• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sebagai suatu alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bahasa sebagai suatu alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa sebagai suatu alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisahkan dengan manusia, karena manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama dalam sehari-hari sehingga bahasa memiliki peranan sangat penting bagi suatu masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Bahasa dapat digunakan untuk menjalankan semua aktivitas atau kegiatan baik individu maupun kelompok. Bahasa itu merupakan alat komunikasi yang mutlak dan perlu. Bahasa memiliki fungsi sosial untuk berkomunikasi dengan sesama, dengan menggunakan bahasa maka komunikasi antar sesama dapat terjadi dengan baik. Penggunaan bahasa di masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial seperti tingkat pendidikan, umur, jabatan, status sosial, dan jenis kelamin. Faktor situasional tentu saja juga dapat memengaruhi penggunaan dan cara manusia menggunakan bahasa. Seseorang yang sedang berbincang dengan teman dekatanya dalam situasi informal tentu akan menggunakan bahasa yang santai dan bisa berbeda dengan jika seseorang itu berada di kantor dalam situasi formal maka dia akan menggunakan bahasa yang baku. Oleh karena itu, faktor situasional yang dapat memengaruhi penggunaan bahasa yaitu seperti yang dirumuskan oleh pakar sosiolinguistik bahwa faktor situasional meliputi who speaks, what language, to whom and when yaitu siapa

(2)

2

yang berbicara, dengan bahasa apa, kapan, dimana, dan mengenai masalah apa (Fishman dalam Suwito, 1983:2).

Pola perkembangan bahasa yang terus terjadi mengakibatkan bahasa menjadi tidak tetap atau mengalami perubahan. Perubahan bahasa terjadi karena manusia merupakan makhluk sosial yang selalu melakukan aktivitas, antara aktivitas yang satu dengan yang lain tidak sama atau berbeda antara satu dengan yang lainnya, dalam aktivitas tersebut penggunaan bahasa sangat berperan penting karena bahasa digunakan sebagai alat untuk berkomuikasi dengan sesama. Bahasa dan masyarakat tidak dapat dilepaskan karena dalam melakukan sesuatu masyarakat selalu menggunakan bahasa. Disiplin ilmu sosiolinguistik yang mempelajari hubungan antar bahasa dan penggunaanya di dalam suatu masyarakat. Sosiolinguistik mengkaji pemakaian bahasa dalam masyarakat, sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubunganya dengan penggunaanya di dalam masyarakat, ini berarti bahwa sosilinguistik memandang bahasa pertama-tama sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu (Suwito, 1983: 2).

Sebagai masyarakat multilingual penggunaan satu bahasa mungkin sulit dilakukan. Seseorang menggunakan lebih dari satu bahasa yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional negara Indonesia dan bahasa daerah sebagai bahasa ibu atau bahasa yang sering digunakan oleh seseorang yang menempati suatu daerah tertentu. Oleh karena itu, dalam penggunaan bahasa tidak bisa terlepas dari peristiwa kontak bahasa. Kontak bahasa merupakan peristiwa saling pengaruh antara bahasa satu dengan bahasa yang lainnya. Dalam peristiwa kontak maka masyarakat multilingual akan dihadapkan pada pemilihan kode sehingga muncul

(3)

3

peralihan kode yang merupakan peralihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain yang disebut dengan alih kode dan campur kode.

Alih kode dan campur kode tersebut dapat ditemukan pada komunikasi antara penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Pasar hewan di dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali ini diadakan setiap sepasar (lima hari) sekali yaitu setiap pasaran Wage. Di pasar hewan ini hewan yang banyak dijual adalah hewan sapi. Berbagai jenis sapi dijual di pasar ini seperti sapi betina, sapi jantan, sapi metal, sapi perah serta masih banyak jenis sapi yang lain. Letaknya yang strategis berada dipinggir jalan sehingga merupakan tempat yang sangat cocok untuk dijadikan sebagai pasar hewan. Setiap Wage banyak para penjual dan pembeli sapi mengunjungi pasar ini bahkan banyak pula yang dari luar kota Boyolali seperti penjual dan pembeli dari Sragen, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo, Surakarta dan kota-kota yang lainnya, banyaknya para pembeli lebih memilih membeli sapi di pasar ini karena sudah terkenal dengan harganya yang lebih murah dibandingkan dengan pasar hewan yang lainnya.

Dalam penelitian ini akan membahas mengenai alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desan Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Berikut adalah contoh penggunaan alih kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali yang dapat ditemukan dari observasi.

(4)

4 Data 1

Pembeli (O2) : Sapimu sing etan karo sing kulon regane pas?, daknyang oleh ora?, sing oleh dinyang sing ndi?

„Sapimu yang timur dan yang barat harganya pas?, saya tawar boleh tidak?, yang boleh ditawar yang mana?‟

Penjual (O1) : Lha nek nganyang niku angsal mawon Mbah. „Kalau menawar itu boleh saja Kek‟

Pembeli (O2) : Sing etan pa sing kulon ? „Yang timur atau yang barat ?‟

Penjual (O1) : Nek sing etan aja, ning nek sing kulon dakwenehke. „Kalau yang timur jangan, tapi kalau yang barat saya berikan‟ Pembeli (O2) : Aja larang-larang ngono lho.

„Jangan mahal-mahal begitu‟

Peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember 2015. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual dan (O2) sebagai pembeli. Pada data (1) tersebut terjadi peristiwa alih kode intern. Alih kode dari bahasa Jawa ragam Krama ke dalam ragam bahasa Jawa Ngoko yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa Krama kepada pembeli yaitu, nganyang niku angsal mawon Mbah „menawar itu boleh saja Kek‟ kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam Ngoko yaitu, nek sing etan aja, ning nek sing kolon tak wenehi „kalau yang timur jangan, tapi kalau yang barat saya berikan‟. Data 1 tersebut memiliki bentuk alih kode intern yaitu alih kode bahasa Jawa ragam krama ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko. Fungsi peralihan kode dalam data 1 tersebut adalah lebih argumentatif meyakinkan mitra tutur bahwa boleh menawar dengan harga yang dikehendaki mitra tutur asalkan untuk sapi yang disebelah barat dan bukan sapi yang sebelah timur. Sedangkan faktor yang melatarbelakangi penggunakan alih kode pada data 1 tersebut adalah lawan tutur (O2). Yaitu penjual (O2) mulanya menggunakan bahasa Jawa ragam krama saat berbicara dengan pembeli (O2) karena menghormati dan belum akrab dengan (O2) sebagai pembeli. Komunikasi (O1) beralih kode ke bahasa Jawa ragam

(5)

5

ngoko karena lawan tutur pembeli (O2) menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko, sehingga (O1) ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur. Bagaimanakah bentuk alih kode, fungsi alih kode, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali pada data selanjutnya?. Ditemukan bentuk, fungsi, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode yang sama dengan data 1 di depan atau ditemukan bentuk, fungsi, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode yang berbeda dengan data 1 di depan?.

Data selanjutnya yaitu contoh penggunaan campur kode dalam komunikasi-komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.

Data 2

Penjual (O1) : Piye nek pilih sing tipe iki, luwih apik tinimbang tipe sing kuwi ngarepmu kuwi mas.

„Bagaimana kalau pilih yang jenis ini, lebih bagus daripada jenis yang itu depan Anda itu Mas‟

Peristiwa tutur pada data 2 terjadi di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember 2015 pukul 09:30 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual yang menjelaskan tentang jenis-jenis sapi yang dia jual kepada pembeli agar pembeli tertarik membeli sapinya, situasi komunikasi yang terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa penggunaan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh pembeli (O2). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, piye nek pilih sing

(6)

6

tipe iki, luwih apik tinimbang tipe sing kuwi ngarepmu kuwi Mas „Bagaimana kalau pilih yang jenis ini, lebih bagus daripada jenis yang itu depan Anda itu Mas‟. Campur kode ini disebut campur kode intern yaitu terdapat penggunaan kata dari bahasa Indonesia yaitu kata tipe yang disisipkan ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko yang tidak menunjukan adanya fungsi. Beban makna penggunaan campur kode pada data 2 di depan adalah bahasa yang digunakan lebih bervariasi. O2 menunjukan bahwa dirinya menguasai bahasa Indonesia sehingga memasukan kata tipe dalam tuturannya kepada pembeli yang memilih sapi. Latar belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan, penutur O1 ingin menjelaskan berbagai jenis sapinya kepada pembeli sehingga dia memasukan kata dari bahasa lain agar lebih nyaman untuk menjelaskan. Latar belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor praktikal, karena penutur lebih nyaman menggunakan bahasa lain untuk menjelaskan atau menafsirkan. Bagaimanakah bentuk campur kode, fungsi campur kode, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali pada data selanjutnya?. Ditemukan bentuk, fungsi, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode yang sama dengan data 2 di depan atau ditemukan bentuk, fungsi, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya campur kode yang berbeda dengan data 2 di depan?. Kedua data tersebut terjadi pada komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.

Penelitian sosiolinguistik yang pernah dilakukan terkait dengan alih kode campur kode sebelumnya adalah sebagai berikut.

(7)

7

1. Penggunaan Bahasa Jawa Etnis Cina di Pasar Gede Surakarta dalam Ranah Jual Beli (Suatu Kajian Sosiolinguistik), skripsi oleh Ayu Margawati Pamungkas, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta (2009). Penelitian ini mengkaji bentuk alih kode, campur kode, dan interferensi dalam penggunaan Bahasa Jawa etnis Cina di Pasar Gede Surakara. Alih kode yang ditemukan berupa alih kode bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dan alih kode bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Campur kode yang diemukan berupa campur kode kata, campur kode reduplikasi, dan campur kode frasa. terdapat interferensi leksikal BC dan interferensi morfologi dalam penggunaan bahasa Jawa etnis Cina di Pasar Gede Surakarta.

2. Pemakaian Alih Kode dan Campur Kode Bahasa Jawa di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakara (Sebuah Tinjauan Sosioinguisik), Skripsi oleh Sukmawan Wisnu Pradanta, (2013). Penelitian ini mengkaji bentuk alih kode dan campur kode, fungsi alih kode dan campur kode, fakor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode yang terjadi di Pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta.

3. Alih kode dan Campur Kode Bahasa Jawa dalam Rapat Ibu-ibu PKK Kepatihan Kulon Surakarta, Skripsi oleh Mundianita Rosita Vinansis, (2011). Penelitian ini mengkaji bentuk alih kode dan campur kode, fungsi penggunaan alih kode dan campur kode, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode dalam rapat ibu-ibu PKK di Kepatihan Kulon Surakarta.

(8)

8

Dari beberapa penelitian sebelumnya, ternyata belum ada yang meneliti alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Fokus kajian dalam penelitian ini merupakan fokus kajian yang baru meningat objek kajiannya adalah baru. Oleh karena itu, penelitian ini diposisikan sebagai penelitian baru, bukan merupakan penelitian lanjutan atau pemantapan dari penelitian sebelumnya.

Pertimbangan lain tertarik untuk mengkaji peristwa alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali adalah sebagai berikut.

Pertama, pasar hewan di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali selalu banyak penjual dan pembeli dari berbagai kota dari dalam maupun luar kota Boyolali sehingga di area tersebut terjadi proses komunikasi yang besar. Kedua, mayoritas masyarakat yang mengunjungi pasar hewan di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali menggunakan bahasa Jawa, tetapi juga menguasi bahasa Indonesia dan sedikit bahasa asing. Ketiga, penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali berasal dari wilayah yang beda, usia, pendidikan, jabatan yang berbeda-beda sehingga memiliki latar belakang sosial yang berberbeda-beda-berbeda-beda pula. Keempat, area komunikasi yang strategis yang mencerminkan adanya kedwibahasaan dan penggunaan dua bahasa yang selalu berganti yang terjadi dalam peristiwa tutur. Kelima, penelitian mengenai alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron

(9)

9

kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali belum pernah diteliti. Dari alasan tersebut maka penulis mengambil judul “Alih Kode dan Campur Kode dalam Komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.

B. Pembatasan Masalah

Untuk memudahkan pembahasan masalah agar sesuai dengan tujuan penelitian, maka permasalahan dalam penelitian ini membatasi pada bentuk alih kode dan campur kode, fungsi alih kode dan campur kode, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dengan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang tertulis di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali ?

2. Bagaimanakah fungsi alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali ?

3. Bagaimanakah faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali ?

(10)

10

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.

2. Mendeskripsikan fungsi alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.

3. Mendeskripsikan faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis dan praktis dalam penelitian ini sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat menambah khazanah teori sosiolinguistik, khususnya mengenai alih kode dan campur kode Bahasa Jawa.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat:

a. Dapat menambah informasi hasil penelitian dengan kajian sosiolinguistik.

b. Dapat memberi informasi tentang bahasa yang digunakan oleh penjual dan pembeli sapi di pasar hewan dusun Purworejo deso Jeron

(11)

11

kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali tentang penggunaan dua bahasa dan satu bahasa dengan variasinya dalam komunikasi antara penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo deso Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali yang mencerminkan adanya masalah sosial dan situasional.

c. Penelitian ini bisa menjadi bahan acuan bagi penelitian sosiolinguistik selanjutnya.

F. Landasan Teori 1. Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan teori-teori tentang hubungan masyarakat dengan bahasa, sosiolinguistik juga mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa khususnya perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (Nababan 1993:2).

Sosiolinguistik merupakan antardisiplin antara sosiologi dan linguistik. Sosiologi merupakan kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, dan mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian, sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa didalam masyarakat (Abdul Chaer dan Leonie Agustina , 2004:2).

(12)

12

Menurut Harimurti sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial (Kridalaksana, 2008:225)

Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu interdispliner gabungan antara kebahasaan dan masalah sosial, sosiolinguistik mempelajari penggunaan bahasa yang digunakan dalam masyarakat yang menuturkannya.

2. Masyarakat Tutur

Suatu masyarakat atau sekelompok orang yang mempunyai verbal repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan di dalam masyarakat itu disebut dengan masyarakat tutur. Sifat masyarakat tutur yang besar dan beragam antara lain ialah bahwa variasi dalam verbal repertoirenya diperoleh terutama karena pengalaman dan diperkuat dengan interaksi verbal langsung di dalam kegiatan tertentu (Suwito, 1983:20).

Pengertian ini diperkuat oleh para ahli bahasa lainnya yang menyebutkan bahwa masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Selain itu, untuk dapat disebut masyarakat tutur adalah adanya perasaan di antara para penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang sama (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 38).

Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok masyarakat yang menggunakan

(13)

13

bahwa yang sama dalam kelompok tersebut dan mempunyai norma yang sama menggunakan bentuk-bentuk bahasa.

3. Hakikat Kedwibahasaan, Bilingualisme, dan Diglosia

Hakikat kedwibahasaan, bilingualisme, dan diglosia merupakan kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa yaitu memakai dua bahasa, disebut bilingualitas (dari bahasa Inggris bilinguality). Jadi orang yang berdwibahasa mencakup pengertian kebiasaan menggunakan dua bahasa. Dapat dibedakan pengertian ini dengan kedibahasaan (untuk kebiasaan) dan kedwibahasawan (untuk kemampuan) (Nababan, 1993:27).

Kedwibahasaan maupun diglosia pada hakikatnya ialah peristiwa menyangkut pemakaian dua bahasa yang dipergunakan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat, maka antara kedua peristiwa itu Nampak adanya hubungan timbal-balik yang mewarnai sifat masyarakat tuturnya (Suwito, 1983:47).

Untuk menngunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Kedua bahasa tersebut berupa bahasa pertama atau bahasa ibu dan bahasa kedua. Orang yang dapat menggunakan dua bahasa itu disebut dengan dwibahasawan, sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa itu disebut kedwibahasaaan .

Pengertian diglosia diperinci oleh Harimurti Kridalaksana, diglosia adalah situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa yang ada. Satu variasi diberi status “tinggi” dan pakai untuk penggunaan resmi atau penggunaan publik dan mempunyai status

(14)

14

“rendah” dan dipergunakan untuk komunikasi tak resmi dan strukturnya disesuaikan dengan sluran komunikasi lisan (2008: 50).

Dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan , bilingualisme, dan diglosia adalah seseorang atau sekelompok orang yang menggunakan lebih dari dua bahasa atau menguasai dua bahasa . Orang yang menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan dan kemampuan menggunakan dua bahasa disebut kedwibahsaaan.

4. Pembagian Tingkat Tutur Bahasa Jawa (Undha-usuk)

Terdapat dua teori pembagian tingkat tutur yaitu pembagian tingkat tutur tradisional dan pembagian tingkat tutur baru. Pembagian tingkat tutur tradisional dikemukakan oleh Ki Padmasusastra yang secara sistematis dapat dipaparkan sebagai berikut:

a. Basa Ngoko: c. Basa Madya

1). Ngoko Lugu 1). madya-ngoko

2). Ngoko andhap (a). antya-basa 2). madya-krama (b). basa-antya 3). madyantara

b. Basa Krama: d. Krama Desa

1). wredha-krama e. Krama Inggil

2). wudha-krama f. Basa Kedhaton

3). kramantara g. Basa Kasar

Ciri pokok pembagian tingkat tutur tersebut terletak pada bentuk katanya dimana satu jenis dengan jenis lainya saling berbeda (Ki Padmasusastra dalam Sudaryanto, 1989: 98-99). Namun menurut para

(15)

15

pakar, pembagian tingkat tutur sebagaimana yang dipaparkan di depan terlalu dikemas, teoretis dan agak artifisial untuk bahasa Jawa sekarang. Hal tersebut menjadi hambatan untuk generasi muda dalam memahami tingkat tutur bahasa Jawa saat ini, sehingga muncul pendapat teori tingkat tutur yang baru.

Teori tingkat tutur yang baru telah diungkapkan oleh beberapa pakar salah satunya adalah Sudaryanto. Menurutnya, pembagian tingkat tutur bahasa Jawa secara relistis hanyalah ada empat yaitu ngoko, ngoko alus, krama, krama alus. Pembagian empat dengan penyebutan atau penamaan semacam itu menyarankan adanya konsep unsur tingkat halus yang hadir bersama dan di dalam bentuk ngoko dan krama (1989-103).

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan yaitu tingkat tutur atau unggah-ungguh bahasa Jawa menurut teori tradisional sudah tidak relevan lagi digunakan di era sekarang ini sehingga digunakan teori tingkat tutur yang baru. Penelitian ini menggunakan gambaran pembagian tingkat tutur yang dikemukakan oleh Sudaryanto.

Dapat disimpulkan bahwa tingkat tutur atau unggah-ungguh dibagi menjadi empat bentuk yaitu ragam ngoko, ngoko alus, krama, krama alus. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan tingkat tutur ngoko dan krama.

5. Kode

Sebelum membicarakan mengenai alih kode dan campur kode perlu diketahui terlebih dahulu mengenai pengertian kode. Kode adalah suatu sistem tutur yang penerapannya serta unsur kebahasaannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latarbelakang penutur, relasi penutur

(16)

16

dengan lawan tuturnya dalam situasi tutur yang ada (Soepomo Poedjosoedarmo, 1986: 30).

Kode merupakan lambang atau sistem ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu. Bahasa manusia adalah sejenis kode. Kode juga dapat disebut sebagai sistem bahasa dalam suatu masyarakat, dan kode merupakan variasi tertentu dalam suatu bahasa (Kridalaksana, 2008:127).

Kode merupakan bagian dari bahasa. Istilah kode dimaksudkan untuk menyebut suatu varian hierarki kebahasaan seperti variasi resional, variasi khas sosial, ragam, gaya, kegunaaan, dan sebagainya (Suwito, 1983:67).

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kode adalah unsur kebahasaan yang berupa variasi-variasi bahasa yang digunakan masyarakat dalam berkomunikasi. Variasi-variasi bahasa bisa berwujud ragam bahasa, gaya, dialek, dan lain sebagainya sehingga kode berbeda dengan satuan lingual bahasa.

6. Alih Kode

Menurut Suwito alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Apabila yang terjadi adalah antar bahasa asli dengan bahasa asing, maka disebut alih kode ekstern (1983:68-69).

Menurut Harimurti Kridalaksana mengungkapkan bahwa alih kode adalah penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain dalam satu peristiwa bahasa sebagai strategi menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain (2008: 9).

(17)

17

Penggunaan dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu masyarakat tutur disebut dengan alih kode. Bahasa atau ragam yang digunakan tersebut masih memiliki fungsi otonomi masing-masing dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 114).

Menurut salah seorang pakar sosiolinguistik bahwa alih kode merupakan pergantian bahasa atau ragam bahasa tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu. Konsep alih kode ini juga mencakup kejadian dimana terjadi peralihandari satu ragam fungsiolek ke ragam lain, atau dari satu dialek ke dialek yang lain, dan sebagainya(Nababan, 1993:31).

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa alih kode adalah peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Perubahan kode tersebt tidak semata-mata terjadi begit saja, akan tetapi setiap kode itu masih memiliki fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteks dan fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks.

Contoh alih kode adalah sebagai berikut Data 3

Pembeli (O1) : Bu, nasi rames dua ya. „Bu, nasi rames dua ya‟

Penjual (O2) : Paringi endhog boten Mbak? . „Diberi telur tidak Mbak?‟

Pembeli (O1) : “Setunggal paringi, setunggal boten Bu” „Satu diberi, satu tidak Bu.‟

(18)

18

Peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember 2015. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli dan (O2) sebagai penjual. Pada data (3) diatas terjadi peristiwa alih kode intern. Alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam ragam bahasa Jawa krama yang dilakukan oleh pembeli (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa Indonesia kepada penjual yaitu, Bu, nasi rames dua ya „Bu, nasi rames dua ya‟, kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam krama yaitu, setunggal paringi, setunggal boten Bu”. „satu diberi, satu tidak Bu‟. Fungsi peralihan kode dalam komunikasi tersebut adalah lebih komunikatif menjawab pertanyaan dari lawan tutur penjual (O2) menjelaskan pesanan makanan yang O1 inginkan. Sedangkan faktor yang melatarbelakangi menggunakan alih kode adalah lawan tutur (O2). Yaitu pembeli (O1) mulanya menggunakan bahasa Jawa ragam Indonesia saat memesan makanan kepada penjual (O2). Komunikasi (O1) beralih kode ke bahasa Jawa ragam krama karena lawan tutur pembeli (O2) menggunakan bahasa Jawa ragam krama, sehingga (O1) ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur.

a. Bentuk Alih Kode

Alih kode mungkin berwujud alih kode varian, alih ragam , alih gaya atau alih register. Ciri-ciri alih kode adalah penggunaan dua bahasa atau lebih ditandai oleh (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya. (b) fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yangrelevan dengan perubahan konteks (Suwito, 1983: 68-69). Dapat dikatakan bahwa alih kode

(19)

19

menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasi relevensial di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

Dapat disimpulkan bahwa bentuk alih kode adalah varian , alih ragam, alih gaya dan alih register. Alih kode dapat dapat dilihat dari alih bahasa dan alih ragam dalam dua konteks yang berbeda, alih kode ditandai dengan dialihkannya satu bahasa ke bahasa lain sesuai dengan konteks situasi yang berbeda.

kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relevan dengan peralihan kodenya. Dengan demikian alih kode menunjukkan suatu gejala saling ketergantungan antara fungsi kontektual dan relevensial di dalam pemakaian suatu bahasa atau lebih (Suwito, 1983: 69).

Pendapat lain memberikan gambaran tentang fungsi alih kode yaitu (1) memenuhi kebutuhan yang bersifat linguistik memilih kata, frasa, kalimat, wacana yang tepat, (2) menyambung pembicaran sesuai dengan bahasa yang digunakan terakhir (trigerring), (3) mengutip kalimat orang lain, (4) menyebutkan orang yang dimaksud dalam pembicaraan, (5) mempertegas pesan pembicaraan, menyangkut atau menekan argumen (topper) mempertegas keterlibatan pembicaraan (mempersonifikasikan pesan ), (7) menandai dan menegaskan identitas kelomok (solidaritas), (8) menyampaikan hal-hal rahasia, kemarahan, dan kejengkelan, (9) membuat orang lain yang tak dikehendaki tidak bisa memahami pebbicaraan , dan (10) mengubah peran pembicaraan, menaikan status, menegaskan otoritas, memperlihatkan kepandaian (Grosjean dalam Prysta Widyana, 2012:20).

(20)

20

Dari acuan di atas fungsi alih kode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, (1) lebih argumentatif untuk meyakinkan kepada mitra tutur, (2) lebih komunikatif, (3) memberikan penghormatan , (4) mempertegas pembicaraan.

b. Faktor yang Melatarbelakangi Pemakaian Alih Kode

Alih kode adalah peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh faktor-faktor diluar bahasa, terutama faktor-faktor yang siftnya sosio-situasional. Beberapa faktor-faktor tersebut yakni sebagai berikut.

1) Penutur (O1)

Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud. Biasanya usaha tersebut dilakukan untuk mengubah situasi, misalnya situasi resmi menjadi tidak resmi dan sebaliknya.

2) Lawan tutur (O2)

Setiap penutur pada umumya ingin mengimbangi bahasa yang ingin dipergunakan oleh lawan tuturnya. Di dalam masyarakat multilingual itu berarti bahwa sesorang penutur mungkin harus beralih kode sebanyak kali lawan tutur yang dihadapinya. 3) Hadirnya penutur ketiga (O3)

Dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada umumnya saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Tetapi apabila hadir orang ketiga dalam pembicaraaan itu. Dan orang itu berada berbeda latar

(21)

21

kebahasaannya, biasanya dua orang yang pertama beralih kode ke bahasa yang dikuasai oleh ketiganya.

4) Pokok pembicaraan (topik)

Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang termasuk dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan pada dasarnya dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu pokok pembicaraan yang bersifat formal (baku) dan pokok pembicaraan yang bersifat informal (santai) Apabila seseorang penutur mula-mula berbicara tentang hal-hal yang sifatnya formal, dan kemudian beralih ke masalah-masalah informal, maka akan dibarengi pula dengan peralihan kode dari bahasa baku ke bahasa takbaku atau santai

5) Untuk membangkitkan rasa humor

Alih kode dimanfaatkan oleh guru, pemimpin rapat, atau pelawak untuk membangkitkan rasa humor.

6) Untuk sekedar bergengsi

Sebagai penutur ada yang beralih kode sekedar untuk bergengsi. Hal itu seiring terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor-faktor sosio-situasional yang lainnya sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk beralih kode. Atau dengan kata lain, baik fungsi kontekstual maupun situasi releveninya tidak mendukung peralihan kodenya (Suwito, 1983: 72-74).

(22)

22

Dari beberapa acuan di atas, faktor yang melatarbelakani alih kode yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktor sosio-situasional, yaitu (1) penutur (O1), (2) Lawan tutur (O2), (3) Hadirnya penutur ketiga (O3), (4) topik yang dibicarakan , dan (5) untuk membangkitkan rasa humor.

7. Campur Kode

Menurut Harimurti Kridalaksana, campur kode yaitu penggunaan satuan bahasa dari bahasa satu ke dalam bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, termasuk di dalamnya pemakain kata, klausa, idiom, dan sapaan (2008:40).

Menurut Suwito terjadinya campur kode merupakan ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual. Di dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan yang dimaksudkan adalah siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Ciri lain dari gejala dari campur kode adalah bahwa unsur-unsur bahasa atau varian-variannya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi memiliki fungsi-fungsi tersendiri (1983: 75).

Pendapat lain bahwa di dalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode yang terlontar dalam peristiwa tutur itu hanyalah

(23)

23

sebuah serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau keotonomiannya sebagai sebuah kode (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:114).

Ciri yang menonjol dalam campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Dalam situas berbahasa formal, jarang terjadi campur kode, kalau terjadi campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau bahasa daerah atau bahasa asing (Nababan, 1993:32).

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa campur kode adalah penyisipan suatu bahasa ke dalam bahasa lain atau bahasa inti yang berupa kata, klausa, idiom, dan sapaan. Penyisipan suatu bahasa ke dalam bahasa lain tidak memiliki fungsi tersendiri sehingga berbeda dengan alih kode.

Contoh campur kode adalah sebagai berikut.

Data 4

Pembeli (O1) : Pit onthel cilikmu kuwi regane pira Mas? .

„Sepeda onthel kecilmu itu harganya berapas Mas?‟ Penjual (O2) : Kuwi durung rampung lehku ndandani Mas.

„Itu belum selesai saya perbaiki Mas‟

Pembeli (O1) : Rampungana sik saknu, tak tukune, second ta kuwi? „Selesaikan dulu saja, saya beli, second kan itu ?‟

Peristiwa tutur pada data 4 terjadi di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Sabtu 26 Desember 2015 pukul 12:30 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli yang menanyakan

(24)

24

harga sepeda kepada penjual (O2), situasi komunikasi yang terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa penggunaan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh pembeli (O1). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, rampungana sik saknu, tak tukune, second ta kuwi? „selesaikan dulu saja, saya beli, second kan itu ? . Campur kode ini disebut campur kode ekstern yaitu terdapat penggunaan kata dari bahasa Inggris yaitu kata second yang disisipkan ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko. Beban makna penggunaan campur kode pada data 4 tersebut adalah lebih mudah dipahami. Latar belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah faktor lingual, karena tidak ada padanannya dalam bahasa yang digunakan.

a. Bentuk Campur Kode

Campur kode itu dapat berupa pencampuran serpihan kata, frasa, dan klausa suatu bahasa itu di dalam bahasa lain yang digunakan (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 154). Pendapat ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh salah seorang pakar sosiolinguistik bahwa berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya campur kode dibedakan menjadi:

1) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata. 2) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa.

3) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster (gabungan pembentukan kata asli dan asing).

4) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud pengulangan kata 5) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom.

