• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN, PENALARAN, DAN DISPOSISI MATEMATIK MAHASISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN METAKOGNITIF Nita Hidayati 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN, PENALARAN, DAN DISPOSISI MATEMATIK MAHASISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN METAKOGNITIF Nita Hidayati 1"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN, PENALARAN, DAN DISPOSISI MATEMATIK MAHASISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN METAKOGNITIF

Nita Hidayati1

ABSTRAK: Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah masalah pencapaian dan

peningkatan kemampuan pemahaman dan penalaran serta disposisi matematik mahasiswa antara pembelajaran yang menggunakan pendekatan metakognitif dengan pembelajaran ekspositori. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain tes pretest dan posttest. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan Simple Random

Sampling. Hal ini dilakukan karena anggota sampel dipilih secara proporsi. Penelitian

dilakukan terhadap mahasiswa salah satu Perguruan Tinggi di Karawang. Metode pengambilan data adalah tes dan nontes, instrumen tes mencakup tes kemampuan pemahaman dan penalaran matematik sedangkan nontes mencakup tes skala sikap. Data dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dan statistik inferensia (Uji-t). Berdasarkan hasil analisis data, rata-rata hasil belajar kemampuan pemahaman matematik mahasiswa kelas eksperimen lebih baik daripada mahasiswa kelas kontrol, demikian juga rata-rata hasil belajar kemampuan penalaran matematik mahasiswa kelas eksperimen lebih baik daripada mahasiswa kelas kontrol. Disposisi matematik mahasiswa kelas eksperimen tidak lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa kelas kontrol. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar mahasiswa antara yang belajar menggunakan pendekatan metakognitif dan mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran ekspositori. Perbedaan yang signifikan ini membuktikan bahwa penggunaan pendekatan pembelajaran metakognitif lebih baik terhadap hasil belajar mahasiswa dibandingkan dengan pembelajaran ekspositori.

Kata Kunci: Metakognitif, Pemahaman Matematika, Penalaran Matematika.

ENHANCING STUDENTS MATHEMATICS COMPREHENSION, REASONING, AND DISPOSITION THROUGH METACOGNITIVE LEARNING MODEL

ABSTRACT : This study aimed to investigate students achievement and enhancement of

students mathematics comprehension and disposition between learning using metacognitive approach and expository learning. This study used kuasi experiment with pre-post test design. The sampling used Simple Random Sampling, because the participants selected proportionaly. The study held at students of one of universities in Karawang. Collecting data method was test and non-test. Test instrument included mathematics comprehension and reasoning ability, while non-test included attitude scale test. Data collected and analysed by descriptive and inference statistical analysis. Based on the result of data analysis, the average of students mathematics achievement and comprehension in experimental class was better than controlled class. Students mathematics disposition in experimental class was better than controlled class. Thus, it could be concluded that there was significant difference of students achievement between students who learnt by using metacognitive approach and expository learning. The significant difference proved that the use of metacognitive approach was better towards students achievement than expository learning.

Keywords: Metacognitive, Mathematical Comprehension, Reasoning Mathematical.

1 Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Singaperbangsa Karawang; Email: nitahida@gmail.com

(2)

PENDAHULUAN

Sampai saat ini pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Dalam pelaksanaan pendidikan terdapat proses pembelajaran, dimana dalam setiap jenjangnya peserta didik dituntut untuk mengikuti mata pelajaran tertentu, termasuk mata pelajaran matematika.

Matematika di jenjang Perguruan Tinggi (PT) sangatlah berbeda dengan matematika pada jenjang lainnya. Karena menurut Ruseffendi (1991: 260) bahwa matematika di perguruan tinggi mencakup 4 wawasan yang luas yaitu: aritmatika, aljabar, geometri, dan analisis. Sedangkan menurut Suherman (1993: 120) matematika di PT terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu: aljabar, analisis, dan geometri. Menurut Ruseffendi (1990: 2) geometri itu ialah suatu sistem aksiomatik dan kumpulan generalisasi, model dan bukti tentang bentuk-bentuk benda bidang dan ruang. Geometri adalah suatu sistem aksiomatik karena terdiri dari unsur-unsur yang didefinisikan, postulat (aksioma dan asumsi) dan teori-teori atau dalil yang dikatakannya benar bila dapat dibuktikan secara matematika atau deduktif. Transformasi Geometri merupakan salah satu mata kuliah wajib di Program Studi (Prodi) Pendidikan Matematika FKIP. Sampai saat ini, hasil pembelajaran Transformasi Geometri di Prodi Pendidikan Matematika Perguruan Tinggi di Karawang belum memenuhi harapan.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa paradigma pembelajaran Transformasi Geometri untuk mahasiswa perlu dibenahi. Oleh sebab itu, penelitian ini fokus pada upaya mencari cara bagaimana (1) memahamkan konsep, proses, dan implementasi Transformasi Geometri pada kehidupan nyata; (2) menjalankan prosedural penyelesaian masalah secara matematis dan menjelaskan atau memberikan alasan atas penyelesaian yang dilakukan.dalam Transformasi Geometri; dan (3) mengembangkan suatu disposisi matematik sehingga mahasiswa mampu mempe-lajari matematika tingkat lanjut dengan menggunakan konsep Transformasi Geometri.

