• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI NASIONALISME KEBANGSAAN dampak GLOBALISA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RELASI NASIONALISME KEBANGSAAN dampak GLOBALISA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI NASIONALISME KEBANGSAAN, GLOBALISASI DAN KEDAULATAN NEGARA

Oleh: Syafuan Rozi Soebhan

(Periset di Pusat Penelitian Politik-LIPI, Jakarta)

Abstrak

Tulisan ini berusaha mengelaborasi lebih lanjut mengenai relasi kedaulatan dan globalisasi kontemporer. Pembahasan tulisan dilakukan dengan cara mengkompilasi berbagai konsep, debat teoretis dan contoh faktual yang terkait dengan konsep nasionalisme, globalisasi dan kedaulatan negara, dan juga beberapa kemungkinan pola relasi ketiganya. Dalam tulisan ini akan ditunjukkan bahwa konsep-konsep tersebut saling berinteraksi dengan fakta, kepentingan dan konteks. Relasi mengenai nasionalisme dan kedaulatan bangsa sendiri mengalami pasang surut ketika ada terpaan dan benturan kepentingan asing, nasional dan lokal dalam globalisasi dalam berbagai aspek. Hal tersebut berimplikasi pada posisi negara yang bisa kuat, sedang dan kadangkala melemah, seiring dengan pasang surut kadar nasionalisme yang berkembang dalam suatu negara.

Premis penting yang diangkat dalam tulisan ini adalah pengaruh globalisasi dapat memperkuat dan juga dapat memperlemah kedaulatan negara, sebagai ilustrasi tergantung berapa tingkatan kadar Keindonesiaan akan diartikulasikan. Jika kadar nationhood atau kebangsaan yang akan dimainkan tinggi oleh suatu negara maka dampaknya akan lahir kebijakan-kebijakan yang memposisikan kepentingan nasional harus dimenangkan dalam berhadapan dengan kepentingan global sehingga tercapai kondisi kedaulatan negara. Ketiganya cenderung memiliki komposisi struktural dan fungsi yang mirip yaitu melibatkan peran negara dan masyarakat, serta berfungsi sebagai perekat kepentingan kolektif kebangsaan dan sebagai model interaksi warga dunia dalam konteks globalisasi. Ketiganya tidak mungkin dipisahkan atau dikategorisasikan sebagai konsep tunggal yang berdiri-sendiri. Namun merupakan hasil perdebatan dinamis dan dialektika yang terus-menerus berkembang, berkontestasi dan kemudian membangun kesimbangan baru, baik dalam tataran konsep maupun praksis.

Kata kunci: Kajian Konseptual, Nasionalisme Kebangsaan, Globalisasi. Kedaulatan Negara.

A. Pengantar

Dalam perkembanganannya ada beberapa istilah yang terkait dengan konsep kedaulatan, antara lain kedaulatan tuhan, kedaulatan rakyat, kedaulatan bangsa, kedaulatan negara-bangsa, kedaulatan nasion dan kedaulatan negara. Dalam tulisan ini, penulis memakai konsep ‘kedaulatan negara’ dengan alasan bahwa relasi globalisasi dan nasionalisme ingin dilihat dalam perspektif politik, yaitu unit analisisnya negara. Di dalam suatu negara, minimal terdapat unsur-unsur negara seperti rakyat atau warga negara, wilayah, pemerintah yang berdaulat serta pengakuan dari negara lain

(2)

perumahandan lain-lain, yang secara bertahap membentuk suatu indikasi menguat atau melemahnya kedaulatan suatu negara. 1

B. Batasan Kajian Nasionalisme Kebangsaan, Globalisasi dan Kedaulatan Negara Jika dilihat dari batasan kajian dan fungsinya, konsep nasionalisme akan membuat suatu negara, mampu memiliki kekuatan dan kegigihan sentimen dan identitas nasionalnya yang khas yang melahirkan konsep kedaulatan.2 Perasaan nasionalisme berciri dengan adanya rasa memiliki, keinginan untuk merawat, menjaga dan memiliki kebanggaan menjadi bagian darinya. Para nasionalis berbangga dengan adanya kedaulatan negara dengan menyebut kejayaan masa lampau yang dimiliki Indonesia masa lalu hingga sekarang adalah sejarahnya dan seakan-akan dialami oleh semua kelompok yang menjadi bagiannya.3

Di Indonesia wacana itu terlihat ketika orang bicara tentang kejayaan dan kedaulatan negara Nusantara pertama dan kedua yang bernama Majapahit atau Sriwijaya. Keduanya, dinilai megah dan hebat dinilai dari luasnya teritori daratan dan lautan sebagai wilayahnya yang berdaulat. Wilayah Majapahit dan Sriwijaya digambarkan memiliki teritori yang lebih luas hingga ke Madagaskar, Semenanjung Malaya, Mindanau, Formosa, hingga Papua. Majapahit juga dibanggakan dengan adanya Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara dan Seloka Bhineka Tunggal Ika sebagai nilai bersama dalam menghargai keberagaan yang ada. Begitupun, Sriwijaya dibanggakan dengan poros maritim lautnya, bertahta di Temasik Singapura, dan hadirnya perguruan Nalanda yang mengembangkan peradaban dan keutamaan di jamannya.4

Dalam perkembangan kajian teoritik, batasan relasi nasionalisme dan globalisasi terhadap kedaulatan negara dapat bersifat negatif, netral dan positif. Dalam konteks negatif, relasi nasionalisme dan globalisasi terhadap kedaulatan bangsa ada dalam spektrum kiri, menganggap globalisasi cenderung bersifat ancaman dan menggerus atau memperlemah kadar nasionalisme suatu bangsa dan ujungnya memperlemah kedaulatan negara tersebut. Indikasinya negara lebih membela kepentingan asing ketimbang kepentingan anak negerinya. Hubungan yang terjadi adalah pola ketergantungan dan bekerjanya mesin komprador, elit nasional yang lebih mengutamakan kepentingan asing dan kroninya ketimbang kepentingan negara dan bangsanya sendiri.

Dalam spektrum positif, globalisasi malah akan memperkuat kadar nasionalisme suatu bangsa, karena tantangan global malah akan secara positif membangun kesatuan, solidaritas dan kemandirian sehingga melahirkan posisi kedaulatan negara untuk menentukan sendiri apa yang mereka ingingkan tanpa didikte oleh pihak luar. Globalisasi dianggap sebagai hal positif dan menguntungkan dengan munculnya sentimen kebangsaan yang menggerakan semua pihak untuk bangkit menjadi kekuatan penting di tingkat global.

Globalisasi juga dapat dianggap sebagai suatu yang netral, tidak memperkuat dan tidak juga menggerus nasionalisme, semuanya ada dalam kesimbangan yang bisa dikelola

1Ibid,. Eriksen 1993:hlm. 102-4.

2 Lihat Benedict, Anderson, Imagined Communities. Reflections on the Origins and the Spread of

Nationalism, 2nd edition (London: Verso, 1991). Hlm. 9

3 Lihat, Thomas Hylland, Eriksen, Ethnicity and Nationalism, London (Chicago, Illinois: Pluto Press,

1993). Hlm. 101-102.

4 Lihat juga Muridan S. Widjojo, “Nasionalisme dan Etnisitas”, dalam Firman Noor, Nasionalisme,

(3)

dengan baik. Konteks globalisasi yang ada dalam spektrum tengah yang netral dan meyakini adanya kemungkinan untuk mencapai kesimbangan antara semangat nasionalisme, globalisasi dan kedaulatan bangsa yang ditunjukkan dalam bagan berikut ini.

Bagan 2.

Relasi Nasionalisme Kebangsaan dan Globalisasi terhadap Kedaulatan Negara

Ket.: Diolah dari Muradi oleh Syafuan Rozi, P2P LIPI, Oktober 2015.

