• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL DIMENSI SEJARAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL DIMENSI SEJARAH"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 218-226 DOI:10.17977/um020v1i12020p218

Apriliya Rida Nabila & Wahyu Djoko Sulistyo | 218

ISSN - 2086-133

J

URNAL

D

IMENSI

S

EJARAH

Journal homepage: www.jurnaldimensisejarahum.com

PENYELESAIAN KONFLIK ACEH PADA MASA

PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG

YUDHOYONO-JUSUF KALLA

Apriliya Rida Nabila, Wahyu Djoko Sulistyo

aridanabila649@gmail.com, wahyu.djoko.fis@um.ac.id

Abstract

The article titled "Conflict Resolution Aceh during the reign of Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla" trying to figure out how the SBY-JK government steps in overcoming the Aceh conflict that was overruled by GAM (Freedom Aceh Movement). Using the historical research method, this article seeks to explain the chronology, contents, and post-condition of Helsinki talks conducted between the Indonesian Government and GAM to achieve peace between the two. The results of the study revealed that the results of the Helsinki talks were effective for reconciling both parties. Although there are other horizontal problems that also dogging post-ushered.

Keywords

Aceh;s conflict, GAM, Indonesian Government, Helsinki Negotiations, Peace Abstrak

Tulisan yang berjudul “Penyelesaian Konflik Aceh Pada Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla” ini berusaha untuk mengetahui bagaimana langkah Pemerintahan SBY-JK dalam mengatasi konflik Aceh yang digawangi oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Dengan menggunakan metode penelitian sejarah, tulisan ini berupaya menjelaskan tentang kronologi, isi, dan kondisi pasca Perundingan Helsinki yang dilakukan antara Pemerintah Indonesia dengan pihak GAM demi tercapainya perdamaian diantara keduanya. Adapun hasil dari penelitian mengungkap bahwa hasil Perundingan Helsinki efektif untuk mendamaikan kedua belah pihak. Meskipun ada beberapa masalah horizontal lain yang turut membuntuti pasca penandatanganannya.

Kata kunci

Konflik Aceh, GAM, Pemerintah Indonesia, Perundingan Helsinki, Perdamaian.

*Received: 11 January 2020 *Revised: 28 March 2020

(2)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 218-226 DOI:10.17977/um020v1i12020p218

Apriliya Rida Nabila & Wahyu Djoko Sulistyo | 219

Pendahuluan

Saat ini kita mengenal Aceh sebagai salah satu Provinsi di Indonesia yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatera. Sebagai salah satu Provinsi di Indonesia, Aceh termasuk Provinsi yang memiliki catatan sejarah panjang. Salah satu topik yang erat kaitannya dengan perjalanan Aceh adalah dinamika konfliknya sepanjang masa orde lama, orde baru, sampai era reformasi.

Dalam membahas konflik Aceh, GAM atau yang memiliki singkatan Gerakan Aceh Merdeka merupakan tokoh utamanya. GAM sendiri merupakan suatu bentuk perlawanan dari rakyat Aceh terhadap pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekannya dari NKRI. Itulah mengapa oleh pemerintah Indonesia GAM dianggap gerakan pemberontakan yang mengacaukan stabilitas negara (Pratiwi, 2019).

Latarbelakang kemunculan GAM dimulai dari sikap kekecewaan terhadap Pemerintah Pusat. Awal kekecewaan itu sudah ada sejak era Orde Lama pada tahun 1950. Saat itu, gerakan rakyat Aceh tersebut belum bernama GAM melainkan masuk dalam gerakan DI/TII dibawah pimpinan Gubernur Militer sekaligus ulama Aceh yakni Daud Beureuh. Permasalahan bermula ketika pemerintah pusat melalui PERPU Nomor 5 Tahun 1950 menurunkan posisi Provinsi Aceh yang sebelumnya telah disahkan pada tahun 1949 menjadi daerah Karesidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Hal ini tentu mengecewakan. Dari sinilah pertentangan dimulai dengan Teungku Daud Beureuh menyatakan menentang Pemerintah Pusat (Pemerintah Aceh |

Sejarah Provinsi Aceh, n.d.).