Kemampuan pemahaman dan penalaran matematik adalah salah satu tujuan penting dalam pembelajaran matematika. Pemahaman matematik memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada mahasiswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu mahasiswa dapat lebih mengerti akan konsep materi itu sendiri. Sedangkan, penalaran metematik merupakan proses berpikir dalam penarikan kesimpulan.

Disposisi matematik mahasiswa dimanisfestasikan dalam cara menyelesaikan tugas-tugas, apakah dengan penuh percaya diri, memiliki keinginan yang kuat untuk menggali alternatif penyelesaian, gigih dan menarik, serta kecenderungan merefleksikannya pada pemikirannya.

Untuk mendukung proses pembelajaran yang meningkatkan kemampuan pemahaman, penalaran, dan disposisi matematis mahasiswa tersebut diperlukan suatu pengembangan materi yang difokuskan pada kesadaran tentang pengetahuan dan proses berpikir mahasiswa. Mereka harus memiliki kesadaran bahwa mereka perlu tahu tentang konsep yang melandasi untuk memecahkan suatu masalah, sadar

(3)

akan kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki. Proses penyadaran kemampuan kognitif ini merupakan upaya secara metakognitif. Untuk itu diperlukan kreativitas dosen dalam penyampaian materi dengan melaksanakan pembelajaran matematika sehingga belajar dan berpikir yang dilakukan mahasiswa menjadi lebih efektif dan efisien dengan model pembelajaran metakognitif.

Pembelajaran metakognitif dapat diwujudkan dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri sehingga dapat mengetahui proses kognitif sendiri dan aktivitas kognitif yang dilakukan. Sebagaimana Huitt (1997) mengemukakan bahwa metakognitif mencakup kemampuan seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan berkaitan dengan tugas yang dihadapi. Memperhatikan hal tersebut kemampuan pemahaman dan penalaran serta disposisi matematik diprediksi dapat berkembang dengan pembelajaran metakognitif.

Pemahaman merupakan terjemahan dari istilah understanding yang diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi yang dipelajari. Lebih lanjut pemahaman merupakan salah satu aspek dalam Taksonomi Bloom. Pemahaman diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi bahan yang dipelajari. Untuk memahami suatu objek secara mendalam seseorang harus mengetahui: 1) objek itu sendiri; 2) relasinya dengan objek lain yang sejenis; 3) relasinya dengan objek lain yang tidak sejenis; 4) relasi-dual dengan objek lainnya yang sejenis; 5) relasi dengan objek dalam teori lainnya. Ada beberapa jenis pemahaman menurut para ahli yaitu:

Polya (Sumarmo, 2014: 442), membedakan empat jenis pemahaman: 1) Pemahaman mekanikal, yaitu dapat mengingat dan menerapkan rumus secara rutin serta perhitungan sederhana; 2) Pemahaman induktif, yaitu dapat menerapkan rumus dalam kasus sederhana atau dalam kasus serupa; 3) Pemahaman rasional, yaitu dapat membuktikan kebenaran suatu rumus dan teorema; 4) Pemahaman intuitif, yaitu dapat memperkirakan kebenaran tanpa ragu-ragu, sebelum menganalisis secara analitik.

Polattsek (Sumarmo, 2014: 442), membedakan dua jenis pemahaman: 1) Pemahaman komputasional, yaitu dapat menerapkan rumus pada perhitungan rutin/sederhana dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik; 2) Pemahaman fungsional, yaitu dapat mengkaitkan sesuatu prinsip dengan prinsip lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukan.

