• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum Terhadap Hakim Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.361 Pid.Sus 2013 PN.JKT.BAR)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penegakan Hukum Terhadap Hakim Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.361 Pid.Sus 2013 PN.JKT.BAR)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A.Tindak Pidana Narkotika

1.Pengertian Narkotika

Narkotika secara etimologi berasal dari bahsa Yunani Narkoum, yang berarti membuat lumpuh atau membuat mati rasa.Pada dasarnya narkotika memiliki khasiat dan bermanfaat digunakan dalam bidang kedokteran, kesehatan dan pengobatan serta berguna bagi penelitian perkembangan ilmu pengetahuan farmasi atau farmakologi itu sendiri.Sedangkan dalam bahasa Inggris Narcotic

lebih mengarah keobat yang membuat penggunanya kecanduan.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan

atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungantersebut. 85

.Dengan timbulnya efek halusinasi inilah yang

menyebabkan kelompok masyarakat terutama di kalangan remaja ingin menggunakan narkotika meskipun tidak menderita apa-apa.Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan narkotika (obat).Bahaya bila menggunakan narkotika bila tidak sesuai dengan peraturan dapat menyebabkan adanya adiksi/ketergantungan obat (ketagihan). Adiksi adalah suatu kelainan obat

(2)

yang bersifat kronik/periodic sehingga penderita kehilangan control terhadap dirinya dan menimbulkan kerugian terhadap dirinya dan masyarakat. Orang-orang yang sudah terlibat pada penyalahgunaan narkotika pada mulanya masih dalam ukuran (dosis) yang normal.

Lama-lama pengguna obat menjadi kebiasaan, setelah biasa menggunakan narkotika, kemudian untuk menimbulkan efek yang sama diperlukan dosis yang lebih tinggi (toleransi). Setelah fase toleransi ini berakhir menjadi ketergantungan, merasa tidak dapat hidup tanpa narkotika.86

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.87

86

Juliana Lisa FR & Nengah Sutrisna W, Narkoba, Psikotropika dan Gangguan Jiwa Tinjauan Kesehatan dan Hukum, Nuha Medika,Yogyakarta, 2013, hal.2

87

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(3)

perangkat medis, kini narkotika mulai tenar diagungkan sebagai dewa dunia penghilang rasa sakit.88

a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

Dengan perkembangan teknologi dan industri obat-obatan, maka kategori jenis zat-zat narkotika semakin meluas pula seperti yang tertera dalam Lampiran Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka obat-obatan semacam narkotika berkembang pula cara pengelolahannya dan peredarannya. Namun belakangan diketahui bahwa zat-zat narkotika memiliki daya kecanduan yang bisa menimbulkan ketergantungan.Dengan demikian, maka untuk jangka waktu yang cukup panjang bagi si pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan dan pengendalian guna bisa disembuhkan.

Melihat begitu besarnya, efek negatif yang ditimbulkan dari narkotika apabila tidak digunakan sesuai dengan peruntukkannya, maka pemerintah perlulah mengawasi peredarannya di masyarakat. Agar narkotika tersebut tidak dipersalahgunakan oleh sebagian kalangan yang akan merugikan diri mereka sendiri. Oleh karenanya dikeluarkanlah Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika agar peredarannya di masyarakat dapat diawasi secara ketat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-undang tentang Narkotika bertujuan :

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;

88

(4)

c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika; dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna atau pecandu narkotika;

Sedangkan untuk pengertian narkotika sering diistilahkan sebagai drugs

yaitu sejenis zat yang dapat mempengaruhi tubuh si pemakai. Pengaruh-pengaruh tersebut berupa:89

1) Pengaruh menenangkan

2) Pengaruh rangsangan (rangsangan semangat dan bukan rangsangan seksual) 3) Menghilangkan rasa sakit

4) Menimbulkan halusinasi atau khayalan

Sudarto mengatakan bahwa:90 “Kata narkotika dari perkataan Yunani “Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.” Smith Kline dan Frech Clinical Staff mendefinisikan bahwa: 91

Tindak pidana narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang

“Narkotika adalah zat-zat atau obat-obatan yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, methadone).”