Menurut Apipudin (2016:147) dikatakan bahwa tertanggal 21 April 1953 Daud Beureuh memimpin kongres alim ulama di Medan untuk membahas tentang perubahan bentuk negara menjadi Islam atau Negara Republik Islam Indonesia (NII). Hasilnya, 20 September 1953 diproklamirkanlah bahwa Aceh turut serta dalam Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan Kartosoewirjo. Pemberontakan ini terus belarlanjut pada tahun 1959 ketika Pemerintah Pusat telah berkenan untuk menjadikan Aceh sebagai Provinsi Daerah Istimewa Aceh melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor I/MISSI/1959. Sampai akhirnya Pemerintah berhasil menjinakkannya pada tahun 1962.

Daud Beureuh boleh jadi sudah dijinakkan. Namun kemudian semangatnya menjadi motivasi tersendiri bagi Hasan Tiro (yang pada tahun 1953 juga terlibat dalam aksi DI/TII) untuk mengikuti jalan yang sama. Tidak serta merta meniru pendahulunya, 4 Desember 1976 Hasan Tiro memproklamirkan berdirinya GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Gerakan GAM yang tidak mengatasnamakan agama ini dipilih Hasan Tiro sebagai strateginya agar mudah mendapatkan dukungan secara internasional. Melalui pendirian GAM, Hasan Tiro secara resmi mendeklarasikan kekecewaan sekaligus perlawanannya pada Pemerintah Pusat.

Bukan tanpa sebab, Hasan Tiro melakukan itu karena kekecewaannya terhadap Pemerintah Orde Baru yang tidak adil terhadap rakyat Aceh. Saat itu pada tahun 1971 di Lhokseumawe Pemerintah melalui kerjasamanya dengan Mobil Oil (perusahaan minyak dan gas asal Amerika Serikat). Meskipun kerjasama tersebut berhasil membuka banyak lapangan pekerjaan baru, namun hal ini tidak cukup menyejahterahkan rakyat Aceh. Semua itu dikarenakan perusahaan ini lebih banyak merekrut orang-orang Jawa dibanding Aceh dengan alasan memiliki pengalaman yang lebih baik. Atas dasar inilah kemudian Hasan Tiro menarik simpati rakyat Aceh dengan memanfaatkan isu kolonialisasi Jawa di Indonesia.

(3)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 218-226 DOI:10.17977/um020v1i12020p218

Apriliya Rida Nabila & Wahyu Djoko Sulistyo | 220

Tindakan nyata yang dilakukan GAM untuk melawan hal tersebut adalah penyerangan perdananya ke pabrik Mobil Oil di Arun pada 1977. Serangan inilah yang memicu perlawanan balik oleh Pemerintah Pusat yang merasa bahwa investasinya di Aceh telah terganggu karena aksi yang dilakukan GAM. Sejak saat inilah GAM menjadi gerakan yang ditargetkan oleh pemerintah untuk dapat ditaklukkan. Mulai dari Pemerintah Orde Baru, masa pemerintahan B.J Habibie, Abdurrahman Wachid, Megawati Soekarno Putri, sampai pada Susilo Bambang Yudhoyono. Menariknya, perdamaian antara GAM dan Pemerintah Pusat baru berhasil pada masa masa Pemerintahan dipegang oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Pada artikel ini akan dipaparkan mengenai bagaimana langkah-langkah penyelesain konflik tersebut sekaligus poin-poin isi kesepakatannya dan dampak yang dirasakan oleh masyarakat Aceh setelahnya (Ross, 2007).

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan artikel berjudul “Penyelesaian

Konflik Aceh Pada Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla” adalah metode

sejarah yang terdiri dari proses heuristik, kritik, interpretasi, dan metode penelitian sejarah toriografi.

Keempat tahapan di atas dijelaskan (Sapto, 2018) sebagai berikut: Heuristik merupakan langkah awal penelitian setelah penentuan topik berupa pencarian dan pengumpulan sumber data yang relevan sesuai dengan yang dibutuhkan. Penulisan kali ini memanfaatkan sumber data dari buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah, serta arsip. Sumber-sumber data tersebut adakalanya yang dapat diakses langsung, maupun dalam jaringan.