Copeland (Sumarmo, 2014: 442), membedakan dua jenis pemahaman: 1)

Knowing how to, yaitu dapat mengerjakan suatu perhitungan secara

rutin/algoritmik; 2) Knowing, yaitu dapat mengerjakan suatu perhitungan dengan sadar akan proses yang dikerjakannya.

Skemp (Sumarmo, 2014: 442), membedakan dua jenis pemahaman: 1) Pemahaman instrumental, yaitu hafal konsep/prinsip secara terpisah dan dapat menerapkan rumus pada perhitungan rutin/sederhana, serta mengerjakan perhitungan secara algoritmik saja; 2) Pemahaman relasional, yaitu dapat mengkaitkan konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukan.

Sedangkan pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap konsep matematika menurut NCTM (1989: 223) dapat dilihat dari: 1) Kemampuan menyatakan ulang sebuah konsep adalah kemampuan siswa untuk mengungkapkan kembali apa yang

(4)

telah dikomunikasikan kepadanya; 2) Kemampuan mengklasifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan konsep adalah kemampuan siswa mengelompokkan suatu objek menurut jenisnya berdasarkan sifat-sifat yang terdapat dalam materi. 3) Kemampuan memberi contoh dan bukan contoh adalah kemampuan siswa untuk dapat membedakan contoh dan bukan contoh dari suatu materi; 4) Kemampuan menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika adalah kemampuan siswa memaparkan konsep secara berurutan yang bersifat matematis; 5) Kemampuan mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup dari suatu konsep adalah kemampuan siswa mengkaji mana syarat perlu dan mana syarat cukup yang terkait dalam suatu konsep materi; 6) Kemampuan menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur tertentu adalah kemampuan siswa menyelesaikan soal dengan tepat sesuai dengan prosedur; dan 7) Kemampuan mengaplikasikan konsep atau algoritma ke pemecahan masalah adalah kemampuan siswa menggunakan konsep serta prosedur dalam menyelesaikan soal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Dengan memperhatikan penjelasan dan pengertian tentang pemahaman matematik di atas, maka bentuk pemahaman yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah pemahaman relasional. Pemahaman relasional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan menggunakan gambar dan simbol untuk merepresentasikan suatu konsep, mengenal syarat yang menentukan suatu konsep, dan membandingkan serta membedakan konsep-konsep

Terdapat dua hal yang harus dimiliki siswa dalam melakukan penalaran matematis yaitu kemampuan menjalankan prosedural penyelesaian masalah secara matematis dan kemampuan menjelaskan atau memberikan alasan atas penyelesaian yang dilakukan.

Penalaran merupakan tahapan berpikir matematika tingkat tinggi, mencakup kapasitas untuk berpikir secara logis dan sistematis. Terdapat dua jenis penalaran matematika. yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif.

Penalaran induktif merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru yang bersifat umum (general) berdasarkan pada beberapa pernyataan khusus yang diketahui benar. Dalam hal ini telah terjadi proses berpikir yang berusaha menhubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-evidensi khusus yang sudah diketahui menuju kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Pernyataan atau kesimpulan yang didapat dari penalaran induktif bisa bernilai benar atau salah.

Penalaran deduktif didefinisikan sebagai proses penalaran yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagian yang khusus. Pada penalaran deduktif proses penalaran konklusinya diturunkan secara mutlak dari premis-premisnya. Pada deduksi yang valid atau sahih, kesimpulan yang didapat dinyatakan tidak akan pernah salah jika premis-premisnya bernilai benar. Melalui penalaran deduktif dapat menyimpulkan informasi lebih banyak daripada penalaran induktif. Artinya, dari keterangan tertentu dapat ditarik kesimpulan tentang hal-hal lain tanpa perlu memeriksanya secara langsung. Penalaran deduktif dapat menentukan apakah suatu konjektur yang muncul dikarenakan suatu intuisi atau deduksi secara logis serta konsisten dan apakah penalaran itu hanya untuk kasus-kasus tertentu atau kasus yang lebih umum.

(5)

Menurut Utari Sumarmo (2014: 455), indikator penalaran matematika pada pembelajaran matematika antara lain, siswa dapat: 1) Menarik kesimpulan analogi, generalisasi dan menyusun konjektur; 2) Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, dan menyusun argumen yang valid; 3) Menyusun pembuktian langsung, tak langsung, dan menggunakan induksi matematika.