Sebagai ilustrasi dalam spektrum kanan yaitu paradigma positif yang optimis, menilai bahwa globalisasi berdampak baik untuk memperkuat kedaulatan negara dan merawat semangat nasionalisme itu sendiri. Kita juga dapat memasukan faktor interver-variable yaitu pengaruh media internet ICT (Information Communication Technology) dalam menganalisa kadar kebangsaan, kedaulatan negara dalam era globalisasi, ketika ada perang di dunia maya atau cyberclash antar bloger-milister Indonesia dan Malaysia tentang ‘Malingsia’ dan ‘Indonesial’, telah memperkuat rasa kebangsaan dan pembelaan warga negara terhadap kedaulatan Indonesia di dunia maya bagi pengguna internet Indonesia dalam membela kepentingan dan kedaulatan nasional Indonesia terkait lepasnya pulau perbatasan Sipadan Ligitan ke Kerajaan Malaysia dalam keputusan Mahkamah Internasional di Denhaag, menolak klaim Batik, lagu ‘Rasa Sayange’, kuliner rendang, dan tarian reog sebagai warisan budaya sesuai Akta Kebangsaan Malaysia, namun perlu disebut dan adanya pengakuan bahwa hal tersebut merupakan warisan budaya Nusantara asal Indonesia.5

Dalam spektrum kiri yang skeptis, ada pandangan pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme dan kedaulatan bangsa. Globalisasi tanpa identitas dan kebanggaan nasional akan mampu melemahkan masyarakat Indonesia. Contohnya liberalisme dengan pengutamaan prinsip ekonomi ‘dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya’ dapat membawa kemajuan dan kemakmuran, hanyalah impian semu belaka. Sehingga tidak menutup kemungkinan ‘kerakusan’ dan ‘keserakahan’ yang tersirat dalam ‘capitalisme greedy’ tersebut dapat mengubah semangat

5 Lihat Syafuan Rozi dalam Jurnal Kajian Wilayah PSDR LIPI Vol.1 No.2. 2010, “Cyber clash di dunia

(4)

Pancasila anak-negeri Indonesia ke praktek liberalisme ekstrem, konsumerisme dan hedonistik (hanya mencari kesenangan sesaat).

Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme dan kedaulatan nasional akan hilang tergerus pelan-pelan menjadi oportunisme (aji mumpung), anomi (kebingunan nilai) dan kondisi anarkhis (tak ditaatinya pengelola negara yang absah) sehingga menjadi peringatan dini bagi antisipasi krisis politik identitas Indonesia dalam era globalisasi. Selain itu, memunculkan sikap egoisme dan antisosial yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga, yang berlawanan dengan prinsip Pancasila, persatuan Indonesia. Dengan adanya sikap egoisme individual maka orang Indonesia, namun tidak akan peduli dengan kehidupan dan nasib bangsanya, yang melawan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagi contoh untuk membumikan konsep kedaulatan negara, nasionalisme kebangsaan dan adanya dampak globalisasi yang asimetris, bisa dijelsakan dengan adanya gejala ketimpangan pola konsumsi kuliner berbahan dasar daging impor atau asing dibanding kuliner nasional dan lokal, dalam konteks terjadinya lemah posisi kedaulatan pangan di Indonesia era reformasi pasca Presiden Soeharto. Masa Soeharto, dengan peternakan Tapos-nya, ada ketahan pangan daging yang subsisten. Namun pasca-Soeharto, idealnya ada kehadiran negara dalam politik pangan dalam hal kesimbangan antara rasa cinta terhadap produk dalam negeri dengan banyaknya produk luar negeri yang hadir (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut, daging impor Bistro Australia dengan daging sapi asal NTB-NTT, dll.). Isu kedaulatan pangan akan bersinggungan dengan persoalan politik ketahanan dan kecukupan pangan di Indonesia: siapa mendapat panganapa, kapan dan bagimana dalam kerangka Harold Laswell.

Posisinya, kedaulatan pangan negara dalam hal komiditas pangan daging cenderung melemah jika tidak ada keberpihakan pada peningkatan produksi peternak lokal dan membangun sistem transportasi ternak antarpulau di Indonesia. Juga belum optimumnya upaya negara mempromosiklan makanan rendang, rawon, soto dan sebagainya tidak cuma simbolik kebanggaan nasional namun ‘go global’ menembus pasar dunia dalam bentuk kedaulatan pangan kuliner nusantara di tingkat global. Sehingga secara sederhana misalnya ada analisa bahwa dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri, menunjukkan gejala berkurangnya rasa nasionalisme dan kebanggaan produk nasional. Hal itu akan menggerus kedaulatan pangan Indonesia dan memperlemah kedaulatan negara. Terpaan produk asing terhadap bangsa Indonesia yang kurang bangga memiliki identitas dan warisan budaya kuliner nasional, akan mematikan kedaulatan pangan bangsa Indonesia.

Selanjutnya, perkembangan konsep globalisasi menurut Robertson mengacu pada gejala penyempitan dunia secara intensif akibat meningkatnya konektifitas atau keterhubungan antar warga dunia layaknya sebuah perkampungan kecil, sehingga gaya hidup, orientasi dan budaya yang tadinya berbeda (heterogen), dalam konteks ruang dan waktu, mereka kemudian relatif tampak seragam (homogen).6 Ada beberapa pola dan konteks globalisasi yang terkait interaksinya dengan semangat nasionalisme dan kedaulatan negara, misalnya ada kategori westernisasi atau proses semangat nasionalisme yang cenderung

6

(5)

menjadi kebarat-baratan sebagai lawan bentuk modernisasi dengan identitas nasional yang tangguh; ada internasionalisasi yaitu suatu posisi kebijakan negara untuk terbuka masuk ke dalam ranah dunia; ada universalisasi ketika nilai-nilai negara mengadopsi nilai-nilai berbagai bangsa dan ada liberalisasi yang menekankan peran pasar ketimbang peran dominan negara dalam suatu era global. Hal ini tergambar dalam bagan sebagai berikut:7

Bagan 2.

Pandangan Globalisasi berdasarkan 4 Kategori

Sumber: Muradi, Dosen HI FISIP UNPAD, FGD P2P LIPI di Bandung, tgl. 2 Juli 2015.

Pola Pertama yaitu: (a) Kadar nasionalisme dan kedaulatan negara mengalami proses tantangan penggerusan oleh budaya barat atau gejala Westernisasi yaitu proses suatu politik negara dan bangsa menjadi peniru mutlak sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya, juga teknologi Barat dengan cara menelai mentah begitu saja. Kondisi ini dinilai sebagai proses etnosentrisme menjadi kebarat-baratan, suatu konsep yang berbeda dengan istilah modernisasi, menjadi modern atau maju. Dalam konteks ini lahirlah kebijakan “Berdikari-berdiri di atas kaki senidiri, keperbadian Indonesia dan kedaulatan ekonomi nasional sebagi reaksi terhadap Westernisasi. (b) Internasionalisasi: proses suatu bangsa menjadi ‘go internasional’, berdaya saing dengan luar negeri, bukan hanya ‘jago kandang’ di tingkat lokal dan nasional. Think globally act locally. Berfikir global bertindak lokal. Dalam hal ini lah pangan kita diekspor atau didorong menjadi waralaba di manca negara, Batik dan Rendang sebagi warisan dunia asal Indonesia (c) Universalisasi : proses menjadi lebih luas ke alam semesta universal, bukan hanya partikular, khusus dan menyempit. Ada semangat universal yang digunakan untuk merawat semangat toleransi antar identitas primordial yang berbeda dan negara hadir sebagai pengawal tegaknya keadilan sosial dan merawat perdamaian(d) Liberalisasi: proses mengarah ke pasar bebas, bukan hanya serba dikuasai atas nama negara dan pebisnis asing namun juga hadirnya pemain negara dan wirausaha nasional berdaya saing global, sebagai indikator kuatnya kedaulatan suatu negara di era liberalisasi pasar global.