Kritik atau biasa juga disebut verifikasi, merupakan proses menguji keaslian, kebenaran, keabsahan atau dalam istilah lain kesejatian data. Untuk mengesahkan suatu sumber data penelitian asli atau tidak, harus terlebih dahulu melalui dua tahap kritik, yakni kritik eksternal dan internal. Kritik eksternal bertujuan untuk menjawab keaslian sumber yang ada dengan pertanyaan berikut: apakah sumber yang telah diperoleh sesuai dengan yang dikendaki, apakah sumber yang diperoleh merupakan sumber asli ataukah turunan, apakah sumber yang telah diperoleh masih utuh ataukah sudah ada pengubahan baik disengaja ataupun tidak disengaja. Sedangkan kritik internal bertujuan untuk menguji kredibilitas data terkait intrinsik atau isi sumber yang diperoleh, dan perbandingan kesaksian dari berbagai sumber.

Kemudian tahap interpretasi data, adalah proses merangkai fakta-fakta yang telah didapat (sintesis), meninjau hubungan sebab-akibat yang ada didalam rangkaian fakta, serta mengkonstruksi peristiwa dari fakta yang telah dikaitkan (analisis). Untuk selanjutnya tahap historigrafi, berdasar dari rangkaian sumber yang telah diinterpretasikan, kemudian disajikan dalam bentuk tulisan yang logis dan sistematis.

Hasil Dan Pembahasan

A. Sekilas Upaya Penyelesaian Konflik Aceh Sebelum Masa Pemerintahan SBY-JK

Konflik Aceh yang berlangsung sekian lama telah mewajibkan penguasa negeri ini untuk berpikir lebih keras. Dimulai pada masa Orde Baru dibawah tampuk kuasa Presiden Soeharto, penyelesaian konflik Aceh tidak mengalami keberhasilan. Pada masa ini, Pemerintah Orde Baru menggunakan jalan pemberlakuan DOM (Daerah Operasional Militer) berupa penempatan

(4)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 218-226 DOI:10.17977/um020v1i12020p218

Apriliya Rida Nabila & Wahyu Djoko Sulistyo | 221

pejabat sipil dan militer untuk memuluskan jalan operasi bersenjata (Operasi Jaring Merah) (1989-1998). Bukannya membuat GAM ingin berdamai, hasil dari cara Pemerintah ini membangkitkan amarah masyarakat karena perlakuan yang dilakukan militer terhadap rakyat yang dianggap pemberontak sudah masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat dengan melakukan aksi sandera, pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan sebanyak 7.727 kasus (Pratiwi, 2019).

Melanjutkan pemerintahan sebelumnya, B. J. Habibie yang sadar akan banyaknya tuntutan terhadap pemberlakuan DOM di Aceh pada 7 Agustus 1998 memutuskan untuk mencabut status DOM yang ada. Bersama Panglima ABRI Wiranto, B.J Habibie yang baru saja dilantik menjadi Presiden beberapa bulan yang lalu itu meminta maaf atas nama Pemerintah Pusat atas perilaku yang dilakukan TNI (Zainal, 2016). Sayangnya, Pemerintah saat itu juga masih setengah hati dalam mengambil keputusan. Faktanya ketika Pemerintah memutuskan menghentikan DOM, Pemerintah yang baru pun kembali menggunakan pendekatan militer untuk menuntaskan aksi GAM. Beberapa operasi yang dilakukan pada Pemerintaha Pusat (pada masa Presiden Habibie dan setelahnya) pasca dihentikannya Operasi Jaring Merah adalah Operasi Wibawa yang berlangsung pada Januari 1999, Operasi Rencong I yang diadakan sejak Mei 1999 hingga Januari 2000, dan terus dilanjutkan dengan Operasi lanjutan Rencong II dan Operasi Lanjutan Rencong III yang secara berturut turut terlaksana sejak Februari 2000 hingga Mei 2000, dan Juni 2000 hingga Februari 2001. Adapun operasi berikutnya adalah Operasi Cinta Meunasah mulai Juni 2000 hingga Juni 2001, dan Operasi Cinta Damai yang digencarkan mulai tahun 2001 dan berakhir pada tahun 2002 (Djumala, 2013).

