• Tidak ada hasil yang ditemukan

SASTRA TERLIBAT KEKUASAAN JEJAK NEGARA P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SASTRA TERLIBAT KEKUASAAN JEJAK NEGARA P"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

SASTRA TERLIBAT KEKUASAAN:

JEJAK NEGARA PADA ZAMAN EDAN

Puji Santosa Abstrak

Tujuan penelitian mengungkapkan dan mendeskripsikan tanda-tanda zaman edan yang termuat dalam “Serat Kalatidha” karya R. Ng. Ranggawarsita dan “Serat Waluyan” karya R. Trihardono Somodihardjo. Masalah penelitian bagaimana tanda-tanda zaman edan dan relevansinya dengan keadaan sekarang berdasarkan kedua teks di atas? Metode yang digunakan dalam penelitian adalah analisis konten. Hasil dan temuan pembahasan didapat adanya relevansi zaman yang disampaikan dalam kedua teks sastra “Kalatidha” dan “Serat Walyuyan” dengan keadaan zaman sekarang, yakni zaman edan. Ranggawarsita menandai zaman itu sebagai zaman edan dengan sepuluh tanda-tandanya, dan Somodihardjo menandainya dengan kerusakan empat bangsa (brahmana, ksatria, waisiya, sudra) yang sudah tidak menetapi darma masing-masing. Simpulan yang didapatkan bahwa nilai-nilai kearifan yang didapatkan dalam kedua teks di atas dapat sebagai tuntunan ke arah kebajikan yang menuju pada perilaku keutamaan, kemuliaan, dan keluhuran bangsa, yakni agar manusia Indonesia tidak hanya sekadar bertopang dagu dan meratapi nasibnya di zaman edan.

Kata-kata Kunci: sastra, kekuasaan, negara, zaman edan

1. PENDAHULUAN

(2)

sadisme, kanibalisme, penjarahan, perampokan, pembakaran, pemerkosaan massal, dan pembunuhan yang disertai mutilasi. Para elite politik saling menghujat tanpa etika. Nafsu setan sudah tidak terkendali. Emosi massa mudah dibakar. Amarah mudah dibangkitkan. Ancaman disintegrasi bangsa semakin meluas di tengah-tengah masyarakat kita dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru, lepasnya Timor Timur dari pangkuan Ibu Pertiwi, bergejolaknya rakyat Papua menuntut kemerdekaan, Aceh membara selepas DOM, Ambon banjir darah dengan perang antaragama, serta Sambas, Ketapang, dan Sampit di Kalimantan porak-poranda dengan perang antaretnis, Palu-Sulawesi bergejolak terus tiada henti, dan banyak daerah yang menjadi ajang kerusuhan massa, teror bom, pembasmian antaretnis, dan sebagainya dan sebagainya. Siapa pun yang hidup di tengah masyarakat seperti itu akan merasa miris, cemas, was khawatir, atau rasa ketakutan luar biasa karena keselamatan jiwanya terancam, dan hidupnya pun tidak menentu. Semua orang sudah menjadi edan, benar-benar gila. Apalagi ditambah berbagai bencana alam yang melanda negeri ini silih berganti tiada henti, seperti tanah longsor, tsunami, banjir, gunung meletus, gempa bumi, pesawat jatuh, kapal tenggelam, tabrakan maut, kebakaran hutan dan lahan, serta mewabahnya berbagai penyakit. Keadaan itu layak disebut sebagai zaman edan.

(3)

Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana tanda-tanda zaman edan dan relevansinya dengan keadaan sekarang berdasarkan kedua teks tembang (“Serat Kalatidha” karya R. Ng, Ranggawarsita dan “Serat Walyuan” karya R. Trihardono Soemodihardjo) di atas? Setelah memahami ada relevansinya, lalu apa yang sebaiknya harus diperbuat bangsa dan rakyat Indonesia berdasarkan amanat kedua teks di atas?

Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan dan mendeskripsikan tanda-tanda zaman edan yang termuat dalam “Serat Kalatidha” karya R. Ng. Ranggawarsita dan “Serat Waluyan” karya R. Trihardono Somodihardjo serta relevansinya dengan keadaan zaman sekarang. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan menemukan amanat dari nilai kearifan kedua teks di atas dalam menghadapi zaman edan sehingga ada hal-hal yang dapat diperbuat dan tidak sekadar bertopang dagu dan meratapi nasib di zaman edan.

2. KAJIAN PUSTAKA

Serat Kalatidha adalah salah satu judul karya Raden Ngabehi Ranggawarsita yang disebut-sebut sebagai “Jangka Ranggawarsitan”. Menurut catatan Bratakesawa (1959:34), selain Serat Kalatidha yang terdiri atas 12 bait, ditemukan pula Serat Kaltidha Piningit yang hanya terdiri atas 11 bait dari meja redaksi majalah Sedya Tama, Yogyakarta, tahun 1930. Dalam penulisan bab ini yang digunakan sebagai acuan penulisan adalah Serat Kalatidha yang terdiri atas 12 bait, tanpa ada kata piningit. Kata kalatidha itu sendiri termuat dalam bait pertama baris ketujuh. Kata kala artinya zaman atau masa, dan kata tidha berarti samar-samar, kabur, khawatir, ragu-ragu (Nardiati et al. 1993). Jadi, kalatidha artinya suatu zaman atau masa yang serba tidak jelas, rusak, penuh dengan rasa kekhawatiran dan ragu-ragu untuk bertindak. Istilah lainnya adalah kalabendu atau jaman retu.