C. Definisi dan Konsep Nasionalisme Kebangsaan dan Kedaulatan Negara

(6)

Definisi nasionalisme tidak tunggal dan bervariasi sesuai paradigma dan pendekatan yang digunakan dalam mengkajinya.8 Nasionalisme memiliki banyak makna dan pengertian. Ernest Gellner mendefinisikan nasionalisme sebagai prinsip legitimasi politik yang meyakini bahwa unit-unit keetnisan dan unit-unit politik dalam suatu negara hendaknya harus saling selaras.9 Selanjutnya, Guibernau dan Rex mengikuti tradisi Ernest Rennan berpandangan bahwa dengan dilandasi oleh semangat untuk mengedepankan hak-hak masyarakat pada sebuah teritori tertentu, nasionalisme sejatinya merupakan sebuah kemauan untuk bersatu tanpa paksaan dalam semangat persamaan dan kewarganegaraan.10

Menurut Firman Noor, dalam pencariannya mengenai definisi yang moderat tentang nasionalisme Gellner sampai pada sebuah kesimpulan bahwa nasionalisme sesungguhnya bukanlah sesuatu yang universal dan berlaku umum untuk seluruh manusia. Namun di sisi lain keberadannya bagi suatu bangsa merupakan sesuatu yang mendalam sifatnya, bahkan dapat dikatakan sebagai suratan takdir dan bukan hanya sebuah kecelakaan semata. Lebih lanjut Gellner mengatakan bahwa nasionalisme yang sepatutnya dikembangkan adalah sebuah nasionalisme yang menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan, dalam sebuah makna yang komprehensif.11

Grillo Gellner (1980) berpendapat bahwa ideologi nasionalisme muncul sebagai reaksi terhadap industrialisasi dan tercerabutnya masyarakat dari komunitas lokal mereka yang menuntut mobilitas geografis yang tinggi dan sejumlah besar orang menjadi bagian dari sistem ekonomi yang sama dalam suatu negara. Sebagai ideologi, nasionalisme digunakan untuk menciptakan kohesi dan loyalitas di antara individu yang berpartisipasi di dalam sistem yang berskala besar yang disebut negara. Dia merangkai suatu eksistensi komunitas yang diimajinasikan berdasarkan budaya yang sama dan menyatu di dalam negara di mana loyalitas masyarakat dan keterlibatan mereka diarahkan ke negara, bukan pada komunitas asal berdasarkan ikatan primordial atau kampung halamannya.

Dengan demikian nasionalisme kebangsaan dapat berperan dalam menyediakan rasa aman dan stabilitas ketika dunia-kehidupan terpecah dan terbagi-bagi dalam ikatan primordial suku, agama dan ras dan masyarakat tercerabut dari akar-akar budayanya. Jadi tujuan penting nasionalisme adalah menciptakan kembali sentimen keutuhan dan kesinambungan dengan masa lalu antar warga negara, mentransendensi alienasi dan keretakan antara individu dan

8 Lihat artikel Muridan S. Widjojo , “nasionalisme dan Etnisitas” dalam bab IV. Firman Noor (P2P LIPI,

2007) hlm. 115 Ia menjelaskan kapan munculnya nasionalisme dijelaskan berbeda-beda. Ada yang mengatakan berasal dari pemberontakan Inggris melawan monarki pada abad XVII (Khan 1944, Greenfeld 1991), perlawanan eli-elit dunia baru terhadap kolonialisme Iberian (Anderson, 1991), Revolusi Perancis 1789 (Alter 1989, Best 1988), dan reaksi Jerman terhadap revolusi tersebut dan terhadap perpecahan Jerman (Kedourie 1960, Breuilly 1982). Meskipun demikian hampir semua sepakat bahwa pada 1815 nasionalisme sudah mendapatkan bentuknya. Pada masa awal jaman modern nasionalisme sebagai agregasi orang-orang yang dikaitkan dengan lokasi dan karakteristik sosial budaya yang sama menggunakan konotasi politik dan budaya dalam perjuangan dengan dan di antara negara-negara dalam hal state-building (Calhoun, 1993: 212-3).

9Ernest Gellner, Nations and Nationalism, Oxford : Basil Blackwell, 1983, hal. 1.

10Montserrat Guibernau dan John Rex, (eds.), The Ethnicity Reader Nationalism, Multiculturalism and

Migrations, Cambridge: Polity Press, 1997, hal.8.

(7)

masyarakat yang diakibatkan oleh modernitas dalam suatu tata kelola negara yang berdaulat 12

Ada setidaknya dua tipe nasionalisme yang berlaku menurut analisis Hutchinson. Satu adalah nasionalisme ‘panas’ yang didaktis (bersifat pendidikan) dan transformatif (perubahan nilai) yang bertujuan menanamkan ide tentang bangsa sebagai obyek pemujaan yang sakral (suci) dan transenden untuk mana warganya harus berkorban. Ini merupakan fenomena episodikal yang sadar-diri (self-conscious), sistematis, dan preskriptif, yang menyediakan bentuk-bentuk perilaku teladan untuk mempersatukan semua komponen (kelas, etnis, agama, daerah dan jender) bagi bangsa yang dibayangkan. Nasionalisme ini bekerja dalam pengaturan batas-batas sosial yang intensif dan ekstensif. 13

Berikutnya, yang kedua, nasionalisme ideologis. Nasionalisme dengan cita-cita dan kedisiplinan memperjuangkannya. Interaksi ini berlanjut pada masa kini. Signifikansi jangka panjangnya adalah penciptaan mitos-mitos, citra, dan simbol-simbol nasional oleh publik terdidik yang semakin luas yang ditujukan untuk menyediakan makna, status, arahnya pada kehidupan sehari-hari. Ini adalah nasionalisme informal atau ‘banal’ penduduk yang ‘mengkonsumsi’ nasionalisme dengan cara yang relatif ‘tak-sadar-diri’ yang terwujud dalam dekorasi rumah-rumah, pengaturan kebun-kebun, pernyataan kepatuhan mereka melalui pertandingan olah raga internasional. Meskipun ada tendensi untuk melihat mereka dalam terminologi yang linear, mereka beroperasi bersama di dalam suatu relasi yang interaktif untuk membentuk identitas-identitas massa bangsa. 14

Selanjutnya, perlu dibahas ontologi konsep kedaulatan. Asal mula kata “kedaulatan” dalam Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab “daulah” atau “daulat” yang berarti kekuasaan atau dinasti pemerintahan, juga disamakan dengan sovranita dalam bahasa Italia, souvereignty/sovereignty dalam bahasa Inggris yang juga disamakan dengan kata souvereiniteit, souvereinet dan sovranus, yang mana kata-kata tersebut berasal dari bahasa Latin superanus yang berarti tertinggi atau dalam pustaka lain diartikan sebagai raja kepala negara yang tertinggi.

Dalam literatur ilmu tata negara dan ilmu politik pendekatan tradisional disebutkan bahwa kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri terdapat penganut dalam dua teori yaitu berdasarkan pemberian dari Tuhan atau Masyarakat. Dalam hukum konstitusi dan internasional, konsep kedaulatan terkait dengan suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya sendiri dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri. Penentuan apakah suatu entitas merupakan suatu entitas yang berdaulat bukanlah sesuatu yang pasti, melainkan seringkali merupakan masalah sengketa diplomatik.15

Kedaulatan sebagai istilah kenegaraan timbul pada abad ke-16 oleh Jean Bodin (1530-1596) dalam bukunya Les Six Livres de la Republique (1576). Kedaulatan menurut beliau adalah “la puissance absolue et perpetuelle d’une republique” (terjemahan bebas: “kekuasaan absolut dan berlangsung terus menerus dalam sebuah republik), maksudnya

12 Ibid,. Ernest Gellner.

13 Ibid., Hutchinson 2006: 304-5. 14 Ibid,- Hutchinson 2006: 304-5.

(8)

kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang tidak boleh dibatasi oleh konstitusi, tetapi boleh oleh hukum ilahi dan hukum alamiah, kedaulatan ialah piranti dalam tangan seorang raja dalam bentukan monarki atau berada dalam genggaman tangan rakyat dalam suatu Negara berdasarkan demokrasi.