Polking (Hendriana, 2014: 91) menyatakan disposisi matematis meliputi: (1) rasa perecaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan permasalahan, memberikan alasan dan mengkomunikasikan gagasan; (2) fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematis dan berusaha mencari metoda alternatif dalam memecahkan permasalahan; (3) tekun mengerjakan tugas matematika; (4) mempunyai minat, keingintahuan (curiosity), dan daya temu dalam melakukan pekerjaan matematika; (5) kecenderungan untuk memonitor dan merefleksikan performance dan penalaran mereka sendiri; (6) menilai aplikasi matematika ke situasi lain yang timbul dalam matematika dan pengalaman sehari-hari; (7) penghargaan (appreciation) peran matematika dalam kultur dan nilai, baik matematika sebagai alat, maupun matematika sebagai bahasa.

Metakognisi merupakan istilah yang diperkenalkan Flavell tahun 1976. Flavell (Lioe et al., 2006) menyatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran seseorang tentang proses kognitifnya dan kemandiriannya untuk mencapai tujuan tertentu. Secara lebih rinci Biryukov (2003) mengemukakan bahwa konsep metakognisi merupakan dugaan pemikiran seseorang tentang pemikirannya yang meliputi pengetahuan metakognitif (kesadaran seseorang tentang apa yang diketahuinya), keterampilan metakognitif (kesadaran seseorang tentang sesuatu yang dilakukannya) dan pengalaman metakognitif (kesadaran seseorang tentang kemampuan kognitif yang dimilikinya).

Menurut Paris, Cross, and Lipson (NCREL, 1995), pengetahuan metakognitif memuat pengetahuan deklaratif (declarativeknowledge), pengetahuan prosedural (procedural knowledge), dan pengetahuan kondisional (conditional knowledge). Pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan tentang diri sendiri sebagai pebelajar serta pengetahuan tentang strategi, keterampilan dan sumber-sumber belajar yang dibutuhkannya untuk keperluan belajar. Pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan tentang bagaimana menggunakan segala sesuatu yang telah diketahui dalam pengetahuan deklaratif dalam aktivitas belajarnya. Pengetahuan kondisional yaitu pengetahuan tentang bilamana menggunakan suatu prosedur, keterampilan, atau strategi dan bilamana hal-hal tersebut tidak digunakan, mengapa suatu prosedur berlangsung dan dalam kondisi yang bagaimana berlangsungnya, dan mengapa suatu prosedur lebih baik daripada prosedur-prosedur yang lain. Oleh sebab itu pengetahuan metakognitif dianggap sebagai berpikir tingkat tinggi karena melibatkan fungsi eksekutif yang lebih mengkoordinasikan perilaku pembelajaran.

Pengalaman metakognitif melibatkan penggunaan strategi metakognitif. Strategi metakognitif adalah proses sekuensial untuk mengontrol aktivitas kognitif dan memastikan bahwa tujuan kognitif telah dipenuhi. Menurut OLRC News (2004), proses metakognisi ini membantu untuk mengatur dan mengawasi belajar yang terdiri dari: (1) perencanaan (planning), yaitu kemampuan merencanakan aktivitas belajarnya; (2) strategi mengelola informasi (information management strategies),

(6)

yaitu kemampuan strategi mengelola informasi berkenaan dengan proses belajar yang dilakukan; (3) memonitor secara komprehensif (comprehension monitoring), yaitu kemampuan dalam memonitor proses belajarnya dan hal-hal yang berhubungan dengan proses; (4) strategi debugging (debugging strategies), yaitu strategi yang digunakan untuk membetulkan tindakan-tindakan yang salah dalam belajar; dan (5) evaluasi (evaluation), yaitu mengevaluasi efektivitas strategi belajarnya, apakah ia akan mengubah strateginya, menyerah pada keadaan, atau mengakhiri kegiatan tersebut.

METODE

Metode penelitian ini adalah kuasi eksperimen. Pada penelitian ini digunakan dua kelas, kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen diajar menggunakan model pembelajaran metakognitif dan kelas kontrol dengan model pembelajaran ekspositori.

Desain penelitiannya adalah sebagai berikut. Kelas Eksperimen OX O

Kelas Kontrol OO Keterangan :

O1 = Pre test dan Post test kemampuan pemahaman dan penalaran matematik

X = Model pembelajaran metakognitif --- = Pengambilan sampel tidak secara acak

DISKUSI

Berikut ini disajikan statistik deskriptif skor pretes, posttes, dan gain ternormalisasi dalam bentuk tabel.