2. Tindak Pidana Narkotika

89

Soedjono Dirjosisworo, Kriminologi, Citra Aditya, Bandung, 1995, hal.157

90

Taufik Makaro, Suhasril, dan H.Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, Ghalian Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 17

91

(5)

termasuk dan/atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.Tindak pidana narkotika juga dapat dikatakan adalah penggunaan atau peredran narkotika yang tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar undang-undang narkotika).92 Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal anatara lain:93

a. Penyalahgunaan/melebihi dosis; b. Pengedaran narkotika;

c. Jual beli narkotika

Dari ketiga tindak pidana narkotika itu adalah merupakan salah satu sebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat, generasi muda, dan terutama bagi si pengguna zat berbahaya itu sendiri, seperti:

a. Pembunuhan; b. Pencurian; c. Pendongan; d. Penjambretan; e. Pemerasan; f. Pemerkosaan; g. Penipuan;

h. Pelanggaran rambu lalu lintas;

i. Pelecehan terhadap aparat keamanan, dan lain-lain.

92

Moh Taufik Makaro, Suhasril, Moh Zakky A.S., Op.Cit, hal. 45

93

(6)

Tindak pidana yang berhubungan dengan nerkotika termasuk tindak pidana khusus, dimana ketentuan yang dipakai termasuk diantaranya hukum acaranya menggunakan ketentuan khusus. Disebut dengan tindak pidana khusus, karena tindak pidana narkotika tidak menggunakan KUHPidana sebagai dasar pengaturan, akan tetapi menggunakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009.94

a. Di dalam Undang-Undang Narkotika No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah digolongkan ke dalam 3 (tiga) golongan berdasarkan kegunaan serta potensi ketergantungan. Dengan penggolongan ini tindak pidana serta berat ringannya sanksi disesuaikan dengan masing-masing golongan;

Secara umum hukum acara yang dipergunakan mengacu pada tata cara yang dipergunakan oleh KUHAP, akan tetapi terdepat beberapa pengecualian sebagaimana ditentukan oleh undang-undang narkotika.

Adapun pengaturan tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:

b. Mayoritas tindak pidana narkotika dirumuskan sebagai dengan konsep delik formil. Tidak ditemukan akibat konstitusif yang dilarang dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Hanya pasal 116, pasal 121 dan pasal 126 yang dirumuskan dengan rumusan delik dengan akibat yang dikualifikasir. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang larangan pemberian narkotika golongan I, golongan II, maupun golongan III secara tanpa hak dan melawan hukum kepada orang

94

(7)

lainuntuk digunakan. Dalam pasal-pasal tersebut terdapat akibat yang dilarang yaitu mati ataupun cacat pemanen. Apabila akibat yang dilarang terjadi maka akan dikenakan pemberatan.

c. Tidak ada kualifikasi tindak pidana dalam undang-undang ini apakah tergolong pada kejahatan ataupun pelanggaran;

d. Berlakunya hukum pidana Indonesia menurut tempat diperluas dengan adanya pasal 145 Undang-Undang No.35 Tahun 2009. Pasal tersebut mengatur bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang ini berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana precursor narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal 115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122, pasl 123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, pasal 127 ayat (1), pasal 128 ayat (1) dan pasl 129 diluar wilayah Negara Republik Indonesia. Kententuan ini mengandung asas nasionalis pasif terkait dengan berlakunya hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum Negara Indonesia, baik itu dilakukan oleh warga negara Indonesia atau bukan, yang dilakukan diluar Indonesia;

(8)

f. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III (pasal 113,118,123);

g. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III (pasal 114,119,124);

h. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III (pasal 115,120,125);

i. Perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III (pasal 116,121,126);

j. Setiap penyalahguna narkotika golongan I untuk digunakan orang lain narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III bagi diri sendiri (pasal127) ;

k. Perbuatan orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor (pasal 128);

(9)

narkotika membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito precursor narkotika untuk perbuatan narkotika (pasal 129);

m. Perbuatan dengan sengaja tidak melaporkan adnya tindak pidana yang diatur dalam pasal 111-119 (pasal 131);

n. Perbuatan melibatkan anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika yang diatur dalam pasal 111-126 dan pasal 129. (pasal 133);

o. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur, keluarga pecandu narkotika yang sudah cukup umur dengan sengaja tidak melaporkan hal tersebut (pasal 134);

p. Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban menurut pasal 45 (pasal 135);

q. Pencucian uang terkait tindak pidana narkotika (pasal 137);

r. Perbuatan menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindakn pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekusor narkotika di muka sidang pegadilan (pasal 138); s. Nahkoda atau kapten penerbangan yang secara melawan hukum tidak

melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 127 atau pasal 128. (pasal 139);

t. Perbuatan pejabat penegak hukum yang tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 (pasal 140-142);