Sebagaimana dikutip oleh Boer Mauna, yang menyatakan bahwa kedaulatan juga mempunyai pengertian negatif dan positif. Pengertian negatif dari kedaulatan mengandung makna: Kedaulatan dapat berarti bawah negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mempunyai status yang lebih tinggi. Kedaulatan berarti bahwa Negara tidak tunduk pada kekuasaan apapun dan dari manapun datangnya tanpa persetujuan negara yang bersangkutan. Sedangkan pengertian positif dari kedaulatan mengandung makna bahwa kedaulatan memberikan kepada titulernya yaitu negara pimpinan tertinggi atas warga negaranya. Ini yang dinamakan wewenang penuh dari suatu negara. Kedaulatan memberikan wewenang kepada Negara untuk mengeksploitasi sumber-sumber alam wilayah nasional bagi kesejahteraan umum masyarakat banyak. Ini yang disebut kedaulatan permanen atas sumber-sumber kekayaan alam.16

Kedaulatan merupakan salah satu syarat berdirinya suatu negara. Dalam ilmu politik disebutkan bahwa salah satu syarat berdirinya negara adalah adanya pemerintahan yang berdaulat. Dengan demikian, pemerintah dalam suatu negara harus memiliki kewibawaan (authority) yang tertinggi (supreme) dan tak terbatas (unlimited). Dengan demikian, kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan tertinggi dalam suatu negara untuk mengatur seluruh wilayahnya tanpa adanya campur tangan dari negara lain.

Selanjutnya, Jean Bodin, seorang pemikir politik dan anggota parlemen Prancis, yang hidup di antara tahun 1500 – 1596, memandang kedaulatan sebagai sesuatu kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dan kebijakan publik di suatu negara. Ia memandang pada hakikatnya kedaulatan memiliki 4 (empat) sifat pokok sebagai berikut: Asli, artinya kekuasaan tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi. Permanen, artinya kekuasaan tetap ada selama negara berdiri, sekalipun pemegang kedaulatan sudah berganti. Tunggal (bulat), artinya kekuasaan merupakan satu-satunya kekuasaan tertinggi dalam negara yang tidak diserahkan atau dibagi-bagikan kepada badan lain. Tidak Terbatas (absolut), artinya kekuasaan tidak dibatasi oleh kekuasaan lain. Bila ada kekuasaan lain yang membatasinya, tentu kekuasaaan tertinggi yang dimilikinya itu akan lenyap.17

Pada dasarnya kekuasaan yang dimiliki Negara, menurut Jean Bodin mempunyai kekuatan yang berlaku ke dalam (interne souvereiniteit) dan ke luar (externe souvereinoteit), yaitu sebagai berikut. Kedaulatan Ke Dalam : Pemerintah memiliki wewenang tertinggi dalam mengatur dan menjalankan organisasi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedaulatan Ke Luar : Pemerintah berkuasa bebas, tidak terikat dan tidak tunduk kepada kekuasaan lain, selain ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

16 Lihat Boer Mauna, Sosialisasi Kementerian Luar Negeri RI "Mengenal Kemlu Lebih Dekat" Di Universitas Megou Pak Tulang Bawang, Lampung" Kemlu RI, 12 April 2011. Diakses 18 November 2015.

17 Lihat Jean Bodin, The Six books of the Commonwealth (1576). For the Six books of the

(9)

Demikian juga halnya dengan negara lain, harus pula menghormati kekuasaan negara yang bersangkutan dengan tidak mencampuri urusan dalam negerinya.18

Kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah negara, pemerintahan, masyarakat atau bangsanya. Beberapa pemikiran mengenai kedaulatan bangsa dan pemegang kedaulatan suatu negara, setelah revolusi Perancis pernah dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau yang membagi tingkat kedaulatan menjadi dua yaitu de facto (secara faktual, sesuai kenyataan) dan de jure (menurut hukum dan pengkuan pihak/negara lain).19

Pada abad ke-18, Jean Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya yang disebut Perjanjian Masyarakat (Contract Social) atau Kedaulatan Rakyat. Teori ini menganggap bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah perjanjian yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Dalam bukunya yang berjudul “Le contract social” (1762), Rosseau mengemukakan bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat (volonte generale), demikian pula halnya semua peraturan perundang-undangan adalah penjelmaan kemauan rakyat. Orang menaati hukum karena orang sudah berjanji menaati hukum. Sebelum bernegara para individu adalah orang baik, namun ketika bernegara ia bisa menjadi egois dan jahat, karena itu diperlukan semacam kontrak politik yang akan mengikat individu menjadi orang baik ketika bernegara. Teori ini kemudian dikritik dan dikembangkan lebih lanjut oleh Thomas Hobbes (State as Leviathan), Montesquieu (The Nature and Trias Politica), dan John Locke (The Traits).20 Hobbes misalnya menambahkan bahwa keadaan

alamiah sama sekali bukanlah keadaan yang aman, adil dan makmur, karena itu diperlukan negara yang kuat untuk memaksa individu menjadi warga negara yang patuh dan baik.

Namun sebaliknya, keadaan alamiah Thomas Hobes merupakan suatu keadaan sosial yang kacau (chaos), tanpa hukum yang dibuat manusia secara sukarela, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial antar individu. Dalam keadaan yang demikian, yang berlaku adalah hukum rimba dimana yang terkuat adalah yang menang. Manusia seakan-akan merupakan binatang yang senantiasa berada dalam keadaan bermusuhan, terancam oleh sesamanya dan menjadi mangsa bagi manusia yang mempunyai fisik yang lebih kuat dari padanya. Keadaan tersebut dilukiskan dalam peribahasa latin “homo homini lupus” (manusia yang satu merupakan binatang buas bagi manusia yang lain).21

Selanjutnya ada beberapa pemikir politik tentang kedaulatan negara. Tokoh-tokoh Teori Kedaulatan Negara Klasik antara lain adalah Jellineck (Jerman), Paul Laband (Jerman), dan Hans Kelsen (Austria). Teori ini muncul pada abad ke-19 dan menentang teori Perjanjian Rakyat. Teori Kedaulatan Negara menganggap bahwa: Hukum adalah kehendak negara.

18Ibid,- G. H. Sabine.

19 Jean-Jacques Rousseau, On The social contract (Du Contrat Social Ou Principes Du Droit Politique (Mengenai Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hak Politik), (Amsterdam: Chez Marc Michel Rey-Dover Thrift Edition: 1762), lihat chapter XII hlm. 127.

20 Menurut Thomas Hobbes (1588-1679), dalam pactum subjectionis rakyat telah menyerahkan seluruh haknya pada raja dan hak yang telah diserahkan tersebut tidak dapat ditarik kembali. Jadi menurut Hobbes, negara itu seharusnya berbentuk Kerajaan Mutlak. Sedangkan menurut John Locke (1632-1704), dalam pactum subjectionis tidak seluruh hak manusia yang diserahkan kepada penguasa, melainkan ada hak-hak yang diberikan oleh hukum alam yang tetap melekat pada diri setiap manusia. Hak tersebut adalah hak asasi manusia yang terdiri dari hak hidup, hak kemerdekaan, dan hak milik, dimana hak-hak tersebut harus dilindungi oleh raja dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, menurut John Locke, negara itu seharusnya berbentuk Kerajaan yang berundang-undang dasar.

(10)

Hukum bukan kemauan bersama anggota masyarakat, dan negara mempunyai kekuatan tak terbatas; Hukum ditaati orang karena negara menghendakinya.22

Kemudian berkembang Teori Kedaulatan Hukum muncul pada abad ke-20, menjadi antithesis dan menentang teori Kedaulatan Negara. Tokoh-tokohnya adalah Cruot (Perancis), Duguit (Perancis), dan Krabbe (Belanda). Teori ini berpendapat bahwa hukum berasal dari perasaan hukum yang ada pada sebagian besar anggota masyarakat; hukum mewujudkan perasaan hukum sebagian besar anggota masyarakat; Oleh karenanya hukum ditaati oleh anggota masyarakat. Dalam bukunya yang berjudul “Die Lehre der Rechtssouvereinteit”, Krabbe menyebutkan bahwa rasa keadilanlah yang merupakan sumber hukum; hukum hanya apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak; peraturan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan orang terbanyak tidak dapat mengikat. Peraturan seperti itu bukan merupakan hukum, meskipun masih ditaati orang atau dipaksakan; Masyarakat mempunyai perasaan bagaimana hukum itu seharusnya, dan karena itulah hukum itu ada. Dan hanya kaidah yang timbul dari perasaan hukum yang mempunyai kewibawaan

.

