TEKS
1 Ventilator associated pneumonia (VAP)
Putu Andrika
Program Studi Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Ventilator-associated pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi 48-72 jam setelah intubasi endotrakeal, ditandai dengan adanya infiltrat baru atau progresif, tanda infeksi sistemik (demam, perubahan hitung leukosit), perubahan karakteristik sputum, dan terdeteksinya agen penyebab. Diperkirakan kejadian VAP berkisar 9-27 % dari semua pasien memakai ventilator, dengan risiko tertinggi terjadi pada saat awal perawatan rumah sakit. VAP menjadi keprihatinan dan fokus perhatian dalam perawatan ICU sehubungan tingginya insiden dan mortalitasnya meskipun managemen intubasi pasien mengalami kemajuan yang signifikan. Mortalitas sehubungan VAP berkisar 20-70 %.
Faktor risiko
Faktor risiko berkembangnya VAP meliputi usia lebih 60 tahun, penyakit berat (APACHE II score > 16), penyakit paru akut maupun kronik, sedasi yang berlebihan, nutrisi enteral, luka bakar berat, posisi tubuh supine, Glasgow coma scale <9, pemakaian pelumpuh otot, perokok.
Patogenesis
Beberapa faktor saling mempengaruhi secara komplek antara tube endotrakeal, adanya faktor risiko, virulensi bakteri dan imunitas tubuh menentukan berkembangnya kearah VAP. Adanya tube endotrakeal sejauh ini dianggap sebagai faktor risiko terpenting, menyebabkan mekanisme pertahanan alami tak berfungsi (reflek batuk dari glottis dan laring) dalam menghilangkan mikroaspirasi sekitar cuff dari tube endotrakeal. Bakteri
TEKS
2
infeksius dapat mencapai saluran nafas bawah melalui (1) mikroaspirasi , dapat terjadi saat intubasi: (2) terbentuknya biofilm penuh bakteri (khususnya bakteri gram negative dan spesies jamur ) dalam tube endotrakeal ; (3) terkumpulnya dan menetesnya cairan secret seputar cuff; (4) menurunnya mucociliary clearance. Materi patogenik dapat juga terkumpul disekitar seperti lambung, sinus, nasofaring dan orofaring, dan sering dengan flora dengan strain lebih virulen. Materi tersebut secara konstan akan lebih terdorong akibat pemberian tekanan positif ventilator. Faktor host seperti keparahan penyakit yang mendasari, pembedahan sebelumnya, terpajannya dengan antibiotika semuanya berimplikasi sebagai faktor risiko berkembangnya VAP. Namun juga diketahui bahwa pasien kritis mengalami penurunan kemampuan fagositosis dan mengalami immunosupresi secara fungsional.
Teks
3 Gambar 1. VAP pathogenesis: risk factor for colonization, entry into the lower airway, and interactions between the invaders and host defenses that will decide between colonization of VAP
DIAGNOSIS
Diagnosis VAP yang akurat masih problematik. Kecurigaan klinis akan terjadinya VAP ketika terdapatnya gambaran infiltrat baru pada chest x-ray, dan setidaknya satu dari demam, lekositosis, atau sekresi tracheo-bronchial yang purulen. Berdasarkan kultur mikrobiologi dan respon pasien terhadap pengobatan, pemberian antibiotika segera yang appropriate dengan dosis adekuat, dan de-escalation menghindarkan pemakaian antibiotika secara berlebihan, lama terapi yang pendek efektif.
Gambaran klinis standar seperti panas, takikardi, leukositosis, sputum purulen dan konsolidasi pada rongent dada merupakan sesuatu yang sulit dipastikan pada pasien dengan MV critically ill pasien. Pasien dengan respon inflamasi akibat insult seperti trauma, burns, pancreatitis, dsb dapat memberi gambaran seperti itu. Sputum purulen mungkin akibat tracheobronchitis dan tidak selalu menggambarkan keterlibatan parenkim paru . Infiltrat pada rongent dada dapat disebabkan sejumlah kondisi noninfeksi meliputi edema paru, haemorrhage, dan kontusio paru. Pada suatu studi prospectif dari 50 pasien dengan panas dan infiltral paru, hanya 42% yang definitif VAP.
Suatu algoritma diagnostik menggunakan klinis dan mikrobiologi, the National Nosocomial Infection Surveillance System (NNIS) untuk memfasilitasi aplikasi konsisten dalam pelaporan nosokomial pneumonia. The clinical pulmonary infection score (CPIS) [yang memakai data microbiologic ] atau modified CPIS (tanpa data microbiologic) juga diajukan untuk meningkatkan konsistensi diagnostik. CPIS > 6 sering dipakai batasan konsisten dengan diagnosis pneumonia.
TEKS
4
Tabel NNIS Clinical criteria for the diagnosis for pneumonia
Teks
5 Onset munculnya pneumonia merupakan variabel epidemiologi penting sehubungan risk faktor patogen spesifik dan outcomes VAP. Early-onset VAP, yaitu pneumonia yang terjadi dalam 4 hari pertama perawatan, biasanya prognosisnya baik, dan lebih disebabkan kuman sensitif antibiotika. Late-onset VAP (5 hari atau lebih) adalah lebih disebabkan multidrug-resistant (MDR) pathogens, dan dihubungkan dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas.