TABEL 1. Deskripsi Hasil Penelitian

Variabel Data Stat Pendekatan Metakognitif Pembelajaran Ekspositori Pretes Post tes Pre tes Post tes Pemahaman Matematik 𝑥̅ 8,27 33,00 8,17 27,54 s 2,82 5,22 6,93 7,64 Penalaran Matematik 𝑥̅ 11,67 37,33 11,50 25,08 s 4,70 5,04 4,80 6,07 Disposisi Matematik 𝑥̅ - 99,03 - 98,13 s - -

Berdasarkan Tabel 1, maka dapat diasumsikan bahwa kemampuan pemahaman dan penalaran matematik mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan metakognitif lebih baik daripada menggunakan pembelajaran ekspositori. Untuk skala disposisi matematik, rerata skor kelas dengan pendekatan metakognitif yang memperoleh nilai sebesar 99,03 lebih dari kelas

(7)

dengan pembelajaran ekspositori yang memperoleh rerata sebesar 98,13. Ini berarti bahwa disposisi matematik mahasiswa pada kelas dengan pendekatan metakognitif dan kelas dengan pembelajaran ekspositori berbeda walaupun perbedaan tersebut sangat kecil.

Kriteria pengujian Normalitas: Jika P > 0.05 maka sampel berdistribusi normal. Dengan menggunakan uji Shapiro Wilk dapat dilihat seperti pada Tabel 2.

TABEL 2. Uji Normalitas Skor Pretes Kemampuan Pemahaman Matematik

Shapiro-Wilk

Statistic df Sig.

metakognitif 0,883 30 0,003

ekspositori 0,880 24 0,008

Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa nilai signifikansi pada kelas yang menggunakan pembelajaran metakognitif dan pembelajaran ekspositori masing-masing kurang dari nilai 𝛼 = 0,05. Ini berarti bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi, sampel berasal dari populasi data tidak berdistribusi normal.

Sedangkan untuk hasil uji normalitas skor pretes kemampuan penalaran matematik diperlihatkan pada tabel berikut:

TABEL 3. Uji Normalitas Skor Pretes Kemampuan Penalaran Matematik

Shapiro-Wilk

Statistic df Sig.

metakognitif 0,894 30 0.006

ekspositori 0,708 24 0,000

Tabel 3, diperoleh nilai signifikansi pada kelas yang menggunakan pembelajaran metakognitif dan pembelajaran ekspositori masing-masing kurang dari nilai 𝛼 = 0,05. Ini berarti bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi, sampel berasal dari populasi data tidak berdistribusi normal.

Untuk selanjutnya dilakukan uji Mann Whitney untuk skor pretes kemampuan pemahaman dan penalaran matematik pada kelas yang menggunakan pembelajaran metakognitif dan pembelajaran ekspositori.

Uji peringkat Mann-Whitney digunakan karena data sampel tidak berdistribusi normal. Hipotesis pengujian persamaan dua sampel untuk data pretest adalah:

H0 : μ1 = μ2

H1 : μ1 ≠ μ2

Dengan menggunakan bantuan SPSS versi 22.0 for Windows, diperoleh data yang disajikan dalam Tabel 4 berikut:

(8)

TABEL 4. Hasil Uji Peringkat Mann-Whitney, Skor Pretes Kemampuan Pemahaman Matematik Kelas Mean Rank Sum of Ranks Mann-Whitney Asymp. Sig. (2-tailed) Metakognitif 27,73 832,00 353,000 0,901 Ekspositori 27,71 653,00

Tabel 4 memperlihatkan bahwa nilai sig. (2-pihak) > 0,05. Jadi, dapat disimpulkan bahwa untuk pretes kemampuan pemahaman matematik mahasiswa kelas dengan pembelajaran metakognitif maupun kelas dengan pembelajaran ekspositori tidak terdapat perbedaan kemampuan awal pemahaman matematik diantara kedua kelas tersebut.

Untuk selanjutnya hasil perhitungan uji Mann Whitey untuk uji perbedaan dua rata-rata terhadap skor pretes kemampuan penalaran matematik kelas yang menggunakan pembelajaran metakognitif dan pembelajaran ekspositori.