(10)

v. Perbuatan pimpinan Ruma Sakit, Pusat Kesehatan Masyarakat, Balai Pengobatan, Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi Milik Pemerintah, dan Apotek yang mengedarkan narkotika golongan II, golongan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan (pasal 147 huruf a); w. Perbuatan pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,

membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan (pasal 147 huruf b);

x. Perbuatan pimpinan industri Farmasi tertentu yang memproduksi narkotika golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan (pasal 147 huruf c);

y. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika golongan I bukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan atau mengedarkan narkotika golongan II dan narkotika golongan III bukan untuk kepntingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan (pasal 147 huruf d);

Tujuan pengaturan Tindak Pidana Narkotika menurut Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika antara lain :95

a. Menjamin ketersediaan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengenmbangan ilmu pengetahuan;

b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan c. Memberantas peredaran gelap narkotika.

95

(11)

Dalam tindak pidana narkotika yang menjadi objek hukum adalah perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum yang memenuhi asas legalitas formil dan materiil. Legalitas Formil yaitu suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada, sedangkan Legalitas Materiil yaitu hukum yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat.

Unsur Objektif merupakan unsur dari luar diri pelaku (heteromon).Unsur dari luar diri pelaku tindak pidana narkotika dapat kita kaji yaitu perbuatan manusia, akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, keadaan-keadaan tertentu, sifat melawan hukum dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum.96

a. Setiap orang;

Unsur Subjektif, unsur yang berasal dari dalam diri pelaku tindak pidana. Unsur dari dalam diri pelaku tindak pidana narkotika dapat diketahui unsur kesengajaan sebagai maksud, unsur kesengajaan kemungkinan, unsur kesengajaan keinsafan pasti, ataupun kesadaran secara penuh dalam melakukan tindak pidana. Dimana pelaku sadar akan perbuatannya dan perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan. Kemampuan bertanggung jawab sebagai keadaan batin orang normal dan yang sehat. Dalam tindak pidana narkotika subjek hukum yang dapay dipidana terbagi atas:

b. Badan Hukum atau Korporasi;

(12)

c. Pegawai negeri.

Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat 4 (empat) kategorisasi tindakan melawan hukum yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana, yakni97

a. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan precursor narkotika.

b. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan precursor narkotika.

c. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika dan precursor narkotika.

d. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika dan precursor narkotika.

3. Sanksi Pidana Dalam Undang-Undang Narkotika

KUHP sebagai induk atau sumber data utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP.Menurut stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kekompok antara pidana pokok dengan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari98

97

H Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (UU No.35 Tahun 2009), Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 256

98

Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus,Chaedar, Jakarta, 1991, hal. 25-26

(13)

a. Pidana mati

Pidana ini merupakan pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pendapat pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri. 99Hukuman mati merupakan salah satu jenis hukuman yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang merupakan hukum positif. Terlepas dari landasan yang sifatnya legalistic, secara realistis pun kondisi hukum di Indonesia, masih sangat membutuhkan pelaksanaan hukuman mati. Tentunya khusus bagi kejahatan-kejahatan spesifik.Penjatuhan hukuman mati hanya diputuskan oleh Hakim, kalua kejahatan si terdakwa memang benar-benar terbukti sangat meyakinkan.100

b. Pidana penjara

Berdasarkan sifatnya menghilangkan dan/atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat (Lembaga Pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalamnya wajib untuk tunduk, menaati dan menjalankan semua tata tertib yang berlaku.101

99

Ibid, hal. 29

100

Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 179-180

101

Andi Hamzah,Op.Cit., hal. 34

(14)

a) Pidana penjara seumur hidup b) Pidana penjara sementara waktu

Pidana penjara seumur hidup diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang sangat berat, yakni102

1) Sebagai pidana alternatif dari pidana mati, seperti Pasal 104, Pasal 365 ayat (1), Pasal 368 ayat (2).

2) Berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana mati tetapi sebagai alternatifnya adalah pidana pen jara sementara setinggi-tingginya 20 tahun, misalnya Pasal 106, Pasal 108 KUHP. Pidana penjara sementara waktu, paling rendah 1 (satu) hari dan paling tinggi (maksimum umum) 15 tahun (12 ayat 2).Pidaa pennjara sementara dapat (mungkin) dijatuhkan melebihi sari 15 tahun secara berturut-turut, yakni dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat (3).

c. Pidana kurungan

Merupakan bentuk dari hukuman perampasan kemeerdekaan bagi si terhukum yaitu pemisahan si terhukum dari pergaulan hidup masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan hukuman penjara yaitu merupakan perampasan kemerdekaan seseorang. Pidana kurungan sebagai ganti pidana denda, jika seseorang tersebut tidak dapat atau tidak mampu

102

(15)

membayar denda yang harus dibayarnya, dalam hal perkara tidak berat.103

d. Pidana denda

Pidana denda diancamkan atau dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Oleh karena itu pidana denda merupakan satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap pidana pribadi, tidak ada larangan jika denda tersebut secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.104

e. Pidana tutupan

Dimaksud oleh pembentuk undang-undang untuk menggantikan pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi pelaku dari sesuatu kejahatan, atas dasar bahwa kejahatan tersebut oleh pelakunya telah dilakukan karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.105

a. Pidana pencabutan hak-hak tertentu; Pidana tambahan terdiri dari :

Dalam Pasal 35 KUHP ditentukan bahwa yang boleh dicabut dalam putusan hakim dari hak si bersalah ialah:

1) Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu

103

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 23

104

Ibid, hal.24

105

(16)

2) Hak untuk menjadi anggota angkatan bersenjata Republik Indonesia, baik udara, darat, laut, maupun kepolisian

3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan berdasarkan undang-undang dan peraturan umum

4) Hak menjadi penasihat, penguasa dan menjadi wali

5) Kekuasaan orangtua, perwalian dan pengampuan atas anak 6) Hak untuk mengerjakan tertentu

b. Pidana perampasan barang-barang tertentu

Dalam hal perampasan barang-barang tertentu tertancum dalam Pasal 39, 40, 41, 42 KUHP:

a) Barang-barang milik hukum yang diperoleh dari kejahatan b) Barang-barang milik terhukum yang dipakai untuk melakukan kejahatan

c. Pidana pengumuman keputusan hakim

Semua putusan hakim sebenarnya sudah diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, hukuman tambahan yang berupa pengumuman putusan hakim disini dimaksudkan agar putusan itu disiarkan istimewa secara jelas menurut apa yang ditentukan oleh hakim dan biayanya ditanggung oleh terhukum.

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sanksi pidana terbagi atas:

1. Pidana Mati

(17)

(2), Pasal 114 ayat (2), Pasl 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana dapat dpidana dengan pidana mati atau penjara, yang artinya tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang dapat dihukum mati apabila melakukan tindak pidana yang telah diatur oleh undang-undang itu sendiri. 2. Pidana Penjara

Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat beberapa pasal yang menggunakan pidana penjara, anatara lain: Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 133 ayat (2) Undang-Undang NO.35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menyebutkan alternatif dari pidana mati yaitu berupa penjara seumur hidup.

3. Tindak Pidana Berupa Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan tindakan untuk pengambilan kehormatan dan pemulihan nama baik. Dalam arti mengisolasikan seseorang kesuatu tempat tertentu untuk dipulihkan, karena suatu penyakit atau keadaan.Hal ini merupakan salah satu strategi pemberatasan masalah narkotika. Rehabilitasi semata-mata tidak untuk mengisolasikan pasien dari lingkungan masyarakat umum agar terasing dari orang lain, melainkan untuk memulihkan pasien yang ketergantungan.106

Para pecandu narkotika tidak jarang memberikan dampak terhadap rasa aib bagi anggota keluarganya.Mereka sembunyi-bunyi untuk melakukan perawatan

106

(18)

medis sendiri (suamedikasi), padahal tindakan tersebut dapat dikategorikan tindak pidana.Oleh sebab itu, peranan masyarakat untuk membangun fasilitas sarana rehabilitasi medis amat diperlukan dalam rangka rehabilitasi sosial.107

Disisi lain para terpidana narkotika diharapkan mendapatkan fasilitas lembaga pemasyarakatan khusus, yang dijauhkan dengan para pelaku tindak pidana lainnya. Para terpidana selama menjalani hukuman, dapat pula dimanfaat oleh aparat penegak hukum untuk dilakukan pelatihan tentang kewajiban memberikan informasi, pelatihan keterampilan dalam tehnik pembelian terselubung sehingga dapat menunjang peranan penegak hukum108

Ketentuan umum Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan rehabilitasi medis merupakan kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.Rehabilitasi pecandu narkotika dapat dilakukan dirumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesahatan.Yaitu rumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah, maupun masyarakat.Selain pengobatan atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekan keagamaan dan tradisional

.