(4)

penuh laknat, suatu masa yang penuh dengan kutukan Tuhan karena manusia banyak menyandang dosa. W.S. Rendra, dalam orasi kebudayaan di Solo, 27 Februari 2001, menyebut-nyebut pula pada zaman krisis sekarang ini sebagai zaman Kalabendu. Tentu saja referensi W.S. Rendra menyebut hal itu dari Serat Kalatidha karya Ranggawarsita (Lihat Ardus M. Sawega, Kompas, 30 Maret 2001, dengan judul artikel “Zaman Kaliyuga, Kalabendu, atau Tafsir Baru...”).

Sementara itu, perkataan jaman retu disebut-sebut dalam buku Sasangka Jati, “Pembuka Tunggal Sabda” (Pangestu Pusat, 1986:66). Kata retu berarti rusak, kacau-balau, huru-hara, dan kerusuhan (Nardiati et al, 1993:203, dan Mardiwarsito et al, 1985: 269). Jadi, arti perkataan “jaman retu” adalah suatu masa atau zaman yang penuh kerusakan, kerusuhuan massal, karut-marut, banyak kekacauan, dan penuh huru-hara.

Kajian terhadap Ranggawarsita dan karyanya antara lain dilakukan oleh Kamadjaja (1964, 1988), Sumidi Adisasmita (1975), Suripan Sadi Hutomo (1979), Anjar Any (1980), Simuh (1988, 1999), R.I. Mulyanto dkk. (1990), Ahmad Norma Permana (1998), dan Harlina Indijati (2003). Sementara itu, kajian terhadap karya-karya R. Trihardono Soemodihardjo belum ada orang yang mengkajinya. “Serat Waluyan” karya Soemodihardjo itu dimuat dalam buku Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu: R. Soenanrto Mertowardojo (R. Rahardjo, 1974: 128—130).

3. METODOLOGI

(5)

sampel penelitian ini adalah teks naskah “Serat Kalatidha” karya R.Ng. Ranggawarsita dan teks “Serat Waluyan” karya R. Trihardono Soemodihardjo. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara berdasarkan pada tujuan penelitian.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tanda-Tanda Zaman Edan

Apakah yang menjadi tanda-tanda zaman edan itu? Kapankah terjadinya? Apakah sekarang sudah termasuk zaman edan? Adalah pujangga besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang hidup antara tahun 1802—1873, Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang menyebut keadaan suatu negera serba kacau-balau, karut-marut dilanda berbagai situasi krisis, yaitu dengan istilah “zaman edan”. Kekisruhan negara yang sedemikian hebatnya selama bertahun-tahun, bahkan tampaknya hingga kini tak kunjung surut, pantas disebut sebagai zaman edan. Keadaan negeri yang dhedhel-dhuwel dengan ditandai kekacauan di semua sektor, timbulnya sparatisme, wabah penyakit di mana-mana atau pageblug, bencana alam yang melanda setiap waktu, seperti kebakaran hutan, lahan, dan pekarangan sehingga terjadi bencana asap, gunung meletus, gempa bumi, hujan badai, banjir air bah disertai tanah longsor, gelombang air rob atau tsunami, angin puting beliung, gerhana bulan atau gerhana matahari, dan el nino el nina yang memperbesar lubang ozon sehingga menyebabkan cuaca panas tak menentu, tiba-tiba hujan deras dan lebat disertai petir menyambar-nyambar, serta akal pikiran manusia yang sudah tidak sehat lagi, pantas disebut sebagai zaman edan, kalatidha, kalabendu, dan jaman retu.

(6)

Zaman edan seperti itu sudah diantisipasi jauh hari sebelumnya2). Dalam berbagai serat dan pustaka klasik orang-orang Jawa, keadaan seperti itu telah disebut-sebut akan datang waktunya. Selain disebut sebagai “Jaman Edan”, keadaan negeri yang kacau-balau atau karut-marut, juga disebut sebagai “Jaman Kalabendu”) atau juga “Jaman Retu”3). Sebegitu dahsyatnya kekuasaan zaman edan sehingga dengan kalimat bersayapnya, Ranggawarsita meletakkan hukum moral bagi masyarakat Jawa (Indonesia) dalam pengertian: Dilalah kersaning Allah, begja-begjane wong kang lali, luwih begja kang eling lan waspada “Sudah kehendak Tuhan Allah, betapun berbahagianya orang yang lupa, masih lebih berbahagia orang yang sadar dan waspada”.