TABEL 5. Hasil Uji Peringkat Mann-Whitney, Skor Pretes Kemampuan Penalaran Matematik

Kelas Mean Rank Sum of Ranks Whitney Mann- Asymp. Sig. (2-tailed) Metakognitif 28,23 847,00

338,00 0,691

Ekspositori 26,58 638,00

Tabel 5 memperlihatkan bahwa nilai sig. (2-pihak) > 0,05. Jadi, dapat disimpulkan bahwa untuk pretes kemampuan penalaran matematik mahasiswa kelas dengan pembelajaran metakognitif maupun kelas dengan pembelajaran ekspositori tidak terdapat perbedaan kemampuan awal penalaran matematik diantara kedua kelas tersebut.

Kriteria pengujian normalitas post tes: Jika P > 0.05 maka sampel berdistribusi normal. Dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk dapat dilihat seperti pada Tabel 6. TABEL 6. Hasil Uji Normalitas Skor Posttes Kemampuan Pemahaman dan Penalaran

Matematik

Kelas Pemahaman Matematik Penalaran Matematik

Sat Df Sig. Sat Df Sig.

Metakognitif 0,596 30 0,000 0,669 30 0,000 Ekspositori 0,807 24 0,000 0,818 24 0,001

Berdasarkan Tabel 6, uji normalitas skor posttes kemampuan pemahaman dan penalaran matematik mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan metakognitif dan pembelajaran ekspositori diperoleh nilai Sig. kurang dari nilai 𝛼 =

(9)

0,05. Ini berarti untuk hipotesis Ho ditolak sedangkan Ha diterima. Jadi, sampel berasal dari populasi data berdistribusi tidak normal. Untuk selanjutnya dilakukan Uji Mann Whitney untuk kedua kelompok tersebut.

Uji peringkat Mann-Whitney digunakan karena data sampel tidak berdistribusi normal. Hipotesis pengujian persamaan dua sampel untuk data posttest adalah:

H0 : μ1 = μ2

H1 : μ1 > μ2

Dengan menggunakan bantuan SPSS versi 22.0 for Windows, diperoleh data yang disajikan dalam Tabel 7 berikut:

TABEL 7. Hasil Uji Peringkat Mann-Whitney, Skor Posttes Kemampuan Pemahaman Matematik Kelas Mean Rank Sum of Ranks Mann-Whitney Asymp. Sig. (2-tailed) Metakognitif 30,58 917,50 267,500 0,095 Ekspositori 23,65 567,50

Tabel 7 memperlihatkan bahwa nilai sig. (2-pihak) < 0,05. Akan tetapi, uji Mann Whitney yang digunakan untuk menguji perbedaan rerata skor posttes kemampuan pemahaman matematik ini adalah uji satu pihak. Menurut Uyanto (Rohmah, 2009), nilai sig. (1-pihak) = 1

2 x sig. (2-pihak). Adapun kriteria pengujiannya adalah Ho

diterima jika nilai sig. (1-pihak) > 𝛼, dan yang lainnya Ha ditolak. Sedangkan jika nilai sig. (1-pihak) < 𝛼, maka Ho ditolak, dan yang lainnya Ha diterima dengan tingkat signifikansi 𝛼 = 0,05. Karena nilai sig. (2-pihak) = 0,095, maka nilai sig. (1-pihak) = 1

2

x 0,095 = 0,0475. Nilai sig. (1-pihak) yang diperoleh kurang dari 𝛼 = 0,05, sehingga Ho ditolak. Artinya pencapaian kemampuan pemahaman matematik mahasiswa yang menggunakan pendekatan metakognitif lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang menggunakan pembelajaran ekspositori.

Selanjutnya hasil perhitungan uji Mann Whitney untuk skor posttes kemampuan penalaran matematik diperlihatkan pada tabel di bawah ini:

TABEL 8. Hasil Uji Peringkat Mann-Whitney, Skor Posttes Kemampuan Penalaran Matematik Kelas Mean Rank Sum of Ranks Mann-Whitney Asymp. Sig. (2-tailed) Metakognitif 39,07 1172,00 13,000 0,000 Ekspositori 13,04 313,00

Tabel 8 memperlihatkan bahwa nilai sig. (2-pihak) < 0,05. Akan tetapi, uji Mann Whitney yang digunakan untuk meguji perbedaan rerata skor posttes kemampuan penalaran matematik ini adalah uji satu pihak. Menurut Uyanto (Rohmah, 2009), nilai sig. (1-pihak) = 1

