• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) untuk Majelis Hakim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) untuk Majelis Hakim"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan)

untuk Majelis Hakim

Dalam Perkara Permohonan Fiktif Positif Nomor

3/P/FP/2021/PTUN.JPR atas nama Pemohon PT Trimegah

Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri

Di Pengadilan Tata Usaha Negara

(PTUN) Jayapura

Disusun oleh : Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2021 Kompleks Pertanian, Jalan Palapa XI No. 22 Pasar Minggu, Jakarta Selatan (12520) Telp/Fax +62 21 27874913

(2)

Daftar Isi

Bab I. Pernyataan Kepentingan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2 Sebagai Amici Bab II. Posisi Hukum Amicus Curiea Dalam Peradilan di Indonesia 4 Bab III. Fakta-Fakta Kasus 7 Bab IV. Pendapat Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Sebagai Amici 9 § Penerbitan Izin Usaha Perkebunan Melanggar Hak 9 Masyarakat Adat § Pemberian Perizinan Melanggar Undang-Undang 12 Otonomi Khusus § Para Pemohon Tidak Melaksanakan Kewajiban 14 Permentan 26 Tahun 2007 § Penerbitan Izin Tidak Sesuai Prosuder 15 § Izin Usaha Perkebunan Melanggaran AUPB § Pengadilan PTUN Tidak Berwenang Memeriksa 16 Permohonan Fiktif Positif § Permohonan Fiktif Positif Kurang Pihak 18 § Para Pemohon Seharusnya Mengajukan Gugatan 18 Bukan Permohonan Fiktif Positif Bab V. Penutup 20

(3)

BAB I PERNYATAAN KEPENTINGAN YAYASAN PUSAKA BENTALA RAKYAT SEBAGAI AMICI 1. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat disingkat Yayasan Pusaka merupakan organisasi non pemerintah yang dibentuk pada November 2007, berbadan hukum berbentuk Yayasan yang entitas legalnya didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor Nomor AHU-0017824.AH.01.04 Tahun 2018 Tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

2. Sebagai organisasi Non Pemrintah Yayasan Pusaka mengupayakan dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar rakyat, hak atas tanah dan kekayaan alam lainnya, hak atas lingkungan dan keadilan sosial. Tujuan Yayasan Pusaka adalah (1) Adanya pengakuan dan perlindungan atas keberadan dan Hak-hak Masyarakat adat dan kelompok masyarakat miskin (2) Adanya jaminan kebijakan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan.

3. Untuk mencapai Tujuan tersebut, Yayasan Pusaka melakukan kerja-kerja a) Melakukan pengkajian, pendidikan dan pelatihan b) Memfasilitasi pendampingan dan pengorganisasian masyarakat c) Melakukan pendokumentasian hak-hak masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam d) Melakukan advokasi kebijakan e) Mengembangkan media informasi dan publikasi.

4. Dalam melakukan kerja-kerjanya Yayasan Pusaka terikat kepada Pancasila dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Memiliki Prinsip (1) Berpikir dan bertindak adil (2) Bertanggungjawab (3) Transparan (4) Berkomitmen melindungi dan menghormati hak-hak dan berkelanjutan llingkungan (5) Bekerjasama. Yayasan Pusaka menganut nilai-nilai Keadilan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Kesetaraan Gender.

5. Dalam mencapai maksud dan tujuannya, Yayasan Pusaka telah melakukan berbagai kegiatan yang dilakukan secara terus menerus di Provinsi Papua khususnya wilayah Kabupaten Boven Digoel, lokasi tempat Eks konsensi perkara berada. Bentuk kegiatan yang telah dilakukan Yayasan Pusaka adalah

5.1 Yayasan Pusaka memfasilitasi masyarakat adat di Kabupaten Boven Digoel yang berada di Kampung Metto, Kampung Hello, Kampung Persiapan Afu, melakukan pemetaan tanah dan hutan adat, pendidikan dan pengembangan kapasitas masyarakat terkait hak-hak hukum Orang Asli Papua. Penduduk di ketiga kampung tersebut

(4)

adalah pemilik hak ulayat Eks Konsensi PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri.

5.2 Yayasan Pusaka melakukan kampanye Publik hak-hak Masyarakat Adat di Kabupetan Boven Digoel. Kampanye adalah bagian dari kebebasan ekspresi yang telah dijamin oleh Pasal 28 E ayat 3 dan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945. Kampanye pemohon dapat dilihat

https://pusaka.or.id/2016/11/perusahaan-menara-group-tidak-melaksanakan-kewajibannya/

5.3 Yayasan Pusaka menerbitkan berbagai macam publikasi, audio visual, laporan dan buku lainnya dalam rangka mendorong adanya pengakuan terhadap masyarakat adat dan perlindungan hak

lingkungan. Publikasi Pusaka dapat dilihat di

https://pusaka.or.id/2021/02/catatan-akhir-tahun-tak-surut-meski-pandemik/ , https://pusaka.or.id/2015/04/atlas-sawit-papua-dibawah-kendali-penguasa-modal/ .

6. Berdasarkan uraian diatas, Yayasan Pusaka menyatakan mempunyai kepentingan dalam berbagai persoalan lingkungan hidup, masyarakat adat, kehutanan dan melakukan advokasi pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.