109

Rehabilitasi sosial merupakan kegiatan pemulihan secara terpadu, sebaik fisik, mental maupun sosial,agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat

.

110

107

Siswantoro Sunarso, Op.Cit., hal.197

108

Ibid, hal 197.

.

(diakses tanggal 8 Desember 2016 Pukul 23.00)

110

(19)

Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dapat dilakukan di lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjukkan Menteri Sosial, yaitu lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun masyarakat.

Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, salah satu tujuannya yang tercantum dalam Pasal 4 adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika namun fakta di lapangan, ara penyalahguna dan pecandu narkotika dijatuhi hukuman penjara dan mendekam di lembaga pemasyarakatan. Hal ini terjadi karena penegak hukum menginterpretasikan bahwa memiliki, menguasai, membawa narkotika dibawa ketentuan surat edaran MA, dapat dikonstruksi dalam pasal sebagai pengedar sehingga sangat jarang pasal penyalahguna berdiri sendiri. Di sisi lain penegak hukum yang menangani kasus penyalahguna narkotika jarang melakukan langkah-langkah secara medis dan psikis untuk menentukan seseorang sebagai penyalahguna atau pengedar, serta tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap tingkat kecanduan dan rencana terapi rehabilitasinya, sehingga hakim merasa sulit dalam mumutuskan tindakan berupa rehabilitasi111

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk “pengedar” dan “pengguna” dikenal adanya dua jenis sistem perumusan jenis sanksi pidana (straaftsoort) yaitu sistem perumusan kumulatif-alternatif (campuran garis gabungan) antara-antara mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dan pidana denda (Pasal 114, 115, 118,119 UU Narkotika). Kemudian untuk sistem perumusan sanksi pidananya “straaftmaat” dalam UU Narkotika terdapat 2

111

(20)

(dua) perumusan yaitu fixed/indefinitesense system atau sistem maksimum dan

determinatesense sentence system(Pasal

111,112,113,115,116,117,118,119,120,121,122,123,124,125 UU Narkotika).

Pasal 136 Undang-Undag No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan sanksi berupa narkotika dan prekursor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidan narkotika, baik itu asset bergerak atau tidak bergerak maupun berwujud dan tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk tindak pidana narkotika, dirampas untuk negara. Pasal 146 juga memberikan sanksi terhadap warga negara asing yang telah melakukan tindak pidana narkotika ataupun menjalani pidana narkotika, yakni dilakukan pengusiran wilayah Negara Republik Indonesia dan dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia. Sedangkan Pasal 148, bila putusan denda yang diatur dalam undang-undang ini tidak dibayarkan oleh pelaku tindak pidana narkotika maka pelaku dijatuhi penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.

B.Pengaturan Hukum Mengenai Hakim

1.Sejarah Hakim

(21)

Judge is a public officer, appointed to preside and to administer the lawa

in a court oj justice; the chief member of a court, and charged with a control of

proceedingsand the decision of question of law or discretion.

Terjemahannya kira-kira sebagai berikut, seorang petugas publik, ditunjuk untuk memimpin dan mengelola hukum di pengadilan; anggota kepala pengadilan, dan dibebankan dengan control dari proses dan keputusan pertanyaan hukum atau kebijaksanaan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hakim adalah orang yang mengadili perkara (dalam pengadilan atau mahkamah). Dan kehakiman adalah:

a. Urusan hakim dan pengadilan;

b. Segala sesuatu yang berkenaan dengan hukum (undang-undang, pengadilan, dan sebagainya).

Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) menyatakan bahwa:

“Hakim adalah pejabat pengadilan negara yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk mengadili.”

(22)

Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, hakim adalah hakim poada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang beraada dalam lingkungan peradilan tersebut. Sedangkan hakim agung adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.

Menurut Bismar Siregar, apapun istilah yang setepatnya, karena menyebut hakim sudah tidak diragukan yaitu mereka yang mengucapkan dan menetapkan keadilan atas diri seseorang.

Kekuasaan kehakiman tertinggi dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, fungsi Mahkamah Agung antara lain sebagai berikut:

1) Melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2) Dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, predisen diberi hak untuk memberi grasi dan rehabilitasi.