2 x sig. (2-pihak). Adapun kriteria pengujiannya adalah Ho

(10)

sig. (1-pihak) < 𝛼, maka Ho ditolak, dan yang lainnya Ha diterima dengan tingkat signifikansi 𝛼 = 0,05. Karena nilai sig. (2-pihak) = 0,000, maka sig. (1-pihak) = 1

2 x

0,000 = 0,000. Nilai sig. (1-pihak) yang diperoleh kurang dari 𝛼 = 0,05, sehingga Ho ditolak. Artinya pencapaian kemampuan penalaran matematik mahasiswa yang menggunakan pendekatan metakognitif lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang menggunakan pembelajaran ekspositori.

Analisis skor disposisi matematik mahasiswa; Pengujian normalitas skor

posttes skor disposisi matematik dihitung dengan menggunakan program SPSS 22 for windows dengan menggunakan uji Shapiro Wilk. Kriteria pengujian, jika P value (sig.)

>𝛼, maka Ho diterima dan jika P value (sig.) <𝛼, maka Ho ditolak, dengan taraf signifikan sebesar 𝛼 = 0,05. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut ini:

TABEL 8. Uji Normalitas Skor Disposisi Matematik

Shapiro-Wilk

Statistic df Sig.

Metakognitif 0,913 30 0,018

Ekspositori 0,852 24 0,002

Berdasarkan Tabel 8, uji normalitas skor disposisi matematik mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan metakognitif dan ekspositori diperoleh nilai Sig. kurang dari nilai 𝛼 = 0,05 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi, sampel berasal dari populasi data berdistribusi tidak normal.

Langkah statistik berikutnya adalah dengan uji nonparametrik Mann Whitney yang bertujuan untuk melihat uji perbedaan dua rata-rata skor disposisi matematik antara kelas yang pembelajarannya dengan pendekatan metakognitif dan kelas dengan pembelajaran ekspositori.

Rumusan hipotesis statistik yang diuji untuk menguji hipotesis yang diajukan di atas adalah:

Ho : 𝜇1= 𝜇2

Ha : 𝜇1> 𝜇2

Hasil perhitungan uji Mann Whitney skor disposisi matematik mahamahasiswa ini diperlihatkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 9. Uji Mann Whitney, Skor Disposisi Matematik

Kelas Mean Rank Sum of Ranks Mann-Whitney Asymp. Sig. (2-tailed) Metakognitif 29,27 878,00 307,00 0,351 Ekspositori 25,29 607,00

Tabel 9 memperlihatkan bahwa nilai sig. (2-pihak) > 0,05. Akan tetapi, uji Mann Whitney yang digunakan untuk menguji perbedaan rerata skor disposisi matematik ini adalah uji satu pihak. Menurut Uyanto (Rohmah, 2009), nilai sig. (1-pihak) = 12 x sig. (2-pihak). Adapun kriteria pengujiannya adalah Ho diterima jika nilai sig.

(11)

(1-pihak) > 𝛼, dan yang lainnya Ha ditolak. Sedangkan jika nilai sig. (1-(1-pihak) < 𝛼, maka Ho ditolak, dan yang lainnya Ha diterima dengan tingkat signifikansi 𝛼 = 0,05. Karena nilai sig. (2-pihak) = 0,351, maka sig. (1-pihak) = 1

2 x 0,351= 0,1755. Nilai sig.

(1-pihak) yang diperoleh lebih dari 𝛼 = 0,05, sehingga Ho diterima. Artinya disposisi matematik mahasiswa pada kelas yang menggunakan pendekatan metakognitif sama dengan mahasiswa yang meggunakan pembelajaran ekspositori.

SIMPULAN

Pendekatan metakognitif memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan pemahaman matematiknya. Hal ini cukup beralasan karena apabila pendekatan metakognitif diterapkan dengan baik akan membuat mahasiswa aktif dalam belajar sehingga kemampuan pemahaman matematik akan lebih terasah berkembang dengan baik. Pencapaian kemampuan pemahaman matematik mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran metakognitif lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran ekspositori. Pencapaian kemampuan pemahaman matematik mahasiswa kelas eksperimen tergolong sedang dan kemampuan pemahaman matematik mahasiswa kelas kontrol tergolong rendah.