Kalatidha adalah salah satu judul karya sastra yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita seputar tahun 1861 dalam pupuh sinom4). Karya ini merupakan kritik sosial profetis yang menggambarkan akan datangnya masa sulit, suram, rusak, dan tidak menentu yang disebut sebagai zaman edan. Pada zaman itu negara demikian kacau-balau, undang-undangnya tidak dihargai, derajat negara menjadi suram, dan rakyat semakin rakus dan loba. Hal ini mengingat pada tahun 1858 raja Surakarta, Sinuhun Paku Buwana VII meninggal dan digantikan oleh adik tirinya Kusen dengan gelar Paku Buwana VIII. Raja Surakarta ini memerintah tidak lama, hanya tiga tahun, dan meninggal 1861. Sepeninggal Paku Buwana VIII kemudian Kasunanan Surakarta digantikan oleh Paku Buwana IX yang merupakan anak dari Paku Buwana VI yang ditangkap oleh Belanda, dibuang ke Ambon, dan kemudian mati dalam pengasingan.

(7)

Paku Buwana IX tidak pernah menaikkan pangkat Ranggawarsita dari Kliwon Carik ke Tumenggung, apalagi menjadi Bupati. Bentuk kekecewaan Ranggawarsita seperti itulah yang diungkapkan dalam karyanya Kalatidha tersebut.

Bait ketujuh Serat Kalatidha yang ditulis dalam bentuk tembang macapat, bermatra sinom, amat terkenal karena secara ekplisit memuat perkataan amenangi jaman edan “menghadapi zaman gila”. Isi teks Kalatidha karya Ranggawarsita itu memuat tanda-tanda kekuasaan zaman edan atau zaman rusak yang serba kabur dan tidak jelas yang mengakibatkan suramnya derajat negara. Tanda-tanda zaman yang termuat dalam Kalatidha karya Ranggawarsita itu antara lain sebagai berikut.

1) Derajat suatu negara terlihat suram, kosong dan sepi atau suwung, yakni suatu negara tidak lagi memiliki wibawa, tidak mimiliki pengaruh sama sekali pada rakyatnya atau negara lain. Meskipun penguasanya adalah raja utama, perdana menterinya orang yang memiliki kelebihan, para menteri dan aparat pegawainya baik-baik, tetap tidak dapat menolak hadirnya zaman kutukan karena sudah sebagai karma/dosa bangsa.

2) Rusaknya pelaksanaan undang-undang, yaitu masyarakat banyak yang melanggar tata aturan, baik penguasanya sendiri maupun rakyatnya tidak lagi patuh pada aturan negara yang ada, mereka berbuat sekehendaknya atau menyimpang dari aturan hukum yang ada.

(8)

4) Banyak rakyat yang sedih, menderita, prihatin, sengsara, dan kelaparan sehingga banyak terjadi kesukaran hidup, terasa hidup hina dina dan amat suram, serta hidup sengsara, tanda-tanda kehidupan di masa depan suram, gelap, dan tidak menentu.

5) Banyak terjadi musibah, bencana, dan malapetaka yang datang bertubi-tubi, silih berganti tiada henti-hentinya, baik yang disebabkan oleh murkanya alam maupun oleh kelalaian manusia yang rakus dan angkara.

6) Berbeda-beda, berjenis-jenis, dan banyak ragamnya perbuatan angkara murka orang seluruh negara.

7) Banyak berita bohong, kabar angin, sulit dipercaya kebenarannya karena banyak orang yang munafik, hanya pura-pura, penuh fitnahan, dan tipu muslihat, hanya bermaksud mencari keuntungan pribadi.

8) Banyak pejabat yang menanam benih-benih kesalahan, keteledoran, dan tidak hati-hati, disebabkan oleh lupa, alpa, dan khilaf sehingga menjadi perkara hukum dan sebagainya.

9) Banyak orang yang berjiwa baik, cerdas, dan bijaksana, justru kalah dengan mereka yang culas, kerdil, dan jahat (wong ambeg jatmika kontit). Itulah sebabnya orang yang baik-baik justru tersisihkan dan berada di belakang atau tenggelam oleh hiruk-pukuk dunia yang penuh angkara murka atas silau pesona maya dunia.

(9)

dihantui oleh ketakutan tidak mendapatkan bagian dari tahta, harta, dan wanita5). Akibat perilaku edan-edanan itu, rakyatlah yang menderita kelaparan, hingga hidup terasa menjadi “larang sandang, larang pangan, larang papan” (serba mahal). Keadaan negara yang dilanda paceklik mengakibatkan mahalnya sembako. Namun, apabila dirasa-rasakan semua kejadian atau peristiwa yang terjadi di dunia ini sudah menjadi suratan takdir Tuhan. Tuhan berkehendak membabati tanaman-tanaman liar yang tidak berguna dan kemudian menggantikannya dengan tanaman yang lebih indah berseri. Oleh karena itu, berbahagialah bagi mereka yang senantiasa sadar dan berbakti kepada Tuhan serta waspada terhadap gejala perilaku lupa dan edan. Meskipun mereka yang lupa segala-galanya mendapatkan kue kekuasaan, harta, dan wanita, tetapi masih tetap lebih berbahagia bagi mereka yang senantiasa sadar, berbakti, takwa, dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

4.2 Kerusakan Catur Bangsa

Masih senada dengan Ranggawarsita tentang zaman edan, seorang ahli filosofi di Jawa abad XX, Raden Trihardono Soemodihardjo, secara eksplisit melalui dua buah bait tembang dhandhanggula6) yang ditulis pada tahun 1949 berjudul “Serat Waluyan”7), memberi tahu kepada kita tentang tanda-tanda yang nyata terjadinya zaman edan tersebut. Dalam tembangnya dhandanggula itu Soemodihardjo menggunakan tanda dan lambang masyarakat Hindu atau India kuno, yang terkenal dengan pembagian empat kasta atau catur bangsa.