Pada periode kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wachid sebenarnya telah melakukan upaya selain pendekatan militer, yakni dengan mengajak pihak GAM untuk berdialog dengan pihak ketiga yang telah didatangkan Pemerintah yakni Lembaga Swadaya Internasional Henry Dunant Center (HDC). Melalui perundingan ini Perintah dan GAM berhasil mencapai kesepakatan berupa penandatanganan masa “Jeda Kemanusiaan (JK)” selama tiga bulan dan diperpanjang menjadi enam bulan. Atas cara ini, setidaknya Gusdur sapaan akrab Presiden keempat ini dapat mengurangi tindak kekerasan akibat operasi militer. Namun seperti mengulang kesalahan pada Pemerintahan sebelumnya. Meskipun Gusdur telah mengeluarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2001, yang menempatkan Polri keluar menjadi komando pelaksana keamanan. Sembari menjalankan hasil kesepakatan, nyatanya operasi militer yang dilakukan oleh TNI seperti yang telah disebut di atas terus berlanjut dan mendominasi hingga memakan korban sebanyak 300 jiwa (Large & Aguswandi, 2008).

Sementara itu pada masa Pemerintahan Megawati Soekarno Putri cara yang digunakan hampir sama dengan yang dilakukan Pemerintah periode sebelumnya. Pada masa kepemimpinanannya Megawati menawarkan kembali otonomi yang lebih khusus bagi Aceh melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan difasilitasi HDC pihak Pemerintah Pusat dan GAM pun mengadakan perundingan pada 9 Desember 2012 untuk membahas kesepakatan terkait penawaran otonomi di atas dengan syarat perjanjian Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) yang isinya berkaitan dengan penghentian permusuhan, rekonstruksi, rehabilitasi, demiliterisasi, dan reformasi politik (Zulkarnain, 2008). Untuk meneruskan pelaksanakan kesepakatan CoHA kemudian dilaksanakan pertemuan kedua tertanggal 17 Mei 2003. Sayangnya pertemuan yang

(5)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 218-226 DOI:10.17977/um020v1i12020p218

Apriliya Rida Nabila & Wahyu Djoko Sulistyo | 222

diselenggarakan waktu itu tidak berhasil dikarenakan 6 anggota GAM ditangkap oleh pihak Pemerintah Pusat karena menolak penyerahan senjatanya. Disinilah lagi-lagi Presiden Indonesia memutuskan untuk mengaktifkan lagi peran militer. 19 Mei 2003 Megawati mulai mengulangi penerapan DOM untuk mengatasi aksi GAM. Sehingga sama seperti kebijakan militer sebelum-sebelumnya, DOM pada periode ini kembali memakan banyak korban hingga mencapai angka lebih dari 5000 jiwa (Aceh, 2006).

B. Upaya Penyelesaian Konflik Aceh Masa Pemerintahan SBY-JK

Belajar dari kegagalan yang sudah sering terjadi, maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mulai menjabat tahun 2004 itu memilih untuk tidak menempuh jalur militer. Sebagai mantan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan periode 2001-2004, SBY menyadari bahwa meskipun pendekatan militer dapat melemahkan GAM, namun jalur tersebut tidak akan benar-benar dapat menyelesaikan konflik Aceh secara tuntas. Oleh karenanya, dengan melibatkan mediator yang sudah berpengalaman dari lembaga Crisis

Management Initiative (CMI) SBY merencanakan untuk dapat bernegoisasi dengan GAM

(CMI sendiri merupakan Non Government Organization (NGO) yang bergerak dibidang resolusi konflik yang berdiri sejak tahun 2000 dan berpusat di Kota Helsinki, Finlandia).