Namun berbeda dengan John Austin, yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa di dalam negara secara memaksakan, dan biasanya ditaati; Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebut sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources). Menurut John Austin, hukum diartikan sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri, dan tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat historis didalamnya, namun unsur-unsur-unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat di dalamsuatu negara.

Jeremy Bentham (1748-1832),23 seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut ke dalam kawasan hukum, konstitusioanlisme dan nasionalisme, yaitu sebagai berikut: bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan; Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat dan kepentingan nasional suatu negara dalam payung semangat nasionalisme atau kebangsaan.

Kemudian ada tokoh John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan Jeremy Bentham, yaitu sebagai berikut: Bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan; Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya, namum asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati; Keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual melainkan juga kepada kepentingan orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.

22Ibid, Ahmad Suhelmi.

23 Lihat karya Rosen, Frederick (1992). Bentham, Byron, and Greece: constitutionalism, nationalism,

(11)

Sedangkan Rudolph von Jhering, seorang tokoh yang sering disebut sebagai “social utilitarianism”, mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang “tujuan”, yaitu sebagai berikut:Tujuan negara adalah penciptaan dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan; Diakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, namun menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah yang menyatakan bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari; Hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.24

Selanjutnya dalam perspektif teori kritis (critical thinking theory) Thomas J. Biersteker dan Cynthia Weber, berpendapat bahwa kedaulatan Negara sebagai konstruksi sosial. Kedaulatan Negara adalah bagian dari konstruksi sosial atau sebuah proyek nasional kepentingan elit yang melibatkan massa. Sistem Negara modern tidak berdasarkan pada prinsip kedaulatan dalam konteks waktu yang tak terbatas. Kedaulatan Negara merupakan hasil konsepsi normatif yang menghubungkan kewenangan/autoritas, wilayah, populasi (masyarakat, bangsa, nasion) dalam mewujudkan suatu pengakuan dalam cara yang unik dan berlaku di suatu tempat khusus dalam suatu negara. Kedaulatan Negara merupakan upaya untuk mewujudkan kerja keras para negarawan, diplomat dan intelektual, yang merupakan upaya dari pihak yang berkuasa dan pihak yang resisten terhadapnya.

Selanjutnya digambarkan bahwa ‘Kedaulatan Negara’ merupakan hasil penggambaran, teoritisasi dan ilustrasi dari suatu praktik yang secara sosial dibangun (socially constructed), dihasilkan kembali (reproduced), disusun ulang( reconstructed), dan disusun kembali (deconstructed) sehingga dapat menjadi ideal dan mampu dipertahankan terhadap para peganggunya. Bagian kedaulatan Negara tidak hanya pengakuan (recognition), tetapi juga kewilayan (territory), penduduk (population), dan kewenangan (authority), semua hal tersebut secara social politik dibangun dan menyatu dalam konteks sejarah tertentu.25

D. Relasi Nasionalisme Kebangsaan, Globalisasi dan Kedaulatan Negara

Dalam kasus faktual ada informasi bagaimana turis lokal diusir oleh bule asing ketika menikmati matahari senja di pantai Gili Terawangan karena menganggap pantai tersebut adalah hak milik mereka. Pengalaman yang sama juga dialami oleh turis lokal di Pantai

24 Ibid, Ahmad Suhelmi.

25

(12)

Mande, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Masyarakat Bali di sanur dan Kuta Bali pun pernah mengeluh karena wilayah akses mereka ke pantai untuk melasti, ngaben atau menangkap ikan di tutup tembok oleh pengusaha hotel. Sehingga orang Bali ada yang protes dengan ungkapan “Kembalikan Baliku Padaku”. Kedatangan oknum pihak asing untuk berinvestasi pariwisata di Indonesia seolah telah merobek rasa kebangsaan dan kedaulatan negara. Mereka tidak lagi diperlakukan sebagai anak negeri yang disegani dan dihormati secara sepantasnya dalam hubungan antarbangsa. Ada keluhan, negara lemah, ada negara dalam negara. Sebagai ekspresi kekesalan terhadap gejala melemahnya kedaulatan negara di tanah air pada masa tertentu.

Di masa lalu juga ada persoalan lepasnya pulau terluar Indonesia setelah disidangkan di Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, yaitu kasus pulau Sipadan dan Ligitan di Kalimantan Timur yang secara ‘de fakto’ dimanfaatkan oleh pihak Malaysia sebagai wilayah pariwisata global mereka, yang dampaknya juga mengusik rasa kebangsaan Indonesia. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengatakan sebanyak 47 pulau terluar di wilayah Indonesia akan disertifikasi pada tahun 2015 sebagai upaya mempertahankan kedaulatan negara. Diantara 47 pulau terluar itu termasuk juga yang pulau sengketa. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan menegaskan upaya sertifikasi pulau terluar Indonesia dilakukan demi kedaulatan wilayah Tanah Air. Ini untuk menghindari potensi konflik dengan negara lain yang mau klaim.26

Di masa sekarang ada upaya negara di bawah kepemimpinan presiden Jokowi JK untuk mengadakan kapal angkut ternak dari NTB dan NTT, untuk mengangkut sapi ke pulau Jawa, dalam rangka peneggakan kedaulatan pangan, khususnya daging, yang harganya melangit karena sebagian besar didatangkan dari Australia dan Selendia Baru. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meresmikan kapal angkutan khusus sapi KM Camara Nusantara I di Galangan Kapal PT Adiluhung Saranasegara Indonesia, Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Kapal yang bisa mengangkut ternak sapi sebanyak 500 ekor sapi ini merupakan yang pertama di Indonesia. Kapal ini milik kementerian perhubungan (Kemenhub). Kapal ternak pertama yang pernah kita buat dan kita jalankan di Indonesia. Ini kapal ternak berkapasitas 500 sapi, berukuran 200 GT, dibangun di galangan kapal dalam negeri. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terus meningkatkan armada program tol laut. Rute kapal ternak ini yaitu Kupang-Bima-Tanjung Perak-Tanjung Emas-Cirebon-Kupang, pulang pergi. Tahun 2015 ini

(13)

Kemenhub memesan pembuatan 200 kapal antara lain kapal penumpang, kapal fery, kapal ternak, kapal navigasi, kapal penjaga pantai, dan sebagainya.27

Ada kecenderungan pola relasi nasionalisme, globalisasi dan kedaulatan Negara, bersifat positif, netral atau malah negatif. Akan positif bila hadirnya globalisasi, ada strategi nasional untuk mampu membngun posisi tawar terhadap pihak luar untuk menguatkan sebuah bangsa. Ini terjadi jika posisi Negara diakui berdaulat dan kuat. Posisi netral, jika globalisasi dan nasionalisme mengalami kesimbangan. Selanjutnya akan berpola negatif jika relasinya timpang atau asimetris dan eksploitatif, sehingga hadirnya globalisasi politik, ekonomi sosial budaya akan berkemungkinan menggerus nasionalisme suatu negara dan bangsa.28

Sebagai ilustrasi, ada contoh kasus aktivis serikat petani Indonesia asal Medan, Sumut, yang menjadi aktifis petani dunia bahwa gagasan demokratisasi memang telah membuka ruang baru untuk keterlibatan warga negara dalam proses perumusan kebijakan. Namun, proses demokratisasi secara luas dimaknai hanya sebatas terbentuknya kelembagaan baru yang belum tentu mempengaruhi perubahan kebijakan yang pro terhadap kaum miskin seperti petani dan nelayan kecil.