Agar lebih jelasnya, marilah kita perhatikan dua bait tembang berikut dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

(10)

sujud marang si hartawan

(Terjemahan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut. Apabila bangsa brahmana sudah berbuat menipu/berbohong,

(11)

1) Bangsa brahmana8) sudah berani berbuat curang, menipu terhadap umatnya, membohongi diri sendiri dan orang lain, terjadi pembohongan publik, tidak mengedepankan tindak kejujuran dan kemuliaan, kemudian berlaku dagang, mencari keuntungan, memperkaya diri sendiri, serta menjual ilmu agamanya. Brahmana yang demikian itu dapat disebut sebagai brahmana gadungan.

2) Bangsa ksatria9) berbuat tercela, hina dina, saling berebut kekuasaan dan pengaruh, rebutan hak milik, serta berbudi pekerti rendah, sehingga bangsa ksatria ini takhluk dan bersujud kepada para konglomerat, para investor, atau kepada si hartawan yang kaya-raya. Ksatria yang demikian dapat disebut sebagai ksatria palsu.

3) Bangsa waisya10) mampu menakhlukan kedua bangsa di atasnya, yaitu bangsa brahmana dan bangsa ksatria. Kedua bangsa ini ikut memperkaya harta bangsa waisya dengan cara menindas bangsa sudra.

4) Bangsa sudra11) pun tidak mau kalah untuk berebut unggul melawan bangsa waisya. Bangsa sudra sudah hilang kepatuhannya sehingga mereka berani melakukan demonstrasi beramai-ramai menuntut kenaikan upah (UMR), meminta tambahan berbagai jaminan dan tunjangan, seperti THR, cuti haid, asuransi kesehatan, bonus bulanan, uang lembur, cuti melahirkan hingga 6 bulan, dan kalau PHK meminta pesangon lebih. Jika tuntutan itu tidak dikabulkan oleh majikannya, lalu mereka mogok kerja, bikin ulah dan teror, menjadi provokator, serta ada juga yang melakukan mogok makan hingga mati kelaparan.

(12)

sesama umat. Keluarnya catur bangsa dari dharmanya itu mengakibatkan dunia seisinya rusak, kacau-balau, karut-marut, amburadul semua tatanan yang ada, dan akhirnya kutukan datang menimpa umat yang durhaka tersebut. Kerusakan catur bangsa demikian itulah yang disebut dengan zaman edan, kalatidha, kalabendu, dan jaman retu.

4.3 Tidak Sekadar Bertopang Dagu dan Meratapi Nasib

Apa yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan dalam menghadapi zaman edan seperti di atas? Tentu banyak hal yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan dalam keadaan bagaimana pun. Kita tidak perlu putus asa atau putus harapan, kita tidak hanya bertopang dagu sambil meratapi nasib dan keadaan, dan kita tidak hanya tinggal diam. Setiap perbuatan yang menuju ke arah kebajikan tentu dapat kita lakukan. Berdasarkan makna yang tersurat dan yang tersirat dalam Serat Kalatidha karya Ranggawarsita dan “Serat Waluyan” karya Soemodihardjo di atas tentu dapat kita deskripsikan tentang hal-hal yang dapat kita perbuat dalam menghadapi zaman edan. Hal-hal yang dapat kita perbuat itu antara lain sebagai berikut.

1) Mematuhi peraturan negara dengan undang-undangnya dengan baik. Sebagai warga negara yang baik hendaknya kita patuh melaksanakan undang-undang dan peraturan yang ada agar tertib, hidup teratur, dan berdisiplin. Undang-undang dan peraturan negara dibuat agar negara menjadi tertib, teratur, dan disiplin sehingga negara dapat mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat.

(13)

menganalisisnya, dan kemudian baru bertindak sesuai dengan hati nurani agar kita tidak terjerumus ke jurang kehancuran.

3) Menjadi teladan perbuatan keutamaan. Di mana pun kita posisinya, kita harus dapat menjadi teladan perbuatan keutamaan, baik di rumah, di kantor atau perusahaan tempat bekerja, maupun di tengah masyarakat. Dengan teladan baik itulah kita akan menjadi kusuma bangsa dan bukan sampah masyarakat.

4) Tekun dan rajin beikhtiar. Bekerja dalam bidang apa pun kita dituntut untuk dapat tekun dan rajin berusaha mencapai prestasi. Kita tidak boleh berputus asa menghadapi situasi apa pun, baik itu yang berupa cobaan, bencana, malapetaka, maupun rintangan lainnya. Oleh karena itu, kita dituntut untuk tetap memiliki semangat berikhtiar mencapai cita-cita menuju keberhasilan.