7. Dengan ini Yayasan Pusaka mengajukan pendapat tertulis dalam bentuk dokumen Amicus Curie (sahabat peradilan) kepada Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang memeriksa, mengadili dan memutuskan Perkara Nomor 3/P/FP/2021/PTUN.JPR atas nama Pemohon PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri.

8. Pendapat tertulis ini disampaikan guna menjadi bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim untuk memutus perkara a quo secara adil dan berdasarkan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa.

(5)

BAB II

POSISI HUKUM AMICUS CURIE DALAM PERADILAN DI INDONESIA

9. Amicus curiae merupakan istilah Latin yang diartikan sebagai friend of the

Court. Amicus curiae diajukan oleh seseorang yang bukan merupakan

pihak yang terlibat dalam suatu perkara disuatu proses peradilan. Menurut William H. Rehnquist, pihak yang tidak terlibat dalam suatu perkara mengajukan amicus curiae dalam suatu brief singkat kepada pengadilan dengan kepercayaan bahwa putusan pengadilan akan berpengaruh pada kepentingannya.1 Yang dapat dikatakan sebagai Amicus

curiae adalah ; 2

a. Seseorang, sekumpulan orang, atau organisasi yang tidak memiliki hubungan dan kepentingan dengan para pihak dalam suatu perkara; b. Memiliki ketertarikan dan berkepentingan terhadap hasil putusan

pengadilan;

c. Dengan cara memberikan pendapat/informasi berdasarkan kompetensinya tentang masalah hukum atau fakta hukum atau hal lain yang terkait kasus tersebut ke pengadilan;

d. Untuk membantu pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara (menjadi sahabat);

e. Secara sukarela dan atas prakarsa sendiri, atau karena pengadilan memintanya;

f. Dalam bentuk pemberian‚ pendapat hukum atau dengan memberikan keterangan di persidangan atau melalui karya ilmiah; 10. Dengan demikian, amicus curiae disampaikan oleh seseorang yang tertarik

dalam mempengaruhi hasil dari aksi, tetapi bukan merupakan pihak yang terlibat dalam suatu sengketa; atau dapat juga seorang penasihat yang diminta oleh pengadilan untuk beberapa masalah hukum, sebab seseorang dimaksud memiliki kapasitas yang mumpuni untuk masalah hukum yang sedang diperkarakan di pengadilan, dan orang tersebut bukan merupakan pihak dalam kasus bersangkutan, artinya seseorang tersebut tidak memiliki keinginan untuk mempengaruhi hasil perkara yang melibatkan masyarakat luas.

11. “Amicus Curiae” atau “Friends of the Court” merupakan merupakan konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktikkan dalam tradisi common law. Melalui mekanisme Amicus curiae ini, pengadilan diberikan izin untuk

1 http/www.techlawjournal.com/glossary/legal/amicus.htm

(6)

mengundang pihak ketiga guna menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar.

12. Dalam tradisi common law, mekanisme amicus curiae pertama kalinya diperkenalkan pada abad ke14. Selanjutnya pada abad ke-17 dan 18, partisipasi dalam amicus curiae secara luas tercatat dalam All England

Report. Dari laporan ini diketahui beberapa gambaran berkaitan dengan

amicus curiae : a. Fungsi utama amicus curiae adalah untuk mengklarifikasi isu-isu faktual, menjelaskan isu-isu hukum dan mewakili kelompok-kelompok tertentu; b. amicus curiae, berkaitan dengan fakta-fakta dan isu-isu hukum, tidak harus dibuat oleh seorang pengacara

(lawyer); c. amicus curiae, tidak berhubungan penggugat atau tergugat,

namun memiliki kepentingan dalam suatu kasus; d. izin untuk berpartisipasi sebagai amicus curiae

13. Di Amerika Serikat, sebelum terjadinya kasus Green v. Biddle pada awal abad ke 19, lama sekali pengadilan menolak untuk memperbolehkan partisipasi amicus curiae dalam proses peradilan. Namun, sejak awal abad 20, amicus curiae memainkan peranan penting dalam kasus-kasus yang menonjol (landmark) dalam sejarah hukum Amerika Serikat, seperti misalnya kasus-kasus hak sipil dan aborsi. Bahkan, dalam studi yang dilakukan tahun 1998, amicus curiae telah berpartisipasi dalam lebih dari 90 persen kasus-kasus yang masuk ke Mahkamah Agung (US Supreme

Court).

14. Praktik amicus curiae di Indonesia merupakan suatu tradisi yang baru dalam proses peradilan. Publik mulai terlibat aktif memberikan keterangan dan pendapatnya kepada pengadilan melalui amicus curiae dimulai pada tahun 2005 dalam gugatan Class Action Perbuatan Melawan Hukum perkara ganti kerugian korban eks tahanan politik 1965 dan diikuti dalam kasus majalah Time vs Soeharto ditingkat Peninjauan Kembali tahun 2008;

15. Dua amicus curiae tersebut memantik publik untuk terlibat sebagai sahabat pengadilan dalam berbagai perkara yang terkait kepentingan publik. Terdapat beberapa amicus curiae yang dijadikan pertimbangan Majelis Hakim dalam mengambil putusan. Dalam perkembangannya saat ini banyak organisasi masyarakat dan individu mengajukan amicus curiae ke pengadilan. Diantaranya :

1) Amicus Curiae dalam perkara Prita Mulyasari dalam No Perkara: 1269/PID.B/2009/PN.TNG, diajukan oleh: ELSAM, ICJR, IMDLN, PBHI dan YLBHI, Oktober 2009.