Bakteri yang sering ditemukan pada Early onset VAP diantaranya Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae, Proteus species, Serratia marcescens, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli. Pada yang Late onset VAP sering ditemukan kuman MDR seperti Pseudamonas aeruginosa, Methicillin-resistant Staphylococcus aureus, Acinetobacter species, Enterobacter species.
MANAGEMENT
Banyak faktor yang berkontribusi dalam terjadinya VAP. Diantara strategi yang dapat dilakukan dalam mencegah VAP seperti, modifikasi ETT (subglottic secretion drainage systems, antimicrobial coating, alternative cuff shapes and materials), mempertahankan tekanan inflasi cuff yang tepat, sekresi ETT dibersihkan, memposisikan pasien miring lateral, kinetic therapy.
TEKS
6
Menghindarkan tercabutnya ETT secara tak terencana, perbaikan perencanaan ektubasi dengan weaning protocols yang dirancang untuk meningkatkan kesuksesan ektubasi, dan pemakaian non-invasive ventilation (NIV). Penurunan dosis sedasi berhubungan dengan lebih pendeknya lama tinggal ICU dan memendeknya hari pemakaian intubasi.
The Institute for Healthcare Improvement (IHI) mempromosikan the ventilator bundle sebagai suatu set interfensi dimaksudkan untuk menghindarkan efek yang tidak diinginkan pada pasien yang memakai ventilator. The ventilator bundle terdiri dari elevation of the head of bed, daily ‘sedation vacation’ dan assessment kesiapan ektubasi, pencegahan ulkus lambung dan deep venous thrombosis (DVT) prophylaxis.
Early tracheostomy dianjurkan sebagai suatu upaya preventif VAP. Sering menjadi perdebatan waktu yang tepat melakukan tracheotomy dalam pencegahan VAP. Rumbak dkk, menunjukkan penurunnan signifikan kejadian VAP dengan early tracheotomy (dalam 48 jam awal MV) dibanding delayed tracheotomy (setelah 14sampai 16 hari), namun penelitian lebih akhir dan multisenter menunjuknya perbedaan yang tidak bermakna. Management optimal pasien dengan kecurigaan VAP memerlukan terapi antibiotika appropriate awal yang tepat dan perawatan suportif secara umum. Sebaiknya sampel mikrobiologi telah dikerjakan sebelum pemberian antibiotika, namun jangan menunda pemberian antibiotika. Beberapa studi menunjukkan bahwa penundaan pemberian terapi antibiotika yang efektif akan meningkatkan angka mortalitas.
Gejala dan tanda VAP yang muncul secara jelas akan memudahkan pemberian antibiotika namun tidak jarang gejala dan tanda VAP muncul secara bertahap/ gradual sehingga kapan memulai pemberian antibiotika menjadi sulit. Suatu penelitian pemberian antibiotika yang appropriate pada pasien yang gejala dan tanda klinis VAP yang muncul secara bertahap ternyata memberikan angka perbaikan klinis lebih awal.
Teks
7 Tabel . Terapi antibiotic empiris VAP
TEKS
8
Teks
9 Suatu penelitian multisenter random kontrol studi mendapatkan bahwa pasien VAP yang mendapatkan appropriate, initial empiric therapy selama 8 hari mempunyai outcome sama dengan pasien yang mendapatkan terapi 14 hari.
Ringkasan
VAP masih sering terjadi terutama pada pasien kritis dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hambatan utama dalam diagnosis VAP karena tidak adanya goal standar dan akan tetap menjadi permasalahan yang menonjol. VAP dapat dicegah dan kejadiannya dapat ditekan dengan mengaplikasikan suatu bundle VAP. Tujuan utama managemen VAP adalah segera memberikan antibiotika appropriate dalam dosis adekuat diikuti de-eskalasi berdasarkan hasil kultur mikrobiologi dan respon klinis pasien. Daftar pustaka
TEKS
10
Morris AC, Hay AW, Swann DG, et al.: Reducing ventilator-associated pneumonia in intensive care: Impact of implementing a care bundle. Crit Care Med 2011, 39:2218–2224.
Coppadoro A, Bittner E, Berra L. Novel preventive strategies for ventilator associated pneumonia. Critical Care 2012, 16:210
Berwick DM, Calkins DR, McCannon CJ et al. The 100,000 lives campaign: setting a goal and a deadline for improving health care quality. JAMA 2006;295:324–7.
Million Lives C. Getting Started Kit: Prevent Ventilator-Associated Pneumonia How-to Guide Cambridge, MA: Institute for Healthcare Improvement, 2008.
Luyt C-E, Chastre J, Fagon J-Y. Value of the clinical pulmonary infection score for the identification and management of ventilator-associated pneumonia. Intensive Care Med 2004;30:844–852
American Thoracic Society, Infectious Diseases Society of America. Guidelines for the management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 2005; 171: 388–416
Gil-Perotin S, Ramirez P, Marti V, Sahuquillo JM, Gonzalez E, Calleja I, Menendez R, Bonastre J. Implications of endotracheal tube biofilm in ventilator-associated pneumonia response: a state of concept. Critical Care 2012, 16:R93
Kalanuria AA, ZaiEmail W, Mirski M. Ventilator-associated pneumonia in the ICU. Critical Care 2014;18:208
Email PR, Lopez-Ferraz C, Gordon M, Gimeno A, Villarreal E, Ruiz J, Menendez R, Torres A. From starting mechanical ventilation to ventilator-associated pneumonia, choosing the right moment to start antibiotic treatment. Critical Care 2016;20:169