5) Memperhatikan petuah orang tua. Artinya, kita selalu mengindahkan nasihat, ajaran, atau wejangan orang tua dahulu yang berusaha mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dicontohkan oleh Ranggawarsita dengan cara menuliskan cerita-cerita kuno, mempelajari serat Panitisastra, dan melakukan kegiatan kreatif yang bermanfaat bagi bangsa, negara, dan masyarakat lainnya.

6) Selalu tawakal atau narima dengan menyadari ketentuan takdir Tuhan. Apa pun yang terjadi di dunia ini sudah kehendak Tuhan, tidak ada sesuatu peristiwa yang kebetulan, semuanya sudah diatur oleh Tuhan. Kita harus dapat tabah dan kuat menghadapi segala cobaan hidup, ikhlas menerima apa pun yang terjadi dengan selalu memanjatkan rasa syukur. Apa pun yang sudah ada di tangan kita, dikerjakan dengan senang hati, tidak tamak, tidak rakus, tidak loba, dan tidak serakah. Kita tidak menginginkan milik orang lain, dan juga tidak iri akan keberuntungan orang lain.

(14)

teguh sentosa, berpengetahuan luas, dan tidak berbudi sempit. Orang yang sabar sentosa dapat disebut sebagai lautan pengetahuan. Ibarat lautan yang dapat memuat apa saja, tidak meluap walau mendapat tambahan air dari sungai-sungai mana pun. Caranya ialah tidak mudah emosional, tidak marah, serta menyingkiri watak picik dan berangasan.

8) Sadar dan Waspada (eling lan waspada). Kita dituntut untuk dapat selalu eling lan waspada. Eling berarti kita senantiasa sadar untuk berbakti kepada Tuhan. Salah satu caranya adalah selalu berzikir kepada Tuhan di mana pun kita berada, baik itu sedang duduk menganggur, sedang dalam perjalanan, sedang berdiri, sedang tiduran, maupun sedang bekerja. Waktu kapan pun, baik siang maupun malam, kita dapat senantiasa sadar kepada Tuhan. Cara yang lain adalah tidak melupakan dan tidak meninggalkan sembahyang. Waspada berarti mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Kita senantiasa diberi weweka, kehati-hatian, dapat membedakan mana emas dan mana tanah liat, mana berlian dan mana batu pasir. 9) Menetapi darma masing-masing. Kita hendaknya dapat menetapi

darma atau kewajiban masing-masing dengan benar, baik kita sebagai bangsa brahmana, bangsa ksatria, bangsa waisya, maupun menjadi bangsa sudra sekalipun. Kita harus sungguh-sungguh menekuni bidang pekerjaan dan kewajiban masing-masing agar dapat melaksanakan bagiannya secara cermat dan teliti sehingga dicapai hasil yang sesempurna mungkin.

(15)

Sembahyang merupakan tali kesadaran dan kepercayaan kepada Tuhan. Wujud mendekatkan diri kepada Tuhan adalah kita selalu berusaha meningkatkan kesadaran rasa iman dan takwa, selalu berzikir dan bersembahnya, serta berbuat keutanmaan atau berbudi pekerti luhur dan mulia.

Kesepuluh hal di atas penting sekali kita laksanakan agar kita tidak ikut edan, tidak tergilas oleh arus zaman, serta tidak hanyut dalam situasi yang tidak menentu. Hanya dengan cara seperti itulah kita tidak tinggal diam menjadi penonton, tidak hanya bertopang dagu sambil meratapi nasib dan keadaan, serta tidak hanya menangis dalam kesedihan dan kedukaan. Dengan demikian kesepuluh hal di atas dapat kita jadikan pegangan dalam menghadapi zaman edan. Seberapa kemampuan kita melaksanakan kesepuluh hal seperti yang disarankan dalam kedua tembang di atas, sebaiknya kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan yang Maha Esa agar terhindar dari kekejaman zaman edan yang begitu dahsyat mencekam. Kita tetap mengasuransikan keselamatan jiwa raga kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dalam keadaan apa pun.

5. SIMPULAN

(16)
(17)

Catatan Akhir:

1) Semasa kekuasaan Orde Baru jaya, perkataan itu menjadi sangat populer karena sering diucapkan sebagai senjata “sabda pandita ratu” Presiden Soeharto menangkal berbagai kritikan dan isu yang menerpanya. Perkataan itu kemudian diabadikan dalam buku suntingan Siti Hardiyanti Rukmana (1987), Butir-Butir Budaya Jawa: Anggayuh Kasampurnaning Urip, Berbudi Bawa Leksana, Ngudi Sejatine Becik (Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung).

2) Bulan April tahun 1995 Presiden Soeharto berkunjung ke Jerman dan didemo secara brutal di Dresden. Beliau kemudian berkomentar bahwa tingkah laku mereka sudah gila semua, tidak ada yang waras. Peristiwa yang dialaminya itu mirip dengan pemahamannya sebagai “zaman edan”-nya Ronggowarsito (Kompas, Senin, 17 April 1995).