(23)

a. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenng mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan mengakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

b. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

c. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

d. Susunan, kedudukan, dan kenggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.

Penerapan daripada Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut diatas, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung, serta pengawasan terhadap hakim yang transparan partisipatif guna menegakkan martabat dan keluhuran hakim, serta perilaku hakim. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan pelaksanaannya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain. Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia), mengakkan kehormatan dan keluhuran martabat, dan menjaga perilaku hakim.

(24)

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan ini harus dapat bekerja dengan baik atas tugas-tugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Dengan demikian badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain.

Kekuasaan kehakiman merupakam kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan perdailan guna menegakkan hukum dan keadilan, terlepas dari kekuasaan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dan diatur dalam konstitusi sebagai salah satu bukti bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum.Di dalam Undang-Undang Negara Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga dengan tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum.112

Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan suatu condition sinequanon guna terwujudnya negara hukum.Kekuasaan yang merdeka dapat dikatakan sebagai suatu refleksi dari Universal Declaration of Human Rights dan

112

(25)

International Covenant on Civil and Political Rights113

Di dalam Universal Declaration of Human Right

, yang didalamnya diatur mengenai “independent and impartial judiciary”.

114

Yang artinya: “Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya dimuka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya”.

s, dinyatakan dalam:

Article 10

Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by in independent and impartial tribunal in the determination of

his rights and obligations and any criminal charge against

him”.

115

2.Perkembangan Pengaturan Kehakiman

Kedudukan hakim telah diberikan tempat pada konstitusi Negara kita. Dalam amandemen ketiga UUD 1945, Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa

113

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hal.251;

114

International Covenant on Civil and Political Rights, Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200 A (XXI) of 16 Desember 1966, Entry Into Force: 23 March 1976, inaccordance with Article 49.

115

(26)

kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; Ayat (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.116

a) UU No.19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman;

Semenjak tahun 1948 hingga saat ini, setidaknya ada 4 Undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia, yaitu:

Setelah Indonesia merdeka, kebijakan yang ditempuh berkaitan dengan pengembangan kekuasaan kehakiman adalah didasari pada prinsip “unifikasi”, sebagai lawan dari prinsip “pluralistis” yang diterapkan pada masa pemerintah kolonial Belanda”. Prinsip “unifikasi” itu kemudian muncul dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1948. Pasal 6 menyatakan bahwa dalam negara Republik Indonesia hanya ada tiga lingkungan peradilan yaitu: 1. Peradilan Umum 2. Peradilan Tata Usaha Pemerintahan 3. Peradilan Ketentaraan Sementara Pasal 7 UU itu menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dalam Peradilan Umum dilaksanakan oleh: 1. Pengadilan Negeri 2. Pengadilan Tinggi 3. Mahkamah Agung Berdasarkan Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 itu ternyata keberadaan Peradilan Agama tidak tercakup di dalamnya. Juga tidak ada ketentuan yang tegas dalam UU itu yang menghapuskan keberadaan

116

(27)

Peradilan Agama itu. Dalam ketidakjelasan itu, ketentuan yang dapat dipakai sebagai pegangan adalah Pasal 35 ayat (2) yang menyatakan bahwa perkaraperkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup, harus diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri dari seorang Hakim yang beraga Islam sebagai Ketua, dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Meteri Kehakiman. Ketidakjelasan juga terlihat pada eksistensi Peradilan Adat yang selama ini diakui keberadaannya. Ketentuan yang berkaitan dengan hal itu diatur dalam Pasal 10 yang menyatakan bahwa perkara-perkara yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat desa dan sebagainya harus diperiksa dan diputus oleh pemegang kekuasaan yang tinggal tetap dalam masyarakat itu9. Tentang Peradilan Tata Usaha Pemerintahan Pasal 66 menyatakan bahwa sepanjang dalam suatu Undang-undang tidak disebut dengan tegas perkara tata usaha pemerintahan harus diadili oleh peradilan tertentu maka Pengadilan Tinggi berwenang memeriksa dalam tingkatan pertama dan Mahkamah Agung berwenang memeriksa dalam tingkatan kedua. Sementara tentang Peradilan Ketentaraan Pasal 68 menyatakan bahwa Peradilan Ketentaraan akan diatur dengan undang-undang.

b) UU No.19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

(28)

Haluan Negara yang berupa Manipol Usdek. Salah satu ciri jiwa Manipol Usdek adalah menempatkan Presiden sebagai Pimpinan Nasional dan sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang memiliki kedudukan superior terhadap lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk terhadap kekuasaan kehakiman. Sebagai suatu UU yang berjiwa Manipol Usdek, Pasal 3 dari UU itu dengan tegas menyebutkan bahwa Pengadilan adalah alat revolusi. Senada dengan itu Pasal 14 dan Pasal 20 menekankan bahwa hukum dan hakim juga merupakan alat revolusi. Oleh karena pengadilan, hukum dan hakim merupakan alat revolusi, maka Presiden adalah sebagai pemimpin besar bangsa dan negara, demikian isi Pasal 19 UU itu.