Sebaliknya, ruang baru tersebut justru lebih banyak bergantung dan dipengaruhi oleh sifat relasi kekuasaan yang ada, baik relasi kekuasaan di tingkat lokal, nasional dan global. Di satu sisi, negara dihadapkan pada kewajibannya untuk memenuhi hak-hak warga negara khususnya kelompok miskin, untuk memperkuat bangunan nasionalisme. Namun di sisi lainnya hadir aktor global yang sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan, yang mengusung kepentingan pasar dalam konteks monopoli dan konglomerasi. Namun dalam beberapa kasus mengabaikan tanggung jawab sosial, kultural dan rusaknya lingkungan.29

27 Lihat http://finance.detik.com/read/2015/11/10/130038/3066888/4/kapal-angkut-sapi-yang-diluncurkan-jokowi-pertama-di-ri

28 Dalam perkembangannya ada yang menilai relasi negatif dari globalisasi yang menimbulkan berbagai masalah nasionalisme dan kedaulatan negara dalam bidang politik kebudayaan, misalnya : – berkurangnya peran negara dalam pelestarian dan pementasan budaya asli suatu daerah atau suatu negara – terjadinya erosi nilai-nilai budaya oleh budaya Pop, – menurunnya rasa nasionalisme dan patriotisme – hilangnya sifat kekeluargaan dan gotong royong – kehilangan kepercayaan diri – gaya hidup kebarat-baratan yang lazim disebut sebagai proses “Westernisasi”. Bandingakan dengan Malaysia yang telah lama memilik Akta Kebangsaan yang membiayai perawatan berbagai budaya di sana lewat politik anggarannya untuk menegakkan semboyan Malaysia is the truly Asia. Namun, globalisasi juga memba arus positif seperti: good governance, deliberative, procedural and subtantive democracy, yang berdampak pada diterapkan politik kesejahteraan dan unifikasi nasional yang terawat baik.

29 Lihat Aprizal Kurniawan Amsar, Direktur Eksekutif Yayasan SINTESA, RELASI

(14)

Berikut ini beberapa pola relasi yang terkait dengan konsep nasionalisme kebangsaan, globalisasi dan posisi kedaulatan negara, secara konseptual:

Bagan Relasi Globalisasi dan Kedaulatan Negara

Sumber: Muradi, Dosen HI FISIP UNPAD, FGD P2P LIPI di Bandung, tgl. 2 Juli 2015.

Pola relasi nasionalisme kebangsaan, globalisasi dan kedaulatan negara dapat mengambil bentuk sling ketergantungan, adanya kedaulatan domestik negara, adanya pengakuan kedaulatan hukum internasinal dan tradisi kedaulatan Westphalian, sebagai berikut: proses globalisasi dan ‘Kedaulatan Negara’ yang berkemungkinan mengalami suatu kondisi antar lain (a) Interdependensi: proses saling ketergantungan antar negara dalam era globalisasi, bisa dirujuk teori sistem dunia Welerstein. Immanuel Wallerstein mengatakan bahwa dunia adalah sebuah sistem kapitalis yang sangat kuat pengaruhnya terhadap sejumlah negara yang ada di dunia, sehingga dalam kaitan integrasi yang terjadi juga hanya berdasarkan kepentingan ekonomi dari pada relasi politik. Dapat dikatakan bahwa hubungan yang terjadi hanyalah bersifat profit dan defisit. Teori ini berkeyakinan bahwa tak ada satupun negara yang mampu melepaskan diri dari sistem kapitalis. 30 (b) penguatan Kedaulatan Domestik: berupa proses memperkuat peran bangsa sendiri. Ada istilah atau konsep kedaulatan bermakna ‘berdikari’ yaitu: berdiri diatas kaki sendiri. Hal ini dikenalkan oleh Mahatma Gandhi dari India dengan prinsip Swadesi-nya kemudian dikembangkan pula oleh Soekarno dengan prinsip Berdikari. (c) Kedaulatan Hukum Internasional: Bagi mazhab John Austin, misalnya “hukum” pada kata hukum internasional bukanlah perintah dari orang yang berdaulat. Hukum internasional adalah kumpulan aturan yang mengatur hubungan antar negara yang tidak berasal dari persetujuan bebas`mereka tapi dari sumber yang sama seperti hukum lain (Yurisprudensi).31

Selanjutnya juga ada pola relasi globalisasi dan kedaulatan bangsa dalam bentuk yang dikenal sebagai (d) Kedaulatan Westphalian:32Setelah munculnya perang panjang di Eropa

30 Lihat Frank W. Elwell. "Wallerstein’s World-Systems Theory". Diakses tanggal 27 November 2015. 31 Lihat Austin, John (1869). Campbell, Robert, ed. Lectures on Jurisprudence, or, The Philosophy of Positive

Law1 (3rd ed.). London: John Murray. Retrieved 2012-12-14; Maine, Henry Sumner (1875). Lectures on the Early History of Institutions (1st ed.). New York: Henry Holt. pp. 342–400. Retrieved 6 September 2015.

(15)

dan terbit damai pascaperjanjian Westphalia antara Tahta Suci Romawi Vatikan, Prancis, Spanyol, Belanda dan Swedia, susunan masyarakat internasional didasarkan atas negara nasional dan tidak hanya kerajaan dan memisahkan kekuasaan negara dan pemerintahan dari pengaruh gereja. Perjanjian Westphalia membuat banyak perubahan dalam bentuk negara modern yang meliputi tumbuhnya “Representative Government, Revolusi Industri, Hukum Internasional, metode diplomasi, saling ketergantungan antar negara-bangsa di bidang ekonomi, timbulnya prosedur-prosedur untuk menyelesaikan konflik secara damai.33

Bagan Pola Relasi Globalisasi, Kedaulatan dan Respons Negara

Sumber: Muradi, HI FISIP UNPAD, FGD P2P LIPI di Bandung, tgl. 2 Juli 2015.

Dalam perkembangannya relasi antara globalisasi dan kedaulatan bangsa, suatu Negara berkemungkinan mengambil posisi setuju menjadi bagian dari globalisasi sehingga tidak begitu mempersoalkan issu kedaulatan negara, yang penting ada keuntungan yang didapatkan dari globalisasi dan mengabaikan kerugian yang dialami dan mengangagapnya sebagai ongkos yang harus dibayar dan dimaklumi. Namun ada juga yang mengambil pola respon relasi yang selektif dalam pengertian akan menyeleksi mana yang menguntungkan bagi kedaulatan domestik diterima dan menolak arus globalisasi yang merugikan kepentingan nasional. Selanjutnya, ada juga respon Negara yang menggambarkan relasi protektif terhadap globalisasi demi penegakkan kepentingan nasional, seperti misalnya kedaulatan bahasa, kedaulatan tenaga kerja domesitik, kedaulatan pangan nasional, kedaulatan energi, dan sebagainya.

Selanjutnya, untuk menggambarkan bagaimana relasi aktor nasionalisme, globalisasi dan kedaulatan negara, Azhari Akmal Tarigan, memakai kerangka pemikiran Budi Winarno:2009, dengan mengutip Ludge:1991, untuk menjelaskan konsep globalisasi yaitu suatu proses yang menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang lain 1648. Perang tersebut juga merupakan hasil dari pertentangan kedua belah pihak yang dimulai oleh Reformasi Protestan sampai pada kontra Reformasi Katolik. Di samping aspek agama ternyata juga terdapat persaingan dinasti Hapsbruk dan Boubron hingga pada akhirnya tercapai Perjanjian Westphalia.

(16)

atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka, baik budaya, ekonomi, politik, teknologi maupun lingkungan dengan indikator: kesaling-hubungan, integrasi, Pasar Global, “Hilangnya Batas-Negara” dan mengecilnya peran Negara. Paling kurang ada tiga kelompok dengan paradigma yang berbeda yaitu antara lain:34 Pertama, Faksi Hiper-globalis: Globalisasi sebagai sejarah baru kehidupan manusia di mana “negara tradisional telah menjadi tidak lagi relevan, lebih-lebih menjadi tidak mungkin dalam unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Kedua, Faksi Skeptis : Kelompok yang memandang negara tetap memiliki peran penting untuk mengatur, setidaknya untuk memastikan liberalisasi ekonomi terus berlangsung. Ketiga, Faksi Transformasionalis: Globalisasi penting dan negara tetap relevan kendati dalam bentuk baru yang berbeda.