Namun sebelum itu dilakukannya, SBY paham betul bahwa dibutuhkan strategi yang tepat agar nantinya negoisasi yang akan dilakukannya dapat berhasil. (Pratiwi, 2019) menuturkan bahwa strategi yang dilakukan oleh SBY diantaranya menjadikan tuntutan diantara pihak Pemerintah dengan GAM lebih fleksibel. Dalam hal ini Indonesia bersedia menawarkan otonomi yang lebih luas untuk Aceh seperti yang dilakukan Megawati sementara pihak GAM bersedia menurunkan tuntutannya untuk merdeka dengan catatan Pemerintah Indonesia tidak lagi menangkap anggota GAM sebagaimana yang dilakukan oleh Pemerintahan Megawati Menjadi menarik dari persiapan perundingan pada saat itu adalah tidak hanya kedua pihak di atas yang menyiapkan strategi khusus untuk menghindari hal yang tidak diinginkan diantara keduanya. Pun juga CMI sebagai pihak ketiga demi melancarkan perundingan juga memiliki strateginya tersendiri. Strategi tersebut adalah memberikan wejangan kepada pihak GAM supaya tidak menuntut kemerdekaan. CMI dengan strateginya menyampaikan alasan bahwa apabila GAM saat ini menuntut kemerdekaan, GAM tidak akan berhasil. Karena GAM belum mendapat bantuan dari dunia internasional. Oleh karena strategi yang sudah terencana tersebut berjalan dengan baik, maka jalan menuju perundingan pun mulai terbuka lebar.

Menurut (Hadiwinata & Christanty, 2010) dikatakan bahwa faktor lain yang tidak kalah penting dalam mendorong terjadinya perundingan antara pihak Pemerintah Indonesia dengan GAM adalah adanya musibah tsunami yang meluluhlantakkan pesisir utara Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Musibah yang menewaskan sekitar 150.000 jiwa tersebut menghancurkan sendi kehidupan Aceh waktu itu. Dari sisnilah kemudian baik pihak GAM maupun Pemerintah Pusat yang menyadari bahwa keduanya sama-sama membutuhkan. Sebagai negara yang Aceh termasuk di wilayahnya, Pemerintah tentu merasa sangat terpukul terhadap musibah besar yang terjadi. Sementara GAM membutuhkan bantuan dari Pemerintah untuk dapat mengembalikan kehidupan yang ada di wilayah tersebut. Dari sinilah kesepakatan untuk melakukan perundingan dimulai.

(6)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 218-226 DOI:10.17977/um020v1i12020p218

Apriliya Rida Nabila & Wahyu Djoko Sulistyo | 223

Perundingan yang dimaksud adalah Perundingan Helsinki. Disebut demikian karena lokasi perundingan terletak di Helsinki, Finlandia. Pemilihan tempat perundingan bukanlah tanpa alasan. Selain karena CMI yang lokasinya memang di Helsinki, Finlandia, lokasi ini juga dipilih karena dianggap lebih dekat dengan para petinggi GAM yang berada di Swedia. Perundingan ini diselenggarakan sejak Januari hingga Agustus 2005. Pihak Indonesia diwakili oleh beberapa Menteri yang saat itu menjabat di kabinet, seperti Hamid Awaluddin (Menteri Keadilan dan Hak Asasi Manusia), Sofyan Jalil (Menteri Komunikasi), dan Farid Husain (Dirjen Departemen Kesehatan). Sementara dari pihak GAM diwakili oleh beberapa anggotanya dari tim pengasingan di Swedia, seperti Malik Mahmud (Perdana Menteri Pemerintahan Negara Aceh), Dr. Zaini Abdullah (Menteri Luar Negeri GAM), Bakhtiar Abdullah (Juru Bicara GAM), dan Nur Djuli serta Nurdin Abdul Rahman yang merupakan pejabat politik di GAM. Adapun pihak ketiga (mediator) diwakili oleh Presiden Ahtisaari (Presiden Finlandia ke-10).

Perundingan yang bertempat di Konigsted Manor yang merupakan tempat untuk menerima tamu negara di Finlandia tersebut terdiri dalam lima tahap. Ju, dkk (2005) menjelaskannya sebagai berikut:

