• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat, maka syarat mutu makin bertambah penting. Hal tersebut mudah saja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat, maka syarat mutu makin bertambah penting. Hal tersebut mudah saja"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan, serta makin baiknya tingkat pendidikan serta keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka syarat mutu makin bertambah penting. Hal tersebut mudah saja

dipahami karena apabila pelayanan kesehatan yang bermutu dapat

diselenggarakan, maka akan dapat memperkecil kemungkinan timbulnya berbagai kejadian yang tidak diharapkan karena penggunaan kemajuan ilmu dan teknologi dalam bidang kesehatan tersebut (Azwar, 1996).

Mutu pelayanan medis dan kesehatan di rumah sakit dibagi menjadi dua kategori. Pertama, mutu pelayanan yang erat kaitannya dengan tugas pokok dan fungsi manajemen rumah sakit. Mutu ini disebut quality of service. Kedua, mutu yang erat kaitannya dengan profesionalisme dan kinerja staf medik fungsional disebut quality of care. Keduanya merupakan bagian dari hasil penilaian manajemen mutu rumah sakit (quality assurance) yang dilakukan oleh gugus kendali mutu di tingkat manajemen rumah sakit (Muninjaya, 2010).

Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan, rumah sakit wajib melakukan akreditasi setiap 3 tahun sekali. Hal ini sesuai dengan UU RI NO. 44 tahun 2009 pasal 40 ayat 1 yang berbunyi Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala menimal 3 (tiga) tahun sekali. Akreditasi rumah sakit sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) haruslah

(2)

dilakukan oleh suatu lembaga independen dalam atau luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku (UU RI, 2009).

Akreditasi Rumah Sakit yaitu suatu pengakuan yang diberikan oleh pemerintah pada manajemen rumah sakit karena telah memenuhi standar yang ditetapkan. Adapun tujuan akreditasi rumah sakit adalah meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Akreditasi rumah sakit sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia yang semakin selektif dan ingin mendapatkan pelayanan yang bermutu. Dengan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan diharapkan dapat mengurangi minat masyarakat untuk berobat keluar negeri (KARS, 2012).

Di Indonesia akreditasi rumah sakit telah dilaksanakan sejak tahun 1995. Akreditasi dimulai hanya 5 (lima) pelayanan, pada tahun 1998 berkembang menjadi 12 (dua belas) pelayanan dan pada tahun 2002 menjadi 16 pelayanan. Namun rumah sakit dapat memilh akreditasi untuk 5 (lima), 12 (dua belas) atau 16 (enam belas) pelayanan, sehingga standar mutu rumah sakit dapat berbeda tergantung berapa pelayanan akreditasi yang diikuti (KARS, 2012).

Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 237.641.326 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia, rata-rata sebesar 1,49% per tahun (Badan Pusat Statistik, 2014). Ini berarti jumlah populasi Indonesia bertambah sekitar 9700 orang per hari. Jumlah tersebut potensial untuk menjadi pasien pada pelayanan rumah sakit pada saat sekarang maupun di masa yang akan datang. Dengan semakin bertambahnya pasien maka resiko terjadinya kesalahan dalam pelayanan rumah sakit pun juga semakin bertambah. Oleh karena itu rumah sakit

(3)

perlu mempertahankan kualitas terbaik dan standar keamanan perlu menjadi prioritas utama bagi rumah sakit.

Dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan di Indonesia yang bermutu dan setara dengan pelayanan rumah sakit kelas dunia, maka dianggap perlu dilakukannya perubahan yang bermakna terhadap mutu rumah sakit di Indonesia. Perubahan tersebut tentunya harus diikuti dengan pembaharuan standar akreditasi rumah sakit yang lebih berkualitas dan menuju standar Internasional. Dalam hal ini Kementerian Kesehatan Republik Indonesia khususnya Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan memilih dan menetapkan sistem akreditasi yang mengacu pada Joint Commission International (Keputusan Menteri Kesehatan, 2010).

Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur tentang akreditasi rumah sakit salah satunya yaitu keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1195/MENKES/SK/VIII/2010. Peraturan tersebut menyatakan bahwa lembaga akreditasi rumah sakit bertaraf internasional yang diakui di Indonesia yaitu organisasi yang telah terakreditasi oleh International Society for Quality in Health Care (ISQua). Lembaga akreditasi independen internasional yang telah terakreditasi oleh ISQua yaitu Joint Commission International (JCI).