Pendekatan metakognitif memberikan kemajuan bagi mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan penalaran matematiknya. Hal ini cukup beralasan karena apabila pendekatan metakognitif diterapkan dengan baik akan membuat mahasiswa aktif dalam belajar sehingga kemampuan penalaran matematik akan lebih terasah berkembang dengan baik. Pencapaian kemampuan penalaran matematik mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran metakognitif lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran ekspositori. Pencapaian kemampuan penalaran matematik mahasiswa kelas eksperimen tergolong sedang dan kemampuan penalaran matematik mahasiswa kelas kontrol tergolong rendah.

Hasil analisis uji normalitas skor disposisi matematik mahasiswa menunjukkan bahwa disposisi matematik mahasiswa dengan pendekatan metakognitif dan pembelajaran ekspositori berasal dari populasi data berdistribusi tidak normal. Untuk analisis berikutnya harus menggunakan uji nonparametrik Mann Whitney. Hasilnya menunjukkan bahwa disposisi matematik mahasiswa yang menggunakan pendekatan metakognitif sama dengan mahasiswa yang menggunakan pembelajaran ekspositori. Disposisi matematik mahasiswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran metakognitif tidak lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran ekspositori. Disposisi matematik kedua kelas tergolong cukup baik.

REFERENSI

Biryukov, P. (2003). Metacognitive Aspect of Solving Combinatorics Problems. Israel: Kaye College of Education Israel.

(12)

Hendriana, H. & Sumarmo, U. (2014). Penilaian Pebelajaran Matematika. Bandung: Refika Aditama.

Lioe, L. T., Ho, K. F., & Hedberg, J. G. (2005). Students’ metacognitive problem solving strategies in solving open-ended problems in pairs.

NCREL. (1995). Metacognition. [Online]. Tersedia:

http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/atrisk/at7lk5.htm [10 April 2015].

NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.

OLRC News. (2004). Metacognition. [Online]. Tersedia:

http://literacy.kent.edu/ohioeff/resources/06newsMetacognition.doc [10 April 2015].

Rohmah, M. S. (2013). Pendekatan Brainstorming Teknik Round-Robin untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran, Komunikasi Matematis dan Self-Awarenes Siswa SMP. Tesis. Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E. T. (1991). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika CBSA. Bandung: Tarsito. Suherman, E. (1993). Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Matematika. Jakarta:

Depdikbud

Sumarmo, U. (2010). Evaluasi Dalam Pembelajaran Matematika. Dalam Suryadi, D. & Nurlaelah, E. (Eds.). Berpikir Dan Disposisi Matematik Serta Pembelajarannya. Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Gambar

TABEL 1. Deskripsi Hasil Penelitian
TABEL 2. Uji Normalitas Skor Pretes Kemampuan Pemahaman Matematik  Shapiro-Wilk
TABEL 4. Hasil Uji Peringkat Mann-Whitney, Skor Pretes Kemampuan Pemahaman  Matematik  Kelas  Mean  Rank  Sum of Ranks   Mann-Whitney  Asymp
TABEL 8. Uji Normalitas Skor Disposisi Matematik  Shapiro-Wilk

Referensi

Dokumen terkait

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas Proyek Akhir yang berjudul “Rancang Bangun Sistem Pengepresan Dengan Penggerak

Berdasarkan hasil penelitian dukungan sosial keluarga dengan tingkat depresi yang dilakukan subjek penelitian didapatkan pada dukungan keluarga yang baik dengan

Mathematics Education (RME) lebih dari hasil belajar matematika peserta didik menggunakan pendekatan saintifik di Kelas VII SMP Negeri 14 Kota Bengkulu tahun

Selain itu, pengkategorian unsur-unsur kebahasaan BM yang digunakan dalam K3 ke dalam metafora, karena memiliki syarat ciri (property) sebagai metafora yang secara

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa penjualan barang- barang yang disita dilaksanakan dengan perantaraan kantor lelang atau melihat keadaan, menurut pertimbangan

suhu dan waktu sinter sangat berpengaruh terhadap pembentukan struktur mikro yang mencakup butir dan lapisan batas butir. Diduga pembahan stmktur mikro karena pembahan subu dan

Konsep bangunan dengan parkir dan area servis merupakan konsep yang terkait dengan karakteristik obyek perancangan, dimana setiap laboratorium memiliki area parkir dan

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan sepenuhnya kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mendapatkan