3) Disebut dalam Serat Kalatida bait kedua baris keenam. Kata kala artinya waktu, zaman, atau masa, dan bendu artinya kutuk atau laknat (Nardiati et al, 1993). Jadi, kalabendu artinya zaman yang penuh laknat, suatu masa yang penuh dengan kutukan Tuhan karena manusia banyak menyandang dosa. W.S. Rendra, dalam orasi kebudayaan di Solo, 27 Februari 2001, menyebut-nyebut pula pada zaman krisis sekarang ini sebagai zaman Kalabendu. Tentu saja referensinya dari Serat Kalatidha karya Ronggowarsito (Lihat Ardus M. Sawega, Kompas, 30 Maret 2001, dengan judul artikel “Zaman Kaliyuga, Kalabendu, atau Tafsir Baru...”).

4) Lihat Sasangka Jati, “Pembuka Tunggal Sabda” (Pangestu Pusat, 1986:66). Kata retu berarti rusak, kacau-balau, huru-hara, dan kerusuhan (Nardiati et al, 1993:203, dan Mardiwarsito et al, 1985: 269). Jadi, arti perkataan “jaman retu” adalah suatu masa atau zaman yang penuh kerusakan, kerusuhuan massal, karut-marut, banyak kekacauan, dan penuh huru-hara.

(18)

peralihan pupuh atau metrum dari suatu pupuh tertentu ke tembang pupuh sinom selalu diberi isyarat wong anom sami ‘para orang muda’. Pola persajakan bentuk sinom diatur sedemikian rupa sehingga membentuk formula: 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, dan 12a.

6) Terhadap ketiga hal ini, “tahta, harta, dan wanita”, bagi sebagian besar orang Jawa dianggap sebagai “trisarana urip” (tiga sarana hidup). Namun, ketiga hal itu juga sebagai godaan manusia yang kasar dan kasat mata, yakni dengan ungkapan khas yang sering kita dengar: (1) klubuking iwak ing kedhung, bergejolaknya ikan di suatu lubuk, yaitu berkaitan dengan tergodanya seseorang akan kepangkatan, kedudukan, atau jabatan yang lebih tinggi; (2) kemrincinge ringgit, macapat metrum dhandhanggula karya Sunan Kalijaga yang terkenal adalah “Kidung Rumeksa Ing Wengi” (lihat Santosa, 1992 dan 2001). Namun, ada juga yang menyatakan bahwa nama tembang dhandhanggula diambil dari nama raja Kediri pada abad ke-12, yaitu Prabu Dhandhanggendis (Laginem, et al., 1996: 18). Apabila ditelusuri dari jarwa dhosok-nya, kata dhandhanggula berasal dari kata dhandhang + gula. Kata dhandhang dapat memiliki arti, yaitu ‘burung gagak’ dan ‘terang sekali’ atau ‘jelas benar’ (Sudaryanto et al., 2001:217). Mardiwarsito et al. (1985:73) menambahkan satu arti lagi, yaitu ‘kapak’. Sementara kata gula, yang berarti juga ‘gula’, berkonotasi pada rasa manis atau hal-hal yang manis. Atas dasar pengertian di atas kata dhandhanggula dapat diartikan ‘kapak untuk menebang hal-hal yang gelap atau buruk agar menjadi terang dan terlihat manis’. Pola persajakan tembang dhandhanggula juga dibuat dengan formula tertentu, yaitu 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, dan 7a.

(19)

9) Kata ksatria berarti “sebutan bagi prajurit, tamtama, kasta militer, dan raja-raja atau putra raja yang memegang kekuasaan suatu negara di masyarakat India kuno”. Namun, kini kata ksatria mengalami perluasan makna tidak hanya bagi bangsawan dan militer, tetapi juga para sarjana, kaum cerdik cendekia, dan siapa pun orang yang rela membela negara, menegakkan keadilan dan kebenaran di muka bumi, serta membela rakyat jelata untuk dapat dientaskan dari kemiskinan. 10) Kata waisya semula diartikan sebagai “kasta ketiga dalam agama

Hindu atau masyarakat India Kuno, yaitu golongan pedagang, petani, dan tukang”. Dalam perkembangan selanjutnya, kata waisya mengalami perluasan makna untuk menyebut konglomerat, saudagar, investor, pengusaha, para majikan, tengkulak, dan bisnismen.

11) Kata sudra semula berarti “golongan atau kasta terendah dalam masyarakat India kuno atau masyarakat agama Hindu”. Kata sudra dalam bahasa Indonesia sekarang dipahami sebagai golongan masyarakat berpenghasilan rendah, seperti buruh, budak, rakyat jelata, pembantu rumah tangga, gelandangan atau tuna wisma, dan kaum fakir miskin.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Sumidi. 1975. Sekitar Ki Pujangga Ranggawarsita. Yogyakarta: Yayasan Sosrokartono.

Any, Anjar. 1980. Raden Ngabegi Ranggawarsita: Apa yang Terjadi. Semarang: Aneka Ilmu.

Bratakesawa (ed). 1959. Djangka Ranggawarsitan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Kulawarga Bratakesawa.

Hardijanti Rukmana, Siti (ed). 1987. Butir-Butir Budaya Jawa. Jakarta: Citra Lamtoro Gung.