Pada tahap pertama, berlangsung pada tanggal 25 hingga 27 Januari 2005 di Helsinki (pihak RI menawarkan otonomi pada Aceh). Selanjutnya tahap kedua berlangsung pada 21-23 Februari 2005 (saat itu tujuan pembicaraan merujuk pada bagaimana penyelesaian konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia yang telah merenggut sekitar 12.000 jiwa dapat diselesaikan-lebih dari itu timbul pro dan kontra terkait pendapat yang disuarakan pihak GAM mengenai keinginan mereka agar Aceh menjadi daerah self goverment). Kemudian tahap ketiga dilaksanakan pada tanggal 12-16 April 2005 (GAM mendengarkan pemaparan tawaran dan tuntutan Pemerintah Indonesia terhadap GAM). Isi dari tawaran tersebut adalah: (1) Pemerintah akan membangun PLTA 80 MW untuk Aceh; (2) Pemerintah akan menyerahkan PTPN I beserta aset-asetnya pada para anggota dan pemimpin GAM; (3) Pemerintah akan menyediakan dana Rp 60 Miliar berbentuk tabungan kepada Pemerintah Daerah Aceh dyang mana sejumlah 10% darinya adalah untuk diberikan kepada GAM; (4) Pemerintah akan memberikan dua pesawat sekaligus berjenis Boeing 737-300 untuk Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; (5) Selain dua pesawat di atas, Pemerintah Pusat juga akan menyerahkan 10 pesawat dengan spesifikasi yang dapat memenuhi kapasitas 15 penumpang kepada Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; (6) Pemerintah akan memperbaiki seluruh landasan udara (LANUD) di wilayah Aceh; (7) Pemerintah akan memberikan masing-masing kebun kepada 150 Pesantren di Aceh; dan (8) Pemerintah akan memberikan amnesti kepada semua anggota GAM yang tidak terlibat tindak pidana. Adapun isi dari tuntutan Pemerintah Indonesia adalah: (1) GAM harus menjalankan secara konsisten semua produk hukum terkait Otonomi Khusus; (2) GAM harus menyerahkan minimal 900 pucuk senjata; (3) GAM harus menyerahkan pengamanan Aceh pada TNI dan POLRI.

Untuk selanjutnya perundingan tahap keempat yang berlangsung tanggal 26-31 Mei 2005. Perundingan tahap ini memberikan kesempatan GAM untuk menjelaskan bagaimana kerangka self government yang diinginkannya, mengenai partisipasi politik beserta keamanannya. Karena topik yang dibahas pada tahap ini cukup kontroversial, maka tidak

(7)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 218-226 DOI:10.17977/um020v1i12020p218

Apriliya Rida Nabila & Wahyu Djoko Sulistyo | 224

mengherankan apabila pada tahap ini muncul banyak pihak RI yang bersikap menentang. Terakhir, tahap kelima. Tahap ini meruapakan tahap final dari Perundingan Helsinki yang berlangsung di Vantaa, Helsinki pada Juni 2005. Pada tahap kelima, pihak GAM menyepakati tuntutan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia. Namun terdapat sedikit ganjalan ketika perundingan akan usai. Pihak GAM meminta Pemeintah Indonesia untuk memberikan hal yang sepadan kepada GAM terkait tuntutan penyerahan senjata. Adapun keinginan dari pihak GAM tersebut adalah terkait dengan pendirian Partai Lokal di Aceh. Pada awalnya usul ini ditolak Pemerintah. Namun kemudian ditengah masa perundingan, Pemerintah lalu mengambil jalan tengah dari permintaan tersebut. Pemerintah bersedia mengamandemen Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam.

Akhirnya pada tanggal 15 Agustus 2005 antara Pemerintah RI dan GAM bersepakat untuk menandatangani nota kesepahaman (MoU) hasil dari Perundingan Helsinki. Dalam Nota Kesepahaman tersebut tercakup enam hal pokok yang nantinya akan diberlakukan di Aceh, yakni: (1) Penyelenggaraan Pemerintahan di wilayahAceh; (2) HAM (Hak Asasi Manusia); (3) Perihal Amnesti dan Reintegrasi kedalam Masyarakat; (4) Pengaturan Keamanan; (5) Pembentukan Misi Monitoring Aceh; dan (6) Penyelesaian Perselisihan antara GAM dan Pemerintah Pusat. Dari keenam hal yang telah tercantum di atas, dalam Nota Kesepahaman juga tercantum empat poin yang harus ditepati yakni: (1) Penyelesaian di Aceh harus diselesaikan dengan jalan damai; (2) Seluruh permasalahan Aceh wajib diselesaikan secara menyeluruh, tidak bisa sebagian/parsial; (3) Kesepakatan yang telah dicapai harus ada tindak lanjut atau kesinambunggannya berupa aksi konkret; dan (4) Penyelesaian masalah Aceh harus dilakukan secara bermartabat, tidak ada upaya untuk menjatuhkan salah satu pihak hingga kehilangan muka.