Negara perlu meningkatkan pososi tawarnya dengan negara lain dalam rangka memelihara kedaulatan negara, meningkatkan rasa kebangsaan dan hadir dalam ranah kontestasi dan kerjasama dalam globalisasi. Pertanyaan: Apakah Globalisasi Berpengaruh terhadap nasionalisme? Jawabannya, menurut Azhari Akmal Tarigan adalah ya. Anggun C. Sasmi seorang aktris penyanyi asal Indonesia telah berganti kewarganegaraan menjadi orang Prancis, karena kesulitan-kesulitannya untuk berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, dengan paspor Indonesia. Perpindahan kewarganegaraannya dikarenakan dalam rangka memudahkan dalam mobilitas/pergerakannya sebagai artis tingkat dunia. Dalam hal ini kedaulatan negara Indonesia, dalam bentuk legitimasi pasport cenderung rendah dan Anggun C. Sasmi dikatan memilih berpindah kewarganegaraan karena alasan kedaulatan negara Indonesia relatif rendah diakui di Eropa.

Selanjutnya Narasumber Muhammad Zeinizen redaktur senior harian Waspada Medan yang pernah meliput berita konflik dan rekonsiliasi Aceh, hingga Sychelees Afrika dan Uni Emirat Arab ini memakai kerangka konseptual nasionalisme negara-bangsa dan globalisasi yang merujuk pada kekuatan dan peran media. Media mampu membingkai dan mengartikulasikan representasi dan konsep nasionalisme negara-bangsa di tengah arus globalisasi, bukan saja dalam tataran kognitif, tetapi juga masuk pada ranah ideologis sebagai bangsa. Pada aras itulah, naluri kebangsaan dapat dibangkitkan meski hanya melalui konstruksi media. Ketika rasa “nasionalisme” terusik oleh pengaruh aktor Negara luar dan dipublikasikan melalui media, komunitas masyarakat yang direpresentasikan sebagai bangsa Indonesia menjadi marah. Seluruh kejadian itu, diketahui dari pemberitaan media (media massa dan media baru). Reaksi masif yang berisi kecaman, kutukan, dan luapan rasa nasionalisme seketika itu mencuat dengan kencangnya.

Relasi nasionalisme dan globalisasi dapat dilihat ketika kasus persengketaan Blok Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia. Juga maraknya pemberitaan soal bagaimana Australia begitu geram kepada Indonesia soal hukuman mati pengedar narkoba. Namun media di Indonesia, sangat kencang menghajar Australia dengan gambaran bagaimana nasib korban narkoba di Indonesia. Media menjadi perangkat yang sangat ekspresif dalam mengartikulasikan emosi nasionalisme masyarakat yang mengutuk Malaysia. Melalui pemberitaannya, media membingkai gagasannya untuk mempertahankan kepentingan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Idiom ”NKRI sebagai harga mati” atau ”NKRI sudah

34 Rangkuman dalam FGD Medan di Jurusan Pascasarjana Studi Pembangunan FISIP USU dengan

(17)

final”, yang lazim dianut kalangan nasionalis ortodoks, dan mendapatkan dukungan pihak media ketika itu.

Penggambaran peristiwa-peristiwa yang berisi serangan terhadap harga diri bangsa, pada mulanya tidak diketahui masyarakat. Ketika seluruh kejadian itu ditayangkan televisi dan dibahas secara mendalam oleh media maka lahirlah masyarakat yang dibayangkan atau imagined community (Anderson 1991, 43). Berita-berita yang disajikan media pun menjadi representasi dari aspirasi nasionalisme publik. Pada titik itulah nasionalisme negara-bangsa dan efeknya globaliasi dapat terbentuk dengan mudah dan fungsional.

Aprizal Kurniawan Amsar Direktur Eksekutif Yayasan SINTESA menggunakan konsep Manfred B. Stegerdalam bukunya yang berjudul Globalisme (Lafadl: 2002) mencoba melakukan penelusuran atas pencitraan globalisasi yang dimunculkan oleh kaum globalist. Lima klaim utama tersebut antara lain: Pertama, globalisasi adalah liberalisasi dan integrasi pasar; Kedua, globalisasi adalah sesuatu yang tak terelakkan dan tak akan berbalik; Ketiga, Tak seorang pun memegang kendali atas globalisasi; Keempat, globalisasi menguntungkan semua orang; Lima. Globalisasi meningkatkan penyebaran demokrasi di seluruh dunia. Menurut Asprizal, bahwa klaim-klaim tersebut terus disebarluaskan dalam rangka membentuk wacana publik demi legitimasi pasar bebas dan tegaknya paham neoliberalisme dalam praktiknya tidak sedemikian, berbalik menjadi keserakahan dan perusakan lingkungan.

Menurut Leirissa, konsep nasionalisme-kebangsaan erat kaitannya dengan keberadaan negara. Negara berkepentingan untuk mengobarkan nasionalisme sebagai doktrin untuk membangun persatuan nasional dan kedaulatan negara. Hadirnya kekuatan global seperti Bank Dunia, IMF, WTO dan lembaga keuangan/ perdagangan global telah mempengaruhi relasi kekuasaan dalam pengambilan kebijakan ditingkat negara. Disatu sisi, negara dihadapkan pada kewajibannya untuk memenuhi hak-hak warga negara khususnya kelompok miskin untuk memperkuat bangunan nasionalisme. Namun di sisi lainnya hadir aktor global yang sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan, yang mengusung kepentingan pasar.35 Serikat Petani Indonesia merupakan salah satu organisasi petani nasional yang menjadi wadah perjuangan petani untuk memperjuangkan hak-hak petani di tingkat global dengan konsep perjuangan Act locally, think globally. (lihat profil SPI di www.spi.or.id) SPI juga menjadi bagian dari gerakan petani internasional La Via Campesina, yang beranggotakan organisasi-organisasi tani dari 76 negara di berbagai benua. Bersamaan dengan perjuangan HAP (Hak Asasi Petani) ditingkat global, perjuangan SPI ditingkat nasional juga berhasil pada tahun 2013, dengan lahirnya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU No. 19 Tahun 2013).

Nasionalisme dan globalisasi pasar yang mengusung kepentingan neoliberal memiliki nilai yang bertentangan. Untuk memperkuat nasionalisme dan kedaulatan negara, harus dipastikan kuatnya peran negara dalam melindungi dan memenuhi hak-hak warga negara, terutama kaum marginal. Kita tidak dapat menghindari globalisasi, namun harus dihadapi. Untuk menghadapi globalisasi namun tidak menggerus nasionalisme, negara harus menjadi benteng pertahanan dalam hal melindungi kepentingan nasional dan warga negaranya.

35 Lihat R.Z. Leirissa, “ Nasionalisme,” makalah pada peringatan hari Kebangkitan Nasional 2006 di

(18)

Negara harus jadi benteng untuk bertarung dalam persaingan global, bukan membuka pintu dan membiarkan warga negara berhadap-hadapan secara langsung dengan kekuatan pasar dan aktor global. Dalam memperjuangkan hak-hak petani sebagai warga negara, perjuangan untuk mempengaruhi kebijakan tidak hanya dilakukan di tingkat nasional, tapi juga dapat dilakukan melalui perjuangan ditingkat global. Sebagaimana yang dilakukan oleh SPI (Serikat Petani Indonesia), untuk mendorong lahirnya kebijakan perlindungan terhadap petani juga dilakukan melalui perjuangan ditingkat global. Keberhasilan SPI bersama La Via Campesina di Amerika Latin, dalam mendorong lahirnya deklarasi hak-hak petani, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan hak-hak asasi petani di berbagai dunia, bukan hanya di Indonesia.