(25)

25

6) Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa (Suwito, 1983:78-80).

Dari acuan di atas bentuk campur kode yang digunakan dalam penelitian ini adalah campur kode penggunaan unsur bahasa lain berwujud (1) kata, (2) frasa, (3) perulangan kata.

b. Fungsi Campur Kode

Menurut Suwito (dalam Dwi Sutana, 20: 17) dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antar peranan dan fungsi kebahsaan. Peranan maksud siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai penutur dengan tuturannya. Berdasarkan pendapat Suwito tersebut, Dwi Sutana (2000 76-89) membagi beberapa fungsi campur kode adalah (1) sebagai penghormatan, (2) menegaskan suatu maksud tertentu, (3) menunjukan identitas diri, (4) pengaruh materi pembicaraan.

Selanjutnya dipaparkan bahwa tujuan penutur (penceramah) melakukan campur kode pada kegiatan penceramah kegiatan kegunaan adalah untuk (1) bergengsi, (2) bertindak sopan, (3) melucu, dan (4) menjelaskan. Kemudian dijelaskan lagi faktor eksternal ditentukan oleh ketepatan rasa (makna) dan kurangnya kosakata ( I Nengah Budiasa, 2008: 136).

Dari beberapa acuan di atas, fungsi campur kode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) bahasa yang digunakan

(26)

26

lebih bervariasi, (2) lebih mudah dipahami, (3) menegaskan penekanan atau maksud, (4) menunjukkan identitas diri.

c. Faktor yang melatarbelakangi Campur Kode

Campur kode terjadi karena hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latarbelakang sosial tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat (Suwito, 1983: 78).

Mengenai latarbelakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu tipe yang melatarbelakangi pada sikap (attitudinal type) dan tipe yang melatarbelakangi kebahasaan (linguistic type). Kedua tipe itu saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih. Atas dasar tersebut penyebab terjadinya campur kode dapat diidentifikasikan sebagai beberapa alas an yaitu sebagai berikut.

1) Identifikasi peran sosial (sosial, register edukasional).

2) Identifikasi ragam (ditentukan oleh bahasa dimana penutur melakukan campur kode yang menempatkan dia pada hierarki status sosialnya).

3) Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan (campur kode menandai sikap dan hubungan terhadap orang lain atau sebaliknya) (Suwito, 1983:77).

(27)

27

Kemudian faktor penyebab terjadinya campur kode juga dibedakan atas dua aspek, yaitu eksternal dan aspek internal. Aspek eksternal merupakan potensi di luar bahasa, yaitu mengungkapkan potensi kebahasaan penutur. Sedangkan aspek internal merupakan kebalikannya, yaitu terikat dengan potensi bahasa itu sendiri dalam keberadaannya di masyarakat (I Nengah Budiasa, 2008:134).

Dari beberapa acuan di atas, faktor yang melatarbelakangi campur kode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, (1) identifikasi peran sosial penutur, (2) tidak ada padanannya dalam bahasa yang digunakan, dan (3) keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.

8. Komponen Tutur

Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, situasi tertentu (Chaer dan Agustina, 2004: 46)

Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur harus memenuhi syarat delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan sebagai akronim SPEAKING (Del Heymes dalam Chaer Agustina, 2004:47). Singkatan SPEAKING ini merupakan fonem awal dari faktor-faktor yang terjadinya peristiwa tutur, berikut penjelasan akronim tersebut.

S : Setting dan scene yaitu tempat bicara dan suasana bicara (misalnya ruang diskusi dan suasana diskusi).

(28)

28

P : Participant adalah pembicara, lawan bicara dan pendengar. Dalam diskusi adalah seluruh peserta diskusi.

E : End atau tujuan adalah tujuan akhir diskusi.

A : Act adalah suatu peristiwa di mana seorang pembicara sedang mempergunakan kesempatan bicaranya.

K : Key adalah nada suara dan ragam bahasa yang digunakan dalam menyampaikan pendapatnya, dan cara mengemukakan pendapatnya. I : Instrument adalah alat untuk menyampaikan pendapat. Misalnya secara lisan, tertulis, lewat telpon dan sebagainya.

N : Norma adalah aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta diskusi.

G : Genre adalah jenis kegiatan diskusi yang mempunyai sifat-sifat lain dari jenis kegiatan yang lain (Suwito, 1983: 32-33).

Disimpulkan bahwa syarat peristiwa tutur harus memenuhi komponen tutur SPEAKING. Komponen tutur tersebut merupakan faktor yang melatarbelakangi tuturan beserta fungsi yang merupakan pengaruh bentuk tutur. Dalam penelitian ini menggunakan komponen tutur SPEAKING untuk mengkaji bentuk alih kode dan campur kode, fungsi penggunaan alih kode dan campur kode, serta faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali.

(29)

29

9. Konsepsi Jual Beli dalam Masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa tentu sudah tidak asing lagi dengan sistem penanggalan Jawa yang dipakai untuk hari pasaran pancawara (siklus pekan) yang terdiri dari Legi, Pahing, Pon, Wage, Kiwon. Masyarakat Jawa sering menggunakan penanggalan dengan sistem siklus pekan tersebut untuk mengadakan pasar yang hanya di adakan setiap satu pekan sekali. Pasar hewan di Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali ini diadakan setiap sepasar (lima hari) sekali yaitu setiap pasaran hari Wage. Di pasar hewan ini hewan yang banyak dijual ialah hewan sapi. Berbagai jenis sapi dijual di pasar ini seperti sapi betina, sapi jantan, dan sapi perah. Letaknya yang strategis berada di pinggir jalan sehingga merupakan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai pasar hewan. Setiap wage banyak para penjual dan pembeli sapi mengunjungi pasar ini bahkan banyak pula yang dari luar kota Boyolali seperti penjual dan pembeli dari Sragen, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo, Surakarta dan kota-kota yang lainnya, banyaknya para pembeli lebih memilih membeli sapi di pasar ini karena sudah terkenal dengan harganya yang lebih murah dibandingkan dengan pasar hewan lainnya. Selain penjual dan pembeli sapi di pasar ini juga banyak penjual barang-barang lain yang masih ada hubungannya dengan peternakan sapi, seperti penjual obat lain, penjual tali tambang yang biasa digunakan untuk mengikat sapi, dan masih banyak lagi.

(30)

30

G. Metode Penelitian

Istilah metode dalam penelitian linguistik ditafsirkan sebagai strategi kerja berdasarkan rancangan tertentu. Dengan demikian, rancangan tersebut merupakan kerangka berpikir untuk menentukan metode sekaligus teknik penelitian. Istilah teknik dapat diartikan sebagai langkah dalam kegiatan yang terdapat pada kerangka srategi kerja tertentu. Secara lebih khusus teknik adalah pengumpulan data dan teknik analisis data (Edi Subroto, 1992: 32).

1. Tingkatan Penelitian

Penelitian ini deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif artinya studi kasusnya mengarah pada pendeskripsian secara rinci, mendalam, dan benar-benar potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan (Sutopo, 2002: 111). Sedangkan penelitian kualitatif artinya teknik penentuan sampelnya dengan cuplikan (nukilan) yang lazim juga disebut purposive sampling. Teknik nukilan maksudnya sampel ditentukan secara selektif berdasarkan teori yang dipakai, tujuan penelitian, dan permasalahan penelitian. Sumber datanya diarahkan pada sumber data yang memiliki data penting, produktif, sesuai dengan permasalahan penelitian teori dan tujuan penelitian. (Sutopo, 2002: 36).