Joint Commission International (JCI) merupakan sebuah divisi dari Joint Commission Resource Inc. sebuah organisasi non profit yang merupakan cabang dari Joint Commission. Akreditasi JCI merupakan akreditasi yang dijadikan sebagai gold standard dalam komunitas pelayanan kesehatan dunia. JCI didirikan pada tahun 1994. Sampai sekarang JCI telah melakukan akreditasi di lebih dari 90

(4)

negara di dunia. Akreditasi ini memberikan jaminan bahwa standar, pelatihan dan proses yang digunakan JCI untuk mensurvey performa organisasi pelayanan kesehatan memiliki nilai internasional tertinggi untuk penilaian rumah sakit (JCI View Book, 2014).

Rumah sakit yang terakreditasi akan memiliki outcome yang lebih baik, manajemen yang lebih kuat dan mengurangi biaya tidak terduga akibat kesalahan. Salah satu penelitian di Jordania membandingkan dua rumah sakit, rumah sakit terakreditasi JCI dan non terakreditasi JCI selama periode tiga tahun. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa rumah sakit yang terakreditasi oleh JCI signifikan secara statistik meningkat secara kualitas seperti berkurangnya readmisi, angka kembali dalam waktu 24 jam ke ICU berkurang dan rekam medis yang lebih lengkap ( ISQua, 2010).

Penelitian di Bangladesh menunjukkan bahwa kualitas pelayanan rumah sakit swasta lebih tinggi dari pada rumah sakit umum untuk pelayanan perawat, kondisi fisik yang meliputi kebersihan, penyediaan utilitas dan ketersediaan obat (Siddiqui et al., 2007). Menurut penelitian di Pakistan, tingkat kepuasan profesional kesehatan 41 persen puas, 45 persen agak puas dan 14 persen sangat tidak puas dengan pekerjaan. Ketidakpuasan berhubungan dengan lingkungan kerja, uraian tugas, tekanan waktu pekerjaan merupakan penyebab utama. Faktor lainnya adalah gaji yang rendah, kurangnya peluang pelatihan, pengawasan yang tidak tepat dan imbalan atau reward finansial yang tidak memadahi (Kumar et al., 2013). Ketidakpuasan professional kesehatan terhadap pekerjaan akan mempengaruhi kinerja mereka di rumah sakit. Kinerja yang buruk pada akhirnya

(5)

akan mempengaruhi mutu rumah sakit dan meberikan dampak yang buruk juga bagi pasien (Muninjaya, 2010).

Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang kompleks karena di dalamnya terdapat berbagai macam disiplin ilmu dan peralatan (Mustikawati, 2011). Di rumah sakit terdapat berbagai macam obat, peraturan maupun prosedur yang sesuai dengan birokrasi dan kebutuhan hukum, pemeriksaan dan tes, serta alat kesehatan dengan teknologi canggih yang jumlahnya tidak sedikit (Aprilia, 2011). Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan kejadian tidak diharapkan atau KTD (Depkes, 2006). Peluang terjadinya kecelakaan di rumah sakit sebesar 1:200, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kecelakaan dalam penerbangan 1:2 Juta. Dengan angka kemungkinan yang sangat besar terjadinya kecelakaan menjadikan keselamatan pasien atau patient-safety menjadi perhatian besar di semua rumah sakit (WHO, 2010).

Sebuah penelitian di Amerika mengambil sampel 780 orang yang memanfaatkan medicare pada bulan oktober 2008. Hasil dari penelitian tersebut yaitu sekitar 13,5% orang yang memanfaatkan medicare mengalami kejadian yang tidak diharapkan (KTD) selama tinggal di rumah sakit. Ini berarti 1 dari 7 orang yang menggunakan medicare di Amerika mengalami kejadian tersebut. Untuk kejadian tidak diharapkan yang bisa berakibat pada kematian sebesar 1,5 persen (Department of Health and Human Service America, 2010).

Menurut reviewer dari Departemen Kesehatan Amerika 44% dari kejadian tidak diharapkan sebenarnya bisa dicegah. Kejadian yang bisa dicegah biasanya

(6)

yang berhubungan dengan kesalahan medis, perawatan yang kurang standar dan kurangnya monitor dan pengkajian pasien. Selama ini kejadian tidak diharapkan yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan pasien memang identik menjadi tanggung jawab perawat (Department of Health and Human Service America, 2010).

