
Pamesuan merupakan akses keluar masuk menuju dan keluar pekarangan. Pamesuan pada rumah ini berbentuk kori beton sederhana (jarang digunakan) dan sebuah candi bentar kecil sebagai akses utama.
3.4. Konsep Permukiman
Konsep pemukiman yang diterapkan pada rumah tradisional bali ini adalah Bali dataran yang banyak dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Hal ini sesuai dengan letak objek yang berada pada bagian selatan Bali. Serta adanya pola perempatan atau yang dikenal dengan pola catus patha yang ada di lingkungan
sekitar objek observasi.
Gambar 3.27. Pamesuan Sumber : Dokumentasi 2016
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Rumah Arsitektur Tradisional Bali memiliki konsepsi-konsepsi yang tidak hanya bersumber dari ajaran agama Hindu, melainkan pula dipengaruhi oleh adat istiadat, kepercayaan, sistem religi, serta sikap dan pandangan hidup masyarakat sekitar (Bali). Oleh karena itulah diperoleh keanekaragaman pola rumah arsitektur tradisional bali. Selain itu, perkembangan jaman dan tuntutan akan kebutuhan serta keadaan membawa pola rumah arsitektur bali semakin berkembang untuk menyelaraskan dengan keadaan masyarakat terkini. Salah
satu contoh nyata, dapat dilihat pada objek obsevasi yang digunakan pada makalah ini, dimana jineng yang memiliki fungsi asli dimasa lalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan keadaan saat ini pula.
4.2. Saran
Meskipun masih banyak rumah arsitektur tradisional bali yang dapat kita temui dewasa ini, baik yang masih asli maupun telah berkembang, ada baiknya setiap individu masyarakat Bali khususnya bagi para generasi muda tetap melestarikan salah satu aset berharga masyarakat Bali ini untuk menghindari kepunahan rumah arsitektur tradisional di kemudian hari.