Oleh karena itu penelitian ini mendeskripsikan dan menggambarkan fenomena kebahasaan serta sosial secara rinci dan mendalam sesuai dengan fakta di lapangan. Data yang terkumpul adalah bahasa komunikasi yang berupa kata-kata dan atau kalimat

(31)

31

yang dianggap penting sesuai permasalahan yang akan diteliti, tujuan penelitian, dan teori yang digunakan.

2. Alat Penelitiaan

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat utama dan alat bantu. Alat utama merupakan paling dominan dalam penelitian, sedangkan alat bantu berguna untuk membantu jalannya penelitian. Alat utama merupakan peneliti sendiri artinya kelenturan sikap peneliti mampu menggapai makna dari berbagai interaksi (Sutopo, 2002: 35-36). Selain itu, dengan ketajaman intuisi kebahasaan (lingual) peneliti mampu membagi data secara baik menjadi beberapa unsur (Sudaryanto, 1993 31-32). Peneliti sendiri dengan instuisi lingual (kebahasaan) peneliti bisa bekerja secara serta merta menghayati terhadap bahasa yang diteliti secara utuh (Edi Subroto, 1992: 23).

Alat bantu dalam penelitian ini meliputi alat elektronik dan alat tulis-menulis, alat elektonik berupa laptop, handphone (alat perekam), dan flashdisk. Alat tulis berupa pensil, bolpoin, stabile, kertas dan buku tulis.

3. Data dan sumber Data

Data dapat dijadikan sebagai bahan penelitian, dan bahan penelitian yang dimaksud adalah bukan bahan mentah melainkan bahan jadi (Sudaryanto, 1990: 3). Data dalam penelitian ini adalah data lisan yang berwujud tuturan yang digunakan dalam komunikasi di

(32)

32

Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali yang mengandung alih kode dan campur kode. Tuturan yang diambil adalah tuturan yang alami wajar. Alami atau wajar maksudnya bahasa yang digunakan tidak direkayasa, tetapi peristiwa dan bahasa yang berlangsung secara wajar atau alami dalam komunikasi sehari-hari secara lisan.

Sumber data adalah si penghasil atau pencipta bahasa sekaligus tentu saja si penghasil atau pencipta data yang dimaksud biasanya dinamakan narasumber (Sudaryanto, 1993: 35). Sumber data secara menyeluruh dapat dikelompokkan menjadi beberapa yaitu narasumber (informan), peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, beragam gambar, dan rekaman, serta dokumen atau arsip (Sutopo,2002: 50-54).

Sumber data pertama, berasal dari informan sebagai pengguna bahasa dalam penelitian ini. Informan yang dimaksud adalah penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Sumber data yang kedua, adalah tempat sasaran penelitian, yaitu pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Sumber data yang ketiga, adalah kegiatan komunikasi oleh pedagang dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Pasar hewan ini dipilih karena sebagai tempat sarana jual beli hewan yang terdapat banyak penjual dan pembeli sapi dari berbagai kota dan dengan latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena itu

(33)

33

bahasa yang digunakan pun beragam dan memungkinkan terjadinya alih kode dan campur kode.

4. Sampel

Sampel penelitian adalah data yang berasal dari sumber data yang disahkan untuk dikaji dan dijadikan objek penelitian sesuai dengan teori dan rumusan masalah yang digunakan dan tujuan penelitian. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Pada teknik purposive sampling pilihan sampel ditentukan secara selektif berdasarkan teori yang dipakai, tujuan penelitian, dan permasalahan penelitian. Sumber datanya diarahkan pada sumber data yang memiliki data penting, produktif, sesuai dengan permasalahan penelitian. (Sutopo, 2002: 36). Adapun sampel dalam penelitian ini adalah tuturan dalam komunikasi penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali.

5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2008:36). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode simak. Metode simak adalah menyimak penggunaan bahasa. Ini dapat disejajarkan dengan pengamatan atau observasi dalam ilmu sosial (Sudaryanto, 1993: 133). Metode simak dilakukan dengan menyimak pengguaan bahasa penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun

(34)

34

Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Teknik yang digunakan dalam metode ini berupa teknik dasar dan teknik lanjutan.Teknik dasar yang dipakai adalah teknik sadap yaitu menyadap penggunan bahasa dalam pembicaraan atau tuturan informan. Setelah itu dilanjutkan dengan teknik lanjutan berupa teknik simak bebas libat cakap (SBLC), rekam , dan catat.

Teknik simak bebas libat cakap (SBLC) adalah teknik untuk memperoleh data di mana peneliti hanya berperan sebagai pengamat pemakaian bahasa pada tuturan informan (Sudaryanto, 1993: 134). Pada teknik ini peneliti hanya menyimak pembicaraan dari informan yang dipilih. Peneliti tidak ikut campur dalam pembicaraan yang dipilih. Peneliti tidak ikut campur dalam pembicaraan baik sebagai pembicara maupun lawan bicara.

Teknik rekam yaitu teknik untuk memperoleh data dengan menggunakan alat perekam yaitu handphone untuk merek am semua tuturan informan. Perekaman dalam penelitian ini dilakukan tanpa sepengetahuan penutur sumber data atau pembicara, sehingga data yang diperoleh merupakan tuturan yang wajar atau alami.

Teknik catat yaitu mencatat data relevan yang sesuai dengan sasaran atau tujuan penelitian. Teknik catat digunakan untuk mencatat hasil observasi yang telah dilakukan peneliti. Selain itu, teknik catat dilakukan untuk mentranskripsikan data yang berbentuk rekaman suara ke dalam data yang berbentuk tulisan agar memudahkan penelitian.

(35)

35

Adapun langkah-langkah pengumpulan data adalah pertama, peneliti menyimak penggunaan bahasa dalam peristiwa tutur lalu merekam semua data lisan. Kemudian peneliti mencatat hal-hal yang dianggap penting dalam peristiwa tutur antara lainidentitas penutur , waktu, tempat, suasana tutur, topik pembicaraan. Data rekaman adalah sumber data primer. Hasil rekaman berupa komunikasi antara penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Kemudian semua hasil rekaman ditranskripsi dan selanjutnya data yang dikumpulkan dipilih dan dipilah berdasarkan permasalahan dengan cara menggunakan stabilo. Kemudian yang terakhir menganalisis data sesuai rumusan yang diajukan yaitu, bentuk alih kode dan campur kode, fungsi alih kode dan campur kode, serta factkr yang melatarbelakangi alih kode dn campur kode menggunakan metode distribusional dan metode padan.

6. Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu distribusional dan padan untuk menganalisis data. Metode distribusional yaitu metode analisis data yang alat penentunya unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Metode distribusional dalam penelitian ini menggunakan teknik BUL. (Bagi Unsur Langsung). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual data, menjadi unsur-unsur yang lebih kecil. Unsur –unsur yang lebih kecil itu merupakan ruas-ruas data atau jeda-jeda data. Metode distribusional dengan teknik BUL utamanya digunakan untuk mengkaji bentuk

(36)

36

campur kode. Dari setiap ruas data itu dapat dikaji berdasar atas SPEAKING.

Selanjutnya untuk menganalisis lebih luas dan mendalam menggunakan metode padan. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Teknik dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Pilah Unsur Penentu (PUP). Ada lima subjenis berdasarkan pada alat penentunya yaitu alat penentunya berupa referent, alat ucap/organ wicara, bahasa lain, bahasa tulisan, dan lawan bicara (Edi Subroto, 2007: 56-69). Dalam penelitian ini menggunakan teknik dasar PUP. Dengan alat penentunya berupa referen. Metode padan dengan alat penentunya referen yaitu kenyataan yang ditunjuk bahasa (benda, barang, objek, tindakan, peristiwa, perbuatan, kejadian, sifat, kualitas, keadaan, derajat, jumlah, dan sebagainya). (Edi Subroto, 2007:59). Dalam penelitian ini pendekatannya menggunakan SPEAKING. Pendekatan dengan SPEAKING digunakan untuk mengkaji alih kode serta fungsi dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode, karena di dalamnya mengandung fenomena sosial dan situasional penggunaan bahasa. Contoh penerapan metode distribusional dan metode padan pada penggunaan alih kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali.