Di Indonesia sendiri data mengenai angka kejadian tidak diharapkan KTD atau kejadian nyaris cedera (Near Miss) masih langka (Depkes, 2008). Berdasarkan laporan pada tahun 2010 pada bulan Januari sampai dengan bulan April, Provinsi Jawa Barat menempati urutan pertama mengenai KTD sebesar 33,33%, Banten dan Jawa Tengah 20%, DKI Jakarta 16,67%, Bali 6,67%, Jawa Timur 3,33%. Berdasarkan penyebab kejadian lebih dari 70% diakibatkan oleh tiga hal yaitu masalah prosedur, dokumentasi dan medikasi (KKP-RS, 2010). Data-data di atas menunjukkan bahwa banyakya masalah patient safety yang seharusnya dapat dicegah dengan penerapan standar International Patient Safety Goal dalam akreditasi JCI.

Berdasarkan data yang tercantum di atas banyak Provinsi yang tidak tercatat di Komisi Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) pada tahun 2010. Bukan berarti Provinsi yang tidak tercantum dalam laporan KKP-RS bebas dari insiden yang berkaitan dengan keselamatan pasien. Namun dikarenakan mereka tidak mempunyai data mengenai kejadian yang berkaitan dengan keselamatan pasien atau tidak melakukan pelaporan kepada KKP-RS.

Angka kejadian tidak diharapkan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro sendiri, dari hasil wawancara peneliti dengan Kepala Instalasi Rawat

(7)

Inap (IRNA) A sudah tercatat di bagian komite keselamatan pasien. Namun, peneliti tidak bisa mendapatkan data tersebut dalam studi pendahuluan, karena data mengenai kejadian tersebut merupakan data rahasia rumah sakit. Ketika terjadi KTD maka petugas dari komite keselamatan pasien langsung mengeluarkan formulir laporan KTD yang kemudian diisi oleh perawat atau dokter yang mengetahui kejadian tersebut. Setelah terisi formulir tersebut langsung dikembalikan ke bagian komite keselamatan pasien pada saat itu juga.

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten merupakan rumah sakit tipe B berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1594/Menkes/SK/XII/2002 tanggal 27 Desember 2002. Sampai sekarang ini RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit dengan 16 akreditasi. Rumah sakit yang diakreditasi oleh KARS maka harus menerapkan standar patient safety sebagai syarat. RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten memiliki pelayanan seperti rawat jalan, rawat inap, rawat darurat, pelayanan 24 jam, pelayanan penunjang, pelayanan umum. Rumah sakit ini merupakan rujukan bagi tempat pelayanan kesehatan di Klaten, yang pada tahun 2012 berpenduduk sebanyak 857.421 jiwa (BPS Kabupaten Klaten, 2014).

Fasilitas ruang perawatan di IRNA RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten dibedakan menjadi delapan ruang perawatan: (1) kelas VIP, (2) kelas I, (3) kelas II, (4) kelas III, (5) ruangan rawat intensif (IRI/ICU/ICCU) (6). ruang rawat intensif untuk bayi (NICU/PICU) (7). ruang bakung (perinatologi) dan (8). ruang HCU (High Care Unit). Dari delapan kelas ruang tersebut masing-masing kelas dibagi lagi sesuai dengan fasilitas yang ada di kamar itu, seperti misalnya di kelas

(8)

VIP masih dibedakan lagi menjadi ruang pavilion cendana dengan fasilitas 1 kamar, 1 tempat tidur, sofa, kursi penunggu, kulkas, bel pasien, AC, air panas, TV, kamar mandi dalam, ruang tunggu, surat kabar, area Hotspot, ruang pavilion cempaka dengan fasilitas 1 kamar, 1 tempat tidur, sofa, kursi penunggu, kulkas, bel pasien, AC, TV, kamar mandi dalam, ruang tunggu Area Spot dan ruang mawar dengan fasilitas 1 kamar, 1 tempat tidur, sofa, kursi penunggu, kulkas, bel pasien, AC, TV, kamar mandi dalam, ruang tunggu (Profil Rumah Sakit, 2012).

Banyak faktor yang mempengaruhi mutu rumah sakit, salah satunya adalah mutu pelayanan (Azwar, 1996). Salah satu pelayanan yang didapatkan pasien di rumah sakit adalah pelayanan keperawatan. Hal ini bisa dipahami, karena diantara professional kesehatan yang lain pelayanan yang dibutuhkan pasien selama 24 jam adalah pelayanan keperawatan. Selama 24 jam tersebut perawat membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan pasien (Aprilia, 2011). Selain itu perawat merupakan profesional kesehatan dengan jumlah terbanyak di rumah sakit. Hal ini membuat pelayanan keperawatan dijadikan acuan bagi pasien untuk menentukan mutu suatu rumah sakit. Jika pelayanan keperawatan di suatu rumah sakit bagus maka masyarakat menilai bagus mutu rumah sakit tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika mutu pelayanan keperawatan semakin jelek maka masyarakat menilai jelek pula mutu rumah sakit. Rumah sakit yang dinilai jelek mutunya pada akhirnya akan ditinggalkan oleh pasien karena masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap rumah sakit itu.