C. Aceh Pasca Perdamaian Helsinki

Pasca penandatanganan nota kesepahaman pada 15 Agustus 2005, pihak CMI dan Aceh Monitoring Mission (pihak pengawas yang dibenuk oleh Uni Eropa berdasar kesepakatan dalam MoU Helsinki) datang ke Indonesia untuk memantau kedua belah pihak terkait implementasi perjanjian damai di Aceh Schulze dalam (Zainal, 2016). Namun sampai hari ini 14 tahun kesepakatan Helsinki masih terdapat beberapa yang belum terealisasi termasuk didalamnya adalah pengadilan terhadap kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh. Disisi lain berangsur-angsur para petinggi GAM yang ada di luar negeri kembali ke Aceh. Begitupun pejuang GAM yang ada di pegunungan dan hutan-hutan mulai turun dan berusaha menyatu kembali dengan masyarakat.

Aceh pasca MoU Helsinki boleh dibilang lebih kondusif daripada kondisi sebelumnya. Konflik vertikal antara GAM dan Pemerintah Pusat yang dulu banyak memakan korban jiwa sudah dapat teratasi. Sayangnya, hal ini tidak berlaku pada konflik horizontal di Aceh yang sifatnya naik turun. Menurut (Wahyudi, 2013) kesepakatan MoU dari perundingan Helsinki ibarat pendekatan “jual-beli”. Dari pihak Aceh mendapatkan Otonomi Khusus, pemberlakuan syariat Islam, dan Partai Lokal. Adapun dari pihak Pemerintah Indonesia mereka berhasil menjaga Aceh tetap dalam bingkai NKRI. Sementara RI sudah

(8)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 218-226 DOI:10.17977/um020v1i12020p218

Apriliya Rida Nabila & Wahyu Djoko Sulistyo | 225

puas diri atas hasil mengamankan wilayahnya, maka konflik horizontal yang muncul di Aceh pasca MoU Helsinki beda lagi ceritanya.

Beberapa konflik horizontal yang muncul pasca MoU Helsinki diantaranya adalah agama dijadikan sebagai alat politik. Dalam hal ini hasil Otonomi Khusus yang diberikan Pemerintah pada Aceh yang berlanjut dengan diterapkannya Syariat Islam di wilayah tersebut kerap kali digunakan oleh kekuatan politik tertentu untuk memaksa lawan politiknya dengan atas nama agama. Artinya, bagi mereka yang tidak sepaham bisa dianggap bukan lagi bagian dari Aceh dan dikatakan sebagai kelompok anti perdamaian. Kemudian konflik lainnya berupa perebutan jabatan antar kombatan GAM karena lemahnya ketermapilan atau skill yang menuntut mereka mengandalkan kekuatan GAM untuk memperoleh jabatan, dan sebagainya.

Kesimpulan

GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang merupakan suatu gerakan perlawanan untuk memperoleh kemerdekaan dari NKRI lahir dari sikap kekecewaan mereka terhadap perlakuan Pemerintah terhadap wilayah Aceh yang begitu dibanggakan oleh para tokohnya. Oleh karena strategi yang kurang tepat yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dalam menangani GAM, maka selama pergantian lima Presiden konflik Aceh tidak menemui titik terang yang berarti. Sadar akan jalur militer yang koersif tidak akan pernah dapat menyelesaikan konflik secara permanen, maka pada masa Pemerintahan SBY menggunakan pendekatan negoisasi yang flexible demi tercapainya keinginan antara kedua belah pihak. Untuk itu ditempuh-lah jalur Perundingan Helsinki dengan ditengahi oleh pihak Crisis

Management Initiative (CMI). Terdapat lima tahapan dalam Perundingan Helsinki yang nota

kesepahamannya ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 itu. Dalam nota kesepahaman itu tercakup enam hal pokok yang nantinya akan diberlakukan di Aceh, yakni: (1) Penyelenggaraan Pemerintahan di wilayahAceh; (2) HAM (Hak Asasi Manusia); (3) Perihal Amnesti dan Reintegrasi kedalam Masyarakat; (4) Pengaturan Keamanan; (5) Pembentukan Misi Monitoring Aceh; dan (6) Penyelesaian Perselisihan antara GAM dan Pemerintah Pusat. Akhirnya, kesepakatan dalam Perundingan Helsinki yang mewujudkan perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan GAM berhasil menghentikan konflik

vertical diantara keduanya, Meskipun disisi lain hasil dari Perundingan Helsinki secara tidak

langsung memunculkan konflik horizontal yang sifatnya naik turun di Aceh khusunya dibidang sosial ekonomi dan sosial keagamaan.