(37)

37 Data 1

Pembeli (O2) :Sapimu sing etan karo sing kulon regane pas?, daknyang oleh ora?, sing oleh dinyang sing ndi? .

„Sapimu yang timur dan yang barat harganya pas?, saya tawar boleh tidak?, yang boleh ditawar yang mana?‟

Penjual (O1) :Lha nek nganyang niku angsal mawon Mbah. „kalau menawar itu boleh saja Kek‟

Pembeli (O2) :Sing etan pa singkulon ? . „yang timur apa yang barat‟

Penjual (O1) : Nek sing etan aja, ning nek sing kulon dakwenehke.

„Kalau yang timur jangan, tapi kalau yang barat saya berikan‟

Pembeli(O2) : Aja larang-larang ngono hlo. „Jangan mahal-mahal begitu‟

Penerapan analisis menggunakan SPEAKING dapat menjawab bentuk, fungsi, dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa alih kode di atas adalah sebagai berikut. Peristiwa tutur pada data (1) terjadi di Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember 2015 pikul 11:13 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual dan (O2) sebagai pembeli yang sedang berkomunikasi membicarakan tentang kesepakatan harga sapi. Keduanya belum saling mengenal, situasi komunikasi yang terjadi adalah santai.

Dalam komununikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada pembeli yaitu, nganyang niku angsal mawon Mbah „menawar itu boleh saja Kek‟ kemudian beralih kode ke bahasa Jawa ragam ngoko yaitu, nek sing etan aja, ning nek sing kulon dak wenehi ‟kalau yang timur

(38)

38

jangan, tapi kalau yang barat saya berikan‟. Alih kode ini disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam krama ke dalam bahasa Jawa ragam ngoko yang menimbulkan fungsi baru.

Fungsi penggunaan kode pertama penjual (O1) menggunakan bahasa Jawa ragam krama kepada pembeli (O2) adalah untuk memberikan penghormatan kepada pembeli (O2) karena baru mengenal. Kemudian O1 beralih kode kedua menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kepada O2. Fungsi peralihan kode tersebut adalah lebih argumentatif meyakinkan mitra tutur (O2) bahwa boleh menawar dengan harga yang dikehendaki mitra tutur asalkan untuk sapi yang di sebelah barat dan bukan sapi yang sebelah timur. Masing-masing masih mempertahankan fungsi.

Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah lawan tutur (O2) yaitu penjual (O2) pada mulanya menggunakan bahasa Jawa ragam krama saat berbicara dengan pembeli (O2) karena menghormati (O2) sebagai pembeli. Kemudian (O1) beralih kode ke bahasa Jawa ragam ngoko karena lawan tutur pembeli (O2) menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko, sehingga (O1) ingin mengimbangi bahasa yang dipergunakan oleh (O2). Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur.

Contoh penerapan metode distribusional dan metode padan pada penggunaan campur kode dalam komunikasi penjual dengan pembeli

(39)

39

di Pasar Hewan Dusun Purworejo Desa Jeron Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali.

Data 2

Penjual (O1) : Piye nek pilih sing tipe iki, luwih apik tinimbang tipe sing kuwi ngarepmu kuwi mas.

„Bagimana kalau pilih yang jenis ini, lebih bagus daripada jenis yang itu depan Anda itu mas‟

Peristiwa tutur pada data 2 terjadi di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember 2015 pukul 09:30 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual yang menjelaskan tentang jenis-jenis sapi yang dia jual kepada pembeli agar pembeli tertarik membeli sapinya, situasi komunikasi yang terjadi santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat peristiwa campur kode berupa penggunaan kata dari bahasa lain yang dilakukan oleh pembeli (O2). Pada kalimat berbahasa Jawa ragam ngoko yaitu, piye nek pilih sing tipe iki, luwih apik tinimbang tipe sing kui ngarepmu kui mas „gimana kalau pilih yang jenis ini, lebih bagus daripada jenis yang itu depan Anda itu mas‟, terdapat penggunaan kata dari bahasa Indonesia yaitu kata tipe dalam tuturan bahasa Jawa ragam ngoko yaitu piye nek pilih sing tipe iki „bagaimana kalau pilih yang ini‟. Campur kode ini disebut campur kode ekstern yaitu disisipknnya kata dari bahasa Indonesia ke dalam tuturan berbahasa Jawa ragam ngoko.

Beban makna penggunaan campur kode pada data 2 di depan adalah bahasa yang digunakan lebih bervariasi. O2 menunjukan bahwa

(40)

40

dirinya menguasai bahasa Indonesia sehingga memasukan kata tipe dalam tuturannya kepada pembeli yang memilih sapi. Latar belakang yang menyebabkan terjadinya campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan, penutur O1 ingin menjelaskan berbagai jenis sapinya kepada pembeli sehingga dia memasukan kata dari bahasa lain agar lebih nyaman untuk menjelaskan. Masuknya kata itu tidak menimbulkan fungsi baru. Latar belakang penggunaan campur kode ini disebut dengan faktor praktikal, karena penutur lebih nyaman menggunakan bahasa lain untuk menjelaskan atau menafsirkan.

7. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data pada penelitian ini adalah metode deskriptif, formal dan informal. Istilah deskriptif itu meyarankan bahwa penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hidup pada penutu-penuturnya (Sudaryanto, 1992: 62). Penelitian ini cocok menggunakan penyajian hasil analisis data metode deskrptif karena penelitian ini berdasarkan fakta-fakta yang hidup pada penuturnya, sepeti yang dikemukakan oleh Sudaryanto tersebut.

Metode penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambing-lambang. Khusus mengenai penggunaan tanda dan lambang dalam metode penyajian formal itu, dapat disebut teknik dasar (Sudaryanto. 1993: 145). Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993: 145). Dengan kata lain metode ini

(41)

41

menggunakan kata-kata sederhana agar mudah dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian ini agar dapat mempermudah pemahaman terhadap setiap hasil penelitian.

Hasil analisis data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan dalam komunikasi penjual dan pembeli di Pasar Hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali yang berupa bahasa Jawa berdasar pada bentuk alih kode dan campur kode. Selain itu juga fungsi dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode.

(42)

42

BAB II

ANALISIS DATA

Bab II analisis data membahas mengenai tiga hal yaitu, (1) bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dengan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali, (2) fungsi alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dengan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali, (3) faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dengan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.

A. Bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.

1. Bentuk Alih Kode

Bentuk alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali, ditemukan alih kode bahasa atau alih kode variasi bahasa yang dapat dibedakan menjadi 4 macam yaitu, (1) alih kode dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, (2) alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke dalam bahasa Jawa ragam Krama, dan (3) alih kode bahasa Jawa ragam krama ke

(43)

43

dalam bahasa Jawa ragam ngoko. Berikut ini bentuk pengunaan alih kode dan campur kode dalam komunikasi penjual dan pembeli di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali.

a. Alih kode dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia Data 5

Pembeli (O1) : Golek sapi, Mas. kandhange wis padha reget ya. „Nyari sapi, Mas?. Kandangnya semua kotor ya‟ Penjual (O2) : jarene mulai pembangunan Pak?