Tingkat kejadian yang berhubungan dengan keselamatan pasien di Provinsi Jawa Tengah sebesar 20%. Angka tersebut terbilang tinggi jika

(9)

dibandingkan dengan Provinsi DKI Jakarta, Bali dan Jawa Timur. RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro merupakan salah satu rumah sakit yang berlokasi di Jawa Tengah, selain itu RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro juga telah menerapkan, pedoman patient safety. Berlatar masalah di atas maka peneliti ingin mengetahui mengenai mutu rumah sakit pada pelayanan keperawatan yang berhubungan dengan sasaran keselamatan pasien di RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka peneliti menilai penting untuk melakukan evaluasi mutu pelayanan keperawatan yang berfokus pada sasaran keselamatan pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana mutu pelayanan keperawatan yang berfokus pada sasaran keselamatan pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengevaluasi angka pencapaian indikator mutu pelayanan keperawatan yang berfokus pada sasaran keselamatan pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Soeradji Tirtonegoro.

(10)

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui angka pencapaian indikator mutu pelayanan keperawatan berdasarkan International Patient Safety Goal (IPSG) ―Mengidentifikasi pasien dengan benar‖.

b. Mengetahui angka pencapaian indikator mutu pelayanan keperawatan berdasarkan IPSG ―Meningkatkan komunikasi efektif‖.

c. Mengetahui angka pencapaian indikator mutu pelayanan keperawatan

berdasarkan IPSG ―Meningkatkan keamanan untuk obat yang

membutuhkan perhatian‖.

d. Mengetahui angka pencapaian indikator mutu pelayanan keperawatan berdasarkan IPSG ―Mengurangi resiko infeksi di rumah sakit‖.

e. Mengetahui angka pencapaian indikator mutu pelayanan keperawatan berdasarkan IPSG ―Mengurangi resiko pasien cedera karena jatuh‖.

f. Mengetahui mutu pelayanan keperawatan yang berfokus pada sasaran keselamatan pasien di ruang IRNA RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro.

g. Mengetahui hubungan usia, pendidikan, masa kerja, gaji dan pelatihan dengan mutu pelayanan keperawatan yang berfokus pada sasaran keselamatan pasien.

(11)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan, ilmu pengetahuan dan informasi dalam dunia kesehatan, terutama manajemen keperawatan mengenai mutu pelayanan keperawatan.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti

Menambah wawasan terhadap masalah masalah penelitian terutama mengenai mutu pelayanan keperawatan.

b. Bagi Responden

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan meningkatkan pengetahuan perawat mengengenai masalah mutu pelayanan keperawatan di rumah sakit.

c. Bagi Profesi Perawat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi tenaga keperawatan untuk evaluasi kinerja perawat di rumah sakit dalam memberikan asuhan keperawatan.

d. Bagi Rumah Sakit

Bagi RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten agar mendapatkan bahan evaluasi sebagai feedback dari penelitian ini, agar dalam masa yang akan datang kualitas pelayanan di rumah sakit ini semakin membaik.

(12)

e. Bagi Pengguna Layanan Kesehatan

Bagi pengguna layanan kesehatan agar mendapatkan kualitas pelayanan yang semakin baik di RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten.

f. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini dapat menjadi wawasan dan sumber informasi untuk peneliti selanjutnya serta sebagai referensi dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan mutu.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai evaluasi mutu pelayanan keperawatan yang berfokus pada sasaran keselamatan pasien merupakan yang pertama kali ini di lakukan di RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten, namun ada penelitian yang berhubungan dengan evaluasi mutu pelayanan keperawatan dan IPSG, yaitu:

1. Nasikin (2002) dengan judul Evaluasi Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Mutu Pelayanan Keperawatan Berdasarkan Pemilihan Kelas Perawatan di Rsu Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 120 orang. Dalam penelitian ini peneliti menilai mutu suatu pelayanan dilihat dari kepuasan pasien. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dengan menggunakan kuesioner mengenai kepuasan pasien. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kepuasan yang berbeda beda antara satu ruangan dengan ruangan yang lain. Tingkat kepuasan tertinggi yaitu pada kelas VIP 67% dengan predikat sangat memuaskan dan 33% memuaskan. Di

(13)

kelas I 73% sangat memuaskan, 23% memuaskan dan 4% cukup memuaskan. Di kelas II 50% sangat memuaskan, 47% memuaskan, 3% cukup memuaskan. Sedangkan di kelas III 70% sangat memuaskan, 30% memuaskan.

Persamaan: Meneliti mutu dengan rancangan penelitian deskriptif

Perbedaan: Penelitian ini mengukur mutu dengan menggunakan kuesioner kepuasan pasien.

2. Aprilia (2011) dengan judul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perawat Dalam Penerapan IPSG (International Patient Safety Goal) Pada Akreditasi JCI (Joint Commission International) di Instalasi Rawat Inap RS Swasta X Tahun 2011. Penelitian ini merupakan penelitian cros sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh perawat di instalasi rawat inap yang berjumlah 208 orang, setelah dihitung menggunakan rumus diperoleh sampel sejumlah 66 orang. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dengan menggunakan kuesioner. Analisis statistik yang digunakan yaitu analisis bivariat dengan uji chi square serta regresi logistik sederhana dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda model prediksi. Hasil penelitian menunjukkan usia, status pernikahan, lama kerja di unit, masa kerja, jenjang jabatan, frekuensi pelatihan patient safety, sosialisasi terkait mutu rumah sakit, pengaruh organisasi dan pengetahuan mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku penerapan IPSG.

Persamaan: Menggunakan standar IPSG sebagai pedoman

Perbedaan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penerapan IPSG.

(14)

3. Zainudin (2007) dengan judul Analisis Kebutuhan Tenaga Perawat dan Mutu Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD Dr Achmad Diponegoro Putus Sibau Kalimantan Barat. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui jumlah tenaga keperawatan yang dibutuhkan sesuai standar depkes RI (2002) serta mengetahui mutu Standar Asuhan Keperawatan di ruang rawat inap RSUD Dr Achmad Diponegoro Putussibau. Penelitian ini menggunakan instrument ABC Depkes. Data dari penelitian ini diperoleh dari rekam medis, observasi secara langsung dan melalui kuesioner yang diberikan kepada pasien. Hasil dari penelitian ini yaitu kebutuhan tenaga perawat menurut Bed Occupancy Rate (BOR) yang ada sudah memadahi, namun bila pendekatan indikator Depkes dengan BOR 85% diperoleh hasil bahwa di ruang kelas I dan kelas II dibutuhkan 2 orang perawat sementara ruang lain masih cukup. Studi dokumentasi penerapan Standar Asuhan Keperawatan masih dibawah 50%. Persepsi mutu Standar Asuhan Keperawatan berkisar 70% dan observasi tindakan keperawatan berada pada 80%.

Persamaan: Menganalisis mutu

Perbedaan: Penelitian ini juga sekaligus bertujuan untuk mengetahui kebutuhan tenaga perawat di rumah sakit.

Referensi

Dokumen terkait

Data primer diperoleh dari angggota Gapoktan penerima pinjaman dana BLM-PUAP dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Data sekunder diperoleh dari lembaga

Media edukasi yang sesuai dengan segmen pendengar baru, dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat Surabaya, sehingga Jazz di Surabaya tidak hanya menjadi tren

Jadi keanekaragaman hayati dapat diartikan sebagai keanekaragaman atau keberagaman dari mahluk hidup yang dapat terjadi akibat adanya perbedaan – perbedaan sifat, diantaranya

Strategi warga terhadap kesiapsiagaan bencana longsor telah dilakukan beberapa upaya baik dari warga sendiri maupun pemerintah kecamatan atau desa yang berada di desa

Sebagai unsur dari Pemerint ah, Direkt orat Rumah Umum dan Komersial yang merupakan salah sat u unit Eselon 2 di Direkt orat Jenderal Penyediaan Perumahan, Kement

Berdasarkan penuturan dari beberapa informan penulis dapat menyimpulkan bahwa setiap suatu organisasi memiliki satuan ukur yang dapat diukur baik dari sebuah

Dalam hal ini Indonesia bersedia menawarkan otonomi yang lebih luas untuk Aceh seperti yang dilakukan Megawati sementara pihak GAM bersedia menurunkan tuntutannya

Kode Urusan / Program Anggaran RKPD APBD 2016 Realisasi Keuangan (Rp) Realisasi Keu (%) Fisik (%) Real.. Kondisi ini terlihat dari 6 indikator yang menjadi ukuran,