2) Amicus Curiae Dalam Kasus WA Pada Nomor Register Perkara: 6/PID.SUSAnak/2018/JMB Di Pengadilan Tinggi Jambi, diajukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Agustus tahun 2018, yang

(7)

kemudian Hakim memutus lepas WA dengan mempertimbangan pendapat yang disampaikan ICJR;

3) Amicus curiae Wahana Lingkungan Hidup nasional pada Perkara Pidana No 89/Pid.B/LH/2020/PN Bls di Pengadilan Negeri Bengkalis;

16. Amicus telah eksis dalam praktik peradilan di Indonesia, ketentuan Amicus

Curiae dalam sistem hukum Indonesia pada umumnya didasarkan pada

ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan: “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

17. Selain beragam Amicus Curiae di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, Amicus Curiae juga dipraktikkan dalam berbagai perkara di Mahkamah Konstitusi. Dalam perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi, posisi Amicus Curiae dinyatakan sebagai bukti/keterangan yang bersifat Ad

Informandum.

18. Amicus Curiae bukanlah suatu bentuk intervensi terhadap kebebasan Hakim dalam memutus suatu perkara. Sebaliknya, Amicus Curiae justru membantu Majelis Hakim dalam memeriksa, mempertimbangkan, dan memutus perkara.

(8)

BAB III

FAKTA-FAKTA KASUS

19. PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri adalah dua perusahaan yang awalnya dimiliki oleh PT Menara Group, PT Menara Group memiliki 7 (tujuh) anak perusahaan yang mendapatkan izin dan menguasai lahan dan kawasan hutan seluas 269.875 hektar untuk usaha perkebunan kepala sawit di Kabupaten Boven Digoel. Setelah mendapatkan Perizinan, saham perusahaan dijual kepada Tadmax Resources Berhad Group (perusahaan modal asing) dengan tujuan menguasai sumber daya alam milik Masyarakat Adat Boven Digoel. Lihat https://geckoproject.id/kesepakatan-rahasia-hancurkan-surga-papua-b347e51639fb dan https://www.mongabay.co.id/2019/02/11/kesepakatan-rahasia-hancurkan-hutan-papua-berikut-foto-dan-videonya/ . 20. Tanggal 18 Februari 2011 Pemerintah Provinsi Papua mengeluarkan Izin Usaha Perkebunan melalui SK Kepala BKPM Provinsi Papua Nomor 525.2/115 kepada PT Manunggal Sukses Mandiri dan SK Kepala BKPM Provinsi Papua Nomor 525.2/116 kepada PT Trimegah Karya Utama yang ditandatangani Drs Purnama, MPIA.

21. Penerbitan Izin Usaha Perkebunan PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri tanpa mendapatkan persetujuan Masyarakat Adat di Boven Digoel. Sehingga menimbulkan konflik di Masyarakat

https://jubi.co.id/bagaimana-boven-digoel-menjadi-sasaran-perkebunan-sawit-terluas-di-dunia/ dan proses penerbitan yang diduga terjadi

pemalsuan dokumen perizinan

https://www.mongabay.co.id/2019/12/18/pejabat-pemerintah-ungkap-ada-dugaan-pemalsuan-izin-perkebunan-sawit-di-papua/ .

22. Melalui Surat Nomor 021/LMA/BD/2014 tanggal 09 Desember 2014 Lembaga Masyarakat Adat Kabupaten Boven Digoel meminta dilakukan pencabutan Izin Usaha Perkebunan atas nama tiga perusahaan 1) PT Manunggal Sukses Mandiri 2) PT Usaha Nabati Terpadu 3) PT Trimegah Karya Utama dengan alasan tidak pernah ada kesepakatan dengan Masyarakat adat pemilik ulayat ;

23. Tanggal 01 Oktober 2015 Bupati Boven Digoel mengeluarkan Keputusan Bupati No 522/539.a/BUP/2015 tentang pencabutan izin usaha

perkebunan kelapa sawit atas tiga perusahaan yang ditandatangani

Bupati Yesaya Merasi, S.IP

1) PT Manunggal Sukses Mandiri ; 2) PT Trimegah Karya utama ; 3) PT usaha Nabati terpadu.

(9)

24. Tahun 2015 pasca pencabutan izin usaha perkebunan, areal konsesi dialihkan ke PT Perkebunan Boven Digoel Sejahtera dan PT Boven Digoel Budidaya Sentosa, milik Politisi Demokrat Ventje Rumangkang, lalu diakuisisi PT. Digoel Agri Group, perusahaan modal asing;

25. Tanggal 18 September 2017 Bupati Boven Digoel mengeluarkan surat 590/1040/BUP/IX/2017 kepada Menteri LHK Cq Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan perihal klarifikasi areal APL di Kabupaten Boven Digoel yang pada intinya surat menyatakan PT Menara group tidak memberikan dampak kepada masyarakat sehinga masyarakat ingin mengganti perusahaan keperusahaan baru. Masyarakat yang dimaksud adalah Lembaga Masyarakat Adat ;

26. Tanggal 02 November 2017 Kepala Dinas penanaman Modal dan Pelayanan terpadu satu pintu Provinsi Papua atas nama Jhoni Way, S.Hut, M.Si mengeluarkan keputusan Kepala dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu No 25 Tahun 2017 tentang pencabutan izin usaha perkebunan atas nama PT Manunggal Sukses Mandiri dan No 24 Tahun 2017 tentang pencabutan izin usaha perkebunan atas nama TKU (terlampir) ;

27. Tanggal 25 Maret 2021 PT Trimegah Karya Utama (TKU) dan PT Manunggal sukses Mandiri (MSM), milik Tadmax Group melakukan permohonan Fiktif Positif ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura dengan permohonan melakukan permohonan Fiktif Positif ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura dengan permohonan

1) Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya ;

2) Mengabulkan Permohonan Para Pemohon untuk membatalkan Surat Keputusan Bupati Boven Digoel No. 522/539.a/BUP/2015 tentang pencabutan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit atas nama Termohon tertanggal 1 oktober 2015 ;

3) Mewajibkan kepada Termohon untuk menetapkan dan/atau mengeluarkan surat pembatalam atas Surat Keputusan Bupati Boven Digoel No. 522/539.a/BUP/2015 tentang pencabutan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit atas nama Termohon tertanggal 1 oktober 2015; dan

4) Mewajibkan Termohon untuk melaksanakan isi Putusan ini paling lama 5 (lima) hari kerja sejak putusan a quo ditetapkan.

(10)

BAB IV

PENDAPAT YAYASAN PUSAKA BENTALA RAKYAT SEBAGAI AMICI

Penerbitan Izin Usaha Perkebunan Melanggar Hak Masyarakat Adat

28. Eksistensi masyarakat adat diakui secara tegas dalam UUD NRI 1945. Pasal 18B UUD NRI 1945 mempergunakan terminologi masyarakat hukum adat sebagai terminologi yuridis. Rikardo Simarmata menyebut Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 adalah model pengakuan bersyarat yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial (Simarmata, 2006) yang harus diatur dalam undang-undang.

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

29. Mahkamah Konstitusi dalam putusan No 31/PUU-V/2007 memberikan pertimbangan kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia dibedakan atas kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat.

(1) Teritorial

Sedangkan yang bersifat teritorial bertumpu pada wilayah tertentu dimana anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan hidup secara turun menurun dan melahirkan hak ulayat yang meliputi ha atas pemamfatan tanah, air dan sebagainya. (2) Genealogis

Ikatan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat geneologis ditentukan berdasarkan kriteria hubungan keturuanan darah,

(3) Fungsional.

sedangkan ikatan masyarakat hukum adat yang bersifat fungsional didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan bersama yang mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan tidak tergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah.

Mahkamah juga menafsirkan pasal 18 ayat 2 terkait frase “masih hidup” mengandung unsur (1) adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in group feeling) (2) adanya pranata pemerintahan adat (3) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat dan (4) adanya perangkat norma hukum adat. Khusus yang bersifat teritorial memiliki wilayah tertentu.

(11)

30. Mahkamah konstitusi pada tahun 2012 membuat keputusan No 35/PUU-X/2012 yang melindungi hutan adat. Mahkamah memutuskan menghapus frase negara dari Pasal 1 angka 6 undang-undang Kehutanan sehingga menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Putusan ini menjadi memperkuat keberadaan masyarakat adat. Didalam putusan Mahkamah konstitusi disebutkan “hutan adat (yang disebut dengan hutan marga, hutan pertuanan atau sebutan lainnya) berada dalam cakupan hak ulayat karena berada dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat, yang peragaannya didasarkan atas leluri (tradio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de volksfeer) dan mempunyai suatu badan perutusan yang berwibawa dalam selutuh lingkungan wilayahnya. Atas putusan ini banyak masyarakat adat yang kembali mempertahankan hutan adatnya.

31. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi di atas memberikan penegasan status hutan adat sebagai hutan hak yang terpisah dengan hutan negara. Selanjutnya, status hutan adat sebagai hutan hak diberikan dengan memperhatikan keberadaaan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Proses pengakuan ini juga sejalan dengan pengaturan Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan yang mensyaratkan pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah. Pertimbangan MK dan rumusan Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan inilah yang menjadi tantangan bagi masyarakat hukum adat untuk memperoleh daulatnya terhadap hutan yang berada di wilayah adatnya. Perda yang memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat tidak sekedar berelasi sebagai dasar penerbitan hutan adat, secara lebih luas regulasi tersebut juga mempertegas wilayah, hukum dan pranata, tradisi dan kebudayaan serta hal lain yang menjadi hak masyarakat hukum adat. 32. Bahkan beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur dan

mengakui keberadaan masayarakat hukum adat mempergunakan istilah, definisi dan unsur yang dimaksud secara beragam. Beberapa definisi dan unsur masyarakathukum adat yang cukup jelas paling tidak dapat dilihat pada ketentuan di bawah:

No Undang-Undang Pengaturan

1 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun

1967 tentang

Pokok Kehutanan

Hutan marga yang dikuasai masyarakat hukum adat (MHA) termasuk dalam hutan negara dengan tidak meniadakan hak-hak MHA yang bersangkutan dan anggota-anggotanya untuk mendapatkan manfaat dari hutan tersebut sepanjang hak-hak itu menurut kegiatannya masih ada (Pasal 2)

(12)

2 UU No 41 Tahun

1999 Tentang

Kehutanan

- Hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya MHA yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya (Pasal 5).

- Memberi kesempatan kepada masyarakat hukum adat, lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan lembaga sosial dan keagamaan dalam pengelolaan hutan dengan tujuan khusus (Pasal 34)

- Pengukuhan dan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan peraturan daerah, tetapi penetapan hutan adat merupakan kewenangan menteri (Pasal 67) 3 UU No 22 Tahun

2001 tentang

Migas

Kegiatan usaha migas tidak dapat dilaksanakan pada tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya serta tanah milik masyarakat adat (Pasal 33)

4 UU No 27 Tahun

2003 tentang

Panas bumi

Kegiatan usaha panas bumi tidak dapat dilaksanakan pada tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya serta tanah milik masyarakat adat (Pasal 16) 5 UU Nomor 18 Tahun 2004 Tentang perkebunan yang diakui masyarakat hukum adat adalah :

1. masyarakat masih dalam bentuk

paguyuban (rechtsgemeinschaft);

2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat;

3. ada wilayah hukum adat yang jelas;

4. ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan

5. ada pengukuhan dengan peraturan daerah 6 UU No 27 Tahun

2007 yang diubah dengan UU No 1

Tahun 2014

Tentang pengelolaan

wilayah pesisir

Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat pe-sisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial

(13)

dan pulau-pulau kecil

dan hukum (Pasal 1, angka 35) 7 UU No. 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Mengatur yang diakui masyarakat hukum adat adalah :

1. kelompok masyarakat secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu;

2. adanya ikatan pada asal usul leluhur; 3. adanya hubungan yang kuat dengan

lingkungan hidup,10 serta;

4. adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum adat.

8 UU No. 6 Tahun

2014 tentang Desa Mengatur yang diakui masyarakat hukum adat adalah : 1. memiliki wilayah paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya: 2. masyarakat yang warganya memiliki

perasaan bersama dalam kelompok; 3. pranata pemerintahan adat;

4. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau

5. perangkat norma hukum adat.

33. Penerbitkan Izin Usaha Perkebunan PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri yang dilakukan pemerintah daerah melanggar peraturan perundang-undangan karena tidak menghormati hak-hak Masyarakat Adat di Boven Digoel.

Pemberian Perizinan Melanggar Undang-Undang Otonomi Khusus

34. UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua merupakan pengakuan hak-hak masyarakat asli papua atas kekayaaan alam, kebudayaan, kearifan lokal dan posisi masyarakat asli papua. Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada provinsi papua untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkaan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat papua ;

(14)

35. BAB XI tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat Pasal 43 mengatur pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat, penyedian atas tanah ulayat untuk keperluan apapun harus berdasarkan musyawarah dengan masyarakat hukum ada yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan. Apabila membaca penjelasan Pasal 43 ayat 4 “musyawarah

antara para pihak yang memerlukan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan mendahului penerbitan surat izin perolahan dan pemberian hak oleh instansi yang berwenang. Kesepakatan hasil musyawarah tersebut merupakan syarat bagi penerbitan surat izin dan keputusann pemberian hak yang bersangkutan”’ .

36. Pasal 63 UU Otsus tertulis “Pembangunan di Provinsi Papua dilakukan

dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah”.

37. Pemberian izin kepada PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri melanggar Pasal 43 ayat 4 UU No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus. Berdasarkan keterangan masyarakat pemilik hak, perusahaan hadir ke wilayah adat setelah membawa perizinan dari pemerintah, perusahaan menggunakan dalil memiliki izin untuk menekan masyarakat tanah adat. Hal ini telah menimbulkan konflik ditingkat masyarakat karena tidak ada ruang partisipasi sejak awal untuk mendapatkan informasi hingga menentukan keputusan atas hak adatnya . 38. Kebijakan pemberian perizinan perkebunan kepada PT Trimegah Karya

Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri tidak sesuai dengan tujuan pembangunan Provinsi Papua yang mengutamakan prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan. Pembangunan perkebunan industrik kelapa sawit akan menggusur wilayah masyarakat adat suku awyu, menghilangkan keanekaragaman hayati, sumber daya alam, kebudayaan masyarakat. Kebijakan ini sangat bertentangan dengan hak-hak masyarakat adat dan lebih menguntungkan industri kapital.

39. Masyarakat adat Suku Awyu pemilik tanah adat yang menjadi sasaran proyek mengaku tidak dilibatkan sepenuhnya sebagaimana mestinya dan mereka belum memiliki keputusan apapun, tetapi izin telah diterbitkan, diperpanjang dan diperbaharui, tanpa konsultasi dan tanpa adanya kesepakatan masyarakat. Bahkan tiga perusahaan sudah beroperasi menggusur hutan tanpa adanya persetujuan dari seluruh masyarakat adat pemilik tanah adat.

(15)

40. Memperhatikan hal tersebut maka kiranya Majelis Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang memeriksa, mengadili dan memutuskan Perkara Nomor 3/P/FP/2021/PTUN.JPR atas nama Pemohon PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri memperhatikan keadilan dan Hak Masyarakat adat untuk memutuskan tidak menerima permohonan tersebut.

Para Pemohon Tidak Melaksanakan Kewajiban Sesuai Permentan 26 Tahun 2007

41. PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan Pasal 34 huruf a, b, g Permentan No 26/2007. Pasal 34 Permentan No 26/2007. Sehingga alasan Bupati Boven Digoel untuk mencabut Izin Usaha Perkebunan telah tepat.

a. menyelesaikan hak atas tanah selambat-Iambatnya 2 (dua) tahun

sejak diterbitkannya IUP-B, IUP-P, atau IUP; b. merealisasikan pembangunan kebun dan/atau unit pengolahan sesuai dengan studi kelayakan, baku teknis, dan ketentuan yang berlaku; c. …………; d. …………; e. …………; f. …………;

g. menumbuhkan dan memberdayakan masyarakat/koperasi setempat;

serta

h. …………. ;

42. Tindakan Termohon mencabut IUP Pemohon adalah dalam melakukan pengawasan hingga pemberian sanksi sesuai dengan pasal 38 Permentan No 26 tahun 2007 kepada Pemohon yang tidak menjalankan kewajiban usahanya. No. Nama Perusahaan Surat Keputusan Izin Lokasi Keterangan 1 PT. Trimegah

Karya Utama • SK Bupati Boven Digoel Nomor 108 Tahun 2007, tanggal 08 Desember 2007; Masyarakat tidak punya salinan dokumen. 2 PT. Manunggal Sukses Mandiri • SK Bupati Boven Digoel Nomor 114 Tahun 2007, tanggal 08 Desember 2007; Masyarakat tidak punya salinan dokumen.

(16)

Penerbitan Izin Tidak Sesuai Prosuder

43. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 35, Pasal 22 sd Pasal 26; Pasal 34, Pasal 36 dan Pasal 40 ; Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pasal 3 sd Pasal 7; dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan Pasal 17 huruf j, yang mengatur mengsyaratkan setiap izin usaha wajib memiliki dokumen lingkungan, yakni Izin Lingkungan, AMDAL dan UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan). Kami menemukan Para Pemohon belum memenuhi persyaratan lengkap dan atau tanpa dokumen lingkungan, yakni Amdal, dan UKL-UPL, sebagaimana syarat ketentuan yang diatur.

44. Memperhatikan hal tersebut maka kiranya Majelis Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang memeriksa, mengadili dan memutuskan Perkara Nomor 3/P/FP/2021/PTUN.JPR atas nama Pemohon PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri memperhatikan keberlanjutan Lingkungan hidup untuk tidak menerima permohonan Para Pemohon.

Izin Usaha Perkebunan PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri Melanggar AUPB dan Berpotensi Melanggar UU No 28

No. Nama Perusahaan Surat Keputusan Izin Lingkungan Keterangan 1 PT. Trimegah Karya Utama SK Bupati Boven Digoel Nomor 56 Tahun 2010, tanggal 08 September 2010; Tidak ada salinan lengkap dokumen izin lingkungan, AMDAL, UKL-UPL; 2 PT. Manunggal Sukses Mandiri SK Bupati Boven Digoel Nomor 55 Tahun 2010, tanggal 08 September 2010; Tidak ada salinan lengkap dokumen izin lingkungan, AMDAL, UKL-UPL;

(17)

Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme

45. UU No 28 Tahun 1999 mengatur penyelenggaraan Negara harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menaati asas-asas penyelanggaraan Negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama melawan hukum antar penyelanggara Negara atau antara penyelanggaraan Negara dan pihak lan yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelanggaraan Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara. Berdasarkan hal itu setiap pejabat Negara wajib menaati asas-asas umum penyelanggaraan Negara meliputi 1. Asas kepastian hukum 2. Asas tertib penyelenggaraan Negara 3. Asas kepentingan umum 4. Asas keterbukaan 5. Asas proporsionalitas 6. Asas profesionalitas 7. Asas akuntabilitas.

46. Pasal 9 UU No 28 tahun 1999 mengatur peran seran masyarakat dalam bentuk hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi penyelenggaran, memperoleh pelayanan yang sama, hak menyampaikan saran pendapat, hak memperoleh perlindungan hukum.

47. Penerbitan perizinan PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri melanggar asas-asas umum penyelanggaran Negara dan menutup peran serta masyarakat dalam proses perizinan. Masyarakat Adat tidak dilibatkan untuk memutuskan pemamfaatan wilayah ulayatnya sebagai perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah dan pihak pemohon perkara. 48. Selain UU No 28 Tahun 2009 terdapat beberapa UU yang mengatur

tentang AUPB yaitu UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, UU No 4 tahun 2014 tentang aparatur sipil, UU No 25 Tahun 2009 tentang pelayanan public, UU No 23 tahun 2014 Tentang pemerintah daerah, UU No 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan yang berpotensi dilanggar atas penerbitan perizinan.

Pengadilan PTUN Tidak Berwenang Memeriksa Permohonan Fiktif Positif

49. Sebelum berlakunya UU administrasi pemerintahan (AP), hukum administrasi mengenal jenis keputusan fiktif negatif, kemudian diperkenalkan keputusan fiktif positif melalui Pasal 53 UU AP. Istilah fiktif digunakan karena tidak ada keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat negara atas sebuah permohonan, tetapi dianggap telah mengeluarkan. Fiktif Negatif diartikan permohonan yang dimohonkan “ditolak”oleh pejabat negara, pemohon dapat melakukan gugatan atas penolakan tersebut ke PTUN. Fiktif negatif diatur didalam UU Peradilan TUN . Fiktif

(18)

positif diartikan permohonan yang dimohon “dikabulkan” oleh pejabat pemerintah, pemohon mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan.

50. UU Nomor 30/2014 pasal 53 telah mengatur tentang batas waktu kewajiban pejabat tata usaha negara menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika keputusan/tindakan tidak diatur batas waktu kewajibannya dalam sebuah peraturan perundangan, badan/pejabat TUN wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan. Apabila batas waktu pejabat tidak mengeluarkan keputusan/ kebijakan maka permohonan dianggap “dikabulkan” secara hukum. Pemohon kemudian mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memperoleh putusan, pengadilan wajib memutuskan paling lama 21 hari kerja sejak permohonan diajukan. Dalam waktu 5 (lima) hari pejabat negara wajib menetapkan keputusan untuk melaksanakan putusan pengadilan.

51. Pasca berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, telah merubah ketentuan pasal 53 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, memperpendek waktu penetapan keputusan/tindakan menjadi 5 (lima) hari dianggap dikabulkan secara hukum sejak permohonan. Pasal 175 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga menghapus kewenangan absolut Pengadilan Tata Usaha Negara memutuskan permohonan fiktif positif. UU Cipta Kerja mengatur lebih lanjut bentuk penetapan/keputusan akan diatur didalam Peraturan Presiden.

52. Sebelumnya kewenangan mengadili fiktif positif dihilangkan melalui UU Cipta Kerja, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 8 tahun 2017 (Perma No 8 Tahun 2017) Tentang Pedoman Beracara Untuk memperoleh Putusan atas penerimaan permohonan Konsekuensi dari penghapusan kewenangan absolut tersebut maka Perma No 8 Tahun 2017 tidak berlaku lagi.

53. Akibat dari di hapuskannya kewenangan absolut peradilan Tata usaha Negara untuk memeriksa permohonan fiktif positif maka sudah seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang memeriksa, mengadili dan memutuskan Perkara Nomor 3/P/FP/2021/PTUN.JPR atas nama Pemohon PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri memutuskan tidak menerima permohonan tersebut.

(19)

54. Pada tanggal 02 November 2017 Kepala Dinas penanaman Modal dan Pelayanan terpadu satu pintu Provinsi Papua atas nama Jhoni Way, S.Hut, M.Si mengeluarkan keputusan Kepala dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu No 25 Tahun 2017 tentang pencabutan izin usaha perkebunan atas nama PT Manunggal Sukses Mandiri dan No 24 Tahun 2017 tentang pencabutan izin usaha perkebunan atas nama TKU (terlampir).

55. Kedua Keputusan yang dikeluarkan diatas memberikan Kepastian Hukum berakhirnya usaha yang dimiliki oleh para pemohon. Sejalan dengan keputusan/tindakan yang dilakukan oleh Bupati Boven Digoel yang melakukan pencabutan Izin Usaha Perkebunan Para Pemohon melalui

Keputusan No. 522/539.a/BUP/2015 dan Keputusan No.

522/539.a/BUP/2015 tertanggal 1 oktober 2015.

56. Seharusnya permohonan juga diajukan kepada Gubenur Provinsi Papua Cq Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provnisi Papua. Dengan demikian Permohonan Para Pemohon kurang pihak.

57. Akibat dari permohonan kurang pihak sudah seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang memeriksa, mengadili dan memutuskan Perkara Nomor 3/P/FP/2021/PTUN.JPR atas nama Pemohon PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri memutuskan tidak menerima permohonan tersebut.

Para Pemohon Seharusnya Mengajukan Gugatan Bukan Permohonan Fiktif Positif

58. Dalam buku PTUN dalam Optik Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Halaman 102-104, Dr Martitah, S.H.M.Hum dkk mengemukaan Teori lahirnya fiktif positif tidak lepas dari perubahan paradigma pelayanan publik yang mengharuskan badan atau pejabat pemerintah lebih responsive terhadap permohonan masyarakat. Keinginan dasar dan arah politik hukum dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan adalah meningkatnya kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Sebelumnya dikenal fiktif negatif, meskipun ada perbedaan diantara kontruksi hukum keputusan fiktif negatif dan kontruksi fiktif positif namun demikian prinsip yang belaku pada keduanya tetap sama, yaitu harus ada kewajiban hukum dari termohon untuk menjawab permohonan yang diajukan secara lengkap oleh anggota masyarakat. Dalam prakteknya permohonan fiktif negatif sering “diakali” dengan memohon kepada badan atau pejabat untuk membatalkan surat keputusan yang telah diterbitkan, karena jika surat keputusan obyek sengketa diajukan gugatan dengan dasar pasal 1 angka 9

(20)

UU PTUN sudah melebih tenggang waktu pengajuan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU PTUN. Atas dasar fakta tersebut, potensi untuk “mengakali” tenggang waktu pengajuan gugatan melalui permohonan fiktif positif bisa saja terjadi. Sehingga dalam permohonan pembatalan surat keputusan, tidak ada kewajiban bagi Badan atau Pejabat

pemerintahan untuk menjawab permohonan pemohon. Dengan demikian secara tegas kontruksi hukum fiktif positif hanya dimaksudkan untuk permohonan yang belum ada surat keputusannya, bukan untuk permohonan membatalkan surat keputusan.

https://lib.unnes.ac.id/32388/1/BUKU_PTUN_DALAM_OPTIK_UU.pdf

59. Perlawanan yang seharusnya dilakukan Para Pemohon menggunakan Gugatan untuk membatalkan Keputusan Pejabat Tata Usaha yang diatur dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 5 tahun 1986 sebagaimana dirubah melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Yurisprudensi Mahkamah Agung telah mengatur tenggang waktu pengajuan gugatan selain 90 hari sejak diterima Surat Keputusan Tata Usaha Negara (SK TUN) juga dapat menggunakan argumentasi sejak mengetahui adanya Surat Keputusan Tata Usaha Negara. Upaya menggunakan permohonan Fiktif Positif tidak dapat dibenarkan.

60. Berdasarkan argumentasi diatas sudah seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang memeriksa, mengadili dan memutuskan Perkara Nomor 3/P/FP/2021/PTUN.JPR atas nama Pemohon PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri memutuskan tidak menerima permohonan tersebut.

(21)

BAB IV PENUTUP

61. Penerbitan Izin Usaha Perkebunan PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri yang dilakukan pemerintah daerah melanggar peraturan perundang-undangan Pasal 18 B UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi 31/PUU-V/2007 yang memberikan pengakuan kepada Masyarakat Hukum Adat, Putusan Mahkamah Konstitusi 35/PUU-X/2012 tentang pengakuan hutan adat. Penerbitan Izin Usaha Perkebunan tidak menghormati hak-hak Masyarakat Adat di Boven Digoel.

62. Pemberian izin kepada PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri melanggar Pasal 43 ayat 4 UU No 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus. Kedua perusahaan menggunakan dalil memiliki izin untuk menekan masyarakat tanah adat. Hal ini telah menimbulkan konflik ditingkat masyarakat karena tidak ada ruang partisipasi sejak awal untuk mendapatkan informasi hingga menentukan keputusan atas hak adatnya. 63. PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri tidak

melakukan kewajibannya sesuai dengan Pasal 34 huruf a, b, g Permentan No 26/2007. Pasal 34 Permentan No 26/2007. Sehingga alasan Bupati Boven Digoel untuk mencabut Izin Usaha Perkebunan telah tepat.

64. Penerbitan perizinan PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri melanggar asas-asas umum penyelanggaran Negara dan menutup peran serta masyarakat dalam proses perizinan. Masyarakat Adat tidak dilibatkan untuk memutuskan pemamfaatan wilayah ulayatnya sebagai perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah dan pihak pemohon perkara. 65. Pasal 175 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta merubah ketentuan

pasal 53 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Pasal 175 UU Nomor 11 Tahun 2020 menghapus kewenangan absolut Pengadilan Tata Usaha Negara mengadili permohonan fiktif positif. Akibat dari di hapuskannya kewenangan absolut peradilan Tata usaha Negara untuk memeriksa permohonan fiktif positif maka sudah seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang memeriksa, mengadili dan memutuskan Perkara Nomor 3/P/FP/2021/PTUN.JPR atas nama Pemohon PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri memutuskan tidak menerima permohonan tersebut.

66. Seharusnya permohonan juga diajukan kepada Gubenur Provinsi Papua Cq Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provnisi Papua. Dengan demikian Permohonan Para Pemohon kurang pihak. Akibat dari permohonan kurang pihak sudah seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang memeriksa,

(22)

mengadili dan memutuskan Perkara Nomor 3/P/FP/2021/PTUN.JPR atas nama Pemohon PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri memutuskan tidak menerima permohonan tersebut.

67. Para Pemohon seharusnya menggunakan Gugatan untuk membatalkan Keputusan Pejabat Tata Usaha yang diatur dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 5 tahun 1986 sebagaimana dirubah melalui Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Bukan menggunakan permohonan fiktif positif untuk membatalkan keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sehingga seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang memeriksa, mengadili dan memutuskan Perkara Nomor 3/P/FP/2021/PTUN.JPR atas nama Pemohon PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri memutuskan tidak menerima permohonan tersebut.

68. Berdasarkan Hal diatas kami Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyimpulkan terjadi pelanggaran dalam menerbitkan Izin Usaha Perkebunan PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri sehingga keputusan Bupati Boven Digoel untuk mencabut Izin Usaha Perkebunan kedua perusahaan telah tepat. Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapuran tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara Nomor 3/P/FP/2021/PTUN.JPR atas nama Pemohon PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri.

69. Kiranya Amicus Curiea ini dapat menjadi pertimbangan bagi Majelis Hakim dalam memutuskan perkara ini Jakarta, 15 April 2021 Tigor Gemdita Hutapea, S.H Staff Advokasi Yayasan Pusaka

Referensi

Dokumen terkait

Apabila tidak memenuhi unsur-unsur tersebut, kewenangan untuk mengadili jatuh kepada Pengadilan Umum (Negeri). Eksistensi Pengadilan Niaga saat ini adalah memeriksa perkara

Sesuai prinsip kebebasan dan keyakinan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, maka majelis hakim memang dapat memutus perkara dengan menyatakan

masing-masing sebagai Hakim Anggota, yang ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut ditingkat banding, berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Medan

PENGADILAN TINGGI MEDAN.. Bahwa adapun alasan Pembanding yang mengatakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tarutung telah lalai dalam mengadili perkara ini terutama

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengambilan keputusan majelis hakim dalam perkara perceraian di pengadilan agama kabupaten Sidrap berdasarkan 3 (tiga) indikator yaitu

Dimana mengadili merupakan serangkain tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan

Kemudian putusan yang akan dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura pada perkara nomor: 246/Pid.Sus/2020/PN Jap, terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan

Pengadilan pada tingkat pertama yang menerima,memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara sengketa adalah pengadilan negeri,yang sesuai dengan wilayah hukum dimana perkara, atau subjek