Berkenaan dengan jenis-jenis kekuasaan kehakiman, UU tersebut mengaturnya dalam Pasal 7 yang secara garis besar berisi empat hal yaitu: 1) Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat jenis peradilan yaitu:

a) Peradilan Umum; b) Peradilan Agama; c) Peradilan Militer;

d) Peradilan Tata Usaha Negara.

2) Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan.

(29)

4) Dengan adanya keempat jenis peradilan tidak tertutup kemungkinan penyelesaian perkara perdata secara damai dapat dilakukan di luar peradilan.

c) UU No. 14 Tahun 1970 yang kemudian diubah menjadi UU No. 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Pada awal kemunculannya, pemerintah orde baru bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Untuk itu pemerintah segera melakukan “Legislative Review” (penilaian materi perundang-undangan oleh lembaga legislatif) dengan menciptakan empat buah Undang-undang yang sangat erat hubungannya dengan kekuasaan kehakiman, keempat Undang-undang tersebut adalah:

a) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1968 tentang pernyataan tidak berlakunya berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden.

b) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-undang.

c) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya Undangundang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

Khusus tentang jenis-jenis kekuasaan kehakiman, UU Nomor 14 Tahun 1970, mengaturnya dalam Pasal 10 ayat (1). Menurut Pasal itu, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh:

(30)

d) Peradilan Tata Usaha Negara.

Tentang Peradilan Umum lebih jauh diatur dengan UU Nomor 2 Tahun 1986 yang sekaligus mencabut UU Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1986 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, masing-masing berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten (Kotamadya) dan Ibu Kota Propinsi (Pasal 4). Pengadilan Negeri merupakan pengadilan Tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Perihal Peradilan Agama, keberadaannya lebih jauh diatur dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Sebagai Peradilan Khusus, Pasal 1 ayat (1) menegaskan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan kehakiman pada Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama yang berkedudukan di Kotamadya atau ibu kota Kabupaten dan Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota Propinsi. Sama halnya dengan Peradilan Umum, Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung.Berkenan dengan Peradilan Militer, lebih jauh peradilan ini diatur dengan Undangundang Nomor 31 tahun 1997.Sebagai peradilan khusus. Pasal 9 UU tersebut menyatakan; Peradilan Militer berwenang mengadili pidana militer dan perkara pidana militer:

(31)

b) mereka yang berdasarkan Undang-undang dipersamakan dengan prajurit;

c) anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-undang; d) seorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b dan huruf c, tetapi atas keputusan Penglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. Selain kewenangan itu, Peradilan Militer berwenang menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana atas permintaan pihak yang dirugikan dan sekaligus memutus dua perkara pidana dan perdata itu dalam satu putusan.

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS KOMPETENSI PEKERJA LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN SEBAGAI IMPLEMENTASI PROGRAM PRAKTEK KERJA INDUSTRI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

[r]

Capaian Pembelajaran : Memiliki kemampuan membuat, menganalisis, menyajikan rencana pembelajaran matematika serta mendemonstasikan pembelajaran sebaya untuk materi

As far as this essay is concerned, the discussion in this essay attempts to explore how reading literature can help Indonesians negotiate their identities

JUDUL : KORBAN SUSPECT ANTRAKS MEDIA : TRIBUN JOGJA. TANGGAL : 22

Kondisi ini memperlihatkan bahwa pemasaran ke wanita selalu menggambarkan peran-peran stereotip yang cukup menonjol yang tercermin dalam iklan produk perawatan tubuh

untuk sapi milik majikan dan sapi jantan muda miliknya. Setelah sapi jantan muda dipandang pantas dijual, maka sapi tersebut dijual dan uang yang diterima

Demikian disampaikan atas per hatian dan partisipasi Saudar a diucapkan ter ima kasih. Panitia Pengadaan Bar ang dan Jasa DINAS