„Katanya mulai pembangunan Pak?‟

Pembeli (O1) :Kata pak Lurah, kemarin juga sudah maju kok proposalnya.

„Katanya pak Lurah, kemarin juga sudah maju kok proposalnya‟

Penjual (O2) : Wah berarti ya segera itu. „ Wah berarti ya segera itu‟

Pembeli (O1) : lha kudune ya ngono ya Mas, delok wae engko. „Harusnya ya gitu ya Mas, lihat aja nanti‟

Peristiwa tutur pada data 5 terjadi di di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember 2015 pukul 10:15 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai pembeli dan (O2) sebagai penjual yang sedang membicarakan tentang keadaan kandang di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali yang sudah mulai kotor dan jelek keduanya sudah saling mengenal, pembeli yang ingin membeli sapi sekaligus sebagai carik di dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali, situasi komunikasi yang terjadi adalah santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa yang dilakukan oleh

(44)

44

pembeli (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa kepada (O2) yaitu golek sapi, Mas. kandhange wis padha reget ya „nyari sapi, Mas?. Kandangnya semua kotor ya‟ kemudian beralih kode ke bahasa Indonesia yaitu kata pak Lurah, kemarin juga sudah maju lho proposale „Katanya pak Lurah, kemarin juga sudah maju lho proposalnya‟. Alih kode

tersebut disebut alih kode intern yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Indonesia yang menimbulkan fungsi baru.

Fungsi peralihan kode tersebut adalah lebih komunikatif memberitahu kepada mitra tutur bahwa proposal pembangunan pasar hewan sudah diurus oleh Pak lurah dan sudah diterima oleh pemerintah.

Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah lawan tutur (O2) yaitu penjual menggunakan bahasa Indonesia untuk menjawab pertanyaan dari pembeli (O1) yang sebagai pembeli sekaligus seorang Pak carik di desa Jeron. Kemudian pembeli (O1) yang pada mulanya menggunakan bahasa Jawa kemudian beralih kode ke dalam bahasa Indonesia, sehingga (O1) ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh (O2). Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur.

Data 6

Penjual (O1) : Anu ki Mas, jinise lho anakan apa rodo gedhe Mas ? „Gini Mas, jenisnya itu yang kecil apa agak besar Mas?‟ Pembeli (O2) : Punya Bapak dari kanan ini?

„ Punya Bapak dari kanan ini?‟

Penjual (O1) : Iya kanan ini, ini lho Mas satu baris. „Iya kanan ini, ini lho Mas satu baris‟ Pembeli (O2) : Besar-besar nggih.

„Besar-besar ya‟

(45)

45

„ Pak Paidi yang agak anakan kecil Mas‟ Pembeli (O2) : Pak Paidi udah satu tadi.

„ Pak Paidi sudah satu tadi‟

Peristiwa tutur pada data 6 terjadi di di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Senin 21 Desember 2015 pukul 09:38 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O2) sebagai penjual yang sedang membicarakan tentang sapi yang kemarin sudah dibicarakan yang ingin dibeli oleh (O1) dan ditanyakan kembali oleh (O2) kepada (O1) lalu (O1) memberikan beberapa pilihan, situasi komunikasi yang terjadi adalah santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa kepada (O2) yaitu anu ki Mas, jinise lho anakan apa rada gedhe Mas? „Gini Mas, jenisnya itu lho kecil apa agak besar Mas?‟ kemudian beralih kode ke bahasa Indonesia yaitu iya kanan ini, ini lho Mas satu baris „iya kanan ini, ini lho Mas satu baris‟. Alih kode tersebut disebut alih kode intern, yaitu alih kode dari bahasa Jawa ragam ngoko ke bahasa Indonesia yang menimbulkan fungsi baru.

Fungsi peralihan kode tersebut adalah mempertegas pembicaraan yaitu memberitahu kepada mitra tutur bahwa sapi yang dia jual berada satu baris dari kanan. Karena berasal dari Jakarta dan sedkit mengetahui tentang bahasa Jawa maka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia kemudian penjual mempertegas pembicaraan menggunakan bahasa Indonesia agar pembeli jelas dengan apa yang dia bicarakan.

(46)

46

Faktor yang melatarbelakangi penggunaan alih kode adalah lawan tutur (O2) yaitu penjual (O1) pada mulanya menggunakan bahasa Jawa karena dia penduduk asli, kemudian saat menjawab pertanyaan pembeli (O2) menggunakan bahasa Indonesia karena ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh (O2) dan agar bahasa yang digunakan lebih dimengerti karena pembeli (O2) berasal dari Jakarta. Latar belakang alih kode ini disebut dengan faktor situasional, karena mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur.

Data 7

Penjual (O1) : Pesen apa wae mau Dhik? „Pesen apa saja tadi Dek?‟ Pembeli (O2) : Mie ayam satu, mieso satu Buk.

„Mie ayam satu, mieso satu Buk‟ Penjual (O1) : Minumnya apa aja Dhik.

„Minumnya apa saja Dek?‟

Pembeli (O2) : Es teh manis sama es teh tawar Buk. „Es teh manis sama es teh tawar Buk‟

Peristiwa tutur pada data 7 terjadi di di pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan Nogosari kabupaten Boyolali. Waktu peristiwa tutur yang berlangsung terjadi pada hari Selasa 11 Oktober 2016 pukul 13:00 WIB. Komunikasi dilakukan oleh (O1) sebagai penjual dan (O2) sebagai pembeli, pemjual menanyakan pesanan kepada pembeli, komunikasi yang terjadi adalah santai. Dalam komunikasi tersebut terdapat alih kode intern, alih kode dari bahasa Jawa yang dilakukan oleh penjual (O1). Pada awalnya (O1) menggunakan bahasa Jawa kepada (O2) yaitu pesen apa wae mau Dhik? „Pesen apa saja tadi Dek?‟, kemudian beralih kode ke bahasa Indonesia yaitu minumnya apa aja Dhik? „Minumnya

Gambar

Gambar 2. Daftar Buku tamu pasar hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan   Nogosari kabupaten Boyolali
Gambar 4. Para penjual dan pembeli yang sedang tawar menawar harga.
Gambar 5. Aktifitas Pasar Hewan dusun Purworejo desa Jeron kecamatan   Nogosari kabupaten Boyolali

Referensi

Dokumen terkait

Peran stakeholder dalam konservasi TNKpS lebih dominan pada peran positif yang berdampak baik terhadap fungsi perlindungan kawasan, pengawetan keanekaragaman hayati dan

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan strategi penerjemahan yang diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan teks Piagam Madinah dan (2) mendekripsikan

Sedangkan Code Division Multiple Access (CDMA) adalah sebuah bentuk pemultipleksan (bukan sebuah skema pemodulasian) dan sebuah metode akses secara bersama yang

Dalam hal ini digunakan rujukan dari penelitian yang dilakukan oleh Siti Sara (2013) meneliti tingkat kepuasan konsumen terhadap gerai kopi di Kota Medan dari hasil

Strategi bisnis TI/SI yang perlu dijalankan oleh perguruan tinggi STTW pada masa yang akan datang adalah menentukan warna (keunggulan) dari masing-masing program studi sehingga calon

Usaha lain yang dilakukan yaitu dengan mengikutsertakan guru pada Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). PLPG merupakan program yang untuk sementara ini dapat

Departemen pendidikan Lithuania yang telah mengimplementasikan pendidikan antikorupsi di negaranya sejak 2005 mengatakan bahwa tugas utama dari pendidikan anti

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil penggunaan amlodipine yang diterima pasien stroke iskemik terkait dosis, rute interval pemberian,