E. Penutup: Posisi melihat relasi Globalisasi dan Kedaulatan Negara

Posisi teoritis yang diambil oleh penulis dalam melihat relasi nasionalisme kebangsaan dan globalisasi terkait dengan kedaulatan negara adalah netral dan objektif, untuk dijadikan dasar kajian-kajian implementatif dalam penelitian terkait topik kedaulatan negara. Globalisasi dapat dianggap sebagai suatu yang netral, tidak selalu ekstrim memperkuat kepentingan asing dan tidak juga selalu menggerus nasionalisme, pada waktunya semuanya bisa ada dalam kesimbangan yang bisa dikelola dengan baik. Kebijakan publik yang baik dan dibuat lewat proses deleberatif-partisipatif dalam suatu negara dapat mengatur agar antara kepentingan nasional dan kepentingan global ada dalam hubungan yang seimbang atau saling ketergantungan (interdependensi) yang relatif harmonis.

Kehadiran globalisasi membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi beberapa sisi yaitu pengaruh positif, netral dan pengaruh negatif. Untuk memperkuat nasionalisme dan kedaulatan negara, harus dipastikan kuatnya peran Negara dan masyarakat dalam melindungi dan memenuhi hak-hak warga negara, terutama kaum marginal-kelompok menengah bawah, masyarakat adat di pulau terluar, pedalaman dan halaman depan negara yang bersentuhan dengan masyarakat global.

Kita sebagai bangsa tidak dapat menghindari globalisasi, namun harus dihadapi sembari tetap menjaga dan proporsional memperkuat kedaulatan negara dalam berbagai hal seperti bidang teritorial, pangan, kuliner, transportasi, energi, IPTEK. Untuk menghadapi globalisasi namun tidak menggerus nasionalisme, negara harus menjadi benteng pertahanan dalam hal melindungi kepentingan nasional dan warga negaranya. Negara harus jadi pengelola yang baik dalam meningkatkan daya saing di tingkat global, bukan membuka pintu sangat lebar tanpa siasat cermat dan membiarkan warga negara berhadap-hadapan secara langsung dengan kekuatan pasar dan kehadiran aktor-aktor global (pengusaha, pedagang, pekerja, artis, dst.) di tingkat nasional dan lokal.

(19)

sebenar-benarnya dan seadil- adilnya. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa ***

Daftar Pustaka

Buku-Buku:

Austin, John. 1869. Campbell, Robert, ed. Lectures on Jurisprudence, or, The Philosophy of Positive Law1 (3rd ed.). London: John Murray. Retrieved 2012-12-14;

Bentham, Jeremy. 1977. Burns, J.H; Hart, H.L.A., eds. A Comment on the Commentaries and A Fragment on Government. London: The Athlone Press. p. 393. ISBN0485132125.

Benedict, Anderson. Imagined Communities. Reflections on the Origins and the Spread of Nationalism, 2nd edition. London: Verso, 1991.

Budiardjo, Meriam. 1991. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.

Jean-Jacques Rousseau, On The social contract (Du Contrat Social Ou Principes Du Droit Politique

(Mengenai Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hak Politik), (Amsterdam: Chez Marc Michel Rey-Dover Thrift Edition: 1762).

Suhelmi, Ahmad. 2010. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama..

Rosen, Frederick (1992). Bentham, Byron, and Greece: constitutionalism, nationalism, and early liberal political thought. Oxford: Clarendon Press. ISBN0-19-820078-1.

G. H. Sabine. 1937. A History of Political Theory . London.

Rosen, F. (1983). Jeremy Bentham and Representative Democracy: A Study of the "Constitutional Code". Oxford: Clarendon Press. ISBN0-19-822656-X.

Thomas J. Biersteker dan Cynthia Weber. 1996., State Sovereignty as Social Construct. Cambridge University Press, May 2.

Maine, Henry Sumner .1875. Lectures on the Early History of Institutions (1st ed.). New York: Henry Holt.. Retrieved 6 September 2015.

Montserrat, Guibernau. et.al. The Ethnicity Reader Nationalism, Multiculturalism and Migrations, Cambridge: Polity Press, 1997.

Robertson, Roland. et.al. Global Modernities . London: Sage, 1992.

Thomas Hylland, Eriksen, Ethnicity and Nationalism, London. Chicago, Illinois: Pluto Press, 1993.

Widjojo, Muridan. “Nasionalisme dan Etnisitas”, dalam Firman Noor, Nasionalisme, Demokratisasi & Identitas Primordialisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Pers & P2P LIPI, 2007.

(20)

Rozi, Syafuan. Jurnal Kajian Wilayah PSDR LIPI Vol.1 No.2. 2010, “Cyber clash di dunia maya: cyberwar dan conflict resolution Indonesia-Malaysia”.

Terbitan Khusus:

Bahan Presentasi narasumber Muradi, Dosen HI FISIP UNPAD pada FGD di LIPI Bandung, tgl. 2 Juli 2015.

Rangkuman dalam FGD Medan di Jurusan Pascasarjana Studi Pembangunan FISIP USU dengan narasumber Azhari Akmal Tarigan, akademisi dari UIN Sumatera Utara, Juli 2015.

Presentasi Aprizal Kurniawan Amsar, Direktur Eksekutif Yayasan SINTESA, RELASI NASIONALISME, GLOBALISASI DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK: “Perjuangan Hak-Hak Asasi Petani Sebagai Warga Negara, Ditengah Perubahan Relasi Kekuasaan Nasional dan Global” dalam FGD di FISIP USU, Medan tgl. 12 Mei 2015.

R.Z,. Leirissa. “ Nasionalisme,” paper presented at pada peringatan hari Kebangkitan Nasional 2006 di Jakarta, 24 Mei 2006.

.Website:

Boer Mauna, Sosialisasi Kementerian Luar Negeri RI "Mengenal Kemlu Lebih Dekat" Di Universitas Megou Pak Tulang Bawang, Lampung" Kemlu RI, 12 April 2011. Diakses 18 November 2015.

http://finance.detik.com/read/2015/11/10/130038/3066888/4/kapal-angkut-sapi-yang-diluncurkan-jokowi-pertama-di-ri

Frank W. Elwell. "Wallerstein’s World-Systems Theory". Diakses tanggal 27 November 2015.

Artikel: “Kementerian Agraria: Tahun Ini 47 Pulau Terluar Disertifikasi”. Sumber: BeritaSatu, Senin, 02 Februari 2015 | 17:02. http://www.beritasatu.com/nasional/245750-kementerian-agraria-tahun-ini-47-pulau-terluar-disertifikasi.html.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh yang demikian, pelajar budaya kolektivisme tidak berminat untuk menggunakan e- pembelajaran berikutan konsep e-pembelajaran iaitu pembelajaran secara kendiri dan

Berbeda dengan Erwati (2011) yang mengungkapan pendapatnya bahwa variabel ukuran perusahaan (SIZE) tidak berpengaruh signifikan terhadap struktur modal (DER), artinya semakin

Motivasi seorang manajer untuk melakukan earnings management menurut Scott (2003:334) dalam Financial Accounting Theory adalah: (1) rencana bonus yakni laba sering

- Distribusi: terdistribusi dengan baik dalam cairan- cairan tubuh dan cepat mencapai konsentrasi terapeutik di CSS, yang mendekati 60% dari konsentrasinya di

Pada prinsipnya penyelesaian limit fungsi trigonometri sama dengan penyelesaian fungsi aljabar, yakni menghindari nilai-nilai tak tentu.

PROFIL KETERAMPILAN METAKOGNITIF DAN HASIL BELAJAR KOGNITIF SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

13 Mahasiswa mengenal aplikasi bioteknologi untuk menciptakan tanaman dengan sifat-sifat agronomi yang unggul Kemampuan mahasiswa dalam menjelaskan aplikasi bioteknologi

Apa yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan dalam menghadapi zaman edan seperti di atas? Tentu banyak hal yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan