• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KEMANDIRIAN PADA PASIEN EPILEPSI DI KLINIK NEUROLOGI RSJ DR. RADJIMAN WEDIODININGRAT LAWANG MALANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KEMANDIRIAN PADA PASIEN EPILEPSI DI KLINIK NEUROLOGI RSJ DR. RADJIMAN WEDIODININGRAT LAWANG MALANG"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Konas Jiwa XVI Lampung

87

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT

KEMANDIRIAN PADA PASIEN EPILEPSI DI KLINIK

NEUROLOGI RSJ DR. RADJIMAN WEDIODININGRAT

LAWANG MALANG

Elvi Karyarini

1

, Atikah Fatmawati

2

, Nurul Mawaddah

3

1Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto,

elvania779@gmail.com

ABSTRAK

Epilepsi berpotensi untuk menimbulkan masalah sosio - ekonomi dan mediko – legal yang secara keseluruhan dapat menurunkan atau mengganggu kualitas hidup penyandang epilepsi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian pasien penyandang epilepsi di Klinik Neurologi RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Penelitian ini menggunakan desain analitik obsevasional. Populasi dalam penelitian ini sebanyak 137 responden dan sampel sebanyak 102 responden yang diambil dengan teknik simple random sampling. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar kurang mendukung dan penelitian kemandirian pasien epilepsi menunjukkan hampir setengahnya memiliki kemandirian kurang. Uji statistik Chi Square didapatkan pada taraf signifikan = 0,05 dengan didapatkan nilai X² hitung (77,040) dengan P value (0,000) < α (0.05) yang artinya ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian pasien penyandang epilepsi. Berdasarkan hasil penelitian maka diharapkan tenaga kesehatan menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan psiko edukasi pada keluarga untuk selalu memotivasi dan selalu mendampingi pasien epilepsi selama masa pengobatan agar dapat mengoptimalkan kemandirian pasien epilepsi.

Kata Kunci: Dukungan Keluarga, Epilepsi, Kemandirian

ABSTRACT

Epilepsy has the potential to cause socio-economic and medico-legal problems which can overall decrease or interfere with the quality of life of epilepsy. This study aims to analyze the relationship of family support to the level of independence of patients with epilepsy in the clinic Neurology RSJ. Radjiman Wediodiningrat Lawang.This research is an observational analytic research. The population in this study as many as 137 respondents and a sample of 102 respondents taken with simple random sampling technique. The result of family support research showed that mostly were not supported and the result of independence research of epilepsy patients showed almost half had less independence. Chi Square statistical test obtained significant α = 0.05 and get value X² account (77,040) with P value (0,000) < α (0,05) which means there is a relationship of family support with the level of independence of patients with epilepsy. Based on the results of the research, it is expected that health personnel make the results of this study as a consideration to provide psycho education to families for always motivation and to be with who have family members with epilepsy as long as medication to optimize the independence of patients with epilepsy.

(2)

Konas Jiwa XVI Lampung

88

Pendahuluan

Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan. Data WHO menunjukkan epilepsi menyerang 1% penduduk dunia, nilai yang sama dengan kanker payudara pada perempuan dan kanker prostat pada pria. Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembangyang mencapai 114 (70-190) per 100.000 penduduk pertahun. Angka yang tinggi dibandingkan dengan negara yang sudah berkembang dimana angka kejadian epilepsi berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk pertahun. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah penyandang epilepsi baru 250.000 pertahun. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak – anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.

Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu kelainan otak kronis dengan berbagai macam penyebab yang ditandai serangan epilepsi berulang yang disebabkan oleh bangkitan neuron otak yang berlebihan. Gangguan ini sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penderitanya. Di samping itu juga dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan gangguan psikiatrik (WHO, 2001). Gambaran klinisnya dapat berupa kejang, perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran. Kondisi ini tergantung lokasi kelainan di otak (Rahardjo, 2008). Epilepsi ditemukan pada semua umur dan dapat menyebabkan mortalitas. Diduga terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia. WHO (2001) menyebutkan bahwa kejadian epilepsi di negara maju berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara

berkembang 100 per 100.000 ribu. Epilepsi dapat menyerang pada laki-laki ataupun perempuan. Secara umum diperkirakan ada 2,4 juta kasus baru setiap tahun, dan 50% kasus terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja (WHO,2006). Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011).

Umumnya penyakit ini dapat diobat, data penelitian menunjukkan 55 – 68% kasus berhasil menunjukkan remisi dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dikalangan masyarakat awam, terutama di negara berkembang masih terdapat pandangan yang keliru (stigma) terhadap epilepsi, antara lain dianggap sebagai penyakit akibat kutukan, guna – guna, kerasukan, gangguan jiwa/mental, dan dianggap penyakit yang dapat ditularkan melalui air liur. Hal ini berpengaruh negatif terhadap upaya pelayanan penyandang epilepsi. Selain hal tersebut diatas, pelayanan penyandang epilepsi masih menghadapi banyak kendala. Beberapa kendala yang telah teridentifikasi antara lain keterbatasan dalam hal tenaga medik, sarana pelayanan, dana dan kemampuan masyarakat. Berbagai keterbatasan tadi dapat menurunkan optimalisasi penanggulangan epilepsi. Epilepsi berpotensi untuk menimbulkan masalah sosio - ekonomi dan mediko-legal yang secara keseluruhan dapat menurunkan atau mengganggu kualitas hidup penyandang epilepsi. Maslah tersebut meliputi kesempatan untuk memperoleh hak pekerjaan/karier, pendidikan dan perkawinan, memperoleh tangguangan asuransi, dan memperoleh Surat Ijin Mengemudi (SIM).

Berdasarkan data yang didapatkan dari kunjungan klinik Neurologi RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang, setiap bulannya mencapai 137 orang pasien penyandang epilepsi yang berkunjung untuk mendapatkan pengobatan. Dan rata – rata terdapat 2-4 orang pasien baru tiap bulan.

(3)

Konas Jiwa XVI Lampung

89 Epilepsi sama dengan penyakit kronis

lainnya kekambuhannya bisa dikendalikan dengan kepatuhan minum obat. Semakin sering kambuh maka akan semakin banyak sel-sel otak yang rusak maka akan mempengaruhi perilaku dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari – hari. Maka diharapkan dengan adanya dukungan keluarga akan meningkatkan kepatuhan minum obat dan kemandirian pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari-hari.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Klinik Neurologi RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang dan dilaksanakan pada bulan April 2018. Rancangan penelitian menggunakan analitik observasional dengan menggunakan cross sectional yaitu jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel independen dan dependen hanya satu kali pada suatu saat. Penelitian ini menggunakan desain tersebut karena ingin mengetahui tentang hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian pasien epilepsi di Klinik Neurologi RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Dalam penelitian ini populasinya adalah Seluruh pasien epilepsi di Klinik Neurologi RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang sebanyak 137 orang. Sampel diambil dengan cara nonprobability sampling dan teknik “simple random sampling”. Jumlah sampling sebanyak 102 orang.

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner dan lembar observasi yang terdiri dari data umum dan data khusus. Penelitian dilaksanakan dengan mendatangai keluarga pasien epilepsi di klinik Neurologi RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang. Responden diberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian dan diminta kesediaanya untuk menjadi responden. Bila bersedia menjadi responden selanjutnya dipersilahkan menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Peneliti menerapkan prinsip etik penelitian dan etik

dan perlindungan hak responden dalam penelitian.

Penelitian ni menggunaan analisis data dengan uji Chi Square yaitu menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian pasien epilepsi di Klinik Neurologi RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang yaitu dengan kriteria pengujian hipotesis adalah H1 di terima, jika p < α, dengan α = 0,05. Hal ini berarti ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian pasien epilepsi di Klinik Neurologi RSJ Dr. Radjiman Widiodiningrat Lawang.

Hasil dan Pembahasan

Data Umum Responden

Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan menunjukkan bahwa dari 102 responden sebagian besar berpendidikan SMA yaitu sebanyak 55 responden (53.9%). Karakteristik responden berdasarkan usia menunjukkan bahwa dari 102 responden sebagian besar berusia 20 – 35 tahun yaitu sebanyak 61 responden (59.8%). Karakteristik responden berdasarkan Jenis Kelamin menunjukkan bahwa dari 102 responden sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 75 responden (73.5%).

Data Khusus Responden 1. Dukungan Keluarga

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga Pada Pasien Epilepsi di Klinik Neurologi RSJ Dr Radjiman

Wediodiningrat Lawang Malang Tahun 2018 No Dukungan Keluarga Jumlah (f) Persentase (%) 1 2 Kurang mendukung Mendukung 61 41 59.8 40.2 Jumlah 102 100

Tabel 1. menunjukkan bahwa dari 102 responden sebagian besar keluarga kurang

(4)

Konas Jiwa XVI Lampung

90 mendukung yaitu sebanyak 61 responden

(59.8%).

2. Kemandirian Pasien

Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 102 responden hampir setengahnya memiliki kemandirian kurang yaitu sebanyak 49 responden (48%).

Tabel 2. Kemandirian Pasien Epilepsi di Klinik Neurologi RSJ Dr Radjiman

Wediodiningrat Lawang Malang Tahun 2018 No Kemandirian Pasien Epilepsi Jumlah ( f ) Persentase (%) 1 2 3 Kurang Cukup Baik 49 24 29 48 23.6 28.4 Jumlah 102 100

3. Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Kemandirian Pasien Epilepsi

Tabel 3.Tabulasi Silang Dukungan Keluarga Dengan Tingkat Kemandirian Pasien Epilepsi di Klinik Neurologi RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang

Tahun 2018

No Kemandirian Pasien Kurang Cukup Baik Total

Dukungan Keluarga F % f % f % f %

1 Kurang mendukung 49 48 12 11.8 0 0 61 59.8

2 Mendukung 0 0 12 11.8 29 28.4 41 40.2

Total 49 48 24 23.5 29 28.4 102 100

n = 28 responden α = 0.05 sig. = 0.000 Hasil tabulasi silang dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian pasien epilepsi menunjukkan paling besar adalah responden dengan dukungan keluarga yang kurang mendukung dan memiliki tingkat kemandirian kurang yaitu sebanyak 49 responden (48%). Berdasarkan hasil perhitungan uji statistik Chi Square diperoleh nilai X² hitung (77,040) dengan P value (0,000) < α (0.05) maka H1 diterima dan H0 ditolak yang artinya ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian pasien epilepsi di Klinik

Neurologi RSJ Dr Radjiman

Wediodiningrat Lawang Malang Tahun 2018.

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 102 responden sebagian besar dukungan keluarga adalah kurang mendukung yaitu sebanyak 61 responden (59.8%) dan hampir setengahnya mendukung yaitu sebanyak 41 responden (40.2%). Dukungan keluarga merupakan dukungan yang diberikan keluarga dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan (Feviansyah, dkk, 2015). Dukungan

keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga dengan penderita yang sakit. Keluarga juga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Nusi, dkk, 2010).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga kurang mendukung. Bentuk dukungan kurang ditunjukkan dengan kurangnya keinginan dari keluarga untuk menberikan bantuan dan perhatian. Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga antara lain tingkat pendidikan terutama pengetahuan tentang penyakit epilepsi, serta kurangnya informasi mengenai pelayanan pengobatan, lamanya pengobatan serta prosedur pemeriksaan. Pratiwi (2009) menyatakan bahwa dukungan keluarga sangat diperlukan untuk keberhasilan terapi agar dapat mempertahankan status kesehatan keluarga. Dukungan keluarga yang berupa perhatian, emosi, informasi, nasehat, motivasi maupun pemahaman yang

(5)

Konas Jiwa XVI Lampung

91 diberikan oleh sekelompok anggota

keluarga terhadap anggota keluarga yang lain sangatlah dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan program RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang dalam upaya meningkatkan informasi dan pengetahuan keluarga dan pasien epilepsi dengan melaksankan kegiatan terapi kelompok setiap satu bulan sekali dan family gathering setiap 1 tahun sekali. Menurut teori Friedman (2010) menyebutkan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu dukungan informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan dukungan emosional. Jika dukungan tersebut ada pada keluarga pasien maka akan berdampak positif pada pasien. Sesuai dengan penelitian Senuk A, dkk (2013) disimpulkan terdapat hubungan antara pengetahuan dan dukungan keluarga di Poliklinik RSUD Tidore.

Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Rahayu (2010) menunjukkan adanya kecenderungan bahwa makin baik dukungan keluarga maka makin berkurang tingkat kekambuhan pasien.

Kemandirian Pasien Epilepsi

Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 102 responden hampir setengahnya memiliki kemandirian kurang yaitu sebanyak 49 responden (48%) dan sebagian kecil memiliki kemandirian cukup yaitu sebanyak 24 responden (23.6%). Kemandirian adalah kemampuan untuk berdiri sendiri. Kemandirian merupakan sikap individu yang diperoleh secara kumulatif dalam perkembangan dimana individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu mampu berfikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk berkembang ke yang lebih mantap (Unimus, 2014). Kemandirian merupakan suatu keadaan dimana seorang individu memiliki kemauan dan kemampuan berupaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidupnya secara sah, wajar dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukannya,namun demikian tidak berarti bahwa orang yang

mandiri bebas lepas tidak memiliki kaitan dengan orang lain (Sari, 2013). Dengan demikian kemandirian adalah kemampuan dalam menghadapi kehidupan dengan tidak bergantung pada orang lain dalam menentukan keputusan dan mampu melaksanakan tugas hidup dengan penuh tanggung jawab.

Hasil penelitian menunjukkan hampir setengahnya memiliki kemandirian kurang yang dibuktikan dengan ; Pasien epilepsi kurang mampu menyelesaikan sesuatu dan diminta untuk dikerjakan, Pasien epilepsi kurang dapat bertanggung jawab atas hasil kerjanya, Pasien epilepsi kurang memiliki kemampuan mengurus diri sendiri dan menyelesaikan masalah sendiri. Pasien epilepsi tergantung kepada otoritas dan masih membutuhkan arahan dalam mengerjakan tugas/kegiatan/aktivitas, Pasien epilepsi merasa kurang memiliki kebebasan untuk memutuskan keputusan sendiri dalam mengerjakan sesuatu, Pasien

epilepsi kurang mampu untuk

mengendalikan atau mempengaruhi apa yang akan terjadi kepada dirinya sendiri, Pasien epilepsi kurang memiliki ketrampilan memecahkan masalah, dengan dukungan dan arahan yang memadai, pasien epilepsi kurang mampu mencapai jalan keluar bagi persoalan - persoalan mereka sendiri.

Kemandirian pasien Epilepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain dari jenis epilepsi yang diderita, usia saat onset epilepsi, ketaatan berobat dan frekuensi kejang. Hal ini sesuai dengan penelitian Muna N (2015) yang menyimpulkan ada hubungan yang signifikan antara usia muda saat onset epilepsi dan frekuensi kejang dengan penurunan tingkat intelegensi pada penderita epilepsi anak. Dengan menurunnya tingkat intelengensi maka akan meningkatkan ketergantungan pada keluarga dan akan menurunkan kemampuan kemandirian dalam menjalani kehidupan sehari – hari.

Tingkat kemandirian pasien epilepsi salah satu indikatornya adalah frekuensi kekambuhan (kejang) selama dalam

(6)

Konas Jiwa XVI Lampung

92 pengobatan. Sesuai dengan penelitian

Yunus Taufik (2014) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan tingkat kakambuhan. Semakin baik dukungan keluarga maka semakin berkurang tingkat kekambuhannya.

Hasil tabulasi silang dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian pasien epilepsi menunjukkan paling besar adalah responden dengan dukungan keluarga tidak mendukung dan memiliki tingkat kemandirian kurang yaitu sebanyak 49 responden (48%). Berdasarkan hasil perhitungan uji statistik Chi Square pada taraf signifikan = 0,05 dengan jumlah responden 102 didapatkan nilai X² hitung (77,040) dengan P value (0,000) < α (0.05) maka H1 diterima dan H0 ditolak yang artinya ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian pasien epilepsi di Klinik Neuro/Syaraf Poliklinik Umum RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang Tahun 2018.

Dukungan keluarga merupakan dukungan yang diberikan keluarga dalam

pengambilan keputusan untuk

menggunakan pelayanan kesehatan (Feviansyah, dkk, 2015). Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga dengan penderita yang sakit. Keluarga juga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Nusi, dkk, 2010). Dengan dukungan dan pendampingan keluarga pasien epilepsi akan mudah melakukan kemandiriannya dalam kehidupan sehari-hari karena diperhatikan sehingga tercapai kemandirian yang baik.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian pasien epilepsi. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil tabulasi silang yang menunjukkan bahwa paling besar adalah responden dengan dukungan keluarga tidak mendukung dan memiliki tingkat kemandirian kurang. Sebagaimana

diketahui bahwa anggota keluarga dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi, dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan kebersamaan, meningkatkan perkembangan fisik, mental, dan emosional serta sosial individu yang ada di dalamnya dan adanya ketergantungan antara satu sama lain.

Kurangnya dukungan keluarga

menyebabkan berkurangnya kemandirian pasien epilepsi. Oktaviana R (2016) menyebutkan dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang penting dalam kepatuhan minum obat, dimana pada pasien epilepsi pengobatannya jangka panjang sehingga kepatuhan pasien sangat dituntut dalam menjalani pengobatan. Dari kepatuhan yang dilakukan oleh pasien epilepsi diharapkan dapat menurunkan frekuensi kejang berulang. Ketika seseorang tidak patuh dalam minum obat dapat mengakibatkan frekuensi kejang yang berulang, gangguan fungsi kognitif, kombinasi obat yang lebih sehingga dapat menurunkan kualitas hidup dari pasien epilepsi. Berdasarkan Penelitian Hovinga C.A menunjukkan bahwa penyandang epilepsi dengan kepatuhan pengobatan yang buruk lebih berisiko mengalami kejang yang tidak terkontrol dibandingkan kelompok yang patuh terhadap pengobatan. Menurut Mark F mengatakan bahwa fungsi keluarga dapat memainkan peran lebih besar dalam kepatuhan pada pasien epilepsi dari bangkitan kejang dan efek samping dari obat antiepilepsi.

Kesimpulan

Ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian pasien epilepsi di Klinik Neurologi RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang Tahun 2018. Dari hasil penelitian ini agar tenaga kesehatan menjadikan bahan pertimbangan dalam memberikan psiko edukasi pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan epilepsi untuk selalu memotivasi keluarga agar memberikan dukungan dan selalu mendampingi pasien epilepsi selama dalam masa pengobatan sehingga bisa mengoptimalkan kemandiriannya dan bisa

(7)

Konas Jiwa XVI Lampung

93 dikembangkan untuk melakukan penelitian

selanjutnya tentang efektifitas terapi kelompok dan family gathering yang telah diberikan di RSJ Dr. Radjiman wediodiningrat Lawang, tingkat kepatuhan minum obat pasien epilepsi dengan frekuensi kejang. Ataupun faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian pasien epilepsi.

Daftar Pustaka

Allender & Spradley. (2009). Comunity

Health Nursing : Concept and Practice. Philadelphia : Lippincott

Williams & Wilkins.

Friedman, et al. (2006). Buku Ajar

Keperawatan Keluarga : Teori, Aplikasi dan Praktik. Jakarta :

EGC.

Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Riset Dasar

Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba Medika.

Nasir, Abd., Muhith, Abdul., Ideputri, M.E. (2011). Buku Ajar Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba

Medika.

Sari, N.P dan Istichomah. (2013). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Resiko Perilaku Kekerasan (RPK) Terhadap Pengetahuan Keluarga Dalam Merawat Pasien Di Poli Jiwa Rsjd Dr. Rm. Soedjarwadi

Klaten Jawa Tengah. Jurnal

Kesehatan Samodra Ilmu, Volume 6, Hal. 26.

Pratiwi Y, Endang N,(2009). Hubungan

antara Dukungan Keluarga dengan

Kepatuhan Diet pada pasien

diabetes Millitus tipe 2 Rawat Jalan di RSUD dr. Soediran

Mangun Sumars. http://

publikasiilmiah.ums.ac.id

Senuk A (2013). Hubungan Pengetahuan

dan Dukungan Keluarga dengan

Kepatuhan menjalani Diet Diabetes Militus di Poliklinik RSUD Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku

Utara. Ejournal Keperawatan

volume 1, No 1, Agustus 2013 Rahayu. (2007). Hubungan Dukungan

Keluarga dengan Tingkat

Kekambuhan pada Pasien

Skizofrenia di RSJ Menur

Surabaya. Skripsi tidak Dipublikasi

Surabaya. Universitas Airlangga. Yunus T (2014). Hubungan Dukungan

Keluarga dengan Tingkat

Kekambuhan pada Pasien

Skizofrenia di Poliklinik RSJ

Grhasia DIY. http://digilib.

unisayogya.ac.id

Muna N (2015). Pengaruh Onset Kejang, Frekuensi Kejang, dan Politerapi

terhadap Tingkat Intelegensi

Penderita Epilepsi Anak.

http://uns,ac.id

Istiawan R (2006). Hubungan Peran

Pengawas Minum Obat oleh

Keluarga dan Petugas Kesehatan terhadap Pengetahuan, Perilaku

Pencegahan dan Kepatuhan Klien

TBC dalam Konteks Keperawatan

Komunitas di Kabupaten

Wonosobo. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing). Volume 1. No 2,

November 2006

Oktaviana R (2016). Hubungan antara

Dukungan Keluarga dan

Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Epilepsi di RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Kota Pontianak.http://jurnal.untan.ac.id/i

ndex.php/jfk/article/viewFile/20215 /16581

Hovinga CA, Asato MR, Manjunath R, Wheles JW, Phleps SJ, Sheth RD, Pina Garza JE, Zingaro WM, Haskins LS.. (2008). Association of

non adherence to antiepileptic drugs and seizure, quality of life, and productivity: Survey of patients with epilepsy and physicians. Epilepsy and Behavior. 13:

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Saluran Distribusi dan Harga Produk terhadap Volume Penjualan Air

2.1. Sejarah Perusahaan Alfamart merupakan salah satu perusahaan retail local yang saat ini menjadi yang terbaik di

Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Daerah harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui

Menurut Asmad, istilah “adat” dari segi bahasa membawa maksud: peraturan atau perkara yang biasa dilakukan. Dari sudut kebudayaan pula istilah adat bermaksud: peraturan yang telah

Hasil analisis data yang didapat dari pengolahan data, tidak sesuai dengan hipotesis yang telah diajukan oleh peneliti yaitu tidak terdapat hubungan yang

5.000.000,--(lima juta rupiah), tetapi Pemohon bertekad tetap akan menikah dengan calon suaminya tersebut, maka Pemohon memohon agar Pengadilan Agama menyatakan wali Pemohon

Fenomena munculnya permasalahan anak jalanan di Ibu kota yang menjadi latar belakang penulis dalam membuat kampanye sosial ini merupakan hasil penelitian yang penulis dapatkan

Metode ini dapat digunakan secara berurutan pada posisi drainase yang berbeda dan harus diawali dengan bronkodilator (jika diprogramkan), dan dilanjutkan dengan