Daftar Rujukan Buku dan Jurnal

Aceh, K. (2006). Aceh Damai Dengan Keadilan, Mengungkap Kekerasan Masa Lalu. Jakarta:

Kontras.

Djumala, D. (2013). Soft power untuk Aceh. Gramedia Pustaka Utama.

Hadiwinata, B. S., & Christanty, L. (2010). Transformasi Gerakan Aceh Merdeka: Dari kotak peluru

ke kotak suara; sebuah kisah sukses program transformasi kombatan di Aceh.

(9)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 218-226 DOI:10.17977/um020v1i12020p218

Apriliya Rida Nabila & Wahyu Djoko Sulistyo | 226

Large, J., & Aguswandi. (2008). Penempatan Identitas, Keniscayaan Suara Politik dan Hak Asasi

Manusia, dalam Rekonfigurasi Politik: Proses Damai Aceh. Conciliation Sources. Pemerintah Aceh | Sejarah Provinsi Aceh. (n.d.). Retrieved June 19, 2020, from

https://acehprov.go.id/profil/read/2014/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.html

Pratiwi, E. A. (2019). Campur Tangan Asing di Indonesia: Crisis Management Initiative dalam Penyelesaian Konflik Aceh (2005-2012). Historia: Jurnal Pendidik Dan Peneliti Sejarah,

2(2), 83–90.

Ross, M. L. (2007). Resourcess and Rebellion in Aceh, Indonesia. Departemen of Political Science, University of California.

Sapto, A. (2018). KETERLIBATAN BANDIT, PELACUR DAN SENIMAN DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN DI JAWA TIMUR (1945-1950). Sejarah Dan Budaya: Jurnal Sejarah,

Budaya, Dan Pengajarannya, 12(2), 128–145.

Wahyudi, B. (2013). Resolusi Konflik untuk Aceh; Kiprah Masyarakat Non GAM dalam Perdamaian

di Serambi Mekah Pasca MoU Helsinki. Makmur Cahaya Ilmu.

Zainal, S. (2016). Transformasi Konflik Aceh dan Relasi Sosial-Politik di Era Desentralisasi.

MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 21(1), 81–108.

Zulkarnain, I. (2008). Perdamaian Aceh, Analisis Kegagalan CoHA dan Keberhasilan MoU Helsinki. Unimal Press.

Referensi

Dokumen terkait

Izin Penyelenggaraan Pelelangan Ikan yang selanjutnya disebut Izin adalah surat izin menyelenggarakan pelelangan ikan di TPI yang diberikan kepada organisasi

Ketentuan lebih rinci mengenai muatan RTR KSP dan RTR KSK berdasarkan sudut kepentingan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 25 termuat dalam Lampiran II

Analisis spasial wilayah potensial PKL menghasilkan peta tingkat wilayah potensial yang tersebar sepanjang Jalan Dr.Radjiman berdasarkan aksesibilitas lokasi dan

Serat makanan adalah polisakarida non pati yang terdapat dalam semua makanan nabati. Serat tidak dapat dicerna oleh enzim cerna tapi berpengaruh baik untuk

Perguruan tinggi belum melaksanakan sistem penjaminan mutu... Tingkat kepuasan pemangku kepentingan internal dan eksternal pada masing-masing kriteria: tata pamong dan

berarti tidak ada hubungan yang bermakna Hasil analisis didapatkan variabel dominan yang berhubungan dengan kepatuhan ibu dalam melakukan ANC adalah variabel pendidikan

Sehubungan dengan penyelesaian tugas akhir atau skripsi yang sedang saya lakukan di Fakultas Bisnis jurusan Akuntansi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

Intermedia Capital (MDIA) berencana untuk melakukan penerbitan obligasi global dimana sebagian besar dana hasil penerbitan surat utang tersebut akan dialokasikan untuk melakukan