Kamadjaja. 1964. Zaman Edan. Yogyakarta: UP Indonesia.

Laginem, et al. 1996. Macapat Tardisional dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Mardiwarsito, L. et al. 1985. Kamus Praktis Jawa-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

(20)

Nardiati, Sri. et al. 1993. Kamus Bahasa Jawa-Bahasa Indonesia I dan II. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Permana, Ahmad Norma (penyunting). 1998. Zaman Edan Ranggawasita Yogyakarta: Bentang Budaya.

Pour, Julius. 1995. “Kapan Zaman Edan-Nya Ronggowarsito?”. Kompas, Senin, 17 April 1995, hlm.12.

Rahardjo, R. 1974. Riwayat Hidup Bapak Paranpara Pangestu R. Soenarto Mertowardojo. Cetakan Kedua. Jakarta: Pengurus Pangestu Pusat.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Cetakan IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa.

Santosa, Puji., dkk. 1993. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1920--1960. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Santosa, Puji., & Djamari. 1995. Analisis Sajak-Sajak J.E. Tatengkeng. Ja-karta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji., & Djamari. 1996. Soneta Indonesia: Analisis Struktur dan Tematik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji. 1996. Pengetahuan dan Apresiasi Kesusastraan. Ende-Flores: Nusa Indah.

Santosa, Puji., dkk. 1997. Citra Manusia dalam Drama Indonesia Modern 1960–1980. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santosa, Puji. 1998. “Analisis Struktur Sajak ‘Pembicaraan’ Karya Subagio Sastrowardojo” dalam Pangsura Bilangan 6/Jilid 4, Januari–Juni 1998, hlm. 3–15.

Santosa, Puji., dkk. 1998a. Struktur Sajak-Sajak Abdul Hadi W.M. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

(21)

Santosa, Puji. 1999a. “Perkembangan Soneta di Indonesia dan Jatidiri Bangsa” dalam Pangsura Bilangan 9/Jilid 5, Julai–Desember 1999, hlm. 92–106.

Santosa, Puji. 1999b. “Kajian Asmaradana dalam Sastra Bandingan” dalam Bahasa dan Sastra Nomor 3 Tahun XVII, 1999, hlm. 30–50.

Santosa, Puji. 2003d. Bahtera Kandas di Bukit: Kajian Semiotika Sajak-Sajak Nuh. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Santosa, Puji., dkk. 2003. Drama Indonesia Modern dalam Majalah Indonesia, Siasat, dan Zaman Baru (1945–1965): Analisis Tema dan Amanat Disertai Ringkasan dan Ulasan. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Santosa, Puji., dkk. 2004. Sastra Keagamaan dalam Perkembangan Sastra Indonesia Modern: Puisi 1946—1965. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Santosa, Puji. 2006. Pandangan Dunia Darmanto Jatman. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Santosa, Puji., & Agus Sri Danardana. 2008. Pandangan Dunia Motinggo Busye. Bandarlampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.

Santosa, Puji., & Suroso. 2009. Estetika: Sastra, Sastrawan, dan Negara. Yogyakarta: Pararaton.

Santosa, Puji., Suroso, & Pardi Suratno. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji. 2010. Kekuasaan Zaman Edan: Derajat Negara Tampak Sunya Ruri. Yogyakarta: Pararaton.

Santosa, Puji., & Imam Budi Utono. 2010. Struktur dan Nilai Mitologi Melayu dalam Puisi Indonesia Modern. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Maini Trisna Jayawati. 2010. Sastra dan Mitologi: Telaah Dunia Wayang dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

(22)

Santosa, Puji., Djamari, & Sri Sayekti. 2011. Manusia, Puisi, dan Kesadaran Lingkungan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Djamari. 2012a. Merajut Kearifan Budaya: Analisis Kepenyairan Darmanto Jatman. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Djamari. 2012b. Struktur Tematik Puisi-Puisi Mimbar Indonesia. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji.., dkk. 2013. Puisi Promosi Kepariwisataan. Yogyakarta: Elmatera Publishing,

Santosa, Puji., & Djamari. 2013a. Dunia Kepenyairan Sapardi Djoko Damono. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Djamari. 2013b. Peran Horison Sebagai Majalah Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Djamari. 2014a. Kriik Sastra Tempatan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Djamari. 2014b. Apresiasi Sastra Disertai Ulasan Karya, Proses Kreatif, dan Riwayat Sastrawan. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji. 2015. Metodologi Penelitian Sastra: Paradigma, Proposal, Pelaporan, dan Penerapan. Yogyakarta: Azzagrafika.

Santosa, Puji., & Djamari. 2015a. Mengukur Kesesuaian Sastra Pada Siswa Sekolah Menengah. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Santosa, Puji., & Djamari. 2015b. Strategi Pembelajaran Sastra Pada Era Globalisasi. Yogyakarta: Azzagrafika.

Saputra, Karsono H. 1992. Pengantar Sekar Macapat. Jakarta: Fakultas Sastra UI.

Sawega, Ardus M. 2001. “Zaman ‘Kaliyuga’, ‘Klabendu’, atau Tafsir Baru...”. Kompas, Jumat, 30 Maret, halaman 1 dan 11.

Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI Press.

(23)

Wuradji. 2001. “Pengantar Penelitian” dalam Jabrohim (ed). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita dan Masyarakat Puitika Indonesia.

Laporan Sidang

1. Judul : “Zaman Edan: Derajat Negara Suram” 2. Penyaji : Drs. Puji Santosa, M.Hum.

3. Moderator : Drs. S.R.H. Sitanggang, M.A. 4. Notulis : Drs. Aji Sapto, M.Si.

5. Hari/Tanggal : Kamis, 4 Maret 2010 6. Waktu : Pukul 10.00—11.00 WIB

7. Isi Sidang : Pertanyaan, Komentar, Masukan, dan Jawaban: 1) Drs. Amran Purba, M.Hum.

Tanggapan : Peristiwa zaman edan itu sifatnya temporal?

Jawaban : Ya, dapat juga temporal, akan tetapi seberapa lamanya zaman edan itu, tentu dilihat dari tanda-tanda yang menyertainya.

2) Drs. Aji Sapto, M. Si.

Tanggapan : Muatan lokal bukan hanya bahasa dan sastra daerah? Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa tidak mencitrakan keluhuran atau keadiluhungan budaya Jawa, tetapi justru hal-hal yang bersifat seksual, seperti Silir dan Gunung Pane? Apa tanggapan Saudara?

Jawaban : Ya, memang benar muatan lokal itu bukan hanya dari bahasa dan sastra daerah setempat, tetapi dapat juga karya seni yang lain, seperti seni batik, seni ukir, atau sejarah lokal. Bahasa dan sastra daerah setempat hanya salah satu saja dari muatan lokal itu.

Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa yang adiluhung dilihat dari peninggalan sejarahnya dan karya-karya yang dihasilkan oleh pujangga-pujangga besar, seperti R.T. Jasadipura I dan II, R. Ng. Ranggawarsita, Pakubuana IV, dan Sri Mangkunegara IV. Karya-karya merekalah yang membuat Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa, dan jangan dilihat dari efek sosialnya yang kini banyak terjadi penyakit masyarakat.

3. Drs. Malem S. Sembiring

Pertanyaan : Apakah ada bukti otentiknya zaman edan itu?

(24)

Apabila ada relevansinya dengan keadaan sekarang, tentu itu hanya kebenaran dari penafsiran teks dengan keadaan sekarang.

4. Drs. Saksono Prijanto, M.Hum.

Tanggapan : Sebaiknya Pak Puji hanya mendasarkan teks sastra, jangan menyerempet-nyerempet dengan masalah persoalan politik dan keadaan sekarang.

Jawaban : Terima kasih atas sarannya, saya hanya menganalisis teks sastra, dalam mencari amanat atau makna karya sastra diperbolehkan dilakukan penafsiran secara mimesis, yakni hubungan antara teks karya sastra dengan keadaan dunia atau alam semesta sekarang. Sebab, karya sastra tidak lahir dari kekosongan atau jatuh dari langit, tetapi ditulis berdasarkan kenyataan yang ada pada waktu karya ditulis.

5. Dr. Sabar Budi Rahardjo, M.Pd.

Tanggapan : Sebaiknya Pak Puji menuliskan artikelnya berdasarkan ketentuan karya tulis ilmiah (KTI) yang berlaku sesuai dengan ketentuan LIPI. Jangan hanya mengalir saja, untuk bahan seminar tentu boleh demikian.

Referensi

Dokumen terkait

Hal lain yang penting kita harus ingat untuk menjadi warga negara yang baik adalah untuk memiliki penyertaan aktif dalam komuniti kami.. Ada banyak cara yang boleh

SASTRA BUKAN PENJARA BAGI BAHASA < 105.. mengerti dan tidak memahami apa yang dibicarakan oleh gurunya. Dari situ kita dapat mengetahui bahwa masih banyak

Mungkin apa yang telah kita kerjakan selama satu tahun ini sudah mendapat hasil yang baik atau beruntung dalam dagang dan banyak lagi anugerah TUhan dan kasih Tuhan

Mengetahui tugas apa yang harus kita kerjakan di dalam suatu pekerjaan yang kita pilih merupakan hal tidak kalah pentingnya,meskipun banyak dari perusahaan-perusahaan maupun

Seperti yang kita ketahui bahwa pendokumentasian pengkajian merupakan acuan dasar dalam menentukan tindakan apa yang akan kita lakukan untuk menolong ataupun

Baca Semoga pelatihan ini telah membantu kita memahami sedikit lebih banyak tentang kemandirian, bagaimana cara kerja kelompok kemandirian, dan apa yang dapat kita lakukan

Coba ceritakan pengalaman saat Anda mengalami kejenuhan menghadapi tugas yang banyak saat kuliah, dalam menghadapi hal tersebut apa yang Anda lakukan?. Mengapa Anda melakukan hal

APA YANG HARUS KITA LAKUKAN UNTUK MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL 1 Mandiri/Berdikari : Bertanggung jawab dalam melaksanakan pembangunan di negeri tercinta ini dan mengurangi